KORUPSI SEBAGAI PERMASALAHAN TEOLOGIS: Mengurai Anatomi Pemberantasan Korupsi Dalam Al-Qur’an Oleh: Irfan Awaluddin
1
Dalam Islam, tauhid adalah suatu suatu panggilan dunia, dunia, yang hidup dan penuh penuh makna, menentang keserakahan dan bertujuan memberantas penyakit yang muncul dari penumpukan uang dan penyembahan harta. Ia bertujuan menghapus stigma eksploitasi, konsumerisme dan aristokrasi. Ali Syariati sepert i dikutip Farid Esack (2000:128) A. Mukaddimah
Sejarah korupsi barangkali sama tuanya dengan sejarah manusia itu sendiri. Korupsi adalah profesi sampingan paling tua di dunia, yaitu memberi dan menerima uang suap (Patrick Glynn et.al., 1999:10). Menurut sejarah, bentuk korupsi seperti penyuapan telah terjadi sejak masa Hammurabi dari Babilonia atau sekitar tahun 1200 SM, bahkan di India kasus korupsi sudah terjadi sejak seribu tahun sebelum Isa (Syed Hossein Alatas, 1987: 1-2) Korupsi bak penyakit endemik, mudah menyebar dan sulit dilawan. Korupsi punya karakteristik penghancur yang kuat, ia merusak sistem pemerintahan, sistem sosial sampai sistem kepribadian. Korupsi pun bisa menjatuhkan sebuah peradaban, apa yang terjadi pada peradaban Islam di Andalusia bisa diangkat sebagai contoh kecil. Andalusia (sekarang Spanyol) hancur di tangan tentara Ratu Isabella dan Raja Ferdinand, Andalusia mudah hancur karena keropos, bukan saja karena gaya hidup bermewah-mewahan hedonis yang merajalela di kalangan istana, akan tetapi juga karena perilaku korup para penguasanya (Akbar S. Ahmed, Ahmed, 1997: 111-116) Tibanya era modernisasi di abad 20 dituduh membuat sistem korupsi menjadi lebih terselubung, arus uang via dunia maya membuat sistem pengawasan terbatas langkahnya. Korupsi pun semakin mendapat celah lebar di sini, praktek pencucian uang (money laundry) laundry) sampai transaksi narkoba pun semakin sulit 1
Penulis adalah peneliti ICIS (International (International Conference of Islamic Islamic Scholars) Jakarta
1
dilacak. Bahkan modernisasi menjadi ongkos bagi proses perubahan dan modernisasi itu sendiri (Sayyed Hossain Alatas, 1987:154). Dengan sistem korupsi yang lebih canggih itu, para penegak hukum kelabakan dibuatnya. Berbagai gerakan perlawanan korupsi pun sontak mendunia, semua negara ikut serta di dalamnya. Patrick Glynn dan dua orang kawannya dari Forum Ekonomi Dunia (1999:9) mengistilahkan fenomena ini sebagai globalisasi korupsi. Di tahun 1990an, tulis Glynn, gerakan sedunia menentang korupsi telah menjalar seperti api kebakaran di seluruh dataran politik dunia, pemerintahan berjatuhan, partai yang sudah lama berkuasa telah kehilangan kekuasaan, dan secara beruntun para petinggi negara dari presiden sampai anggota parlemen dituntut menjadi tersangka kasus korupsi. Hal ini besar kemungkinannya karena didukung oleh beberapa orang pemikir yang menjadikan korupsi sebagai hal yang positif meski hanya dalam hal perdagangan bebas, korupsi adalah “grease in the wheel of commerse” sebagai pelumas dari roda perdagangan, korupsi berperan untuk mempercepat prosedur dan transaksi yang bertele-tele (Alvaro Cuerzo-Cazurra, 2006: 808). Di tengah maraknya praktek korupsi di belahan dunia, Indonesia pun tak mahu tertinggal. Bahkan ‘prestasi’ korupsi Indonesia selalu muncul di urutan teratas, jauh mengalahkan negara-negara jiran. Padahal, secara kuantitatif, Indonesia adalah negara berpenganut Islam terbanyak di dunia. Fakta ini menjadi paradoks sekaligus ironi yang nyata di depan mata. Penulis lebih setuju jika korupsi ditarik sebagai persoalan teologis. Artinya, tingkat keimanan seseorang, pada skala yang lebih kecil, seharusnya mampu menahan nafsu untuk melakukan sesuatu yang dilarang aga manya. Karena tindakan mengambil harta yang bukan haknya adalah tindakan mengingkari Tuhan. Karena itu pula fakta tingginya tindakan korupsi, untuk tidak menyebutnya terlalu gegabah, tak bisa secara langsung dihubungkan dengan perilaku beribadah sebuah masyarakat, perilaku beribadah tak lain tak bukan merupakan bentuk luar dari aqidah seseorang, karena ia bentuk luar (eksoteris)
2
maka sangat mudah untuk direkayasa. Sementara nilai-nilai batiniah (isoteris) mereka belum tentu mencerminkan perilakunya. Al-Qur’an mengurai anatomi korupsi dari dasar munculnya tindakan. Ketundukkan terhadap hukum, yang merupakan karakteristik orang yang beriman, menjadi jantung permasalahannya. Di dalam tulisan ini penulis berupaya untuk menghubungkan antara larangan al-Qur’an untuk tidak memakan harta dengan bathil dengan konsep keimanan. Mengapa larangan demikian hanya berlaku untuk orang beriman saja? Solusi yang ditawarkan al-Qur’an untuk pemberantasan korupsi ini pun sangat tegas, yaitu pemurnian keimanan. Karena tanpa keimanan, hukum pun hanya hebat bagi dirinya sendiri, hukum tak lebih berharga daripada hanya tumpukkan buku tebal undang-undang saja. Untuk mengarah kepada solusi itu, penulis menawarkan langkah-langkah strategis dan konkrit, salah satunya adalah dengan mengusulkan penambahan kurikulum anti korupsi di dunia pe ndidikan.
B. Korupsi dan Ekspresi Endemiknya
Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus, yang arti harfiahnya adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran (Andi Hamzah,1991:7). Secara umum korupsi didefinisikan sebagai the abuse of public resources for private gain, penyalahgunaan sumberdaya publik untuk keuntungan pribadi (The Encyclopedia of Democracy: 1995, 310), korupsi juga diistilahkan sebagai white collar crime atau fraud (Juniadi Soewartojo: 1997, 119). Di istilah media-media berbahasa Arab kata korupsi diistilahkan dengan al-fasad , atau kerusakan, di dalam salah satu index al-Qur’an kata korupsi pun ditunjukkan kepada ayat-ayat yang mengandung kata fasad (lihat. Al-Qur’an Tafsir per Kata Alhidayah, 2011: 617). Belakangan kata korupsi dipadankan dengan hal yang lebih spesifik. Jika dalam konteks politik, political corruption didefinisikan sebagai penyimpangan
3
jabatan publik (Encyclopedia Americana: 2004, 22), maka dalam konteks teknisteologis, kata korupsi sendiri dipakai untuk mengistilahkan upaya merubah teks kitab suci yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani (Muhammet Tarakci dan Suleyman Sayar, 227). Sebagai tindakan pengambilan terhadap yang bukan haknya, korupsi diistilahkan al-Qur’an dengan ungkapan yang berbeda-beda tergantung teknik, jenis maupun motif pengambilannya. Di antaranya adalah ghulul (penggelapan), risywah (suap), khianat , mukabarah (eksploitasi), ghasab (menguasai milik orang lain), sariqah (pencurian), intikhab (merampas) dan ikhtilash (mencopet) dan terakhir aklu suht (memanfaatkan barang haram). Mengapa korupsi bisa terjadi? secara dasariah korupsi berkaitan dengan faktor psikokultural (Bambang Widjoyanto, et.al: 2010, xvi-xvii). Artinya, ada makna
kolektif
yang
khas
mengenai
korupsi
dalam
masyarakat
yang
memungkinkan praktik tersebut merebak luas; namun makna kolektif ini juga sekaligus hadir secara kognitif di dalam benak setiap individu. Secara filosofis (F. Budi Hardiman, 2005: 127), koruptor merupakan penjelmaan dari docile bodies (tubuh-tubuh yang patuh), ia digerakkan dengan kode punishment atau reward . Ia menjelma menjadi rangkaian mesin-mesin rezim yang membuat korupsi tak tampak sebagai kesalahan moral, melainkan sebagai jatah yang “sewajarnya” diterima. Secara makro, fenomena korupsi dalam sistem bernegara juga dapat dipotret sebagai “korupsi akbar”. Moody-Stewart, yang dikutip oleh RoseAckerman (2006: 37), menjelaskan bahwa korupsi akbar terdapat pada tingkat tertinggi pemerintahan serta melibatkan proyek-proyek dan program pokok pemerintah. Karena rezim korup menjadikan suap, sogok, cari muka, penjilatan sebagai mode of being (F.Budi Hardiman, 2005:131) . Dan secara teologis, korupsi adalah permasalahan aqidah, permasalahan iman kepada Tuhan. Di mana persepsinya untuk taat kepada hukum (perintah atau larangan) maupun pandangannya terhadap harta dipengaruhi oleh tingkat 4
tauhidnya. Maka, tindakan sekecil apa pun yang di ambil seseorang, pada dasarnya hal itu cerminan dari tauhidnya.
C. Paradoks Korupsi di Negara Muslim
Indonesia
sering
menyatakan
diri
sebagai
bangsa
yang
religius,
menempatkan agama sebagai hal penting dalam kehidupan. Dilihat dari semangat menjalankan ritual keagamaan, Indonesia selalu yang terunggul; jumlah jama’ah haji Indonesia terbanyak sedunia, tak kalah dengan jumlah masjid dan mushalla yang juga terbanyak di dunia, jumlah jamaah shalat (setidaknya untuk momenmomen tertentu seperti shalat Jum’at dan shalat Ied) bisa dipastikan selalu membludak. Bahkan penelitian Nikkie Keddie, seperti dikutip Azyumardi Azra (1999: xvi), menunjukkan bahwa Muslim Indonesia lebih rajin melaksanakan shalat dibandingkan dengan Muslim Iran pada masa r ezim Syah Iran. Meski demikian, Indonesia pun tercatat sebagai negara terkorup di kawasan Asia dan dunia (Shalahuddin Wahid: 137). Jika angka korupsi Indonesia itu tinggi, maka seharusnya jumlah jama’ah hajinya menyusut atau bahkan maraknya pembangunan masjid musholla di pinggir-pinggir jalan itu seharusnya terhenti. Buktinya kan tidak, tingginya angka korupsi tidak lantas menurunkan semangat untuk melaksanakan ibadah ritual. Paradoks ini merupakan masalah besar yang tak mudah difahami begitu saja. Lantas paradoks ini pun mengundang komentar sekaligus cemoohan. Jika Nurcholish Madjid (2004: 111) menilainya sebagai bukti rendahnya tingkat moralitas kaum Muslim Indonesia, karena tindakan fasiq seperti korupsi ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang tak bermoral, maka Gunnar Myrdal, kutip Nurcholish Madjid (2004: 112), mencemoohnya sebagai akibat sikap lembek dan serba memudahkan (leniency and easy going ). Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bukan tidak ada, bahkan mungkin sudah ada sejak bangsa ini mengibarkan bendera kemerdekaan. Sejak
5
pembentukan panitia khusus, Operasi Budhi, pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), KPKN sampai KPK, korupsi tetap lestari. Ia sungguh sangat sulit ditundukkan (Tarmizi Taher, 2005: 110). Barangkali yang membuat keberhasilan lembaga-lembaga anti korupsi tersebut rendah adalah karena ia sarat kepentingan penguasa, yang penting ada, meskipun tak bekerja. Mengapa Indonesia sulit melepaskan diri dari jerat korupsi? Theodore M. Smith, seperti dikutip oleh Munawar Fuad Noeh (1997: 50-52), memaparkan 5 faktor sebagai jawaban atas pertanyaan ini. Yang pertama sejak zaman kolonial, bibit korupsi sudah mulai ditanam dalam bentuk gaji pegawai yang amat rendah atau dalam bentuk komersialisasi jabatan. Kedua, faktor kebudayaan juga turut menyumbangkan korupsi mudah berkembang baik, seperti budaya ewuh pakewuh (sungkan), ketakutan berlebih terhadap konflik dan pengidaman berlebih kepada harmoni sosial, sedikit banyak, tekan Smith, budaya ini menghambat gerakan anti korupsi. Ketiga, variabel ekonomi berupa rendahnya gaji PNS dan tingginya kebutuhan membuat mereka tak berdaya untuk korupsi, keempat, variabel struktur, di mana kekuasaan yang sentralistik mengakibatkan pemerasan menjadi mudah. Dan yang terakhir variabel partai politik, karena dana parpol yang belum mapan, acap kali parpol berharap banyak pada bant uan negara. Agaknya pendekatan Bibit S. Rianto (2009: 26) terkait sulitnya memberantas korupsi di Indonesia ini bisa mewakili. Bibit mentamsilkan hakikat korupsi seperti gunung es di atas permukaan air laut yang memiliki 3 lapisan. Lapisan pertama adalah lapisan teratas (di atas permukaan laut) yang diistilahkan sebagai Tindak Pidana Korupsi (TPK). Di lapis kedua, persis di bawah permukaan air laut, adalah kerawanan korupsi (corruption hazard ) yang meiputi lokasi (masuknya uang negara) manusia, barang maupun kegiatan. Di lapis ketiga, lapisan paling bawah dari permukaan air laut, terdapat Potensi Masalah Penyebab Korupsi (PMPK) yang meliputi sistem, integritas moral, renumerasi, kontrol dan tingkat kepatuhan terhadap hukum (Bibit S. Rianto, 2009: 26-28).
6
Dari persepsi Bibit ini terlihat jelas mengapa korupsi sulit diatasi. Walaupun kita berhasil menghancurkan permukaannya, selalu muncul lagi gunung es yang baru sebab di bawah permukaan air laut masih terdapat bongkahan yang lebih besar. Meski koruptor tertangkap semua, koruptor baru pasti akan muncul lagi sepanjang akar masalah korupsi tidak kita hancurkan.
D. Korupsi Sebagai Permasalahan Teologis
Ingatkah kita pada pepatah Latin yang mengatakan corruptio optimi pessima; kejahatan oleh orang baik adalah kejahatan terburuk. Seorang Muslim tidak melakukan korupsi, jika kedapatan korupsi maka sebenarnya saat itu ia sedang tidak Muslim, atau paling tidak hal itu merupakan cerminan dari tauhidnya yang tipis, setipis tissue. Rasulullah saw. bersabda: “Dari Ibnu Abbas ra. dari Nabi saw. bersabda: "Tidaklah berzina orang yang berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman, dan tidaklah mencuri orang yang mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman." (H.R. Bukhari) Mafhum muwafaqah dari hadist ini adalah “Koruptor tidak mungkin korupsi dalam keadaan beriman”. Koruptor itu fasiq, ucap Nurcholish Majid (2004), jelas tahu Allah melarangnya, tapi tetap korupsi. Korupsi juga merupakan perbuatan syirik modern, tulis Din Syamsuddin dalam kata sambutannya di buku Koruptor Itu Kafir (2010: xxx), karena koruptor tidak lagi meyakini Allah sebagai Tuhan, tetapi menjadikan uang sebagai sumber kekuatannya, the power of money. Sebagai permasalahan teologis, korupsi merupakan bukti akan rendahnya tingkat kepatuhan terhadap hukum. Karena kepatuhan hukum ini merupakan refleksi dari perilaku orang-orang yang beriman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 59)
7
Anjuran untuk taat ini jelas ditujukan hanya untuk orang-orang yang beriman. Mengapa hanya orang beriman? Karena hukum hanya dihormati oleh mereka yang menghargainya, dan hukum Islam hanya diikuti oleh mereka yang mengimani Allah secara nyata. Karena itu, seketat apapun hukum dibuat, jika masyarakatnnya tidak memiliki kesadaran taat hukum maka hukum itu akan sia-sia. Lihat saja jumlah pelanggaran lalu lintas setiap hari, hampir bisa dipastikan di setiap ruas jalan setiap hari ada saja yang melanggar di sana. Betapapun UU Tindak Pidana Korupsi selalu dirubah menyesuaikan dengan tuntutan zaman, hal itu tidak akan berarti banyak karena para pejabat negara ini belum sadar akan hukum, jangan heran jika tindakan korupsi ini mudah menyebar. Karena korupsi secara teologis hanya menyebar kepada sesama orang-orang yang tidak sadar hukum. Korupsi pun sangat berkaitan dengan pelanggaran terhadap keadilan. Di mana keadilan menjadi ukuran untuk tidak berbuat melampaui batasnya. Hal ini pun dipertegas Hasan Bashri, seperti dikutip Ibn Kastir (2000: 214), yang mengemukakan bahwa yang kata “wa la ta’tadu” (“janganlah kamu berlebihan”), pada surat al-Baqarah: 190, adalah termasuk tindakan ghulul atau korupsi. Karena korupsi pada konteks ini merupakan tindakan melanggar keadilan. Perintah untuk tidak berlebih-lebihan atau i’tida ini pun tertuang pada al-Maidah ayat 2 dan ayat 87. Dan sekali lagi, semua ayat ini hanya ditujukan bagi orang-orang beriman yang sadar hukum. Artinya, dalam konteks teologi, tindakan korupsi ini lebih merupakan buah daripada keadaan tauhid seseorang yang rapuh sehingga tidak mematuhi aturan Allah (untuk tidak mengambil harta dengan bathil ) karena hal itu melawan keadilan. Dan Karena pada dasarnya hukum hanya berlaku bagi mereka yang telah sadar hukum, dan keadaan sadar hukum dalam Islam terbangun dari keimanan yang kuat kepada Allah. Sehingga pandangan seseorang terhadap harta pun ditentukan atas dasar tauhidnya. Di mana harta tidak boleh melalaikan seseorang untuk mengingat
8
Allah dan mematuhi ajarannya, karena hakikat harta adalah cobaan (al-Taghabun: 15) supaya harta tidak berputar hanya di kalangan orang kaya saja (al-Hasyr: 7) karena itu Allah memerintahkan untuk cinta memberi dan membela yang lemah (QS. Ali Imran: 134, Al-Insan: 8-9, al-Ma’arij: 24 dan al-Dzariyat: 19).
Karena itu pula korupsi sebenarnya bukan sekedar masalah renumerasi yang rendah bagi para pejabat, toh banyak pula yang bergaji besar tapi tetap korupsi. Singapura dan China yang menggunakan strategi Carrot and Stick pada awal pemberantasan korupsi dengan menaikkan standar gaji para pegawai negara juga tidak bisa menjadi ukuran, karena bagi manusia yang serakah – sebagai manifestasi kesadaran teologinya – memiliki satu pulau emas saja t idak cukup. Dalam hal ini cukuplah kita bercermin kepada kehancuran kaum ‘Aad, Tsamud dan Fir’aun. Kehancuran mereka itu bukan saja disebabkan karena kekafiran mereka terhadap konsep tauhid Allah tetapi sikap syirk ini selanjutnya melahirkan sikap-sikap yang sebenarnya dilarang oleh Allah dalam bentuk cinta harta yang tanpa batas, karena itu mereka hancur tak bersisa (al-Fajr: 6-14).
E. Anatomi Pemberantasan Korupsi Menurut Al-Qur’an
Bagaimanakah al-Qur’an memetakan pemberantasan korupsi? Ayat di bawah ini adalah ayat yang sering dikaitkan dengan pelarangan korupsi:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)
9
Ayat-ayat larangan seperti ini hanya muncul pada periode Madinah atau biasa diistilahkan sebagai ayat Madaniyyah. Di lihat dari lawan bicaranya (mukhatab) ayat ini ditujukan kepada orang-orang beriman, karena huruf waw di awal ayat ini adalah ‘athaf kepada ayat sebelumnya yang memerintahkan puasa. Artinya larangan ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang beriman, dan orang beriman adalah mereka yang telah menyadari untuk patuh terhadap hukum Allah, dan orang yang beriman itu adalah orang yang beradab (masyarakat Madani). Karena itu solusi utama yang diperintahkan al-Qur’an adalah purifikasi keimanan. “Kecuali orang-orang yang taubat dan Mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146) Karena tolok ukur mengetahui keimanan seseorang terlihat dari keberhasilannya dalam mencegah diri dari perilaku keji dan tercela, termasuk korupsi (Muhammad Ray Akbar, 2008:157). Dengan iman yang mantap, tak perlu lagi bicara bagaimana supremasi hukum
ditegakkan,
dengan
sendirinya
orang-orang
beriman
ini
akan
menghargainya. Inilah landasan teologis penyelasaian kor upsi dalam al-Qur’an. Lalu hukuman seperti apa yang harus dijatuhkan untuk para koruptor? Terlepas dari perdebatan tentang apakah korupsi termasuk ke dalam jarimah hudud (karena mengqiyaskannya dengan sariqah) atau jarimah ta’zir (karena tidak adanya dalil yang sharih tentang hukuman korupsi), dalam beberapa kasus, Islam pada dasarnya lebih mendahulukan hukuman moral-psikologis sebelum ia ditetapkan sebagai tindakan pidana ( jarimah). Rasulullah saw. sendiri tidak hanya mencela tindakan korupsi dengan menyatakan korupsi sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Islam, lebih dari itu beliau juga memberikan hukuman secara moral-psikologis (Ahmad Baidowi,
10
2009: 148), yang sekaligus menjadi shock teraphy ampuh dalam menahan dorongan untuk korupsi. Abu Daud (1994: 626) meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah memerintahkan para sahabat untuk mensolatkan seorang sahabat yang terbunuh saat perang Khaibar – padahal seorang yang syahid tidak perlu disholatkan. Hal itu dikarenakan ia telah berkhianat kepada Allah karena mengambil manik-manik Yahudi yang harganya tidak lebih dari dua dirham. Dalam riwayat yang lain Rasulullah saw. pernah memecat Ibnul Attabiah, seorang yang bertugas mengumpulkan zakat dari kafilah bani Sulaiman. Ia dipecat gara-gara menerima hadiah (Ahmad Baidowi, 2009: 149). Adalah Umar bin Khattab yang menolak pemberian berupa makanan gulagula dari seorang amir Azerbaijan, Umar malah membagi-baginya kepada orang miskin seraya berkata “Barang itu haram untukku, kecuali kalau kaum Muslim juga memakannya” (Nasiruddin Al-Barabbasi, 2009: 69) Para pelaku korupsi juga diberikan sanksi dengan ditolak segala kesaksiannya seperti kesaksian dalam pernikahan atau di pengadilan seperti yang disinggung dalam sebuah hadist “tidak diperbolehkan kesaksian laki-laki dan perempuan yang berkhianat” (HR. Abu Daud, Tirmizi dan Ibn Majah). Dan harta dari hasil korupsi yang diberikan dalam bentuk bantuan maupun sumbangan harus ditolak seperti yang diutarakan dalam hadist berikut:
“Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan (tidak diterima) sedekah dari hasil korupsi.” (HR. Muslim) Sebagai puncak hukuman moral, Allah melarang untuk mensolatkan jenazah koruptor. Mengapa dilarang? Karena mereka inkar (baca:kafir), mengelak dari prinsip-prinsip aqidah (QS. Al-Taubah: 84).
11
Sebagai langkah strategis, penerapan kurikulum anti korupsi di dunia pendidikan dapat menjadi alternatif jawaban. Supaya generasi penerus bangsa bisa lebih awal memandang korupsi sebagai perbuatan hina dina. Dan lebih dari itu pendidikan Indonesia harus menciptakan warganya untuk sadar hukum dan berlaku taat kepadanya, dan tak kalah penting juga pendidikan berperan untuk menanamkan aqidah yang kuat kepada setiap anak didik. Atau menurut Bibit S.Rianto, upaya inilah sebenarnya yang akan mencerabut tindakan korupsi sampai akar-akarnya, sampai lapisan gunung es paling dasar. Di samping itu penulis kira masyarakat pun harus membuat konsensus untuk menjatuhkan sanksi moral bagi para koruptor. Agar efek jera yang didapat tak hanya berakhir di meja hijau, tapi sang koruptor pun masih harus tersudut dengan sanksi-sanki yang ia terima dari masyarakat.
Penutup
Korupsi dilakukan secara sistematis dan taktis, karena itu ia sulit diberantas. Korupsi pun sulit diberantas karena berdimensi plural , ia muncul karena faktor psikokultural, faktor filosofis, faktor sosiopolitis sampai faktor teologis. Korupsi bersifat teologis karena tindakan culas mengelabui harta negara untuk masuk menjadi harta pribadi merupakan bentuk dari tipisnya aqidah sang pelaku. Korupsi hadir secara terurut; di mana tindakan korup timbul dari rendahnya kesadaran hukum seseorang, yang mana ia timbul karena tingkat kepercayaannya kepada Tuhan masih rapuh. Secara teologis korupsi pun merupakan bentuk perlawanan terhadap keadilan. Di mana larangan untuk i’tida (berlebih-lebihan), atau kata yang sinonim dengannya, menampakkan bahwa berlebih-lebihan adalah bentuk melawan keadilan untuk menempatkan posisi harta pada posisinya yang tepat (untuk mendekatkan diri kepada Allah).
12
Untuk mempercepat pemberantasan korupsi, tepat kiranya untuk segera menerapkan hukuman moral bagi para pelaku korupsi. Di samping pula hukuman pidana pun harus tetap dijatuhkan. Namun, untuk menghadirkan efek jera yang lebih berat, para koruptor harus djatuhkan hukuman moral, sebagai efek jera berantai bagi sang pelaku. Sebagai langkah strategis, dunia pendidikan sudah saatnya menambahkan kurikulum anti korupsi di dalamnya, agar persepsi korupsi sebagai tindakan pengingkaran terhadap agama dan negara dapat tertanam sejak dini. Sebagai penutup, penulis merasa perlu untuk mengangkat kete ladanan para negarawan Indonesia di masa awal kemerdekaan. Mereka ini adalah teladan penerapan civic virtues dalam dirinya, yang menjunjung tinggi kejujuran, kebajikan dan keutamaan moral (Amich Alhumami, 2011: 222-223). Kita butuh sosok Sutan Sjahrir baru yang meskipun seorang negarawan tapi ia melego mesin jahit untuk menyambung hidup, atau sosok Mohammad Natsir yang tetap mengenakan jas tambalan ketika mengemban tugas negara. Meskipun berjasa besar terhadap negara namun mereka tak pernah mengambil manfaat untuk kepentingan pribadi. Wallahu a’lam bi al-shawab
13
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman, Susan Rose, Korupsi dan Pemerintahan, Sebab, Akibat dan Reformasi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006. Ahmed, Akbar S., Living Islam, Mizan, Bandung, 1997. Akbar, Muhammad Ray, Mengapa Harus Korupsi, Jakarta, Akbar, 2008 Alatas, Syed Hossain, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, 1987 Al-Barabbasi, Nasiruddin, Kisah-Kisah Islam Anti Korupsi, Mizan Media Utama, Bandung, 2009. Alhumami, Amich, “Koruptor itu Kafir” dalam Jurnal Gagasan, Vo l.2, No.1, 2011 Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Rosdakarya, Bandung, 1999. Baidowi, Ahmad, “Pemberantasan Korupsi dalam Perspektif Islam” dalam Esensia, Vol.10, No.2 2009 Cuervo-Cazurra, Alvaro, “Who cares about corruption?” dalam Journal of International Business St udies, Vol. 37, No.6 2006 Elliot, Kimberly Ann, ed., Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999. Encyclopedia Americana, “Corruption, Political” Vol. 8, Scholastic Library Publishing, USA, 2004. Hamzah, Andi, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Gramedia, Jakarta,1991 Hardiman, F. Budi, Memahami Negativitas, Diskursus Tentang Massa, Teror dan Trauma, Penerbit Buku Kompas, Jakart a, 2005 Katsir, Ibn. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Juz 2, Muassasah Qurthubah, Kairo, 2000 Madjid, Nurcholish, Indonesia Kita, Universitas Paramadina, Jakarta, 2004. Noeh, Munawar Fuad, Islam dan Gerakan Moral Antikorupsi, Zikrul-Hakim, Jakarta, 1997. Patrick Glynn, et al.,”Globalisasi Korupsi”, dalam Kimberly Ann Elliot, ed., Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.
14
Purnomo, Aloys Budi, “Global Responsibility Melawan Korupsi”, dalam Irwan Suhanda, ed., Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005. Rianto, Bibit S, Koruptor Go to Hell, Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia, Hikmah, Bandung, 2009. Soewartojo, Juniadi, Korupsi, Balai Pustaka, Jakarta, 1997. Taher, Tarmizi, “Jihad NU-Muhammadiyah Memerangi Korupsi”, dalam Irwan Suhanda, ed., Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005. The Encyclopedia of Democracy, “Corruption” Vol. I, Congressional Quarterly, 1995. Wahid, Shalahuddin, “Agama, Budaya dan Pemberantasan Korupsi”, dalam Irwan Suhanda, ed., Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005. Wibisono, Christianto, Menelusuri Akar Krisis Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1999. Widjoyanto, Bambang ed., Koruptor Itu Kafir , Mizan, Bandung, 2010.
15