Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian Pengendalian Konversi Lahan Pertanian Penyunting: Undang Kurnia, F. Agus, D. Setyorini, dan A. Setiyanto
PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN: TINJAUAN ULANG KEBIJAKAN LAHAN PERTANIAN ABAD AGRICULTURAL AGRICULTURAL LAND CON VERSION VERSION C ONTROL: RE-EXAMINATION OF ETERNAL AGRICULTURAL LAND Pantjar Simatupang dan Bambang Irawan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor
ABSTRAK Sensus pertanian yang menyebutkan terjadinya konversi lahan pertanian seluas 1,28 juta hektar, antara tahun 1983-1993 menyebabkan debat mengenai konversi lahan. Total lahan pertanian berkurang seluas 2,47 juta hektar, sedangkan pertambahannya hanya seluas 1,19 juta hektar dalam kurun waktu tersebut. Dari luasan konversi lahan tersebut 1,01 juta hektar (79 persen) terjadi di pulau Jawa dan sebagian terbesar yang dikonversi adalah lahan sawah beririgasi. Konversi yang terjadi di pulau Jawa yang selain merupakan lumbung pangan nasional juga dengan tekanan penduduk yang tinggi menyebabkan kekhawatiran akan ketahanan pangan dan penyediaan lapangan kerja di pedesaan. Peraturan yang ada selama ini kurang efektif, terlebih lagi dengan era otonomi daerah yang dapat menyebabkan lebih lemahnya efektivitas kontrol terhadap konversi lahan pertanian. Disadari bahwa konversi lahan pertanian merupakan isu strategis dalam ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani, dan pengentasan kemiskinan serta pembangunan ekonomi berbasis pertanian. Konversi lahan pertanian tidak terhindari antara lain,
Simatupang dan Irawan
irrigated paddy fields. Land conversion in Java island, the national rice belt with a high population pressure, threats food security and affected also the rural job opportunities. In-effective laws and regulations worsened by the autonomy resulted in less control of land conversion. Agricultural land conversion is regarded as a strategic issue in food security, improving farmers’ welfare and eliminating poverty. Land conversion might not be avoided because of: (1) economic development is progressing rapidly and population is increasing especially in land scarce area; (2) market mechanism of low interest economic in agriculture than non-agricultural demand; and (3) land conversion is contagious. Policy for allocation permanent agricultural land is one of the theoretical options in controlling land conversion. In practice, this option is extremely difficult to implement even in areas with moderate demand of land conversion rate. The more promising policy approach is compensation mechanism and controlling of socio-economic and judicial systems. PENDAHULUAN
Isu yang berkaitan dengan konversi lahan pertanian semakin marak diperdebatkan sejak diterbitkannya hasil sensus pertanian, yang mengungkapkan bahwa antara tahun 1983 – 1993 telah terjadi penyusutan lahan pertanian seluas 1,28 juta ha. Penyusutan lahan tersebut disebabkan oleh proses konversi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian, sehingga total lahan pertanian berkurang seluas 2,47 juta ha, sedangkan penambahan lahan pertanian akibat pembukaan areal baru hanya mencapai 1,19 juta ha. Seluas 1,01 juta ha (sekitar 79%) dari total penyusutan lahan pertanian tersebut terjadi di pulau Jawa dan sebagian besar lahan pertanian yang dikonversi merupakan lahan sawah beririgasi. Karena Jawa merupakan lumbung
Pengendalian Konversi Lahan Pertanian
pemanfaatan lahan sebenarnya telah diterbitkan pemerintah untuk mengendalikan konversi lahan pertanian namun pengalaman menunjukkan bahwa peraturan-peraturan tersebut kurang efektif. Pada masa pemerintahan otonomi daerah, peraturan-peraturan tersebut yang umumnya diterbitkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah propinsi, diperkirakan semakin kurang efektif lagi karena pemerintah kabupaten/kotamadya memiliki kemandirian yang luas dalam merumuskan kebijakan pembangunannya. Bertolak dari sistem kelembagaan yang lemah dalam mengendalikan konversi lahan pertanian, maka sejak tahun 2000 muncul gagasan pembentukan lahan pertanian abadi yang cukup intens diperdebatkan. Pada intinya gagasan tersebut ditujukan untuk mempertahankan keberadaan lahan pertanian dari ancaman konversi lahan. Kebijakan tersebut dinilai penting mengingat konversi lahan yang berlebihan dan tidak terkendali dapat menimbulkan dampak luas terhadap pencapaian tujuan pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Misalnya, konversi lahan sawah irigasi teknis yang berproduktivitas tinggi dapat memperbesar masalah ketahanan pangan nasional yang pada dewasa ini justru cenderung meningkat akibat stagnasi pertumbuhan produktivitas usaha tani tanaman pangan terutama padi dan faktor lainnya. Masalahnya adalah, bagaimana konsepsi kebijakan lahan pertanian abadi tersebut dan bagaimana pula operasionalisasinya serta upaya apa yang perlu ditempuh untuk mewujudkan gagasan tersebut. Makalah ini mengungkapkan beberapa pemikiran yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Beberapa topik yang dijadikan fokus bahasan meliputi besaran, determinan, dampak, dan kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian. BESARAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN
Simatupang dan Irawan
terhadap upaya kita dalam memantapkan ketahanan pangan nasional, meningkatkan kesejahteraan petani serta pengentasan kemiskinan di pedesaan. Tabel 1. Alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian di Indonesia, 1994-1999 Jenis lahan
1994/95
1995/96
1996/97
1997/98
1998/99
Total
ha Sawah
11.427
17.229
26.133
960
1.968
57.717
Tegalan
2.723
6.105
3.372
1.107
1.126
14.433
Kebun campuran
7.525
6.878
3.167
237
3.017
20.824
Perkebunan
1.497
499
1.525
6.894
87
10.502
Total
23.172
30.711
34.197
9.198
6.168
103.476
Sumber: BPN, 2001
Selama periode tahun 1994-1999, total luas lahan pertanian yang beralih fungsi mencapai 103.476 ha. Ironisnya, lebih dari separuh lahan yang beralih fungsi tersebut adalah lahan sawah, basis dari usaha tani padi, palawija, dan tanaman pangan lainnya. Lebih parah lagi, sekitar 70% (73.922 ha) dari total lahan pertanian yang beralih fungsi tersebut terjadi di Jawa (Tabel 2), lahan pertanian yang paling subur dan dimana rata-rata luas pemilikan lahan paling kecil secara nasional. Masalahnya keprihatinan kita semakin bertambah karena ternyata 48.573 ha atau 84% dari total 57.717 ha lahan sawah yang beralih fungsi justru terjadi di pulau Jawa, lahan yang paling produktif untuk padi. Dilihat dari komoditas pertanian, dampak terbesar konversi lahan pertanian ialah terhadap penurunan produksi padi.
Pengendalian Konversi Lahan Pertanian
lahan juga merupakan salah satu penyebab utama berlanjutnya proses marjinalisasi usaha pertanian rakyat, yang berarti juga merupakan faktor penghambat dalam upaya menghapuskan kemiskinan absolut yang masih dominan di wilayah pedesaan. Oleh karena itu, fenomena konversi lahan pertanian merupakan ancaman serius terhadap pembangunan nasional, khususnya dalam pemantapan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, sehingga pengendalian konversi lahan mutlak perlu dijadikan sebagai prioritas utama agenda kebijakan nasional. DETERMINAN DAN PROSES KONVERSI LAHAN PERTANIAN
Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Dari sisi ekonomi lahan merupakan input tetap yang utama bagi berbagai kegiatan produksi komoditas pertanian dan nonpertanian. Banyaknya lahan yang digunakan untuk setiap kegiatan produksi tersebut secara umum merupakan permintaan turunan dari kebutuhan dan permintaan komoditas yang dihasilkan. Oleh karena itu perkembangan kebutuhan lahan untuk setiap jenis kegiatan produksi akan ditentukan oleh perkembangan jumlah permintaan setiap komoditas. Pada umumnya permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan kurang elastis terhadap pendapatan dibandingkan permintaan komoditas nonpertanian. Konsekuensinya adalah pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan pendapatan cenderung menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar pertanian dengan laju lebih cepat dibandingkan kenaikan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian. Walaupun secara kualitas sumber daya lahan dapat ditingkatkan, tetapi secara
Simatupang dan Irawan
lahan pertanian merupakan dinamika tataguna dan alokasi sumber daya lahan akibat terjadinya pergeseran struktural dalam perekonomian dan tekanan penduduk. Pergeseran struktural ini secara umum merupakan ciri perkembangan ekonomi suatu negara dan bersamaan dengan itu sektor pertanian yang berbasis sumber daya lahan secara bertahap dihadapkan pada sewa lahan dan biaya produksi serta opportunity cost yang semakin tinggi akibat meningkatnya permintaan lahan untuk sektor lain yang lebih menguntungkan. Dengan demikian konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan terhadap lahan meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari. Bagi daerah yang tingkat kelangkaan lahannya tinggi seperti di Jawa, konversi atau alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian sangatlah sulit dihindari. Pedesaan berkembang menjadi perkotaan dan daerah industri, sehingga kebutuhan lahan untuk industri, perumahan dan sarana publik yang menghasilkan keuntungan ekonomi lebih tinggi per satuan lahan mengalami peningkatan dan diikuti dengan kenaikan harga lahan pertanian yang akhirnya meningkatkan biaya produksi dan opportunity cost sektor pertanian. Faktor ekonomi itulah yang seringkali menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan di luar pertanian. Kondisi demikian memang sulit dihindari mengingat pemanfaatan lahan untuk kegiatan di luar pertanian memberikan keuntungan per satuan lahan yang jauh lebih tinggi. Hal ini dicerminkan oleh nilai land rent lahan untuk penggunaan pertanian yang sangat rendah dibandingkan kegiatan lain yaitu sekitar 1: 500 untuk kawasan industri dan 1 : 622 untuk kawasan perumahan (Nasoetion dan Winoto, 1996).
Pengendalian Konversi Lahan Pertanian
relatif lemah. Kondisi demikian dapat terjadi akibat penilaian pasar terhadap lahan pertanian yang cenderung under estimate karena lahan pertanian dianggap hanya menghasilkan komoditas pertanian yang berharga murah dan bernilai tambah rendah. Persepsi demikian melekat pada hampir seluruh lapisan masyarakat termasuk para ekonom dan birokrat. Dalam perhitungan ekonomi makropun persepsi demikian sangat dominan sehingga pertumbuhan ekonomi yang direfleksikan dalam pertumbuhan GDP (gross domestic product ) hanya diukur dari nilai produksi pertanian secara fisik, padahal lahan pertanian memiliki multifungsi yang sangat luas secara lingkungan dan sosial. Persepsi demikian pula yang menyebabkan konversi lahan pertanian seringkali berlangsung dengan dukungan birokrasi daerah dengan alasan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah meskipun kadangkala alasan individual yang lebih dominan. Selain oleh tarikan permintaan yang sangat besar, konversi lahan pertanian juga dipercepat oleh dorongan penawaran. Pertama, laba atau rente usaha pertanian relatif rendah dan cenderung menurun. Penurunan rente lahan pertanian merupakan konsekuensi dari penurunan sekuler nilai tukar pertanian sebagai akibat dari sifat permintaan terhadap produk pertanian yang tidak elastis terhadap permintaan. Selain itu, struktur pasar output usaha pertanian cenderung bersifat monopsonistik, sementara struktur pasar input usaha tani bersifat oligopolistis. Harga produk pertanian umumnya fleksibel ke bawah namun tidak fleksibel ke atas, sementara harga input usaha tani tidak fleksibel ke bawah namun fleksibel ke atas. Rente lahan pertanian yang rendah dan cenderung menurun umumnya mengakibatkan reservasi harga jual lahan pertanian (harga minimum agar mau menjual) relatif rendah sehingga resistensi terhadap daya tarik permintaan konversi sangat rendah dan cederung menurun. Kedua,
Simatupang dan Irawan
dan spasial. Hal ini dapat terjadi akibat adanya gejala epidemis (menular) pada proses konversi lahan tersebut, dengan kata lain konversi lahan yang terjadi di suatu lokasi cenderung merangsang konversi lahan yang lain di lokasi sekitarnya. Sedangkan gejala epidemis tersebut dapat disebabkan oleh dua faktor yang saling terkait yaitu : (1) sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di lokasi lahan pertanian yang mengalami konversi, aksesibilitas di lokasi yang bersangkutan semakin baik akibat berkembangnya sarana/prasarana transportasi. Peningkatan aksesibilitas tersebut selanjutnya merangsang peningkatan permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di lokasi sekitarnya mengalami peningkatan, dan (2) meningkatnya harga lahan selanjutnya mendorong petani lain di sekitarnya untuk menjual lahannya. Sebagian dana penjualan lahan tersebut biasanya digunakan untuk membeli lahan kembali dengan harga lebih murah, biasanya semakin menjauhi daerah perkotaan. Untuk kasus di Jawa, Irawan et al. (2000) mengungkapkan adanya penyebaran spasial kasus konversi lahan seperti yang telah diuraikan. Selama 19881993 sekitar 63% kabupaten di Jawa mengalami konversi lahan dengan total luas konversi sekitar 142 ribu ha/tahun dan selama 1993-1998 naik menjadi 73% kabupaten dengan luas konversi lahan 177 ribu ha/tahun. Kajian dengan data kecamatan menunjukkan hasil yang senada dimana kasus konversi lahan sawah di Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami peningkatan dari 184 kasus dan 95 kasus selama 1994-1996 menjadi 236 kasus dan 135 kasus selama 1996-1998. Dari total kecamatan yang mengalami konversi lahan tersebut sangat jarang yang mengalami konversi lahan secara berulang-ulang selama 1994-1998. Hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan sawah cenderung semakin menyebar secara spasial, bukan semakin
Pengendalian Konversi Lahan Pertanian
WACANA KEBIJAKAN LAHAN PERTANIAN ABADI
Penetapan lahan pertanian abadi merupakan salah satu opsi kebijakan yang oleh sebagian pihak dianggap paling tepat untuk mencegah proses alih fungsi lahan pertanian. Pada dasarnya lahan pertanian abadi adalah penetapan suatu kawasan sebagai daerah konservasi, atau perlindungan, khusus untuk usaha pertanian. Alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian dilarang dengan suatu ketetapan peraturan perundang-undangan. Jika dapat dilaksanakan secara efektif maka pastilah konversi lahan di kawasan konservasi tersebut tidak akan terjadi. Secara teoritis, dengan asumsi dapat diefektifkan, opsi kebijakan inilah yang paling ampuh untuk mencegah konversi lahan pertanian. Namun yang justru paling diragukan ialah asumsi dapat diefektifkan itu. Telah dikemukakan, akar penyebab konversi lahan pertanian ialah pertumbuhan dan perkembangan ekonomi maupun penduduk, yang di Indonesia keduanya masih akan terus sangat besar sehingga konversi lahan pertanian mustahil dapat dihentikan sepenuhnya, lebih-lebih di kawasan pusat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, upaya mencegah konversi lahan pertanian ibarat membendung air bah, bendungan yang dibangun pasti luber atau bobol sehingga bencana banjir tak terelakkan. Penetapan lahan abadi, yakni melarang alih fungsi lahan pertanian, di kawasan pusat pertumbuhan ekonomi dan atau padat penduduk sangat sulit, kalau tidak mau mengatakan mustahil diefektifkan. Sudah barang tentu, di kawasan pertanian dimana permintaan untuk alih fungsi lahan pertanian sangat kecil atau praktis tidak ada, misalnya di daerah terpencil, penetapan lahan pertanian abadi mungkin dapat diefektifkan. Namun, tanpa
Simatupang dan Irawan
perlu menetapkan kawasan konservasi pertanian sebagai bagian dari upaya konservasi alam dan budaya. Untuk itu, pemerintah perlu memberikan subsidi atau insentif khusus agar ada warga negara yang mau jadi petani. Kondisi dan motivasi demikianlah yang mendorong gagasan lahan pertanian abadi seperti di Jepang. KEBIJAKAN STRATEGIS PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN
Proses konversi lahan pertanian pada umumnya berlangsung melalui dua tahapan yaitu: (1) pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada nonpetani yang kemudian diikuti dengan (2) pemanfaatan lahan pertanian tersebut untuk kegiatan di luar pertanian. Dampak konversi lahan yang berupa penurunan kapasitas produksi pertanian, penurunan daya serap tenaga kerja pertanian, hilangnya investasi pertanian dan meningkatnya masalah sosial dan lingkungan pada dasarnya baru terjadi pada tahap kedua. Namun tahap kedua tersebut tidak akan terjadi tanpa melalui tahap pertama karena sebagian besar lahan pertanian dimiliki oleh petani. Oleh karena itu penanganan masalah konversi lahan pertanian sebenarnya dapat ditempuh melalui tiga pendekatan yaitu: (1) mengendalikan pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada nonpetani, (2) mencegah alih fungsi lahan, dan (3) menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh konversi lahan. Masing-masing pendekatan tersebut memerlukan instrumen kebijakan yang berbeda. Jika penjualan lahan petani merupakan suatu proses rasional yang mengacu pada prinsip ekonomi maka pemberian insentif ekonomi kepada petani merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mencegah penjualan lahan petani. Namun
Pengendalian Konversi Lahan Pertanian
ekonomi kepada petani belum tentu efektif untuk mencegah penjualan lahan petani karena proses transaksi lahan tersebut tidak merupakan fenomena ekonomi secara murni atau terjadi melalui mekanisme pasar. Pendekatan kedua dapat dilakukan dengan menghambat dan mencegah alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian. Gagasan penetapan lahan pertanian abadi termasuk dalam kategori ini. Kebijakan seperti ini jelas termasuk kategori melawan pasar lahan. Pertanyaannya, apakah kekuatan pasar yang sangat besar dapat dilawan? Pada pendekatan ketiga, dampak negatif konversi lahan diatasi dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan lain yang mampu mengkompensasikan peluangpeluang yang hilang akibat konversi lahan. Pencetakan sawah baru dan pembangunan jaringan irigasi adalah contoh dari penerapan pendekatan tersebut. Dengan kedua cara tersebut maka dampak konversi lahan terhadap masalah pangan nasional memang dapat ditanggulangi. Namun cara ini pada akhirnya tetap akan dibatasi oleh sumber daya lahan yang tersedia dan membutuhkan dukungan dana yang besar. Selain itu, pendekatan ini tidak mampu mengatasi masalah sosial dan lingkungan yang terjadi di lokasi atau di daerah yang mengalami konversi lahan karena pencetakan sawah atau pembangunan jaringan irigasi yang ditempuh biasanya bukan dilakukan di daerah yang mengalami konversi lahan, tetapi di daerah lain yang sumber daya lahannya masih tersedia. Fenomena demikian terjadi karena konversi lahan pertanian umumnya terjadi di daerah dengan kelangkaan lahan tinggi sehingga peluang pembukaan sawah baru atau pembangunan jaringan irigasi sangat terbatas. Pada masa pemerintahan otonomi dimana egoisme daerah semakin kental, pendekatan demikian mungkin akan semakin sulit diterapkan jika dana pembangunan yang dibutuhkan diserahkan kepada masing-masing daerah.
Simatupang dan Irawan
kegiatan pembangunan termasuk lahan pertanian yang dapat dikonversi ke penggunaan di luar pertanian dan (2) peraturan-peraturan yang mengatur prosedur pelaksanaan konversi lahan pertanian. Selama ini sudah cukup banyak peraturan pemerintah yang berkaitan dengan konversi lahan pertanian tersebut (Lampiran 1). Peraturan-peraturan tersebut dalam batas tertentu mungkin berhasil memperlambat proses konversi lahan tetapi tidak memberikan solusi yang utuh bagi berbagai pihak yang berkepentingan dengan pemanfaatan lahan. Kondisi demikian menyebabkan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pemanfaatan lahan pertanian yang tersedia, misalnya para pengembang perumahan dan industri, cenderung mencari celah-celah hukum yang ada agar mereka tetap dapat melakukan konversi lahan yang mereka inginkan tanpa melanggar peraturan yang berlaku. Pengalaman menunjukkan bahwa kedua instrumen yang digunakan dalam mengatur pemanfaatan lahan terkesan kurang efektif dalam mengendalikan konversi lahan. Keterbatasan transparansi merupakan kelemahan utama yang melekat pada pengaturan lokasi kegiatan pembangunan (RUTRW) sehingga kontrol masyarakat tidak dapat berlangsung secara efektif. Sedangkan peraturan yang mengatur konversi lahan pertanian memiliki berbagai kelemahan yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Obyek lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan relatif mudah direkayasa sehingga konversi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku. 2. Peraturan yang berlaku secara umum lebih bersifat himbauan dan tidak dilengkapi dengan sangsi yang jelas, baik yang menyangkut besarnya sangsi maupun pihak yang dikenai sangsi.
Pengendalian Konversi Lahan Pertanian
Pengendalian konversi lahan dengan peraturan-peraturan yang bersifat larangan akan sulit dijamin efektivitasnya selama tidak didukung dengan sistem pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang berlaku. Padahal sudah menjadi pendapat umum bahwa penegakan supremasi hukum di Indonesia masih sangat lemah akibat berbagai faktor. Untuk mengoptimalkan pengendalian konversi lahan pertanian maka diperlukan perubahan pendekatan, yaitu dari pelarangan juridis menjadi akomodasi kompensatif dan pengendalian sosio – ekonomi – yuridis. Dengan pendekatan akomodasi kompensatif, proses alih fungsi lahan dapat diterima sebagai kenyataan yang tak terhindarkan namun dampak negatifnya dinetralisir dengan membuka lahan pertanian baru dan atau merehabilitasi lahan pertanian yang ada, cukup luas dan produktif sehingga setidaknya dapat mengkompensasi penurunan kapasitas produksi akibat konversi lahan pertanian tersebut. Pendekatan ini dapat diimplementasikan antara lain dengan Program Rehabilitasi dan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pertanian dan Program Perluasan Areal Pertanian. Program Rehabilitasi dan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pertanian dapat dilaksanakan melalui: (a) upaya rehabilitasi dan pembangunan sistem irigasi; (b) upaya optimalisasi pemanfaatan “lahan tidur” dan “lahan terlantar”, dan (c) upaya pencetakan sawah baru. Selain melalui upaya pembangunan fisik, program ini hanya dapat berhasil bila ditunjang dengan kebijakan insentif usaha tani, fasilitasi pembiayaan dan penataan kelembagaan kepemilikan lahan. Program ini dapat dikategorikan program jangka pendek. Sesuai dengan lingkup mandatnya, saat ini Departemen Pertanian sedang
Simatupang dan Irawan
Pengendalian konversi lahan pertanian melalui pendekatan sosio-ekonomi juridis dimaksudkan untuk memperlambat dan mengarahkan proses alih fungsi lahan pertanian, sehingga dampak negatifnya dapat ditekan atau diakomodir, melalui penetapan peraturan dan perundang-undangan yang disusun berdasarkan prinsip sosial-ekonomi sehingga dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien. Termasuk dalam kategori ini ialah: (a) penataan struktur pajak dan iuran pembangunan berbasis lahan, (b) penyusunan rencana dan pengawasan implementasi tata ruang wilayah; dan (c) penataan sistem kepemilikan lahan. Secara terinci kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian berupa program aksi disajikan dalam Lampiran 2. KESIMPULAN
1.
Konversi lahan pertanian, khususnya lahan sawah di Jawa, memang cukup besar sehingga merupakan salah satu penyebab utama kecenderungan berlanjutnya marjinalisasi usaha tani dan menurunnya laju pertumbuhan produksi tanaman pangan di Indonesia. Dampak konversi lahan pertanian bersifat permanen karena konversi lahan pertanian juga permanen. Sekali beralih fungsi ke nonpertanian, praktis tidak akan berubah lagi ke fungsi pertanian.
2.
Proses konversi lahan pertanian merupakan fenomena alamiah, tidak mungkin dicegah selama ekonomi dan atau penduduk masih terus tumbuh dan berkembang. Kebijakan yang bersifat melarang konversi lahan termasuk penetapan lahan pertanian abadi, sangat sukar diefektifkan.
3.
Strategi kebijakan yang dianjurkan ialah akomodasi kompensatif dan
Pengendalian Konversi Lahan Pertanian
Jamal, E. 1999. Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Alih Fungsi Lahan Sawah ke Penggunaan Nonpertanian di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Thesis Program Pasca Sarjana. IPB, Bogor. (Tidak dipublikasikan) Nasoetion, L dan E. Rustadi. 1990. Masalah konversi lahan sawah dan penggunaan nonsawah, fokus Jawa dan Bali. Paper pada Pertemuan Ilmiah Pembangunan Pedesaan dan Masalah Pertanahan, 13-15 Febuari 1990. DAU Studi Sosial, UGM. (Tidak dipublikasikan) Nasoetion, L dan J. Winoto. 1996. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap keberlangsungan swasembada pangan. hlm. 64-82 dalam Hermanto (eds.). Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Lahan dan Air. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation. Pakpahan, A. dan A, Anwar. 1989. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah. Jurnal Agro Ekonomi 8 (1):62-74. Rusastra, I.W. dan G.S. Budhi. 1997. Keragaan Konversi Lahan Pertanian dan Strategi Antisipatif dalam Penanggulangannya. Kebijakan Pembangunan Pertanian : Analisis Kebijaksanaan Antisipatif dan Responsif. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Witjaksono, R. 1996. Alih Fungsi Lahan : Suatu Tinjauan Sosiologis. hlm. 64-82 dalam Hermanto (eds.). Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumber daya Lahan dan Air. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation.
Simatupang dan Irawan
Lampiran 1. Pengaturan/pengendalian konversi lahan pertanian ke nonpertanian. 1. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.5 Tahun 1974 tentang KetentuanKetentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan 2. Keppres No.53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, dimana antara lain ditegaskan bahwa untuk kawasan industri tidak menggunakan tanah sawah dan tanah pertanian subur lainnya. Dalam pelaksanaannya, larangan ini telah pula diberlakukan untuk semua penggunaan tanah nonpertanian lainnya seperti untuk perumahan, jasa dan lain sebagainya. 3. Keppres No.33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Kawasan Industri. 4. Keppres No.55 Tahun 1993 tentang Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum. 5. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPPN No.2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Ijin Lokasi dan Hak Atas Tanah bagi Perusahaan dalam rangka Penanaman Modal, dengan petunjuk pelaksanaannya untuk ijin lokasi dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPPN No.22 tahun 1993. 6. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas kepada Menteri Negara Agraria/Kepala BPPN No.5334/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Nonpertanian. 7. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas kepada Menteri Dalam Negeri No.5335/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang Penyusunan RTRW Dati II.