Alih Fungsi Lahan Pertanian di Jawa dan Bali
Penyusutan luas lahan pertanian, terutama sawah, terus berlangsung. Ribuan hektar sawah setiap tahun beralih fungsi untuk kepentingan lain di luar sektor pertanian. Hal ini tidak hanya mengancam sistem pertanian, tetapi juga mengancam produksi pangan nasional, terutama beras.
Di Bali, misalnya, alih fungsi lahan sawah untuk kepentingan lain di luar sektor pertanian mencapai 700-1.000 hektar. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali, saat ini hanya ada 1.612 unit subak dengan areal sawah 82.095 hektar. Padahal, pada tahun 1997 jumlah Subak masih sekitar 3.000 unit dengan hamparan sawah yang terjangkau seluas 87.850 hektar. Berkurangnya jumlah dan areal subak semata-mata akibat alih fungsi lahan sawah untuk kepentingan lain misalnya permukiman, usaha jasa perdagangan, dan pariwisata.
Di Kuta, konversi lahan terbesar terjadi tahun 1999, yakni awal dimulainya ekspansi industri jasa dan pariwisata di wilayah itu. Saat itu tercatat 487 hektar sawah yang beralih fungsi menjadi hotel, permukiman, usaha pariwisata, dan jalan raya.
Dampak dari beralihnya fungsi sawah untuk kepentingan lain terlihat dari hasil pertanian yang terus menurun. Tahun 1973 Bali menghasilkan 511.495 ton gabah kering giling (GKG), tetapi 17 tahun kemudian, 1990, produksi meningkat menjadi 906.328 ton GKG. Namun, tahun 2000 produksi sawah di Bali hanya menghasilkan 850.225 ton GKG. Produksi semakin menyusut hingga tahun 2004 yang hanya menghasilkan 780.882 ton GKG.
Alih fungsi sawah untuk kepentingan lain di luar sektor pertanian tidak hanya terjadi di Bali, tetapi juga di sentra-sentra produksi beras di Jawa. Data menunjukkan bahwa secara nasional, pola alih fungsi lahan pertanian di Pulau Jawa untuk permukiman berkisar 58,7 persen, sawah menjadi lahan pertanian lainnya seperti perkebunan kelapa sawit, kakao, kopi, karet dan lain-lain sebagainya berkisar 21,8 persen dan sawah menjadi non perumahan berkisar 19,5 persen. Sementara pola alih fungsi yang terjadi di luar Pulau Jawa untuk permukiman berkisar 16,1 persen, pertanian lainnya 48,6 persen dan non-permukiman berkisar 35,3 persen (Medanbisnisdaily, 2011).
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat Oo Sutisna mengatakan, alih fungsi lahan pertanian terus terjadi antara lain di Karawang, Bandung, Garut, dan Cianjur. Menurut Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat Rudi Gunawan, alih fungsi lahan di Jabar 5.000-7.000 hektar per tahun dan sekitar 4.500 hektar di antaranya lahan produktif, subur, dan beririgasi teknis.
Berbeda dengan di Jawa Barat, di Provinsi Jawa Timur alih fungsi lahan pertanian cukup kecil, berkisar antara 1% tiap tahun. Jawa Timur bertekad mempertahankan peran sebagai kontributor terbesar produksi padi nasional, dengan volume panen sekitar 12 juta ton gabah kering giling/tahun kendati di provinsi tersebut terjadi alih fungsi lahan pertanian 1.000 hektare/tahun. Menurut Kepala Dinas Pertanian Jawa Timur, Wibowo Eko Putro, volume panen padi di provinsi tersebut cukup tinggi yakni 12,2 juta ton gabah kering giling (GKG) tahun lalu, yang meningkat dibandingkan 2011 sebanyak 11,6 juta ton GKG. Sedangkan panen padi di Jatim tahun ini ditargetkan naik menjadi 12,5 juta ton GKG, melalui peningkatan penggunaan benih padi hibrida serta benih bersertifikat. Sebanyak 60% benih padi yang ditanam di provinsi tersebut berupa benih hibrida.
Maraknya alih fungsi lahan pertanian tidak bisa dipandang sebelah mata. Semakin sempitnya lahan pertanian akan menyebabkan banyak masalah dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Implikasi dari alih fungsi lahan pertanian terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sangatlah kompleks. Di mulai dari semakin mahalnya harga pangan, hilangnya lapangan kerja bagi petani hingga terganggunya kesehatan masyarakat hingga tingginya angka urbanisasi.