BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang tersebar di dunia dengan manusia sebagai hospes insidentil. Penyebab penyakit ini adalah bakteri Leptospira interrogans dari famili Spirochaetaceae, yang mana bakteri patogen ini berbentuk spiral dan ramping. Saat ini terdapat lebih dari 200 serotipe dan 23 serogrup yang sudah teridentifikasi dan hampir setengahnya terdapat di Indonesia. (WHO,2003) Leptospirosis Leptospirosis merupakan penyakit yang tersebar luas di dunia, terutama di area tropis dan subtropis yang memiliki curah hujan tinggi. Prevalensi tinggi terjadinya leptospirosis dijumpai di negara-negara berkembang. Hal tersebut dikarenakan perhatian akan kesehatan personal dan lingkungan di negara berkembang sangat kurang. (WHO,2003) (WHO,2003) Leptospirosis Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang bersifat emerging disease, terutama di wilayah Asia Tenggara (South-East Asia region). Kebanyakan negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menjadi wilayah endemis untuk leptospirosis, terutama pada daerah-daerah yang sering mengalami banjir. International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan insiden leptospirosis tinggi dan dengan tingkat kematian penderita tertinggi ke tiga di dunia. (WHO, 2003) 2003) Di daerah dengan kejadian luar biasa leptospirosis ataupun pada daerah yang memiliki faktor risiko tinggi terpapar leptospirosis, angka kejadian leptospirosis
1
dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000 per tahun. Di daerah tropis dengan kelembaban tinggi angka kejadian leptospirosis berkisar antara 10-100 per 100.000 sedangkan di daerah subtropis angka kejadian berkisar antara 0,1-1 per 100.000 per tahun. Case fatality rate (CFR) rate (CFR) leptospirosis di beberapa bagian dunia dilaporkan berkisar antara <5% - 30%. Angka ini memang tidak terlalu reliabel mengingat masih banyak daerah di dunia yang angka kejadian leptospirosisnya tidak terdokumentasi dengan baik. Selain itu masih banyak kasus leptospirosis ringan belum didiagnosis secara tepat. (WHO,2003) Di Indonesia, penyakit ini tersebar luas di Pulau Jawa, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Kejadian Luar Biasa tercatat terjadi di Riau (1986), Jakarta (2002), Bekasi (2002), dan Semarang (2003).Dinas Kesehatan Jawa Tengah mencatat jumlah kasus leptospirosis sejak .
2005 sampai 2009 terus mengalami peningkatan (Widoyono,2008)
Di beberapa negara, leptospirosis dikenal dengan nama “rate“rate -urin fever”, yang mana penyakit ini ditransmisikan melalui urin dari hewan yang terinfeksi atau kontak dengan tempat yang terkena urin hewan terinfeksi yang masih lembab. Tikus dan binatang pengerat lain merupakan hospes primer dari penyakit ini, akan tetapi binatang mamalia seperti anjing, rusa, kelinci, kerbau, dan babi juga dapat mentransmisikan infeksi bakteri leptospira sebagai hospes sekundernya. Manusia dapat terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air atau tanah yang sudah mengandung urin hospes, selain itu bisa juga karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Leptospirosis jarang ditularkan dari manusia ke manusia yang lain. (WHO,2008)
2
Infeksi leptospira terjadi karena masuknya bakteri melalui membran mukosa, konjungtiva atau luka di kulit tanpa menimbulkan kelainan setempat. Selanjutnya bakteri masuk ke dalam darah dan menimbulkan leptospiremia, akhirnya kuman masuk ke organ- organ tubuh yang lain. Penyakit ini mengikuti pola bifasik, fase pertama menunjukkan leptospiremia. Fase ini ditandai oleh onset mendadak demam tinggi, kaku otot, nyeri kepala, mialgia berat, nyeri tekan otot, conjunctival
suffusion,
nyeri
perut,
mual,
muntah,
nyeri
dada,
ruam
makulopapular, dan hemoptisis. Sedangkan manifestasi klinis pada fase kedua, yaitu fase imun adalah rekurensi demam setelah 2-3 hari, nyeri kepala, muntah, meningitis aseptik (demam Canicola), ikterus berat, gangguan ginjal, proteinuria, dan ruam eritematosa yang meninggi di daerah pretibia (demam Fort Bragg). Leptospirosis seringkali menunjukkan gejala klinis yang tidak spesifik, sehingga sulit untuk dibedakan dengan penyakit infeksi tropis lain seperti malaria, demam dengue, demam berdarah dengue, dan demam tifus . (Muliawan,2008) B. Rumusan Masalah
Bagaimana penanggulangan dan pencegahan penyakit leptospirosis kecamatan B ? C. Tujuan
1) Tujuan umum Melakukan upaya penanggulangan dan pencegahan penyakit leptospirosis 2) Tujuan khusus a.
Penyuluhan kesehatan masyarakat tentang penyakit leptospirosis
3
b.
Perbaikan dan penyediaan sarana sanitasi khususnya penanganan sampah dan air limbah
c.
Upaya pembasmian hama tikus
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Leptospirosis 2.1.1. Pengertian
Leptospirosis merupakan penyakit infeksi pada manusia dan binatang yang disebabkan oleh bakteri Leptospira yang berbentuk spiral dan bergerak aktif. Leptospirosis
merupakan zoonosis
yang paling tersebar luas di dunia.
Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia, tikus, anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus. (Stephen, 2008) Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis yang memiliki curah hujan tinggi.1 Leptospirosis adalah salah satu penyakit infeksi yang terabaikan atau Neglected Infectious Diseases (NIDs) yaitu penyakit infeksi yang endemis pada masyarakat miskin atau populasi petani dan pekerja yang berhubungan dengan air dan tanah di negera berkembang. (Ferry, 2013) Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 o1eh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai "Weil's Disease". Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. Sejak itu beberapa jenis leptospira dapat diisolasi dengan baik dari manusia maupun hewan (Agus, 2008). Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir. Di beberapa negara, leptospirosis dikenal dengan nama mudfever, slime fever, swamp fever, autumnal f ever, field fever, canicola fever, dan icterohemorrhagic fever . (Aru, 2009) 2.1.2. Epidemiologi
Sebagai host (inang), pada hewan dan manusia, dapat dibedakan atas maintenance host dan incidental host . Dalam tubulus ginjal maintenance host , leptospirosis akan menetap sebagai infeksi kronik. Infeksi biasanya ditularkan dari hewan ke hewan melalui kontak langsung. Biasanya, infeksi didapat pada usia dini, dan prevalensi ekskresi kronik melalui urin meningkat dengan bertambahnya umur hewan. Pada manusia, penularan melalui kontak tidak langsung dengan maintenance host . Luasnya penularan tergantung dari banyak
5
faktor yang meliputi iklim, kepadatan populasi, dan derajat kontak antara maintenance host dan incidental host . Hal ini dan juga tentang serovar penting untuk studi epidemiologi leptospirosis pada setiap daerah. (Stephen, 2008). Penularan juga dapat terjadi melalui gigitan hewan yang sebelumnya telah terinfeksi leptospirosis atau kontak dengan kultur leptospirosis di laboratorium. Manusia yang mempunyai risiko tinggi tertular penyakit ini adalah pekerja di sawah, peternak, pekerja tambang, penjagalan hewan, pekerja industri perikanan, dan dokter hewan. Aktivitas yang berisiko tertular penyakit ini antara lain : berenang di sungai, berburu, dan kegiatan di hutan. Sebagai contoh pada tahun 2000, 80 peserta Ecochallenge multi sport di Borneo, Malaysia yang berenang di sungai Segama terkena leptospirosis. Kelompok yang rentan terkena leptospirosis adalah peternakan, lingkungan banjir, dan lingkungan yang banyak tikus. (Kunadi, 2012) Kejadian pada negara beriklim hangat lebih tinggi dari Negara yang beriklim sedang, karena Leptospira hidup lebih lama dalam lingkungan yang hangat dan kondisi lembab. Kebanyakan negara-negara tropis merupakan negara berkembang dimana terdapat kesempatan lebih besar pada manusia untuk terpapar dengan hewan yang terinfeksi karena tidak terbatas pada pekerjaan tetapi lebih sering disebabkan oleh kontaminasi yang tersebar luas di lingkungan. Lingkungan yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi Leptospira merupakan titik sentral epidemiologi leptospirosis. Kejadian leptospirosis dapat meningkat pada saat curah hujan yang tinggi dan lingkungan yang banyak genangan air 2.1.3. Faktor yang mempengaruhi penyebaran leptospirosis a. Kondisi selokan buruk
Banyak selokan di Indonesia yang tidak memenuhi standar. Sebagai contoh, jumlah sampah yang banyak di selokan, ukuran selokan yang tidak pas, tidak ada penutup selokan, dan lainnya. Hal ini membuat air yang seharusnya mengalir menjadi tersumbat atau meluber ke jalan. Tikus sangat senang dengan tempat yang gelap dan lembab. Bisa saja tikus buang air di selokan dan air selokan yang terkontaminasi dapat terinjak oleh manusia. b. Keberadaan sampah dalam rumah
Tikus sangat menyukai sampah dan makanannya terdapat dalam tumpukan sampah. Oleh karena itu, tikus bisa buang air di dalam rumah
6
yang terdapat sampahnya. Urinnya dapat menempel di perabot rumah atau terbawa air banjir. c. Keberadaan tikus didalam dan sekitar rumah
Adanya tikus di dalam dan sekitar rumah meningkatkan probabilitas adanya urin tikus di sekitar rumah yang terinfeksi bakteri Leptospira. d. Kebiasaan tidak memakai alas kaki
kebiasaan tidak memakai alas kaki ini juga menjadi faktor infeksi leptospirosis. Air yang terkontaminasi urin tikus dapat mengenai kulit kaki dan bakteri Leprospira dapat masuk ke dalam jaringan kulit dan menimbulkan infeksi. e. Kebiasaan mandi/mencuci di sungai
Saat mandi/mencuci di sungai pasti membutuhkan air yang tersedia di sungai. Air sungai tersebut tidak dijamin bebas dari mikroba. Air tersebut dapat mengandung urin tikus. Air yang terkontaminasi akan menempel pada badan kita dan terjadi infeksi bakter Leptospira. f.
Pekerjaan berisiko
Pekerjaan yang berisiko terkena infeksi leptospirosis antara lain pekerja di sawah, peternak, pekerja tambang, penjagalan hewan, pekerja industri perikanan, dan dokter hewan. g. Tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis
Sebab
tidak
ada
penyuluhan
tentang
leptospirosis,
maka
masyarakat tidak mengetahui mengenai penyakit leptospirosis, cara infeksinya, gejala klinisnya, pencegahannya, dan lain-lain sehingga masyarakat tetap melakukan aktivitasnya yang tidak sehat dan berpotensi terkena infeksi. (Agus, 2008) 2.1.4. Etiologi
Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di
negara
beriklim
tropis
ini,
disebabkan
oleh
Leptospira
interrogansdengan berbagai subgrup yang masing-masing terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Manusia bisa terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka atau erosi dengan air, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih binatang
7
yang terinfeksi leptospira (Mansjoer, 2005). (Mansjoer, Arif dkk. 2005. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 1 Cetakan) leptospira terdiri dari 2 kelompok atau kompleks, yang patogen L.interrogans, dan yang non pathogen atau saprofit L.biflexs kelompok patogen terdapat pada manusia dan hewan. Kelompok yang patogen atau L.interrogans terdiri dari sub grup yang masing-masingnya terbagi lagi atas berbagai serotype (serovar) yang jumlahnya sangat banyak. Saat ini telah ditemukan 240 serotipe yang tergabung dalam 23 serogrup. Sub grup yang dapat menginfeksi manusia di antaranya adalah L. icterohaemorrhagiae, L. javanica, L. celledoni, L. canicola, L ballum, L. pyrogenes, L. cynopteri, L. automnalis, L. australis, L. pomona, L. grippothyphosa, L. hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panama, L. bufonis, L. andamana, L. shermani, L. ranarum, L. copenhageni. 11 Beberapa seropati menyebabkan panyakit dengan gejala yang berat, bahkan dapat berakhir fatal seperti L.icterohaemorrhagiae, tetapi ada serogrup atau seropati dengan gejala yang ringan, misalnya infeksi L. automnalis, L. bataviae, L. pyrogenes, dan sebagainya. Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi manusia adala h L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus, L.canicola, dengan reservoirnya anjing dan L. pomona dengan reservoirnya sapi dan babi. (Arjatmo, 1996). (Tjokronegoro, Arjatmo dan Hendra Utama. 1996. Pemeriksaan Hematologi Sederhana. FKUI: Jakarta.)
Gambar 2.1. siklus penularan Leptospira (Sumber CDC)
8
2.1.5. Patofisiologi
Leptospira dapat masuk melalui luka dikulit atau menembus jaringan mukosa seperti konjungtiva, nasofaring dan vagina. Setelah menembus kulit atau mukosa, organisme ini ikut aliran darah dan menyebar keseluruh tubuh. Leptospira juga dapat menembus jaringan seperti serambi depan mata dan ruang subarahnoid tanpa menimbulkan reaksi peradangan yang berarti. Faktor yang bertanggung jawab untuk virulensi leptospira masih belum diketahui. Sebaliknya leptospira yang virulen dapat bermutasi menjadi tidak virulen. Virulensi tampaknya berhubungan dengan resistensi terhadap proses pemusnahan didalam serum oleh neutrofil. Antibodi yang terjadi meningkatkan klirens leptospira dari darah melalui peningkatan opsonisasi dan dengan demikian mengaktifkan fagositosis. Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejalagejala klinis. Hemolisis pada leptospira dapat terjadi karena hemolisin yang tersirkulasi diserap oleh eritrosit, sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun didalam darah sudah ada antibodi. Diastesis hemoragik pada umumnya terbatas pada kulit dan mukosa, 12 pada keadaan tertentu dapat terjadi perdarahan gastrointestinal atau organ vital dan dapat menyebabkan kematian. Beberapa penelitian mencoba menjelaskan bahwa proses hemoragik tersebut disebabkan rendahnya protrombin serum dan trombositopenia. Namun terbukti, walaupun aktivitas protrombin dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin K, beratnya diastesis hemoragik tidak terpengaruh. Juga trombositopenia tidak selalu ditemukan pada pasien dengan perdarahan. Jadi, diastesis hemoragik ini merupakan refleksi dari kerusakan endothelium kapiler yang meluas. Penyebab kerusakan endotel ini belum jelas, tapi diduga disebabkan oleh toksin. Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterus pada leptospirosis. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab ikterus, disamping itu hemoglobinuria dapat ditemukan pada awal perjalanan leptospirosis, bahkan sebelum terjadinya ikterus. Namun akhir-akhir ini ditemukan bahwa anemia hanya ada pada pasien leptospirosis dengan ikterus. Tampaknya hemolisis hanya terjadi pada kasus leptospirosis berat dan mungkin dapat menimbulkan ikterus pada beberapa kasus. Penurunan fungsi hati juga sering terjadi, namun nekrosis sel hati jarang terjadi sedangkan SGOT dan SGPT hanya sedikit meningkat. Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan factor pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat. Gagal ginjal merupakan
9
penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu ke dua, terlihat banyak focus nekrosis pada epitel tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal setelah hari ke dua belas ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula dan korteks). Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi, 13 hipovolemia dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan
nefropati
pada
leptospirosis.
Kadang-kadang
dapat
terjadi
insufisiensi adrenal karena perdarahan pada kelenjar adrenal. Gangguan fungsi jantung seperti miokarditis, perikarditis dan aritmia dapat menyebabkan hipoperfusi pada leptospirosis. Gangguan jantung ini terjadi sekunder karena hipotensi, gangguan elektrolit, hipovolemia atau anemia. Mialgia merupakan keluhan umum pada leptospirosis, hal ini disebabkan oleh vakuolisasi sitoplasma pada myofibril. Keadaan lain yang dapat terjadi antara lain pneumonia hemoragik akut, hemoptisis, meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis, radikulitis, mielitis dan neuritis perifer. Peningkatan titer antibody didalam serum tidak disertai peningkatan antibody leptospira (hamper tidak ada) di dalam cairan bola mata, sehingga leptospira masih dapat bertahan hidup diserambi depan mata selama berbulan-bulan. Hal ini penting dalam terjadinya uveitis rekurens, kronik atau laten pada kasus leptospirosis. (Poerwo, 2002).
2.1.6. Gejala Klinis
Sistem saraf pusat, hati, dan ginjal merupakan organ yang paling sering terkena infeksi bakteri Leptospira pada manusia. Beratnya patologi bervariasi tergantung dari antarsevoar, misalnya infeksi L. icterohaemorrhagiae biasanya lebih berat daripada infeksi L. copenhageni. Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan faktor pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat. Gagal ginjal merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu ke dua, terlihat banyak fokus nekrosis pada epitel tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal setelah hari ke dua belas ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula dan korteks). Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi, hipovolemia dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada
10
leptospirosis. Kadang-kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal karena perdarahan pada kelenjar adrenal. Mialgia merupakan keluhan umum pada leptospirosis, hal ini disebabkan oleh vakuolisasi sitoplasma pada myofibril. Keadaan lain yang dapat terjadi antara lain pneumonia hemoragik akut, hemoptisis, meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis, radikulitis, mielitis dan neuritis perifer. Peningkatan titer antibodi didalam serum tidak disertai peningkatan antibodi leptospira (hamper tidak ada) di dalam cairan bola mata, sehingga leptospira masih dapat bertahan hidup diserambi depan mata selama berbulan-bulan. Hal ini penting dalam terjadinya uveitis rekurens, kronik atau laten pada kasus leptospirosis. Gejala klinik leptospirosis tidak spesifik, sering menyerupai influenza, meningitis aseptika, ensefalitis, dengue fever , hepatitis atau gastro enteritis. Gejala ringan yang timbul berupa panas, lesu, sakit pada otot, dan sakit kepala. Gejala yang berat ditandai dengan demam, ikterus, disertai perdarahan, anemia, azotemia dan gangguan kesadaran. Bentuk berat dari penyakit leptospirosis ini dikenal sebagai
Weil’s disease.
Masa inkubasi leptospirosis 2-26 hari, biasanya 7-13 hari
dengan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai 3 fase penyakit yang khas yaitu: a. Fase leptospiremia
Pada fase ini Leptospira dapat dijumpai dalam darah dan cairan tubuh lain. Gejala ditandai dengan sakit kepala pada daerah frontal, sakit otot betis, paha, pinggang disertai nyeri saat ditekan. Gejala ini diikuti hiperestesi kulit, demam tinggi, menggigil, mual, diare, bahkan penurunan kesadaran. Pada sakit berat dapat ditemui bradikardia dan ikterus (50%). Pada sebagian penderita dapat ditemui fotofobia, rash, urtikaria kulit, splenomegali, hepatomegali, dan limfadenopati. Gejala ini terjadi saat hari ke 4-7. Jika pasien ditangani secara baik, suhu tubuh akan kembali normal dengan organ-organ yang terlibat akan membaik. Fungsi organ-organ ini akan kembali ke 3-6 minggu setelah perawatan. Pada keadaan sakit lebih berat,demam turun setelah hari ke-7 diikuti fase bebas demam 1-3 hari, lalu demam kembali. Keadaan ini disebut sebagai fase kedua atau fase imun. b. Fase Imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, demam hingga 40°C disertai mengigil dan kelemahan umum. Pada leher, perut, dan otot kaki dijumpai
11
rasa sakit. Perdarahan paling jelas saat fase ikterik, dapat ditemukan purpura, peteki, epistaksis, dan perdarahan gusi. Conjuntiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomonisuntuk leptospirosis. Fase ini juga dapat ditandai dengan meningitis, yang dapat menetap dalam beberapa minggu dan menghilang setelah 2 hari. Pada fase ini, leptospira juga dapat dijumpai dalam urin. (Kunadi, 2012) c. Fase Penyembuhan
Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas. Gejala klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa muntah, nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta splenomegali. Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih senang membagi penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik. Berikut perbedaannya:
Tabel 2.1. Tabel perbedaan leptospirosis ikterik dan non ikterik (sumber: Poerwo, 2002)
2.1.7. Diagnosis
Salah satu kendala penanganan leptospirosis adalah kesulitan dalam melakukan diagnosis awal. Biasanya pasien datang dengan berbagai macam keluhan dari berbagai sistem organ seperti: demam, sakit kepala, hepatitis, nefritis, meningitis, pneumonia, influenza, bahkan pankreatitis. Pada anamnesis, penting untuk menanyakan identitas pasien, misalnya pekerjaan dan tempat tinggal. Itu
12
dapat menunjukkan apakah pasien termasuk orang berisiko tinggi atau tidak. Gejala demam, sakit kepala frontal, nyeri otot, mual, muntah, dan foto fobia dapat dicurigai kearah leptospirosis. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lainlain. Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik langsung, spesimen darah segar (pada permukaan masa infeksi) yang dibuat sediaan darah tebal dengan teknik Giemsa, juga dilakukan dengan pembiakan leptospira, berasal dari darah dan cairan serebrospinal (minggu pertama masa sakit) dan urin (sesudah minggu pertama sampai hari ke 40). Spesimen tersebut ditanam pada media Fletcher’s atau media EMJH. Pada media ini, pertumbuhan akan terlihat dalam beberapa hari sampai 4 minggu. Adanya leptospira pada media ini dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap atau menggunakan mikroskop fluoresen ( fluorerescent antibodi stain). Pemeriksaan
uji
imunoserologi
sangat
penting
untuk
diagnosis
leptospirosis. Pada umumnya antibodi baru ditemukan setelah hari ke-7 atau ke10. Titernya akan meningkat dan akan mencapai puncaknya pada minggu ke-3 atau ke-4 masa sakit. Uji imunoserologi yang biasa digunakan: (Levett,2003. Tansupaseri,2005),,,,,,,,,,,,,,,,,, 1. MAT ( Microscopic Agglutination Test ) 2. IgM dot ELISA dipstick test Hasil penelitian terbaru menyebutkan adanya antigen spesifik leptospira, yaitu lipoprotein rLipl32 yang dapat menjadi gold standard diagnosis leptospirosis. (Kunadi, 2012)
2.1.8.Tatalaksana kasus klinis Leptospirosis
Pada
umumnya
leptospirosis
diobati
dengan
antibiotika
seperti
doxycycline atau penicillin. Berhubung ujicobanya memakan waktu dan penyakitnya mungkin parah, dokter mungkin mulai memberi antibiotika itu sebelum meneguhkannya dengan ujicoba. Pengobatan dengan antibiotika dianggap paling efektif jika dimulai dini. Doxycycline merupakan agen profilaktik yang efektif jika pajanan infeksi tampaknya telah terjadi. (Stephen, 2008) Doksisiklin
telah
berhasil
digunakan
dengan
baik
sebagai
agen
kemoprofilaktik untuk personil militer yang mengadakan pelatihan di daerah tropis. Doksisiklin oral dengan dosis 200mg seminggu sekali bila terdapat pemaparan yang berat, memberikan profilaksis yang efektif. Leptospiura
13
dihilangkan dengan ampisin dan beberapa obat beta-laktamnya, tetapi tidak dengan tetrasiklin atau obat beta-laktam tertentu. (Sylvia, 2011)
2.1.9. Pencegahan Leptospirosis
Pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat dilakukan melalui tiga jalur yang meliputi : a. Jalur sumber infeksi
1)
Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
2)
Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti
penisilin,
ampisilin, atau dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan cara pemberian berbeda-beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi. 3)
Mengurangi populasi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.
4)
Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum dengan membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber penampungan air, dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa makanan serta sampah jauh dari jangkauan tikus.
5)
Mencegah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan memelihara lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan semak berlukar, menjaga sanitasi, khususnya dengan membangun sarana pembuangan limbah dan kamar mandi yang baik, dan menyediakan air minum yang bersih.
a) Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan. b) Membuang kotoran hewan peliharaan. Sedemikian rupa
sehinnga tidak
menimbulkan kontaminasi, misalnya dengan pemberian desinfektan. b. Jalur penularan
Penularan dapat dicegah dengan : 1)
Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron, masker)
2)
Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.
3)
Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin, tanah, dan air yang terkontaminasi.
14
4)
Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah atau mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol, tidak menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan tangan telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung tangan.
5)
Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak dengan urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap kemungkinan terinfeksi saat merawat hewan yang sakit.
6)
Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan lantai kandang, rumah potong hewan dan lain-lain.
7)
Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum yang baik, filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira.
8)
Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau bahan bahan kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang.
9)
Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genagan air dan sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira..
10)
Manajemen ternak yang baik. c. Jalur pejamu manusia
1)
Menumbuhkan sikap waspada Diperlukan pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok resiko tinggi terinfeksi kuman leptospira. Masyarakat perlu mengetahui aspek penyakit leptospira, cara-cara menghindari pajanan dan segera ke sarana kesehatan bila di duga terinfeksi kuman leptospira.
2)
Melakukan upaya edukasi Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan caracara edukasi yang meliputi : a) Memberikan selembaran kepada klinik kesehatan, departemen pertanian, institusi militer, dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan mengenai penyakit leptospirosis, kriteria menengakkan diagnosis, terapi dan cara mencengah pajanan. Dicatumkan pula nomor telepon yang dapat dihubungi untuk informasi lebih lanjut. b) Melakukan penyebaran informasi
15
2.1.10. Komplikasi
Komplikasi Meningitis aseptik merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan. Gagal gnjal, kerusakan hati, perdarahan paru, vaskulitis, dan miokarditis jarang ditemukan walaupun pada umumnya sebagai menyebabkan kematian.
2.1.11. Prognosis
Mortalitas pada leptospirosis berat sekitar 10%, kematian paling sering disebabkan karena gagal ginjal, perdarahan masif atau ARDS. Fungsi hati dan ginjal akan kembali normal, meskipun terjadi disfungsi berat, bahkan pada pasien yang menjalani dialisis. Sekitar sepertiga kasis yang menderita meningitis aseptik dapat mengalami nyeri kepala secara periodik. Beberapa pasien dengan riwayat uveitis leptospirosis mengalami kehilangan ketajaman penglihatan dan pandangan yang kabur. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember 2001: 163 – 167 Leptospirosis
16
BAB II ANALISIS DAN PEMBAHASAN A.
Skenario Keadaan Lingkungan dan Kejadian Leptospirosis
Leptospirosis adalah salah satu emerging infection disease di Indonesia, di beberapa daerah belum mendapat prioritas dalam penanganannya. Penyakit ini termasuk zoonosis dan sering terjadi di daerah yang mengalami banjir dengan permukiman yang kurang sehat. Angka kematian di Indonesia cukup tinggi, antara 2,5-16,45%. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56% (Anies et al, 2009). Di Rumah Sakit Umum Kabupaten A tercatat penderita leptospirosis sebanyak 62 pasien termasuk rujukan dari puskesmas. Penyakit tersebut terdistribusi di 9 Kecamatan. Wilayah Puskesmas B merupakan wilayah dengan kejadian tertinggi di Kabupaten tersebut yaitu 12 kasus. Kecamatan B, termasuk daerah yang sering dilanda luapan air sungai yang mengalir membelah wilayah tersebut sehingga menggenangi permukiman. Pembuangan air limbah masih sebatas mengalirkannya ke selokan. Area yang tidak terkena luapan banjir sungai juga terkena luapan air selokan pada waktu musim hujan karena penataan pembuangan air kotor yang belum baik. Masih banyak dijumpai tempat penyimpanan sampah yang tidak tertutup dan tidak terawat, bahkan masih banyak dijumpai keluarga yang belum memiliki bak sampah. Tikus pun dijumpai berkeliaran terutama di malam hari. Lebih dari separuh penduduk masih berpendidikan SMP ke bawah, sementara yang mengenyam pendidikan tinggi hanya sekitar 4-5%. Kebiasaan mandi dan cuci di sungai merupakan hal yang
17
sering dijumpai sehari-hari. Sebagian besar penduduk (61%) bekerja sebagai petani atau buruh tani, yang bekerja biasa tanpa alat pelindung diri terutama dalam kontak dengan air. Puskesmas sebagai ujung tombak upaya kesehatan masyarakat berupaya menanggulangi penyakit tersebut. Bagaimana penyelenggaraannya? B.
Analisis
Dari data pada skenario diatas dapat di identifikasi terdapat permasalahan sebagai berikut: 1. Kejadian 12 kasus penyakit Leptospirosis di wilayah Puskesmas B 2. Penataan pembuangan air kotor atau air limbah yang belum baik 3. Tempat penyimpanan sampah yang tidak tertutup dan tidak terawat 4.
Banyak dijumpai tikus berkeliaran terutama pada malam hari
5. Kebiasaan mandi dan cuci di sungai 6. Berpendidikan SMP kebawah 7. Bekerja sebagai petani/buruh tani tanpa alat pelindung diri saat kontak dengan air 8. Promosi kesehatan
Faktor-faktor tersebut menjadi faktor risiko penyebab 62 pasien rujukan dari puskesmas terjangkit penyakit Leptospirosis. Banjir merupakan suatu media transmisi Leptospira yang berasal dari urin tikus. Air banjir yang mengandung urin tikus tersebut dapat menginfeksi tubuh manusia melalui kontak dengan air tersebut. Adapun penanganan perlu di dilakukan rencana program dengan
18
penanganan dan pengolahan limbah serta pembuatan pembuangan sampah yang layak. Dari permasalahan tersebut yang menjadi perhatian utama adalah kejadian Leptospirosis. Kejadian ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang telah diidentifikasi dalam permasalahan sebagai berikut: 1. Penataan pembuangan air kotor atau air limbah yang belum baik Sarana Pembuangan Air Limbah merupakan tempat yang sering dijadikan tempat tinggal tikus. Hal ini dikarenakan kondisi buangan air dari dalam rumah umumnya terdapat saluran yang terhubung dengan selokan di lingkungan rumah. Media penularan penyakit
Leptospirosis
terjadi
ketika
air
pada
selokan
terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri Leptospira ( Suratman, 2006) 2. Tempat penyimpanan sampah yang tidak tertutup dan tidak terawat Adanya kumpulan sampah disekitar rumah akan menjadi tempat yang disenangi tikus. Keberadaan sampah terutama sampah sisa-sisa makanan yang diletakkan ditempat sampah yang tidak memenuhi syarat (tertutup) dan tidak terawat. 3. Banyak dijumpai tikus berkeliaran terutama pada malam hari Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa hewan-hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis salah satunya adalah rodent (tikus). Untuk melihat keberadaan tikus bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan secara visual, yaitu dengan melihat adanya tanda-tanda keberadaan tikus berupa kotoran tikus, jejak
19
kaki tikus, sisa keratan pada pintu kayu, buku, kawat kasa yang berlubang bekas lewat tikus. 4. Kebiasaan mandi dan cuci di sungai Bagian
penting
dalam
upaya
pencegahan
dan
penanggulangan penyakit menular adalah memutuskan rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghentikan kontak
agen
penyebab
penyakit
dengan
penjamu.
Faktor
pencegahan penularan menitikberatkan pada penanggulangan risiko penyakit seperti lingkungan dan perilaku. Lingkungan yang tidak bersih dan perilaku individu yang tidak bersih dapat mempermudah penularan penyakit (Widoyono,2008) Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa salah satu upaya untuk mencegah terjadinya Leptospirosis yang dapat di lakukan individu adalah dengan menjaga kebersihan individu yaitu dengan cara mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh yang lainnya dengan sabun setelah pergi ke sawah dan setelah kontak dengan air banjir. Selain itu pencegahan juga bisa dilakukan dengan menutup makanan. 5. Berpendidikan SMP kebawah Sebagian dari masyarakat berpendidikan SMP kebawah sehingga pengetahuan tentang kesehatan sangat rendah. Pengetahuan adalah suatu faktor predisposisi seseorang atau masyarakat terhadap kesehatan. Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
20
Pribadi yang mempunyai pengetahuan yang baik tentang suatu penyakit maka kemungkinan besar dapat menghindari atau mencegah terjadinya penyakit tersebut. Dari teori ini bisa dikatakan
bahwa
pengetahuan
kejadian
penyakit
termasuk
mempengaruhi penyakit
terhadap
Leptospirosis
.
(Notoatmodjo,2003) Survei pengetahuan merupakan strategi umum untuk mengumpulkan informasi dan menilai praktek kerja yang aman atau upaya pencegahan di antara populasi berisiko. Survei pengetahuan juga bisa digunakan untuk mengevaluasi program yang ada dan untuk mengidentifikasi strategi yang efektif untuk perubahan perilaku. 6. Bekerja sebagai petani/buruh tani tanpa alat pelindung diri saat kontak dengan air Sebaiknya
bekerja
dengan
menggunakan
Alat
Pelindung Diri (APD) pada saat ingin kontak dengan air genangan banjir, salah satunya dengan memakai alas kaki termasuk sepatu boot dan sarung tangan. (CDC,2010) Seseorang yang tidak melakukan upaya pencegahan maka akan mengakibatkan kemungkinan masuknya bakteri Leptospira ke dalam tubuh akan semakin besar. Bakteri Leptospira masuk tubuh melalui pori-pori tubuh terutama kulit kaki dan tangan, melalui selaput lendir, tubuh yang lecet, dan melalui makanan yang terkontaminasi.
21
7. Promosi kesehatan
Seiring
dengan
meluasnya
penyebaran
penyakit
leptospirosis maka harus dilakukan upaya-upaya penanggulangan penyakit leptospirosis, misalnya dilakukan pelaksanaan kegiatan komunikasi, diperlukan suatu strategi promosi untuk menarik perhatian komunikan atau masyarakat. Promosi kesehatan dapat diartikan sebagai suatu proses untuk
memampukan
masyarakat
dalam
memelihara
dan
meningkatkan kesehatan mereka. Dengan kata lain, promosi kesehatan adalah upaya yang dilakukan terhadap masyarakat sehingga mereka mau dan mampu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri. (Slamet,2002) Definisi di atas menekankan bahwa promosi kesehatan adalah suatu program perubahan perilaku masyarakat yang menyeluruh
dalam
konteks
masyarakatnya.
Bukan
hanya
perubahan perilaku, melainkan juga harus diikuti oleh perubahan lingkungannya. Artinya apabila perubahan perilaku tanpa diikuti oleh perubahan lingkungan tidak akan efektif dan perilaku tersebut tidak akan bertahan lama karena promosi kesehatan bukan sekedar mengubah perilaku saja tetapi juga mengupayakan perubahan lingkungan, sistem dan sebagainya. (Effendy,2002) Kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor, baik internal (dari dalam diri manusia) maupun eksternal (dari luar diri manusia). Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi
22
kesehatan baik individu, kelompok masyarakat dikelompokkan menjadi 4 (Blum, 1974), yaitu: 1) Lingkungan
(environment)
yang
mencakup
lingkungan fisik, sosial, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya. 2) Perilaku (behavior) 3) Pelayanan kesehatan (healthservice) 4) Keturunan (heredity) Tujuan promosi kesehatan adalah membuat orang lain mampu
meningkatkan
kontrol
terhadap
dan
memperbaiki
kesehatan masyarakat dengan basis filosofi yang jelas mengenai pemberdayaan
diri
sendiri
(self
emprofment).
Menurut
Notoatmodjo (2003: 54), ruang lingkup promosi kesehatan berdasarkan tatanan pelaksanaannya dikelompokkan menjadi: a) Promosi kesehatan pada tatanan keluarga (tumah tangga) b) Promosi kesehatan pada tatanan sekolah c) Promosi kesehatan pada tatanan tempat kerja d) Promosi kesehatan pada tatanan tempat-tempat umum e) Promosi kesehatan pada tatanan fasilitas pelayanan kesehatan. Sasaran dari adanya promosi kesehatan adalah: 1) Individu/keluarga
23
2) Masyarakat 3) Pemerintah/lintas sektor/politisi/swasta, 4) Petugas atau pelaksana program Sehubungan
dengan
hal
itu,
promosi
kesehatan
dihubungkan dengan bebeberapa tatanan, antara lain tatanan rumah tangga, tatanan tempat kerja, tatanan institusi kesehatan, tatanan tempat-tempat umum. Agar lebih spesifik menurut Maulana (2009: 22), sasaran kesehatan dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) Sasaran primer, adalah sasaran yang mempunyai masalah, yang diharapkan mau berperilaku sesuai harapan dan memperoleh manfaat paling besar dari perubahan perilaku tersebut. 2) Sasaran sekunder, adalah individu atau kelompok yang memiliki pengaruh atau disegani oleh sasaran primer. Sasaran sekunder diharapkan mampu mendukung pesan-pesan yang disampaikan kepada sasaran primer. 3) Sasaran tersier, adalah para pengembil kebijakan, penyandang
dana,
diberbagai
tingkat
pihak-pihak (Pusat,
yang
berpengaruh
Propinsi,
Kabupaten,
Kecamatan, dan Desa/Kelurahan).
24
25
Tabel II.1.
Scoring Menentukan Masalah
PARAMETER
1. Prevalence
MASALAH Kejadian tertinggi
Penataan
Tempat
Banyak
Kebiasaan
Bekerja tanpa
Tingkat
Kurangnya
kasus penyakit
pembuangan air
penyimpanan
dijumpai
mandi dan
alat pelindung
pendidikan
promosi
Leptospirosis
kotor atau air
sampah yang
tikus
cuci di
diri saat
penduduk rata -
kesehatan
berada di wilayah
limbah yang
tidak tertutup
berkeliaran
sungai
kontak dengan
rata masih
Puskesmas B
belum baik
dan tidak terawat
air
rendah
4
4
3
5
5
5
4
5
2. Serveri ty
5
5
4
5
5
5
5
5
3. R ate %
5
4
3
4
5
5
5
4
5
5
3
5
4
5
5
3
5
4
4
4
5
4
5
4
2
3
4
1
2
2
3
2
incarse 4. Degree of unmeet need 5. Social benefit 6. Public concern
26
7. Technical
3
4
4
2
3
2
3
5
5
-
-
-
-
-
2
3
feasibility study 8. Resource
Availlabilty JUMLAH
34
29
25
26
30
28
32
31
RERATA (sesuai
4.25
4.15
3.57
3.7
4.14
4
4
3.87
jumlah parameter)
27
C. Pembahasan
Leptospirosis terjadi secara sporadik, pada umumnya bersifat self-limited disease dan sulit dikonfirmasi pada awal infeksi. Pengobatanharus dimulai segera pada fase awal penyakit. Secara teori, Leptospira sp. Adalah mikroorganisme yang sensitif terhadap antibiotik. (Setiawan,2008)
Tabel II.2. Manajemen kasus dan kemoprofilaksis leptospirosis berdasarkan
Kriteria Diagnosis WHO SEARO 2009
Indikasi
Regimen dan Dosis
Leptospirosis ringan (mild illness / suspect
Doxycycline(kapsul) 100 mg 2x/ hari
case)
selama 7 hari; atau
Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7hari
Leptospirosis berat (severe case/ probable
Penicillin G (injeksi) 2 juta unit IV / 6 jam
case)
selama 7 hari
Ceftrioxine (injeksi) 1 gr IV/hari selama 7 hari
Kemoprofilaksis
Doxycycline(kapsul) 100 mg 2x/ hari
28
selama 7 hari; atau
Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7hari
Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil studi faktor-faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu pengendalian leptospirosis
terdiri
dari
pencegahan
primer
dan
pencegahan
sekunder.
Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran bisa terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, termasuk disini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya dapat menyebabkan kematian. (Bobby,2001)
Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak terjadi kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi: (Soeharyo,2002) a. Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi
Para pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya pekerja irigasi, petani, pekerja laboratorium, dokter hewan, harus memakai pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi leptospira. Misalnya dengan menggunakan sepatu bot, masker, sarung tangan. Membersihkan tempat-tempat yang nenjadi habitat atau sarang tikus dan meniadakan akses tikus ke lingkungan manusia juga dapat dilakukan dalam upaya pengendalian leptospirosis .
29
b. Melindungi sanitasi air minum penduduk
Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, dilakukan filtrasi dan deklorinai untuk mencegah invasi leptospira. Pencegahan melalui jalur penularan dapat dilakukan dengan mengurangi kontak dengan sumber infeksi seperti air tercemar Leptospira, satwa liar dan hewan yang terinfeksi atau hewan karier.
c. Pemberian vaksin
Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut, akan memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai pencegahan bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun spesifik telah terbukti melindungi pekerja
laboratorium.Vaksinasi
terhadap
hewan
peliharaan
efektif
untuk
mencegah leptospirosis.
d. Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis e. Pengendalian hospes perantara leptospira
Roden yang diduga paling poten sebagai karier leptospira adalah tikus. Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan bahan rodentisida, dan menggunakan predator roden.
f. Usaha promotif
Untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara edukasi, dimana antara daerah satu dengan daerah yang lain mempunyai serovar dan epidemi leptospirosis yang berbeda. Untuk mendukung usaha promotif ini diperlukan
30
peningkatan kerja antar sektor yang dikoordinasikan oleh tim penyuluhan kesehatan masyarakat Dinas Kesehatan setempat. Petugas kesehatan yang menemukan kasus dapat melaporkan langsung kepada dinas kesehatan setempat. Dan pasien leptospirosis kemudian dirujuk ke fasilitas pelayanan sekunder yang memiliki fasilitas hemodialisis setelah penegakkan diagnosis dan terapi awal.
Pencegahan leptospirosis dan proses surveilans yang baik sangat diharapkan bisa membantu mengurangi insidensi dan fatalitas kasus leptospirosis di suatu wilayah (WHO,2009). Proses pencegahan menjadi sulit karena adanya banyak inang dan serotipe dari leptospira. Perlindungan diri adalah hal yang paling utama yang selayaknya disampaikan dan diingatkan secara berulang kepada kelompok masyarakat yang berisiko terjangkit leptospirosis. Menggunakan alat pelindung diri adalah suatu kesadaran mutlak yang harus dimiliki setiap orang.
Pokok-pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan hasil studi faktor risiko terjadinya leptospirosis, antara lain usia, jenis kelamin, higiene perorangan seperti kebiasaan mandi, riwayat ada luka, keadaan lingkungan yang tidak bersih, disamping pekerjaan, sosial ekonomi, populasi tikus, dan lain-lain. Perlu diperhatikan bahwa leptospirosis lebih sering terjadi pada laki-laki dewasa, mungkin
disebabkan
oleh
paparan
pekerjaan
dan
kegiatan
sehari-hari.
(Bobby,2001)
Pencegahan sekunder leptospirosis berupa pengobatan terhadap pasien yang didiagnosis menderita leptospirosis. Salah satu hal yang menguntungkan dalam pengobatan ini ialah pengobatan kausal tidak tergantung pada subgrup maupun serotipe leptospira. Untuk pengobatan Leptospirosis ringan (mild illness/suspect case) dapat menggunakan Doxycycline(kapsul) 100 mg 2x/ hari selama 7 hari;
31
atau Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7 hari. Sedangkan untuk Leptospirosis berat ( severe case/ probable case ) dapat menggunakan Injeksi Penicillin G 2 juta unit IV / 6 jam selama 7 hari; Injeksi Ceftrioxine 1 gr IV/ hari selama 7 hari.
Pengelolaan secara umum penderita leptospirosis sama dengan penyakit sistemik akut yang lain. Rasa sakit diobati dengan analgetika, gelisah, dan cemas dikendalikan dengan sedatif, demam diberi santipiretik, jika terjadi kejang pemberian sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. (Soeharyo,2002)
Selain melindungi tubuh, melindungi bahan pangan juga tidak kalah pentingnya. Tikus gemar mencari tempat penyimpanan bahan pangan, mulai gudang beras hingga hidangan di atas meja. Masyarakat selayaknya diberikan kesadaran untuk selalu mengunci atau melindungi penyimpanan bahan pangan dengan baik. Tidak lupa kebersihan diri, dan kewaspadaan masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah yang potensi baik bagi kembang biak inang leptospira, dalam hal ini tikus.
32
BAB III RENCANA PROGRAM A. Rencana Kegiatan
Untuk mempermudah penyelesaian masalah pada skenario diatas dapat
menggunakan system
scoring .
Hal
ini
dilakukan
untuk
mempermudah penyelesaian masalah berdasarkan skala prioritas dari yang tertinggi sampai yang terendah. Skala prioritas penyelesaian masalah yang ditemukan Tabel III.1 Penentuan prioritas penyelesaian masalah
P=MxIxV No
Kegiatan
M
I
V
C
C Penataan pembuangan air kotor 01
5
3
2
3
10
5
3
1
2
7.5
5
3
3
2
22.5
yang belum baik Manajemen pembuangan sampah 02 yang belum baik Kurangnya pengetahuan mengenai 03 leptospirosis (Penyuluhan)
Keterangan: P
: Prioritas penyelesaian masalah
M
: Magnitude, besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi dilaksanakan (turunnya prevalensi dan besarnya masalah lain)
33
I
: Implemetasi, kelanggengan selesai masalah
V
: Vulnerability, sensitifnya dalam mengatasi masalah
C
: Cost , biaya yang diperlukan Berdasarkan tabel perbaikan prioritas masalah yang dilakukan
dengan metode scoring , maka prioritas pertama penyelesaian masalah yang kami lakukan adalah meningkatkan daya keilmuan/pengetahuan masyarakat tentang leptospirosis di kecamatan B. B. Rencana Program
Rencana program yang sesuai dengan prioritas masalah yang dipilih dengan menggunakan metode scoring , yaitu meningkatkan keilmuan/pengetahuan
mengenai
leptospirosis
dengan
kegiatan
sebagaimana tercantum dalam tabel berikut.
34
Tabel III.2 Rencana Kegiatan di Kecamatan B
No
01
Kegiatan
Menyiapkan tenaga
Sasaran
Target
Volume Kegiatan
Rincian kegiatan
Petugas
100%
1 tim yang telah
Memilih
kesehatan
tenaga siap
ditunjuk
siap
puskesmas
Tenaga
pelaksanaan
pelaksana
tenaga yang Di puskesmas B melaksanakan kabupaten A
tugas
Menyiapkan alat dan
Alat dan bahan
100%
bahan penyuluhan
media
dan
penyuluhan
Lokasi
siap
alat 1 set bahan dan bahan perlengkapan
Kebutuhan pelaksana
Petugas
Minggu
kesehatan
I
ATK
puskesmas
Inventarisasi kebutuhan
Di puskesmas B
Petugas
bahan dan alat
kabupaten A
kesehatan
Check and recheck
jadwal
puskesmas
35
02
Penyuluhan/promosi
Seluruh
95% dapat 1 x
Memberikan
kesehatan
masyarakat
memahami
seputar leptospirosis.
kec. B
materi
Di kecamatan B
yang dan
balai Petugas kesehatan
Minggu LCD, II
puskesmas
sound system,
berumur ≥ 20
mempraktek
ATK,
th
annya
poster, door prize
03
Praktik cuci tangan
Seluruh
100% dapat 1 x
Memberikan
Di
masyarakat
memahami
penjelasana seputar cuci
kecamatan B
kec. B
yang dan
tangan,
berumur
≥ 20 mempraktek
Memberikan
annya
(praktik) cara
th
balai Petugas kesehatan puskesmas
contoh mencuci
Minggu
Sound
II
system Sabun cuci tangan Handrub
36
tangan yg baik dan
Tissue
benar Melakukan peserta
bersama
cuci tangan
yang baik dan benar
37
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Leptospirosis merupakan penyakit yang tersebar luas di dunia, terutama di area tropis dan subtropis yang memiliki curah hujan tinggi. Prevalensi tinggi terjadinya leptospirosis dijumpai di negara-negara berkembang. Hal tersebut dikarenakan perhatian akan kesehatan personal dan lingkungan di negara berkembang sangat kurang. Penyakit ini ditransmisikan melalui urin dari hewan yang terinfeksi atau kontak dengan tempat yang terkena urin hewan terinfeksi yang masih lembab. Manusia dapat terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air atau tanah yang sudah mengandung urin hospes, selain itu bisa juga karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Leptospirosis jarang ditularkan dari manusia ke manusia yang lain.
Jadi, dengan diadakannya kegiatan penataan pembuangan air kotor, manajemen pembuangan sampah dan penyuluhan mengenai Leptospirosis, diharapkan masyarakat menyadari dan mengetahui bagaimana cara mencegah timbulnya penyakit Leptospirosis.
38
B. Saran
Pencegahan atau pengendalian Leptospirosis dapat dilakukan dengan cara memutus siklus penularan melalui pengobatan dan vaksinasi bagi ternak atau hewan kesayangan, mengurangi populasi tikus, meningkatkan sanitasi lingkungan dengan mengenali dan menghindari air dan tanah yang potensial terkontaminasi lalu menyediakan dan memperbaiki fasilitas pembuangan air limbah dan sampah rumah tangga. Dalam upaya pencegahan leptospirosis pada manusia memerlukan aktivitas terintegrasi antara dokter hewan dan dokter, dan peningkatan pengetahuan serta pemahaman masyarakat tentang bahaya leptospirosis. Serta memberikan alat pelindung diri (APD) seperti boots, apron, sarung tangan, pada pekerja-pekerja yang berada pada tempat yang riskan terkontaminasi.
39
DAFTAR PUSTAKA Bobby Setadi, Andi Setiawan, Daniel Effendi, Sri Rezeki Hadinegoro. 2001. Petunjuk praktis leptospirosis. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember: 163 – 167.
Available
from:
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/3-3-10.pdf
(Diakses 18 Juli 2017) CDC. 2010. Leptospirosis Pre-decision Brief for Public Health Action. Centers for Disease Control and Prevention: Atlanta. Effendy, Nasrul. 2002. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat . Jakarta: EGC. Jawetz, Melnick, dan Adelberg. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Maulana HDJ. 2009. Promosi Kesehatan.Jakarta: EGC, hal. 22. Muliawan, Sylvia Y. 2008. Bakteri Spiral Patogen (Treponema, Leptospira, dan Borrelia). Jakarta: Penerbit Erlangga. Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar . Jakarta : Rineka Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta: Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Setiawan, I Made. 2008. Clinical and Laboratory Aspect of Leptospirosis in Humans volume.27-No.28. Universa Medicina. Slamet, Juli Soemirat. 2002. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
40
Soeharyo
Hadisaputro.
2002. Kumpulan
Makalah
Simposium
Leptospirosis: Faktor-Faktor Risiko Leptospirosis. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Widoyono.
2008. Penyakit
Tropis
(Epidemiologi,
Penularan,
Pencegahan, dan Pemberantasan). Jakarta : Penerbit Erlangga. World Health Organization. 2003. Human leptospirosis: guidance for diagnosis,
surveillance,
and
control .
Available
from:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf (diakses : 18 Juli 2017) World Health Organization (Regional Office for South-East Asia). 2009. Informal Expert Consultation on Surveillance, Diagnosis, and Risk Reduction
of
Leptospirosis.
Available
from:
http://www.searo.who.int/entity/emerging_diseases/topics/Communicable_Dis eases_Surveillance_and_response_SEA-CD-217.pdf(diakses : 18 Juli 2017) Zein U. 2010. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Leptospirosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Vol 3.5 th ed. Jakarta: Interna Publishing.
41