BLOK SISTEM GASTROENTEROHEP GASTROENTEROHEPATIKA ATIKA
LAPORAN PBL 18 APRIL 2018
SKENARIO 4 IKTERUS
Di susun oleh: KELOMPOK 4
Tutor: Dr. Marissa Matinahoru
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON 2018
KELOMPOK PENYUSUN
Kelompok 4
Ketua
: ENGELINA WITANAMA
201583055
Sekretaris I
: RAHMA WATI TOMU
201583058
Sekretaris II
: LEONARDO S. LIESAY
201583022
Anggota
Ikterus
AMANDA D. LESTALUHU
201383018
NATASHA FITRI
201483019
KURNIA ANGRIANI
201583020
DEWI N. KABAKORAN
201583021
PHILEMON PATTYNAMA
201583054
LEORICHKY P. EKKLESIA
201583056
TIFENNY P. SESA
201583059
DEBI ANISA RENIURWARIN
201683064
KADEK SURYA KARMA
201683066
ANNISA T. A. SOULISA
201683067
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Berkat dan RahmatNya, kami dapat menyelesaikan tutorial dan laporan hasil diskusi PBL kami mengenai skenario “HEPATITIS”, yang telah di bahas pada tutorial 2 ini dapat terwujud berkat bantuan dari berbagai pihak yang selalu memberikan bimbingan, motivasi dan berbagai edukasi. Dalam penyelesaian laporan ini, banyak pihak yang telah turut terlibat. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dr. Marissa Matinahoru selaku tutor yang telah membimbing dan mengarahkan kami selama diskusi PBL berlangsung. 2. Teman-teman PBL kelompok 4 blok Sistem Gastroenterohepatika, di Fakultas Kedokteran Unversitas Pattimura yang telah bekerja sama dengan baik. Terimakasih untuk pengetahuan, kerjasama dan motivasinya. Akhir kata, kami sadar bahwa penyusunan laporan ini masih jauh dari sempurna, sehingga adanya saran dan masukan yang membangun dari berbagai pihak sangat kami harapkan untuk perbaikan laporan kami kedepannya. Kami tetap berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kedokteran baik praktek dan teori.
Ambon, 12 November 2017
Kelompok 4
Ikterus
iii
DAFTAR ISI
COVER .............................................................................................................i KELOMPOK PENYUSUN ..............................................................................ii KATA PENGANTAR.......................................................................................iii DAFTAR ISI ......................................................................................................iv BAB I PENDAHULUAN .................................................................................5 STEP 1 ................................................................................................................5 STEP 2 ................................................................................................................5 STEP 3 ................................................................................................................5 STEP 4 ................................................................................................................9 STEP 5 ................................................................................................................10 STEP 6 ...............................................................................................................10 BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................11 BAB III PENUTUP ...........................................................................................27 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................28
Ikterus
iv
I. PENDAHULUAN
Skenario 4 Ikterus Seorang laki-laki, 30 tahun, ke Puskesmas dengan keluhan mata kuning sejak 2 minggu. Urin berwarna seperti teh pekat. Pasien merasa lemah, nyeri kepala, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, mual dan muntah sebanyak satu kali berisi cairan dan sisa makanan. Seminggu sebelumnya penderita mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi dirasakan terus-menerus siang dan malam. Demam dan nyeri kepala berkurang dengan parasetamol namun keluhan lainnya tidak berkurang sampai timbul keluhan mata kuning. Penderita baru pertama kali mengalami mata kuning. Riwayat epilepsi dan konsumsi obat Carbamaz epin.
Step 1 : I dentifikasi kata sukar dan kata kunci a. Kata sukar : b. Kata/kalimat kunci : i. Seorang laki-laki berumur 30 tahun ii. Datang ke Puskesmas dengan keluhan mata kuning 2 mingguyang lalu iii. Urin berwarna seperti teh pekat iv. Nyeri kepala, pegal-pegal, nafsu makan menurun, mual, dan muntah v. Seminggu sebelumnya pasien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi vi. Dirasakan terus-menerus siang sampai malam demam dan nyeri vii. Pasien meminum paracetamol namun keluhan lain tidak berkurang viii. Terdapat riwayat epilepsi dan konsumsi obat carbamazepin
Step 2 : I dentifikasi masalah dan pernyataan 1. Mengapa mata pasien kuning? 2. Apa hubungan riwayat epilepsi dan konsumsi obatnya dengan keluhan pasien? 3. Apa saja diagnosis banding dari pasien ini?
5
4. Apa saja faktor penyabab mata kuning? 5. Bagaimana mekanisme dari gejala urin berwarna pekat? 6. Apa hubungan keluhan mata kuning dengan nyeri kepala, pegal, mual, dan muntah? 7. Terapi apa yang bisa diberikan pada pasien? 8. Pemeriksaan apa saja yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien?
Step 3 : J awaban pernyataan dari step 2 1. Kerusakan pada hepar dapat menyebabkan gangguan fungsi normal hepar
dalam mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk, sehingga menyebabkan bilirubin indirek bebas beredar dalam darah sehingga pada sklera yang tipis dapat terlihat warna kekuningan.
2. Penggunaan obat carbamazepin jangka panjang dapat merusak sel-sel hepatosit,
sehingga menyebabkan gangguan dalam metabolisme bilirubin indirek menjadi direk. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan bilirubin indirek dan menyebabkan hepatitis yang terinduksi obat, sehingga pasien mengalami gejala ikterik.
3. Diagnosis banding dari gejala pada pasien yaitu:
a. Hepatitis Akibat Obat b. Hepatitis Alkoholik c. Penyakit Saluran Empedu d. Leptospirosis
4. Faktor-faktor yang menjadi penyebab dari gejala ikterik pada pasien yaitu:
a. Hepatitis karena reaksi peradangan di hepar oleh virus hepatitis A, hepatitis B. atau hepatitis C. b. Sirosis hati, yaitu keadaan jaringan hati yang rusak dan akhirnya menjadi jaringan parut.
6
c. Obstruksi saluran empedu, karena batu empedu, kista, atau tumor. d. Kanker hati. e. Fatty liver, bisa karena banyak mengkonsumsi alkohol. f. Pengobatan penyakit kronis yang dapat menginduksi hepatitis obat. g. Konsumsi makanan yang tidak sehat (berlemak) sehingga kolesterol yang menumpuk dapat membentuk batu empedu. h. Riwayat kehamilan. Ibu yang menderita hepatitis bisa menularkan kepada janin (transmisi vertikal). 5. Urin yang pekat terjadi karena adanya urobilinogen (hasil metabolisme bilirubin
direk) dan peningkatan bilirubin indirek dalam darah yang belum diubah sehingga ketika difiltrasi di ginjal maka akan keluar pada urin, dan muncul warna yang pekat.
6. Gejala mata kuning bisa menjadi tanda dari adanya kerusakan atau gangguan
pada hepar. Mual dan muntah terjadi karena kerusakan hepar yang mengakibatkan sekresi SGOT/SGPT yang mengiritasi saluran cerna, kemudian merangsang saraf vagal dan rangsangan parasimpatis sehingga terjadi penurunan peristaltik usus dan lambung. Kemudian makanan tertahan di lambung yang menyebabkan distensi lambung sehingga terjadi rasa mual dan muntah. Nyeri kepala terjadi karena stimulasi berlebihan saraf vagal dan saraf somatik ke otak yang akhirnya merangsang saraf trigeminus sehingga terjadi nyeri kepala. Pegal juga terjadi karena penjalaran rangsangan nyeri akibat inflamasi hepar atau saluran empedu.
7. Penatalaksanaan yang dapat diberikan untuk pasien ini yaitu:
a. Tirah baring dan istirahat (jika hepatitis virus maka penyakitnya selflimited ). b. Makanan yang bergizi dan bersih serta asupan cairan/elektrolit yang adekuat. c. Penghentian obat-obat yang digunakan untuk sementara sampai diketahui diagnosis pastinya. 7
d. Terapi suportif lainnya. e. Ibuprofen sebagai anti inflamasi. f. Pemberian antiviral untuk kasus kronis, seperti lamivudin, terbividin, atau interferon.
8. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk penegakkan diagnosis pada pasien
yaitu: a. Pemeriksaan laboratorium fungsi hati b. Pemeriksaan laboratorium urinalisis (kandungan bilirubinnya) c. Pemeriksaan laboratorium feses d. Tes serologi untuk mendeteksi antigen virus hepatitis ataupun antibodi terhadap virus hepatitis e. Pemeriksaan laboratorium biokimia darah f. USG dan X-ray abdomen untuk melihat jika ada gangguan pada kantung atau saluran empedu.
8
Step 4 : Mind mapping
Laki-laki 30 tahun Alur penegakkan diagnosis (Pemeriksaan fisik dan penunjang)
Mata kuning, urin pekat, lemah, nyeri kepala, pegal, nafsu makan berkurang, demam. Riwayat penggunaan obat epilepsi.
DD Hepatitis
Virus
Obstruksi saluran empedu Druginduced
HAV, HBV, HCV
Etiologi: Penularan faecal oral (HAV), penularan lewat darah/cairan tubuh (HCV), darah/cairan tubuh/vertikal (HBV).
Penatalaksaan: Istirahat (selflimited), Terapi simtomatik, antiviral, edukasi.
9
Step 5 : Learning objectives 1. Menjelaskan alur penegakkan diagnosis. 2. Menjelaskan patomekanisme antar gejala. 3. Menjelaskan hubungan keluhan pasien dengan riwayat pengobatan epilepsi. 4. Menjelaskan kesimpulan dan analisa terhadap kemungkinan-kemungkinan
diagnosis sesuai skenario. 5. Menjelaskan penatalaksanaan pada pasien.
Step 6 : Belajar mandiri (Hasil belajar mandiri nantinya akan dibahas pada step 7 yaitu pada jawaban learning objectives )
Step 7 : J awaban learning objectives ( Pembahasan )
10
II. PEMBAHASAN
1. Menjelaskan alur penegakkan diagnosis.
Gambar 1.1 Metabolisme Bilirubin 1
Ikterus Obstruktif
Dalam penegakan diagnosis klinis penyebab ikterus, yang pertama perlu dipertimbangkan adalah ikterus yang saat ini berlangsung disebabkan oleh hemolisis atau penyakit hepatobiliaris.1 Anamnesis Pasien Dengan Keluhan Utama Ikterus
Beberapa data yang perlu dikumpulkan dalam proses anamnesis adalah:1 1. Lama gejala. 2. Karakteristik dan lokasi nyeri abdomen (jika ada) 3. Riwayat demam, karakteristik dan onset demam 4. Perubahan selera makan 5. Penurunan Berat badan 6. Riwayat transfusi darah 11
7. Riwayat Penggunaan Obat Intravena 8. Riwayat Atralgia 9. Riwayat mengunjungi atau tinggal di daerah endemis hepatitis 10. Riwayat operasi empedu masa lalu Berbagai data di atas akan menjadi informasi penting dalam upaya mengarahkan diagnosis banding yang tepat. Misalnya bila ikterus diertai nyeri abdomen, lokasi dan karakteristik nyeri abdomen
akan
memberikan
informasi
berharga
untuk
memperkirakan diagnosis banding. 1,2
Gambar 1.2. Regio Abdomen
1
Misalnya, pasien ikterus dengan nyeri kolik abdomen di perut kanan atas akan mengarahkan diagnosis banding ke cholelitiasis. Sedangkan ikterus yang signifikan, disertai kencing seperti teh, demam akut dengan nyeri di epigastrik akan mengarahkan diagnosis ke hepatitis virus akut. 1,2 Pemeriksaan Fisik Ikterus
12
Dalam pemeriksaan klinis pada pasien ikterus,
dapat
ditemukan keluhan eksoriasi yang menunjukkan ada proses kolestasis yang lama atau obstruksi bilier berat. Sedangkan jika ikterik ditemukan berwarna kehijauan, itu menunjukkan tanda-t anda penyakit hati kronik.3 Demam dan nyeri epigastrik sering disebabkan oleh kolangitis dan kolesistitis. Sedangkan, obstruksi yang berkaitan dengan keganasan sering dilaporkan tanpa keluhan nyeri. Untuk menegakkan diagnosis klinis sirosis, carilah tanda-tanda klinis yang mendukung:1,3 1. Ginekomastia 2. Atrofi testis 3. Eritema Palamaris 4. Teleangiektasis 5. Spider Naevi Pada pasien sirosis yang mengalami hipertensi porta, sejawat juga dapat menemukan vena kolateral yang tampak khas. Sirosis sering tidak teraba pada pemeriksaan palpasi abdomen. 2,3 Berat badan yang menurun dan ditemukannya limfadenopati memberikan kewaspadaan terhadap kemungkinan keganasan. Coba periksa apakah ada heme positif di tinja, massa di payudara dan abdomen atau benjolan di tiroid. 2,3 Pemeriksaan Laboratorium Ikterus
Pemeriksaan laboratorium penting pada pasien ikterus adalah bilirubin darah dan urobilinogen urin. Bilirubin darah dibagi menjadi dua fraksi: bilirubin direk dan indirek. Bilirubin direk adalah bilirubin yang telah terkonjugasi di hepar, bersifat
13
larut air. Bilirubin indirek adalah bilirubin yang tidak terkonjugasi, tidak larut air. Urobilinogen akan terbentuk bila bilirubin direk telah tereduksi di usus oleh bakteri.1
Gambar 1.3 Penyerapan Bilirubin 1 Pada ikterus yang dapat dilihat secara inspeksi, kadar bilirubin biasanya sudah mencapai lebih dari dua kali nilai normal (~2,0 mg/dL). Pada pasien dewasa, nilai normal bilirubin adalah < 1 mg/dL. 1,2,3 Cara sederhana mempertimbangkan etiologi pasien dengan gejala klinis ikterus adalah dengan menentukan apakah terdapat
bilirubin
dalam
urin.
Tidak
adanya
bilirubin
menunjukkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi karena pigmen ini tidak akan tersaring ginjal. Jika pemeriksaan kimia klinik menunjukkan bahwa 80% dari total bilirubin berbentuk bilirubin tidak terkonjugasi, maka pasien dapat dianggap menderita hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi
14
Pemeriksaan darah rutin dan gambaran darah tepi perlu dilakukan
pada
kemungkinan
pasien
dengan
ikterus
untuk
terjadinya
anemia
hemolitik.
menilai
Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan fungsi hati yang meliputi kadar bilirubin direk dan total, aminotr ansferase, alkalin fosfatase, γ-glutamil transferase, waktu protrombin, dan albumin. Analisis terhadap hasil-hasil pemeriksaan tersebut akan mengarahkan jenis pemeriksaan
lanjutan
apa
yang perlu
dilakukan
untuk
menegakkan diagnosis.1,3 Hepatitis Viral Akut
Pendekatan diagnostik pada pasien dengan ikterus diawali dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara cermat. Pada saat anamnesis, hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: a) gejala seperti rasa gatal, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, feses yang berwarna pucat, urine berwarna gelap seperti air teh, demam dan nyeri abdomen; b) penggunaan obat-obatan, baik obat yang diresepkan, obat bebas, maupun obat-obat herbal; c) riwayat konsumsi alkohol; d) faktor risiko hepatitis dan HIV (kontak seksual, transfusi darah, penggunaan narkoba); e) riwayat keluarga terhadap ikterus, penyakit hepar, kanker atau anemia hemolitik. 2
Pemeriksaan fisik pada pasien ikterik dapat membantu menentukan penyakit yang mendasari. Pada pasien dengan penyakit hepar kronis dapat ditemukan tanda-tanda seperti spider naevi, eritema palmaris, ascites, hepatomegali atau caput medusa. Hiperpigmentasi pada kulit dapat mengarahkan diagnosis pada hemokromatosis. Pemeriksaan Penunjang yang dilakukan seperti : 1,2,3 Tes serologi adalah pemeriksaan kadar antigen maupun antibodi
terhadap virus penyebab hepatitis. Tes ini bertujuan untuk mengetahui jenis virus penyebab hepatitis.
15
Tes biokimia hati adalah pemeriksaan sejumlah parameter zat-zat kimia
maupun enzim yang dihasilkan jaringan hati (liver). Dari tes biokimia hati inilah dapat diketahui derajat keparahan atau kerusakan sel dan selanjutnya fungsi organ hati (liver) dapat dinilai.Beberapa jenis parameter
biokimia
yang
diperiksa
adalah
AST
(aspartat
aminotransferase), ALT (alanin aminotransferase), alkalin fosfate, bilirubin, albumin dan waktu protrombin. Pemeriksaan ini biasa dilakukan secara berkala untuk mengevaluasi perkembangan penyakit maupun perbaikan sel dan jaringan hati (liver). Pemerikasaan
laboratorium
Pemeriksaan
untuk
laboratorium
pada
deteksi pasien
hepatitis yang
diduga
mengidap hepatitis dilakukan untuk memastikan diagnosis, mengetahui penyebab hepatitis dan menilai fungsi organ hati (liver). Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi hepatitis terdiri dari at as tes serologi dan tes biokimia hati.2,3 a.
Pemeriksaan pigmen 1)
Urobilirubin direk
2)
Bilirubun serum total
3)
Bilirubin urine
4)
Urobilinogen urine
5)
Urobilinogen feses
b. Pemeriksaan protein 1)
Protein totel serum
2)
Albumin serum
3)
Globulin serum
4)
HbsAG HBsAG
adalah antigen hepatitis
B permukaan yang merupakan protein virus yang pertama muncul setelah infeksi. Keberadaan HBsAg selama 6 bulan menunjukkan infeksi kronis. Apabila
16
hasil yang didapat adalah negatif mengindikasikan orang tersebut belum pernah terpapar terhadap virus atau tengah pulih dari infeksi hepatitis akut dan telah berhasil bebas dari virus (atau jika ada maka itu infeksi yang tersembunyi). Nilai positif (reaktif) mengindikasikan sebuah infeksi aktif namun tidak mengindikasikan apakah virus itu bisa ditularkan atau tidak.1,2,3 5)
HbeAG HBeAG merupakan
adalah antigen “e” Hepatitis yang
protein
dari virus dan menunjukkan
bahwa virus secara aktif mereplikasi dalam hati dan bahwa darah seseorang dan cairan tubuhnya sangat menular. Hasil positif (reaktif) mengindikasikan adanya virus yang bisa ditularkan pada orang lain. Hasil negatif berarti virus tidak bisa ditularkan pada orang lain, kecuali di belahan dunia di mana strain virus tidak memproduksi protein e-antigen adalah hal yang umum. c.
Waktu protombin Respon waktu protombin terhadap vitamin K
d. Pemeriksaan serum transferase dan transaminase 1)
SGPT SGPT
(Serum
Transaminase):
merupakan
Glutamic
Pyruvate
suatu enzim
yang
terdapat di dalam sel hati. Ketika sel hati mengalami kerusakan,
akan
terjadi
pengeluaran
enzim
SGPT dari dalam sel hati ke sirkulasi darah dan akan terukur melalui pemeriksaan laboratorium. 2)
SGOT
17
SGOT
(Serum
Glutamic
Oxaloacetic
Transaminase) : seperti halnya SGPT, SGOT merupakan enzim hati yang terdapat di dalam sel parenkim hati. SGOT akan meningkat kadanya di dalam darah jika terdapat kerusakan sel hati. Namun SGOT tidak spesifik hanya terdapat di dalam hati. SGOT juga dapat ditemukan di sel darah, sel jantung dan sel otot, karena itu peningkatan SGOT tidak selalu menunjukkan adanya kelainan di sel hati.1,2,3 3)
LDH (Laktat Dehidrogenase) Laktat dehidrogenase (LDH) adalah enzim intraseluler yang terdapat pada hampir semua sel rmetabolisme, dengan konsentrasi tertinggi yang ditemukan di jantung, otot rangak, hati, ginjal, otak dan sel darah merah.
4)
Amonia serum Amonia serum merupakan indicator yang sensitive untuk menunjukkan cedera selhati sangat membantu dalam pendeteksian penyakit hati yang akut seperti hepatitis.
Radiologi1,2,3
a. Foto rontgen abdomen b. Pemindahan hati dengan preparat technetium, emas, atau rose bengal yang berlabel radioaktif c. Kolestogram dan kalangiogram d. Arteriografi pembuluh darah seliaka 2. Menjelaskan patomekanisme antar gejala.
Virus atau bakteri yang menginfeksi manusia masuk ke aliran darah dan terbawa sampai ke hati. di sini agen infeksi menetap dan mengakibatkan
18
peradangan dan terjadi kerusakan sel-sel hati (hal ini dapat dilihat pada pemeriksaan SGOT dan SGPT). akibat kerusakan ini maka terjadi penurunan penyerapan dan konjugasii bilirubin sehingga terjadi disfungsi hepatosit dan mengakibatkan ikterik. peradangan ini akan mengakibatkan peningkatan suhu tubuh sehinga timbul gejala tidak nafsu makan (anoreksia). 4,5 Salah satu fungsi hati adalah sebagai penetralisir toksin, jika toksin yang masuk berlebihan atau tubuh mempunyai respon hipersensitivitas, maka hal ini merusak hati sendiri dengan berkurangnya fungsinya sebagai kelenjar terbesar sebagai penetral racun. Aktivitas yang berlebihan yang memerlukan energi secara cepat dapat menghasilkan H2O2 yang berdampak pada keracunan secara lambat dan juga merupakan hepatitis non-virus. H2O2 juga dihasilkan melalui pemasukan alkohol yang banyak dalam waktu yang relatif lama, ini biasanya terjadi pada alkoholik.4,5 Kontaminasi virus yang berasal dari sanitasi yang buruk, makanan dan minuman masuk ke dalam tubuh melalui fecal oral yang menyebabkan hepatitis A dan hepatitis B, dari proses tersebut menyebabkan peradangan pada sel-sel hepar. Akibat dari peradangan tersebut yaitu aktivasi neutrofil dan makrofag yang merangsang sel endotel di hipotalamus dan mengeluarkan as am arakidonat. Asam arakidonat tersebut berfungsi memicu pengeluaran prostaglandin sehingga mengakibatkan aktivasi kerja thermostat hipotalamus kemudian berakibat pada peningkatan suhu tubuh (demam) atau disebut dengan hipertermi.6 Pengaruh alkohol, zat toksin dan virus hematologi dapat menyebabkan hepatitis B yang kemudian berkembang menjadi hepatitis B kronik dan akan mengalami komplikasi menyababkan hepatitis D. Dari proses tersebut dapat terjadi peradangan pada hepar yang mengakibatkan gangguan pada suplai darah normal di hepar kemudian terjadi kerusakan sel hepar dan empedu. Dari kerusakan tersebutdapat timbul manifestasi melalui dua proses. Proses yang pertama yaitu terjadinya obstruksi sehingga terjadi gangguan ekskresi pada empedu, hasilnya terjadi peningkatan bilirubin yang mengakibatkan ikterus pada mata dan kulit. Obstruksi juga bisa menyebabkan urin berwarna seperti
19
teh dan gangguan pemberian warna feses sehingga feses menjadi lebih pucat atau coklat dan bau. Proses yang kedua yaitu kerusakan fungsi hati yang mengakibatkan bilirubin tidak sempurna dikeluarkan dan akan dapat menimbulkan manifestasi klinis sama seperti proses pertama (proses obstruksi).6 Peradangan
pada
hepar
dapat
menyebabkan
pembesaran
hepar
(hepatomegali) yang mendesak organ lain di dalam abdomen. Salah satu organ yang terdesak adalah lambung hal ini mengakibatkan produksi hcl meningkat sehingga merangsang mual dan muntah di sistem saraf pusat yang mengakibatkan pasien menjadi kekurangan cairan dan elektrolit dalam tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi dan pucat. 6
3. Menjelaskan hubungan keluhan pasien dengan riwayat pengobatan epilepsi (carbamazepin).
Carbamazepin merupakan senyawa trisiklik dan pada awalnya ditujukan untuk mengobati neuralgia trigeminal, neuralgia glosofaringeal, dan digunakan pula sebagai anti depresan, karbamazepin segera menjadi OAE pilihan pertama yang utama untuk jenis bangkitan parsial dan jenis tertentu bangkitan umum. Sekitar 75-85 % karbamazepin diabsorbsi di traktus gastrointestinal. Absorbsi dari obat ini berjalan sangat lambat dan tidak menentu, obat karbamazepin ini mempunyai sifat farmakokinetik yang agak unik yang mengakibatkan pemakaian dalam praktik klinik menjadi agak sulit. Sifat farmakokinetik itu adalah sebagai berikut:7 1.
Pada penderita yang berbeda, dengan dosis yang sama dapat terjadi variasi intra dan inter individual dalam hal kadar obat dalam serum.
2. Carbamazepin mengalami metabolism menjadi carbamazepin-10,11epoxide yang berada dalam darah dan zat ini terbukti mempunyai efek antikonvulsan sekaligus berperan dalam terjadinya efek samping. 3. Carbamazepin mempunyai waktu paroh awal 20-40 jam, tetapi karbamazepin mengalami oto-induksi (proses ini selesai dalam waktu 1
20
bulan) sehingga waktu paruh menurun menjadi 11-27 jam sesudah terapi jangka panjang, dan 5-14 jam selama terapi kombinasi. Antara 75-85 % karbamazepin diikat oleh protein plasma sedangkan fraksi karbamazepin bebas berkisar antara 20-40% dari konsentrasi plasma total, Sementara itu konsentrasi karbamazepin dalam cairan serebrospinal berkisar antara 17-31%. Pada proses metabolismenya Karbamazepin terjadi di hati sehingga Karbamazepin dapat menginduksi enzim-enzim metabolisme obat yang didalam hati sehingga waktu paruhnya berkurang pada pemakaian penyakit yang kronis itu semua terjadi karena aktivas system P-450 hati yang menguat juga meningkatkan metabolisme obat-obat antiepilepsi lainnya. Pertama kali, karbamazepin mengalami epoksidasi menjadi carbamazepin-10, 11-epoxide yang kemudian mengalami hidrolisis menjadi carbamazepin-10, 11-trans-dihydrodiol. Hasil metabolisme obat karbamazepine yang terkonjugasi maupun yang tidak terkonjugasi dan yang kurang dari 1%akan diekskresikan melewati urin.7 Drug Induced Liver Injury (DILI) adalah istilah lain dari hepatotoksik yang diinduksi oleh obat dan istilah ini sering digunakan oleh para tenaga kesehatan.2 DILI merupakan penyebab utama kegagalan hati akut dan transplantasi di negara-negara barat. Meskipun mekanisme yang tepat dari DILI masih belum diketahui, tampaknya melibatkan dua mekanisme hepatotoksik langsung dan reaksi imunitas yang merugikan. Faktor risiko interaksi genetik dan lingkungan dapat mempengaruhi kerentanan. Usia, jenis kelamin, obat-obatan secara bersamaan, dan penyakit yang diderita (misalnya, virus hepatitis C, virus hepatitis B, HIV) yang paling sering diidentifikasi. Penyakit hati yang diderita dapat berpengaruh terhadap bioavailability karena berkurangnya kapasitas hati untuk melakukan ekstraksi hepatik secara dramatik sehingga dapat meningkatkan bioavailability obat-obat yang berpotensi toksik dan secara normal diekstraksi sangat tinggi oleh hati. penyakit hati yang diderita ataupun adanya infeksi virus sistemik dapat meningkatkan kerentanan terjadinya kerusakan hati oleh obat. Penyakit hati yang diderita juga dapat menyebabkan peningkatan toksisitas obat dose-
21
dependent (metotrexat, isoniazid), jika penyesuaian dosis obat tidak tepat dan rentang keamanan antara konsentrasi (ambang toksik) kecil, Dua contohnya adalah adanya penyakit hati berlemak (hati steatosis), dan polimorfisme genetik. Obat penginduksi kerusakan hati yang paling ban yak digunakan ialah ranitidin (31,3%), seftriakson (23,1%), dan parasetamol (16,4%). 8
Tabel 3.1. Persentase masing-masing obat penginduksi kerusakan hati yang digunakan 8
Ada teori juga yang menjelaskan mengenai carbamazepine yang memiliki sifat autoinduksi, yang artinya carbamazepine secara otomatis atau dengan sendirinya akan menginduksi enzim yang digunakan untuk memetabolisme dirinya. Enzim yang diinduksi oleh carbamazepine adalah sitokrom P450 CYP3A4. Induksi enzim akan meningkatkan kecepatan biotransformasi dari
22
obat yang dimetabolisme yang berpengaruh pada laju eliminasi obat yang semakin meningkat sehingga untuk mempertahankan agar obat berada dalam rentang konsentrasi terapi, dilakukan penambahan dosis pada pemakaian berikutnya, akibatnya akan terjadi toleransi obat. Hepatitis karena obat memang jarang terjadi, namun dengan riwayar pemakaian obat yang lama hepatitis dapat meningkat. Sehingga dalam anamnesis diperlukan untuk mennyakan jenis obat yang dikonsumsi juga lama pemakaiannya. 9,10
4. Menjelaskan
kesimpulan
dan
analisa
terhadap
kemungkinan-
kemungkinan diagnosis sesuai skenario. a. Hepatitis A11
Hepatitis A merupakan infeksi virus hepatitis A (VHA) pada hati yang bersifat akut. Secara global dan di Indonesia, Hepatitis A merupakan penyakit hati paling banyak dilaporkan. Umumnya seroprevalensi antiVHA ditemukan tinggi pada daerah dengan standar kesehatan terutama higienitas, yang masih rendah. b. Hepatitis B11
Hepatitis B merupakan infeksi virus hepatitis B (VHB) pada hati yang dapat bersifat akut atau kronis. Menurut Data WHO 2014, lebih dari 240 juta pen duduk di dunia mengalami infeksi VHB kronis, dan lebih dari 780.000 orang per tahun meninggal akibat komplikasi infeksi VHB akut maupun kronis. Indonesia sendiri termasuk negara endemis VHB dengan seroprevalensi HBsAg sebesar 9,4% (kisaran 2,5-36,1 %) dan pengidap karier 5-10% dari populasi umum. c. Hepatitis C11
Hepatitis C merupakan infeksi virus hepatitis C (VHC) pada hati yang umumnya bersifat kronis. Menurut data WHO tahun 2014, lebih dari 185 Juta penduduk dunia telah terinfeksi VHC, dan 350.000 jiwa di antaranya meninggal setiap tahunnya. Di Asia Tenggara, prevelansi Hepatitis C ialah 2,0% pada populasi dewasa.
Berdasarkan Riskesdas 2007, angka
23
seroprevalensi anti-VHC pada laki-laki di Indonesia, yaitu 1.7%, sementara pada perempuan ialah 2,4%. Namun, angka tersebut diprediksi lebih rendah karena banyaknya kasus yang tidak terdeteksi.
5. Menjelaskan penatalaksanaan pada pasien. Non-Farmakologi Penatalaksanaan hepatitis A virus sebagian besar adalah terapi suportif, yang terdiri dari bed rest sampai dengan ikterus mereda, diet tinggi kalori, penghentian dari pengobatan yang beresiko hepatotoxic, dan pembatasan dari konsumsi alkohol.1
Sebagian besar dari kasus hepatitis A virus tidak memerlukan rawat inap. Rawat inap direkomendasikan untuk pasien dengan usia lanjut, malnutrisi, kehamilan, terapi imunosupresif, pengobatan yang mengandung obat hepatotoxic, pasien muntah berlebih tanpa diimbangi dengan asupan cairan yang adekuat, penyakit hati kronis/didasari oleh kondisi medis yang serius, dan apabila pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan gejalagejala dari hepatitis fulminan. Pasien dengan gagal hati fulminant, didefinisikan dengan onset dari encephalopathy dalam waktu 8 minggu sejak timbulnya gejala. Pasien dengan gagal hati fulminant harus dirujuk untuk pertimbangan melakukan transplantasi hati.12 Farmakologi Pemberian terapi simtomatik, yaitu IVFD D5% 20 tetes/menit (makro), pemeberian antiemetic domperidone 2 x 10 mg, dan hepatoprotektor rhizoma curcuma 3 x 200 mg. Pada kasus ini pasien masih memili ki nafsu makan yang cukup walaupun terjadi penurunan nafsu makan. Pada Diet hati III makanan diberikan dalam bentuk lunak / biasa. Protein diberikan 1,5 g/Kg berat badan dan lemak diberika sedang (20-25% dari kebutuhan energi total) dalam bentuk yang mudah dicerna. Makanan ini cukup mengandung energi, zat besi, vitamin A & C, tetapi kurang kalsium dan tiamin. Pemberian diet hati ini ditujuka untuk mencapai dan mempertahankan status gizi optimal tanpa memberatkan fungsi hati.13
24
Pemberian Rhizoma Curcuma tablet digunakan sebagai supplement tambahan yang berfungsi untuk memperbaiki fungsi hati serta memperbaiki nafsu makan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hartono (2005) dengan menggunakan dosis 5-10 mg/kgBB/ hari telah terbukti dapat memperbaiki sel sel hati yang rusak dan bersifat hepatoprotektor. Bentuk sediaan yang tersedia adalah tablet 200 mg. Pengunaan hepatoprotektor pada penyakit hati hanya bersifat mengurangi beratnya keluhan bukan untuk mengatasi penyakitnya. Biasanya pemberian antiemetik tidak diperlukan, namun bila muntah berkepanjangan, pasien dapat diberikan antiemetik. Mual dan muntah dapat disebabkan karena adanya gangguan pada saraf pusat maupun perifer, dimana mual akibat gangguan saraf pusat disebabkan karena adanya gangguan di chemoreseptor trigger zone (CTZ) baik karena visual maupun akibat bau bauan (aromatik), sedangkan pada kasus hepatitis ini mual dan muntah disebabkan karena adanya gangguan di saraf perifer akibat adanya gangguan pada saraf otonom (N.vagus dan saraf simpatis) dan pada sel parietal gaster sehingga terjadi peningkatan produksi HCL yang bersifat iritatif. 13 Pemberian domperidon 2 x 10 mg digunakan untuk mengurangi mual dan muntah yang diderita pada pasien tersebut, dimana domperidone berkerja dengan menghambat rangsangan sel parietal gaster untuk mensekresi HCl yang berlebihan sehingga menghambat terjadinya iritasi pada gaster. Domperidon merupakan antagonis dopamine yang secara peripheral bekerja selektif pada reseptor
D2.
Domperidon
metoclorpramide.
Namun
mempunyai karena
pada
khasiat anak
yang
sama
metoklorpamid
dengan sering
menimbulkan efek piramidalis, maka penggunaan metoklorpamid tidak diberikan pada anak sedangkan domperidon tidak menimbulkan efek piramidalis. Dosis yang digunakan pada anak 0,2- 0,4 mg/kgBB/ kali. Pada kasus ini berat badan pasien adalah 42 kg sehingga pasien membutuhkan 8,4 mg (0,2 mg x 42 kg = 8,4 mg). Domperidone mempunyai bentuk sedian tablet 10 mg sehingga pasien diberikan 2 x 10 mg (Rahadja, 2008).Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatitis A maka pencegahan lebih diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan endemisitas tinggi.
25
Pencegahan meliputi nasihat kepada pasien yaitu perbaikan hygiene makanan dan minuman, perbaikan sanitasi lingkungan dan pribadi ,Isolasi pasien (sampai 2 minggu sesudah timbulnya gejala). Pencegahan khusus dengan imunisasi. Terdapat 2 bentuk imunisasi yaitu imunisasi pasif dengan immunoglobulin (IG), dan imunisasi aktif dengan vaksin yang dilemahkan. Vaksinasi memberikan kekebalan terhadap infeksi sekunder dari kontak penderita maupun pada saat timbul wabah. Walaupun jarang, kemungkinan reaksi anafilaksis harus diperhitungkan.12 Kombinasi imunisasi pasif dan aktif dapat diberikan pada saat yang bersamaan tetapi berbeda tempat penyuntikkan. Hal ini memberikan perlindungan segera tetapi dengan tingkat proteksi lebih rendah. Oleh karena kekebalan dari infeksi primer adalah seumur hidup dan lebih dari 70% orang dewasa telah mempunyai antibody, maka imunisasi aktif HAV pada orang dewasa sebaiknya didahului dengan pemeriksaan ser ologis (Arief dkk., 2011). Dengan berkembangnya alternative pengobatan maka diharapkan prognosis hepatitis menjadi lebih baik. Hepatitis A memberikan prognosis yang baik, lebih dari 99% dari pasien dengan hepatitis A infeksi sembuh sendiri. Komplikasi akibat hepatitis A hampir tidak ada kecuali pada para lansia atau seseorang yang memang sudah mengidap penyakit hati kronis atau sirosis. Hanya 0,1% pasien berkembang menjadi nekrosis hepatik akut fatal. 14
26
III.
PENUTUP
Kesimpulan Hepatitis adalah suatu penyakit peradangan pada jaringan hati uang disebabkan oleh infeksi virus yang menyebabkan sel-sel hati mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Hepatitis terdiri dari beberapa jenis, yaitu hepatitis A, B, C, D, dan E. Virus-virus yang dapat menyebabkan hepatitis dapat menyebabkan cederan dan kematian hepatosit dan secara langsung membunuh sel dan dengan merangsang reaksi peradangan dan imun yang mencederai atau menghancurkan hepatosit. Reaksi peradangan melibatkan degranulasi sel mast dan pelepasan histamine, pengaktifan komplemen, lisis sel-sel yang terinfeksi dan sel-sel disekitarnya, serta edema dan pembengkakan interstisium. Respon imun yang timbul kemudian mendukung respon peradangan. Perangsangan komplemen dan lisis sel serta serangan antibodi langsung terhadap antigen-antigen virus menyebabkan destruksi sel-sel yang terinfeksi. Hati menjadi edematosa sehingga kapiler-kapiler kolaps dan aliran darah berkurang yang menyebabkan hipoksia jaringan, akhirnya terbentuk jaringan ikat dan fibrosis di hati. Terapi non farmakologi yang dapat dianjurkan yaitu istirahat, atur pola hidup yang baik dan sehat, diet tinggi protein dan karbohidrat tapi rendah lemak. Terapi farmakologi yang dapat diberikan yaitu infus cairan, pengobatan simtomatik (PCT, ibuprofen, antiviral, dan imunomodulator).
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Loho IM, Hasan I. Drug-Induced Liver Injury: Tanta ngan dalam diagnosis. 2014; 41 (3): 167 – 70. 2. Sjaifoellah, Noer HM. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. 3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC; 2005. 4. Guyton AC. Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. 5. Fox S. Human Physiology. 12 th Ed. New York: McGrawHill Education, 2011. 6. Kowalak JP. Buk Ajar Patofisiologi. EGC: Jakarta; 2011. 7. Katzung GB. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: EGC; 2009. 8. Cinthya SE, Pradipta IS, Abdulah R. Penggunaan Obat Penginduksi Kerusakan Hati pada Pasien Rawat Inap Penyakit Hati. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. 2012 Juni; 1(2): 48 - 44,45, 46. 9. Loho MI, Hasan I. Drug induced liver injury. Jakarta: CDK-Kalbemed; 2014.
10. Pandit A, Tarun S, Bavna L. Drug induced of hepatotoxicity. Journal of applied pharmaceutical science. 2012;2(5):233-43. 11. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu. Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. 12. Arief S, Sri YS, Hanifah O. Buku ajar gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: Badan penerbit IDAI; 2013. 13. Hartono. Pengaruh ekstrak curcuma terhadap peningkatan kadar SGOT, SGPT akibat pemberian asetaminoven, Tesis. Solo: FK UNS; 2014. 14. Atmarita I, Hadi H. Nutrition problem in Indonesia: a systematic review. Int j food sci nutr. 2016;28(2):43-56.
28