PROSES KEGIATAN PENCATATAN SURVEILENCE EPIDEMIOLOGI DI PUSKESMAS CIPUTAT TIMUR TAHUN 2016
LAPORAN MATA KULIAH SURVEILENS EPIDEMIOLOGI
KELOMPOK I
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA TANGGERAN SELATAN 2016
Judul Laporan
:
PROSES
KEGIATAN
PENCATATAN
SURVEILENCE
EPIDEMIOLOGI DI PUSKESMAS CIPUTAT TIMUR TAHUN 2016 Anggota Kelompok I
Program Studi
:
:
Dihan Khomirul Akhyar
(2013710107)
Rini Tanjung
(2013710092)
Rizki Warida Hasibuan
(2013710086)
Septika Dhelpiana Paulin
(2013710114)
Syifa Nur Hakiki
(2013710094)
KESEHATAN MASYARAKAT
Lembar Pengesahan Mengetahui,
Dosen Surveilens Epid
Kepala Puskesmas Ciputat Timur
Ka. Prodi Kesmas FKK UMJ
Nazarwin Saputra, M.Epid
Bapak / Ibu
drh.S.R. Tri Handari, M.Kes
NID : 20.1472
NIP :
NID : 20.600
KATA PENGANTAR
Marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan karunia Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan Laporan Mata Kuliah Surveilens
Epidemiologi
yang
berjudul
:
PROSES
KEGIATAN
PENCATATAN
SURVEILENCE EPIDEMIOLOGI DI PUSKESMAS CIPUTAT TIMUR TAHUN 2016. Terima kasih kami ucapkan kepada pihak terkait yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan ini, sehingga dalam kesempatan ini kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ka. Prodi Kesehatan Masyarakat FKK UMJ, Kepala Puskesmas Ciputat Timur, dan Dosen Mata Kuliah Surveilens Epidemiologi yang telah memberi bimbingan juga arahan kepada kami. Semoga laporan yang telah diselesaikan ini, dapat bermanfaat kepada Puskesmas Ciputat Timur, Fakultas, dan juga khususnya mahasiswa FKK UMJ sebagai bahan pembelajaran serta tambahan wawasan ilmu dalam Surveilens Epidemiologi. Dengan
segala
keterbatasan
kemampuan
kami
dirasakan
masih
banyak
ketidaksempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan masukan serta saran yang membangun, demi kesempurnaan laporan ini. Sehingga dapat bermanfaat penuh bagi kami khususnya dan pembaca pada umumnya.
Tanggeran Selatan, Oktober 2016
Tim Penulis
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan dan salah
satu penyakit menular yang sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia. Penyakit ini mempunyai perjalanan penyakit yang cepat, mudah menyebar dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat (Hariyana, 2007). Infeksi virus dengue adalah penyebab serius morbiditas dan kematian di kebanyakan daerah tropis dan subtropics di dunia: terutama Tenggara dan Asia Selatan, Amerika Tengah dan Selatan, serta karibia. Ada sekitar 2,5 miliar orang yang berisiko di dunia untuk infeksi virus dengue. Hampir 100 negara dan wilayah memiliki risiko untuk infeksi virus dengue dalam negeri (Kurane, 2006). Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Negara Indonesia sebagai Negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (BJE, 2010). Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti. Virus ini termasuk dalam kelompok B Arthropo Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, family Flaviviridae. Virus dengue mempunyai 4 jenis serotype, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. (WHO,2012) Kelompok virus ini dapat menyebabkan Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Demam Shock Syndrome (DSS) (Jubaidillah, 2011). Jumlah penderita dan luas daerah penyebaran penyakit ini semakin bertambah seiring dengan meningkatnya morbiditas dan kepadatan penduduk. Di Indonesia, Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebannyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia dengan Angka Kematian (AK): 41.3%. Sejak saat itu, terjadi peningkatan sebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya sebanyak 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. (BJE, 2010) Dilihat dari case fatality rate (CFR) kejadian luar biasa yang terjadi per provinsi pada tahun 2004 di bawah rata-rata dari
keseluruhan daerah endemis dengan CFR diantara 0.3-1.9% (Ditjen P2PL, 2006) Insiden DBD di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan angka DBD tahun 2003 sebesar 23.57 per 100.000 penduduk naik menjadi 37.11 per 100.000 penduduk pada tahun 2005; 52,48 per 100.000 penduduk pada tahun 2006, meningkat menjadi 71,78 per 100.000 penduduk pada tahun 2007. Pada tahun 2008 angka insidens DBD mengalami penurunan menjadi 60,06 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka kematian (CFR) menunjukkan penurunan pada tahun 2003, menjadi 1,2 pada tahun 2004, 1,36 pada tahun 2005, 1,04 pada tahun 2006, 1,01 pada tahun 2007, 0,86 pada tahun 2008 (Kandun, 2008). Pada tahun 2009 IR 67,00 dengan CFR 0,87. Sampai saai ini peningkatan kasus penyakit ini belum dapat diatasi,adanya KLB di sejumlah kota besar di Indonesia, termasuk di DKI Jakarta yang mempunyai endemisitas tinggi, diikuti beberapa daerah antara lain Provinsi Kep. Riau, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara/Tengah, Lampung, Kalimantan Timur/Barat dan lain-lainnya. Jumlah kasus DBD di Indonesia menurut data sementara Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Kementerian Kesehatan, selama tahun 2009 sebanyak 137.600 kasus dengan 1.170 kematian dan IR (Ditjen P2PL, 2006). Surveilans epidemiologi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam mendukung pengendalian dan penanggulangan penyakit menular, tidak terkecuali pada kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit DBD. Survailans adalah kegiatan yang bersifat terus menerus dan sistematik dalam pengumpulan data, pengolahan, analisis, interpretasi dan diseminasi kepada pihak terkait, untuk melakukan tindakan yang tepat dalam mengatasi masalah kesehatan yang ada. Oleh karena itu hasil kegiatan surveilans sangat dibutuhkann dalam menunjang aspek manajerial program penyakit DBD, dimana berperan dalam proses perencanaan, monitoring dan evaluasi dari program kesehatan yang ada. Berdasarkan data Laporan Bulanan I (LB I) dan surveilans DBD Puskesmas Ciputat Tahun 2010-2013, diketahui bahwa jumlah kasus DBD yaitu 71 kasus, 7 kasus, 31 kasus dan 24 kasus. Sehingga jumlah kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Ciputat selalu mengalami peningkatan maupun penurunan setiap tahunnya. Akan tetapi, penyakit DBD tidak termasuk kedalam sepuluh besar penyakit di Puskesmas Ciputat. Namun, penyakit ini merupakan masalah yang harus diatasi ataupun dicegah penularannya agar tidak menyebabkan kematian.
Di puskesmas Ciputat surveilans DBD telah dilakukan. Sehingga dalam system ini yang dimaksud dengan Surveilans Epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebu, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan. Dari latar belakang diatas penulis ingin mengidentifikasi dan menganalisis system surveilans DBD yang ada di puskesemas Ciputat Timur. 1.2.
Tujuan Tujuan umum penuliasan ini untuk menganalisis secara deskriptif system surveilans DBD di Puskesmas Ciputat Timur. Adapun tujuan khusus penuliasan ini adalah: 1. Menyajikan data surveilans DBD PKM Ciputat Timur 2. Merencanakan konsep solusi pengembangan system surveilans DBD
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Program Penanggulangan DBD Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD dapat dihindari bila Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan pengendalian vektor dilakukan dengan baik, terpadu dan berkesinambungan. Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur dalam Kepmenkes No.581 tahun 1992, bahwa kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan secara periodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus. Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Tabel di bawah memperlihatkan pencapaian target indikator program Pengendalian Penyakit DBD (P2DBD) selama tiga tahun terakhir pada tahun 2007 sampai tahun 2009. Angka Bebas Jentik belum berhasil mencapai target (>95%). AI per 100.000 penduduk juga belum mencapai target. Begitu pula dengan persentase kejadian yang ditangani sesuai standar, pada tahun 2007 belum mencapai target (80%), namun pada tahun 2008 dan 2009 tidak terdapat data pencapaian. Sedangkan untuk AK sudah mencapai target (<1%). Indikator pencapaian program P2DBD tahun 2007-2009 dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1 Indikator Program P2DBD dan Pencapaian Target 2007-2009
Indikator Presentase rumah / bangunan bebas jentik (&) Presentase kejadian DBD ditangani sesuai standard (%) Angka kesakitan DBD (per 100.000 penduduk) AK DBD (%)
2007 Target Realisasi >95 84
2008 Target Realisasi >95 82,6
2009 Target Realisasi >95 71,1
80
50
80
-
80
-
<20
71,78
<20
60,06
<20
68,22
<1
1,01
<1
0,86
<1
0,89
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, Profil Kesehatan Indonesia
Sejak tahun 2004 telah diperkenalkan suatu metode komunikasi/penyampaian informasi/pesan yang berdampak pada perubahan perilaku dalam pelaksanaan PSN melalui pendekatan sosial budaya setempat yaitu Metode Communication for Behavioral Impact (COMBI). Pada tahun 2007 pelaksanaan PSN dengan metode COMBI telah dilaksanakan di beberapa kota antara lain Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Padang, dan Yogyakarta; sedangkan pada tahun 2008 dilaksanakan di 5 kota, yaitu Jakarta Selatan, Bandung, Tangerang, Semarang, dan Surabaya. Kegiatan PSN dengan metode pendekatan COMBI tersebut menjadi salah satu prioritas kegiatan dalam program P2DBD di masa yang akan datang. Data ABJ ini didapatkan dari Survei COMBI. Pada tahun 2009 survei COMBI ABJ dilaksanakan di Kota Bogor, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Batam dan Kota Mataram. Dari tahun 1994 – 2008 diperoleh angka ABJ masih di bawah dibawah target, yang dapat dilihat pada Gambar 16. Dari data ini tampak upaya PSN belum berjalan dengan baik di masyarakat, sehingga kegiatan penyuluhan dan sosialisasi mobilisasi masyarakat untuk PSN perlu lebih ditingkatkan. Gambar 1 Pemantauan Persentase Angka Bebas jentik Vektor DBD Tahun 1994-2004
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009
Kegiatan Pokok Penangendalian DBD menurut Kementerian Kesehatan Tahun 2011 : 1.
Surveilans epidemiologi Surveilans pada pengendalian DBD meliputi kegiatan surveilans kasus secara aktif maupun pasif, surveilans vektor (Aedes sp), surveilans laboratorium dan surveilans terhadap faktor risiko penularan penyakit seperti pengaruh curah hujan, kenaikan suhu dan kelembaban serta surveilans akibat adanya perubahan iklim (climate
2.
change). Penemuan dan tatalaksana kasus Penyediaan sarana dan prasarana untuk melakukan
3.
pemeriksaan dan penanganan penderita di Puskesmas dan Rumah Sakit. Pengendalian vektor Upaya pengendalian vektor dilaksanakan pada fase nyamuk dewasa dan jentik nyamuk. Pada fase nyamuk dewasa dilakukan dengan cara pengasapan untuk memutuskan rantai penularan antara nyamuk yang terinfeksi kepada manusia. Pada fase jentik dilakukan upaya PSN dengan kegiatan 3M Plus : 1) Secara fisik dengan menguras, menutup dan memanfaatkan barang bekas 2) Secara kimiawi dengan larvasidasi 3) Secara biologis dengan pemberian ikan 4) Cara lainnya (menggunakan repellent, obat
4.
nyamuk bakar, kelambu, memasang kawat kasa dll) Kegiatan pengamatan vektor di lapangan dilakukan dengan cara : 1) Mengaktifkan peran dan fungsi Juru Pemantau Jentik (Jumantik) dan dimonitor olah petugas Puskesmas. 2) Melaksanakan bulan bakti “Gerakan 3M” pada saat sebelum musim penularan. 3) Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) setiap 3 bulan sekali dan dilaksanakan oleh petugas Puskesmas. 4) Pemantauan wilayah setempat (PWS) dan dikomunikasikan kepada pimpinan wilayah pada rapat bulanan POKJANAL DBD, yang menyangkut hasil
5.
pemeriksaan Angka Bebas Jentik (ABJ). Peningkatan peran serta masyarakat Sasaran peran serta masyarakat terdiri dari keluarga melalui peran PKK dan organisasi kemasyarakatan atau LSM, murid sekolah melalui UKS dan pelatihan guru, tatanan institusi (kantor, tempat0tempat umum dan tempat ibadah).
Berbagai
upaya
secara
polotis
telah
dilaksanakan
seperti
instruksi
Gubernur/Bupati/Walikota, Surat Edaran Mendagri, Mendiknas, serta terakhir pada 15 Juni 2011 telah dibuat suatu komitmen bersama pimpinan daerah Gubernur dan 6.
Bupati/Walikota untuk pengenadalian DBD. Sistem kewaspadaan dini (SKD) dan penanggulangan KLB Upaya SKD DBD ini sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya KLB dan apabila telah terjadi KLB dapat segera ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Upaya dilapangan yaitu dengan
melaksanakan kegiatan penyelidikan epidemiologi (PE) dan penanggulangan seperlunya meliputi foging fokus, penggerakan masyarakat dan penyuluhan untuk PSN serta 7.
larvasidasi. Demikian pula kesiapsiagaan di RS untuk dapat manampung pasien DBD, baik penyediaan tempat tidur, sarana logistik, dan tenaga medis, paramedis dan laboratorium yang siaga 24 jam. Pemerintah daerah menyiapkan anggaran untuk perawatan bagi pasien
8.
tidak mampu. Penyuluhan Promosi kesehatan tentang penyakit DBD tidak hanya menyebarkan leaflet atau poster tetapi juga ke arah perubahan perilaku dalam pemberantasan sarang nyamuk
9.
sesuai dengan kondisi setempat. Metode ini antara lain dengan COMBI, PLA dsb. Kemitraan/jejaring kerja Disadari bahwa penyakit DBD tidak dapat diselesaikan hanya oleh sektor kesehatan saja, tetapi peran lintas program dan lintas sektor terkait sangat besar. Wadah kemitraan telah terbentuk melalui SK KEPMENKES 581/1992 dan SK MENDAGRI 441/1994 dengan nama Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL). Organisasi ini merupakan wadah koordinasi dan jejaring kemitraan dalam pengendalian
DBD. 10. Capacity building Peningkatan kapasitas dari Sumber Daya baik manusia maupun sarana dan prasarana sangat mendukung tercapainya target dan indikator dalam pengendalian DBD. Sehingga secara rutin perlu diadakan sosialisasi/penyegaran/pelatihan kepada petugas dari tingkat kader, Puskesmas sampai dengan pusat. 11. Penelitian dan survei Penelitian dan upaya pengembangan kegiatan pengendalian tetap terus dilaksanakan oleh berbagai pihak, antara lain universitas, Rumah Sakit, Litbang, LSM dll. Penelitian ini menyangkut beberapa aspek yaitu bionomik vektor, penanganan kasus, laboratorium, perilaku, obat herbal dan saat ini sedang dilakukan uji coba terhadap vaksin DBD. 12. Monitoring dan evaluasi Monitoring dan evaluasi ini dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat kelurahan/desa sampai ke pusat yang menyangkut pelaksanaan pengendalian DBD, dimulai dari input, proses, output dan outcome yang dicapai pada setiap tahun.
Target atau Indikator Pengendalian DBD
Indikator DBD ini telah tertuang dalam dokumen RPJMN tahun 2010 - 2014 serta Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan tahun 2010 - 2014 dan Kepmenkes No 828 tahun 2008 tentang petunjuk teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Oleh karena itu karena saat ini pemerintah telah memulai dan terus mengembangkan kinerja Kementerian/Lembaga berdasarkan indikator kinerja tersebut diatas, apa yang menjadi target dalam pengendalian DBD harus kita capai. Tabel 2. Indikator Nasional DBD Indikator Angka kesakitan
2010 55
2011 54
2012 53
2013 52
2014 51
penderita DBD per 100.000 penduduk 2.2 Sistem Surveilance Tujuan Surveilans menurut Depkes RI (2004) adalah untuk pencegahan dan pengendalian penyakit dalam masyarakat, sebagai upaya deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa (KLB), memperoleh informasi yang diperlukan bagi perencanaan dalam hal pencegahan, penanggulangan maupun pemberantasannya pada berbagai tingkat administrasi. Sedangkan Komponen kegiatan surveilans menurut antara lain sebagai berikut : 1. Pengumpulan data, data yang dikumpulkan adalah data epidemiologi yang jelas, tepat dan ada hubungannya dengan penyakit yang bersangkutan. Tujuan dari pengumpulan data epidemiologi adalah: untuk menentukan kelompok populasi yang mempunyai resiko terbesar terhadap serangan penyakit; untuk menentukan reservoir dari infeksi; untuk menentukan jenis dari penyebab penyakit dan karakteristiknya; untuk memastikan keadaan yang dapat menyebabkan berlangsungnya transmisi penyakit; untuk mencatat penyakit secara keseluruhan; untuk memastikan sifat dasar suatu wabah, sumbernya, cara penularannya dan seberapa jauh penyebarannya.
2. Kompilasi, analisis dan interpretasi data. Data yang terkumpul selanjutnya dikompilasi, dianalisis berdasarkan orang, tempat dan Analisa dapat berupa teks tabel, grafik dan spot map sehingga mudah dibaca dan merupakan informasi yang akurat. Dari hasil analisis dan interpretasi selanjutnya dibuat saran bagaimana menentukan tindakan dalam menghadapi masalah yang baru. 3. Penyebaran hasil analisis dan hasil interpretasi data. Hasil analisis dan interpretasi data digunakan untuk unit-unit kesehatan setempat guna menentukan tindak lanjut dan disebarluaskan ke unit terkait antara lain berupa laporan kepada atasan atau kepada lintas sektor yang terkait sebagai informasi lebih lanjut. Pada bidang kesehatan masyarakat, menurut McNabb et al., (2002), kegiatan surveilans mempunyai aktifitas inti sebagai berikut: 1. Pendeteksian kasus (case detection), merupakan proses mengidentifikasi peristiwa atau keadaan kesehatan. Unit sumber data menyediakan data yang diperl ukan dalam penyelenggaraan
surveilans
epidemiologi
seperti
rumah
sakit,
puskesmas,
laboratorium, unit penelitian, unit program-sektor dan unit statistik. 2. Pencatatan kasus (registration), merupakan proses pencatatan kasus hasil identifikasi peristiwa atau keadaan kesehatan. 3. Konfirmasi (confirmation), merupakan evaluasi dari ukuran-ukuran epidemiologi sampai pada hasil percobaan laboratorium. 4. Pelaporan (reporting), berupa data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans epidemiologi yang kemudian disampaikan kepada berbagai pihak yang dapat melakukan tindakan penanggulangan penyakit atau upaya peningkatan program kesehatan. Juga disampaikan kepada pusat penelitian dan kajian serta untuk pertukaran data dalam jejaring surveilans 5. Analisis data (data analysis), merupakan analisis terhadap berbagai data dan angka sebagai bahan untuk menentukan indikator pada 6. Respon
segera/
kesiapsiagaan
wabah
(epidemic
preparedness),
kesiapsiagaan dalam menghadapi wabah/kejadian luar biasa.
merupakan
7. Respon terencana (response and control), merupakan sistem pengawasan kesehatan masyarakat. Respon ini hanya dapat digunakan jika data yang ada bisa digunakan dalam peringatan dini pada munculnya masalah kesehatan masyarakat. 8. Umpan balik (feedback), berfungsi penting untuk sistem pengawasan, alur pesan dan informasi kembali ke tingkat yang lebih rendah dari tingkat yang lebih tinggi. Dalam pelaksanaannya, diperlukan sistem evaluasi pada surveilans ini. Evaluasi Sistem Surveilans Kesehatan merupakan penilaian periodik dari perubahan dalam hasil yang ditargetkan (sasaran) yang dapat dihubungkan dengan sistem surveilans dan respon. Evaluasi dimaksudkan untuk melihat perubahan dalam keluaran, hasil dan pengaruh (negatif atau positif target atau non target) dari sistem surveilans dan respon. Kriteria evaluasi tersebut menurut Unicef (1990) dalam Trisnantoro (2005) antara lain: 1. Relevansi, apakah nilai intervensi sesuai dengan kebutuhan utama pemegang kekuasaan, prioritas nasional, kebijakan nasional dan internasional. Standar global ini bisa sebagai referensi evaluasi baik proses maupun hasil. 2. Efisiensi, apakah program cukup efisien untuk mencapai tujuan. 3. Efektivitas, apakah kegiatan yang dilaksanakan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 4. Dampak, yaitu efek yang timbul dari kegiatan baik positif maupun negatif meliputi sosial, ekonomi, lingkungan individu, komunitas atau institusi. 5. Kelanjutan, yaitu apakah aktivitas dan dampaknya mungkin diteruskan ketika dukungan dari luar dihentikan dan akankah akan lebih banyak ditiru atau diadaptasi.
2.2.1 Sistem Pelaksanaan Surveilans Dalam Pengendalian DBD Jenis dan sumber data Surveilans Beberapa variabel data yang berhubungan dengan pengendalian DBD adalah sbb : a. Data kesakitan dan kematian menurut golongan umur dan jenis kelamin, kasus DD, DBD, SSD dari Unit Pelayanan kesehatan, W1, kewaspadaan mingguan, bulanan, dan tahunan. b. Data penduduk menurut golongan umur tahunan.
c. Data desa, kecamatan, kabupaten, provinsi terdapat kasus DD, DBD, SSD bulanan dan tahunan d. Data ABJ kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hasil dari kegiatan pengamatan jentik. Data tersebut diatas dapat diperoleh dari : a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Laporan rutin DBD, mingguan, bulanan ( puskesmas, kabupaten/kota, dan provinsi ) Laporan KLB/wabah /W1( puskesmas, kabupaten/kota, provinsi ) Laporan laboratorium dari UPK (puskesmas, RS, Labkes, dll) Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan (puskesmas, kabupaten/kota) Laporan penyelidikan KLB/wabah (puskesmas, kabupaten/kota) Survei khusus (pusat, provinsi, kabupaten/kota) Laporan data demografi (puskesmas, kabupaten/kota, provinsi) Laporan data vektor (puskesmas, kabupaten/kota, provinsi) Laporan dari Badan Meteorologi & Geofisika provinsi, kabupaten/kota, kecamatan tentang curah hujan dan hari hujan.
2.2.2 Peran Unit Pelaksana Surveilans DBD merupan surveilans rutin yang dilaksanakan di seluruh unit pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia. Untuk menjamin berlangsungnya penyelenggaraan sistem surveilans kasus DBD ini, maka perlu dijabarkan peran setiap unit penyelenggaraan surveilans kasus DBD diseluruh unit pelayanan kesehatan secara berjenjang termasuk pusat, yaitu : a. Pusat 1) Unit pelaksanaan tingkat pusat a. Pengaturan penyelenggaraan surveilans kasus DBD nasional b. Menyusun pedoman pelaksanaan surveilans kasus DBD nasional c. Menyelenggarakan manajemen surveilans kasus DBD nasional d. Melakukan kegiatan surveilans kasus DBD nasional termasuk SKD- KLB e. Pembinaan dan asistensi teknis f. Monitoring dan evaluasi g. Melakukan penyelidikan KLB sesuai kebutuhan nasional h. Pengembangan pemanfaatan teknologi surveilans kasus DBD i. Pengembangan metodologi surveilans epidemiologi j. Pengembangan kompetensi sumber daya manusia surveilans epidemiologi k. Menjalin kerjasama nasional dan internasional secara teknis dan sumbersumber dana. l. Menjadi pusat rujukan surveilans kasus DBD regional dan nasional. m. Kerjasama surveilans kasus DBD dengan provinsi, nasional dan internasional.
2) Pusat Data dan Informasi a. Koordinasi pengelolaan sumber data dan informasi kasus DBD nasional b. Koordinasi kajian strategis dan penyajian informasi kasus DBD c. Asistensi teknologi informasi 3) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan a. Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi dan metode surveilans kasus DBD b. Melakukan penelitian lebih lanjut terhadap temuan dan atau rekomendasi surveilans kasus DBD b. Tingkat Provinsi 1) Unit Pelaksanaan Teknis Tingkat Provinsi a. Melaksanakan surveilans kasus DBD di wilayah provinsi termasuk SKDKLB b. Melakukan penyelidikan KLB sesuai kebutuhan provinsi c. Membuat pedoman teknis operasional surveilans kasus DBD sesuai dengan d. e. f. g.
pedoman yang berlaku. Menyelenggarakan pelatihan surveilans kasus DBD Pembinaan dan asistensi teknis ke kabupaten/kota Monitoring dan evaluasi Mengembangkan dan melaksanakan surveilans kasus DBD dan masalah
penyakit DBD lokal spesifik. h. Melakukan pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data serta desinfo secara terus menerus dan berkesinambungan. i. Menjadi unit pengendalian bila terjadi KLB di wilayah Kabupaten/ Kota 2) Rumah Sakit Pusat dan Provinsi a. Melaksanakan surveilans kasus DBD rumah sakit . b. Identifikasi dan rujukan kasus sebagai sumber data surveilans kasus DBD Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat. c. Melakukan kajian epidemiologi kasus DBD
dan masalah yang terkait
dengan DBD. 3) Laboratorium Kesehatan Provinsi Melakukan pemeriksaan spesimen surveilans kasus DBD c. Tingkat Kabupaten/Kota 1) Unit Teknis Kabupaten/Kota a. Pelaksana Surveilans kasus DBD nasional diwilayah kabupaten/kota b. Menyelenggarakan manajemen surveilans kasus DBD termasuk SKD KLB c. Melakukan penyelidikan dan Penanggulangan KLB DBD di Wilayah Kabupaten/ kota yang bersangkutan. d. Supervisi dan asistensi teknis ke puskesmas dan rumah sakit dan komponen surveilans DBD diwilayahkan.
e. Melaksanakan pelatihan surveilans kasus DBD. f. Monitoring dan evaluasi kasus DBD g. Melaksanakan survelens epidemiologi kasus DBD secara spesifik lokal. 2) Rumah Sakit Kabupaten/Kota a. Melaksanakan surveilans kasus DBD di rumah sakit. b. Identifikasi dan rujukan kasus DBD sebagai sumber data surveilans kasus DBD kabupaten/kota , propinsi dan pusat. c. Melakukan kajian epidemiologi kasus DBD dan masalah DBD lainnya di rumah sakit 3) LaboratoriumKesehatan Kabupaten/Kota Melakukan pemeriksaan spesimen kasus DBD d. Tingkat Kecamatan Puskesmas a. Pelaksana surveilans kasus DBD nasional di wilayah puskesmas. b. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan penyakit dan masalah kasus DBD. c. Melakukan koordinasi survailans kasus DBD dengan praktek dokter, bidan, swasta dan unit pelayanan kesehatan yang berada diwilayah kerjanya. d. Melakukan koordinasi surveilans kasus DBD antar puskesmas yang berbatasan. e. Melakukan SKD-KLB dan penyelidikan KLB DBD di wilayah puskesmas f. Melaksanakan surveilans epidemiologi kasus DBD dan masalah kesehatan spesifik lokal.
Strategi Dan Pelaksanaan Surveilans Pengendalian DBD 1) Strategi Surveilans Adapun strategi surveilans dalam program pengendalian DBD adalah sebagai berikut : a. Advokasi dan dukungan perundang-undangan b. Menyediakan pembiayaan program surveilans DBD c. Pengembangan sistem surveilans sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan program secara nasional, provinsi dan kabupaten/kota termasuk penyelenggaraan d. e. f. g. h.
sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa penyakit dan bencana. Peningkatan mutu dan data informasi epidemiologi. Peningkatan profesionalisme tenaga surveilans. Pengembangan tim epidemiologi yang handal. Penguatan jejaring surveilans epidemiogi. Peningkatan pengetahuan surveilans epidemiologi untuk tiap tenaga kesehatan.
i. Peningkatan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi elektromedia yang terintegrasi dan interaktif.
2) Pelaksanaan Surveilans DBD a. Pengumpulan data Pengumpulan data kasus dilaksanakan secara berjenjang mulai dari Pukesmas dan jejaringnya (community based), sampai Rumah Sakit (hospital based), laboratorium kabupaten/kota dan propvinsi dengan menggunakan form pelaporan demam berdarah yang dikoordinasi oleh dinas kesehatan kab/kota di tingkat kab/kota atau di dinas kesehatan provinsi di tingkat provinsi, Kemkes RI untuk masing-masing tingkatan dijelaskan melalui pokok bahasan selanjutnya b. Pengolahan dan penyimpanan data Dilaksanakan disetiap tingkat
unit
pelaksanakan surveilans c. Analisis data Analisis deskriptif dan analitik dilakukan disetiap unit pelaksana surveilans sesuai dengan kemampuan masing-masing d. Penyebarluasan informasi Dilaksakanakan disetiap unit pelaksana surveilans kepada pihak yang membutuhkan data tersebut. 3) Kegiatan Surveilans Di Berbagai Tingkat Wilayah Administrasi A. Tingkat Puskesmas Surveilans epidemiologis demam berdarah dengue (DBD) di puskesmas meliputi kegiatan pengumpulan dan pencatatan data tersangka DBD untuk melakukan Penyelidikan Epidemiologi (PE). Pengolahan dan penyajian data penderita DBD untuk pemantauan KLB berdasarkan; laporan mingguan KLB (W2- DBD); laporan bulanan kasus/ kematian DBD dan program pemberantasan (K-DBD); data dasar perorangan penderita suspek/infeksi dengue DD, DBD, SSD (DP-DBD), penentuan stratifikasi (endemisitas) desa/kelurahan, distribusi kasus DBD per RW/dusun, penentuan musim penularan, dan kecenderungan DBD. a. Pengumpulan dan pencatatan data 1) Pengumpulan dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada laporan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD. 2) Sumber data yang diterima puskesmas dapat berasal dari : rumah sakit (form KDRS) dinas kesehatan kabupaten/kota (informasi tentang adanya kasus) puskesmas rawat inap
puskesmas lain (cross notification) dan unit pelayanan kesehatan lain (balai
pengobatan, poliklinik,
dokter praktek swasta, dan lain-lain), dan 3) Hasil penyelidikan epidemiologi (kasus tambahan jika sudah ada konfirmasi dari rumah sakit/unit pelayanan kesehatan lainnya). 4) Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD menggunakan Buku Catatan Harian atau buku register DBD yang memuat catatan (kolom) sekurang-kurangnya seperti pada Form DP-DBD 5) Data demografi dan klimatologi b. Pengolahan dan penyajian data Data pada Buku Catatan Harian DBD diolah dan disajikan dalam bentuk : 1) Pemantauan situasi DBD mingguan menurut desa/kelurahan a. Jumlahkan masing-masing penderita DBD dan SSD setiap minggu dan sajikan pada tabel seperti pada contoh di bawah ini. Tabel 1 : Jumlah penderita DD, DBD dan SSD menurut desa/kelurahan dan minggu di puskesmas X, tahun ......... Minggu ke: .............Bulan:............................. Puskesmas: ........................................(tambah kolom suspex infeksi Dengue) Desa/ke
Minggu*
lurahan DD P
1 DB
M P
D
DSS
M P
DD
M P
2 DB
M P
D
DSS
M P
DD
M P
3 DB
M P
D
DSS
M P
DD
M P
4 DB
M P
D
DSS
M P
M
Jumlah
*Mengikuti kalender survailans; P:Penderita, M:Meninggal DD=Demam Dengue, DBD=Demam Berdarah Dengue, SSD=Sindrom Syok Dengue (DBD stadium III/ IV) b. Berdasarkan hasil penggabungan jumlah penderita DBD dan SSD dari data mingguan, dapat dideteksi secara dini adanya KLB DBD atau keadaan yang menjurus pada KLB DBD. c. Bila terjadi KLB DBD maka lakukan tindakan sesuai dengan pedoman penanggulangan KLB DBD dan laporkan segera ke dinas kesehatan kabupaten/ kota menggunakan formulir W1.
2) Penyampaian laporan DD, DBD,dan SSD selambat-lambatnya dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan menggunakan formulir KD-PKM (Lampiran 3). 3) Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD menggunakan formulir DP-DBD yang disampaikan per bulan. 4) Rekapan mingguan (W2-DBD) a. Jumlahkan penderita DBD dan SSD setiap minggu menurut desa/kelurahan b. Laporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota dengan formulir W2-DBD 5) Laporan bulanan a. Jumlahkan penderita/kematian DD, DBD, SSD termasuk data beberapa kegiatan pokok pemberantasan/penanggulangannya setiap bulan b. Laporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota dengan formulir K-DBD 6) Penentuan stratifikasi desa/kelurahan DBD Cara menentukan stratifikasi (endemisitas) desa/kelurahan: a. Buatlah tabel desa/kelurahan dengan menjumlahkan penderita DBD dan SSD dalam 3 (tiga) tahun terakhir b. Tentukan stratifikasi masing-masing desa/kelurahan menurut kriteria stratifikasi desa/kelurahan.
Tabel 2 : Jumlah penderita DBD per tahun di Puskesmas X, tahun 2008-2010 No. 1 2 3 4
Desa/kelurahan Mekar Jaya Megah Sukasari
2008 6 5 0 0
2009 5 0 0 0
2010 8 3 0 0
ABJ* =95% >95%
Stratifikasi Endemis Sporadis Potensial Bebas
BAB III IDENTIFIKASI SISTEM SURVEILANS DBD DI PUSKESMAS CIPUTAT TIMUR
Dalam mengidentifikasi sistem surveilens Demam berdarah mengacu pada sistem survei epidemiologi yang mencakup pada proses, pengumpulan, pencatatan, pengolahan, analisis dan interpretasi data kasus serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program, instansi dan pihak terkait secara sistematis dan terus menerus. 3.1 Tujuan Surveilans DBD a.
Memantau kecenderungan penyakit DBD
b.
Mendeteksi dan memprediksi terjadinya KLB DBD serta penanggulangannya
c.
Menindaklanjuti laporan kasus DBD dengan melakukan PE, serta melakukan penanggulangan seperlunya,
d.
Memantau kemajuan program pengendalian DBD
e.
Menyediakan informasi untuk perencanaan pengendalian DBD
f.Pembuatan kebijakan pengendalian DBD. 3.2 Definisi Kasus (DBD) ialah demam 2 - 7 hari disertai dengan manifestasi perdarahan, Jumlah trombosit < 100.000 /mm3, adanya tanda tanda kebocoran plasma (peningkatan hematokrit ≥ 20 % dari
nilai
normal,
dan
atau
efusi
pleura,
dan
atau
ascites,
dan
atau
hypoproteinemia/albuminemia) dan atau hasil pemeriksaan serologis pada penderita tersangka DBD menunjukkan hasil positif atau terjadi peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris). 3.3 Data Pada tahun 2015 jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 129.650 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1.071 orang (IR/Angka kesakitan= 50,75 per 100.000 penduduk dan CFR/angka kematian= 0,83%). Dibandingkan tahun 2014 dengan kasus sebanyak 100.347 serta IR 39,80 terjadi peningkatan kasus pada tahun 2015. ( Pofil kesehatan indonesia, 2015). Setiap puskesmas melaporkan kasus suspek infeksi demam berdarah ke dinas kesehatan kabupaten/kota. Puskesmas juga wajib melaporkan kasus infeksi dengue (DD, DBD dan SSD) yang dapat didiagnosis di puskesmas dalam waktu 24 jam menggunakan form KDPKM DBD. Puskesmas dapat merujuk kasus (suspek infeksi dengue, DD, DBD dan SSD) yang tidak dapat ditangani di puskesmas, Laporan yang digunakan di puskesmas yaitu Formulir K-DBD sebagai laporan bulanan, Rekapan W2 sebagai rekapan mingguan, Formulir W1 bila terjadi KLB, Laporan Sistim Terpadu Penyakit (STP) 3.4 Informasi Data yang ada di informasikan ke dinas kesehatan kabupaten/kota untuk diintrepretasikan. 1. Action Tindak lanjut hasil temuan kasus demam berdarah adalah melakukan program penyembuhan melalui Penyediaan sarana dan prasarana untuk melakukan pemeriksaan dan
penanganan penderita, serta melakukan pencegahan demam berdarah melalui pengendalian vektor. 2. Evaluasi Evaluasi sistem atribut mengacu pada modul pengendalian Demam Berdarah Dengue. a. Kesederhanaan Kesederhanaan pelaksanaan sistem surveilans dapat dilihat dari pengumpulan dan pelaporan DBD serta diagnosis tersangka DBD dilakukan secara sederhana yaitu dengan mengetahui bahwa penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechiae, lebam (echymosis) atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan (Shock). b. Fleksibilitas Puskesmas adalah sarana untuk melayani masyarakat berobat Demam Berdarah Dengue. Dengan sistem surveilans yang fleksibel di rumah sakit, klinik maupun puskesmas pembantu. c. Akseptibiltas Akseptibilitas dapat terlihat dengan penemuan kasus Demam Berdarah Dengue secara pasif. Untuk meningkatkan cakupan ini dilakukan juga aktif promotif yang melibatkan tokoh masyarakat d. Sensitifitas Sensitifitas dapat dilihat dari penemuan penderita sedini mungkin dimana semua penderita dilakukan pemeriksaan e. Nilai Prediktif Positif Tidak bisa ditemukan karena para mahasiswa belum mengetahui angka kross cek dari BLK Tanggerang Selatan. f. Kerepresentatifan Pelaksanaan sistem surveilans DBD dapat digunakan untuk mengidentifikasi kelompok risiko tinggi terserang demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechiae, lebam (echymosis) atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan (Shock). g. Ketepatan Waktu Ketepatan waktu sistem surveilans DBD dapat dibuat dari pelaksanaan pencehgahan 3M plus.