JURNAL KEDOKTERAN INDIAN PADA PERAWATAN KRITIS ( Indian Indian Journal of Critical Care Medicine) Medicine) Periode Januari – Maret 2001# Vol. 5 No.1
Abstrak: Infeksi Leptospirosis Berat di ICU Leptospirosis Leptospirosis Pada Manusia. Wacana singkat mengenai suatu kasus.
Vieira A, Barros MS, Valente C, Trindade L, Faria MJ, Freitas F Servico de Doencas Infecciosas, Centro Hospitalar de Coimbra. Acta Med Port 1999 Dec;12(12):331-40 Leptospirosis, suatu penyakit zoonosis dengan distribusi yang tersebar di seluruh dunia, dapat memperlihatkan manifestasi klinis yang beragam sehingga menyulitkan diagnosis terutama pada daerah yang beriklim basah. Pada penelitian ini penulis menjabarkan 42 kasus Leptospirosis yang tercatat di Unit Penyakit Infeksi Centro Hospitalar de Coimbra sejak tahun 1990. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa gambaran epidemiologis, manifestasi klinis, hasil laboratorium, pengobatan, dan proses penyembuhan Leptospirosis. Sampel penelitian terdiri dari para penderita leptospirosis, 23 pria (54,7%) dan 19 wanita (45,2% (45,2%)) dengan dengan rentan rentang g usia usia 17-82 17-82 tahun. tahun. Kebany Kebanyaka akan n pender penderita ita,, disebab disebabkan kan karena karena pekerjaannya, memiliki kontak erat dengan hewan atau kolam air ( stagnant water ). ). Seluruh kasus kasus telah telah dikonf dikonfirm irmasi asi secara secara serolog serologis is (denga (dengan n MAT/EL MAT/ELISA ISA)) sebaga sebagaii leptos leptospir pirosi osis. s. Terdapat 42,9% penderita dengan tampilan non-ikterik. Gejala utama yang didapat pada para penderita adalah demam (97,5%), ikterus (57,15%), mialgia (71,4%), nyeri kepala (42,8%), dan mual (33,3%). Keterlibatan ginjal ditemukan cukup banyak (52%), tetapi bentuk yang paling parah terjadi pada 3 orang penderita hingga memerlukan hemodialisis, diikuti oleh adanya DIC (9,5%), meningitis (4,7%), dan keterlibatan paru-paru (2,3%). Serova Serovarr yang yang teride teridenti ntifika fikasi si paling paling banyak banyak adalah adalah L.icterohaemorraghiae (28,5%), L australis (14,3%), L.grippothyphosa (14,3%), L.grippothyphosa (11,9%), dan L.canicola (9,5%). Para penderita diterapi dengan penicillin G (83,3%), doxycyclin (9,5%). 2 orang penderita meninggal dunia dan sisanya sisanya menunj menunjukk ukkan an perbai perbaikan kan.. Pada Pada wacana wacana ini penuli penuliss meneka menekanka nkan n bahwa bahwa riwaya riwayatt epidemiologis berguna untuk mengarahkan diagnosis apabila manifestasi klinis leptospirosis terlihat tidak spesifik. Terapi Antibiotik Leptospirosis Leptospirosis
Guidugli F, Castro AA, Atallah AN Internal Medicine, Federal University of Sao Paolo, Rua Humberto Humberto I, 962 apt. 16, Sao Paolo, Paolo, Brazil, 04018-033. Cochrane.dmed.epm.br Cochrane.dmed.epm.br Cochrane Database Sust Rev 2000;(2):CD001306 2000;(2):CD001306 LATAR BELAKANG: Leptospirosis adalah penyakit parasit yang ditularkan melalui hewan. Leptospirosis berat memerlukan perawatan di Rumah Sakit dan sekitar 5 % penderita dapat meninggal meninggal karenanya. karenanya. Dalam praktek-pra praktek-praktek ktek klinis, klinis, penicillin penicillin paling paling banyak banyak digunakan digunakan sebagai terapi leptospirosis. TUJUAN: Guna menilai efektivitas dan keamanan suatu regimen antibiotik dibandingkan dengan plasebo dalam pengobatan leptospirosis.
Penelitian mencakup permasalahan di bawah ini: a. Apakah Apakah suatu suatu regimen regimen antibiotik antibiotik lebih efektif efektif daripada daripada plasebo? plasebo? b. Apakah suatu regimen antibiotik lebih aman daripada plasebo? c. Apakah Apakah suatu suatu regime regimen n antibi antibioti otik k paling paling efisien efisien dan paling paling aman aman untuk untuk pengoba pengobatan tan leptospirosis? STRATEGI PENCARIAN DATA: Melalui media-media elektronik dan semua artikel yang berhubungan dengan leptospirosis. leptospirosis. KRITERIA SELEKSI: PENELITIAN: Pengobatan leptospirosis dengan antibiotik menggunakan uji klinis secara acak acak (rand (random omisa isasi si). ). Baha Bahasa sa,, tang tangga gal, l, dan dan hal-h hal-hal al yang yang memb membata atasi si lain lainny nyaa tida tidak k ikut ikut dicantumkan. PESERTA: Para penderita dengan manifestasi klinis leptospirosis INTE INTERV RVEN ENSI SI:: Suat Suatu u regim regimen en anti antibi biot otik ik diba diband ndin ingk gkan an deng dengan an kelo kelomp mpok ok kont kontro roll (menggunakan plasebo atau regimen antibiotik lain). PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS: Kualitas data dan metodologi dari setiap uji klinis diambil dan dinilai oleh 2 orang reviewer (penulis resensi buku) secara independent. Random effects model digunakan model digunakan tanpa melihat heterogenitas statistik yang mencolok. HASIL: HASIL: 3 uji klinik klinik sesuai sesuai dengan dengan kriter kriteria ia inklus inklusi. i. Allocation concealment (pembagian tersembunyi) dan double blind methods tidak dijabarkan secara jelas. Dari semua penderita yang yang diik diikut utser serta taka kan, n, 75 oran orang g diter diterap apii deng dengan an plase plasebo bo dan dan 75 oran orang g dite diterap rapii deng dengan an antibiotik: 61 orang (81,3%) dengan penicillin dan 14 orang (18,6%) dengan doxycyclin. Hasil perbandingan penggunaan antibiotik dengan plasebo menunjukkan: a. Mort Mortal alit itas as 1% berb berban andi din ng 4%, 4%, perb perbed edaa aan n resi resik ko (risk risk differe difference nce)) -2%, 95% confidence interval (interval interval (interval terpercaya) -8 hingga 4%. b. Lama perawatan rumah sakit (dalam hari): perbedaan rata-rata yang diperberat (weighted mean difference) difference) 0.30, 95% confidence interval -1.26 hingga 1.86. c. Perawa Perawatan tan rumah rumah sakit yang diper diperpan panjan jang g (> 7 hari): hari): 30% (7/23) (7/23) berbandi berbanding ng 74% (14/19); risk difference -43%, 95% confidence interval -70% hingga -16%. Jumlah penderita yang perlu diterapi (needed-to-treat) 3.95%, confidence interval 2 interval 2 hingga 7. d. Perio Periode de beba bebass demam demam (dala (dalam m hari) hari):: weighted mean difference -4.04, 95% confidence interval -8.65 interval -8.65 hingga 0.58. e. Lept Leptos ospi piru ruri ria: a: 5% (4/7 (4/75) 5) berb berban andi ding ng 40% 40% (30/ (30/75 75); ); risk risk differe difference nce -46%, -46%, 95% confidence confidence interval interval -88 hingga hingga 3%. Jumlah pender penderita ita yang yang perlu perlu ditera diterapi pi 2.95%, 2.95%, confidence interval 1 hingga 33. KESIMPULAN REVIEWERS : Penggu Penggunan nan regime regimen n antibi antibioti otik k untuk untuk terapi terapi leptos leptospir pirosi osiss adalah adalah salah salah satu cara pengob pengobata atan n yang, yang, berdas berdasar ar pada pada bukti bukti yang yang ada, ada, dinilai dinilai kurang kurang menunjang bagi pedoman praktek lapangan . Uji klinik secara acak menunjukkan bahwa antibi antibioti oticc dapat dapat berman bermanfaa faatt untuk untuk terapi terapi leptos leptospir pirosi osis. s. Namun Namun karena karena 2 dari dari 3 uji klinis klinis tersebut kualitasnya masih dapat dipertanyakan maka indikasi penggunan antibiotik ini belum dapat dapat dipasti dipastikan kan.. Akan Akan tetapi tetapi dari dari bukti-b bukti-bukt uktii lain menunj menunjukk ukkan an bahwa bahwa penici penicilli llin n lebih lebih banyak menguntungkan menguntungkan daripada membahayakan. Deteksi dengue pada pasien leptospirosis yang diteliti di Barbados.
Levett PN, Branch SL, Edwards Edwards CN School of Clinical Medicine and Research, University of west Indies, Bridgetown, Barbados . Am J Trop Med Hyg 2000 Jan;62(1):112-4 J an;62(1):112-4
Insiden leptospirosis tahunan di Barbados diperkirakan sekitar 13 kasus berat/100.000. Insiden puncak ( peak incidence) setiap tahunnya terjadi pada bulan Oktober-Desember, bersamaan dengan musim hujan dengan curah hujan tertinggi. Selama pertengahan tahun 1995, epidemi infeksi dengue tipe 1 tercatat 1000 kasus dengan konfirmasi laboratorium (laboratory-confirmed cases). Pada periode yang sama, mortalitas leptospirosis mencapai 2X rata-rata. Hal ini menunjukkan ada beberapa kasus leptospirosis yang salah terdiagnosis dan tidak diterapi secara baik. Serum para pasien yang diteliti sebagai dengue atau leptospirosis dianalisa secara retrospektif untuk menentukan seberapa jauh tingkat kesalahan diagnosisnya. Selama tahun 1996 dan 1996, 31 dari 139 dan 29 dari 93 pasien dinyatakan sebagai penderita leptospirosis. Serum pasien yang tidak teridentifikasi sebagai leptospirosis kemudian diuji dengan antibody IgM anti-dengue. Selama tahun 1995 dan 1996, 48 dari 108 dan 21 dari 64 pasien leptospirosis ditemukan mengidap dengue. Pada tahun 1997, serum dari semua pasien yang teridentifikasi sebagai leptospirosis juga diuji secara prospektif dengan IgM anti-dengue: 38 dari 92 pasien leptospirosis-negatif (41%) memiliki IgM dengue positif, dimana 2 dari 25 kasus leptospirosis juga memiliki bukti serologis yang menunjang kea rah infeksi dengue akut. Kejadian Luar Biasa dengue (KLB/ large outbrake) kedua pada tahun 1997 disebabkan oleh serotipe 2. Selama tahun 1995 dan 1997 saat epidemi dengue terjadi di Barbados, jumlah kasus dengue melebihi jumlah kasus leptospirosis. Selama tahun 1997, pasien yang teridentifikasi sebagai leptospirosis namun negatif-dengue juga diuji dengan IgM antileptospiral, hasilnya: 7.3% (19 dari 262) terbukti IgM-positif. Kesadaran masyarakat dan ketelitian klinis dibutuhkan untuk mengurangi kesalahan diagnosis antara dengue dan leptospirosis. Leptospirosis di Amerika Latin
Lomar AV, Diament D, Torres JR Universidade de Mogi das Cruzes, Brasil.
[email protected] Infect Dis Clin North Am 2000 Mar;14(1):23-29, vii-viii Leptospirosis tidak asing lagi di Amerika Latin. Transmisi ke manusia terjadi melalui kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi urine tikus, anjing, dan hewan ternak. Patogenesis leptospirosis belum dapat dipahami sepenuhnya, diperkirakan bahwa tampilan klinisnya disebabkan oleh toksin bakteri atau faktor-faktor virulensi kuman. Bentuk non-ikterik leptospirosis merupakan bentuk yang paling sering dijumpai, tampilan klinisnya hanya berupa penyakit demam akut atau menyerupai influenza. Icterohaemorrhagic leptospirosis atau Weil’s Syndrome merupakan manifestasi klinis terberat yang mirip dengan sepsis bakterialis, dan disertai keterlibatan banyak organ seperti ginjal dan paru-paru sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Kematian yang terjadi sering diakibatkan oleh kegagalan banyak organ dan perdarahan paru-paru. Diagnosis ditegakkan dari tes serologi, atau kultur darah, cairan serebrospinal, dan urine pada media spesifik. Pengobatan dilakukan dengan kombinasi antibiotik dan penunjang lainnya. Sitokin procalcitonin dan proinflamasi pada serum penderita leptospirosis akut dan berat.
Petros S, leonhardt U, Engelmann L Universitat Leipzig, Medizinische Klinik I, Abteilung fur Intensivmedizin, Germany. Scand J Infect Dis 2000;32(1):104-5
Leptospirosis, suatu zoonosis dengan manifestasi klinis dari yang ringan hingga yang berat, berpotensial menyebabkan gagal ginjal dan hati bersamaan dengan perdarahan dan ikterus. Dalam laporan kasus seorang pasien leptospirosis berat, kadar procalcitonin dalam serumnya menurun, sehingga hal ini dapat berguna sebagai penentu prognosis ( prognostic marker ). Kadar reseptor solubel IL-2 sangat tinggi dan berkorelasi dengan keadaan klinis. Aspek klinis leptospirosis okular di New Caledonia (Pasifik Selatan)
Mancel E, Merien F, Pesenti L, Salino D, Angiband G, Perolat P Departement of ophthalmology, Gaston Bourret Hospital, Noumea, New Calidona. Aust N Z J Opthalmol 1999 Dec;27(6):380 TUJUAN: Insidensi leptospira di New Calidona sangat tinggi (insiden tahunan rata-rata: 180/100.000 populasi). Penelitian bertujuan untuk meneliti peran leptospirosis sebagai penyebab penyakit okular, dalam laporan hasil survei selama 5 tahun di New Calidona. METODE: Wawancara retrospektif terhadap 13 orang pasien. Seleksi pasien dilakukan berdasarkan data epidemiologis, pemeriksaan klinis pertama kali, konfirmasi biologis berdasarkan prosedur dan specific polymerase chain reaction assay. Kriteria natomis uveitis dan kriteria perjalanan penyakit didasarkan pada International Uveitis Study Group. HASIL: Ditemukan 65% neuritis optik, 35% uveitis posterior, 24% secluded pupil, 18% keratitis intersisial, planitis parsial. Angka kekambuhan sebesar 46% dan komplikasi optalmik sebesar 82%. Terdapat beberapa gejala yang mengindikasikan keterlibatan otak. Kerusakan penglihatan yang berat terjadi sebanyak 35%. KESIMPULAN: Hibridisasi mikroaglutinasi dan reaksi rantai polimerase (microagglutination and polymerase chain reaction hybridization) menjadi alat tes komplementer untuk mendiagnosis lesi optalmik yang disebabkan oleh leptospira. Sebelum memutuskan terapi yang yang hendak diberikan, harus dipertimbangkan adanya leptospira virulen yang secara imunologis menetap di tempat-tempat tertentu seperti aqueous humor, cairan serebrospinal, dan sel-sel eukariotik. Diagnosis dini akan menunjang terapi dini leptospirosis, yang saat ini terdiri dari golongan kuinolon dan cycline. Kerusakan paru-paru akut pada leptospirosis: satu tampilan klinis, laboratorium, hasil, dan fakor-faktor terkait dengan mortalitas.
Marotta PC, Nascimento CM, Eluf-neto J, Marotta MS, Andrade L, Sztajnbok J, Seguro AC Intensive Care Unir, Instituto de Infectologia Emilio Ribas, Universidade de Sao Paolo, Sao Paolo, Brazil. Clin Infect Dis 1999 Dec;29(6):1561-3 42 orang pasien leptospirosis dan kerusakan paru-paru akut dianalisa dengan penelitian kohort aprospektif (aprospective cohort study). 19 pasien (45%) bertahan hidup dan 23 pasien (55%) meninggal. Analisis multivarian 3 variabel berkaitan dengan mortalitas, yaitu: gangguan hemodinamik (Odds ratio [OR] 6.0; 95% confidence interval [CI] 0.9-38.8; P=0.47), kadar kreatinin serum >265.2 micromol/L (OR 10.6; 95% CI 0.9-123.7; P=0.26), dan kadar kalium serum >4.0 mmol/L (OR 19.9; 95% CI 1.2-342.8; P=0.09). Penelitian ini dapat digunakan
untuk menyelidiki faktor-faktor yang berkaitan dengan mortalitas akibat kegagalan fungsi paru berat pada leptospirosis. Penelitian klinis-epidemiologis pada kasus leptospirosis berat di rumah sakit .
Singh SS, Vijayachari P, Sinha A, Sugunan AP, Rasheed MA, Sehgal SC G.B. Pant Hospital, Regional Medical Research Centre (ICMR), Port Blair. Indian J Med Res 1999 Mar;109:94-9 Guna mengetahui spektrum abnormalitas klinis, patologis, biokimia, dan prognosis leptospirosis, suatu penelitian prospektif dilakukan di Port Blair dalam kurun waktu September 1996 – Agustus 1997. Lebih dari 80 pasien yang diduga leptospirosis, 58 orang terbukti dengan tes serologis terinfeksi leptospira, 14 pasien meninggal (case fatality rate 24.1%). Insiden penyakit paling tinggi pada 2 masa puncak bersamaan dengan musim tanam padi dan musim panen. Mayoritas pasien banyak terpapar air dan lingkungan basah sebelum terkena penyakit. Terdapat 2 sindrom klinis utama yaitu sindrom hepato-renal dan sindrom pulmonal, dimana komplikasi hepato-renal terjadi pada 30 pasien dengan 26 pasien mengalami komplikasi kedua organ tersebut. Sebaliknya, komplikasi pulmonal terjadi sedikit lebih awal dan angka kematian kasusnya sangat tinggi (42.9%). Komplikasi lainnya adalah hipotensi refrakter, kemungkinan akibat miokarditis (40%), kekakuan leher dan perubahan sensoris akibat gangguan SSP (12.1%). Kemungkinan terjadinya komplikasi akan lebih rendah apabila pengobatan diberikan lebih dini. Komplikasi pulmonal yang terjadi dengan cepat mengindikasikan bahwa patogenesisnya berbeda dengan komplikasi-komplikasi lain. Epidemi leptospirosis berat di perkotaan Brazil. Kelompok Penelitian Leptospirosis Salvador.
Ko AI, Galvao Reis M, Ribeiro Dourado CM, Johnson WD Jr, Riley LW Goncalo Moniz Research Centre, Oswaldo Cruz Foundation, Brazilian Ministry of Health, Salvador. Lancet 1999 Sep 4;354(9181):820-5 LATAR BELAKANG: Leptospirosis dikenal sebagai penyakit daerah pedesaan yang sporadis. Penelitian ini hendak menjabarkan kejadian leptospirosis di daerah perkotaan. METODE: Pencarian kasus leptospirosis secara aktif (active surveillance) dalam kurun waktu 10 Maret - 2 November 1996. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi diikutsertakan dalam penelitian. Diagnosis dikonfirmasikan dengan laboratorium melalui metode tes mikroaglutinasi dan identifikasi leptospirosis dalam darah dan urine. Faktor resiko untuk mortalitas dinilai dengan analisa multivarian. PENEMUAN: Dari hasil surveillance ditemukan 326 kasus dimana 193 kasus (59%) dikonfirmasi dengan laboratorium, 133 kasus (41%) masih dinyatakan ‘mungkin’ ( probable). L. interrogans serovar copenhageni telah diisolasi dari 87% kasus dengan hasil kultur darah positif. Kebanyakan kasus mengenai dewasa (usia rata-rata 35.9 tahun [SD 15.9]), dan 80% kasus adalah laki-laki. Komplikasi meliputi ikterus (91%), oliguria (35%), dan anemia berat (26%). 50 kasus ditemukan meninggal (angka kematian kasus 15%) tanpa melihat terapi suportif yang telah diberikan termasuk dialisis (23%). Perubahan status mental merupakan
prediktor kematian terkuat (OD 9.12 [95% CI 4.28-20.3]), usia diatas 37 tahun, insufisiensi renal dan pulmonal juga merupakan prediktor kematian yang bermakna. 42% kasus didiagnosis salah sebagai demam dengue. INTERPRETASI: Epidemi leptospirosis menjadi masalah utama kesehatan di daerah perkotaan, terkait dengan tingginya angka kematian. Kekeliruan diagnosis dengan demam dengue dan adanya penyakit infeksi berat lainnya dengan kesamaan distribusi geografis mengakibatkan keterlambatan intervensi medis yang dapat menurunkan angka kematian. Leptospirosis.
Rathinam SR, Namperumalsamy P Aravinf Eye Hospital & Postgraduate Institute of Opthalmology, Madurai, India. Ocul immunol Inflamm 1999 Jun;7(2):109-18 Leptospirosis, suatu penyakit spirocheta yang ditularkan melalui air, umum terjadi di iklim tropis. Tikus dan hewan liar merupakan reservoir utama. Infeksi pada manusia terjadi akibat kontak dengan urine, jaringan hewan terinfeksi, atau air dan tanah yang terkontaminasi. Leptospirosis sistemik terjadi bila mengenai banyak organ. Manifestasi klinis dapat beragam mulai dari occult infection (tidak terlihat) hingga komplikasi yang fatal seperti kegagalan hepatorenal. Diagnosis dini penting untuk mencegah kasus berat. Mikroaglutinasi menjadi gold standard untuk tes serologis leptospirosis. Pengobatan leptospirosis sistemik meliputi penisilin atau tetrasiklin dan terapi suportif lainnya. Keterlibatan okular terjadi selama fase imunologis penyakit. Leptospirosis dapat mengenai 1 atau 2 mata, seringkali disertai dengan panuveitis, periflebitis retina, dan hipopion. Secara umum, uveitis leptospirosis mempunyai prognosis yang baik dan penglihatan penderita dapat pulih seutuhnya meskipun mereka mengalami inflamasi panuveal berat. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini berguna, tidak hanya untuk membedakannya dengan uveitis autoimun berat, tetapi juga untuk menurunkan persentase uveitis idiopatik di daerah endemik. Sindrom Weil’s dan infeksi hepatitis B yang terjadi bersamaan ( concomitant )
Kaushik SP, Yim HB, Tan CC Departement of General Medicine, Tan Tock Seng Hospital, Singapore. Singapore Med J 1999 Feb;40(2):104-5 Leptospirosis adalah penyakit yang tersebar di semua tempat, zoonosis spirocheta dengan spektrum klinis yang luas. Sindrom Weil’s, ditandai dengan ikterus, gagal ginjal, dan perdarahan, merupakan manifestasi klinis yang terberat. Ketelitian yang tinggi dibutuhkan untuk mendiagnosis dan memberikan terapi secepatnya. Penelitian ini menjabarkan kasus sindrom Weil’s yang berbarengan dengan infeksi hepatitis B. Leptospirosis (sindrom Weil’s) dengan gagal ginjal, ikterus berat, pendarahan diseminata, dan xanthopsia)
Fuchs W, Wolber T, Woss E, Neyer U, Drexel H Abteilung fur Innere Medizin, Landeskrankenbaus Feldkirch.
Schweiz Med Wochenschr 1999 Jun 5;129(22):847-50 Penulis melaporkan satu kasus, laki-laki 48 tahun dari Austria Barat dengan leptospirosis berat. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia namun terutama pada daerah tropis. Urine hewan peliharaan dan hewan liar yang terinfeksi menjadi media penularan dengan karakteristik penyakit berpola bifasik. Fase awal adalah ‘fase leptospiremik’ ditandai dengan demam tinggi, keterlibatan konjungtiva, nyeri otot, dan nyeri kepala. Dapat juga disertai dengan hepatitis, nefritis, dan pendarahan. Fase kedua disebut ‘fase imun’ dengan manifestasi klinis yang sangat beragam. Demam dan gejala-gejala awal dapat muncul kembali, serta dapat mengenai sistem saraf pusat dan perifer. Laporan menunjukkan bahwa para pasien mengalami semua karakteristik mayor kecuali keterlibatan konjungtiva. Hasil penelitian cukup menggembirakan walaupun terdapat beberapa kondisi dengan prognosis buruk (ikterus, gagal ginjal, pendarahan). Ikterus berat dan ekstrim serta xanthopsia (penglihatan kuning) membuat kasus ini menjadi tidak biasa (unique). Faktor-faktor yang berkaitan dengan leptospirosis klinis: Suatu penelitian kasus control berdasarkan populasi ( population-based case-control study) di Seychelles (Samudra Hindia)
Bovet P, Yersin C, Merien F, Davis CE, Perolat P University of Social and Preventive Medicine, Lausanne, Switzerland. Int J epidemiol 1999 Jun;28(3):583-90 LATAR BELAKANG: Di negara-negara barat, dibandingkan dengan negara-negara tropis, leptospirosis tidak begitu sering terjadi. Penyakit ini lebih sering mengenai petani dan seseorang yang banyak berhubungan dengan air ( water-related activities). METODE: Peneliti menggunakan penelitian one-year-population-based matched casecontrol untuk meneliti frekuensi dan faktor-faktor terkait di seluruh populasi Sychelles. HASIL: 75 pasien dinyatakan mengidap leptospirosis akut berdasarkan tes MAT dan PCR (insidens 101/100.000 per tahun; 95% CI: 79-126). 37% kelompok kontrol dinyatakan positif dengan MAT (pernah terinfeksi) dan 9% dengan PCR (infeksi subklinis), rentang usia 25-64. Dibandingkan dengan hasil yang negatif, leptospirosis banyak ditemukan pada pasien yang sering bertelanjang kaki, mencuci di air mengalir, bekerja di kebun atau hutan, pengkonsumsi alkohol, juga terkait dengan musim hujan, tanah basah, tikus, kucing rumah, dan kulit yang terluka. KESIMPULAN: Data ini mengindikasikan insidensi leptospirosis di Seychelles, dimana kontrol yang efektif membutuhkan pendekatan multifaktorial termasuk mengubah perilaku kesehatan masyarakat. Reaktogenitas dan imunogenitas vaksin Cuban pertama terhadap Leptospirosis .
Martinez Sanchez R, Obregon Fuentes AM, Perez Sierra A, BAly Gil A, Diaz Gonzales M, Baro Suarez M, Menendez Capote R, Ruiz Perez A, Sierra Gonzales G, Lopez Chavez AU Instituto de Medicina Tropical Pedro Kouri, Cinda de La Habana, Cuba. Rev Cuba Med Trop 1998;50(2):159-66
80 sukarelawan penelitian terdiri dari pria dan wanita dewasa dibagi secara acak menjadi 2 grup, masing-masing 40 orang diteliti dengan uji klinik controlled double blind . Salah satu kelompok diberikan plasebo sementara yang lain diberikan vaksin untuk membandingkan tingkat keamanan, reaktogenitas, imunogenitas vaksin Cuban pertama ini. Vaksin mengandung kuman Leptospira canicola, L. icterohaemorrhagiae, dan L. pomona yang diinaktivasi dan bersifat trivalen. Hasil penelitian menunjukkan tidak terjadi reaksi efek samping vaksin. Gejala umum yang timbul pasca vaksinasi adalah demam/febris yang terjadi pada 3 hari pertama observasi. Terdapat pula nyeri pada tempat injeksi yang rinagn. Hasil akhir menunjukkan bahwa vaksin ini aman untuk manusia (usia dewasa) dan hendaknya penelitian ini diteruskan untuk mendapatkan pengetahuan lebih jauh mengenai vaksinasi leptospirosis. Leptospirosis ginjal yang berat. 6 kasus yang didapat selama 15 tahun pada satu pusat penelitian.
Schillinger F, Babean N, Montagnac R, Milcent T Service de nephrologie-hemodialyse, Centre Hospitalier, Troyes. Nephrologie 1999;20(2):81-6 Penulis melaporkan 6 kasus leptospirosis yang diobservasi selama 15 tahun, dimana ditemukan 2 serotipe, yaitu: L. Icterohaemorrhagiae dengan karakteristik utama ikterus, dan L. Patoc dengan bentuk non-ikteriknya. Adanya gagal ginjal akut dengan gejala oligo-anuria mengharuskan keenam kasus tersebut dihemodialisis. Meningitis ditemukan pada 4 kasus, disertai ensefalitis dan poliradikuloneuritis. Ditemukan pula 1 kasus lesi intersisial paru, 1 kasus miokarditis dengan gangguan konduksi hingga meninggal, dan 3 kasus pendarahan gastrointestinal. Referensi teknik diagnosis tetap menggunakan MAT, didukung oleh deteksi IgM dengan ELISA atau PCR. Leptospirosis di Seychelles (Samudra Hindia): suatu penelitian berbasis populasi .
Yersin C, Bovet P, Merien F, Wong T, Panowsky J, Perolat P Ministry pf Health, Victoria, Seychelles. Am J Trop Med Hyg 1998 Dec;59(6):933-40 Program surveilans leptospirosis telah dijalankan selama 12 bulan pada seluruh populasi di Seychelles. Diagnosis ditegakkan dengan tes MAT dan PCR. 125 pasien diperkirakan menderita leptospirosis, 75 pasien telah dikonfirmasi sebagai leptospirosis. (insidens 101/100.000;95% CI = 79-126). 8 serogrup telah teridentifikasi dan yang terbanyak adalah L. icterohaemorrhagiae (31%) dan L. hurstbridge (20%). L. hurstbridge adalah serogrup yang baru ditemukan namun mempunyai implikasi kasus berat dan kematian. Gejala mirip influenza tercatat sebanyak 37%, sementara perdarahan paru 19%, gagal ginjal akut 28%, dan ikterus 52%. 6 orang pasien meninggal akibat pendarahan paru. Saran penggunaan penisilin selama 5 hari dirasa tidak mencukupi upaya pemusnahan bakteri. Leptospirosis. Deskripsi kasus klinis dan tinjauan litetatur.
Vivani M, Berlot G, Poldini F, Silvestri L, Sabadini D, Dezzoni R. Cattedra di Terapia Intesiva, Universita degli Study, Trieste.
Minnerva Anstesiol 1998 Oct;64(10):465-9 Leptospirosis, suatu penyakit antropozoonosis yang disebabkan oleh strain Leptospira, dapat menunjukkan gejala awal yang ringan walaupun pada banyak kasus gejala klinis awalnya tergolong berat dan sistemik, termasuk demam tinggi, hipotensi, dan lain-lain. Diagnosis klinis leptospirosis dapat menjadi sulit akibat keragaman tampilan klinis yang kompleks dan tidak didapatkan anamnesis yang baik. Sebuah laporan kasus mengenai seorang laki-laki berusia 45 tahun yang dibawa ke rumah sakit karena ikterus berat dan demam disertai perubahan status mental, gagal ginjal, sehingga harus dibawa ke ICU. Diagnosis dikonfirmasi dengan tes deteksi antibodi IgM. Pendekatan terapi dilakukan dengan pemilihan antibiotik (penisilin 24.000.000 U sehari). Leptospirosis di Belanda, 1991-1995.
Olszylna DP, Jaspars R, Speelman P, van Elzakker E, Korver H, Hartskeerl RA Academish Medisch Centrum, afd. Inwendige Geneeskunde, onder-afd. Infectieziekten Tropische Geneeskunde en Aids, Amsterdam. Ned Tijdschr Geneeskd 1998 May 30;142(22):1270-3 TUJUAN: Untuk mendata seluruh kasus leptospirosis di Belanda selama tahun 1991-1995 yang telah dikonfirmasi secara serologis atau kultur. DESAIN PENELITIAN: Deskriptif, retrospektif. TEMPAT: Departemen Penelitian Biomedis, Royal Tropical Institute, Amsterdam, Belanda, dan Departemen Penyakit Dalam, Academic Medical Centre, Amsterdam, Belanda. METODE: Dengan menggunakan data referensi laboratorium untuk leptospirosis, jumlah kasus pada tahun 1991-1995 dibandingkan dengan data pada tahun 1986-1990. HASIL: Jumlah kasus yang terkonfirmasi menurun dari 229 pada tahun 1986-1990 menjadi 159 pada tahun 1991. Penurunan ini terutama dikarenakan penurunan jumlah kasus dairy farm fever (demam leptospirosis di daerah peternakan susu [hardjo]). Peningkatan jumlah kasus didapat dari pasien yang melakukan perjalanan ke luar eropa, sehingga di Belanda penyakit ini tidak lagi merupakan occupational disease melainkan menjadi recreational disease. 10% pasien menderita sindrom Weil’s (ikterus, gagal ginjal, dan pendarahan). 8 pasien (5%) meninggal, 5 dari 8 pasien adalah penderita sindrom Weils’. Penelitian etiologi leptospirosis dalam bidang digestif, terutama pada keadaan akut abdomen.
Andreescu N, Badulescu A, Gavrila S, Siderof AC Cantacuzino Institute, Bucharest, Romania. Roum Arch Microbiol Immunol 1998 Jan-Mar;57(1):11-21 Penelitian menitikberatkan pada kemungkinan etiologi leptospirosis abdomen non-ikterik atau ikterik lanjut yaitu, pendarahan digestif terutama epigastrium, kolesistitis akut (non-litiasis), apendisitis akut, gastroenterokolitis akut, dan lainnya, yang dapat mengindikasikan adanya
leptospirosis akut atau laten (mulai 14 hari hingga bulanan). Sebanyak 300 pasien dengan demam tinggi, data epidemiologis yang terkait diagnosis leptospirosis di rumah sakit diteliti dengan metode kerja tercantum dalam paper/penelitian. 30 kasus di antaranya telah dikonfirmasi sebagai leptospirosis; namun penelitian juga mengungkapkan bahwa keterlambatan diagnosis etiologi dan pengobatan menyebabkan perjalanan penyakit menjadi berat. Leptospirosis dengan pendarahan pulmonal berat di Far North Queensland.
Simpson FG, Green KA, Hang GJ, Brookes DL University of Queensland, Brisbane. Med J Aust 1998 Aug 3;169(3):151-3 Pendarahan pulmonal merupakan manifestasi leptospirosis yang jarang didiagnosis di negaranegara maju. 5 pasien yang terbukti mengidap leptospirosis dengan pendarahan pulmonal berat dipresentasikan di sebuah rumah sakit di Far North Queensland antara Januari 1994 – Juni 1997. 4 pasien memerlukan perawatan ICU dan seorang meninggal dunia. Pendarahan pulmonal adalah komplikasi berat yang jarang terjadi dan sering membingungkan diagnosis di daerah tropis Australia. Demam pada wisatawan yang kembali dari perjalanan.
Magill AJ United States Naval Medical Research Institute Detachment (US NAMRID), Lima, Peru. Infect Dis Clin North Am 1998 Jun;12(2):445-69 Penyebab tersering demam pada wisatawan yang kembali dari perjalanan dari luar negeri adalah malaria. Setiap kasus demam di daerah epidemi malaria harus dievaluasi ketat terhadap kemungkinan etiologi P. falsiparum. Diagnosis dan terapi dini dapat mencegah morbiditas dan mortalitas berat. Penyebab demam lain yang lebih jarang adalah schistosomiasis, demam enterik, ricketsiosis, leptospirosis, dan demam dengue. Sekitar seperempat pasien demam tidak diketahui penyebabnya namun dapat sembuh tanpa gejala sisa ( sequele). Para pasien dengan manifestasi demam dan pendarahan selama 3 minggu harus diisolasi untuk menghindari penularan. Diferensial diagnosis demam para wisatawan ini dapat dibuat dengan sistematis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium terpilih sehingga diagnosis dapat ditegakkan dan mencegah infeksi yang lebih serius. Koreksi keseimbangan cairan-elektrolit dan asam-basa pada kasus leptospirosis berat.
Matiash VI Lik Sprava 1998 Jan-FeB;(1):156-8 Gambaran klinik kasus leptospirosis berat menunjukkan gangguan pada keseimbangan elektrolit dan asam-basa yang harus segera dikoreksi. Koreksi cairan ini meliputi pemberian larutan glukosa dan garam, dextran, dan pada kasus terberat diberikan albumin serta pemantauan kadar hematokrit, osmolaritas plasma, dan diuresis per 24 jam. Koreksi ini terutama mencegah asidosis metabolik dengan cara pemberian natrium hidrogen karbonat melalui rute oral dan parenteral.
Diagnosis dan penatalaksanaan leptospirosis di tempat kejadian.
Noone J Kauai Community Sollege, Libue, Hawaii, USA. Nurse Pract 1998 May;23(5):62-4, 66, 68 passim Leptospirosis adalah penyakit infeksi dengan masa inkubasi 1-2 minggu setelah terpapar sumber infeksi, dimana infeksi masuk melalui luka, membran mukosa, atau meminum air terkontaminasi. Gejala khas penyakitnya adalah flu-like syndrome akut yang membaik dalam 2 minggu. Fase imunologisnya sering nampak sebagai meningitis aseptik. Fase imunologis lanjut yang parah (sindrom Weil’s) dapat menyebabkan ikterus, gagal ginjal, adult respiratory distress syndrome, koagulasi intravaskular diseminata, dan kematian. Pemberian antibiotik dapat dimulai sebelum hari keempat sakit dengan deteksi laboratorium. Kejadian leptospirosis di Amerika Serikat belakangan ini meningkat sehingga dibutuhkan diagnosis serta terapi yang cepat dan akurat untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa. Gangguan hemostatis pada leptospirosis icterohaemorrhagiae berat (suatu penelitian morfologi klinis).
Anisimova IuN, Matiash VI Lik Sprava 1997 Jul-Aug;(4):73-9 Penelitian morfologis ini berasal dari jaringan otak dan organ dalam para pasien yang meninggal (75 pasien) karena leptospirosis icterohaemorrhagiae, dan hasil yang didapat akan dibandingkan dengan hasil penemuan laboratorium dan klinis. Proses patogenesis penyakit disebabkan oleh kerusakan (injury) endotelium kapiler dan sel parenkim (terutama di hati dan ginjal) akibat zat-zat toksin yang dilepaskan leptospira. Zat-zat toksin tersebut juga mengakibatkan gangguan hemostatis seperti trombosis vena pada anyaman mikrosirkualsi, manifestasi pendarahan, dan hipoksia organ. Gangguan hematokoagulasi awal ditandai dengan hipokoagulasi yang jelas dan menetap, menghasilkan proses pembentukan fibrin dan fibrinolisis abnormal. Tindakan profilaksis untuk permasalahan ini adalah dengan koreksi gangguan hemostatis pada fase awal penyakit. Kromatin leukosit anisotropik pada pasien leptospirosis.
Avdeeva MG, Evglevskii AA, Moisova DL, Shubich MG Klin Lab Diagn 1997 Nov;(11):36-9 Kromatin anisotropik pada 19 pasien leptospirosis icterohamorrhagiae diduga berhubungan aktivitas sitokimia leukosit. Kromatin nukleus neutrofil dan leukosit anisotropik meningkat selama periode akut leptospirosis yang mengindikasikan adanya peningkatan aktivitas eukromatisasi dan transkripsi. sedangkan nukleus limfosit eukromatisasi hanya diteliti pada pasien-pasien khusus namun tidak selalu pada pasien yang parah. Dan ternyata aktivitas sitokimia nukleus neutrofil dan limfosit eukromatisasi saling berhubungan, sehingga efek anisotropik ini diajukan untuk menjadi kriteria diagnosis ekstra dalam penentuan derajat keparahan leptospirosis.
Leptospirosis: gagal ginjal akut di Taiwan, suatu kasus yang terabaikan.
Yang CW, PAn MJ, Wu MS, Chen YM, Tsen YT, Lin CL, Wu CH, Huang CC Chang Gung Memorial Hospital, Departement of Veterinary Medicine, National Taiwan University, Taipei, Republic of China. Am J Kidney Dis 1997 Dec;30(6):840-5 Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang ditularkan oleh urine hewan jinak atau liar dapat menginfeksi manusia melalui luka, mukosa, konjungtiva, atau meminum air terkontaminasi. Kebanyakan gambaran klinis leptospirosis terlihat subklinis, 5-10% kasus tergolong fatal menyebabkan demam, pendarahan, ikterus, dan gagal ginjal akut (sindrom Weil’s). Leptospirosis tidak begitu diperhitungkan sebagai penyebab gagal ginjal akut di Taiwan. Penulis melaporkan 2 kasus leptospirosis dengan demam tinggi, nyeri perut, ikterik, dan gagal ginjal akut. Pasien pertama meninggal pada hari ke-12 perawatan karena kegagalan multiorgan disertai dengan pansitopenia, hipogamaglobulinemia, dan hemofagositosis reaktif. Leptospirosis diketahui sebagai penyebab setelah pasien meninggal dunia. Pasien kedua dengan gejala yang mirip meninggal 2 minggu kemudian. Penisilin dan doksisiklin telah diberikan pada saat awal penyakit namun azotemia, ikterik, gagal nafas, dan meningitis aseptik timbul perlahan-lahan. Biopsi ginjal menunjukkan adanya nefritis intersisial. Beberapa tes klirens tubulus menunjukkan defek tubulus proksimal dengan penimbunan bikarbonat (FeHCO3-20.9%) yang parah dan asidosis tubulus ginjal tipe II inkomplit tanpa berpengaruh pada nefron. Pengobatan dihentikan setelah 80 hari dengan perbaikan kesadaran dan fungsi ginjal. Penelitian yang detil mengenai morfologi dan fungsi tubulus pada pasien leptospirosis ini merupakan yang pertama kali dilakukan. Diagnosis ditegakkan dengan tes MAT dan PCR dari sampel darah dan urine (ditemukan L.interrogans serogrup australis pada pasien pertama dan L.borgpetersenii serogrup ballum pada pasien kedua). Walaupun leptospirosis kurang diperhitungkan sebagai penyebab gagal ginjal di Taiwan, namun leptospirosis tetap harus dicurigai pada pasien demam dengan ikterik dan gagal ginjal. Leptospirosis dengan demam berdarah pada wisatawan yang kembali dari Afrika.
Heron LG, Reiss-Levy Ea, Jacques TC, Dickson DJ, Smythe LD, Sorrell TC St George Hospital, Sydney, NSW. Med J Aust 1997 Nov 3;167(9):477-9 Leptospirosis umumnya ringan walaupun manifestasi klinis yang berat dapat terjadi pada beberapa serovar leptospira. Pada bulan Mei 1993 seorang pria 48 tahun dari Ghana datang dengan gambaran leptospirosis ikterik berat, yang pada awalnya dianggap sebagai viral haemorrhagic fever. Serovar penyebab, bataviae, tidak pernah terdiagnosa sebelumnya di Australia. Penggunaan plasmosorpsi SKN IK sorben pada kasus leptospirosis berat. Matiash VI Lik Sprava 1997 Mar-Apr;(2):105-7
Pada kasus leptospirosis icterohemorrhagic dengan insufisiensi hepato–renal dan manifestasi hipokoagulasi (BC II-III), tampaknya membutuhkan plasmosorpsi sorben SKN (koreksi CKH) IK dengan karboperfusi plasma 0.8-1.21. Heparin dosis kecil dapat menstabilisasi hemostatis dan menghentikan hipokoagulasi dengan efek detoksifikasi penyerapan kreatinin dan urea bilirubin sehingga dapat meningkatkan kemampuan kompensasi organ serta memperbaiki prognosis. Kaitan antara uveitis dan epidemi leptospirosis.
Rathinam SR, Rathman S, Selvaraj S, Dean D, Nozik RA, Narumperumalsamy P. Aravind Eye Hospital, Madurai, India. Am J opthalmol 1997, Jul;124(1):71-9 TUJUAN: Untuk menemukan kaitan antara uveitis dengan leptospirosis. METODE: Penulis menampilkan gambaran klinik dari 73 kasus uveitis yang terkait dengan pasien leptospirosis sistemik yang diperiksa pada bulan Januari hingga September 1994. HASIL: Keterlibatan okular unilateral terjadi pada 35 pasien dan yang bilateral terjadi pada 38 pasien. Panuveitis terjadi pada 106 mata (95.5%), flebitis retina pada 57 mata (51.4%), dan hipopion pada 14 mata (12.6%). Uveitis anterior tanpa hipopion terjadi pada 3 mata (2.7%), dimana reaksi inflamasi vitreous humor terlihat pada 2 mata (82.0%) yang dipantau perkembangannya selama 8 bulan. Kemampuan visual akhir sebesar 6/6 (20/20) didapat pada 47 mata (52%) dan peningkatan kualitas visual selama pengobatan walau tidak mencapai 6/6 didapat pada 15 mata (16%). 28 mata (31%) tidak mengalami perubahan kualitas visual, dan 1 mata mengalami kerusakan visual. KESIMPULAN: Uveitis mempunyai kaitan dengan leptospirosis, dapat berupa uveitis unilateral, bilateral, atau panuveitis. Prognosis umumnya cukup baik walaupun terdapat inflamasi berat. Kewaspadaan kasus ini pada daerah endemi penting untuk membedakannya dengan uveitis lain terutama pada pria muda yang sering mengidap uveitis imunologis. Leptospirosis pada rakun di Quebec: 2 laporan kasus dan seroprevalen di tempat hiburan.
Mikaelian I, Higgins R, Lequient M, Major M, Lefebvre F, Martineau D Centre Canadien Cooperatif de la Sante la Fraune, Saint-Hycinthe (Quebec). Can Vet J 1997 Jul;38(7):440-2 Rakun dapat menjadi sumber penularan leptospirosis ke manusia atau hewan peliharaan. Penulis menjabarkan suatu kasus nefritis intersisial berta yang disebabkan oleh L.interrogans serovar bratislava (laporan pertama kali di alam liar), dan seroprevalen 4 serovar leptospira di tempat hiburan di Quebec. Infeksi HIV-1 primer berat pada orang-oarang kulit hitam di Barbados.
Hudson CP, Levett PN, Edwards CN, Moosai R, Roach TC. Departement of Medicine, University of West Indies, Queen Elizabeth Hospital, Barbados.
Int J STD AIDS 1997 Jun;8(6):393-7 Deskripsi infeksi primer HIV pada orang-orang Kaukasian telah banyak dijelaskan. Penelitian dilakukan pada populasi orang kulit hitam di Barbados yang masuk ke rumah sakit Queen Elizabeth dengan gejala demam akut. Dari 510 rekam medis pasien dewasa yang teridentifikasi HIV-1, 10 pasien diprediksi mengalami infeksi HIV-1 pertama kali. 9 pasien telahn dikonfirmasi benar terinfeksi HIV-1 pertama kali, dan 1 pasien menunjang ke arah infeksi HIV-1 pertama kali. Gambaran klinis kesepuluh pasien sesuai untuk infeksi HIV-1 pertama kali namun berbeda dengan gejala klinis kasus leptospirosis di rumah sakit Queen Elizabeth. 1 pasien meninggal dalam masa serokonversi, 3 pasien meninggal 3 bulan setelah masa serokonversi. Sehingga disimpulkan bahwa infeksi HIV-1 berat yang pertama kali merupakan kasus jarang dan kesalahan diagnosis mesih mungkin terjadi. Akibat leptospirosis pada anak-anak.
Marotto PC, Marotto MS, Santos DL, Souza TN, Seguro AC Instituto de Infectologia Emilio Ribas, Sao Paolo, Brazil. Am J Trop Med Hyg 1997 Mar;(3):307-10 Penulis melakujkan analisa retrospektif terhadap 43 anak-anak (35 laki-laki dan 8 perempuan), berusia 4 – 14 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan dan dirawat di Instituto de Infectologia Emilio Ribas dari bulan Januari 1089 – Desember 1995 dengan penyakit akut yang didiagnosis sebagai leptospirosis. 88% pasien memliki riwayat kontak dengan air yang terkontaminasi. Serum pasien bereaksi paling kuat dengan L.copenhageni (45%) dan L.icterohaemorrhagiae (32.7%). Ikterus terdapat pada 70% pasien, peningkatan kadar transaminase sebanyak 56%, gagal ginjal sebanyak 79%, meningitis sebanyak 23%, trombositopenia sebanyank 65%, dan manifestasi perdarahan sebanyak 11.6%. 3 anak mengalami gagal nafas dan 1 anak meninggal karenanya. Penulis juga mengamati bahwa terapi antimikroba menurunkan kejadian gagal ginjal dan trombositopenia., sehingga dapat disimpilkan bahwa antibiotik berguna untuk pasien anak-anak dengan leptospirosis berat atau lanjut. Leptospirosis pada pneumonia.
Hill MK, Sanders CV Lousiana State University of Medicine at New Orleans 70112, USA. Semin Respir Infect 1997 Mar;12(1):44-9 Leptospirosis adalah penyakit zoonosis spektrum luas dengan gejala bervariasi dari asimptomatik, influenza-like syndrome, hingga ikterik perat dan gagal ginjal. Manusia terkontaminasi dari urine hewan terinfeksi (terutama tikus) dan tanah atau air terkontaminasi dan sekali terinfeksi kuman leptospira menyebar ke seluruh tubuh. Namun di Amerika Serikat, anjing, hewan ternak, mamalia liar, dan kucing juga dapat menularkan leptospirosis. 5-10% pasien mengalami ikterus berat, yang dikenal sebagai penyakit Weil’s. Gambaran klasik leptospirosis adalah pola bifasik. Fase septikemia (fase awal) terjadi selama 4 – 7 hari dan terutama ditandai oleh gejala influenza ringan. Pada fase imun (fase kedua) leptospira tidak ditemukan di dalam darah dan cairan serebrospinal. Antibodi dalam tubuh menyebabkan immune-mediated meningitis, uveitis, rash, dan yang sangat jarang kolaps sirkulasi akibat
sindroma Weil’s. Keterlibatan pulmonal terjadi pada 20% - 70% pasien, namun jarang terjadi manifestasi yang parah. Diagnosis ditegakkan dari tes serologis dan terdapat kesulitan pemilihan antibiotik akibat manifestasi klinis yang sangat beragam walaupun pada kasus berat antibiotik cukup efektif mengatasi pengobatan yang tertunda. Pencegahan leptospirosis cukup sulit karena mustahil untuk mengeliminasi hewan pembawa infeksi. Epidemiologi leptospirosis di New Caledonia (Pasifik Selatan): Suatu survei satu tahun.
Perrocheau A, Perolat P Tulane University School of Public Health and Tropical Medicine, New Orleans, Lousiana, USA. Eur J Epidemiol 1997 Feb;13(2):161-7 Penulis menjabarakan 144 kasus leptospirosis yang terdiagnosis p[ada tahun 1989 di New Caledonia. Insidensi sebesar 90/100.000 orang per tahun, dengan angka mortalitas spesifik pasien sebesar 4%, berusia terutama 20-40 tahun. Insidens di daerah pedesaan (112/100.000 0rang per tahun) 7 kali lebih tinggi daripada di daerah perkotaan. 29 pasien memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan penyebab leptospirosis, dan terutama terjadi pada musim hujan. Gambaran klinis penyakit terlihat polimorfik: 60% pasien dengan gejala ringan, 40% dengan gejala akut termasuk sindroma Weil’s. Dari 57% pasien yang dirawat di RS, 23% didiagnosa pertama kali sebagai dengue dan 37% sebagai leptospirosis. Gejala klinis utama adalah: 50% ikterus dengan/tanpa gangguan ginjal, 65% sindrom jantung, 58% mialgia kut, dan 50% dengan sindrom pulmonal. Walupun pendarahan bukan bentuk yang banyak didapat (17%), 40% kasus menunjukkan trombositopenia (<50.000/mm3). Keterlibatan pankreas dengan hiperamilasemia terjadi pada 50% kasus. 12 serogrup teridentifikasi, didominasi oleh L.icterohaemorrhagiae (41%), namun tidak selalu menjadi kasus berat. Leptospirosis di New Caledonia dikenal sebagai environmental disease dan occupational disease, dengan tes serologis sebagai sarana terpercaya untuk mengkonfirmasi kasus. Lesi pulmonal pada leptospirosis: gambaran mikroskopik, imunohistokimia, dan ultrastruktural yang berhubungan dengan trombositopenia.
Nicodemo AC, Duarte MI, Alves VA, Takakura CF, Santos RT, Nicodemo EL Departement of Infectious Disease, University of Sao Paolo Medical School, Brazil. Am J Trop Med Hyg 1997 Feb(2):181-7 Sampel paru dari 12 pasien diambil segera setelah pasien meninggal dan diteliti dengan mikroskop cahaya dan mikroskop elektron, dan dengan tes iumunohistokimia untuk menjelaskan aspek morfologis dan ultrastruktural paru pasien leptospirosis (sindrom Weil’s), serta kemungkinan terjadinya koagulasi intravaskular diseminata. Hasil tes imunohistokimia menunjukkan adanya agregasi trombosit di lumen/endotelium vaskular pada 9 kasus, dan di permukaan alveolar pada 7 kasus (suatu resiko untuk respiratory distress syndrome). Antigen leptospira positif pada 8 kasus tanpa berhubungan langsung dengan deposit antigen di endotelium vaskular parudan intensitas lesi. Penemuan ultrastruktural bersifat konstan dan seragam. Lesi kapiler ditandai dengan pembengkakan sel endotelial, peningkatan vesikel pinositotik, dan giant dense bodies di sitoplasma sel. Keterlibatan pulmonal pada leptospirosis berat berupa pneumopati hemoragik dengan lesi septum kapiler yang dapat menyebabkan kematian. Trombositopenoia yang terjadi pada 11 dai 12 pasien tidak terlihat berhubungan
DIC, namun lebih disebabkan karena stimulasi endotelium vaskular yang merangsang aktivasi, agregasi, dan adesi platelet, dengan substansi electron-dense amorfik dia antara selsel endotelial. Sindrom Weil’s dan nekrotisasi herpes pneumonia sebagai penyebab kematian pekerja sampah berusia 39 tahun.
Bek M, Koppl H, Schwarzkopf G, Freudenberg N Abteilung Allgemeine Pathologie, Universitat, Freiburg i. Br. Pathologe 1996 Nov;17(6):471-6 Leptospirosis akut (sindrom Weil’s) di Eropa jarang terjadi dan lebih dari 90% kasus tanpa demam, kemudian sembuh sendiri. Penulis melaporkan sebuah kasus tentang seorang pekerja sampah berusia 39 tahun yang dirawat di rumah sakit dengan demam, ikterik, nyeri kepala, dan gagal ginjal akut. Tes serologinya menujukkan peningkatan titer antibodi terhadap L.canicola, L.icterohaemorrhagiae, dan L.sejroe. Pada pasien ini terjadi koagulasi intravaskular diseminata dengan pendarahan gastrointestinal difus karena trombositopenia. Hasil EKG menunjukkan adanya atrial fibrilasi dengan irama iregular yang iregular. Kemudian terjadi cardiac arrest, terutama akibat hipoksia, dengan penurunan tekanan darah. Pasien meninggal 5 hari kemudian karena kerusakan otak akibat hipoksia berat walaupun telah dilakukan upaya resusitasi. Hasil otopsi menunjukkan adanya infeksi leptospirosis generalisata, disertai dengan tanda-tanda syok dan nekrotisasi virus herpes simpleks pneumonia. Adanya virus pneumonia kemungkinan disebabkan diseminasi retrograd kanalikuli oral pada saat terjadi traekeitis dan esofagitis akibat herpes. Rhabdomiolisis dan insufisiensi ginjal pada sindrom van Weil’s.
Van de Wouw AJ, Buiting AG, van Boven WP, van der Heul C Sint Elisabethziekenhuis, Afd. Interne Geeneskunde, Tilburg. Ned Tidjschr Geeneskd 1996 Sep 7;140(36):1820-2 2 orang pria usia 20 dan 23 tahun yang mengalami demam, ikterus, nyeri otot parah, penurunan fungsi ginjal, terdiagnosis sebagai sindroma Weil’s, disertai dengan rhabdomiolisis. Penyakit ini merupakan kasus yang jarang terjadi di Belanda. 5-10% pasien dengan leptospirosis ikterik disebut sebagai sindroma Weil’s. Kterlibatan ginajal sering terjadi dan terkadang membutuhkan hemodialisis. Patogenesis nekrosis tubular masih belum jelas dan terapi yang adekuat dapat mencegah kerusakan ginjal yang ireversibel. Kepentingan suatu kesehatan masyarakat ( public health) dalam leptospirosis di Pasifik Selatan: suatu studi lima tahunan di New Caledonia.
Merien F, perolat P Leptospira Laboratory, Institute Pasteur, Mounea, New Caledonia. Am J Trop Med Hyg 1996 Aug;55(2):174-8 Suatu penelitian retospektif terhadap 192 kasus leptospirosis di New Caledonia antara tahun 1989-1993 menunjukkan bahwa penyakit ini bersifat endemik di seluruh wilayah teritorial.
Angka insidensi tahunan sebesar 30/100.000 populasi dan lebih sering mengenai pria (67.5%). Kejadian kasus terutama pada bulan Maret setiap tahunnya. 40 serovar yang diisolasi dikenali sebagai L.icterohaemorrhagiae (28), L.pomona (6), L. Pyrogenes (3), L. ballum (2), dan L. Javanica (1). Kebanyakan kasus (54.7%) terlihat sebagai gejala influenza, dimana sindrom Weil’s terjadi pada 15.6% kasus. Komplikasi okular berat ditemukan pada 3.6% kasus. Gambaran epidemiologi dipengaruhi oleh iklim lokal, serta kondisi sosioekonomi dan lingkungan. Data-data tersebut menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan kesehatan masyarakat dalam hal leptospirosis. Sindrom Weil’s: Perlunya imaging findings untuk mendiagnosis dini.
Henk CB, Kramer L, Schoder M, Bankier AA, Ratheiser K, Mostheck GH Departement of Radiology, University of Vienna, Austria. J Comput Assisst Tomogr 1996 Jul-Aug;20(4):609-12 Penyakit Weil’s adalah penyakit leptospirosis yang jarang dan tergolong parah. Penulis melaporkan gambaran radiografi penyakit ini pada pasien dengan leptospirosis dengan keterlibatan hepar, ginjal, dan pulmonal. Imaging findings dapat menambah kecepatan dan keakuratan diagnosis sehingga mempercepat kesuksesan terapi pada pasien-pasien yang kritis. Penyakit Weil’s: Laporan 12 kasus.
Leblebicioglu H, Sencan I, Sunbul M, Altintop L, Gunaydin M Departement of Clinical Microbiology and Infectious Disease, Ondokuz Mais University Medical School, Samsun, Turkey. Scand J Infect Dis 1996;28(6):637-9 Distribusi epidemiologi dan gambaran klinis 12 kasus sindrom Weil’s di Turki menunjukkan bahwa penyakit ini lebih banyak mengenai petani lelaki di daerah pedesaan. Terdapat mialgia dan ikterus pada semua kasus, muntah-muntah pada 9 kasus, pendarahan pada 6 kasus, gangguan fungsi ginjal pada 6 kasus. Peninggian kadar kreatin fosfokinase terjadi pada 75% kasus. Leptospira ditemukan dalam darah 9 pasien dan dalam urine 5 pasien dengan mikroskop medan-gelap. Diagnosis dikonfirmasi dengan MAT, antibodi IgM dideteksi pada 11 pasien (92%). Penisilin digunakan sebagai terapi dan terlihat hasil yang menggembirakan pada 10 pasien. 2 pasien meninggal, sehingga perlu diingat bahwa leptospirosis dapat menjadi sangat gawat dan membutuhkan pemeriksaan yang teliti serta waktu yang tepat. Peran peroksidase lipid dalam patogenesis leptospirosis dan komplikasinya.
Shuvalova EP, Antonova TV, Alekseeva EA Ter Arkh 1996;68(11):38-40 Peroksidase lipid (LPO) dan aktivitas antioksidan plasma dinilai pada 39 pasien dengan leptospirosis ikterik. Pada komplikasi yang berat kadar LPO diproduksi paling banyak. Pada onset awal penyakit aktivitas semua antioksidan dihambat secara bermakna terutama pada kasus komplikasi. Hal-hal tersebut dapat digunakan sebagai pendekatan prognostik.
Abnormalitas elektrolit dan hormonal pada gagal ginjal akut akibat leptospirosis.
Abdulkader RC, Seguro AC, Malheiro PS, Burdmann EA, Marcondes M Laboratorio de Fisiopatologia Renal, Disclipina de Nefrologia, Faculdade de Medicina, Universidade de Sao Paulo, Brazil. Am J Trop Med Hyg 1996 Jan;54(1):1-6 Hipokalemia pada gagal ginjal akut leptospirosis diteliti pada 9 pasien gagal ginjal akut yang berat dan 5 pasien gagal ginjal akut yang sedang kemudian dibandingkan dengan 5 pasien nekrosis tubular yang berat dan 8 orang normal. Volume urine pada pasien-pasien leptospirosis yang berat dan sedang lebih banyak daripada pasien-pasien tubular nekrosis berat. Pasien-pasien leptospirosis memliki kadar kalium serum yang lebih rendah daripada pasien-pasien nekrosis tubular akut berat dan orang normal. Kadar natrium serum pada pasien-pasien leptospirosis berat lebih rendah dibandingkan dengan pasien-pasieb leptospirosis sedang, nekrosis tubular akut berat, dan orang normal. Dari penelitian pada kelompok pasien leptospirosis didapatkan hubungan antara kadar kreatinin dan kalium serum. pH urine pada pasien leptospirosis berat dan sdang lebih rendah daripada pasien nekrosis tubular akut berat. Kadar aldosteron pada pasien leptospirosis berat lebih tinggi dibandingkan orang normal. Kadar kortisol pada pasien leptospirosis lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal. Hasil-hasil penelitian tersebut sangat mengindikasikan bahwa hipokalemia pada penderita leptospirosis dengan gagal ginjal akut diakibatkan oleh pembuangan kalium melalui ginjal, yang ditingkatkan oleh aldosteron dan kortisol. Pengobatan pada kasus ini harus lebih menitikberatkan pada pemberian kalium pengganti. Adult respiratory distress syndrome di Thailand
Kiatboonsri S, Fathesatogir P, Charoenpan P Departement of Medicine, Ramathibodi Hospital, Mahidol University, Bangkok, Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1995 Dec;26(1):774-80S ARDS (Adult respiratory distress syndrome) telah lama dikenal sebagai bentuk gagal nafas berat diakibatkan oleh banyak sebab yang ditandai dengan hipoksemi refrakter dan angka mortalitas yang sangat tinggi. 46 kasus ARDS yang tercatat di rumah sakit Ramathibodi selama 39 bulan diteliti secara prospektif untuk mencari hal-hal yang beresiko menjadi etiologi, profil tekanan positif pada akhir ekspirasi ( positif end-expiratory pressure/PEEP ), komplikasi, dan hasil terapi. Peserta terdiri dari 27 pria dan 19 wanita dengan rata-rata umur 40 tahun. Kondisi-kondisi intrapulmonal dan ekstrapulmonal serta malaria dan leptospirosis dapat menjadi faktor resiko terjadinya ARDS. Pada saat didiagnosis, para pasien ini mengalami hipoksia berat tekanan arterial/alveolar rata-rata (PaO2/PAO2) 0.124 dari +/- 0.04. Setelah diberikan PEEP (kadar yang diberikan di bawah 16 dan 11 cmH2O dalam 93.46% dan 67.38% kasus), tekanan arteial/alveolar rata-rata tersebut meningkat secara bermakna pada kedua grup survivor dan non-survivor (0.227 dan 0.199). Komplikasi PEEP termasuk barotrauma dan hipotensionPEEP termasuk barotrauma dan hipotension ditemukan pada 11 kasus (23.9%) dengan angka mortalitas 81.8%. 28 pasien meninggal sehingga angka mortalitas menjadi 60.8%. Pemberian PEEP meningkatkan respon terhadap oksigen dengan komplikasi PEEP yang lebih rendah. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan para klinisi Thailand dalam penanganan ARDS.
Gagal nafas pada leptospirosis (sindrom Weil’s).
de Koning J, van der Hoven JG, Meinders AE Departement of General Internal Medicine, University Hospital, Leiden, Netherlands. Neth J Med 1995 Nov;47(5):224-9 2 pasien leptospirosis (sindrom Weil’s) dengan gagal nafas akut yang memerlukan ventilasi mekanis. ARDS dan perdarahan pulmonal berat yang mengenai satu pasien menyebabkan gagal nafas. 1 pasien meninggal setelah terjadi disfungsi multiorgan, dan yang seorang lagi sembuh sempurna. Gagal nafas akibat pendarahan pulmonal berat/ARDS adalah komplikasi yang tidak biasa terjadi pada leptospirosis. Evaluasi PCR sebagai alat diagnosis dini pada leptospirosis.
Brown PD, Gravekamp C, Carrington DG, van de Kamp H, Hartskeerl RA, Edwards CN, Everad CO, Terpstra WJ, Levett PN University of the West Indies, Faculty of Medical Sciences, Barbados. J Med Microbiol 1995 Aug.;43(2):110-4 Diagnosis dini leptospirosis penting sebab infeksi leptospirosis dapat menjadi berat. PCR, tes serologi, dan kultur dalam penelitian ini digunakan untuk mendeteksi leptospirosis dalam sampel darah dan urine dari 71 pasien leptospirosis. 44 sampel (62%) pasien yang dideteksi positif leptospirosis dengan tes PCR dibandingkan dengan 34 sampel (48%) pasien dengan kultur. Leptospirosis dapat terdeteksi dengan PCR pada 13 pasien sebelum terdeteksinya kadar antibodi dan terdeteksi pada pasien dengan seronegatif pada masa sakitnya serta pada saat otopsi. 16 sampel darah pasien tanpa leptospirosis dengan seronegatif dan kultur negatif juga negatif dengan pemeriksaan PCR. Penulis menyimpilkan bahwa PCR adalah metode yang cepat, sensitif, dan spesifik untuk mendiagnosis infeksi leptospira terutama pada beberapa hari pertama onset penyakit. Suatu penelitian selama 12 tahun mengenai leptospirosis di Barbados.
Everard CO, Edwards CN, Everard JD, Carrington DG Leptospira Laboratory, St. Michael, Barbados. Eur J Epidemiol 1995 Jun;11(3):311-20 Dari bulan November 1979 hingga Desember 1991, ditemukan sebanyak 398 kasus leptospirosis di Barbados (rentang 1980-1991 23-56; rata-rata 32.7; insidens 13.3/100.000/tahun). Selama 6 tahun periode 1980-1985 dan 1986-1991 tidak terdapat perubahan insidensi yang bermakna. Rata-rata jumlah kasus bulanan berkisar dari 1.4 (Juli) hingga 4.3 (November). Rata-rata bulan Juni hingga Desember (2.8) yang merupakan bulan bulan basah/hujan tidak jauh lebih tinggi daripada rata-rata bulan Januari hingga Mei (2.5) yang merupakan bulan-bulan kemarau. Rentang usia pasien adalah 7-86 tahun. Jumlah kasus pada pria 3X lebih banyak (302) daripada wanita (96), dan jumlah kasus dengan usia < 35 tahun hampir 10X lebih banyak daripada usia > 35 tahun. Walaupun jumlah kasus tertinggi (69) terdapat pada usia 15-24, insidensi tertinggi terdapat pada usia yang lebih tua terutama usia 65-74 dan pada yang wanita 55-64. Leptospirosis terbukti sebagai penyebab kematian
pada 55 pasien yang dirawat di rumah sakit (rentang tahunan 0-13, rata-rata 4.5). Kematian pasien wanita hampir 2X lebih banyak daripada pasien pria. Hanya 1 orang pasien berusia < 20 tahun yang meninggal. Leptospira diidentifikasi pada 117 (29.4%) dari 398 pasien. Organisme penyebab infeksi adalah L.bim (serogrup Autumnallis-75), L.copenhageni (Icterohaemorrhagiae-26), arorea (Ballum-14), dan Bajan (australis-2). Serovar-serovar ini tidak dapat dikenali secara klinis namun infeksi pada anak-anak lebih ringan daripada dewasa. Distribusi kasus dipengaruhi oleh curah hujan. Para pekerja sanitasi dan agrikultural adalah kelompok orang paling beresiko untuk tertular leptospira. Leptospirosis
Biegel E, Mortensen H Esbjerg Centralsygehus, medicinsk afdeling. Ugeskr Laeger 1995 Jan 9;157(2):153-7 Leptospirosis adalah zoonosis yang menginfeksi manusia dengan spektrum klinis yang luas dan bervariasi dari yang ringan, demam hingga yang berat, ikterus, dengan kegagalan multiorgan dan berakhir fatal. Penyakit ini terdiri dari 2 fase, yaitu fase septikemia dan fase imun. Diagnosis dikonfirmasi dengan kultur darah dan cairan spinal pada fase awal, serta dengan kultur urine dan serologi pada fase kedua. Penisilin sebaiknya diberikan secepatnya. Pencegahan penting dilakukan dengan cara mengontrol populasi tikus dan proteksi individual seperti menggunakan baju pelindung ketika bekerja di daerah yang terkontaminasi. Komplikasi leptospirosis karena reaksi Jarisch-Herxheimer dan ARDS: suatu laporan kasus.
Emmanouilides CE, Kohn OF, Garibaldi R Departement of Medicine, University of Connecticut School of Medicine, Farmington. Clin Infect Dis 1994 Jun;18(6):1004-6 Leptospirosis, suatu infeksi Leptospira interrogans yang berat, adalah penyakit yang berpotensial mematikan dan menyebabkan kegagalan multiorgan. Komplikasi leptospirosis dapat melibatkan hepar, ginjal, dan SSP, serta dapat juga menjadi ARDS. Pengobatan dengan penisilin dapat mencetuskan reaksi Jarisch-Herxheimer (JHR) berat. Penulis melaporkan kasus leptospirosis yang hampir fatal pada pasien dengan JHR dan gagal nafas segera setelah terapi diberikan. Leptospirosis di Pamurje dan Slovenia.
Bedernjak J Muroszombati Altalonas Korhaz Fertoso Osztaly, Murska Sobota, Szlovenia. Orv Hetil 1994 Feb 20;135(8):409-11 Leptospirosis merupakan endemi di Pomurje. Selama tahun 1964-1985 terdapat 407 kasus leptospirosis di Slovenia, 366 di antaranya terdapat di Pomurje. Kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien dengan indikasi leptospirosis dengan peningkatan titer antibodi hingga 4X atau isolasi dari kultur darah positif. Pada periode ini di Pamurje, 214 pria (58.47%) dan 152
wanita (41.53%) terinfeksi leptospira. Angka morbiditas rata-rata sebesar 12.75%/100.000. Angka tertinggi terjadi di negara Lendava (23.14/100.000). 10 serotipe telah dikonfirmasi sebagai berikut: L.grippothyposa pada 122 pasien (33.33%), L.sejroe pada 91 pasien (24.86%), L/icterohaemorrhagiae pada 50 pasien (13.66%), L.saxkoebing pada 48 pasien (13.11%), L.australis pada 47 pasien (12.84%), L.canicola dan L.pomona pada 2 pasien, L. Tarrasovi dan L.autumnallis pada 1 pasien. Terdapat satu kasus dengan serotipe yang tidak dapat ditentukan. Di Pamurje, berkebalikan dengan keadaan di Eropa Barat, jumlah wanita yang terinfeksi lebih banyak daripada yang pria dan lebih banyak mengenai usia tua. 2 pasien meninggal (mortalitas 0.55%). 1 pasien meninggal pada hari kelima infeksi karena pendarahan masif di jantung dan organ lain. Pasien lainnya meninggal pada hari ke-12 akibat sindrom Weil’s. Karakteristik leptospirosis berat dan pengobatannya.
Berezovskaia ZB, Mishchuk II, Ossovskaia AB, Kochetova MV, Poberezhets Slu, Avdashkova IA Lik Sprava 1994 Feb;(2):84-5 27 pasien leptospirosis yang mengalami bentuk hepatorenal dengan gambaran klinik oligurianuria jangka pendek, ketiadaan hiperkalemia, sindrom pendarahan, edema otak (pada otopsi jaringan). Perawatan ICU termasuk hemodialisis, hemosorpsi, oksibaroterapi, iradiasi darah dengan ultraviolet, kortikosteroid. Zoonosis di Vojvodina. II. Karakteristik epidemiologi leptospirosis di Vojvodina.
Seguljev Z, Vukovic B, Basic M, Stefanovic S, Petrovic M, Brean N Odeljenje za epidemiologiju, Pokrajinski zavod za zdravstvenu zastitu, Novi Sad. Med Pregl 1994;47(5-6):164-7 Penyelidikan terhadap 38 pasien yang meninggal karena leptospirosis dan karakteristik epidemiologi antropozoonosis terutama terdapat pada usia produktif. Infeksi biasanya terjadi pada musim panas dan diakibatkan karena kontak dengan air terkontaminasi. Leptospirosis berat dengan gagal ginjal akut dan ikterus ekstensif.
Notheis WF, Kramer BK, Leser HG, Ruschoff J, Kromer EP, Riegger Aj Klinik and polyklinik fur Innere Medizin II, Universitat Regensburg. Dtsch Med Wochenschr 1993 Oct 8;118(40):1437-41 Seorang pria 77 tahun dengan demam hingga 38,4 derajat celcius, diare, gagal ginjal akut (kreatinin 8.7 mg/dl dan urea 308 mg/dl), dan ikterus berat (bilirubin total hingga 24.3 mg/dl). Selain itu juga terdapat trombositopenia, konjungtivitis dan epistaksis, gejala-gejala serebral seperti somnolen dan perlambatan respon. Pada awalnya pasien diduga sebagai cholangitis karena sebelumnya pernah memiliki riwayat kandung empedu, dan telah diterapi dengan ampisilin 2 X 2 g sehari dan metronidazol 2 X 0.5 g sehari. Demam kemudian turun tetapi gagal ginjal yang terjadi sampai memerlukan hemodialisis dan kemofiltrasi dengan pengawasan cairan yang ketat. Hasil endoskopi tidak menunjang ikterus obstruktif, namun
kecurigaan akan adanya hepatitis atau cirrhosis harus dipikirkan dalam diagnosis banding. Hasil serologi menunjukkan peningkatan titer leptospira interrogans varian sejroe (1:200, kater 1:1600). Biopsi hati menunjang ke arah leptospirosis. Karena tingginya aktivitas inflamasi di hati maka diberikan penisilin G sebanyak 2 mega unit, 3 X sehari selama 6 hari. Fungsi renal dan ikterus membaik perlahan-lahan, dan setelah pengobatan dihentikan pada hari ke-36 pasien berada dalam kondisi umum yang baik, walaupun kadar kreatinin dan bilirubin masih meningkat sedikit (1.7 mg/dl). Leptospirosis dengan kolesistitis akalkulosa akut dan pankreatitis.
Monno S, Mizushima Y First Departement of Internal Medicine, School of Medicine, Toyama Medical and Pharmaceutical University, Japan. J Clin Gastroenterol 1993 Jan;16(1):52-4 Penelitian ini membahas kasus infeksi Leptospira autumnalis pada seorang pria 66 tahun disertai dengan kolesistitis akalkulosa akut dan pankreatitis. Pasien ini berhasil diterapi dengan antimikroba dan terapi suportif, termasuk hemodialisis. Penelitian ini juga bertujuan untuk meninjau manifestasi yang tidak biasa terjadi serta keefektivan antimikroba untuk terapi leptospirosis lanjut. Diagnosis dini leptospirosis dengan demonstrasi antigen via tes imunohistokimia pada otot betis.
Uip DE, Amato Neto V, Duarte MS Divisior de Clinica de Molestias Infecciosas e Parasitarias, Hospital das Clinicas Faculdade de Medicina, Universidade de Sao Paulo. Rev Inst Med Trop Sao Paolo 1992 Sep-Okt;34(5):375-81. Menegakkan diagnosis pasti leptospirosis secara cepat bukanlah pekerjaan yang mudah. Analisis dan penelitian terhadap perubahan histopatologis otot gastrocnemius, adalah untuk pertama kalinya, dengan metode peroksidase-antiperoksidase. Pengamatan histopatologis menunjukkan gambaran miositis yang ditandai dengan infiltrat inflamasi intersisial dan kelainan nekrosis-degeneratif dari serabut otot. Lesi ini terlihat minimal pada 69.54% pasien, sedang pada 19.45% pasien, dan berat pada 5.55% pasien, sisanya tidak ditemukan kelainan histopatologis. Di sisi lain, dengan metode imunohistokimia, 94.45% etiologi dapat ditegakkan namun pemeriksaan ini amat mahal. Investigasi beberapa faktor resiko leptospirosis berat di Barbados.
Everard CO, Bennett S, Edwards CN, Nicholsosn GD, Hassel TA, Carington DG, Everard JD Leptospira Laboratory, St. Michael, Barbados. J Trop Med Hyg 1992 Feb;95(1):13-22 Di antara bulan November 1979 dan akhir Desember 1986 (7.17 tahun). 248 kasus leptospirosis ditemukan di rumah sakit Barbados (rata-rata per tahun 35 dan rentangnya 2557). 235 kasus berusia lebih dari atau sama dengan 15 tahun, angka insidens tahunan
leptospirosis sebesar 19.2/100.000 populasi (14.0 untuk semua kelompok umur). Kasus terdiri dari 173 pria dan 62 wanita, dan untuk rentang usia 15-34 tahun jumlah pasien pria 9.6 kali lebih banyak daripada pasien wanita. Pada pasien-pasien pria insidens meningkat sesuai dengan usia dan pada pasien-pasien wanita insidens meningkat sesuai dengan umur hingga 64 tahun, kemudian menurun setelahnya. Insidens penyakit lebih tinggi pada pekerja agrikultural daripada pekerja lainnya. Kasus tertinggi tercatat pada jemaat gereja St. Michael (65 kasus atau 28%) dan jemaat gereja Kristen (36 atau 15%), walaupun indidens di St. Andrew dan St. Joseph adalah yang paling rendah (50.2 dan 36.1/100.000). Insidens di tempat bercurah hujan lebih dari atau sama dengan 1600 mm (32.6/100.000) hampir 2X lebih banyak daripada di tempat bercurah hujan kurang dari 1600 mm. Kebanyakan kasus juga berasal dari daerah pedesaan. Pekerja di perkebunan tebu 5X lebih beresiko terkena leptospirosis daripada pekerja yang bekerja di dalam ruangan, sedangkan keluarga yang memilki peternakan lebih beresiko 2.5X, dan seseorang yang memiliki kebun/taman yang banyak tikus lebih beresiko 1.8X. Faktor resiko lainnya tidak begitu bermakna menyebabkan leptospirosis. Kreatin fosfokinase pada leptospirosis.
Grau A, Purmarola T, Llort L, Murria MJ, Bofill, Manresa J, Pinas I, Gine J Sevicio de Medicina Interna, Hospital Verge de la Cinta, Tortosa, Tarragona. Enferm Infecc Microbiol Clin 1991 Nov;9(9):554-6 Leptospirosis adalh penyakit infeksi dengan penyebaran yang luas, biasanya dengan gejala demam, sakit kepala, dan mialgia. Penulis meneliti kadar serum kreatin-fosfokinase pada 21 pasien leptospirosis dan nilainya untuk menentukan prognosis dan diagnosis. Mialgia tercatat pada hampir semua pasien (91%). Kadar kreatin-fosfokinase di atas normal terdapat pada 37% kasus, disertai dengan keterlibatan organ pada leptospirosis berat atau pada leptospirosis ringan. Penulis menyimpulkan bahwa peningkatan kadar kreatin-fosfokinase dapat digunakan untuk mendiagnosis dini namun tidak selalu dapat terlihat pada semua kasus leptospirosis yang berat. Respon imun manusia terhadap antigen pada leptospirosis berat di Barbados.
Chapman AJ, Everard CO, Faine S, Alder B Departement of microbiology, Monash University, Clayton, Victoria, Australia. Epidemiol Infect 1991 Aug;107(1):143-55 Sampel serum leptospirosis berat yang didapat dari pasien rumah sakit di Barbados diuji dengan tes MAT, enzyme immunoassay (EIA), dan immunoblotting . Ketika sampel serum diambil beberapa hari setelah onset gejala, seringkali tidak memliki korelasi apapun dengan MAT dan EIA, baru akan memberikan korelasi beberapa hari kemudian. Melalui tes immunoblotting , terlihat reaksi sejumlah pita yang berikatan dengan komponen outer envelope pada L.interrogans serovar arborea, L.copenhageni dan L.bim. Komponenkomponen ini termasuk lipopolisakarida (LPS), flagela, dan protein membran luar lainnya, juga karbohidrat dengan berat molekul rendah (low molecular-weight ) bereaksi silang dengan jenis leptospiraceae. Antibodi IgM meningkat pada minggu pertama dan kedua setelah infeksi, terutama bereaksi dengan karbohidrat berberat molekul rendah. Analisis komparatif dari serovar yang sama dengan gel elektroforesis natrium dodesil sulfat poliakrilamid dan
immunoblotting menunjukkan bahwa kedua serovar arborea adalah identik, serovar bim sangat berbeda dari yang lainnya. Perbedaan ini dipantau dengan tes MAT komparatif.