LAPORAN PRAKTIKUM KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA Diajukan kepada Dosen Pengampu: Ir. Mahmud M. Siregar, M.Si
Disusun Oleh: Siti Hartini Yulianti Nim. 11140161000013 11140161000013
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH H IDAYATULLAH JAKARTA 2017
A. TUJUAN: 1. Mendeskripsikan kawasan konservasi di Indonesia 2. Menjelaskan spesifikasi kawasan dengan perbandingan antara kawasan B. LANDASAN TEORI Secara umum hutan konservasi sebagai pengemban misi pelestarian plasma
nutfah, prioritas pengelolaannya diarahkan kepada upaya menjaga kelestarian ekologis, sementara pembangunan ekonomi dan sosial diarahkan kepada bentuk bentuk kegiatan yang tidak mengganggu mengganggu fungsi ekologis yang dibebankan kepada kawasan konservasi tersebut (Ngadiono, 2004). Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam ala m yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Fungsi taman nasional adalah sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga penyangga kehidupan, pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Tujuan pengelolaan taman nasional terjaminnya keutuhan kawasan taman nasional, potensi, keragaman tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan ilmu pengetahuan, serta untuk menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam bagi kesejahteraan masyarakat. Pembinaan daerah penyangga penyangga yang dititikberatkan pada pengembangan usaha ekonomi masyarakat di sekitarnya dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan potensi yang ada dalm kawasan taman nasional sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Taman nasional dengan segala cirinya dan berbagai bentuk ekosistem di dalamnya merupakan suatu kawasan yang sangat penting dijaga kelestariannya. Dalam suatu ekosistem dijumpai hubungan timbal balik antara manusia, tumbuhan, binatang, makhluk isi alam lainnya, suhu, keadaan cuaca, udara, dan lain-lain yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai komponen biotik dan abiotik. Pembentukan taman nasional merupakan salah satu upaya melindungi tipe-tipe ekosistem yang khas, sehingga dalam langkah gerak pembangunan yang gencar ini tetap dapat dipelihara keselarasan antara manusia dengan ekosistem dalam rangkaian kurun waktu dan gerak yang dinamis. Kondisi demikian diharapkan agar ekosistem tetap berada dalam keseimbangan (Arifin, 1990). Menurut Suratmo sebagaimana dikutip Arifin (1990), banyak definisi dipakai untuk menggambarkan taman nasional. Definisi tersebut biasanya akan berbeda untuk negara yang berbeda. Perbedaan
tersebut disebabkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain keadaan areal yang ada, luas arealnya, kebutuhan perkembangan suatu populasi, latar belakang politik, masyarakatnya, adat kebiasaan, dan lain sebagainya.. sebagainya.. C. ALAT DAN BAHAN No. Nama Alat dan Bahan 1.
Buku Literatur
2.
ATK
Jumlah 5 Buah
D. DATA PENGAMATAN 1. Daftar dan deskripsi kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2. Pembagian kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan dasar hukumnya. 3. Spesifikasi setiap kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. E. HASIL DAN ANALISIS PENGAMATAN
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 menerangkan tentang penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak yang dikelola oleh Perum Perhutani, maka (TNGH) yang luasnya 40 000 hektar berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) dengan luas kawasan 113.357 hektar. Pengelolaan TNGHS berada di bawah Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ((Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2013). Berikut sejarah perubahan status kawasan TNGHS: Tahun
Perubahan Status Kawasan
1935 – 1961 1961
Cagar Alam di bawah pengelolaan Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/Djawatan Kehutanan Jawa Barat
1961 – 1978
Cagar Alam di bawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat
1979 – 1990 1990
Cagar Alam di bawah pengelolaan Balai konservasi Sumberdaya alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I
1990 – 1992 1992
Cagar Alam dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango;
Tahun
Perubahan Status Kawasan
1992 – 1997 1997
Taman Nasional dibawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
1997 – 2003 2003
Taman Nasional dibawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat Eselon III dengan luas 40.000 Ha
2003
Penunjukkan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak seluas 113.357 Ha (memasukkan eks hutan produksi/ lindung)
Wilayah kerja BTNGHS terletak dalam 28 kecamatan, dimana 9 kecamatan di Kabupaten Bogor, 8 kecamatan di Kabupaten Sukabumi dan 11 kecamatan di Kabupaten Lebak. Secara keseluruhan terdapat 108 desa yang sebagian/seluruh wilayahnya berada di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS. Komposisi jumlah penduduk dari 108 desa yang ada di TNGHS terdiri dari: 155.345 jiwa di Kabupaten Sukabumi (Tahun 2006), 296.138 jiwa di Kabupaten Bogor (Tahun 2005) dan 154.892 jiwa di Kabupaten Lebak (Tahun 2005). Berdasarkan survey kampung yang dilakukan oleh GHSNP MP-JICA pada tahun 2005 dan 2007, tercatat ada 348 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS (Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2007). Kawasan Taman Nasional Gunung-Halimun Salak tidak seluruhnya menjadi hutan konservasi, berdasarkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak tahun 2007-2026, terdapat bagian-bagian atau zonasi yang memiliki fungsinya masing-masing, yaitu: 1. Zona Inti dan Zona Rimba (=ZI, warna merah dan ZR, warna kuning muda)
Pengidentifikasian zona ini dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang dilakukan dengan mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting, daerahdaerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya terhadap pengelolaan ekosistem TNGHS secara keseluruhan. Zona ini meliputi ekosistem hutan alam yang masih tersisa. 2. Zona Rehabilitasi (=Zre, warna biru muda) Wilayah yang menjadi zona rehabilitasi merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi seperti hutan hujan dataran rendah, areal yang rusak akibat PETI, koridor Gunung Halimun-Salak dan sebagainya. Di masa depan, setelah ekosistem dinilai pulih kembali, zona
rehabilitasi ini dapat ditetapkan sebagai zona inti atau zona rimba atau zona pemanfaatan. 3. Penetapan Zona Pemanfaatan (=ZP, warna hijau) Zona pemanfaatan berkaitan dengan areal yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-fungsi pemanfaatan di dalam taman nasional, antara lain untuk kegiatan wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung, dan lokasi penelitian intensif, seperti seputar Stasiun Penelitian Cikaniki, Cangkuang, dan sebagainya. Untuk zona pemanfaatan yang meiliki obyek wisata dan merupakan areal bekas Perhutani akan tetap dikelola oleh Perhutani dengan dilandaskan pada MoU kerjasama pengelolaam wisata antara BTNGHS dan Perhutani dengan mekanisme pembagian keuntungan yang jelas. Khusus zona pemanfaatan yang merupakan jalur-jalur pendakian dan wilayah-wilayah yang rawan pengunjung akan tetap dikelola oleh BTNGHS. 4. Zona dengan Fungsi Utama Ekonomi Wilayah (=Zona Khusus, ZKh, warna abu-abu tua)
Wilayah-wilayah yang telah ada sarana SUTET serta wilayah kuasa pengelolaan PT. Chevron Geothermal Salak di kawasan Gunung Salak dan PT. antam di daerah Cikidang-Gunung Sibentang Gading yang terletak di Kabupaten Lebak, dimasukkan ke dalam zona khusus. Demikian pula dengan jalan propinsi dan kabupaten yang melintas di TNGHS, MKK site, yaitu Desa Cipeuteuy dan Desa Gunung Malang. 5. Zona untuk Tujuan Sosial Budaya (=Zona Budaya, Religi, dan Sejarah, ZBs, warna ungu tua dan Zona Tradisional, ZTr, warna kuning tua)
Penelusuran sejarah pengelolaan perlu dilakukan untuk menentukan zonasi ini. Areal yang penting bagi kegiatan religi budaya, seperti makam di puncak Gunung Salak, situs Cibedug, dan situs Kosala di Lebak dijadikan zona religi dan budaya. Sedangkan wilayah dimana penduduk secara tradisional memanfaatkan hasil hutan non kayu dijadikan zona tradisional untuk memastikan akses masyarakat sekitar hutan. Dalam peta ini, wilayah yang termasuk zona tradisional adalah kasepuhan yang ada di kawasan TNGHS. Hal ini dikarenakan adanya asumsi bahwa kasepuhan adalah masyarakat tersendiri yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.
6. Zona Lainnya (=ZL, warna putih) Zona ini tidak termasuk dalam Permenhut No. 56. Zona ini adalah bagian dari taman nasional yang nantinya akan ditetapkan menjadi zona tertentu melalui komunikasi dengan para pihak (Agustina, 2009).
Gambar. Peta Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
F. KESIMPULAN
Kawasan TNGH ditetapkan sebagai salah satu taman nasional di Indonesia, berawal dari proses penunjukkan taman nasional dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas 40.000 hektar sebagai Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan resmi ditetapkan pada tanggal 23 Maret 1997 sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan (UPT BTNGH). Selanjutnya, atas dasar kondisi sumber daya alam hutan yang semakin terancam rusak dan adanya desakan para pihak yang peduli akan konservasi alam, pada tahun 2003 kawasan Halimun ditambah area dengan memasukkan kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut yang status sebelumnya merupakan hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani diubah fungsinya menjadi hutan konservasi, dimasukkan ke dalam satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) melalui SK
Menteri Kehutanan nomor 175/Kpts-II/2003 dengan luas total ± 113.357 ha pada tanggal 10 Juni 2003.
G. DAFTAR PUSTAKA Arifin, Hadi Susilo. Studi Potensi Pengembangan Bumi Perkemahan di Taman
Nasional Gede Pengrango dan Sekitarnya. Sekitarnya . Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 1990. Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Rencana Halimun-Salak. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah). Menengah) . Sukabumi: Balai Taman Nasional Gunung HalimunSalak. 2007. Balai
Taman
Nasional
Gunung
Halimun-Salak.
2013.
Sejarah
Kawasan.
www.halimunsalak.org.. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2017 pukul 19.06 www.halimunsalak.org WIB. Ngadiono. 35 Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia-Refleksi dan Prospek . Prospek . Bogor: Yayasan Adi Sanggoro. 2004. Nurhaeni, Agustina. Implikasi Penunjukan Areal Konservasi Terhadap Pengelolaan Hutan dan Luas Lahan. Lahan. Skripsi. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 2009.