LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TRAUMA KEPALA
MOKHAMAD RIZA SYARIF 135070209111009
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN KEPERAWATAN MALANG 2014
1. Definisi Trauma kepala adalah istilah yang sangat luas, dimana kondisinya tergantung dari area kepala yang
mengalami injuri. Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak, dan otak (Smeltzer, 2010). Cedera kepala merupakan penyebab kematian dan morbiditas pada anak-anak, akibat adanya faktor resiko yang signifikan terjadi trauma seiring pertumbuhan dan perkembangan system neurologi mereka. Komplikasi yang ditimbulkan akibat cedera kepala pada anak dapat berdamapak serius sepanjang hidup nya sehingga mengganggu fungsi fisik, psikologis dan kognitif (Susan Scott Ricci, 2009). 2. Etiologi Penyebab tersering trauma kepala pada anak-anak adalah jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan sepeda dan pejalan kaki, tempat rekreasi serta kekerasan pada anak-anak.(Adams et al., 2010; Baren, Brennan, Brown, & Rothrock, 2008; Verive, Stock, Singh, & Corden, 2014) 3. Pathofisiologi Banyak faktor yang meningkatkan kerentanan anak t erjadi trauma kepala dibandingkan orang dewasa, kepala lebih besar dibandingkan ukuran tubuh, anak anak juga rentan mengalami trauma kepala akibat faktor aktifitas psikososial tingginya aktifitas fisik, tidak bias diam, perkembangan motorik yang belum lengkap, dan kurang nya kemampuan mempertimbangkan dan pengetahuan. Ketergantungan mereka pada orang lain untuk merawat mereka menjadikan mereka sangat rentan terhadap terjadinya trauma, anak-anak kurang dari 3 tahun memiliki aktifitas tulang belakang yang aktif terutama di bagian leher diantara otot leher yang belum mature. Resiko akselerasi deselerasi injuri. Goncangan Akselerasi tiba-tiba dari kepala pada anak menyebabkan deformitas tengkorak dan pada otak akan mengalami goncangan menjadi memar, perdarahan otak, pecahnya pembuluh darah arteri otak, tulang kepala
anak-anak yang masih lunak dapat meningkatkan resiko terjadi fraktur skull, dan trauma penetrasi a. Cidera otak primer: Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi. b. Cidera otak sekunder: Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma. Tekanan intrakranial dipengaruhi oleh: a.
edema fokal atau difusi
b.
hematoma epidural
c.
hematoma subdural
d.
hematoma intraserebral
e.
over hidrasi
f.
Sepsis/septik syok
g.
Anemia
h.
Shock
Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cidera otak dan sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.(Verive et al., 2014)
PATOFISIOLOGI Cidera kepala Cidera otak primer
TIK - oedem Respon biologi (Hypoxemia) - hematom Cidera otak sekunder
Kontusio Laserasi
Kelainan metabolism Kerusakan cel otak Aliran darah keotak Gangguan autoregulasi rangsangan simpatis tahanan vaskuler
katekolamin
Stress sekresi asam lambung
Sistemik & TD O2
Mual, muntah
gangguan metabolisme
Asupan nutrisi kurang
Asam laktat Oedem otak
tek. Pemb.darah
tek. Hidrostatik
kebocoran cairan kapile Gangguan perfusi jaringan Cerebral Pulmonal oedema paru cardiac output Difusi O2 terhambat Gangguan perfusi jaringan Gangguan pola napas
hipoksemia,
hiperkapnea
4. Manifestasi klinis Gejala yang muncul pada cedera kepala tergantung pada jumlah dan distribusi cedera otak nyeri menetap dan menetap menandakan adanya fraktur. a. Fraktur tulang tengkorak Sering terjadi pada anak-anak kurang dari 2 tahun, Karen atulag tengkorak yang belum matur. perdarahan hidung, telinga, dan bawah konjungtiva, area ekimosis memar mungkn di atas mastoid( battle sign), adanya fraktur dasar tengkorak dapat ditandai adanya kebocoran cairan serebro spinal dari telinga dan hidung. Kebocoran cairan otak ini dapat menyebankan komplikasi yang
serius seperti meningitis jika ada bakteri yang masuk ke isi cranial melalui hidung telinga atau sinus melalui robekan dura b. Konkusi otak Paling sering terjadi pada kondisi trauma kepala. Basanya akibat benturan saat olah raga, barmain, kecelakaan sepeda.Tanda gejala yang muncul amnesia dan kebingungan sesaat setelah trauma, dapat terjadi kehilangan kesadaran atau tidak . muntah, sulit berkonsentrasi c. Memar otak Akibat dari benturan kepala yang keras saat terja di kecelakaan, gejala yang muncul gangguan penglihatan, kekuatan dan sensasi, tergantung juga pada luasnya cedera vaskuler yang terjadi. Kehilangan kesadaran dalam waktu yang lama paralisis, d. Perdarahan otak yang sering terjadi pada anak: sangat rendah terjadi Insiden Epidural hematom akibat fraktur tulang tengkorak. Kondisi ini akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater sehingga pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater, perdarahan ini sulit berhenti dengan sendirinya oleh karena itu kondisi ini sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis. Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran segera setelah cedera kemudian diikuti pemulihan yang nyata secara perlaa-lahan, nyeri k epala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu. e.
Subdural hematoma relatif jarang terjadi, biasanya selalu disertai dengan fraktur tengkorak. pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, terjadinya perdarahan lambat dan
sedikit. Akumulasi darah dapat terjadi secara akut dan kronik diantara duramater dan jaringan otak,. Terjadi Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil. Secara umum tanda dan gejala a. penurunan kesadaran b.
deficit neurologi,
c. Perubahan tanda tanda vital\ d. Kejang-kejang e. Gangguan saluran nafas f.
Gangguan penglihatan
g. Gangguan sensorik 5. Pemeriksaan diagnostik a. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menkaji status neurologi yang mengarah pada cedera kepala, namun kondisi abnormal kurang tampak diperoleh pada cedera kepala. b. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen t ulang. c. CT –scan kepala cara ini untuk mendeteksi gambaran luas sifat lokasi dan luasnya lesi denganbaik. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. d. MRI
e. Angiografi serebral di gunakan untuk menggambarkan adanya hematom supratentorial, ekstraserebral dan intraserebral, dapat diperoleh gambaran lateral dan antero-posterior tengkorak. f.
Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
g. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial. 6. Tata laksana Secara umum tata laksana pada cedera kepala adalah sebagai berikut: a. Konservatif Anak yang mengalami cedera kepala berat memerlukan perawatan intensif dini hingga kondisinya stabil. Fokusnya pada mempertahankan airway, monitor pernafasan, sirkulasi status hemodinamik, status neurologi, mencegah terjadi kejang, dan perawatan injuri lain yang berkaitan dengan trauma. b. Bedrest total c. Pemberian obat-obatan d. Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran. e. Treatmen pada Fraktur tulang tengkorak Umumnya tidak memerlukan terapi pembedahan namun memerlukan observasi yang ketat. Namun jika pada compound skull fraktur maka tindaka pembedahan diperlukan.Rinorea dan otore cairan serebri spinal menetap biasanya memerlukan intervensi pembedahan f.
Beberapa kasus Subdural hematoma memerlukan pemasangan subdural drainage (Taps) pada anak- anak yang usianya lebih tua. Monitoring ketat status neurologi pada tanda peningkatan tekanan intrakranial.
g. Penanganan Epidural hematoma tergantung pada kondisi klinisnya, besarnya klot yang terbentuk serta area otak yang mengalami perdarahan. Jika perlu dilakukan evacuasi dengan pembedahan dan kauterizasi arteri, semakin dini perdarahan epidural terdeteksi maka hasilnya akan lebih bagus,, oleh karena itu monitoring ketat sangat diperlukan.
7.
Proses asuhan keperawatan
7.1. Pengkajian Kaji dengan detil riwayat trauma seperti kondisi mental sesaat setelah terjadi trauma, adakah pingsan atau kehilangan kesadaran, rewel, lethargi, perilaku yang tidak wajar, muntah (tentukan frekwensi muntahnya), adakah kejang, keluhan nyeri kepala, perubahan penglihatan, dan atau nyeri leher. 7.2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan awal berfokus pada ABCs ( airway, breathing, dan sirkulasi) merupakan bagian dari manajemen gawat darurat. Semua anak yang mengalami cedera kepala memerlukan pemeriksaan fungsi neurologis secepatnya pemeriksaan fisik meliputi, yaitu penurunan kesadaran, respon pupil, dan kondisi kejang. Pupil fixed dilatasi atau fixed konstriksi atau tidak berespon terhadap cahaya adalah kondisi yang memerlukan intervensi segera. 7.2.1. Breathing Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas. 7.2.2. Blood:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia). 7.2.3. Brain Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
7.2.4. Bladder Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi. 7.2.5. Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi. 7.2.6. Bone Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
8.
DIAGNOSA KEPERAWATAN:
8.1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung) 8.2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan neuromuscular (cedera pada pusat pernapasan otak). 8.3. Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS). 8.4. Gangguan
interpretasi lingkungan
berhubungan
dengan perubahan
transmisi
dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis). 8.5. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang hasil/harapan. 8.6. Defisit perawatan diri mandi, makan, berpakaian, eliminasi berhubungan dengan keterbatasan aktifitas fisik.
8.7. Resiko keterlambatan perkembangan. (herdman, 2012),(Doenges, Frances, & Moorhouse, 2013)
9.
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN Diagnosa Keperawatan
Intervensi
Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan Cerebral edema management otak berhubungan dengan trauma 1. Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan kepala, koma/penurunan perfusi jaringan otak dan Tujuan: potensial peningkatan TIK. 2. Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai Mempertahankan sirkulasi jaringan standar GCS. otak dan mempertahankan fungsi 3. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, otak. kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya. NOC . Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, Intra cranial Pressure dalam batas frekuensi nafas, suhu. normal 5. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan Tekanan darah sistolik dalam membran mukosa. batasnormal 6. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan Tekanan darah diastolic dalam kenyamanan, seperti lingkungan yang batasnormal tenang. MAP dipertahankan dalam batas 7. Bantu pasien untuk menghindari normal /membatasi batuk, muntah, mengejan. Nyeri kepala berkurang 8. Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad Tidak ada Muntah sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi. Tidak mengalami Agitasi 9. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. Tidak mengalami demam 10. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi. Tidak terjadi penurunan kesadaran 11. Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik. Ketidakefektifan pola napas 1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman berhubungan dengan kerusakan pernapasan. Catat ketidakteraturan neuromuscular (cedera pada pusat pernapasan. pernapasan otak). 2. Pantau dan catat kompetensi reflek NOC gag/menelan dan kemampuan pasien untuk Respiration status melindungi jalan napas sendiri. Pasang Respiration status: airway patency jalan napas sesuai indikasi. Respiration status ;gas exchange 3. Angkat kepala tempat tidur sesuai Batasan Karakteristik: aturannya, posisi miirng sesuai indikasi. Respiratori rate normal . Anjurkan pasien untuk melakukan napas Ritme pernafasan normal dalam yang efektif bila pasien sadar. Kedalaman inspirasi normal 5. Lakukan penghisapan dengan ekstra hatiKemampuan membersihkan jalan hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat nafas karakter, warna dan kekeruhan dari sekret. Tekanan parsial O2 normal 6. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah Tekanan parsial CO2 normal hipoventilasi dan adanya suara tambahan Ph darah normal yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, Saturasi oksigen krekel. Hasil pemeriksaan X ray 7. Pantau analisa gas darah, tekanan
Perfusi ventilasi seimbang
Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan kulit (trauma,destruksi jaringan). Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS) NOC Infection Severity Mempertahankan normotermia Tidak ada tanda-tanda infeksi. Kriteria evaluasi: Tidak ada demam Tidak menggigil Instabilitas suhu tubuh kisaran ringan Tidak ada nyeri Kolonisasi kultur bakteri cerebrospinal negative Hasil laboratorium sel darah putih normal
oksimetri 8. Lakukan ronsen thoraks ulang. 9. Berikan oksigen. 10. Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi. 1. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik. 2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi. 3. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran). 4. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum. 5. Berikan antibiotik sesuai indikasi
Daftar pustaka
Adams, J. G., Barsan, W. G., Biros, M. H., Danzl, D. F., Gausche-Hill, M., Ling, L. J. (2010). Rosen’s emergency medicine Vol. 1. J. A. Marx, R. S. Hockberger, & R. M. Walls (Eds.), concepts and clinical practice (pp. 2731). Baren, J. M., Brennan, J. A., Brown, L., & Rothrock, S. G. (Eds.). (2008). Pediatric emergency medicine. Philadelphia USA: Saunders, an imprint of Elsevier. Doenges, M. E., Frances, M., & Moorhouse, A. C. M. (2013). Nursing diagnosis manual : planning, individualizing, and documenting client care E. Hart (Ed.) herdman, T. h. (2012). Diagnosa keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014 (M. Sumarwati & N. B. Subhekti, Trans.). Jakarta: EGC. Smeltzer, S. C. (Ed.). (2010). Brunner & Sud darth’s textbook of medical -surgical nursing (12 ed. Vol. 2): Wolters Kluwer Health / Lippincott Williams & Wilkins. Susan Scott Ricci, T. K. (2009). Maternity and pediatric nursing Verive, M. J., Stock, A., Singh, J., & Corden, T. E. (2014). Pediatric Head Trauma. http://emedicine.medscape.com/article/907273-overview#aw2aab6b2b4