8
1
LAPORAN PENDAHULUAN
OTITIS MEDIA AKUT
DEFINISI
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh telinga tengah, tuba eustachii, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Biasanya terjadi karena peradangan saluran napas atas dan sering mengenai bayi dan anak-anak. Telinga tengah adalah organ yang memiliki penghalang yang biasanya dalam keadaan steril. Bila terdapat infeksi bakteri pada nasofaring dan faring, secara alamiah terdapat mekanisme pencegahan penjalaran bakteri memasuki telinga tengah oleh enzim pelindung dan bulu-bulu halus yang dimiliki oleh tuba eustachii. OMA terjadi akibat tidak berfungsinya sistem pelindung tadi. Sumbatan atau peradangan pada tuba eustachii merupakan faktor utama terjadinya otitis media (Husni T.R, 2011).
PATOFISIOLOGI
Otitis media akut (OMA) terjadi akibat adanya gangguan pada faktor pertahanan tubuh. Sumbatan pada tuba Eustachius merupakan faktor utama penyebab terjadinya OMA. Dengan adanya sumbatan yang merusak faktor pertahanan tubuh sebagai pencegah invasi kuman ke dalam tuba Eustachius maka terjadi peradangan pada mukosa. Hal ini menyebabkan fungsi tuba Eustachius terganggu sehingga menyebabkan terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah. Pada umumnya pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran napas atas (ISPA), semakin sering terkena ISPA maka kemungkinan terjadinya OMA semakin besar (Novertha, 2013).
DIAGNOSIS
Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar
Timpanogram untuk mengukur keseuaian dan kekakuan membrane timpani
Kultur dan uji sensitifitas ; dilakukan bila dilakukan timpanosentesis (Aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membrane timpani).
Dengan menggunakan otoskop dapat dilihat adanya perubahan warna pada membran timpani, penonjolan (bulging) membran timpani dan sekret yang berada di liang telinga. Apabila diperlukan konfirmasi dari hasil pemeriksaan otoskop, maka dilakukan pemeriksaan dengan otoskop pneumatik. Otoskop pneumatik dapat digunakan untuk menilai gerakan membran timpani. Selain dengan menggunakan otoskop pneumatik, timpanometri juga dapat digunakan untuk menilai secara objektif pergerakan membran timpani. (Novertha, 2013).
KLASIFIKASI
Menurut Djafar ZA, Helmi dan Restuti RD dalam Noverta (2013) Tanda dan gejala pada OMA bergantung pada stadium penyakit pasien, dimana pada umumnya OMA memiliki lima stadium, antara lain :
1. Stadium oklusi tuba Eustachius
Stadium ini ditandai dengan adanya gambaran retraksi membran timpani akibat adanya tekanan negatif didalam telinga tengah yang terjadi karena absorpsi udara. Membran timpani kadang tampak normal atau berwarna keruh pucat.
2. Stadium hiperemis ( stadium pre-supurasi)
Pada stadium ini dapat dilihat adanya pelebaran pembuluh darah pada membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis disertai edema.
3. Stadium supuratif
Terjadinya edema yang hebat pada mukosa telinga tengah, hancurnya sel epitel superfisial, dan telah terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani sehingga menyebabkan penonjolan (bulging) membran timpani ke arah liang telinga luar merupakan tanda yang dapat ditemukan pada stadium supuratif ini. Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, terjadi peningkatan suhu dan nadi, serta adanya nyeri telinga yang dirasakan bertambah berat.
Stadium perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah yang berada di dalam kavum timpani mengalir ke liang telinga luar. Pasien tampak lebih tenang dari sebelumnya dan terjadi penurunan suhu.
Stadium resolusi
Pada stadium ini membran timpani yang perforasi dapat kembali normal secara perlahan-lahan tanpa pengobatan jika daya tahan tubuh pasien baik atau virulensi kuman rendah.
ETIOLOGI
Ada beberapa faktor yang menyebabkan otitis lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Tuba eustakius anak berbeda dibandingkan dengan orang dewasa yakni tuba eustakius anak lebih horizontal dan lubang pembukaan tonus tubarius dikelilingi oleh folikel limfoid yang banyak jumlahnya. Adenoid pada anak dapat mengisi nasofaring, sehingga secara mekanik dapat menyumbat lubang hidung dan tuba eustakius serta dapat berperan sebagai fokus infeksi pada tuba. Tuba eustakius secara normal tertutup pada saat menelan. Tuba eustakius melindungi telinga tengah dari sekresi nasofaring, drainase sekresi telinga tengah, dan memungkinkan keseimbangan tekanan udara dengan tekanan atmosfer dalam telinga tengah. Obstruksi mekanik ataupun fungsional tuba eustakius dapat mengakibatkan efusi telinga tengah. Obstruksi mekanik intrinsik dapat terjadi akibat dari infeksi atau alergi dan obstruksi ekstrinsik akibat adenoid atau tumor nasofaring.
Obstruksi fungsional dapat terjadi karena jumlah dan kekakuan dari kartilago penyokong tuba. Obstruksi fungsional ini lazim terjadi pada anak-anak. Obstruksi tuba eustakius mengakibatkan tekanan telinga tengah menjadi negatif dan jika menetap mengakibatkan efusi transudat telinga tengah. Bila tuba eustakius mengalami obstruksi tidak total, secara mekanik, kontaminasi sekret nasofaring dari telinga dapat terjadi karena refluks (terutama bila membran timpani mengalami perforasi), karena aspirasi, atau karena peniupan selama menangis atau bersin. Perubahan tekanan atau barotrauma yang cepat juga dapat menyebabkan efusi telinga tengah yang bersifat hemoragik. Bayi dan anak kecil memiliki tuba yang lebih pendek dibandingkan dewasa, yang mengakibatkannya lebih rentan terhadap refluks sekresi nasofaring.
Faktor lain yaitu respon imun bayi yang belum sempurna. Infeksi saluran nafas yang berulang juga sering mengakibatkan otitis media melalui inflamasi dan edema mukosa dan penyumbatan lumen tuba eustakius. Kuman yang sering menyebabkan otitis media diantaranya Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis, Menurut Siegel RM and Bien JP (2004) dalam IKA Unair .
MANIFESTASI KLINIS
Otitis media akut merupakan inflamasi telinga tengah dengan onset gejala dan tanda klinis yang cepat, seperti nyeri, demam, anoreksia, iritabel, atau juga muntah. otitis media yang disertai efusi ditandai dengan ditemukannya efusi telinga tengah yang asimtomatik. Dari pemeriksaan otoskopi didapatkan gerakan membran timpani yang menurun, dengan bentuk menjadi cembung, kemerahan dan keruh menurut Siegel RM and Bien JP , (2004) dalam IKA Unair.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan glaukoma menurut Infodatin Kemenkes RI (2014)
Terapi medikamentosa
Tujuannya adalah menurunkan TIO terutama dengan menggunakan obat sistemik (obat yang mempengaruhi seluruh tubuh)
Terapi obat-obatan
Terapi ini tidak diberikan pada kasus yang sudah lanjut. Terapi awal yang diberikan adalah penyekat beta (timolol, betaxolol, levobunolol, carteolol, dan metipranolol) atau simpatomimetik (adrenalin dan depriverin). Untuk mencegah efek samping obat diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi pemberiannya tidak boleh terlalu sering. Miotikum (pilocarpine dan carbachol) meski merupakan antiglaukoma yang baik tidak boleh digunakan karena efek sampingnya.
obat sistemik
· Inhibitor karbonik anhidrase. Pertama diberikan secara intravena (acetazolamide 500mg) kemudian diberikan dalam bentuk obat minum lepas lambat 250mg 2x sehari.
· Agen hiperosmotik. Macam obat yang tersedia dalam bentuk obat minum adalah glycerol dan isosorbide sedangkan dalam bentuk intravena adalah manitol. Obat ini diberikan jika TIO sangat tinggi atau ketika acetazolamide sudah tidak efektif lagi.
· Untuk gejala tambahan dapat diberikan anti nyeri dan anti muntah.
obat tetes mata local
· Penyekat beta. Macam obat yang tersedia adalah timolol, betaxolol, levobunolol, carteolol, dan metipranolol. Digunakan 2x sehari, berguna untuk menurunkan TIO.
· Steroid (prednison). Digunakan 4x sehari, berguna sebagai dekongestan mata. Diberikan sekitar 30-40 menit setelah terapi sistemik.
· Miotikum. Pilokarpin 2% pertama digunakan sebanyak 2x dengan jarak 15 menit kemudian diberikan 4x sehari. Pilokarpin 1% bisa digunakan sebagai pencegahan pada mata yang lainnya 4x sehari sampai sebelum iridektomi pencegahan dilakukan.
Terapi Bedah
· iridektomi perifer. Digunakan untuk membuat saluran dari bilik mata belakang dan depan karena telah terdapat hambatan dalam pengaliran humor akueus. Hal ini hanya dapat dilakukan jika sudut yang tertutup sebanyak 50%.
· Trabekulotomi (Bedah drainase). Dilakukan jika sudut yang tertutup lebih dari 50% atau gagal dengan iridektomi.
Glaukoma Kronis
Merupakan glaukoma yang terjadi perlahan-lahan dengan ciri-ciri · Kerusakan seraf optikus glaukomatosa
· Kerusakan lapangan pandang glaukomatosa
· TIO beberapa kali berulang lebih tinggi dari 21 mmHg
· Usia dewasa
· Sudut bilik mata depan terbuka dan terkesan normal
· Tidak adanya penyebab sekunder lainnya
KOMPLIKASI
Kontrol tekanan intraokular yang jelek akan menyebabkan semakin rusaknya nervus optik dan semakin menurunnya visus sampai terjadi kebutaan (Dwindra M, 2009).