KEDOKTERAN TROPIS
LAPORAN TUTORIAL MODUL “DEMAM”
KELOMPOK 2
Foffy Affry Adianty
( 10542028411 )
Ikhsan Mursad
( 10542028911 1054202891 1 )
Kulsumarina
( 10542049413 )
Moh Fajrin Darmawan
( 10542049613 1054204961 3 )
Rezky Ramadhani Syarif
( 10542060615 1054206061 5 )
Andi Musdalifah
( 10542060715 1054206071 5 )
Rasdiana FB. Matong
( 10542062415 1054206241 5 )
Indah
( 10542062515 )
Najwa Citra Citra Azzahra Azzahra
( 10542064215 )
Affandi Hafid
( 10542064315 )
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2017/2018
SKENARIO 1
Seorang laki-laki berumur 22 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan demam selama seminggu, selera makan kurang dan disertai sakit kepala. Sepuluh hari yang lalu penderita baru datang dari Papua. Kata Kunci •
Laki-laki 22 tahun
•
Demam selama 1 minggu
•
Selera makan kurang
•
Sakit kepala
•
Dari Papua 10 hari yang lalu
Pertanyaan
1. Jelaskan definisi dan klasifikasi demam! 2. Bagaimana hubungan antar gejala? 3. Jelaskan diagnosis banding yang berhubungan dengan skenario! (definisi, epidemiologi, etiologi, patomekanisme, gejala klinis, tatalaksana) 4. Jelaskan metode pencegahan penyakit sesuai skenario!
Jawaban
1. Demam a. Definisi
Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas normal. Bila diukur pada rektal >38°C (100,4°F), diukur pada oral >37,8°C, dan bila diukur melalui aksila >37,2°C (99°F). (Schmitt, 1984). Sedangkan menurut NAPN ( National National Association of Pediatrics Nurse) Nurse) disebut demam bila bayi berumur kurang dari 3 bulan suhu rektal melebihi 38° C. Pada anak umur lebih dari 3 bulan suhu aksila dan oral lebih dari 38,3°C.
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk men gatasi berbagai rangsang, misalnya terhadap toksin bakteri, peradangan, dan rangsangan pirogenik lain. Bila produksi sitokin pirogen secara sistemik masih dalam batas yang dapat ditoleransi maka efeknya akan menguntungkan tubuh secara keseluruhan, tetapi bila telah melampaui batas kritis tertentu maka sitokin ini membahayakan tubuh. Batas kritis sitokin pirogen sistemik tersebut sejauh ini belum diketahui. (Sherwood, 2001) . b. Etiologi
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, med ia, infeksi saluran kemih, dan lain-lain (Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1 (Davis, 2011). Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis, 2011) . Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis (Jenson & Baltimore, 2007).
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma nonhodgkin, leukemia, dll), dan
pemakaian
obat-obatan
(antibiotik,
difenilhidantoin,
dan
antihistamin)
(Kaneshiro & Zieve, 2010) . Selain itu anak-anak juga dapat mengalami demam
sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama ±1-10 hari (Graneto, 2010). Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam
adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009). c. Mekanisme Demam
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005). Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan
meningkatkan
patokan
termostat
di
pusat
termoregulasi
hipotalamus.
Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001) . Berbagai laporan penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan suhu tubuh berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang. Ransangan endogen seperti eksotoksin dan endotoksin menginduksi leukosit untuk mengeluarkan pirogen endogen, dan yang poten diantaranya adalah IL-1 IL-1 dan TNFα, selain IL-6 IL-6 dan IFN. Pirogen endogen ini akan bekerja pada sistem saraf pusat tingkat OVLT (Organum Vasculosum Laminae Terminalis) Terminalis) yang dikelilingi oleh bagian medial dan lateral nukleus preoptik, hipotalamus anterior, dan septum palusolum. Sebagai respon terhadap sitokin tersebut maka pada OVLT terjadi sintesis prostaglandin, terutama prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat jalur COX-2 (cyclooxygenase (cyclooxygenase 2), 2), dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh terutama demam. (Nelwan dalam Sudoyo, 2006). Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase penurunan suhu
yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal & Zhukovsky, 2006). d. Klasifikasi Demam
Klasifikasi demam berdasarkan frekuensi atau sering terjadinya: 1) Demam septik, pada demam ini suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. 2) Demam hektik, pada demam ini suhhu bada berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat yang normal pada pagi hari. 3) Demam remiten, pada demam ini suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidkpernah mencapai suhu normal. 4) Demam intermiten, pada demam ini suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. 5) Demam kontinyu, pada demam ini terdapat variasi suhu sepanjang hari, yang tidak berbeda lebih dari satu derajat. 6) Demam siklik, pada demam ini kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa ahari yang kemudian diikutioleh kenaikan suhu seperti semula. (Sumber: Nelwan, Demam: Tipe dan Pendekatan, 2009)
Klasifikasi demam berdasarkan tingkat kenaikan suhu: 1) Lebih dari 42o C menyebabkan kematian (denaturasi protein) 2) 40o C – 42o C menyebabkan hiperpireksia 3) 38o C - 39 o C menyebabkan demam atau febris 4) 37 o C- 37,9 o C menyebabkan subfebris 5) 36 o C- 36,9 o C adalah suhu normal tubuh atau normotermi 6) < 35,9 o C menyebabkan hipotermia 7) < 34 o C menyebabkan kematian (pasien berhenti bernafas) e. Penatalaksanaan Demam
Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan demam: 1) Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan beristirahat yang cukup.
2) Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita. 3) Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti (Kaneshiro & Zieve, 2010). Penatalaksanaan Farmakologi Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama (Graneto,2010). Pada anak-anak, dianjurkan untuk pemberian parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anak-anak (Kaushik,Pineda, & Kest, 2010). Dosis parasetamol juga dapat disederhanakan menjadi:
Dosis parasetamol menurut kelompok umur: ( Umur (tahun) Dosis Parasetamol Tiap Pemberian (mg) S <1 60 u 1-3m 60-125 b 4-6 125-250 e r 6-12 25-500 : Soegijantoet al., Naskah Lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD, 1998) Selain pemberian antipi retik juga perlu diperhatikan mengenai pemberian obat untuk mengatasi penyebab terjadinya demam. Antibiotik dapat diberikan untuk mengatasi infeksi bakteri. Pemberian antibiotik hendaknya sesuai dengan tes sensitivitas kultur bakteri apabila memungkinkan (Graneto, 2010). 2. Hubungan antara demam, sakit kepala, dan tidak nafsu makan
3. Diagnosis Banding
DEMAM TIFOID
a. Definisi Demam Tifoid adalah penyakit endemic menular yang tercantum dalam Undangundang nomor 6 Tahun 1962 tenteang wabah. Kelompok penyakit yang dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah b. Epidemiologi Insiden demam tifoid bervariasi ditiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan. Perbedaan insiden diperkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan c. Patogenesis Masuknya kuman salmonella (S. thyphi) dan salmonella paratyphi (S. Parathypi) ke dalam manusia terjadi melalulai makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak.
Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan
selanjutnya ke lamina propria. DI lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesentrerika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ ini kuman meninggalkan sel sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu dieksresikan secara intermitten kedalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperakartif maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inslamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, ssakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi. Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan. Perdarahan saaluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat
mengakibatkan perforasi. d. Gambaran Klinis Masa Inkubasi Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, berupa : - Anoreksia - Rasa malas - Sakit kepala bagian depan - Nyeri otot - Lidah kotor - Gangguan perut (perut kembung dan sakit) Gejala Khas
Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun bias langsung ditegakkan. Yang termasuk gejala khas Demam tifoid adalah sebagai berikut: 1) Minggu pertama (awal terinfeksi) Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari,gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan
penyakit
infeksi
akut
yang
lain,
seperti
demam
tinggi
yang
berkepanjangan yaitu setinggi 39oC hingga 40oc, sakit kepala, pusing, pegal pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak,sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi. 2) Minggu kedua Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium.
Gangguan pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan lainlain. 3) Minggu ketiga Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejalagejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan
telah
terjadinya
perforasi
usus
sedangkan
keringat
dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga. 4) Minggu keempat Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis. e. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan: 1) Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella. Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat lekopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari
kesepuluh dari demam, maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri
di
dalam
lesi
usus.
Peningkatan
yang
cepat
dari
lekositosis
polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita. Tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu khas seperti di atas. Bisa ditemukan gejala- gejala yang tidak khas. Ada orang yang setelah terpapar dengan kuman S typhi, hanya mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu bisa terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman ini langsung menjadi sakit. Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan seseorang dan daya tahannya, termasuk apakah sudah imun atau kebal. Bila jumlah kuman hanya sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan oleh sistem pelindung tubuh manusia. Namun demikian, penyakit ini tidak bisa dianggap enteng, misalnya nanti juga sembuh sendiri. 2) Kultur Gal Diagnosis definitive penyakit tifus dengan isolasi bakteri Salmonella typhi dari specimen yang berasal dari darah penderita. Pengambilan specimen darah sebaiknya
dilakukan
pada
minggu
pertama
timbulnya
penyakit,
karena
kemungkinan untuk positif mencapai 80-90%, khususnya pada pasien yang belum mendapat terapi antibiotic. Pada minggu ke-3 kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% and minggu ke-4 hanya 10-15%. 3) Tes Widal Penentuan kadar aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dalam darah (antigen O muncul pada hari ke 6-8, dan antibodi H muncul pada hari ke 10-12. Pemeriksaan Widal memberikan hasil negatif sampai 30% dari sampel biakan positif penyakit tifus, sehingga hasil tes Widal negatif bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi infeksi. Pemeriksaan tunggal penyakit tifus dengan tes Widal kurang baik karena akan memberikan hasil positif bila terjadi : a) Infeksi berulang karena bakteri Salmonella lainnya b) Imunisasi penyakit tifus sebelumnya c) Infeksi lainnya seperti malaria dan lain-lain
Pemeriksaan Kultur Gal sensitivitasnya rendah, dan hasilnya memerlukan waktu berhari-hari, sedangkan pemeriksaan Widal tunggal memberikan hasil yang kurang bermakna untuk mendeteksi penyakit tifus. 4) Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF sebagai solusi pemeriksaan yang sensitif, spesifik, praktis untuk mendeteksi penyebab demam akibat infeksi bakteri Salmonella typhi. Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella typhi. Tes Ig M Anti Salmonella memiliki beberapa kelebihan: a) Deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitive, karena antibodi IgM muncul paling awal yaitu setelah 3-4 hari terjadinya demam (sensitivitas > 95%). b) Lebih spesifik mendeteksi bakteri Salmonella typhi dibandingkan dengan pemeriksaan Widal, sehingga mampu membedakan secara tepat berbagai infeksi dengan gejala klinis demam (spesifisitas > 93%). c) Memberikan gambaran diagnosis yang lebih pasti karena tidak hanya sekedar hasil positif dan negatif saja, tetapi juga dapat menentukan tingkat fase akut infeksi. d) Diagnosis lebih cepat, sehingga keputusan pengobatan dapat segera diberikan. e) Hanya memerlukan pemeriksaan tunggal dengan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan Widal serta sudah diuji di beberapa daerah endemic penyakit tifus. f. Penatalaksanaan 1) Perawatan Umum Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara bertahap,sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktuwaktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus dperhatikan karena kadang-kadang
terjadi obstipasi dan retensi air kemih. Pengobatan simtomik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun perforasi intestinal. Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam. 2) Diet Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini,yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. 3) Obat Obat-obat antimikroba yang sering digunakan adalah : a) Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien demam tifoid. Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau intravena, sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol siuksinat intramuskuler tidak dianurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dengan kloramfenikol,demam pada demam tifoid dapat turun rata 5 hari. b) Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan kloramfenikol.Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada klloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam tiofoid dapat turun rata-rata 5-6 hari. c) Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol) : Efektivitas kotrimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol, dosis untuk orang dewasa,2 kali 2 tablet sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet
mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol).dengan kotrimoksazol demam rata-rata turun setelah 5-6 hari. d) Ampislin
dan
Amoksisilin
:
Dalam
hal
kemampuan
menurunkan
demam,efektivitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunannnya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan Amoksisilin dan Ampisilin,demam rata-rata turun 7-9 hari. e) Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin
generasi
ketiga
antara
lain
Sefoperazon,seftriakson,
dan
sefotaksim efektif untuk demam tifoid tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti. f) Fluorokinolon : Fluorokinolon efektif untuk demam tifoidtetapi dosis dan lama pemberian belum diketahui dengan pasti.
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
a. Definisi Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama asia tenggara, Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den -41, ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus 2 yang terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia. b. Epidemiologi Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun.13 Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah
kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR 0,89%. c. Patogenesis Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-ngue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe virus lainnya. Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated cytotoxity (ADCC) dan ADE.33 Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi atau neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus, dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam pathogenesis DBD dan DSS. Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan antibody dependent enhancement (ADE).7 Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda yang
tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue.7 TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.34 Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan perdarahan.35 Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akaibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag mudah terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF. Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan menimbulkan penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3. Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena infeksi virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolic. d. Gambaran klinis Gejala pada epnyakit demam berdarah diawali dengan: 1) Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38oC - 40oC) 2) Manifestasi perdarahan, dengan bentuk: uji tourniquet positif purpura pendarahan, konjungtiva, epiistaksis, melena, dsb. 3) Hepatomegali
4) Syok, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah. 5) Trombositopeni, pada hari ke 3-7 ditemukan penurunan trombosit sampai 100.000/mm 6) Hemokonsentrasi, meningkatnya nilai Hematokrit 7) Gejala-gejala klinik lainnya yang dapat menyertai: anoreksia, kemah, mual, muntah, sakit perut, diare, kejang dan sakit kpala. 8) Perdarahan pada hidung dan gusi 9) Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintik-bitntik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah. e. Diagnosis Pada awal mulainya demam, dhf sulit dibedakan dari infeksi lain yang disebabkan oleh berbagai jenis virus, bakteri dan parasit. Setelah hari ketiga atau keempat baru pemeriksaan darah dapat membantu diagnosa. Diagnosa ditegakkan dari gejala klinis dan hasil pemeriksaan darah : 1) Trombositopeni, jumlah trombosit kurang dari 100.000 sel/mm3 2) Hemokonsentrasi, jumlah hematokrit meningkat paling sedikit 20% di atas ratarata. Hasil laboratorium seperti ini biasanya ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-7. Kadang-kadang dari x-ray dada ditemukan efusi pleura atau hipoalbuminemia yang menunjukkan adanya kebocoran plasma. Kalau penderita jatuh dalam keadaan syok, maka kasusnya disebut sebagai Dengue Shock Syndrome (DSS). f.
Penatalaksanaan Penatalaksanaannya terdiri dari: 1) Pencegahan Tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial untuk flavivirus demam berdarah. Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghapuskan atau mengurangi vektor nyamuk demam berdarah. Cara pencegahan DBD:
a) Bersihkan tempat penyimpanan air (bak mandi, WC) b) Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air c) Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas (kaleng bekas, botol bekas) d) Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bbambu dengan tanah. e) Lipatlah pakaian atau kain yang bergantung dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap di situ. f) Untuk tempat-tempat air yang tidak mugkin untuk membunuh jentik-jentik nyamuk (ulangi hal ini setiap 2 sampai 3 bulan sekali). 2) Pengobatan Pengobatan penderita demam berdarah adalah dengan cara: a) Penggantian cairan tubuh b) Penderita diberi minum sebanyak 1,5 liter sampai 2 liter dalam 24 jam. c) Gastroenteritis oral solution atau kristal diare yaitu garam elektrolid (oralit kalau perlu 1 sendok makan setiap 3 sampai 5 menit). d) Penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit diperlukan untuk mencegah terjadinya syok yang dapat terjadi secara tepat. e) Pemasangan infus NaCl atau Ringer melihat keperluannya dapat ditambahkan plasma atau plasma expander atau preparat hemasel. f) Antibiotik diberikan bila ada dugaan infeksi sekunder. g. Prognosis Infeksi dengue pada umumnya mempunyai prognosis yang baik, DF dan DHF tidak ada yang mati. Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak teratasi, efusi pleura dan asites yang berat dan kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh sepsis karena tindakan dan lingkungan bangsal rumah sakit yang kurang bersih. Kematian terjadi pada kasus berat yaitu pada waktu muncul komplikasi pada sistem syaraf, kardiovaskuler, pernapasan, darah, dan organ lain. Kematian disebabkan oleh banyak faktor antara lain; 1) Keterlambatan diagnosis 2) Keterlambatan diagnosis shock 3) Keterlambatan penanganan shock
4) Shock yang tidak teratasi 5) Kelebihan cairan 6) Kebocoran yang hebat 7) Pendarahan masih 8) Kegagalan banyak organ 9) Ensefalopati 10) Sepsis 11) Kegawatan karena tindakan
MALARIA
a. Defnisi Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium yang hidup dan berkembang biak di dalam sel darah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. b. Epidemiologi Di indonesia terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap tahunnya (survei kesehatan rumah tangga, 2001). Diperkirakan 35 % penduduk undonesia tinggal di daerah yang beresiko tertular malaria. Dari 293 kabupaten / kota yang ada di indonesia, 167 kabupaten / kota merupakn daerah endemis malaria. Upaya penanggulangan malaria telah menunjukkan peningkatan mulai dari tahun1997 s/d 2004. c. Etiologi Penyakit malaria ini disebabkan oleh parasit plasmodium. Species plasmodium pada manusia adalah : 1) Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika. 2) Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana. 3) Plasmodium malariae, penyebab malaria malariae (quartana. 4) Plasmodium ovale, penyebab malaria ovale. Kini plasmodium knowlesi yang selama ini dikenal hanya ada pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), ditemukan pula ditubuh manusia. Penelitian sebuah tim internasional yang dimuat jurnal Clinical Infectious Diseases memaparkan hasil tes
pada 150 pasien malaria di rumah sakit Serawak, Malaysia, Juli 2006 sampai Januari 2008, menunjukkan, dua pertiga kasus malaria disebabkan infeksi plasmodium knowlesi. Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi yang berat dan bahkan dapat menimbukan suatu variasi manisfestasi-manifestasi akut dan jika tidak diobati, dapat menyebabkan kematian. Seorang dapat menginfeksi lebih dari satu jenis plasmodium, dikenal sebagai infeksi campuran / majemuk (mixed infection). Pada umumnya lebih banyak dijumpai dua jenis plasmodium, yaitu campuran antara plasmodium falciparum dan plasmodium vivax atau plasmodium malariae. Kadangkadang dijumpai tiga jenis plasmodium sekaligus, meskipun hal ini jarang terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah dengan angka penualaran tinggi. Nyamuk anophelini berperan sebagai vektor penyakit malaria. Nyamuk anophelini yang berperan hanya genus Anopheles. Di seluruh dunia, genus anopheles ini diketahui jumlahnya kirakira 2000 species, diantaranya 60 species diketahui sebagai vektor malaria.
Siklus hidup plasmodium 1) Siklus hidup pada manusia Pada saat nyamuk anopheles infektif menghisap darah manusia, sporozoit yang berada dikelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran
darah selama
kurang lebih ½ jam. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10.000-30.000 merozoit hati (tergantung speciesnya). Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer yang berlangsung selama lebih kurang 2 minggu. Pada
plasmodium vivax dan plasmodium ovale, sebagian tropozoit hati tidak
langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dormant yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam hati selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Pada suatu saat imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan relaps (kambuh).
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk keperedaran darah dan menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium sporozoit sampai skizon (8-30 merozoit, tergantung speciesnya). Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksisel darah merah lainnya. Siklus ini disebut siklus eritrositer. Setelah sampai 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang menginfeksi sel darah merah akan membentuk stadium seksual (genosit jantan dan betina). 2) Siklus pada nyamuk anopheles Apabila nyamuk anopheles betina menghisap darah yang mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan betina melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar lambung nyamuk ookinet akan menjadio okista dan selanjutnya menjadi sporozoit ini bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia. Masa inkubasi Yaitu rentan waktu sejak sporozoit masuk sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai denagan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung species plasmodium.
Tabel 1. Masa Inkubasi Penyakit Malaria Plasmodium
Masa inkubasi (hari)
Plasmodium falciparum
9-14 hari (12)
Plasmodium vivax
12-17 hari (15)
Plasmodium ovale
16-18 hari (17)
Plasmodium malariae
18-40 hari (28)
Berbagai studi menunjukkan, pada infeksi plasmodium knowlesi, siklus reproduksi aseksual (pembelahan diri dalam tubuh manusia atau hewan) terjadi dalam waktu 24 jam. Lebih cepat dibandingkan siklus 48 jam pada plasmodium vivax, plasmodium ovale, dan plasmodium falciparum, sedangkan 72 jam pada plasmodium malariae. Setiap kali sel-sel membelah akan terjadi serangan d emam. d. Patogenesis
Gejala malaria timbul saat pecahnya
eritrosit yang mengandung parasit. Demam
mulai timbul bersamaan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan macam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin, diantaranya Tumor Necrosis Factor (TNF). TNF akan dibawa aliran darah ke hipothalamus, yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh manusia. Sebagai akibat demam terjadi vasodilasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Limpa merupakan organ retikuloendotelial. Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadi peningkatan
jumlah
eritrosit
yang
terinfeksi
parasit,
teraktifasinya
sistem
retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrsit akibat hemolisis. Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan fagositosis oleh sistem retikuloendotetial. Hebatnya hemolisis tergantung pada jenis plasmodium dan status imunitas penjamu. Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuentrasi oleh limpa pada eritrosit yang terinfeksi maupun yang normal dan gangguan eritropoisis. Hiperglikemi dan hiperbilirubinemia sering terjadi. Hemoglobinuria dan Hemoglobinemia dijumpai bila hemolisis berat. Kelainan patologik pembuluh darah kapiler pada malaria tropika, disebabkan kartena sel darah merah terinfeksi menjadi kaku dan lengket, perjalanannya dalam kapiler terganggu sehingga melekat pada endotel kapiler karena terdapat penonjolan membran eritrosit. Setelah terjadi penumpukan sel dan bahan-bahan pecahan sel maka aliran kapiler terhambat dan timbul hipoksia jaringan, terjadi gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi perembesan cairan bukan perdarahan kejaringan sekitarnya dan dapat menimbulkan malaria cerebral, edema paru, gagal ginjal dan malobsorsi usus. e. Gambaran klinis Sindrom klinis yang disebabkan oleh malaria berbeda tergantung apakah pasien tinggal di daerah dengan penularan malaria endemis yang stabil (terus menerus) atau penularan stabil (kadang-kadang dan/atau jarang). Di daerah dengan penularan stabil, penyakit mempengaruhi anak dan orang dewasa dengan cara yang berbeda. Anak mengalami infeksi kronis dengan parasitemia berulang yang mengakibatkan anemia berat dan sering kematian. Yang tahan hidup infeksi berulang ini dapat sebagian
kekebalan pada usia lima tahun dan kekebalan ini tetap tertahan pada masa dewasa. Orang dewasa mengalami infeksi tanpa gejala. Gejala malaria terjadi dari beberapa serangan demam dengan interval tertentu (disebut peroksisme), diselingi oleh suatu periode yang penderitanya bebas sama sekali dari demam (di sebut periode laten). Gejala yang khas tersebut biasanya ditemukan pada penderita non imun. Sebelum timbulnya demam, biasanya penderita merasa lemah, mengeluh sakit kepala, kehilangan nafsu makan, merasa mual di ulu hati, atau muntah (semua gejala awal disebut gejala prodolmal). Beberapa pasien kadang mengeluh nyeri dada, batuk, nteri perut, nyeri sendi dan diare. Sakit biasanya berkembang menjadi panas dingin berat dihubungkan dengan panas hebat disertai takikardi, mual, pusing, orthostatis dan lemas berat. Dalam beberapa jam mereda, pasien berkeringat dan sangat lelah. Pada anak-anak, bahkan pada anak-anak non imun sekalipun, gejala malaria tidaklah “klasik” seperti yang ditemukan pada orang dewasa. Pada penderita anak, kenaikan panas badan cendrung lebih tinggi sering disertai dengan muntahmuntah dan berkeringat. Anak-anak yang lebih besar yang mempunyai lebih sedikit kekebalan kadang-kadang juga dapat menderita demam, nyeri sendi, sakit kepala.oleh karena itu, gejala malaria pada anak bisa menyerupai penyakit lain yang bisa menyebabkan demam. Begitu pula anemia yang cendrung menjadi berat pada penderita anak. Malaria vivax yang biasanya memberi gejala yang ringan, pada penderitanya anak sering menimbulkan gejala yang lebih berat. Namun bisanya, malaria falciparum lah yang menyebabkan keadaan darurat pada penderita anak. Paroksisme demam pada malaria mempunyai interval tertentu, ditentukan oleh waktu yang diperlukan oleh siklus aseksual/sizogoni darah untuk menghasilkan sizon yang matang, yang sangat dipengaruhi oleh spesiec plasmodium yang menginfeksi. Suatu peroksisme demam biasanya mempunyai 3 stadium yang berurutan, yaitu : 1) Stadium frigoris (mengigil) Stadium ini mulai dengan menggil dan perasaan sangat dingin. Nadi penderita sangat cepat, tetapi lemah. Bibir dan jarijari pucat kebiruan (sianotik). Kulitnya kering dan pucat, penderita mungkin dan pada penderita anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung selama 15 menit 1 jam.
2) Stadium akme (puncak demam) Setelah menggigil/merasa dingin, pada stadium ini penderita mengalami serangan demam. Muka penderita menjadi merah, kulitnya kering dan dirasakan sangat panas seperti terbakar, sakit kepala bertambah keras, dan sering disertai rasa mual atau muntah-muntah. Nadi penderita menjadi kuat kembali. Biasanya penderita merasa santan haus dan suhu badan bisa meningkat sampai 41 C. stadium ini berlangsung selama 2-4 jam. 3) Stadium sudoris (berkeringat banyak, suhu turun) Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali, sampai membasahi tempat tidur. Namun suhu badan pada fase ini turun dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah normal. Biasanya penderita tertidur nyenyak dan pada saat terjaga, ia merasa lemah, tetapi tanpa gejala lain. Stadium ini berlangsung selama 2-4 jam. Gangguan fungsi ginjal ditunjukkan denagan oliguria, dan anuria dapat terjadi. Sindrom nefrotik, berkaitan dengan plasmodium malariae apada anak yang tinggal di daerah endemik malaria, prognosisnya jelek. Black water fever, sekarang jarang ditemukan, dihibungkan dengan plasmodium falciparum; hemoglobinuria akibat hemolisis intravascular berat dan mendadak, dapat menyebabkan anuria dan kematian karena anemia. Hipoglikemi dapat dihubungkan dengan malaria falciparum. Pada infeksi berat, dapat terjadi asidosis laktat, dengan gambaran konvulsi dan gangguan kesadaran. Manifestasi Klinis Malaria Berat Malaria berat yaitu ditemukan plasmodium falciparum stadium aseksual dengan s atu Atau beberapa manisfestasi klinis dibawah ini (WHO,1997) : 1) Malaria dengan gangguan kesadaran (apatis, delirium, stupor dan koma) atau GCS (Glasgow Coma Scale) <14 untuk orang dewasa dan < 5 untuk anak-anak. Gangguan kesadaran menetap >30 menit atau menetap setelah panas turun. 2) Malaria degan ikterus (bilirubin serum >3 mg %). 3) Malaria denagn gangguan fungsi ginjal (uliguria <400 ml/24 jam atau kreatinin serum >3 mg%) 4) Malaria denagan anemia berat (Hb <5 gr % atau hematokrit <15%). 5) Malaria dengan edema paru (sesak nafas, gelisah).
6) Malaria dengan hipoglikemi (gula darah <40 mg%). 7) Malaria dengan gangguan sirkulasi atau syok (tekanan sistolik <70 mmhg pada orang dewasa atau <50 mmhg pada anak 1-5 tahun). 8) Malaria dengan hiperparasitemia (plasmodium >5%). 9) Malaria dengan manifestasi perdarahan (gusi, hidung, dan/atau tanda-tanda disseminated intravascular coagulation /DIC). 10) Malaria dengan kejang-kejang yang berulang, lebih dari 2 kali dalam 24 jam. 11) Malaria dengan asidosis (ph darah<7,25 atau plasma bikarbonat< 15 mmo/L). 12) Malaria dengan hemoglobinuria makrosokpik. 13) Malaria dengan hipertermia (suhu badan >40 C). 14) Malaria dengan kelemahan yang ekstrem prostation); penderita tidak mampu duduk atau berjalan, tanpa adanya kelainan neurologi tertentu. f.
Diagnosis Diagnosis
malaria
dapat
ditegakkan
berdasarkan
pemeriksaan
laboratorium
(mikroskopik, tes diagnostik cepat) dan tanpa pemeksaan laboratorium. Sampai saat ini diagnosis pasti malaria berdasarkan ditemukanya prasit dalam sendian darah secara miskrokopik. Kasus malaria yang didiagonis hanya berdasarkan gejala dan tanda klinis disebut kasus tersangka malaria atau malaria klinis. 1) Anamnesis a) Keluhan Utama : deman ,mengilgil,dan dapat disertai sakit kepala,mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal b) Riwayat berkunjung dan bermalam 1~4 minggu yang lalu ke daerah Endemik malaria c) Riwayat tinggal di daerah endemik malaria d) Riwayat sakit malaria e) Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir f) Riwayat mendapat tranfusi darah g) Gejala klinis pada anak dapat tidak khas Untuk penderita tersangka malaria berat, dapat disertai satu atau lebih gejala berikut: a) Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.
b) Kelemahan umum (tidak bisa duduk /bediri). c) Kejang~kejang d) Panas sangat tinggi . e) Mata atau tubuh kuning . f) Pendarahan gusi, hidung atau saluran cerna . g) Nafas cepat dan atau nsesak nafas . h) Muntah terus menerus . i) Tidak dapat makan dan minum . j) Warna air seni seperti teh tua Sampai kehitaman. k) Jumlah air seni kurang (oliguria )sampai tidak ada (anuria ) l) Telapak tangan sangat pucat. 2) Pemeriksaan Fisik a) Deman (peraan atau pengukuran dengan thermometer ) b) Pucat pada kojugtiva palpebra atau telapak tangan . c) Pembesaran limpa (splenomegali). d) Pembesaraan hati (hepatomegali). Pada tersangka malaria berat dapat ditemukan satu atau lebih tanda klinis Berikut: a) Temperatur aksila >40 C. b) Tekanaan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa da anak-anak <50 mmHg. c) Nadi cepat dan lemah/kecil d) Frekuensi nafas >35 x per menit pada orang dewasa atau 40 x per menit pada balita, anak dibawah 1 tahun > 50 x per menit. e) Penurunan derajat kesadaran f) Manifesstasi perdarahan (petekie, purpura, hematom). g) Tanda dehidrasi (mata cekung, tugor dan elastisitas kulit berkurang, bibir kering, produksi air seni kurang). h) Tanda-tanda anemia berat (konjuntiva pucat, telapak tangan pucat, lidah pucat). i) Terlihat mata kuning/ ikterik.
j) Adanya ronki pada kedua paru. k) Pembesaran limpa dan atau hepar. l) Gagal ginjal ditandai dengan oliguria sampai deng an anuria. m) Gejala neurologi (kaku kuduk, reflek patologi). 3) Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis untuk mentukan: a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif). b) Species dan stadium plasmodium (Pf, PV, Pm,Po, dan tropozoit, skizon, gametosit). c) Kepadatan parasit : Semi kuatitatif -
(-) : SD neagatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB)
-
(+) : SD positif 1 (ditemukan 1-10 parasit dalam 10 0 LPB).
-
(++) : SD positif 2 (ditemukan 11-100 parasit dalam 1 00 LPB).
-
(+++) : SD positif 3 (ditemukan 1100 parasit dalam 1 LPB).
-
(++++) : SD positif 4 (ditemukan 11-100 parasit dalam 1 LPB).
g. Penatalaksanaan 1) Pengobatan malaria tanpa kombinasi a) Pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi Bila pada pemesiksaan laboratorium sedian darah ditemukan plasmodium falciparum, maka obat pilihan yang digunakan adalah : Tabel 2. Pengobatan lini pertama untuk malaria falciparum Hari
H1
H2
H3
Jenis Obat
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur 0-2
2-11
bln
bln
1-4 bln
5-9 thn
10-14
>15
thn
thn
Artesunate
1/4
1/2
1
2
3
4
Amodiaquin
1/4
1/2
1
2
3
4
Primaquin
*)
*)
3/4
1 1/2
2
2-3
Artesunate
1/4
1/2
1
2
3
4
Amodiaquin
1/4
1/2
1
2
3
4
Artesunate
1/4
1/2
1
2
3
4
Amodiaquin
1/4
1/2
1
2
3
4
Lini pertama: tablet artesunat + tablet primakuin Komposisi obat Artesunat : 50 mg/ tablet Amodiakuin : 200 mg/ tablet- 153 mg amodiakuin base / tablet Dosis pada tablet diatas merupakan perhitungan kasar bila penderita tidak ditimbang berat badannya. Dosis yang dikombinasi berdasarkan berat badan adalah : atresunat : 4 mg / kg BB dosis tunggal/hari/oral diberikan pada hari I dan II serta hari III ditambah amodiakuin : 25 mg basa/kg BB selama 3 hari denagn pembagian dosis : 10 mg basa/kg BB/ hari/ oral pada hari I dan hari II, serta 5 mg basa /kg BB/oral pada hari III. Bila terjadi gagal pengobatan lini pertama, maka diberikan pengobatab lini kedua seperti tabel dibawah ini : Tabel 3. Pengobatan lini kedua untuk malaria falciparum Hari
Jenis Obat
Jumlah Tablet Perhari Menurut Kelompok Umur 0-11
1-4 thn
bln 1
Kina
2-7
*)
5-9
10-14
thn
thn
> 15 thn
3x1/2
3x1
3x1 1/2
3x2
Tetrasiklin/doksisiklin -
-
-
-
4x1
Primaquin
-
3/4
1 1/2
2
2-3
Kina
*)
3x1/2
3x1
3x1 1/2
3x2
-
-
-
4x1
Tetrasiklin/doksisiklin -
Lini kedua: tablet kina + tablet tetrasiklin/doksisiklin+tablet primakuin Keterangan: -
*) Kina : satu tablet kina sulfa mengandung 200 gr kina garam. Dosis kina : 30 mg/ kg BB/ hari (dibagi 3 dosis).
-
Doksisiklin tidak diberikan pada ibu hamil dan an ak usia <8 tahun.
-
Dosisi doksisiklin untuk anak usia 8-14 tahun : 2 mg / kg BB/ hari
-
Bila tidak ada doksisiklin, dapat digunakan tetrasiklin.
-
Dosis tetrasiklin : 25-50 mg /kg BB/4 dosis/ hari atau 4x1 (250mg) selama 7 hari; tetrasiklin tidak bisa diberikan pada umur <12 tahun dan ibu hamil.
-
Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan anak usia <1 tahun.
-
Dosis primakuin : 0,75 mg / kg BB, dosis tunggal
b) Pengobatan malaria vivax/ovale Bila pada pemeriksaan laboratorium ditemukan plasmodium vivax/ovale, diberikan pengobatan sesuai tabel 3 dibawah ini : Tabel 4. Pengobatan Malaria Vivax/ovale Hari
Jenis Obat
H1
H2
H3
H4-
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur 0-1
2-11
bln
bln
1-4 thn
5-9 thn
10-14
>15
thn
thn
Klorokuin
1/4
1/2
1
2
3
3-4
Primakuin
-
-
1/4
1/2
3/4
1
Klorokuin
1/4
1/2
1
2
3
3-4
Primakuin
-
-
1/4
1/2
3/4
1
Klorokuin
1/8
1/4
1/2
1
1
2
Primakuin
-
-
1/4
1/2
3/4
1
Primakuin
-
-
1/4
1/2
¾
1
14 Lini pertama: tablet klorokuin + tablet primakuin Perhitungan dosis berdasarkan berat badan unruk: Klorokuin : hari I & II = 10 mg / kg BB, hari III = 5 mg / kg BB. Primakuin : 0,25 mg / kg BB/ hari, selama 14 hari. Penderita dikatakan tidak sembuh (kasus resisten terhadap klorokuin) bila dalam kurun waktu 14 hari : -
Penderita tetap demam atau gejala klinis tidak membaik yang disertai parasitemia aseksual.
-
Penderita tidak demam atau tanpa gejala klinis lain, tetapi ditemukan parasitemia aseksual.
Tabel 5. Pengobatan malaria vivax/ovale resisten klorokuin Hari
H1
Jenis Obat
Kina
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur 0-1
2-11
bln
bln
*)
*)
1-4 thn
3x1/2
5-9 thn
3x1
10-14
>15
thn
thn
3x1
32
1/2 H2
Primakuin
-
-
1/4
1/2
3/4
1
Dosis berdasarkan berat badan: - Kina 30 mg/kgBB/hari (dibagi 3 dosis) - Promakuin 0,25 mg/kg BB h. Prognosis Prognosis bergantung pada pengobatan yang dinerikan. Pada malaria tropika ( yang disebabkan oleh plasmodium falciparum) dapat timbul komplikasi yang erbahay yang disebut black water fever ( hemoglobinuric feber) dengan gagal ginjal akut.
HIV/AIDS
a. Definisi HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus. AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV.19 Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis, dimana pada stadium penyakit HIV yang paling terakhir (stadium IV) digunakan sebagai indikator AIDS. Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh orang yang sehat, infeksi tersebut dapat diobati.
b. Epidemiologi Di Indonesia, jumlah penderita HIV/AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun tetapi jumlah kasus baru yang terinfeksi HIV/AIDS relatif stabil bahkan cenderung menurun. Menurut Laporan HIV-AIDS Triwulan II Tahun 2012, didapatkan jumlah kasus baru HIV pada triwulan kedua (April-Juni 2012) sebanyak 3.892 kasus dan jumlah kasus kumulatif HIV pada Januari 1987- Juni 2012 sebanyak 86.762 kasus. Sedangkan kasus baru AIDS pada triwulan kedua (April-Juni 2012) sebanyak 1.673 kasus dan jumlah kasus kumulatif AIDS pada Januari 1987- Juni 2012 sebanyak 32.103 kasus. Pada kasus baru HIV, Provinsi Jawa Tengah menduduki peringkat ke 7 se-Indonesia dan pada kasus baru AIDS, Provinsi Jawa Tengah menduduki peringkat ke 2 se-Indonesia. Kasus HIV menurut usia pada Januari-Juni 2012 terbanyak pada 25-49 tahun. Pada kasus AIDS, terbanyak pada usia 30-39 tahun. Jenis kelamin pada kasus HIV adalah laki-laki sebanyak 57% dan wanita sebanyak 43%. Jenis kelamin pada kasus AIDS adalah laki-laki sebanyak 61,8% dan perempuan sebanyak 38,1%. Jadi dapat disimpulkan, kasus HIV dan AIDS menurut jenis kelamin lebih banyak pada laki-laki. Pada tahun 2012 angka kematian AIDS mengalami penurunan menjadi 0,9% dibandingkan dengan tahun 2011. c. Patofisiologi Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA (Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada kesempatan
untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dik enal dengan masa “window period”. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut.20 Pada sebagian penderita memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil penderita yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2 tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor). Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh
yang rusak akan
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga penderita akan menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik. d. Gambaran Klinik Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita penyakit lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) Rasa lelah dan lesu 2) Berat badan menurun secara drastis 3) Demam yang sering dan berkeringat waktu malam 4) Mencret dan kurang nafsu makan 5) Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut 6) Pembengkakan leher dan lipatan paha 7) Radang paru 8) Kanker kulit Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu:
1) Manifestasi tumor a) Sarkoma Kaposi Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat jarang menjadi sebab kematian primer. b) Limfoma maligna Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf serta dapat bertahan kurang lebih 1 tahun. 2) Manifestasi oportunistik a) Manifestasi pada paru -
Pneumoni pneumocystis (PCP) Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.
-
Cytomegalovirus (CMV) Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paruparu tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30% penyebab kematian pada AIDS.
-
Mycobacterium avilum Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.
-
Mycobacterium tuberculosis Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat menyebar ke organ lain di luar paru.
b) Manifestasi gastrointestinal Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per bulan. 3) Manifestasi neurologis Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati, neuropati perifer. e. Diagnosis
Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat apabila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor.
Tabel 6. Gejala mayor dan gejala minor infeksi HIV/AIDS Gejala Mayor
Gejala Minor
Berat badan menurun >10% dalam 1 Batuk menetap >1 bulan bulan Diare
Dermatitis generalisata Herpes Zooster kronik
berlangsung
>1
bulan multi-segmental dan berulang
Demam berkepanjangan >1 bulan Penurunan
kesadaran
Kandidiasis orofaringeal Herpes simpleks
Demensia/HIV kronis progresif
ensefalopat
Limfadenopati generalisata Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita Retinitis Cytomegalovirus
Menurut WHO, stadium klinis HIV/AIDS dibedakan menjadi: Tabel 7. Stadium Klinis HIV/AIDS Menurut WHO Stadium
I
Gejala Klinis
Tidak ada penurunan berat badan Tanpa gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten
II
Penurunan berat badan <10% ISPA berulang: sinusitis, otitis media, tonsilitis, dan faringitis Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir Luka di sekitar bibir (Kelitis Angularis) Ulkus mulut berulang Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo) Dermatitis Seboroik Infeksi jamur pada kuku
III
Penurunan berat badan >10% Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya >1 bulan
Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia TB Paru dalam 1 tahun terakhir Limfadenitis TB Infeksi bakterial yang berat: Pneumonia, Piomiosis Anemia(<8gr/dl),Trombositopeni Kronik (<50 109 per liter) IV
Sindroma Wasting (HIV) Pneumoni Pneumocystis Pneumonia Bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan Kandidiasis esofagus Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan Limfoma Sarkoma Kaposi Kanker Serviks yang invasif Retinitis CMV TB Ekstra paru Toksoplasmosis Ensefalopati HIV Meningitis Kriptokokus Infeksi mikobakteria non-TB meluas Lekoensefalopati multifokal progresif Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas
f.
Penatalaksanaan Menurut Djoerban dan Djauzi (2007) secara umum, penatalaksanaan ODHA terdiri dari beberapa jenis, yaitu: 1) Pengobatan untuk menekan replikasi HIV dengan obat anti retroviral (ARV). 2) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
3) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta tidur yang cukup dan menjaga kebersihan. LEPTOSPIROSIS
A. Definisi Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh pathogen spirochaeta, genus Leptospira. Spirochaeta ini pertama kali diisolasi di Jepang oleh Inada setelah sebelumnya digambarkan oleh Adolf Weil tahun 1886. Weil menemukan bahwa penyakit ini menyerang manusia dengan gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal. Di Indonesia, gambaran klinis leptospirosis dilaporkan pertama kali oleh Van der Scheer di Jakarta pada tahun 1892, sedang isolasinya dilakukan oleh Vervoot pada tahun 1922. Penyakit ini disebut juga sebagai Weil disease, Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mud fever, atau Swineherd disease. B. Etiologi Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta, dapat menyebabkan penyakit infeksius yang disebut leptospirosis. Leptospira merupakan organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan panjang 5-15 μm, disertai spiral halus yang lebarnya 0,1-0,2 μm. Salah satu ujung bakteri ini seringkali bengkok dan membentuk kait. Leptospira memiliki ciri umum yang membedakannya dengan bakteri lainnya. Sel bakteri ini dibungkus oleh membran luar yang terdiri dari 3-5 lapis. Di bawah membran luar, terdapat lapisan peptidoglikan yang fleksibel dan helikal, serta membran sitoplasma. Ciri khas Spirochaeta ini adalah lokasi flagelnya, yang terletak diantara membrane luar dan lapisan peptidoglikan. Flagela ini disebut flagela periplasmik. Leptospira memiliki dua flagel periplasmik, masing-masing berpangkal pada setiap ujung sel. Kuman ini bergerak aktif, paling baik dilihat dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap. C. Epidemiologi Leptospirosis merupakan zoonosis dengan distribusi luas di seluruh dunia, terutama pada wilayah dengan iklim tropis dan subtropis. Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia belum diketahui secara pasti. Di daerah dengan kejadian luar biasa leptospirosis ataupun pada daerah yang memiliki faktor risiko tinggi terpapar leptospirosis, angka kejadian leptospirosis dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000 per tahun. Di daerah tropis dengan kelembaban tinggi angka kejadian leptospirosis berkisar antara 10-100 per 100.000 sedangkan di daerah subtropis angka kejadian berkisar antara 0,1-1 per 100.000 per tahun. Case fatality rate (CFR) leptospirosis di beberapa bagian dunia dilaporkan berkisar antara <5% -30%. Angka ini memang tidak terlalu reliabel mengingat masih banyak daerah di dunia yang angka kejadian leptospirosisnya tidak terdokumentasi dengan baik. Selain itu masih banyak kasus leptospirosis ringan belum didiagnosis secara tepat.
Hewan terpenting dalam penularan leptospirosis adalah jenis binatang pengerat, terutama tikus. Bakteri leptospira khususnya spesies L. Ichterro haemorrhagiae banyak menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus) dan tikus rumah (Rattusdiardii). Sedangkan hewan peliharaan seperti kucing, anjing, kelinci, kambing, sapi, kerbau, dan babi dapat menjadi hospes perantara dalam penularan leptospirosis. Transmisi bakteri leptospira ke manusia dapat terjadi karena ada kontak dengan air atau tanah yang tercemar urin hewan yang mengandung leptospira. Selain itu penularan bisa juga terjadi karena manusia mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan bakteri leptospira. D. Patogenesis Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara, yang tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar bakteri leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit sehat (intak) terutama bila kontak lama dengan air. Selain melalui kulit atau mukosa, infeksi leptospira bisa juga masuk melalui konjungtiva. Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme masuknya leptospira ke dalam tubuh. Selanjutnya bakteri Leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di darah dan jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1 atau 2 hari infeksi. Leptospira virulen mempunyai kemampuan motilitas yang tinggi, lesi primer adalah kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakter leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia. Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak pembesaran ginjal disertai edema dan perdarahan subkapsular, serta nekrosis tubulus renal. Sementara perubahan yang terjadi pada hati bisa tidak tampak secara nyata. Secara mikroskopik tampak perubahan patologi berupa nekrosis sentrolobuler disertai hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.
E. Gejala Klinis
F. Diagnosis
Diagnosis Klinis Leptospirosis dipertimbangkan pada semua kasus dengan riwayat kontak terhadap binatang atau lingkungan yang terkontaminasi urin binatang, disertai dengan gejala akut demam, menggigil, mialgia, conjunctival suffusion, nyeri kepala, mual, atau muntah.20 Selain itu penting juga untuk mempertimbangkan jenis pekerjaan penderita dan riwayat adanya kontak dengan air sebelumnya.
Diagnosis Laboratorium Diagnosis definitif leptospirosis bergantung pada penemuan laboratorium. Pada sindrom Weil dapat ditemukan leukositosis dan netropenia, terutama selama fase awal penyakit. Anemia tidak biasa ditemukan pada leptospirosis anikterik, tetapi dapat terjadi anemia berat pada sindrom Weil. Kadar enzim hati, kreatinin, dan ureum dapat sedikit meningkat pada leptospirosis anikterik, dan meningkat
secara ekstrim pada sindrom Weil. Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis terdiri dari: pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi hewan, dan serologi. 1. Pemeriksaan mikrobiologik Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di mikroskop lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan mikroskop lapangan gelap atau mikroskop fase kontras. Spesimen pemeriksaan dapat diambil dari darah atau urin. 2. Kultur Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal hanya pada 10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya dijumpai di dalam urin pada 10 hari pertama penyakit. Media Fletcher dan media Tween 80albumin merupakan media semisolid yang bermanfaat pada isolasi primer leptospira. Pada media semisolid, leptospira tumbuh dalam lingkaran padat 0,5-1 cm dibawah permukaan media dan biasanya tampak 6-14 hari setelah inokulasi. Untuk kultur harus dilakukan biakan multipel, sedangkan jenis bahan yang dibiakkan bergantung pada fase penyakit. Baru- baru ini dideskripsikan suatu metode radiometrik untuk mendeteksi organisme leptopira secara cepat dengan menggunakan sistem BACTEC 460 (Johnson Laboratories). Dengan sistem ini, leptospira dideteksi pada darah manusia setelah inkubasi 2-5 hari. 3. Inokulasi hewan Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi inokulasi intraperitoneal pada marmot muda. Dalam beberapa hari dapat ditemukan leptospira di dalam cairan peritoneal; setelah hewan ini mati (8-14 hari) ditemukan lesi hemoragik pada banyak organ. 4. Serologi Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas pemeriksaan serologi. Macroscopic slide agglutination test merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk rapid screening. Pemeriksaan gold standart untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospia interrogans yaitu Microscopic Agglutination Test (MAT) yang menggunakan organisme hidup. Pada umumnya tes aglutinasi tersebut tidak positif sampai minggu pertama sejak terjadi infeksi, kadar puncak antibodi 3-4 minggu setelah onset gejala dan menetap selama beberapa tahun, walaupun konsentrasinya kemudian akan menurun. Tes MAT ini mendeteksi antibodi pada tingkat serovar sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi strain Leptospira pada manusia dan hewan dan karena itu membutuhkan sejumlah strain (battery of strains) Leptospira termasuk stock-culture, disamping sepasang sera dari pasien dalam periode sakit akut dan 5-7 hari sesudahnya. Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika terjadi serokonversi berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥
1:320 dengan satu atau lebih antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non endemik leptospirosis digunakan nilai ≥ 1:160) .17 Pemeriksaan serodiagnosis leptospirosis yang lain adalah Macroscopic Agglutination Test (MA Test), Microcapsule Agglutination Test (MCAT), rapid latex agglutination assay (RLA assay), enzyme linked immune sorbent assay (ELISA), immuno-fluorescent antibody test, dan immunoblot. Selain uji serologi yang telah disebutkan di atas, terdapat pula uji serologis penyaring yang lebih cepat dan praktis sebagai tes leptospirosis. Uji serologis penyaring yang sering digunakan di Indonesia adalah Lepto Dipstick Assay, LeptoTek Dri Dot, dan Leptotek Lateral Flow. Saat ini juga telah dikembangkan pemeriksaan molekuler untuk diagnosis leptospirosis. DNA leptospirosis dapat dideteksi dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan menggunakan spesimen serum, urin, humor aqueous, cairan serebrospinal, dan jaringan biopsi. G. Komplikasi Terdapat beberapa komplikasi dari leptospirosis, diantaranya adalah gagal ginjal akut (95% dari kasus), gagal hepar akut (72% dari kasus), gangguan respirasi akut (38% dari kasus), gangguan kardiovaskuler akut (33% dari kasus), dan pankreatitis akut (25% dari kasus). H. Penatalaksanaan Leptospirosis terjadi secara sporadik, pada umumnya bersifat self limited disease dan sulit dikonfirmasi pada awal infeksi. Pengobatan harus dimulai segera pada fase awal penyakit. Secara teori, Leptospira sp. adalah mikroorganisme yang sensitif terhadap antibiotik.
4. Metode Pencegahan
Pencegahan Primordial: dilakukan sebelum terjadi perkembangan faktor resiko, fase penyakit; kondisi yang mengarah pada penyebab penyakit, target; populasi, kelompok terseleksi.
Pencegahan Primer: dilakukan sebelum terjadi penyakit, fase penyakit; factor-faktor penyebab khusus, target; total populasi, kelompok terseleksi, individu sehat.
Pencegahan Sekunder: dilakukan setelah penyakit muncul, fase penyakit; tahap dini penyakit, target; pasien.
Pencegahan Tersier: dilakukan untuk mencegah penyakit, fase penyakit; penyakit tahap lanjut (pengobatan dan rehabilitasi), target; pasien.
5. DAFTAR PUSTAKA Band JD.Malaria dalam tintinali JE Ed. Emergency medicine A Comprehensive Study Guide. Edisi
enam. New York : McGraw Hill.2004.953- 958.
Bhutta ZA.Bhutta ZA.Typhoid fever. Demam tipus.In: Rakel P, Bope ET, eds. Conn ’s Current Therapy 2008.Dalam: P Rakel, Bope ET, eds.Conn 's Terapi Lancar 2008.60th ed.60 ed. Brooks, GF, Butell JS, Morse SA. “AIDS dan Lentivirus”. In:Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg Edisi 23 . Editor: Elferia RN, Ramadhani D, Karolina S, Indriyani F, Rianti SSP, Yulia P. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007; p.617. Braunwald. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Edition, New York, 2005 Centers for Disease Control and Prevention. Basic information about HIV and AIDS. Available from: http://www.cdc.gov/hiv/topics/basic/. Clyde DF.Malaria.dalam: Nelson WE, Behrman RE,Kliegman R, Arvin AM,Ed. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 12. Jakarta : EGC. 2000:328-334.
Direktorat Jendral PP dan PL Kementrian Kesehatan RI. Laporan Situasi Perkembangan HIV/AIDS di Indonesias.d.30 Juni 2012. Jakarta (Indonesia); 2012. Departemen kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Kasus Malaria di Indonesia
Jakarta.
2005:1-37 Djoerban Z, Djauzi S. “HIV/AIDS di Indonesia”. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Editor: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI. 2009; p.2861. Jelliffe DB. Kesehatan anak di daerah tropis. Edisi keempat.Jakarta : Bumi Aksara.1994:7780. Werinberg A. Levin Mj. Infection parasitic. Dalam Hay WW. Hayward AR,Levin MJ, Ed. Cuurent pediatric diagnosis and treatment. Edisi 16. Boston :Mcgraw Hill.1999:12131222. Kusriastuti R. Data Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 2009 dan Tahun 2008. Jakarta: Ditjen PP & PL Depkes RI; 2010.
Koraka P, Suharti C, Setiati CE, Mairuhu AT, Van Gorp E, Hack CE, et al. Kinetics of Dengue Virus-specific Immunoglobulin Classes and Subclasses Correlate with Clinical Outcome of Infection. J Clin Microbio. 2001;Vol. 39 4332-8. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Info HIV dan AIDS. Jakarta; 2010.
Kurane I. Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology & Infectious Disease. 2007; Vol 30:329 -40. Laihand, F. Darft. Pedoman penanggulangan /penanganan malaria di
daerah bencana.
Dalam www.p2m-pl.pdf.3003 Lestari K. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Indonesia. Farmaka. Desember 2007; Vol. 5 No. 3: hal . 12-29. Malavinge G, Fernando S, Senevirante S. Dengue Viral Infection. Postgraduate Medical Journal. 2004;Vol 80:p. 588-601. Nasronudin. Pengembangan pengetahuan penyakit infeksi HIV dan AIDS. In: HIV dan AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial. Editor: Barakbah J, Soewandojo E, Suharto, Hadi U, Astuti WD. Surabaya: Airlangga University Press; 2007. p.279-303. Nasronudin. HIV/AIDS. In: Penyakit infeksi di Indonesia solusi kini dan mendatang. Editor: Hadi U, Vitanata, Erwin AT, Suharto, Bramantono, Soewandojo E.Surabaya: Airlangga University Press.2007; p.15 – 7. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2008:chap 48.Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2008: bab 48. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007:chap 329.Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007: chap 329. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Malaria. Dalam Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2 : Jakarta: FK UI.1985:655-659. Soemarwo S. Malaria dalam Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis. Jakarta FK UI. 2002:442461. Soegijanto S. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue. www.pediatrikcom/buletin/200602208ma2gi-buletindoc; 2002 [cited 2010]; Available from: www.pediatrikcom/ buletin/20060220-8ma2gi-buletindoc.