Tinjauan Pustaka Leukemia Granulositik Kronik Janetty 102012109 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
[email protected] Pendahuluan Leukemia granulositik kronik adalah suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif. Sel induk pluripoten yang dimaksud pada penyakit ini adalah sel myeloblas yang akan menghasilkan leukosit yang bergranul yaitu basofil, eosinofil, dan netrofil. Oleh sebab itu penyakit ini sering disebut juga dengan Leukemia mielositik kronik. Penyakit ini timbul pada tingkat sel induk pluripoten dan secara terus-menerus terkait dengan gen gabungan BCR-ABL. Penyakit proliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat terlihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit, sampai granulosit. Leukemia mielositik kronik yang paling umum adalah disertai dengan kromosom Philadelphia (Ph). Skenario Tn B 60 tahun datang ke poliklinik RS UKRIDA dengan keluhan utama lemas sejak 2 bulan SMRS. Pasien juga mengeluh sering demam dan keringat dingin terutama pada malam hari. Tidak ada keluhan batuk atau nyeri berkemih. Selain itu pasien merasa cepat kenyang dan begah. Pasien mengatakan hanya mengkonsumsi makanan alami tanpa adanya pengawet dan tidak riwayat kontak dengan pasien TB dan paparan radioaktif. Di keluarga pasien tidak ada yang sakit seperti ini. Pembahasan Anamnesis Anamnesis detail sangat penting pada kasus keganasan karena gejala tidak jelas dan menyerupai penyakit-penyakit lain. Oleh karena itu, anamnesis lebih ke arah mengeliminasi diagnosis-diagnosis banding yang mungkin muncul untuk mendapatkan diagnosis kerja atau
diagnosis pastinya. Manifestasi klinis leukemia myelogenous kronis (CML) membahayakan. Penyakit ini sering ditemukan secara kebetulan dalam fase kronis, ketika didapatkan hitung leukosit meningkat pada pemeriksaan darah rutin atau adanya splenomegali pada pemeriksaan fisik umum. Gejala non spesifik meliputi kelelahan dan penurunan berat badan dapat terjadi lama setelah timbulnya penyakit. Kehilangan energi dan penurunan toleransi latihan dapat terjadi selama fase kronis setelah beberapa bulan. Pasien sering memiliki gejala yang berkaitan dengan pembesaran limpa, hati, atau keduanya. Limpa besar dapat mengganggu pada lambung dan menyebabkan cepat kenyang sehingga asupan makanan berkurang. Nyeri perut kuadran kiri atas bahkan menjalar ke bahu kiri digambarkan sebagai nyeri dengan kualitas "mencengkeram" mungkin terjadi akibat infark limpa. Limpa yang membesar juga dapat dikaitkan dengan keadaan hipermetabolik, demam, penurunan berat badan, dan kelelahan kronis. Hati yang membesar dapat menyebabkan penurunan berat badan pasien. Beberapa pasien dengan CML memiliki demam ringan dan berkeringat berlebihan terkait dengan hipermetabolisme. Pada beberapa pasien yang ada dalam fase akselerasi, atau fase akut dari penyakit (melewatkan fase kronis), perdarahan, petechiae, ekimosis dan mungkin merupakan gejala menonjol. Dalam situasi ini, demam biasanya berhubungan dengan infeksi. Nyeri tulang dan demam, serta peningkatan fibrosis sumsum tulang, merupakan pertanda dari fase blast. Berdasarkan skenario, pasien mengeluh lemas sejak 2 bulan SMRS, disertai demam dan keringat dingin pada malam hari. Pertanyaan yang penting untuk diajukan : a. Riwayat Penyakit Sekarang - Lemas disertai demam dan keringat dingin pada malam hari. Apakah disertai batuk kronis? Apakah disertai dengan nyeri berkemih? (berhubungan dengan TBC dan
-
uretritis) Pada skenario pasien mengatakan tidak ada keluhan batuk dan nyeri berkemih. Apakah disertai dengan turunnya berat badan secara drastis? (berhubungan dengan
-
hipermetabolisme yang merupakan gejala klinis CML) Ada rasa cepat begah dan kenyang? (splenomegali dapat menekan lambung sehingga
-
timbul rasa cepat begah dan kenyang) Pada skenario pasien mengatakan ada keluhan cepat kenyang dan begah. Ada rasa sakit di perut kuadran kiri atas atau sakit di bahu kiri? (berhubungan dengan
infark limpa dan perisplenitis akibat splenomegali) b. Riwayat Penyakit Dahulu - Apakah sebelumnya pernah terpapar zat radioaktif? Pasien mengaku tidak ada riwayat paparan radioaktif. c. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku tidak ada yang sakit seperti ini di keluarganya d. Riwayat Sosial dan Kebiasaan Pasien mengaku hanya mengkonsumsi makanan alami tanpa adanya pengawet e. Riwayat Obat-obatan
Pemeriksaan Pemeriksaan Fisik -
-
-
Mata Pada pasien ditemukan konjungtiva anemia dan sklera non-ikterik Leher Leher pasien normal tidak ada perbesaran kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening, tidak ada benjolan dan tanda-tanda radang PF thorax (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi) Dalam batas-batas normal PF abdomen Pada pasien ditemukan splenomegali schuffner 3, hepar dan organ lain dalam batasbatas normal. Inspeksi ekstremitas Tidak ditemukan adanya tanda-tanda udem. Dalam batas-batas normal Splenomegali adalah penemuan fisik yang paling umum pada pasien dengan leukemia myelogenous kronis (CML). Dalam lebih dari 50% pasien dengan CML, limpa berukuran lebih dari 5 cm di bawah batas kosta kiri pada saat penemuan. Ukuran limpa berkorelasi dengan hitungan granulosit darah perifer, dengan limpa terbesar yang diamati pada pasien dengan jumlah leukosit yang tinggi. Sebuah limpa sangat besar biasanya pertanda transformasi menjadi bentuk krisis blast akut dari penyakit. Hepatomegali juga terjadi, meskipun kurang umum daripada splenomegali. Hepatomegali biasanya bagian dari hematopoiesis extramedular terjadi di limpa. Temuan fisik leukositosis dan hiperviskositas dapat terjadi pada beberapa pasien, dengan ketinggian luar biasa, lebih dari 300.000-600.000 sel/uL. Setelah funduskopi, retina dapat menunjukkan papiledema, obstruksi vena, dan perdarahan namun juga tidak terlalu umum dan spesifik untuk CML. Krisis blast ditandai oleh peningkatan dalam sumsum tulang atau ledakan jumlah darah perifer atau oleh perkembangan leukemia
infiltrat jaringan lunak atau kulit. Gejala khas
adalah karena
trombositopenia, anemia, basophilia, limpa cepat memperbesar, dan kegagalan obat yang biasa untuk mengontrol leukositosis dan splenomegali.
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang penting untuk dilakukan pada kasus hematologi :1 -
CBC (Complete Blood Count), hasil yang didapat berupa : o Hb ( Hemoglobin) dalam g/dl Nilai normal : Laki-laki : 13,4 – 17,7 g/dl Wanita : 11,4 – 15,1 g/dl Neonatus : 16,5 + 3 g/dl Anak : 3 bln : 12,0 + 1,5 g /dl o Haematocrite ( Hct ) Nilai normal : Laki-laki dewasa : 45 – 47 % Wanita dewasa : 40 – 42 % o Laju endap darah (ESR) dalam mm/jam o Jumlah Sel Darah Putih Nilai normal : 10.000 – 15.000/mm3 o Hitung Jenis Sel Darah Putih (Diff Counting) dengan kamar penghitung Improved Neubauer2 Nilai normal : Basofil 0-1% Eosinofil 1-3% Netrofil Batang 2-6% Netrofil segmen 50-70% Limfosit 20-40% Monosit 2-8% o Jumlah Sel Darah Merah o Jumlah trombosit Hasil diff counting pada pasien : 1 / 1 / 0 / 73 / 15 / 21 Terlihat peningkatan sel netrofil segmen dan monosit.
-
Pemeriksaan NER (Nilai Eritrosit Rerata), terdiri dari : Volume Eritrosit Rata-rata (VER), Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (HER). Dam Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER)1 o Volume Eritrosit Rata-rata (VER) atau Mean Corpuscular Volume (MCV) adalah perbandingan antara hematokrit dan jumlah eritrosit. VER = (% hematokrit / jumlah eritrosit) x 10 (fL) Nilai rujukan = 82-92 fL
MCV menentukan bentuk eritrosit. Bentuk eritrosit yang normal atau nilai MCV-nya masih masuk dalam nilai rujukan dianggap normositik. Bentuk eritrosit yang mengecil disebut mikrositik sedangkan membesar atau di atas 92 fL disebut makrositik.
o Hemoglobin Eritrosit Rerata (HER) atau Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) adalah perbandingan kadar Hb dengan jumlah eritrosit. HER = (kadar Hb / jumlah eritrosit) x 10 (pg) Nilai rujukan = 27 – 31 pg Bila nilai MCH di bawah 27 pg maka dianggap hipokrom. o Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER) atau Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) adalah perbandingan kadar Hb dengan nilai hematokrit. KHER = (Kadar Hb / % Hematokrit) x 100 (%) Nilai rujukan = 32 – 37 % -
Pemeriksaan sumsum tulang Pemeriksaan ini untuk menilai
aktivitas
eritropoesis¸
granulopoiesis,
dan
trombopoiesis. Hasil dari pemeriksaan ini adalah mengetahui dominasi sel setiap sel induk, kelainan morfologi, dan gangguan pematangan inti. Hemosiderin sumsum tulang juga dapat dinilai menggunakan pewarnaan Prussian Blue dan pada anemia defisiensi besi akan didapati hemosiderin sumsum tulang berkurang atau kosong. -
Evaluasi status besi o Serum Iron / Kadar besi serum o Total Iron Binding Capacity (TIBC) / Daya Ikat Besi Total (DIBT) o Saturasi transferim o Kadar feritin serum Tidak spesifik untuk Leukemia, namun dapat dilakukan sebagai pemeriksaan optional dalam menganalisis penyebab anemia. Kadar besi serum menurun pada anemia defisiensi besi.
-
Urinalisis Pada pasien CML sering didapati adanya hiperurisemia. Meskipun khas hepatomegali dan splenomegali dapat dicitrakan dengan menggunakan scan hati/limpa,kelainan ini sering begitu jelas secara klinis sehingga pencitraan radiologis tidak diperlukan. Diagnosis CML didasarkan pada temuan histopatologi dalam darah perifer dan Philadelphia(Ph) kromosom dalam sel sumsum tulang. Kelainan laboratorium lainnya termasuk hiperurisemia, yang merupakan refleksi dari peningkatan selularitas sumsum tulang, dan peningkatan nyata serum
vitamin B-12-binding protein (TC-I) yang disintesis oleh granulosit dan mencerminkan tingkat leukositosis.
Diagnosis Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, pasien didiagnosis kerja dengan penyakit Leukemia Granulositik Kronik. Leukemia granulositik kronik atau Chronic Myelogenous Leukemia (CML) merupakan kelainan myeloproliferative yang ditandai dengan peningkatan proliferasi dari seri sel granulosit tanpa disertai gangguan diferensiasi, sehingga pada hapusan darah tepi dapat ditemukan berbagai tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), metamielosit, mielosit, sampai granulosit.3 Gejala penyakit ini meliputi rasa tidak enak badan yang berlangsung terus-menerus makin hari makin parah, tidak nafsu makan, perut tidak enak, disertai keringat berlebih terutama dirasakan pada malam hari sehingga disebut night sweats. Keringat berlebih ini dipicu oleh hipermetabolisme sehingga bisa menyebabkan
intoleransi
terhadap
suhu
panas
secara
berlebihan,
splenomegali,
hiperurisemia, tinnitus, bahkan stupor. Selain itu, keadaan hipermetabolisme juga dapat memicu tirotoksikos. Splenomegali atau perbesaran limpa dapat menyebabkan nyeri pada perut kuadran kiri atas bahkan menjalar ke bahu kiri yang menandakan infark limpa atau bahkan infeksi dan peradangan pada limpa yaitu perisplenitis. Gejala lain yang mungkin timbul yaitu vasopressin-responsive diabetes insipidus dan acne urticata akibat hiperhistanemia.3 Berdasarkan klasifikasi WHO, CML dibagi menjadi 3 fase, yaitu : 1. Fase kronik stabil atau fase awal. Pada fase ini penderita CML kebanyakan asimptomatik hingga menimbulkan gejala ringan seperti demam hilang-timbul, tidak enak badan, nyeri di abdomen, begah, dll. Jumlah sel blast darah perifer kurang dari 10% pada darah dan sumsum tulang. 2. Fase terakselerasi. Pada fase ini jumlah sel blasts 10-19% dari jumlah leukosit pada sel sumsum tulang; trombositopenia persisten (< 100 ×109/L) tidak terkait dengan terapi atau trombositosis persisten (>1000 × 109/L) tidak responsive terhadap terapi; peningkatan jumlah leukosit dan ukuran limpa tidak responsive terhadap terapi; bukti sitogenetik adanya clonal evolution selain kromosom Ph;
disertai peningkatan splenomegali atau jumlah leukosit tidak merespon terhadap terapi. 3. Fase krisis blast. Pada krisis blast, jumlah sel blast perifer ≥ 20% dari leukosit darah tepi atau sel sumsum tulang nucleated; proliferasi blast ekstrameduler; dan fokus atau kluster besar blast pada biopsi sumsum tulang. Keadaan ini menyerupai leukemia akut. Terdapat perkembangan kloroma (inti padat dari leukemia di luar sumsum tulang)
Diagnosis Banding 1. Reaksi Leukemoid Reaksi leukemia merupakan respons leukosit secara berlebihan mengakibatkan dilepaskannya leukosit baik yang muda maupun yang matang ke dalam darah tepi dalam darah tepi dalam jumlah berlebihan. Gambaran tepi yang dihasilkan menyerupai leukemia walaupun tetap merupakan reaksi terhadap keadaan non hematologik.
Reaksi
ini
dapat
dijumpai
pada
keadaan
infeksi
berat,
nekrosis/kerusakan jaringan, perdarahan/hemolisis. Reaksi ini bersifat sementara bila penyebabnya diobati maka reaksi ini pun akan hilang. Sel yang paling reaktif adalah granulosit. Reaksi leukemia limfositik dapat terjadi pada tuberkulosis, pertusis, dan mononukleus infeksiosa sehingga sering pada anak-anak namun dapat hilang dengan sendirinya. Tabel 1. Perbedaan reaksi leukemia dan leukemia kronik Reaksi Leukemoid Etiologi jelas Tidak ada splenomegali Jarang disertai anemia Tidak disertai trombositopenia Tidak dijumpai basofilia, eosinofilia, atau
Leukemia Kronik Etiologi tidak jelas Dijumpai splenomegali Disertai anemia Dapat disertai trombositopenia Sering dijumpai basofilia,
eosinofilia,
monositosis monositosis Aktivitas Neutrofil Alkaline Phosphatase Aktivitas NAP rendah (NAP) meningkat Sumsum tulang
hiperplastik,
penekanan aktivitas seri lain
2. Myelofibrosis
tanpa Sumsum
tulang
hiperplastik
penekanan aktivitas seri lain
dengan
Myelofibrosis merupakan salah satu penyakit kelainan darah yang sangat jarang ditemui (2 : 1.000.000) dan 80% penderitanya adalah orang-orang yang sudah berusia di atas 60 tahun. Dengan presentasi yang lebih kecil, penyakit ini dapat pula menimpa semua kalangan umur. Penyakit ini ditandai dengan adanya pengerasan sumsum tulang belakang karena sel-sel stem yang ada di dalam sumsum tulang secara abnormal tumbuh dan berproliferasi menjadi sel-sel fibrosa yang kemudian membentuk jaringan ikat. Hal ini menyebabkan sel-sel stem yang normal semakin lama semakin berkurang dan mengakibatkan terganggunya proses pembentukkan selsel darah. Walaupun perjalanan penyakit ini cukup lambat dan tidak seprogresif penyakit kanker, Myelofibrosis sering digolongkan sebagai pre-kanker, tepatnya pre-leukemia, karena penderita Myelofibrosis memiliki resiko yang cukup tinggi untuk terkena Acute Myeloid Leukemia (AML) dan sekitar 20% dari penderita Myelofibrosis biasanya mengalami Chronic Myeloid Leukemia (CML) ini di tahap akhir penyakitnya yang berlangsung menahun. Sampai saat ini, penyebab Myelofibrosis tidak pernah diketahui, oleh karenanya penyakit ini dinamai sebagai Chronic Idiopathic Myelofibrosis (Idiopathic = tidak diketahui penyebabnya).
-
Gejala yang dapat timbul pada myelofibrosis : Lelah, lemah, atau sesak napas yang dipicu anemia Nyeri di bawah tulang rusuk sebelah kiri karena pembesaran limpa Pembesaran hati Kulit pucat Mudah memar Mudah berdarah Keringat berlebihan saat tidur (berkeringat di malam hari) Demam Sering infeksi Nyeri tulang
3. Leukemia Myelomonositik Kronik Pasien
dengan
Leukemia
Mielomonositik
Kronik
atau
Chronic
Myelomonocytic Leukemia (CMML) memiliki jumlah monosit yang lebih tinggi pada darah tepinya (sekitar 1.000/mm3). Biasanya ditemukan sel-sel abnormal pada sumsum tulang, namun jumlah sel blast di bawah 20%. Sekitar 15-30% pasien CMML berkembang menjadi Acute Myeloid Leukemia (AML).
Tingginya monosit namun rendahnya sel blast ini merupakan ciri khas daripada Leukemia Myelomonositik Kronik. Rendahnya sel blast ini menyebabkan CMML dimasukkan ke kategori penyakit sindrom myelodisplastik, namun tingginya monosit juga membuat CMM: dikategorikan sebagai penyakit myeloproliferatif. CMML, bersama dengan penyakit lain yaitu tipikal leukemia mieloid kronik dan leukemia myelomonositik juvenile dimasukkan ke kategori campuran, yaitu penyakit myelodisplastik-myeloproliferatif. Penyakit yang tersering adalah CMML, sementara yang lain lebih jarang. Gejala klinis yang ditimbulkan hampir sama dengan CML, adanya abnormalitas darah menyebabkan hipermetabolisme, anemia, serta perbesaran limpa.
Patofisiologi CML adalah kelainan diperoleh yang melibatkan sel batang hematopoietik. Hal ini ditandai oleh kelainan sitogenetika terdiri dari translokasi timbal balik antara lengan panjang kromosom 22 dan 9 [t (9; 22)]. Hasil translokasi dalam kromosom, dipersingkat 22 pengamatan pertama dijelaskan oleh Nowell dan Hungerford dan kemudian disebut kromosom Philadelphia.4 Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan dari sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasinya berlebihan, juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal,karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme di atas adalah terbentuaknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak system hematopoiesis lainnya. Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi CML dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum diketahui secara pasti. Sejak tahun 1980 diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hybrid BCR-ABL pada kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9 (Ph1).4 Gen hybrid BCR-ABL yang berada dalam kromosom Ph ini selanjutnya mensintesis protein 210 kD yang berperan dalam leukemogenesis, sedangkan peran gen resiprokal ABLBCR tidak diketahui. Jadi sebenarnya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada semua pasien CML, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien CML. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase
krisis bas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17i (17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang berperan dalam patofisiologi CML atau terjadi abnormalitas dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p16, dan gen Rb.4 Gejala Klinis Penyakit CML dapat menimbulkan keluhan umum dan keluhan penyerta atau sekunder dari penyakit tersebut. Keluhan yang sering dijumpai :5 -
Demam, malaise, tidak enak badan, pegal-pegal, mudah lemas, letih, lesu Keringat berlebih, terutama pada malam hari, intoleransi terhadap panas, penurunan
-
berat badan drastis Tidak nafsu makan, cepat begah dan kenyang karena lambung tertekan limpa Mungkin didapati adanya priapisme pada pria, tinitus, dan hipotiroid dan
-
hipoparatiroid karena tiroksikosis Nyeri pada perut kuadran kiri atas Kesadaran pasien dapat menjadi stupor Splenomegali hampir selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada beberapa pasien, pembesaran limpa disertai dengan rasa tidak nyaman, nyeri, atau gangguan
-
pencernaan Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardi Memar, epistaksis, menorrhagia, atau perdarahan dari tempat tempat lain akibat fungsi
-
abnormal trombosit Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurukemia akibat pemecahan yang berlebihan
Epidemiologi CML adalah salah satu dari beberapa kanker diketahui disebabkan oleh mutasi tunggal genetik tertentu. Lebih dari 90% kasus dihasilkan dari kelainan sitogenetika dikenal sebagai kromosom Philadelphia. CML menyumbang 20% dari semua leukemia mempengaruhi orang dewasa. Leukemia jenis ini sering menyerang individu setengah baya. Penyakit ini jarang terjadi pada individu yang lebih muda. Pasien yang lebih muda mungkin mengalami bentuk yang lebih agresif dari CML, seperti pada fase akselerasi atau krisis blast. Leukemia jenis ini dapat muncul sebagai penyakit onset baru pada orang tua.
Etiologi Penyebab dari CML adalah Gen hybrid BCR-ABL yang berada dalam kromosom Philadelphia. Gen ini dapat memicu transkrip gen itu sendiri menjadi terusmenerus aktif dan anti-apoptosis sehingga memicu keganasan, membuat sel lebih rawan terhadap abnormalitas genetik. Gen ini juga mempercepat pembelahan sel sehingga ganas dan manifestasi klinisnya membahayakan. Penyakit ini sering ditemukan secara kebetulan dalam fase kronis, ketika didapatkan hitung leukosit meningkat pada pemeriksaan darah rutin atau adanya splenomegali pada pemeriksaan fisik umum. Gejala nonspesifik meliputi kelelahan dan penurunan berat badan dapat terjadi lama setelah timbulnya penyakit. Kehilangan energi dan penurunan toleransi latihan dapat terjadi selama fase kronis setelah beberapa bulan. Penatalaksanaan Tujuan pengobatan leukemia myelogenous kronis (CML) meliputi : 1. Remisi hematologi (jumlah sel darah lengkap [CBC] normal dan pemeriksaan fisik normal [yaitu, tidak ada organomegali]) 2. Remisi sitogenetika remisi (kembali normal dengan sel kromosom Ph-positif 0% 3. Remisi molekular (hasil polymerase chain reaction negatif [PCR] untuk mutasi BCR/ABL
mRNA),
yang
merupakan
upaya
untuk
penyembuhan
dan
memperpanjang hidup pasien CML memiliki 3 fase klinis: fase kronis awal, selama proses penyakit mudah dikontrol, kemudian fase transisi dan tidak stabil (fase akselerasi), dan, akhirnya, tentu saja lebih agresif (blast krisis), yang biasanya berakibat fatal. Dalam semua 3 fase, terapi suportif dengan transfusi sel darah merah atau platelet dapat digunakan untuk meringankan gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Di negara-negara Barat, 90% pasien dengan CML didiagnosis dalam tahap kronis. Jumlah sel darah putih pasien (WBC) biasanya dikontrol dengan obatobatan (remisi hematologi). Tujuan utama dari pengobatan selama fase ini adalah untuk mengendalikan gejala dan komplikasi akibat anemia, trombositopenia, leukositosis, dan splenomegali. Pengobatan standar pilihan sekarang mesylate imatinib (Gleevec), yang merupakan molekul kecil inhibitor spesifik BCR / ABL dalam semua tahap CML.
-
HU (Hydrea), penghambat sintesis deoksinukleotida, adalah agen myelosuppressive paling umum digunakan untuk mencapai remisi hematologi. Hitungan darah awal sel dimonitor setiap 2-4 minggu, dan dosis disesuaikan tergantung pada jumlah WBC dan platelet. Kebanyakan pasien mencapai remisi hematologi dalam waktu 1-2 bulan. Obat ini hanya menyebabkan durasi singkat myelosupresi, dengan demikian, bahkan jika jumlah sel lebih rendah daripada yang dimaksudkan, menghentikan pengobatan atau mengurangi dosis biasanya mengontrol jumlah darah. Dosis terapi pemeliharaan dengan HU jarang menghasilkan remisi sitogenetik.
-
Busulfan Busulfan (Myleran) merupakan agen alkilasi yang secara tradisional telah digunakan untuk menjaga jumlah WBC di bawah 15.000 sel / uL. Namun, efek myelosupresi dapat terjadi jauh di kemudian hari dan bertahan lama, yang membuat mempertahankan angka dalam batas normal lebih sulit. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan fibrosis paru, hiperpigmentasi, dan penekanan sumsum berkepanjangan yang berlangsung berbulan-bulan.
-
Imatinib mesylate (Gleevec) Mesylate imatinib (Gleevec) adalah inhibitor tirosin kinase yang menghambat tirosin kinase. BCR-ABL yang dihasilkan oleh Philadelphia (Ph1) kromosom. Imatinib menghambat proliferasi dan menginduksi apoptosis pada sel positif BCR / ABL. Dengan imatinib pada 400 mg / hari secara oral pada pasien dengan yang baru didiagnosis Ph1-
positif CML dalam tahap kronis, tingkat respon sitogenetika
lengkap adalah 70% dan tingkat kelangsungan hidup 3-tahun diperkirakan adalah 94%. Dengan dosis tinggi 800 mg / hari, tingkat sitogenetika lengkap respon meningkat menjadi 98%, tingkat respons tama molekul adalah 70%, dan tingkat respon lengkap molekuler adalah 40-50%. Mekanisme molekuler untuk resistensi imatinib primer tidak diketahui. Mutasi kinase-domain BCR / ABL merupakan mekanisme yang paling umum dari resistensi sekunder atau diperoleh untuk imatinib, terhitung 50-90% kasus, 40 mutasi yang berbeda saat ini telah dijelaskan. Karena imatinib mengikat ke domain kinase ABL dikonformasi tertutup atau tidak aktif untuk menginduksi perubahan konformasi, resistensi terjadi ketika mutasi mencegah domain kinase dari mengadopsi konformasi spesifik terhadap ikatan.
-
Leukapheresis Leukapheresis menggunakan pemisah sel dapat menurunkan jumlah WBC dengan cepat dan aman pada pasien dengan jumlah WBC lebih dari 300.000 sel / uL, dan dapat mengurangi gejala akut leukostasis, hiperviskositas, dan infiltrasi jaringan. Leukapheresis biasanya mengurangi jumlah WBC hanya sementara. Dengan demikian, sering dikombinasikan dengan kemoterapi Cytoreductive untuk efek lebih lama. ·
-
Interferon alfa
-
Transplantasi Sumsum tulang alogenik transplantasi (BMT) atau transplantasi sel induk saat ini satu-satunya obat yang telah terbukti untuk CML. Idealnya, harus dilakukan dalam tahap kronis dari penyakit daripada pada fase transformasi atau krisis blast. Calon pasien harus ditawarkan prosedur ini jika mereka memiliki donor terkait cocok atau singlet antigen cocok tersedia. Secara umum, pasien yang lebih muda umum lebih baik daripada pasien yang lebih tua. BMT harus dipertimbangkan dini pada pasien muda (<55 y) yang memiliki donor saudara kandung yang cocok. Semua saudara harus bertipe untuk antigen leukosit manusia (HLA)-A, HLA-B, dan HLA-DR. Jika tidak cocok, jenis HLA dapat dimasukkan ke dalam register sumsum tulang untuk donor yang tidak sepenuhnya cocok. Kebanyakan pasien dengan penyakit sisa minimal (MRD) setelah transplantasi
membutuhkan terapi pemeliharaan interferon. Untuk meminimalisir efek MRD atau Minimal Residual Disease, maka perlu dilakukan pemantauan jangka panjang. Tonggak terapi standar yang ingin dicapai adalah sebagai berikut : 1. Pada 3 bulan: respon hematologi lengkap (normal hitung darah lengkap dan tidak ada bukti penyakit extramedullary) 2. Pada 6 bulan: kecil sitogenetika respon (36% sampai 65% sel PH1 +) 3. Pada 12 bulan: utama sitogenetika respon (0% sampai 35% PH1 +) 4. Pada usia 18 bulan: lengkap sitogenetika respon (0% PH1 +) Kebanyakan pasien dengan respon sitogenetika lengkap terus memiliki temuan RT-PCR
positif,
menunjukkan kehadiran MRD. Penghentian obat pada pasien ini biasanya diikuti oleh kambuh, menunjukkan bahwa imatinib gagal untuk membasmi sel-sel induk leukemia pada pasien ini.
Awal intensifikasi dengan penggunaan dosis tinggi dari imatinib (800 mg / hari) atau imatinib dalam kombinasi dengan sitarabin atau interferon alfa dapat menyebabkan tingginya tingkat RT-PCR negatif, tapi ini perlu dikonfirmasi dalam studi lebih lanjut.
Komplikasi Penyakit keganasan dapat menimbulkan komplikasi bahkan kematian. Komplikasi yang tersering : -
Vasopressin – responsive diabetes insipidus karena kerusakan ginjal akibat keganasan pada darah sehingga mempengaruhi juga ke jaringan ginjal. Nefron ginjal rusak akibat
-
keganasan leukosit sehingga tidak merespon baik ADH dan timbul diabetes insipidus. Gagal sumsum tulang (Bone marrow failure). Sumsum tulang gagal memproduksi sel
-
darah merah dalam umlah yang memadai, yaitu : o Lemah dan sesak nafas, karena anemia(sel darah merah terlalu sedikit) o Infeksi dan demam, karena berkurangnya jumlah sel darah putih o Perdarahan, karena jumlah trombosit yang terlalu sedikit. Infeksi. Leukosit yang diproduksi saat keadaan LGK adalah abnormal, tidak menjalankan fungsi imun yang seharusnya. Hal ini menyebabkan pasien menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Selain itu pengobatan LGK juga dapat menurunkan
-
kadar leukosit hingga terlalu rendah, sehingga sistem imun tidak efektif. Infark Limpa. Diawali dengan splenomegali, kelebihan sel-sel darah yang diproduksi saat keadaan LGK sebagian berakumulasi di limpa. Hal ini menyebabkan limpa bertambah besar, bahkan beresiko untuk pecah. Ketika sudah pecah maka terjadi infark limpa
Prognosis Secara historis, kelangsungan hidup rata-rata pasien dengan CML adalah 3-5 tahun dari saat diagnosis. Saat ini, pasien dengan CML memiliki hidup rata-rata 5 tahun atau lebih dan 5 tahun tingkat kelangsungan hidup 50-60%. Peningkatan tersebut telah dihasilkan dari diagnosis dini, terapi ditingkatkan dengan interferon dan transplantasi sumsum tulang, dan perawatan suportif yang lebih baik. Manifestasi dari blast krisis serupa dengan leukemia akut. Hasil pengobatan tidak memuaskan, dan kebanyakan pasien menyerah pada penyakit sekali
fase ini berkembang. Fase akut, atau krisis blast, mirip dengan leukemia akut, dan kelangsungan hidup adalah 3-6 bulan pada tahap ini.3
Kesimpulan Chronic Myelositic Leukemia (CML) atau Leukemia granulositik kronik adalah kelainan diperoleh yang melibatkan sel batang hematopoietik. Hal ini ditandai oleh kelainan sitogenetika terdiri dari translokasi timbal balik antara lengan panjang kromosom 22 dan 9. Diagnosis CML ditegakkan melalui pemeriksaan hapusan darah tepi dan analisis sumsum tulang. Terapi CML tergantung pada fase penyakitnya, meliputi pemberian sitostatika, splenektomi, serta cangkok sumsum tulang.
Daftar Pustaka Harmening DM. Clinical hematology and fundamentals of hemotasis. 6th ed. Philadelphia: FA Davis Company; 2012.h.265-6. Sudiono, Herawati, dkk. Leukemia. Penuntun Patologi Klinik Hematologi. Cetakan ke3.Jakarta: Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida; 2009.h.140-52. Hoffbrand, A.V. Leukemia Akut. Kapita Selekta Hematologi. Edisi ke-5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010.h.150-63. Price SA. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: EGC;2010.h.268-81. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid ke-1 dan ke-2. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2010.h.442,509-23,529-33,1109-13.