LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM Pengolahan Fes Fe s e s Sapi Sapi Perah dan Jeram Je ramii Padi Secara Se cara Terpadu Terpadu M e njadi njadi Pupuk Organik Cair (POC), Pupuk Organik Padat (POP), Feed Additi ve, dan Biogas
Disusun Oleh: Muhammad Padila 200110150186 Kelas F Kel Ke lompok 1 (satu)
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI DAN PENANGANAN LIMBAH FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN SUMEDANG 2017
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Ilahi Robbi Allah S ubhanahuwata’ala ubhanahuwata’ala karena atas nikmat,
rahmat,
karunia-Nya
penyusunan
laporan
praktikum
dengan
judul
“Pengolahan Feses Sapi Perah dan Jerami Padi Secara Terpadu Menjadi Pupuk Organik Cair (POC), Pupuk Organik Padat (POP), Feed Additif dan
d apat tersel terse lesaikan esaika n tepat pada pad a waktunya. waktunya. Biogas” ini dapat Kami
mengucapkan
terimakasih
kepada
Bapak
Deden
Zamzam
Badruzzaman, S.Pt., M,Si sebagai dosen pengampu mata kuliah Pengelolaan Limbah Limbah Peternak Pe ternakan an yang telah membim membimb b ing in g kami dal da lam pembuatan laporan lapora n ini ini.. Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu
kami
mengharapkan
adanya
saran,
kritik,
dan
masukan
untuk
dapat
memperbaiki makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususn khususnya ya para mahasiswa ahasiswa Uni Universitas versita s Padjadjaran. Padja djaran.
Sumedang, Sumedang, Novem No vember ber 2017
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Bab
I
II
III
Halaman KATA PENGANTAR ................................................................
ii
DAFTAR ISI ..............................................................................
iii
PENDAHULUAN .......................................................................
1
1.1 Latar Belakang .......................................................................
2
1.2 Tujuan.....................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................
4
2.1 Pupuk Organik Cair (POC) ...................................................
5
2.2 Feed Additive ........................................................................
5
2.3 Biogas.....................................................................................
6
2.4 Vermicompost ........................................................................
7
ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA .........................
8
3.1 Alat dan Bahan.......................................................................
8
3.1.1 Pembuatan Dekomposisi Awal Bahan Organik..................
8
3.1.1.1 Alat ...................................................................................
8
3.1.1.2 Bahan................................................................................
8
3.1.2 Pengeringan Dekomposisi Awal Bahan Organik ...............
8
3.1.2.1 Alat ...................................................................................
8
3.1.2.2 Bahan................................................................................
8
3.1.3 Pembuatan Feed Additive ..................................................
8
3.1.3.1 Alat ...................................................................................
8
3.1.3.2 Bahan................................................................................
8
3.1.4 Pembuatan Biogas...............................................................
8
3.1.4.1 Alat ...................................................................................
9
3.1.4.2 Bahan................................................................................
9
iii
IV
V
3.1.5 Pengamatan Vermicompost ................................................
9
3.1.5.1 Alat ...................................................................................
9
3.1.5.2 Bahan................................................................................
9
3.2 Prosedur Kerja .......................................................................
9
3.2.1 Pembuatan Dekomposis Awal Bahan Organik...................
10
3.2.2 Pengeringan Dekomposisi Awal Bahan Organik ...............
10
3.2.3 Pembuatan Feed Additive ..................................................
10
3.2.4 Pembuatan Vermicompost ..................................................
10
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................
12
4.1 Hasil Pengamatan ..................................................................
12
4.2.1 .Pupuk Organik Cair (POC) ................................................
11
4.2.2 .Feed Additive .....................................................................
12
4.2.3 .Biogas .................................................................................
12
4.2.4 .Vermicompost ....................................................................
13
4.2 Pembahasan............................................................................
13
4.2.1 .Pupuk Organik Cair............................................................
13
4.2.2 .Feed Additive .....................................................................
15
4.2.3 .Biogas .................................................................................
15
4.2.4 .Vermicompost ....................................................................
17
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................
19
5.1 Kesimpulan.............................................................................
19
5.2 Saran ......................................................................................
19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................
20
LAMPIRAN ...............................................................................
21
iv
1
I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Limbah merupakan sisa-sisa kegiatan produksi yang dianggap sebagai sesuatu yang sudah tidak memiliki manfaat, oleh karena itu limbah sering dibuang begitu saja tanpa mempertimbangkan dampak ke lingkungan sekitar. Salah satunya adalah limbah peternakan sering menjadi bahan kontroversi karena menjadi sumber pencemaran lingkungan. Para pemilik usaha peternakan tidak memperhatikan pengelolaan limbah sebagai hal yang serius dalam usahanya. Mereka tidak menyadari bahwa limbah peternakan membawa masalah lingkungan yang
serius
seperti
pencemaran
air
sungai.
Limbah
kotoran
ternak
juga
menyebabkan pencemaran udara seperti yang diperdebatkan di dunia bahwa kotoran sapi menjadi penyebab terbesar pemanasan global. Selain itu adalah jerami padi sebagai limbah pertanian yang jarang dimanfaatkan. Pembakaran jerami ketika selesai panen merupakan langkah yang tidak tepat karena banyak kerugian akibat pembakaran tersebut. Unsur hara yang terdapat pada jerami menjadi tidak termanfaatkan, selain itu pembakaran menyebabkan produktifitas tanah menurun dan polusi udara dari asap pembakaran. Permasalahan lingkungan yang timbul menyadarkan masyarakat untuk semakin peduli terhadap lingkungan. Pemerintah membuat kebijakan untuk pengelolaan limbah sebagai upaya pengendalian lingkungan dari pencemaran. Contohnya adalah PP no 20 tahun 1990 mengenai standar kualitas air dan SK Gubernur KD Tingkat I Jawa Barat no 660.31/SK/69-BKPMD/1982 mengenai tata cara pengendalian dan kriteria pencemaran lingkungan akibat limbah industri. Usaha peternakan baik skala kecil atau besar terus dituntut untuk memenuhi kebijakan pengelolaan limbah tersebut. Para petani juga sudah banyak diberikan penyuluhan untuk memanfaatkan jerami padi menjadi pupuk atau pakan ternak. Usaha
peternakan
mempunyai
prospek
untuk
dikembangkan
karena
tingginya permintaan akan produk peternakan. Usaha peternakan juga memberi
2
keuntungan yang cukup tinggi dan menjadi sumber pendapatan bagi banyak masyarakat di pedesaaan di Indonesia. Namun demikian, sebagaimana usaha lainnya, usaha peternakan juga menghasilkan limbah yang dapat menjadi sumber pencemaran.
Oleh
karena
itu,
seiring
dengan
kebijakan
otonomi,
maka
pemgembangan usaha peternakan yang dapat meminimalkan limbah peternakan perlu dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk menjaga kenyamanan permukiman
masyarakatnya.
Salah
satu upaya
kearah itu adalah
dengan
memanfaatkan limbah peternakan sehingga dapat memberi nilai tambah bagi usaha tersebut. Kegiatan
pembangunan
lingkungan
sekitarnya.
peternakan
baik
Adanya
peternakan usaha
harus
peternakan
memperhatikan selain
keadaan
dihasilkan
produk
berupa daging maupun susu, juga menghasilkan limbah yang
harus dikelola dengan baik. Limbah dari usaha peternakan dapat berupa padatan dan cairan. Bentuk padatan terdiri dari feses, ternak yang mati, dan isi perut dari hasil pemotongan ternak. Bentuk cairan terdiri dari urine ternak, air sisa pembersihan ternak maupun air dari sisa pencucian alat-alat ternak. Limbah yang tidak dikelola dengan baik dapat merusak lingkungan, tetapi apabila dikelola dengan baik dapat memberi nilai tambah. Bentuk pengolahan limbah yang biasa dilakukan adalah menjadi biogas, pupuk organik cair dan padat, dan suplemen pakan. Maka dari itu pengolahan limbah perlu ditangani dengan cara yang tepat sehingga dapat mendatangkan keuntungan ekonomis dari pengolahan tersebut. Pengolahan limbah ini diperlukan bukan saja karena tuntutan akan
lingkungan
serta memperhatikan
akan kualitas
tetapi
untuk
lingkungan,
pengembangan
sehingga
peternakan
keberadaannya
tidak
menimbulka n masalah bagi masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa peternakan penting untuk mempelajari dan mengetahui proses pengolahan limbah ternak yang baik. Sehingga suatu hari nanti dapat menjadi sarjana peternakan yang memiliki pengetahuan mengenai pengolahan limbah dan dapat mengaplikasikannya di masyarakat.
3
1.2
Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum pengolahan limbah ini adalah: 1. Mengetahui proses pembuatan pupuk organik cair. 2. Mengetahui proses pembuatan feed additive 3. Mengetahui proses pembuatan biogas. 4. Mengetahui proses pembuatan vermicompost .
4
II TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik limbah sapi potong terdiri atas kadar air 85%, BOD (Biological Oxygen Demand) 1-1,6 mg/liter, padatan total 7-12 kg/hari/unit, padatan volatile 5,9-10,2 kg/hari/unit, nitrogen total 0,26-0,40 mg/lt, amonia 0,11 mg/liter, fosfor 0,18 mg/liter dan pH 7,3 (Merkel, 1981).
Biomassa berselulosa
terbentuk dari tiga komponen utama yakni selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa merupakan komponen utama yang terkandung dalam dinding sel tumbuhan dan mendominasi hingga 50% berat kering tumbuhan. Jerami padi diketahui memiliki kandungan selulosa yang tinggi, mencapai 39.1% berat kering, 27.5% hemiselulosa dan kandungan lignin 12,5%. Komposisi kimia limbah pertanian maupun limbah kayu tergantung pada spesies tanaman, umur tanaman, kondisi lingkungan tempat tumbuh dan langkah pemprosesan Karimi (2006). Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup, seperti pelapukan sisa -sisa tanaman, hewan, dan manusia. Pupuk organik dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pupuk organik mengandung banyak bahan organik daripada kadar haranya. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota (sampah) (Ayub.S, 2004). Kisaran perbandingan unsur C dan N dalam bahan komposan yang optimum untuk proses pengomposan ialah antara 25 – 30 merupakan nilai perbandingan unsur C dan N yang terbaik sehingga bakteri dapat bekerja sangat cepat (Yuwono, 2005). Proses pengomposan yang baik rasio C/N antara 20 – 40, namun rasio C/N yang ideal bagi kehidupan mikroorganisme dalam proses pengomposan ialah sebesar 30 Kadar air (kelembaban) yang ideal untuk proses pengomposan adalah sebesar 50 – 60 %, dengan pH optimum antara 6 – 8 (Djuarnani, dkk. 2005).
5
Peningkatan suhu merupakan indikator adanya proses dekomposisi sebagai akibat hubungan kadar air dan kerja mikroorganisme. Pada saat bahan organik dirombak oleh mikroorganisme maka dibebaskanlah sejumlah energi berupa panas. (Dalzell dkk., 1987). Peningkatan suhu tersebut menyebabkan proses fermentasi mampu membunuh bakteri yang bersifat thermofilik dan patogen seperti bakteri kelompok koliform yaitu Salmonella, Shigellae, dan Escherichia coli. (Rusdi dan Kurnani, 1994).
2.1
Pupuk Organik Cair
Pupuk Cair Organik adalah zat penyubur tanaman yang berasal dari bahan bahan organik dan berwujud cair. Pupuk cair merupakan salah satu jenis proses fermentasi. (Ayub.S, 2004). Kelebihan dari pupuk cair organik adalah dapat secara cepat mengatasi defesiensi hara, tidak bermasalah dalam pencucian hara dan mampu menyediakan hara secara cepat. Dibandingkan dengan pupuk cair anorganik, pupuk organik cair umumnya tidak merusak tanah dan tanaman walaupun sesering mungkin digunakan. Selain itu, pupuk ini juga memiliki bahan pengikat, sehingga larutan pupuk yang diberikan ke permukaan tanah bisa langsung digunakan oleh tanaman. Pupuk cair dikatakan bagus dan siap diaplikasikan jika tingkat kematangannya sempurna. Pengomposan yang matang bisa
diketahui
dengan
memperhatikan
keadaan
bentuk
fisiknya,
dimana
fermentasi yang berhasil ditandai dengan adanya bercak – bercak putih pada permukaan cairan. Cairan yang dihasilkan dari proses ini akan berwarna kuning kecoklatan dengan bau yang menyengat (Purwendro dan Nurhidayat, 2007).
2.2
Feed Additive Additive adalah suatu bahan atau kombinasi bahan yang ditambahkan
dalamkuantitas yang kecil, kedalam campuran makanan dasar untuk memenuhi kebutuhan khusus, contoh
additive yaitu bahan konsentrat, additive bahan
suplemen, additive bahan premix, additive bahan makanan (Hartadi dkk., 1991).
6
Additive adalah susunan bahan atau kombinasi bahan tertentu yang
umumdigunakan dalam meramu pakan ternak yang sengaja ditambahkan ke dalam ransum pakan ternak untuk menaikkan nilai gizi pakan guna memenuhi kebutuhan khusus pada ternak. Sedangkan menurut Murtidjo (1993), Additive adalah tambahan pakan yang umum digunakan dalam meramu pakan ternak. Penambahan bahan biasanya hanya dalam jumlah yang sedikit. Maksud dari penambahan adalah untuk merangsang pertumbuhan atau merangsang produksi. Macam-macam additive antaralain antibiotika, hormon, arsenikal, sulfaktan, dan transquilizer. Menurut Lesson dan Summers (2001), feed additive dapat berupa flavoring agent , antibiotik, enzim, antioksidan, hormon, probiotik dan antikoksidial. Fungsi feed additive adalah untuk menambah vitamin-vitamin, mineral dan antibiotika dalam
ransum,
menjaga
dan
penyakitdan pengaruh
mempertahankan stress,
kesehatan
merangsang
tubuh
terhadap
serangan
pertumbuhan badan (pertumbuhan
daging menjadi baik) dan menambah nafsu makan, meningkatkan produksi daging maupun telur (Anggorodi,1985). Selain bertujuan untuk menaikkan gizi suatu pakan feed additive jugamemiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas simpan produk dan penerimaan konsumen. Bahan tambahan yang mengandung nutrisi sengaja ditambahkan untuk keperluan teknologi prosesing dan penyimpanan. Penggunaan feed additive hanya boleh ditambahkan pada makanan bila memenuhi persyaratan dan tidak membahayakan kesehatan.
2.3
Biogas
Biogas (gas bio) merupakan gas yang ditimbulkan jika bahan – bahan organik, seperti kotoran hewan, kotoran manusia, atau sampah, direndam di dalam air dan disimpan di dalam tempat tertutup atau anaerob (Setiawan ,2008). Pada hari ke – 14, gas sudah mulai terbentuk dan bisa digunakan untuk menghidupkan nyala api pada kompor. Gas yang dihasilkan dari biogas tidak berbau sepeti kotoran sapi. Keberadaan gas ini dapat dimanfatkan untuk berbagai keperluan (Setiawan ,2008).
7
Dalam pembuatan biogas ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yakni (Simamora, S dkk, 2006); 1.
Ada bahan pengisi yang berupa bahan organik, terutama limbah pertanian dan peternakan.
2.
Ada intalasi biogas yang memenuhi beberapa persyaratan seperti, lubang pemasukan
dan
pengeluaran,
tempat
penampungan
gas,
dan
penampungan sludge (sisa Pembuangan). 3.
Terpenuhinya faktor pendukung yakni faktor dalam (dari digester) yang meliputi imbangan C/N, pH, dan struktur bahan isian (kehomogenan) dan faktor luar yang meliputi fluktasi suhu.
2.4
Vermicomposting Vermikompos adalah pupuk organik yang diperoleh melalui proses yang
melibatkan cacing tanah dalam proses penguraian atau dekomposisi bahan organiknya. Walaupun sebagian besar penguraian dilakukan oleh jasad renik, kehadiran cacing justru membantu memperlancar proses dekomposisi. Karena bahan yang akan diurai jasad renik pengurai, telah diurai lebih dulu oleh cacing. Proses pengomposan dengan melibatkan cacing tanah tersebut dikenal dengan istilah
vermikomposting.
Sementara
hasil
akhirnya
disebut
vermikompos
(Agromedia, 2007). Beberapa keunggulan vermikompos adalah menyediakan hara N, P, K, Ca, Mg dalam jumlah yang seimbang dan tersedia, meningkatkan kandungan bahan organik, meningkatkan kemampuan tanah mengikat lengas, menyediakan hormon pertumbuhan tanaman, menekan resiko akibat infeksi patogen, sinergis dengan organisme lain yang menguntungkan tanaman serta sebagai penyangga pengaruh negatif tanah (Sutanto, 2002).
8
III ALAT, BAHAN DAN PROSEDUR KERJA 3.1
Alat dan Bahan
3.1.1
Pembuatan De komposisi Awal Bahan Organik
3.1.1.1 Alat
1.
Timbangan
2.
Baki/wadah
3.
Karung
4.
Tongkat bamboo 1 buah
5.
Jarum Karung
3.1.1.2 Bahan
1.
Feses Sapi perah
2.
Jerami padi yang sudah dicacah
3.1.2
Pengeringan Dekomposisi Awal Bahan Organik
3.1.2.1 Alat
1.
Wadah Pengeringan
3.1.2.2 Bahan
1. 3.1.3
Dekomposan basah Ekstraksi, Filtrasi Dekomposisi Kering dan Pembuatan Feed Additif
3.1.3.1 Alat
1.
Gayung
2.
Ember
3.
Timbangan
3.1.3.2 Bahan
1. Dekomposan kering 2. Saringan bertingkat 3. Wadah 4. Air panas 3.1.4
Pembuatan Biogas
9
3.1.4.1 Alat
1.
Digester
2.
Ban Karet (Penampung gas)
3.
Selang plastik
4.
Klem
3.1.4.2 Bahan
1.
Substrat dekomposan atau padatan sisa filtrasi
2.
Tepung Tapioka
3.1.5
Pembuatan Vermicompost
3.1.5.1 Alat
1.
Timbangan
2.
Wadah
3.
Triplek
3.1.5.2 Bahan
1.
Substrat dekomposan/padata n sisa filtrasi
2.
Cacing tanah
3.1.6
Pengamatan Vermicompost
3.1.6.1 Alat
1.
Wadah
2.
Organoleptik
3.1.6.2 Bahan
1.
Substrat dekomposan/padata n sisa filtrasi
2.
Cacing tanah
3.2
Prosedur Kerja
3.2.1
Pembuatan De komposis i Awal Bahan Organik
1.
Menyiapkan jerami padi yang telah dicacah dan feses sapi perah.
2.
Menimbang jerami dan feses dengan perbandingan 2:1.
3.
Mencampurkan jerami (24 kg) dan feses (12 kg) sampai homogen.
10
4.
Memasukan jerami kering sebanyak 1 kg ke dalam karung (karung telah dijahit antar ujungnya dan dibalik sehingga karung dapat diberdirikan) sebagai lapisan awal.
5.
Jerami dan feses yang telah dihomogenkan dimasukan ke dalam karung dan dipadatkan sedikit demi sedikit.
6.
Setelah dilakukan
tingginya dengan
mencapai bantuan
seperempat tusuk
bambu,
bagian guna
karung, untuk
pemadatan
memerangkap
oksigen. 7.
Setelah semua campuran bahan masuk, memasukan jerami kering lagi sebanyak 1 kg dan karton tebal sebagai penutup.
8.
Mengikat karung dengan kuat
9.
Karung yang telah terisi penuh disimpan dan dilakukan pengecekan suhu setiap hari selama satu minggu.
3.2.2
1.
Pengeringan Dekomposisi Awal Bahan Organik
Setelah proses fermentasi selesai, dekomposan yang telah stabil suhunya, dikeringkan dengan cara dihamparkan di atas baki kayu kemudian dianginanginkan selama dua minggu.
3.2.3
1.
Ekstraksi, Filtrasi Dekomposisi Kering dan Pembuatan Feed Additif
Menimbang substrat dekomposan sebanyak 3 kg dan memasukan kedalam wadah.
2.
Dekomposan direndam dengan air panas sebanyak 11 liter selama 30 menit.
3.
Menyaring dengan saringan bertingkat sampai diperoleh 4 liter filtrat pekat.
4.
Menyimpan filtrat pekat dalam wadah dan ditutup menggunakan plastik yang telah dilubangi oleh jarum.
5.
Menunggu proses fermentasi anaerob dari pembuatan feed additive selama 2 minggu
3.2.4
1.
Pembuatan Biogas
Menyiapkan instalasi biogas dari digester dan ban penampung gas.
11
2.
Merangkai instalasi biogas, digester, ban, selang dan dilengkapi kran gas dibagian penutupnya.
3.
Memastikan tidak ada kebocoran pada setiap sambungannya.
4.
Menimbang substrat dekomposan sebanyak 11 kg.
5.
Memasukan substrat ke dalam tong digester kemudian ditutup rapat dengan menyisipka n sealer antara tong dengan penutupnya.
6.
Menutup rapat tong dan menguncin ya dengan klem.
7.
Menginkubasi selama 2 minggu
3.2.5
Pembuatan Vermicompost
1.
Memanen cacing dari vermicultur.
2.
Membagi hasil panen cacing kira-kira 250 gram per kelompok
3.
Menimbang substrat sebanyak 3,5 kg.
4.
Menyimpan padatan, media dan cacing dalam wadah. Penyimpanan tidak dicampur tetapi dibagi ¾ bagian wadah adalah padatan dan ¼ bagian lain adalah media dan cacing.
5.
Menutup wadah dengan triplek, pada wadah ada lubang untuk sirkulasi udara.
6.
Proses berlangsung selama pertumbuhan cacing ±4 minggu. Setiap satu minggu dilakukan aerasi dengan membolak-balikan bahan tersebut. Hasil dari sisa pencernaan cacing (kascing) merupakan pupuk organik padat yang siap digunakan pada tanaman
12
IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 4.1
Hasil Pengamatan
4.1.1
Pupuk Organik Cair
4.1.1.1 Dekomposisi Awal
Berat awal = 18,3 kg Feses = 10 kg Jerami = 8,3 kg Jerami tambahan = lapisan bawah 2 kg dan bawah 1 kg Pengamatan Suhu dekomposan selama 1 minggu Hari ke u ) h C u o S (
Atas Tengah Bawah
0
1
2
3
4
5
6
7
28 28 30
58 64 63
59 61 60
53 61 59
41 45 46
35 39 37
29 30 32
28 30 31
Berat akhir = 13,5 kg Penyusutan = Berat awal – berat akhir/berat awal x 100% = 18,3 – 13,5/18,5 = 26% Dekomposan
= 1,5 Kg
Air
= 11 liter
POC
= 5,15 liter
4.1.2 Feed Additi ve
Pengamatan feed additif ditambahkan molases yang dimana cairan pada hasil filtrasi cairan ditutup dengan wadah terdapat mikroba yang tumbuh dalam proses fermentasi tersebut. 4.1.3
Biogas
Substrat = 11 Kg Total bahan 11 Kg Pengamatan: 1 minggu = Ban sedikit mengembung 2 minggu = Ban sangat kempes
13
4.1.4
Vermicompost
Pengamatan awal Substrat = 3,5 Kg Media
= 300 gram
Cacing = 258 gram 4.2
Pembahasan
4.2.1
Pupuk Organik Cair (POC)
Pembuatan
pupuk
organik
cair
diawali
dengan
proses
ekstraksi
dekomposan. Ekstraksi dilakukan dengan merendam dekomposan menggunakan air panas selama kurang lebih lima belas menit dari waktu yang dianjurkan adalah tiga puluh menit. Tujuannya adalah untuk melarutkan bahan-bahan organik hasil proses dekomposisi awal. Selanjutnya adalah proses penyaringan, dari hasil penyaringan maka diperoleh larutan cokelat kehitaman yang pekat dan berbau tidak sedap. Substrat dekomposan sebanyak 1,5 kg dan air sebanyak 11 liter dapat menghasilkan 5,15 liter POC, dari pupuk yang dihasilkan diambil 5,15 liter yang disimpan di dalam wadah sebagai sampel pengamatan untuk proses pembuatan POC. Untuk dilakukan penyimpanan wadah ditutupi dengan plastik untuk mengurangi pencemaran udara dan menghindari pupuk terkontaminasi, akan tetapi plastik tersebut diberikan satu lubang yang sangat kecil untuk jalur oksigen masuk agar mikroorganisme dapat terus beraktifitas. Pada hari berikutnya setelah pembuatan dilakukan pengamatan dan ditemukan seperti buih pada permukaan larutan berwarna putih kecokelatan yang merupakan indikasi dari terdapatnya mikroorganisme di dalam larutan tersebut. Untuk memperoleh pupuk cair yang sudah siap pakai larutan tersebut perlu disimpan terlebih dahulu selama beberapa waktu
sampai
menyatakan
stabil.
bahwa
memperhatikan
Menurut
Purwendro
pengomposan
yang
keadaan
bentuk
fisiknya,
dan matang
dimana
Nurhidayat bisa
(2006)
diketahui
fermentasi
yang
yang dengan
berhasil
ditandai dengan adanya bercak – bercak putih pada permukaan cairan. Cairan yang dihasilkan dari proses ini akan berwarna kuning kecoklatan dengan bau yang menyengat. Proses pembuatan POC ada tahap-tahapnya dibawah ini:
14
1)
Perhitungan Nisbah C/N dan Kadar Air Nisbah C/N merupakan nilai yang menunjukkan perbandingan kadar
carbon dan nitrogen. Nisbah C/N perlu diketahui sebelum melakukan proses dekomposisi
karena
nilai
nisbah
C/N
akan
mempengaruhi
kualitas
hasil
dekomposisi untuk kompos. Hal ini sesuai dengan pendapat Merkel (1981) bahwa faktor yang mempengaruhi proses biologis dalam pengomposan adalah nisbah C/N, kadar air, ketersediaan oksigen, mikroorganisme, temperatur, dan pH. Nilai C/N yang baik untuk dekomposan adalah 25-30. Feses sapi perah memiliki nisbah C/N yang rendah oleh karena itu ditambahkan jerami padi yang memiliki nisbah C/N tinggi sehingga nisbah C/N untuk dekomposan dapat tercapai. Sebelum melaksanakan
pembuatan
dekomposan
terlebih
dahulu
dilakukan
simulasi
perhitungan nisbah C/N dari feses sapi perah dan jerami padi. Untuk memperoleh nisbah C/N sebesar 25 maka dibutuhkan 0,865 kg BK feses sapi perah dan kg 1 BK jerami padi 2)
Dekomposan Awal Pengolahan pertama yang dilakukan adalah mencampurkan feses sapi dan
jerami padi untuk
proses
dekomposisi.
Tujuan dekomposisi adalah untuk
merombak dan menstabilkan bahan organik oleh mikroorganisme. Bahan tersebut kemudian disimpan di dalam karung dengan susunan jerami padi kering di lapisan bawah, substrat, dan jerami padi kering lagi di lapisan atasnya sebelum ditutup. Jerami padi kering ini berfungsi sebagai penyerap air dari campuran bahan tersebut
selama
proses
penyimpanan.
Untuk
menjadi
dekomposan
substrat
disimpan selama satu minggu dan dicek suhunya setiap hari. Hal ini dilakukan untuk
mengamati
pengecekan
suhu
berlangsungnya selama
satu
proses
minggu
dekomposisi. tersebut
Berdasarkan
diketahui bahwa
hasil
substrat
mengalami kenaikan suhu yang sangat signifikan lalu kemudian suhunya turun kembali secara bertahap. Suhu tertinggi yang dicapai adalah 64 o C di hari kedua dan ketiga dari suhu awal 28 o C. Adanya kenaikan suhu ini merupakan indikator bahwa
proses
dekomposisi
oleh
mikroorganisme
sedang
berlangsung,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Dalzell dkk. (1987) bahwa peningkatan suhu
15
merupakan indikator adanya proses dekomposisi sebagai akibat hubungan kadar air
dan
kerja
mikroorganisme.
Pada
saat
bahan
organik
dirombak
oleh
mikroorganisme maka dibebaskanlah sejumlah energi berupa panas. Bakteri pathogen yang terdapat dalam bahan dianggap sudah mati karena tingginya suhu pada proses dekomposisi. Setelah satu minggu penyimpanan substrat hasil dekomposisi atau yang disebut
dengan
dekomposan
dikeluarkan
dari
karung.
Berdasarkan
hasil
penimbangan bahan terjadi penyusutan dari yang awalnya berat total adalah 18,3 kg menjadi 13,5 kg. Penyusutan ini disebabkan oleh berkurangnya kadar air selama proses dekomposisi berlangsung. Hasil pengamatan pada dekomposan adalah bahan menjadi berwarna cokelat, berbau apek, strukturnya lebih rapuh dan lembab, serta ditemukan jaringan putih atau hifa. Perlakuan selanjutnya adalah dekomposan disimpan di baki kayu dan dikeringkan dengan diangin-anginkan selama dua minggu. Tujuannya adalah untuk mengurangi kelembaban pada bahan terebut
sebelum
dilanjutkan
untuk
pengolahan.
Setiap
harinya
dekomposan
tersebut dibolak-balikan supaya kering merata. 4.2.2 Feed Additi f
Proses Feed Additive dilakukan dengan cara pelarutan yang sama seperti proses POC namun bedanya substrat hasil saringan POC tersebut ditambahkan air dingin sebanyak suspensi padat yang dihasilkan pada penyaringan pertama. Suspensi cair yang didapatkan tersebut yang dipergunakan untuk membuat feed additive. Dengan menambahkan molasses sebagai reactor dari feed additive sebesar 5% dari berat suspensi encer yang dihasilkan. Suspensi cair yang ada dalam ember plastik sebanyak 5% dikeluarkan terlebih dahulu agar pada penambahan molasses sebanyak 5% jumlah suspensi tetap sama dengan jumlah awal. Lalu homogenisasi seperti biasa agar feed additive yang dihasilkan sempurna dan langkah terakhir yaitu fermentasi anaerob fakultatif, jadi ada saat dimana aerob dan anaerob selama kurang lebih 1 minggu Hasil Larutan Ekstraksi Bening 5.15 Liter dengan Penambahan air beberapa liter menghasilkan 10 liter dan dari 10 Liter campuran ekstraksi bening dan air lalu ambil dan buang
16
sebanyak 300 ml, lalu tambahkan molasses sebanyak 300 ml dihasilkanlah feed additive. Feed additive inipun harus tetap di aerasi agar sumber baunya teroksidasi. 4.2.3 Biogas
Pembuatan biogas memanfaatkan bahan yang berasal dari dekomposan yang telah diekstraksi. Karena dekomposan tersebut dianggap masih memiliki bahan organik yang cukup untuk dapat menghasilkan biogas. Biogas dibuat dalam keadaan anaerob agar gas metan dapat terbentuk dengan sempurna. Pada praktikum ini, dekomposan yang digunakan adalah sebanyak 11 kg dan tepung. Campuran bahan tersebut dimasukkan ke dalam tong digester yang dirancang secara mandiri. Digester tersebut terdiri dari tong, ban, selang, dan dilengkapi kran. Ban berfungsi sebagai indikator terbentuknya gas atau tidak, apabila ban tersebut mengembung maka artinya terdapat gas di dalamnya dan apabila ban kempis maka tidak terdapat gas. Apabila gas metan sudah terbentuk maka apabila ketika diuji api akan menyala. Akan tetapi berdasarkan hasil pengamatan pada satu minggu setelah pembuatan ban terlihat sangat menggembung, namun saat diuji api tidak menyala. Hal ini diduga kandungan gas CO 2 dalam ban lebih banyak dibandingkan gas metan sehingga api belum bisa menyala. Artinya pembentukan gas metan belum sempurna. Dan pada pengamatan dua minggu setelah pembuatan ban terlihat mengempis dan tidak dilakukan uji sehingga tidak dapat diketahui gas metan sudah terbentuk sempurna atau belum. Hasil ini kurang sesuai dengan pernyataan Setiawan (2008) yang menyatakan bahwa pada hari ke – 14, gas sudah mulai terbentuk dan bisa digunakan untuk menghidupkan nyala api pada kompor dan gas yang dihasilkan dari biogas tidak berbau sepeti kotoran sapi. Kempisnya ban diduga karena adanya kebocoran pada digester sehingga gas yang terbentuk menguap keluar dari digester . 4.2.4
Vermicompost Dekomposan padat selain dimanfaatkan untuk membuat biogas juga
digunakan untuk pembuatan pupuk organik padat. Pada praktikum ini pembuatan
17
pupuk organik padat melibatkan cacing tanah atau disebut vermikomposting. Metode vermikomposting ini dapat memberikan beberapa keuntungan dalam proses
penguraian
bahan
organik
sebagaimana
pendapat
Sutanto
(2002),
vermikompos menyediakan hara N, P, K, Ca, Mg dalam jumlah yang seimbang dan tersedia, meningkatkan kandungan bahan organik, meningkatkan kemampuan tanah mengikat lengas, menyediakan hormon pertumbuhan tanaman, menekan resiko
akibat
infeksi
patogen,
sinergis
dengan
organisme
lain
yang
menguntungkan tanaman serta sebagai penyangga pengaruh negatif tanah. Tahap awal vermikomposting adalah memindahkan cacing tanah dari media
biakannya
ke
dekomposan.
Memindahkan
cacing
tanah
tidak
bisa
dilakukan sembarangan melainkan harus dengan hati-hati karena cacing tanah memiliki
sifat
yang
sangat
sensitif
terhadap
sentuhan
dan
cahaya.
Untuk
mengetahui perkembangan cacing tanah dari sebelum proses vermikomposting sampai setelahnya maka perlu diketahui bobot cacing tanah sebelum dicampurkan ke dalam dekomposan. Sebelum ditimbang cacing tanah perlu dipisahkan dari media sebelumnya dan diperoleh data berat cacing tanah adalah 258 kg. setelah ditimbang baru kemudian cacing tanah disimpan di dalam wadah dekomposan akan tetapi tidak langsung dicampurkan melainkan cacing disimpan bersama dengan media sebelumnya. Hal ini dilakukan agar cacing tanah dapat beradaptasi secara perlahan dari media sebelumnya ke media yang berasal dari dekomposan. Selanjutnya
bahan
disimpan
selama
dua
minggu
untuk
menunggu
hasil
vermikomposting. Setiap satu minggu dilakukan aerasi dengan mengadukkan dekomposan dan cacing tanah. Tujuannya adalah agar oksigen dapat masuk dalam bahan untuk memenuhi kebutuhan oksigen cacing tanah. Setelah dua minggu dilakukan panen cacing dengan memisahkan cacing dari
dekomposan.
Kemudian
dilakukan
penimbangan
berat
cacing
setelah
dipanen, sehingga dapat diketahui berat cacing melebihi berat sebelumya karena pertambahan cacing. Peningkatan ini menunjukkan adanya pertambahan bobot badan cacing dan perbanyakan jumlah cacing. Berdasarkan hasil pengamatan juga ditemukan terdapat cukup banyak kokon yang menunjukkan cacing tanah
18
bereproduksi dengan baik di dalam dekomposan. Aktifitas tersebut menunjukkan bahwa terdapat cukup banyak unsur hara di dalam dekomposan. Hasil akhir dari serangkaian proses vermikomposting ini disebut dengan vermicompost .
19
V PENUTUP 4.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum maka dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Pupuk organik cair diperoleh dari hasil ekstraksi dekomposan yang melarutkan biomassa dari dekomposan padat. 2. Feed additive yang diperoleh dari penambah molases terdapat macammacam
mikroorganisme
yang
menunjang
pertumbuhan
dan
perkembangannya. 3. Biogas dapat dibuat dengan menyimpan dekomposan secara anaerob kemudian menampung gas metan yang terbentuk untuk dimanfaatkan sebagai biogas 4. Pupuk organik padat yang dibuat dengan metode vermicomposting adalah dengan menyimpan cacing tanah ke dalam dekomposan. Kemudian untuk memperoleh pupuk padat adalah dengan memisahkan cacing sehingga didapatkan vermicompost . Pengelolaan limbah secara terpadu dapat dilakukan dengan diawali proses dekomposisi
awal
sebagai
langkah
pertama
penguraian
bahan
organik.
Selanjutnya hasil dekomposisi dapat menghasilkan berbagai produk, diantaranya pupuk organik cair, pupuk organik padat dengan metode vermikomposting, dan biogas. Maka dari itu dengan pengolahan limbah terpadu ini perlu dilakukan karena memberikan banyak manfaat terutama mencegah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah peternakan.
4.2
Saran
Selama melaksanakan praktikum mahasiswa diharapkan aktif dan banyak diskusi untuk memperjelas pembahasan mengenai praktikum yang dilakukan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Agromedia, redaksi. 2007. Buku Pintar.Tanaman Hias. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta. Dalzell, H.W., A.J. Biddlestone, K.R. Gray and K. Thurairajan. 1987. Soil Management: Compost Production and Use in Tropical and Subtropical Environtmental. FAO of The United Nations. Rome. Djuarnani, N., Kristian, B. S. Setiawan. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Agromedia Pustak a. 74 hal. Karimi, K., S. Kheradmandinia and M.J. Taherzadeh, 2006. Conversion of ricestraw to sugar by diluteacidhydrolysis. Biomass Bioenergy, 30:247253. DOI:10.1016/j.biombioe.2005.11.015a Merkel, J.A. 1981. Managing Livestock Wastes. AVI Publishing Company. Inc. Westport. Connecticut. Parnata, Ayub. S. 2004. Pupuk Organik Cair . PT Agromedia Pustaka. Jakarta Purwendro, S. dan Nurhidayat., 2006. Mengolah Sampah untuk Pupuk Pestisida Organik . Penebar Swadaya, Jakarta. Rusdi, U. D. dan Kurnani TB. Benito A. 1994. Manajemen Limbah Peternak an. Universitas Padjadjaran. Setiawan, A.I. 2008. Memanfatkan Kotoran Ternak. Cet 14. Jakarta: Penebar Swadaya. Simamora, S. et al. 2006. Membuat Biogas Pengganti Bahan Bakar Minyak Dan Gas Dari Kotoran Ternak. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Sutanto, Rahman. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif Dan Berkelanjutan. Kanisius: Yogyakarta. Yuwono, D., 2005. Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta.
21
LAMPIRAN
Proses Pembuatan dekomposisi awal
Ekstraksi untuk pembuatan POC
Aerasi dekomposan
POC setelah 14 hari penyimpanan
22
Instalasi digester biogas
Vermikomposting
Biogas