LEUKEMIA MIELOSITIK KRONIK Pendahuluan Leukemia adalah golongan penyakit yang ditandai dengan penimbunan sel darah putih abnormal dalam sumsum tulang. Sel abnormal ini dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang, hitung sel darah putih sirkulasi meninggi dan menginfiltrasi organ lain. Dengan demikian gambaran umum leukemia mencakup sel darah putih abnormal dalam darah tepi, hitung sel darah putih total meninggi, bukti kegagalan sumsum tulang misalnya : anemia, netropenia atau trombositopenia dan keterlibatan organ lain misalnya : Hati, limpa, limfonodi, meningen, otak, kulit dan testis. Leukemia digolongkan ke dalam kelompok akut dan kronis berdasarkan derajat maturasi sel-sel ganas di dalam sumsum tulang. Leukemia akut ditandai adanya gangguan maturasi yang mengakibatkan meningkatnya sel-sel muda dan terjadi kegagalan diferensiasi sel-sel darah. Keadaan ini menyebabkan penyakit tampak sangat berat dan menyebabkan kematian dalam beberapa bulan tanpa pengobatan. Sebaliknya pada leukemia kronik terjadi peningkatan sel matur yang tidak terkendali, sehingga penyakit tampak relatif lebih ringan. Leukemia kronik pada stadium akhir dapat menjadi progresif seperti leukemia akut. Leukemia mielositik kronik (LMK) merupakan penyakit keganasan akibat hiperproliferasi klonal system hemopoetik pluripotensial dari system sel yang mencakup system Granulosit, Monosit, Eritroid dan Megakariosit. Leukemis Mielositik Kronik ini juga sering disebut Leukemia Granulositik Kronik, Leukemia Myelogenous Kronik dan Leukemia Myeloid Kronik. Angka kejadian LMK mencakup 15 – 20 % dari semua leukemia. Umumnya mengenai usia pertengahan, dengan puncak umur 40 – 50 tahun. LMK jarang dijumpai pada masa anak-anak dan diperkirakan hanya merupakan 1 – 5 % kasus Leukemia. Diagnosis penyakit ini hampir 80 % didiagnosis setelah umur 2 tahun. Umur terendah yang terdiagnosis LMK adalah 3 bulan. Faktor penyebab Sampai saat ini yang dicurigai ikut berperan dalam patogenesis terjadinya LMK adalah factor radiasi ion, virus dan bahan-bahan kimia. Menurut beberapa laporan kasus LMK lebih tinggi pada orang yang bekerja di unit radiology, orang yang terpapar radiasi bom atom, penderita yang mendapat terapi radiasi karena penyakit Ankilosing spondilitis dan penyakit lain. Walaupun begitu, hanya 5 – 7 % dari kasus LMK yang dilaporkan berhubungan dengan adanya paparan radiasi dan hal ini sangat jarang mengenai kelompok anak-anak. Berdasarkan penelitian terhadap penduduk yang hidup setelah terpapar radiasi bom atom, waktu yang diperlukan mulai dari saat terpapar sampai timbulnya gejala klinis adalah antara 5-10 tahun. Pada anak muda, khususnya yang terpapar saat umur di bawah 5 tahun akan meningkatkan kejadian LMK, tetapi tidak dijumpai adanya peningkatan kejadian pada bayi dalam kandungan yang ibunya terpapar saat hamil. Secara skematis perubahanperubahan yang terjadi mulai dari masa inisiasi preleukemia dan akhirnya menjadi leukemia. Patogenesis
LMK merupakan penyakit keganasan pertama yang dijumpai berhubungan dengan kelainan genetic spesifik yaitu pada krosomom nomor 22 (Ph’ kromosom. Pada lebih dari 90 % pasien terdapat pergantian sumsum tulang normal oleh sel dengan kromosom golongan G abnormal (nomor 22)-kromosom Philadelphia atau Ph. Abnormalitas terjadi karena adanya translokasi bagian lengan panjang (q) kromosom 22 ke kromosom lain, biasanya kromosom 9 pada golongan “C”. Ini adalah abnormalitas akuisita yang ada dalam semua sel granulositik, eritroid dan megakariositik yang sedang membelah dalam sumsum tulang dan juga dalam sel limfosit B. Peningkatan besar dalam massa granulosit total tubuh bertanggung jawab untuk kebanyakan gambaran klinisnya. Akibat kromosom lain (sering kromosom 9) menerima translokasi lengan panjang (q) kromosom 22 maka akan terbentuk gen hybrid, yang dapat memproduksi fosfoproteinP210, yang memiliki aktivitas tirosin kinase yang berbeda dari normal. Perubahan aktivitas tirosin kinase inilah yang menyebabkan terjadinya transformasi selular yang mendasari timbulnya LMK. Terjadinya krisis blastik pada LMK dihubungkan dengan munculnya gen yang memproduksi cyklin-dependent kinase-2 inhibitor (CDKN-2) atau dikenal dengan Ph’-2 kromosom pada kromosom nomor 9, dimana gen tersebut memiliki sifat mengaktifkan pertumbuhan sel ganas. Di samping itu ada penelitian mendapatkan adanya T-sel resptor abnormal denan teknik polimerase pada darah tepi penderita LMK. Khususnya fase akselerasi dan blas. Perjalanan penyakit Perjalanan penyakit LMK dibagi menjadi 3 fase yaitu, fase kronik,akselerasi dan blas. 1. Fase kronik Fase kronik ditandai ekspansi yang tinggi dari hemopoetik pool dengan peningkatan pembentukan sel darah matur, dengan sedikit gangguan fungsional. Umumnya sel neoplasma sedikit dijumpai di sumsum tulang, hepar, lien dan darh perifer. Akibatnya gejala penyakit tergantung infiltrasi ke organ, pengaruh metabolik dan hiperviskositas serta umumnya mudah dikontrol. Lama waktu fase kronik umumnya 3 tahun. Gejala klinik umumnya non spesifik akibat hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan penglihatan, penurunan berat badan dan anoreksia. Pada pemeriksaan fisik penderita tampak pucat, ekimosis, hepatosplenomegali dan nyeri sternum. Gejala tersebut berhubungan dengan derajat leukositosis Kadang-kadang (20%) asimptomatis dan ditemukan secara kebetulan. Pemeriksaan Laboratorium dapat dijumpai anemia normokrom normositer, Leukostosis berat dengan shift to the left dan trombostosis. Kadar leukosit meningkat antara 80.000 – 800.000 / mm3. Leukositosis sangat berat (> 500.000 /mm3) dapat dijumpai pada anak-anak. Pemeriksaan hapusan darah tepi dijumpai seluruh stadium diferensiasi sel seperti myeloblas dan promileosit yang umumnya dibawah 15%, serta tidak dijumpai hiatus leukemikus. Juga dijumpai peningkatan absolut basofil dan eosinofil. Pemeriksaan sumsum tulang dijumpai hiperselular dengan granulositosis (sering diikuti megakariositik), maturasi granulosit lebih matur disertai basofilia dan eosinofilia. Myelofibrosis umumnya jarang dijumpai pada fase kronik, dan dapat dijumpai pada 30-40% penderita. Juga dapat dijumpai lipid-laden histiosit atau gaucher sel atau sea blue histiosit. Pada pemeriksaan serologi dapat dijumpai peningkatan asam urat, laktik dehidrogenase, vitamin B12 dan vitamin B12 binding protein. Kelainan granulosit dapat diketahui dengan
adanya penurunan aktivitas leukosit alkalin fosfatase (LAP) dengan pemeriksaan sitokimia. Diagnosis banding LMK fase kronik reaksi lekemoid, LMK tipe juvenil dan penyakit myeloproliferatif lain. Pada lekemoid, splenomegali biasanya tidak menonjol, aktivitas LAP meningkat tinggi, Ph’ kromosom negatif, leukositosis dan splenomegali tidak sehebat LMK dan melibatkan organ seperti kulit dan kelenjar limpa. Penyakit myeloproliferatif dibedakan dari LMK dengan pemeriksaan granulosit berseri dan Ph’ kromosom. 1. Fase akselerasi Setelah lebih kurang 3 tahun, LMK kronik akan menjadi fase akselerasi dengan meningkatnya progresifitas penyakit. Sekitar 5 % kasus, terjadi perubahan mendadak dengan peningkatan yang cepat sel blas pada darah perifer (krisis blas). Sekitar 50% kasus akan berkembang menjadi lebih progressif yang menimbulkan gejala seperti leukemia akut dan sisanya 45% terjadi peningkatan progresif secara pelan-pelan. Gejala dan tanda dari fase akselerasi : - Panas tanpa penyebab yang jelas dan splenomegali progresif - Anemia dan trombositopenia setelah sebelumnya sempat normal - Trombositosis > 1000 x 109/ L - Basofil > 20% dan myeloblas > 5 % - Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi nuetrofil, mikro megakariosit atau mononuclear yang besar. - Fibrosis kolagen pada sumsum tulang - Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti Ph’-2 kromosom - Peningkatan uptake timidin oleh neutrofil - Peningkatan kandungan DNA dan penurunan fraksi proliferasi. 3. Fase blas Pada fase ini gejala klinik meliputi anemia, trombositopenia dan peningkatan sel blas pada darah tepi dan sumsum tulang. Pada sumsum tulang dijumpai lebih dari 30 % sel blas yang merupakan tanda diagnostik fase ini. Sel blas didominasi oleh sel myeloid tetapi sel eritroid, megakariositik dan limfoblas dapat dijumpai. Gejala klinik pada fase ini sama dengan leukemia akut dan jika sel blas mencapai lebih dari 100 000 per mm3 maka penderita memiliki resiko terjadinya sindroma hiperleukositosis. Fase ini dibedakan dengan leukemia akut di mana splenomegali tidak menonjol, basofilia dan adanya Ph’-2 kromosom. Komplikasi Beberapa masalah dalam penanganan LMK : 1. Masalah metabolik Masalah metabolik terjadi akibat cepatnya sitolisis, yang akan mengakibatkan terjadinya hiperurikemia, hiperkalemia dan hiperfosfatemia. Hal tersebut harus di antisipasi, dan di terapi dengan pemberian cairan yang cukup, alkalinisasi dan pemberian allupurinol. 2. Hiperleukositosis Peningkatan ekstrim dari leukosit pada LMK dapat menyebabkan komplikasi leukostatik pada beberapa organ khususnya otak, paru, retina dan penis. Sejak leukosit kurang seimbang dengan eritrosit akan terjadi peningkatan viskositas darah akibat peningkatan fraksi leukosit tersebut. Myeloblas merupakan sel yang lebih kaku dibandingkan dengan
leukosit lain, juga meningkatkan viskositas tersebut. Jika hiperleukositosis mencapai > 200 000/mm3 atau > 50 000/mm3, penderita harus diterapi secara simultan dengan obat sitotoksik seperti hidroksiurea 50-75 mg/kgbb/hari dengan infus intravena, transfusi tukar dan transfusi eritrosit. 3. Priapism Nyeri persisten pada penis mungkin merupakan akibat obstruksi oleh leukemia, adanya penyumbatan pada korpora kavernosa akibat tertekannya saraf dan vena oleh pembesaran lien. Aterapi mencakup pemberian analgetik, pemberian cairan yang cukup, kompres hangat, radioterapi (pada penis atau lien) dan pemberian kemoterapi dosis tinggi (50-74 mg/kgbb/hari intravena). 4. Leukemia Meningeal Leukemia meningeal pada LMK fase kronis sering tidak diketahui dan jarang dijumpai pada stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat bila penderita bertahan hidup lama pada fase blas. Gejala yang dijumpai berupa paralysis saraf pusat dan udema papil. Diagnosis dibantu dengan ditemukannya sel blas pada cairan cerebrospinal. Terapi adalah dengan memberikan metotreksat, walaupun hasilnya kurang memuaskan. 5. Myelofibrosis LMK sering terjadi bersama-sama dengan myelofibrosis dan akan meningkatkan produksi kolagen pada sumsum tulang atau terjadi penurunan degradasi kolagen. Terapi Secara umum tujuan terapi penderita LMK pada fase kronik adalah menghilangkan gejala klinik dengan cara menurunkan leukositosis dan organomegali. Remisi komplit yaitu hilangnya Ph’+klon dan pergantian sel oleh sel normal jarang terjadi dengan pengobatan konvensional. Walaupun demikian dengan teknik transplantasi sumsumtulang, kesembuhan tersebut memungkinkan, tujuan terapi LMK pada fase akselerasi dan blas adalah mengembalikan ke fase kronik. Terapi LMK fase kronik Pengobatan standar LMK fase kronik adalah dengan obat tunggal, walaupun kebanyakan kasus jarang terjadi kesembuhan secara sempurna. Dengan pemberian obat tunggal tersebut akan terjadi pengurangan organomegali dan leukosit dalam darah tepi menjadi normal tetapi hiperplasia granulosit dan metaplasia Ph’+ di sumsum tulang tetap terjadi. Obat yang sering diberikan sebagai obat tunggal adalah : Busulfan Obat ini dipakai pertam kali tahun 1950 dalam pengobatan LMK, dan samapi saat ini merupakan obat standar. Merupakan obat ankilating non spesifik pada fase siklus sel, yang bekarja mengganggu fungsi DNA- guanin dan timidin dari sel ganas. Ciri khas dari obat ini memiliki onset lambat dan durasi yang lama. Ekskresi obat kebanyakan melali urine. Dosis yang digunakan adalah 2-6 mg/kgbbperoral dosis tunggal. Pengobatan awal diberikan selama 10-14 hari sampai leukosit turun secara bermakna dan hitung jenis menjadi normal. Limpa biasanya kembali normal setelah 3 bulan pengobatan. Dosis diturunkan menjadi 50 % jika kadar leukosit mencapai 30.000-40.000/mm3 dan dihentikan jika turun mencapai kurang atau sama dengan 20.000/mm3. Prognosis
Harapan hidup rata-rata penderita LMK adalah 3-4 tahun dari saat diagnosis ditegakkan. Hanya 30% dari penderita tersebut bertahan hidup sampai 5 tahun. Kematian biasanya terjadi beberapa bulan setelah mengalami fase akselerasi dari fase kronik. Bila telah sampai pada fase blas maka kematian akan terjadi setelah 1-5 bulan akibat kegagalan sumsum tulang. Beberapa petanda prognosis buruk adalah : 1. Splenomegali (>5 cm di bawah arkus, kosta) 2. Trombositopenia (<150/mm3)>500.000/mm3) 4. Leukositosis berat (>100.000/mm3) 5. Proporsi sel blas meningkat (>1%) atau terdapat granulosit imatur (>20%)
Leukemia Limfositik Kronik •
Leukemia limfositik kronik (CLL) adalah leukemia limfoid kronik yang paling sering dijumpai dan insidensi puncak terdapat pada usia antara 60-80 tahun.
•
Etiologinya belum diketahui
•
Insidensi tidak meningkat pada orang yang sebelumnya menjalani pengobatan radioterapi atau kemoterapi.
•
Sel tumor tampak sebagai suatu sel B yang relative matur dengan ekspresi immunoglobulin M (IgM) atau IgD permukaan yang lemah. Sel-sel ini berakumulasi dalam darah, sumsum tulang, hati, limpa, dan kelenjar getah bening akibat lama hidup yang memanjang disertai terganggunya apoptosis normal.
A. Gambaran klinis •
Penyakit ini mengenai orang berusia tua dan jarang mengenai orang berusia kurang dari 40 tahun. Rasio pria terhadap wanita adalah 2:1.
•
Banyak kasus didiagnosis pada saat dilakukan pemeriksaan darah rutin. Dengan meningkatnya pemeriksaan medis rutin, proporsinya meningkat.
•
Pembesaran simetris kelenjar getah bening permukaan adalah tanda klinis yang paling sering dijumpai. Kelenjar biasanya berbatas tegas dan tidak nyeri tekan. Salah satu gambaran yang dijumpai dapat berupa pembesaran tonsil.
•
Gambaran anemia mungkin ada
•
Splenomegali dan hepatomegali biasa ditemukan pada stadium lanjut
•
Infeksi bakteri dan jamur sering ditemukan pada stadium lanjut karena terjadi defisiensi imun dan netropenia (akibat infiltrasi sumsum tulang,kemoterapi, atau hipersplenisme).
•
Penderita trombositopenia mungkin memperlihatkan adanya memar atau purpura.
B. Temuan Laboratorium
•
Limfositosis. Jumlah limfosit absolute adalah > 5x109/l dan dapat mencapi hingga 300x109/l atau lebih. Antara 70 dan 99% leukosit dalam sediaan apus darah tampak sebagai limfosit kecil. Smudge cell atau smear cell juga ada.
•
Penentuan imunofetipe limfosit menunjukkan bahwa limfosit tersebut adalah sel B (CD19 permukaan positif), yang mengekspresikan immunoglobulin permukaan (IgM dan IgD) secara lemah. Imunoglobulin ini terbukti bersifat monoclonal karena ekspresi satu bentuk rantai ringan.
•
Anemia normositik normokrom terdapat pada stadium lanjut akibat infiltrasi sumsum tulang atau hipersplenisme. Hemolisis autoimun juga dapat terjadi.
•
Trombositopenia terjadi pada banyak pasien
•
Aspirasi sumsum tulang memperlihatkan adanya penggantian elemen sumsum tulang oleh limfosit. Limfosit mencakup 25-95% dari semua sel. Biopsi trephine menunjukkan adanya keterlibatan limfosit nodular, difus, atau interstisial.
•
Ditemukan kadar immunoglobulin serum yang menurun dan ini makin jelas dengan memburuknya penyakit
•
Empat kelainan kromosom yang paling lazim dijumpai adalah delesi 13q14, trisomi 12, delesi pada 11q23, dan kelainan structural 17p yang melibatkan gen p53. Kelainan-kelainan ini mempunyai magna prognostic
•
Gen VH sel B mengalami hipermutasi somatic di pusat-pusat germinal yg terdapat di kelenjar getah bening. Pada CLL, gen VH mengalami hipermutasi pada sekitar 50% kasus, pada 50% sisanya gen VH tidak mengalami mutasi. Kelompok yang terakhir ini mempunyai prognosis yang lebih buruk.
C. Penentuan Stadium
Penentuan stadium sangat bermanfaat pada saat berobat dan penting untuk perkiraan prognosis. Sistem penentuan stadium menurut Raid dan Binet.
D. Pengobatan Kesembuhan jarang terjadi pada CLL, sehingga pendekatan terhadap terapi bersifat konservatif, ditujukan pada pengendalian gejala dan bukan hitung darah normal. Pengobatan diberikan bila terdapat organomegali yang bermasalah, episode hemolitik, dan supresi sumsum tulang. •
Kemoterapi o
Klorambusil : pengobatan tradisional untuk CLL adalah dengan zat pengalkil oral klorambusil. Dosis nya 4-6 mg/hari. Obat perlu diberikan selama 2-4 bulan, dan setelah itu akan dicapai remisi dengan durasi yang bervariasi. Dapat timbul resistensi
o
Analog purin : obat-obat golongan ini efektif untuk pengobatan CLL dan limfoma. Obat yang paling efektif adalah fludarabin. Obat ini lebih efektif diberikan sebagai obat tunggal dibandingkan klorambusil. Obat ini mungkin merupakan obat pilihan pertama dan juga berguna untuk pasien yang resisten terhadap klorambusil. Formulasi obat secara intravena atau oral. Kombinasi fludarabin dengan misalnya siklofosfamid (FC) atau metotreksat dan deksametason (FMD) mungkin lebih efektif dibandingkan fludarabin saja.
o
Kortikosteroid : Pasien yang menderita kegagalan sumsum tulang harus diobati sejak awal dengan prednisolon saja sampai terdapat pemulihan jumlah trombosit neutrofil, dan hemoglobin yg bermakna. Kortikosteroid juga diindikasikan bila terdapat anemia hemolitik autoimun atau trombositopenia.