LAPORAN TUTORIAL BLOK KEDARURATAN MEDIK SKENARIO 1 “APAKAH SAYA ALERGI?”
KELOMPOK A-10 ADITYO KUMORO JATI
G0013005
ALIFIS SAYANDRI MEIASYIFA G0013019 ANDIKA PRATAMA
G0013027
DEONIKA ARIESCIEKA PUTRI
G0013071
DEVITA YUNIEKE PUTRI
G0013073
KARINA FADHILAH
G0013127
NAILATUL ARIFAH
G0013171
RIDHANI RAHMA V
G0013201
TARANIDA HANIFAH
G0013223
VINCENTIUS NOVIAN ROMILIO
G0013231
YANI DWI PRATIWI
G0013237
ZAKA ZAUHAR FIRDAUS
G0013245
TUTOR : Istar Yuliadi, dr., M.Si. FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA TAHUN 2016
1
BAB I PENDAHULUAN
APAKAH SAYA ALERGI? Seorang laki-laki berusia 40 tahun diantar oleh keluarganya ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit. Dari anamnesis didapatkan nyeri kepala, nyeri perut, mual, muntah lebih dari 5 kali, diare 10 kali terjadi 1 jam setelah minum susu kalengan dari kulkas yang sudah terbuka kemasannya. Dari anamnesis didapatkan riwayat tidak tahan terhadap susu sapi saat masih bayi, tetapi setelah dewasa tidak pernah ada masalah dengan susu sapi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, kesadaran apatis, tekanan darah 70/50 mmHg, laju napas 26x/menit, suhu 37 O C dan denyut nadi 110x/menit. Ekstremitas teraba dingin, capilarry refill time > 2 detik. Pada auskultasi kedua lapang paru, di dapatkan suara dalam batas normal. Pasien dilakukan pemasangan jalur intravena 2 jalur dengan abbocath 18, dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Saat di IGD diberikan terapi oksigenasi nasal kanul 3 lpm, infus Ringer Laktat tetesan cepat, injeksi adrenalin dan arang aktif. Pasien selanjutnya diputuskan untuk rawat inap dan dilakukan konseling terhadap keluarganya. Didapatkan Hb 12 gr/dl, Ht 40%, leukosit 15.000 mg/dl, trombosit 375.000/ul, ureum 43 mg/dl, kreatinin 1,3 mg/dl, saturasi oksigen 90%, Na 130 mmol/L, K 3.0 mmol/L, Cl 102 mmol/L.
2
BAB II DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Langkah I : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut: 1. Abbocath : Jarum infus atau abocath atau kateter intravena, secara umum diberi warna yang berbeda-beda dengan alasan untuk mempermudah petugas mengenali ukuran abbocath yang diperlukan. Semakin rendah ukuran abbocath maka semakin besar jarum abochat. 2. Nasal kanul : Merupakan salah satu metode oksigenasi yang menggunakan selang tipis yang terdapat 2 tonjolan kecil berlubang yang nanti akan dimasukkan ke dalam lubang hidung pasien. Terapi ini sangat mudah dan nyaman bagi pasien. Biasanya dialirkan 1-6 lpm oksigen dengan konsenrasi 24-40%. 3. Arang aktif : senyawa karbon amorf yang dapat dihasilkan dari bahanbahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan cara khusus atau dengan proses aktivasi dengan menghilangkan hidrogen, gas-gas, air, atau senyawa lain dari permukaan karbon sehingga terjadi perubahan fisik untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas atau besar. Pada proses aktivasi terbentuk pori-pori baru karena adanya pengikisan atom karbon melalui oksidasi atau pemanasan. Arang aktif terdiri atas 85-95% karbon dan sisanya berupa hidrogen, oksigen, sulfur, dan nitrogen serta senyawa-senyawa lain yang terbentuk dari proses pembuatan
3
B. Langkah II : Menentukan/mendefinisikan permasalahan Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan patofisiologinya dari keadaan pada skenario? 2. Bagaimana interpretasi laboratorium pada kasus dalam skenario?
C. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara mengenai permasalahan 1.
Interpretasi pemeriksaan fisik dan vital sign a. Kesadaran apatis, yaitu merupakan kesadaran acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitarnya. Nilai GCS untuk kesadaran apatis yaitu 1012. b. Tekanan darah 70/50 mmHg, mengalami penurunan c. Laju napas 26x/menit, mengalami peningkatan. Nilai normalnya adalah 16-20x/menit. d. Suhu 370C, suhu tubuh pasien normal e. Denyut nadi 110x/menit, denyut
nadi
pasien
mengalami
peningkatan. Nilai normal frekuensi denyut nadi yaitu 60100x/menit. f. Capillary refill time >2detik, CRT pasien sangat lambat. Jika CRT <2 2.
detik termasuk cepat (normal), CRT tepat 2 detik termasuk lambat. Interpretasi Pemeriksaan Lab Nilai normal Hb : Wanita Pria Anak Bayi baru lahir
12-16 gr/dL 14-18 gr/dL 10-16 gr/dL 12-24gr/dL
Penurunan Hb terjadi pada penderita: anemia penyakit ginjal, dan pemberian cairan intra-vena (misalnya infus) yang berlebihan. Selain itu dapat pula disebabkan oleh obat-obatan tertentu seperti antibiotika, aspirin, antineoplastik (obat kanker), indometasin (obat antiradang).
4
Peningkatan Hb terjadi pada pasien dehidrasi, penyakit paru obstruktif menahun (COPD), gagal jantung kongestif, dan luka bakar.
Nilai normal HMT : Anak Pria dewasa Wanita dewasa
33 -38% 40 – 48 % 37 – 43 %
Penurunan HMT terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan darah akut (kehilangan darah secara mendadak, misal pada kecelakaan), anemia, leukemia, gagalginjal kronik, mainutrisi, kekurangan vitamin B dan C, kehamilan, ulkuspeptikum (penyakit tukak lambung). Peningkatan HMT terjadi pada dehidrasi, diare berat, eklampsia (komplikasi pada kehamilan), efek pembedahan, dan luka bakar, dan Iain-Iain.
Nilai normal Leukosit: Bayi baru lahir 9000 -30.000 /mm3 Bayi/anak 9000 – 12.000/mm3 Dewasa 4000-10.000/mm3 Peningkatan jumlah leukosit (disebut Leukositosis) menunjukkan adanya proses infeksi atau radang akut,misalnya pneumonia (radang paru-paru), meningitis (radang selaput otak), apendiksitis (radang usus buntu), tuberculosis, tonsilitis, dan Iain-Iain. Penurunan jumlah Leukosit (disebut Leukopeni) dapat terjadi pada infeksi tertentu terutama virus, malaria, alkoholik, dan Iain-Iain.
Trombosit
5
Penurunan sampai di bawah 100.000 permikroliter (Mel) berpotensi terjadi perdarahan dan hambatan perm- bekuan darah. Jumlah normal pada tubuh manusia adalah 200.000-400.ooo/Mel darah. Biasanya dikaitkan dengan penyakit demam berdarah. Nilai Normal Ureum (Nilai Normal BUN) Pria : Ureum : 15 – 40 (mg/dl) Wanita : Ureum : 15 – 40 (mg/dl) Nilai Normal Kreatinin Pria : Kreatinin : 0.5 – 1.5 (mg/dl) Wanita : Kreatinin : 0.5 – 1.5 (mg/dl) Saturasi Oksigen Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara 95 – 100 %. Saturasi oksigen arteri (Sa O2) nilai di bawah 90% menunjukan keadaan hipoksemia (yang juga dapat disebabkan oleh anemia ). Hipoksemia karena SaO2 rendah ditandai dengan sianosis . Natrium (Na) Natrium adaiah salah satu mineral yang banyak terdapat pada cairan elektrolit ekstraseluler (di luar sel), mempunyai efek menahan air, berfungsi untuk mempertahankan cairan dalam tubuh, mengaktifkan enzim, sebagai konduksi impuls saraf. Nilai normal dalam serum : Dewasa Anak Bayi Nilai normal dalam urin :
135-145 mEq/L 135-145 mEq/L 134-150 mEq/L
40 – 220 mEq/L/24 jam
6
Penurunan Na terjadi pada diare, muntah, cedera jaringan, bilas lambung, diet rendah garam, gagal ginjal, luka bakar, penggunaan obat diuretik (obat untuk darah tinggi yang fungsinya mengeluarkan air dalam tubuh). Peningkatan Na terjadi pada pasien diare, gangguan jantung krohis, dehidrasi, asupan Na dari makanan tinggi,gagal hepatik (kegagalan fungsi hati), dan penggunaan obat antibiotika, obat batuk, obat golongan laksansia (obat pencahar). Kalium (K) Kalium merupakan elektrolit tubuh yang terdapat pada cairan vaskuler (pembuluh darah), 90% dikeluankan melalui urin, rata-rata 40 mEq/L atau 25 -120 mEq/24 jam wa laupun masukan kalium rendah. Nilai normal : Dewasa Anak
3,5 – 5,0 mEq/L 3,6 – 5,8 mEq/L
Bayi 3,6 – 5,8 mEq/L Peningkatan kalium (hiperkalemia) terjadi jika terdapat gangguan ginjal, penggunaan obat terutama golongan sefalosporin, histamine, epinefrin, dan Iain-Iain. Penurunan kalium (hipokalemia) terjadi jika masukan kalium dari makanan rendah, pengeluaran lewat urin meningkat, diare, muntah, dehidrasi, luka pembedahan. Makanan yang mengandung kalium yaitu buah-buahan, sari buah, kacang-kacangan, dan Iain-Iain. KLorida (Cl) Merupakan elektrolit bermuatan negatif, banyak terdapat pada cairan ekstraseluler (di luar sel), tidak berada dalam serum, berperan penting dalam keseimbangan cairan tubuh, keseimbangan asam-basa dalam
7
tubuh. Klorida sebagian besar terikat dengan natrium membentuk NaCI (natrium klorida). Nilai normal : Dewasa 95-105 mEq/L Anak 98-110 mEq/L Bayi 95 -110 mEq/L Bayi baru lahir 94-112 mEq/L Penurunan klorida dapat terjadi pada penderita muntah, bilas lambung, diare, diet rendah garam, infeksi akut, luka bakar, terlalu banyak keringat, gagal jantung kronis, penggunaan obat Thiazid, diuretik, dan Iain-lain. Peningkatan klorida terjadi pada penderita dehidrasi,cedera kepala, peningkatan natrium, gangguan ginjal,penggunaan obat kortison, asetazolamid, dan Iain-Iain.
8
D. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah 3.
Pasien 40 tahun
ul, napas suhu 37O C dan nadioksigen 110x/menit. teraba dingin, refill time ureum26x/menit, 43 mg/dl, kreatinin Gejala 1,3 mg/dl, : denyut nyeri saturasi kepala, nyeri perut, 90%, Ekstremitas Na mual, 130muntah mmol/L, lebih Riwayat K 3.0 dari mmol/L, dahulu 5 capilarry kali,Cl :diare alergi 102 10 mmol/L. susu kali sa te>
Diagnosis Banding
Emergency
Non emergency
Terapi awal
Terapi
9
E. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran 1.
Mekanisme alergi susu sapi 2.
Patofisiologi keluhan diare, mual, muntah setelah minum susu yang sudah terbuka
3.
Cara membedakan pasien darurat dan non darurat
4.
Penanganan pasien di IGD (ringer laktat, injeksi adrenalin dan arang aktif)
5.
Dasar
penilaian
dan
penanganan
pasien
kegawatdaruratan medik 6.
Jenis Abbocath
7.
Jenis pemberian terapi oksigen
8.
Kemungkinan intoksikasi bakteri
F. Langkah VI : Mengumpulkan Informasi Baru (Belajar Mandiri).
G. Langkah VII : Melaporkan, Membahas, dan Menata Kembali Informasi Baru yang Diperoleh.
1. Mekanisme alergi susu sapi Alergi susu sapi dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: a Kelompok I: awitan timbul beberapa menit setelah memakan makanan yang jumlahnya sedikit. Gejala biasanya berupa urtikaria, angioedema, eksaserbasi eksema dan gejala saluran napas. Uji kulit (+), kadar IgE spesifik tinggi.
10
b
Kelompok II: awitan timbul beberapa jam setelah memakan makanan yang jumlahnya cukup banyak. Gejjala pada saluran cerna berupa muntah dan diare. Uji kulit (-) dan kadar IgE spesifik negative. Kelompok ini disebut intoleran protein susu sapi atau enteropati susu
c
sapi. Kelompok III: awitan timbul lebih lama samapi setelah 20 jam kemudian dan jumlah yang diminum sangat banyak. Gejala muntah, diare, gejala saluran napas dan eksaserbasi eksema. Uji kulit kadang dapat positif pada pasien dengan eksema kulit.
2. Patofisiologi keluhan Pada skenario didapatkan keluhan berupa diare, mual, muntah,. Keluhan-keluhan tersebut muncul setelah 1 jam sebelumnya pasien mengkonsumsi susu yang kemasannya telah terbuka. Dari keluhan tersebut dicurigai, pasien mengalami keracunan histamine yng berasal dari susu sapi. Gejala yang timbul akibat keracunan tersebut seperti halnya gejala pada keracunan makanan pada umumnya, yaitu mual, muntah, sakit kepala, kadang disertai rash, hingga sesak nafas. Selain keracunan histamine, pasien diduga mengalami keracunan makanan akibat bakteri pada susu sapi yang mengakibatkan terjadinya diare pada pasien. Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. (Ciesla, 2003; Guerrant, 2001) Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.Diare dapat disebabkan infeksi maupun
11
non infeksi.Dari penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit.(Lung, 2003) Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare noninflamasi dan Diare inflamasi.Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomenseperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam,tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir
dan/atau darah,
serta mikroskopis
didapati
sel leukosit
polimorfonuklear. Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah.Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada samasekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutamapada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti.Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit. Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas.Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan
osmolaritas
dalamlumen
yang
menarik
air
dari
plasmasehingga terjadi diare.Contohnyaadalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium. Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin vasoactive intestinalpolypeptide (VIP)juga dapat menyebabkan diare sekretorik. Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi
12
akibat infeksi bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD)atau akibat radiasi. Kelompok
lain
adalah
akibat
gangguan
motilitas
yang
mengakibatkan waktu tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus iritabel atau diabetes melitus. Diare dapat terjadi akibat lebih darisatu mekanisme.Pada infeksi bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus.Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare.Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses. Pada
dasarnya
mekanismeterjadinya
diare
akibat
kuman
enteropatogen meliputipenempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin.Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus. (Ciesla, 2003; Guerrant, 2001) Terjadinya diare, mual dan muntah yang berlebihan dapat memicu terjadinya syok hipovolemik. Hal ini ditunjukkan pada pasien didapatkan tanda-tanda syok, yaitu tekanan darah rendah, takikardi laju respirasi tinggi serta akral dingin. Pasien juga diduga mengalami syok anafilaktik, akibat dari keracunan histamine tersebut.Maka dari itu, saat di IGD pasien langsung diberi injeksi adrenalin guna mengatasi syok anafilaktik tersebut. 3.
Cara membedakan pasien dawat darurat dan non gawat darurat Kriteria pasien pasien gawat darurat: a. b. c. d. e. f.
Nyeri dada Perdarahan yang tidak dapat dihentikan Nyeri yang tidak tertahankan Batuk darah/muntah darah Sesak napas/kesulitan bernapas Pusing yang disertai adanya kelemahan otot/penglihatan kabur
13
g. Diare/muntah yang hebat h. Penurunan kesadaran yang tiba-tiba i. Korban 4. Penanganan pasien di IGD (ringer laktat, injeksi adrenalin dan arang aktif) A. TERAPI CAIRAN Macam atau jenis cairan infus dan kegunaanya : 1
Cairan hipotonik. Adalah cairan infuse yang osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan
serum
dibandingkan
serum),
(konsentrasi sehingga
ion larut
Na+ dalam
lebih
rendah
serum,
dan
menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%. 2
Cairan Isotonik. Adalah cairan infuse yang osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-
14
Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%). 3
Cairan hipertonik. Adalah cairan infus yang osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.
Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya :
Kristaloid Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.
Koloid Ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin
dan steroid. Cairan elektrolit (kristaloid) : Sesuai dengan penggunaannya dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu untuk pemeliharaan, pengganti dan tujuan khusus. Cairan pemeliharaan (rumatan) :
15
Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses, paru dan keringat. Jumlah kehilangan air tubuh ini berbeda sesuai dengan umur, yaitu: o Dewasa : 1,5 – 2 ml/kg/jam o Anak-anak : 2 – 4 ml/kg/jam o Bayi : 4 – 6 ml/kg/jam o Orok (neonatus) : 3 ml/kg/jam Mengingat cairan yang hilang dengan cara ini sedikit sekali mengandung elektrolit, maka sebagai cairan pengganti adalah hipotonik, dengan perhatian khusus untuk natrium. Cairan kristaloid untuk pemeliharaan misalnya dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45% (D5NaCl 0,45) sediaan cairan pemeliharaan (rumatan) Cairan pengganti : Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh yang disebabkan oleh sekuestrasi atau proses patologi yang lain (misalnya fistula, efusi pleura, asites drainase lambung dsb). Sebagai cairan pengganti untuk tujuan ini digunakan cairan isotonis, dengan perhatian khusus untuk konsentrasi natrium, misalnya dekstrose 5 % dalam ringer laktat (D5RL), NaCl 0,9 %, D5 NaCl sediaan cairan pengganti Cairan untuk tujuan khusus (koreksi): Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya natrium bikarbonat 7,5 %, NaCl 3 %, dll. Sediaan Cairan Koreksi Cairan non elektrolit : Contoh dekstrose 5 %, 10 %, digunakan untuk memenuhi kebutuhan air dan kalori, dapat juga digunakan sebagai cairan pemeliharaan. Cairan koloid :
16
Disebut juga sebagai plasma ekspander, karena memiliki kemampuan besar dalam mempertahankan volume intra-vaskuler. Contoh cairan ini antara lain : Dekstran, Haemacel, Albumin, Plasma, Darah. Cairan koloid ini digunakan untuk menggantikan kehilangan cairan intra-vaskuler.
B. PEMBERIAN ADRENALIN IV Indikasi : -
Henti jantung : fibrilasi ventrikel (VF), takikardi ventrikel tanpa
denyut nadi (pulselessVT), asistol, PEA (Pulseless Electrical Activity) -
Bradikardia simtomatis
-
Hipotensi berat
-
Anafilaksis, reaksi alergi berat : kombinasi bersama sejumlah besar
cairan, kortikosteroid, antihistamin C. PEMBERIAN ARANG AKTIF Arang aktif merupakan arang yang diproses sedemikian rupa sehingga mempunyai daya serap/absorpsi yang tinggi terhadap bahan yang berbentuk larutan atau uap. Bahan baku yang paling banyak beredar di pasaran adalah dari batok kelapa. Fungsi dari arang aktif adalah sebagai bahan penyerap, dan penjernih, juga bisa sebagai katalisator.Industri kimia, farmasi, makanan dan minuman adalah pengguna terbesar untuk produk ini.Arang aktif diperkirakan mengurangi penyerapan zat beracun sampai dengan 60%.Arang aktif
17
itu sendiri merupakan bubuk hitam yang tidak berbau, tidak berasa, dan tidak beracun. Indikasi : hampir semua keracunan obat dan toksin kecuali bahan yang tertera pada tabel. Diberikan setelah bilas lambung Kontra indikasi : -
ileus/obstruksi gastrointestinal
-
setelah menelan bahan korosif (asam dan basa kuat)
-
setelah menelan hidrokarbon - apabila akan dilakukan pemeriksaan endoskopi karena dapat menghalangi pandangan Dosis : 25-10 gr (dewasa/remaja), 25-50 gr (anak 1-12th), dan 1 gr/kg untuk anak kurang dari 1th Cara pemberian : dicampur rata dengan perbandingan 30 gr arang aktif dengan 240ml air seperti sop kental. Dapat dicampur dengan sorbitol atau katartik saline. Komplikasi :
-
muntah setelah pemberian yang cepat
-
konstipasi
-
distensi lambung
-
efek katartik (jika diberi bersamaan)
-
aspirasi arang aktif, empyema
5. Dasar penilaian dan penanganan pasien kegawatdaruratan medik a Preparation Tahap preparation dibagi lagi menjadi 2, yaitu pre hospital dan hospital phase. Pada pre hospital phase yang harus diperhatikan adalah
18
pemeliharaan jalan napas, kontrol perdarahan luar dan syok, imobilisasi pasien, dan transport segera ke fasilitas kesehatan terdekat yang memadai. Koordinasi yang baik harus terjalin antara petugas lapangan dengan petugas rumah sakit. Petugas lapangan harus melaporkan dengan jelas keadaan pasien kepada paetugas triase di rumah sakit agar pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan tingkat keparahan penyakit dan luka yang diderita. Pada hospital phase petugas kesehatan harus melakukan perencanaan yang baik sebelum kedatangan pasien. Fasilitas kesehatan tersebut harus menyediakan ruang resusitasi, alat – alat untuk membuka jalan napas dan kristaloid harus sudah tersedia dan dapat langsung dipakai. Alat – alat untuk pemeriksaan tambahan juga harus tersedia secara portabel. Seluruh petugas kesehatan yang menangani pasien harus menggunakan alat perlindungan diri yang memadai. b TRIAGE 1 Definisi Triage awalnya terbentuk dari system Simple Triage and Rapid Treatment (START) yang mana START berkembang pada tahun 1980an sebagai alur penanggulangan pada suatu bencana. Banyak versi
dari
START
hanya
mengidentifikasi
pasien
tanpa
memberikan tatalaksana apapun sampai transportasi datang. TRIAGE
dalam bahasa Perancis berarti ‘memilih’ atau
‘mengelompokkan’. TRIAGE adalah proses menentukan prioritas untuk melakukan terapi atau tatalaksana pada pasien atau grup pasien. Pengelompokkan pasien berdasarkan kategori tertentu dilakukan oleh ahli yang sudah berpengalaman. Kebanyakan memakai metode sistemik dan ilmiah untuk pencapaian kondisi pasien untuk menginterpretasi keadaan klinis dan mengintervensi pada fase awal untuk mencegah kematian. 2
Klasifikasi TRIAGE berdasarkan warna a Black/ Expectant
19
b
Pasien tidak bisa bertahan hidup, dilihat dari beratnya luka,
tingkat ketersediaan penanganan, atau keduanya. Pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal
meski mendapat pertolongan. Misalnya: Cedera kepala berat Luka bakar derajat 3 hampir di seluruh tubuh Kerusakan organ vital Red/ Immediate Bisa diselamatkan dengan intervensi cepat dan transport Perbaikan ABC ketika penanganan Membutuhkan perhatian medis dalam menit kelangsungan hidup (±60menit), misalnya : - Tension pneumothorax - Distress pernapasan (RR >30x/menit) - Perdarahan internal vasa besar - Perdarahan hebat - Cedera jalan nafas - Cardiac arrest - Syok – nadi radial tidak teraba, akral dingin, CRT >2 -
c
detik Luka terbuka di abdomen atau thoraks Trauma kepala berat Komplikas diabetes Keracunan Persalinan patologis Tidak sadar Luka bakar, termasuk luka bakar inhalasi Fraktur terbuka
Yellow/ Delayed Transport pasien bisa ditunda Termasuk yang luka serius dan mengancam jiwa, tapi status tidak memburuk pada beberapa jam, misalnya : Fraktur tertutup pada ekstremitas (perdarahan
d
terkontrol) Perdarahan laserasi terkontrol Luka bakar <25% luas permukaan tubuh Trauma tulang belakang Perdarahan sedang Trauma kepala tanpa gangguan kesadaran Green/ Minor
20
Luka-luka ringan, misalnya : Laserasi minor Memar dan lecet Luka bakar superficial Status tidak memburuk walau beberapa hari Masih bisa mengurus diri sendiri (contoh: bisa berjalan
walau terluka) 3
Klasifikasi TRIAGE berdasarkan tempat Triage di UGD Diterapkan sehari-hari untuk assessment prioritas penanganan pasien di UGD. Prioritas diberikan pada pasien yang paling membutuhkan. Sumber daya tersedia dalam kualitas dan kuantitas yang cukup baik. Prosedur Triage di UGD : Menilai adakah tanda emergency (ABCD). Penatalaksanaan segera diberikan begitu teridentifikasi satu tanda emergency - Jika terdapat tanda A, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan -
mencari tanda B. Jika terdapat tanda B, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan
-
mencari tanda C. Jika terdapat tanda C, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan
mencari tanda D. - Jika terdapat tanda D, atasi. Bila tidak terdapat tanda emergency, dilanjutkan dengan penilaian adakah tanda prioritas. Tempatkan pasien sesuai prioritasnya.
Bila
pasien
mempunyai tanda prioritas maka pasien ditempatkan di urutan depan penanganan. Sementara menunggu, pasien dapat diberikan terapi suportif. Pasien yang tidak mempunyai tanda emergency atau tanda
prioritas kembali ke antrian untuk menunggu perawatan. Berpindah ke pasien berikutnya. Triage in-patient Diterapkan sehari-hari di setting unit perawatan, misalnya ICU, kamar bedah, dan unit rawat jalan. Prioritas diberikan
21
pada
pasien
yang
paling
membutuhkan
pertolongan
berdasarkan kriteria medis. Sumber daya tersedia dengan baik. Triage incident Diterapkan pada setting kecelakaan dengan jumlah korban cukup banyak, misalnya kecelakaan bus atau pesawat dan kebakaran.
Triage
diprioritaskan
untuk
evakuasi
dan
penanganan pasien. Biasanya terdapat keterbatasan sumber daya lokal, meskipun demikian pasien tetap dapat memperoleh
penatalaksanaan maksimal di fasilitas kesehatan. Triage militer Diterapkan pada setting medan pertempuran. Terdapat keterbatasan sumber daya, terutama bila suplai sumber daya
terganggu. Triage bencana/ masal Diterapkan pada setting bencana dengan korban masal yang melebihi kemampuan sistem pelayanan kesehatan lokal dan regional. Protokol triage bencana memprioritaskan pada penyelamatan sebagian besar korban dan mengoptimalkan sumber daya yang tersedia
6. Jenis Abbocath Jarum infus atau abocath atau kateter intravena, secara umum diberi warna yang berbeda-beda dengan alasan untuk mempermudah petugas mengenali ukuran abbocath yang diperlukan. Semakin rendah ukuran abochat maka semakin besar jarum abochat. Macam-macam Ukuran Abocath Menurut Potter (1999) ukuran jarum infuse yang biasa digunakan adalah :
Ukuran
16G
warna
abu-abu
Guna : Dewasa, Bedah Mayor, Trauma, Apabila sejumlah besar cairan perlu
22
diinfuskan Pertimbangan Perawat : Sakit pada insersi, Butuh vena besar Ukuran
18G
Warna
hijau
Guna : Anak dan dewasa, Untuk darah, komponen darah, dan infus kental lainnya Pertimbangan Perawat : Sakit pada insersi, Butuh vena besar Ukuran
20G
Warna
merah
muda
Guna : Anak dan dewasa, Sesuai untuk kebanyakan cairan infus, darah, komponen darah,
dan
infus
kental
lainnya
Warna
biru
Pertimbangan Perawat : Umum dipakai Ukuran
22G
Guna : Bayi, anak, dan dewasa (terutama usia lanjut), Cocok untuk sebagian besar cairan infus. Pertimbangan Perawat : Lebih mudah untuk insersi ke vena yang kecil, tipis dan rapuh, Kecepatan tetesan harus dipertahankan lambat, Sulit insersi melalui kulit yang keras Ukuran
24G
Warna
kuning,
26
Warna
putih
Guna : Nenonatus, bayi, anak dewasa (terutama usia lanjut), Sesuai untuk sebagian
besar
cairan
infus,
tetapi
kecepatan
tetesan
lebih
lambat
Pertimbangan Perawat : Untuk vena yang sangat kecil, Sulit insersi melalui kulit keras
Selain ukuran di atas, ada jarum infus yang mirip sayap kupu-kupu yang
kita sebut sebagai wing. Jarumnya padat dan sangat halus. 7. Terapi Oksigen a. Definisi Merupakan cara pemberian oksigen kepada pasien untuk mencegah terjadinya hipoksia (Perry dan Potter, 2006). b Tujuan terapi
23
1. Mencegah dan mengatasi keadaan hipoksia 2. Memberikan transpor oksigen yang adekuat dalam darah dan menurunkan upaya bernapas dan mengurangi stress pada miokardium. c
Indikasi utama pemberian 1. Hipoksemia 2. Distress pernapasan 3. Henti napas 4. Hipotensi 5. Henti jantung 6. Penurunan curah jantung 7. Asidosis metabolik
d Metode pemberian 1. Sistem aliran rendah Dialirkan
oksigen
dengan
tekanannya
lebih
rendah
dibandingkan insprirasi pasien sehingga kecepetan oksigen yang dapat dihirup meningkat. Yang sering digunakan adalah nasal kanul dan masker simpel. 2. Sistem aliran tinggi Pemberian oksigen dengan frekuensi cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan volume inspirasi pasien. Contohnya adalah masker dengan venturi, dimana oksigen dialirkan melalui venturi yang akan dihasilkan tekanan negatif sehingga udara luar dapat dihisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih banyak.
24
8. Kemungkinan intoksikasi bakteri Keracunan pangan yang disebabkan oleh produk toksik bakteri patogen (baik itu toksin maupun metabolit toksik) disebut intoksikasi. Bakteri tumbuh pada pangan dan memproduksi toksin Jika pangan ditelan, maka toksin tersebut yang akan menyebabkan gejala, bukan bakterinya. Beberapa bakteri patogen yang dapat mengakibatkan keracunan pangan melalui intoksikasi adalah: a. Bacillus cereus Bacillus cereus merupakan bakteri yang berbentuk batang, tergolong bakteri Gram-positif, bersifat aerobik, dan dapat membentuk endospora. Keracunan akantimbul jika seseorang menelan bakteri atau bentuk sporanya, kemudian bakteri bereproduksi dan menghasilkan toksin di dalam usus, atau seseorang mengkonsumsi pangan yang telah mengandung toksin tersebut. Ada dua tipe toksin yang dihasilkan oleh Bacillus cereus, yaitu toksin yang menyebabkan diare dan toksin yang menyebabkan muntah (emesis). Gejala keracunan: - Bila seseorang mengalami keracunan yang disebabkan oleh toksin penyebab diare, maka gejala yang timbul berhubungan dengan saluran pencernaan bagian bawah berupa mual, nyeri perut seperti kram, diare berair, yang terjadi 8-16 jam setelah mengkonsumsi pangan. - Bila seseorang mengalami keracunan yang disebabkan oleh toksin penyebab muntah, gejala yang timbul akan bersifat lebih parah dan akut serta berhubungan dengan saluran pencernaan bagian atas, berupa mual dan muntah yang dimulai 1-6 jam setelah mengkonsumsi pangan yang tercemar. Bakteri penghasil toksin penyebab muntah bisa mencemari pangan berbahan beras, kentang tumbuk, pangan yang mengandung pati, dan
25
tunas sayuran. Sedangkan bakteri penghasil toksin penyebab diare bisa mencemari sayuran dan daging. Tindakan pengendalian khusus bagi rumah tangga atau penjual makanan terkait bakteri ini adalah pengendalian suhu yang efektif untuk mencegah pertunasan dan pertumbuhan spora.Bila tidak tersedia lemari pendingin, disarankan untuk memasak pangan dalam jumlah yang sesuai untuk segera dikonsumsi. Toksin yang berkaitan dengan sindrom muntah bersifat resisten terhadap panas dan pemanasan berulang,
proses
penggorengan
pangan
juga
tidak
akan
menghancurkan toksin tersebut. b. Clostridium botulinum Clostridium botulinum merupakan bakteri Gram-positif yang dapat membentuk spora tahan panas, bersifat anaerobik, dan tidak tahan asam tinggi.Toksin yang dihasilkan dinamakan botulinum, bersifat meracuni saraf (neurotoksik) yang dapat menyebabkan paralisis.Toksin botulinum bersifat termolabil.Pemanasan pangan sampai suhu 800 C selama 30 menit cukup untuk merusak toksin.Sedangkan spora bersifat resisten terhadap suhu pemanasan normal dan dapat bertahan hidup dalam pengeringan dan pembekuan. Gejala keracunan: Gejala botulism berupa mual, muntah, pening, sakit kepala, pandangan berganda, tenggorokan dan hidung terasa kering, nyeri perut, letih, lemah otot, paralisis, dan pada beberapa kasus dapat menimbulkan kematian.Gejala dapat timbul 12-36 jam setelah toksin tertelan. Masa sakit dapat berlangsung selama 2 jam sampai 14 hari. Penanganan: Tidak ada penanganan spesifik untuk keracunan ini, kecuali mengganti cairan tubuh yang hilang. Kebanyakan keracunan dapat terjadi akibat cara pengawetan pangan yang keliru (khususnya di rumah atau industri rumah tangga),
26
misalnya pengalengan, fermentasi, pengawetan dengan garam, pengasapan, pengawetan dengan asam atau minyak. Bakteri ini dapat mencemari produk pangan dalam kaleng yang berkadar asam rendah, ikan asap, kentang matang yang kurang baik penyimpanannya, pie beku, telur ikan fermentasi, seafood, dan madu. Tindakan pengendalian khusus bagi industri terkait bakteri ini adalah penerapan sterilisasi panas dan penggunaan nitrit pada daging yang dipasteurisasi. Sedangkan bagi rumah tangga atau pusat penjualan makanan antara lain dengan memasak pangan kaleng dengan seksama (rebus dan aduk selama 15 menit), simpan pangan dalam lemari pendingin terutama untuk pangan yang dikemas hampa udara dan pangan segar atau yang diasap. Hindari pula mengkonsumsi pangan kaleng yang kemasannnya telah menggembung. c. Staphilococcus aureus Terdapat 23 spesies Staphilococcus, tetapi Staphilococcus aureus merupakan bakteri yang paling banyak menyebabkan keracunan pangan. Staphilococcus aureus merupakan bakteri berbentuk kokus/bulat, tergolong dalam bakteri Gram-positif, bersifat aerobik fakultatif, dan tidak membentuk spora.Toksin yang dihasilkan bakteri ini bersifat tahan panas sehingga tidak mudah rusak pada suhu memasak normal. Bakteri dapat mati, tetapi toksin akan tetap tertinggal. Toksin dapat rusak secara bertahap saat pendidihan minimal selama 30 menit. Pangan yang dapat tercemar bakteri ini adalah produk pangan yang kaya protein, misalnya daging, ikan, susu, dan daging unggas; produk pangan matang yang ditujukan dikonsumsi dalam keadaan dingin, seperti salad, puding, dan sandwich; produk pangan yang terpapar pada suhu hangat selama beberapa jam; pangan yang disimpan pada lemari pendingin yang terlalu penuh atau yang suhunya kurang rendah;
27
serta pangan yang tidak habis dikonsumsi dan disimpan pada suhu ruang. Gejala keracunan: Gejala keracunan dapat terjadi dalam jangka waktu 4-6 jam, berupa mual, muntah (lebih dari 24 jam), diare, hilangnya nafsu makan, kram perut hebat, distensi abdominal, demam ringan. Pada beberapa kasus yang berat dapat timbul sakit kepala, kram otot, dan perubahan tekanan darah. Penanganan: Penanganan keracunannya adalah dengan mengganti cairan dan elektrolit yang hilang akibat muntah atau diare.Pengobatan antidiare biasanya tidak diperlukan.Untuk menghindari dehidrasi pada korban, berikan air minum dan larutan elektrolit yang banyak dijual sebagai minuman elektrolit dalam kemasan.Untuk penanganan leboih lanjut, hubungi puskesmas atau rumah sakit terdekat.
28
BAB III KESIMPULAN Dari diskusi tutorial yang telah dilakukan, setelah identifkasi dari anamnesis, pemeriksaan vitalsign, fisik, dan pemeriksaan penunjang lainnya, dapat disimpulkan bahwa pasien menderita diare akut yang diakibatkan mengonsumsi susu yang sudah terbuka kalengnya selama beberapa jam, sehingga mengakibatkan adanya perkembanbiakan enterotoksin dari bakteri Streptococcus. Untuk mengetahui diagnosis pasti dari pemeriksaan pasien, diperlukan pemeriksaan
penunjang
yang
meliputi
pemeriksaan
laboratorium
untuk
mengetahui ada tidaknya leukosit dalam feses, disusul dengan diadakan kultur bakteri apabila hasil dari hitung leukosit feses positif. Sebelum dilakukan penatalaksanaan lebih lanjut, pasien diberikan penatalaksanaan awal dengan prinsip ABC (Airway, Breathing, dan Circulation) serta dilakukan terapi pemberian cairan dan pemantauan agar menghindari adanya syok yang memburuk. Selain itu untuk meringankan infeksi dari bakteri yang
29
menginfeksi saluran cerna, diberikan pula antibiotic spectrum luas sebagai tatalaksana awal sebelum antibiotic spesifik diberikan (setelah hasil kultur bakteri selesai). Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami diare akut yang mengakibatkan kurangnya cairan tubuh, atau bisa di diagnosis syok hipovolemia et causa diare akut.
BAB IV SARAN Materi dalam skenario cukup baik. Keterangan pada kasus di skenario sudah cukup lengkap dengan adanya hasil pemeriksaan fisik ataupun pemeriksaan lain sehingga mahasiswa dapat belajar lebih terarah. Kegiatan diskusi tutorial kelompok kami telah berjalan cukup lancar. Mahasiswa telah berperan aktif dalam diskusi ini. Tutor juga mengarahkan diskusi sehingga LO atau tujuan pembelajaran dapat tercapai.
30
DAFTAR PUSTAKA Adrogué, Horacio J. et al. 2000. Hyponatremia. N Engl J Med 2000; 342:15811589. Boswick John. A, 1997., 1997., Perawatan Gawat Darurat., EGC., Jakarta Dreisbach RH, Robertson WO, Handbook of Poisoning , 12th ed, Appleton&Lange, California, 1987, 238-242. Elberger ST, Brody GM, Cadmium, Mercury, and Arsenic, in: Viccellio P, (Editor). Handbook of Medical Toxicology, First edition,.Little, Brown and Co. Boston. 1993,
286-288.
Haupt M T, Carlson R W., 1989, Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions.Dalam buku: Shoemaker W C, Ayres S, Grenvik A eds, Texbook of Critical Care. Philadelphia Sentra
Informasi
Keracunan
Nasional,
Badan
POM
RI
dalam
http://ik.pom.go.id/v2014/ Sosialine, Engko. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia
31
Skeet Muriel.,1995., Tindakan Paramedis Terhadap Kegawatan dan Pertolongan Pertama., EGC, Jakarta T. A. Gossel and J. D. Bricker.Principles of clinical toxicology, 2nd Edn. Raven Press, New
York, 1990; 413
Tambunan Karmell., et. All., 1990., Buku Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat., FKUI,
Jakarta
.
32