KOMITE KEPERAWATAN DI RUMAH SAKIT Kusnadi Jaya Overview Konsep mutu pelayanan kesehatan telah lama dipelajari. Sejak tahun 1966 Avedis Donabedian mengembangkan suatu kerangka evaluasi mutu pelayanan, yang terdiri dari struktur, proses dan outcome (Donabedian, 2003). Struktur adalah kondisi yang harus dipenuhi sebagai prasyarat untuk menyediakan pelayanan. Proses merupakan berbagai aktivitas dan prosedur yang dilakukan dalam memberikan pelayanan kesehatan, sedangkan outcome menunjukkan hasil dari suatu upaya, baik di tingkat individu ataupun populasi. Struktur yang memadai diperlukan untuk melakukan proses pelayanan yang ideal, agar menghasilkan outcome yang optimal. Dengan pemahaman ini, mutu bukanlah suatu ketidaksengajaan (Christina, 2012). Saat ini dalam pelayanan kesehatan telah dikembangkan sistem untuk meningkatkan mutu pelayanan klinis di rumah sakit (RS) yang disebut dengan tata kelola klinis (clinical governance). Tata kelola klinis timbul karena berbagai kenyataan buruk dalam sistem pelayanan kesehatan seperti tingginya kasus malpraktik. Konsep dasar dari tata kelola klinis menurut Djasri (2006), jika ditransformasikan dari pelayanan medik kedalam pelayanan keperawatan mencakup : (1) accountability, yaitu bahwa setiap upaya keperawatan harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, etik, moral dan berbasis pada bukti terkini dan terpercaya (evidence-based nursing practice); (2) continuous quality improvement (CQI), yaitu bahwa upaya peningkatan mutu harus dilaksanakan secara sistematik, komprehensif dan berkesinambungan; (3) high quality standard of care, yang mengisyaratkan agar setiap upaya kesehatan selalu didasarkan pada standar tertinggi yang diakui secara profesional; dan (4) memfasilitasi dan menciptakan lingkungan yang menjamin terlaksananya pelaksanaan pelayanan kesehatan yang bermutu (Hartati, Djasri, & Utarini, 2014). Regulasi terkait dengan tata kelola klinis di Indonesia, antara lain : Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek kedokteran, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 755 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Komite Medik di RS, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit. Sedangkan tata kelola klinis yang sifatnya khas dan berlaku khusus di rumah sakit tertentu diatur dalam medical staff by law
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
1
(untuk tenaga medis) dan nursing staff by law (untuk tenaga perawat dan bidan). Sedangkan perilaku profesional diatur dengan kode etik masing-masing profesi. Pengaturan clinical governance sendiri dimaksudkan sebagai bagian dari manajemen resiko yang mana resiko itu melekat pada setiap tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Hal ini mengingat bahwa dalam pelayanan kesehatan yang diukur adalah upaya yang dilakukan (inspaning verbentenis), bukanlah hasil akhirnya (resultante verbintennis). Resiko tersebut berupa Kejadian yang Tidak Diharapkan (KTD) atau dalam literarur berbahasa Inggris dikenal dengan istilah adverse event yaitu kondisi akibat pelayanan yang menimbulkan rasa tidak nyaman, tidak sembuh, kecacatan bahkan kematian. KTD baru dikatakan malpraktik apabila terbukti nantinya upaya yang dilakukan tersebut memang salah. KTD tidak dapat dikatakan malpraktik apabila terbukti nantinya upaya yang dilakukan sudah benar walaupun kenyataannya hasil pelayanan tersebut bisa saja menyebabkan kecacatan bahkan kematian (Idris, 2007). Gugatan terhadap dugaan malpraktik adalah konsekuensi yang dapat terjadi akibat ketidakpuasan penderita atau keluarganya terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya sehingga berakibat memburuknya penyakit, kecacatan atau meninggal. Gugatan perkara malpraktik adalah salah satu cara bagi penderita untuk mendapat kompensasi finansial akibat cedera yang ditimbulkan oleh kejadian tak diharapkan (medical mishaps), yang besarnya ditentukan dari berat ringannya cedera. Hal ini cukup memprihatinkan karena keselamatan pasien sebenarnya tidak terletak dalam diri seseorang, alat atau departemen secara individual, tetapi muncul dari interaksi komponenkomponen sebuah sistem dan berada dalam konteks peningkatan kualitas. Salah satu risiko yang dapat mengancam keselamatan pasien adalah kompetensi dan sikap tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan (Herkutanto, 2009). Adapun pihak-pihak yang harus bertanggung-jawab terhadap gugatan yang dilayangkan atas tindakan kepada pasien adalah rumah sakit sebagai korporasi dan tenaga kesehatan yang bersangkutan sebagai profesional (Bawole, 2013). Salah satu tonggak keselamatan pasien adalah akuntabilitas sumber daya manusia yang terlibat dalam layanan kesehatan. Dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya dituntut untuk memiliki kompetensi yang adekuat. Berpijak pada prinsip dasar gerakan keselamatan pasien untuk ‘non blaming culture’ atau budaya tidak menyalahkan, jaminan kompetensi yang adekuat inipun berbasis pada pendekatan sistem. Oleh karena itu, dalam tataran makro (sistem layanan kesehatan nasional), dibutuhkan suatu sistem yang dapat mengakomodasi kebutuhan jaminan kompetensi tersebut (Herkutanto & Susilo, 2009) yang sudah diatur dalam regulasi yang berhubungan dengan tata kelola klinis di atas.
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
2
Mekanisme yang umumnya digunakan untuk menjamin keselamatan pasien adalah aplikasi prinsip “bad apple theory” dengan cara seleksi dan pendisiplinan terhadap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit. Badan akreditasi RS di Amerika (JCI) mempersyaratkan keberadaan mekanisme semacam ini bagi RS untuk menjaga keselamatan pasiennya. Mekanisme ini diyakini dapat mempertahankan profesionalisme para praktisi kesehatan di RS karena pelanggaran atas prinsip profesionalisme akan mengakibatkan praktisi kehilangan hak dan kewenangannya untuk melakukan tindakan di RS (Herkutanto, 2009). Dalam keperawatan, mekanisme ini diatur melalui Komite Keperawatan Rumah Sakit. Namun demikian pemahaman tentang hakekat dan tujuan profesionalisme di kalangan profesi keperawatan sendiri agaknya masih kurang sehingga Komite keperawatan tidak adekuat dalam menjaga keselamatan pasien. Kekeliruan umum yang terjadi, semua perawat yang bekerja di RS dianggap telah kompeten karena perawat adalah kelompok profesional yang sudah lulus Uji Kompetensi Nasional, sehingga tidak perlu ada mekanisme verifikasi lagi oleh Komite Keperawatan. Padahal pemahaman profesionalisme yang berlaku saat ini justru sebaliknya, seorang perawat dianggap professional bila telah terbukti kompeten melalui suatu mekanisme kredensial oleh Komite Keperawatan. Paham ini berfokus pada kepentingan pasien (patient- centredness). Komite Keperawatan sendiri merupakan wadah non-struktural rumah sakit yang mempunyai tugas utama mempertahankan dan meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu dan pemeliharaan etik-disiplin profesi (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan RS, n.d.). Proses kredensial dan pemberian kewenangan klinis (clinical privilege) merupakan tugas dan wewenang Komite Keperawatan yang penting. Adanya mekanisme kewenangan klinis (clinical privilege) memberikan peluang pada RS mengendalikan para praktisi keperawatan melalui Komite Keperawatan. Komite Keperawatan RS mempunyai kewenangan untuk mengevaluasi clinical privileges praktisi keperawatan termasuk mengambil tindakan disiplin, serta korektif berupa mencabutan atau penangguhan clinical privileges tertentu. Kredensial merupakan elemen kunci dalam menurunkan risiko litigasi (gugatan hukum di pengadilan) terhadap RS dan tenaga keperawatan yang bekerja di dalamnya. Evaluasi tenaga keperawatan untuk rekredensial juga perlu dilakukan meskipun lebih sulit dilakukan secara objektif. Proses kredensial yang efektif dapat menurunkan risiko adverse events pada pasien dengan meminimalkan kesalahan tindakan yang diberikan oleh tenaga keperawatan tertentu yang memegang kewenangan klinis tertentu di RS tersebut (Herkutanto, 2009).
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
3
Dapat dikatakan juga bahwa kredensial adalah penapisan kompetensi klinis para praktisi keperawatan yang merupakan proses bahwa tenaga keperawatan, atas nama badan pengampu, menentukan secara cermat apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh seorang perawat dan bidan yang melakukan praktik di suatu RS pada saat tertentu. Proses kredensial harus dibedakan dari penerimaan tenaga keperawatan untuk bekerja di RS. Selama ini terdapat kesalahpahaman bahwa kredensial adalah penilaian kualifikasi perawat dan bidan ketika berlangsung proses penerimaan staf, baik sebagai pegawai kontrak maupun sebagai pegawai BLUD. Kredensial sebenarnya merupakan proses mencocokkan antara keinginan tenaga keperawatan untuk melakukan tindakan keperawatan di RS pada waktu tertentu dan kompetensinya untuk melakukan pekerjaan itu. Penilaian kompetensi saat proses kredensial dilakukan oleh mitra bestari (peer group) (Herkutanto, 2009). Dengan demikian kredensial merupakan proses untuk dapat menjadi seorang profesional (entry to profession). Setelah tenaga kesehatan memperoleh kewenangan klinik, maka dilakukan perawatan/penjagaan/penjaminan terhadap profesionalismenya (maintaining professionalism) (Herkutanto, 2009). Pengembangan profesi dan audit keperawatan merupakan dua hal lain yang menjadi tugas dan wewenang Komite Keperawatan untuk menjaga profesionalisme mereka. Keselamatan pasien dapat ditingkatkan dengan memperbaiki sistem, terutama pada kebiasaankebiasaan rutin keperawatan di RS seperti: ronde keperawatan, cara membuat dokumentasi keperawatan, diskusi refleksi kasus, program pelatihan, petunjuk pelaksanaan kebijakan, dan peninjauan terhadap Standar Asuhan Keperawatan dan Standar Prosedur operasional penanganan pasien karena hal ini mencegah terjadinya error. Komite Keperawatan perlu memperhatikan tugas ini karena merupakan fungsi mempertahankan profesionalisme praktisi keperawatan di RS. Kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan oleh staf keperawatan sangat ditentukan oleh semua aspek kompetensi staf keperawatan dalam melakukan penatalaksanaan asuhan keperawatan (nursing care management). Mutu suatu penatalaksanaan asuhan keperawatan tergantung pada upaya staf keperawatan memelihara kompetensi seoptimal mungkin. Dengan mentransformasikan konsep penjaminan mutu yang terdapat pada Permenkes 755/2011, maka upaya untuk mempertahankan mutu keperawatan dilakukan upaya pemantauan dan pengendalian mutu profesi melalui (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 755 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Komite Medik Di Rumah Sakit, n.d.): 1. memantau kualitas, misalnya morning report, timbang terima shift dengan penekanan pada kasus sulit, ronde ruangan, diskusi refleksi kasus untuk kasus kematian (death case), audit keperawatan, journal reading;
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
4
2. tindak lanjut terhadap temuan kualitas, misalnya pelatihan singkat (short course), aktivitas pendidikan berkelanjutan, pendidikan kewenangan tambahan. Pemantauan mutu melalui mekanisme audit keperawatan dilaksanakan sebagai implementasi fungsi manajemen klinis dalam rangka penerapan tata kelola klinis yang baik di rumah sakit. Audit keperawatan tidak digunakan untuk mencari ada atau tidaknya kesalahan seorang tenaga keperawatan dalam satu kasus. Dalam hal terdapat laporan kejadian dengan dugaan kelalaian seorang tenaga keperawatan, mekanisme yang digunakan adalah mekanisme disiplin profesi, bukannya mekanisme audit keperawatan. Audit keperawatan dilakukan dengan mengedepankan respek terhadap semua tenaga keperawatan (no blaming culture) dengan cara tidak menyebutkan nama (no naming), tidak mempersalahkan (no blaming), dan tidak mempermalukan (no shaming). Audit keperawatan yang dilakukan oleh rumah sakit adalah kegiatan evaluasi profesi secara sistemik yang melibatkan mitra bestari (peer group) yang terdiri dari kegiatan peerreview, surveillance dan assessment terhadap pelayanan keperawatan di rumah sakit. Mekanisme terakhir yang dilakukan oleh Komite Keperawatan setelah kredensial dan penjagaan mutu adalah penjaminan etik-disiplin profesional. Pendekatan “bad apples” perlu diterapkan kepada tenaga keperawatan yang tidak dapat memenuhi standar atau kompetensi pelayanan. Kemudian, melalui proses kredensial ulang (rekredensial) dan evaluasi terhadap kewenangan klinis, seorang perawat dan bidan dapat ‘disingkirkan’ dari pelayanan kepada pasien dengan mencabut kewenangan klinis untuk melakukan tindakan tertentu berdasarkan rekomendasi Komite Keperawatan. Hal ini tidak dapat ditawar-tawar, mengingat keselamatan pasien adalah prioritas utama pelayanan kesehatan saat ini. Peningkatan upaya pada program keselamatan pasien sudah pasti dapat menghindarkan RS dari tuntutan hukum akibat kecelakaan yang diderita pasien (Herkutanto, 2009). Setiap tenaga keperawatan harus memiliki disiplin profesi yang tinggi dalam memberikan asuhan keperawatan dan kebidanan serta menerapkan etika profesi dalam praktiknya. Nilai etik sangat diperlukan oleh tenaga keperawatan sebagai landasan dalam memberikan pelayanan keperawatan berjiwa caring yang berpusat pada pasien. Pelanggaran terhadap standar pelayanan dan disiplin profesi hampir selalu dimulai dari pelanggaran nilai moral-etik yang akhirnya merugikan pasien dan masyarakat. Diakui bahwa saat ini kemampuan praktik yang etis hanya kemampuan yang dipelajari pada masa pendidikan keperawatan dan belum menjadi hal yang penting untuk diimplementasikan dalam praktik. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelanggaran disiplin dan timbulnya masalah etik dalam pelayanan keperawatan dewasa ini antara lain : beban kerja tenaga keperawatan
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
5
yang tinggi (khususnya terkait dengan masalah-masalah administrasi dan tindakan delegasi/mandat), ketidakjelasan kewenangan klinis, menghadapi pasien gawat/kritis dengan kompetensi yang rendah serta pelayanan yang sudah mulai berorientasi pada bisnis (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan RS, n.d.). Dalam penanganan asuhan baik medis, keperawatan dan kebidanan, tidak jarang dijumpai kesulitan dalam pengambilan keputusan etis sehingga diperlukan adanya suatu unit kerja yang dapat membantu memberikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan etis tersebut. Pelaksanaan keputusan subkomite etik dan disiplin profesi di rumah sakit merupakan upaya pendisiplinan oleh Komite Keperawatan terhadap tenaga keperawatan di rumah sakit yang bersangkutan sehingga pelaksanaan dan keputusan ini tidak terkait atau tidak ada hubungannya dengan proses penegakan disiplin profesi keperawatan di lembaga pemerintah, penegakan etika keperawatan di organisasi profesi, maupun penegakan hukum. Pengaturan dan penerapan penegakan disiplin profesi juga bukanlah sebuah penegakan disiplin kepegawaian yang diatur dalam tata tertib kepegawaian pada umumnya (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan RS, n.d., Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 755 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Komite Medik Di Rumah Sakit, n.d.). Tolok ukur dalam pendisiplinan perilaku profesional tenaga keperawatan di Rumah Sakit, antara lain : 1. Pedoman pelayanan keperawatan di Rumah Sakit 2. Prosedur kerja pelayanan di Rumah Sakit 3. Daftar Kewenangan Klinis di Rumah Sakit 4. Buku Putih yang berlaku di Rumah Sakit 5. Kode Etik Profesi (Kode Etik Keperawatan Indonesia dan Kode Etik Profesi Bidan) 6. Pedoman Perilaku Profesional (Pedoman Penyelenggaraan Praktik Keperawatan Yang Baik, dalam hal ini merujuk pada UU 38/2014 dan peraturan turunannya) 7. Pedoman Pelayanan Keperawatan (merujuk pada Standar Asuhan Keperawatan/SAK) 8. Standar Prosedur Operasional tindakan keperawatan. Standar-standar yang bersifat khusus dan hanya berlaku di rumah sakit tersebut dibuat oleh manajemen rumah sakit sedangkan standarstandar yang bersifat universal dan berkaitan dengan keprofesian dibuat oleh Mitra Bestari sesuai keseminatan. Penegakan disiplin profesi dilakukan oleh sebuah panel yang dibentuk oleh Subkomite etik dan disiplin yang berasal dari Mitra Bestari yang berkaitan. Sumber masalah dapat berasal dari laporan perorangan maupun laporan secara lembaga. Keadaan dan situasi
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
6
yang dapat digunakan sebagai dasar dugaan pelanggaran disiplin profesi oleh seorang staf medis adalah hal-hal yang menyangkut, antara lain: 1. Kompetensi klinis 2. Penatalaksanaan kasus 3. Pelanggaran disiplin profesi 4. Penggunaan fasilitas pelayanan yang tidak sesuai standar pelayanan keperawatan Rumah Sakit yang bersangkutan 5. Ketidakmampuan bekerjasama dengan staff rumah sakit dan tenaga kesehatan lainnya yang dapat membahayakan pasien. Adapun tindakan pendisiplinan yang dapat dilakukan meliputi: (1) teguran tertulis; (2) pembatasan (reduksi) kewenangan klinis; (3) bekerja dibawah supervisi dalam jangka waktu tertentu oleh tenaga keperawatan yang memiliki kewenangan klinis tersebut; dan (4) pencabutan kewenangan klinis baik sementara maupun selamanya. Adapun eksekutor dari rekomendasi tindakan disiplin ini adalah Direktur RS. Tenaga keperawatan dapat meminta pertimbangan pengambilan keputusan etis pada suatu kasus di rumah sakit melalui kelompok profesinya kepada komite Keperawatan. Subkomite etik dan disiplin mengadakan pertemuan pembahasan kasus dengan mengikutsertakan pihak-pihak terkait yang kompeten untuk memberikan pertimbangan pengambilan keputusan etis tersebut (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan RS, n.d., Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 755 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Komite Medik Di Rumah Sakit, n.d.). Karena itu perlu kemampuan membuat telaahan etik dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bagi tenaga keperawatan maupun Mitra Bestari yang berhubungan dengan etik-disiplin ini. Secara umum, ada tiga mekanisme yang dapat menstimulasi RS untuk memperbaiki keselamatan pasien dan kualitas pelayanan, yaitu profesionalisme, regulasi, dan pasar. Profesionalisme adalah suatu sistem self-governance bahwa anggota suatu profesi memelihara standar berdasarkan nilai, norma bersama dan aktivitas edukasi melalui upaya pelatihan, pendidikan dan riset. Nilai-nilai, norma dan pengetahuan profesional pelayanan kesehatan dapat menurunkan medical error. Namun, walaupun mekanisme pasar juga berperan, faktor yang mempunyai dampak terbesar pada upaya RS untuk meningkatkan keselamatan pasien adalah badan regulasi, bukan dorongan pasar. Di lain pihak, hambatan terbesar untuk mencapai keselamatan pasien bukan pada teknik, tetapi lebih pada keyakinan, keinginan, budaya, dan pilihan. Kita tidak akan menjadi aman sampai kita memilih untuk menjadi aman (Herkutanto, 2009).
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
7
A. Pandangan umum Komite Keperawatan Komite Keperawatan menjalankan fungsi untuk menegakkan profesionalisme
dengan
mengendalikan
tenaga
keperawatan
(Perawat dan Bidan) yang melakukan pelayanan keperawatan di rumah sakit. Pengendalian tersebut dilakukan dengan mengatur secara rinci kewenangan melakukan pelayanan keperawatan (delineation of clinical privileges). Pengendalian ini dilakukan secara bersama oleh kepala/direktur rumah sakit dan Komite Keperawatan. Komite Keperawatan melakukan kredensial, meningkatkan mutu profesi, dan menegakkan disiplin profesi serta merekomendasikan tindak lanjutnya kepada kepala/direktur rumah sakit; sedangkan kepala/direktur rumah sakit menindaklanjuti rekomendasi Komite Keperawatan dengan mengerahkan semua sumber daya agar profesionalisme para tenaga keperawatan dapat diterapkan dirumah sakit. Konsep profesionalisme di atas didasarkan pada kontrak sosial antara profesi keperawatan dengan masyarakat. Di satu pihak, profesi keperawatan sepakat untuk memproteksi masyarakat dengan
melakukan
penapisan
(kredensial)
terhadap
tenaga
keperawatan yang akan menjalankan praktik dalam masyarakat. Hanya tenaga keperawatan yang baik (kredibel) sajalah yang diperkenankan melakukan pelayanan pada masyarakat, hal ini dilakukan melalui mekanisme perizinan (licensing). Sedangkan tenaga keperawatan yang belum memenuhi syarat, dapat menjalani proses pembinaan (proctoring) agar memiliki kompetensi yang diperlukan sehingga dapat diperkenankan melakukan pelayanan pada masyarakat setelah melalui kredensial. Di lain pihak, kelompok profesi tenaga keperawatan memperoleh hak istimewa (privilege) untuk melakukan praktik keperawatan dan kebidanan secara eksklusif, dan tidak boleh ada pihak lain yang melakukan hal
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
8
tersebut. Dengan hak istimewa tersebut para tenaga keperawatan dapat memperoleh manfaat ekonomis dan prestise profesi. Namun demikian,
bila
ada
tenaga
keperawatan
yang
melakukan
pelanggaran standar profesi maka dapat dilakukan tindakan disiplin profesi. Tindakan disiplin ini berbentuk penangguhan hak istimewa tersebut (suspension of clinical privilege) agar masyarakat terhindar dari praktisi keperawatan yang tidak profesional. Dalam dunia nyata, di banyak negara, kontrak sosial antara profesi keperawatan dengan masyarakat dituangkan dalam bentuk peraturan perndang-undangan. Pelaksanaan pengendalian profesi keperawatan dalam kehidupan sehari-hari dilaksanakan oleh suatu lembaga yang dibentuk oleh peraturan perundangan tentang praktik keperawatan (statutory body) yang biasanya disebut sebagai Konsil Keperawatan. Lembaga tersebut selain memberikan izin untuk menjalankan
profesi,
juga
berwenang
menangguhkan
atau
mencabut izin tersebut bila terjadi pelanggaran standar profesi. Tindakan disiplin profesi tersebut dilakukan setelah melalui proses sidang disiplin profesi (disciplinary tribunal). Dalam tataran rumah sakit, kontrak sosial terjadi antara para tenaga keperawatan yang melakukan pelayanan keperawatan dengan pasien. Kontrak tersebut dituangkan dalam dokumen peraturan
internal
staf
keperawatan
(nursing
staff
bylaws).
Pengendalian profesi keperawatan dilaksanakan melalui tata kelola klinis
(clinical
governance)
untuk
melindungi
pasien
yang
dilaksanakan oleh komite keperawatan. Dengan demikian komite keperawatan di rumah sakit dapat dianalogikan dengan konsil keperawatan
pada
tataran
nasional.
Komite
Keperawatan
melaksanakan fungsi kredensial, penjagaan mutu profesi dan disiplin profesi melalui tiga subkomite, yaitu subkomite kredensial, subkomite mutu profesi, dan subkomite etika dan disiplin profesi.
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
9
B. Konsep Komite Keperawatan 1. Pengertian Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2014 Tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit, maka perlu didefinisikan kembali insitah-istilah penting terkait dengan Komite Keperawatan antara lain : a. Komite Keperawatan adalah : WADAH NON-STRUKTURAL Rumah
Sakit
yang
mempunyai
fungsi
utama
mempertahankan dan meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi, dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi. Mengingat kedudukannya sebagai wadah non struktural di organisasi rumah sakit, maka Komite keperawatan bukan merupakan wadah perwakilan tenaga keperawatan atau semisal serikat pekerja. Penting untuk diketahui juga bahwa Komite keperawatan bukan merupakan organisasi tandingan dari Bidang Keperawatan sebab keduanya memiliki peran dan fungsi yang berbeda tetapi saling bersinergi. Komite Keperawatan juga bukan pengambil keputusan yang berkaitan dengan manajerial rumah sakit, sebab peran utamanya adalah menjaga dan meningkatkan kualitas kehidupan prefesional bagi tenaga keperawatan yang bekerja di Rumah Sakit dan kewenangannya adalah memberikan rekomendasi sesuai dengan peran dan fungsinya. Komite Keperawatan dalam hal ini hanya dapat memberikan pertimbangan dan rekomendasi terhadap masalah manajerial yang
berkaitan
dengan
kegiatan
profesi
dari
tenaga
keperawatan. Dalam menjalankan perannya, komite Keperawatan dapat dibantu oleh Mitra Bestari.
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
10
b. Kredensial keperawatan
adalah
proses
untuk
evaluasi
menentukan
terhadap
kelayakan
tenaga
pemberian
kewenangan klinis. Dengan demikian kredensial bukan dimaksudkan
untuk
menguji
kemampuan
tenaga
keperawatan atau seleksi kenaikan jenjang. Tetapi perlu difahami bahwa kredensial merupakan kegiatan untuk memastikan bahwa tenaga keperawatan memang layak melakukan kewenangan klinis tersebut. Hasil akhir dari kredensial adalah rekomendasi untuk memperoleh Surat Penugasan Klinis. c. Kewenangan
klinis
sendiri
adalah
uraian
intervensi
keperawatan dan kebidanan yang dilakukan oleh tenaga keperawatan berdasarkan AREA PRAKTIKNYA. Dengan demikian terdapat perbedaan kewenangan klinis pada masing-masing area praktik keperawatan. Dan hal ini perlu disadari oleh semua pihak sebagai dasar dalam melakukan proses kredensial. d. Surat
Penugasan
Klinis
adalah
Surat
Tugas
dari
Kepala/Direktur Rumah Sakit kepada tenaga keperawatan untuk
melakukan
asuhan
keperawatan
atau
asuhan
kebidanan di Rumah Sakit berdasarkan Daftar Kewenangan Klinis. e. Buku Putih adalah dokumen yang berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh tenaga keperawatan yang digunakan untuk menentukan kewenangan klinis. Buku Putih disusun dengan mengacu pada Peraturan Internal Staff Keperawatan (Nursing Staff By Law) yang menyebutkan jenjang karir profesional tenaga keperawatan dan syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi pada masing-masing jenjang. Dengan
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
11
adanya Buku Putih maka proses kredensial akan berjalan dengan adil dan terbuka. f. Mitra Bestari adalah sekelompok tenaga keperawatan dengan reputasi klinis dan kompetensi yang baik untuk menelaah
segala
hal
yang
terkait
dengan
tenaga
keperawatan. Mitra bestari dapat berasal dari Rumah Sakit lain, Organisasi Profesi Perawat/Bidan, dan/atau Institusi Pendidikan Tinggi Keperawatan/Kebidanan. g. Audit keperawatan adalah upaya evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan keperawatan yang diberikan pada pasien
dengan
menggunakan
rekam
medisnya
yang
dilaksanakan oleh profesi perawat dan bidan. Mengingat konteksnya, maka audit adalah upaya menjamin bahwa asuhan yang diberikan memang sesuai dengan standar profesi dan kode etik profesi. Harus diingat disini bahwa yang melakukan audit terhadap profesi tertentu haruslah berasal dari profesi tersebut juga. Dan standar yang dijadikan acuan dalam melakukan audit haruslah standar profesi itu sendiri. Mengingat audit adalah menilai mutu pelayanan dari tenaga profesional,
maka
tenaga
profesional
tersebut
harus
dipastikan kemampuan klinisnya terlebih dahulu melalui mekanisme kredensial dan pembinaan yang baik, sehingga audit yang diselenggarakan lebih bersifat menyelenggarakan siklus mutu (Plan, Do, Check, Action/PDCA) dan bukan ditujukan untuk mencari kesalahan semata-mata. 2. Tujuan penyelenggaraan Komite Keperawatan Penyelenggaraan komite bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan (perawat dan bidan) serta mengatur tata kelola klinis yang baik agar mutu pelayanan keperawatan dan pelayanan kebidanan yang berorientasi pada
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
12
keselamatan pasien di Rumah Sakit lebih terjamin dan terlindungi. Untuk mewujudkan tata kelola klinis yang baik, semua asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan yang diberikan oleh setiap tenaga keperawatan di Rumah Sakit dilakukan atas Penugasan Klinis dari Direktur Rumah Sakit atas rekomendasi Komite Keperawatan. Rekomendasi tersebut diberikan setelah dilakukan kredensial dengan ketentuan bahwa Rumah Sakit adalah tempat untuk melakukan pelayanan kesehatan tingkat kedua dan ketiga. 3. Organisasi dan Keanggotaan Susunan organisasi dari Komite Keperawatan ditetapkan dengan
Surat
Keputusan
Direktur
Rumah
Sakit
dengan
mempertimbangkan sikap profesional, kompetensi, pengalaman kerja, reputasi dan perilaku yang bersangkutan. Karena itu dalam menetapkan Ketua Komite Keperawatan, Direktur Rumah Sakit harus melakukan kredensial terhadap para kandidat sesuai dengan faktor-faktor yang dipertimbangkan di atas. Proses kredensialing awal ini dapat dilakukan oleh Mitra Bestari dengan memperhatikan pertimbangan dari tenaga keperawatan yang bekerja
di
Rumah
Sakit,
sedangkan
untuk
menentukan
Sekretaris dan Ketua Sub Komite, kredensial dapat dilakukan oleh Mitra Bestari bersama dengan Ketua Komite Keperawatan dengan memperhatikan pertimbangan dari tenaga keperawatan yang bekerja di Rumah Sakit. Jumlah pengurus Komite Keperawatan tidak ada pembatasan, yang penting disesuaikan dengan jumlah tenaga keperawatan di Rumah Sakit dan dinamika kerjanya. Struktur organisasi Komite Keperawatan yang ideal terdiri dari : a. Ketua Komite Keperawatan
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
13
b. Sekretaris Komite c. Sub Komite : 1) Kredential : merekomendasikan Kewenangan Klinik yang adekuat sesuai kompetensi yang dimiliki setiap tenaga keperawatan. 2) Mutu Profesi : bertugas melakukan audit keperawatan dan merekomendasikan
kebutuhan
pengembangan
profesional berkelanjutan bagi tenaga keperawatan. 3) Etik-Disiplin Profesi : bertugas melakukan pembinaan etik dan disiplin profesi. 4. Fungsi dan Tugas Komite Keperawatan a. Meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan yang bekerja di Rumah Sakit, dengan cara : 1) Melakukan kredensial bagi seluruh tenaga keperawatan yang
akan
melakukan
asuhan
keperawatan
dan
kebidanan di Rumah Sakit. 2) Memelihara mutu profesi tenaga keperawatan. 3) Menjaga disiplin, etika dan perilaku profesi perawat dan bidan. b. Melakukan kredensial keperawatan dengan tugas sebagai berikut : 1) Menyusun daftar rincian Kewenangan Klinis dan Buku Putih 2) Melakukan verifikasi persyaratan kredential 3) Merekomendasikan
kewenangan
klinis
tenaga
keperawatan 4) Merekomendasikan pemulihan kewenangan klinis 5) Melakukan kredensial ulang secara berkala sesuai waktu yang ditetapkan
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
14
6) Melaporkan seluruh proses kredensial kepada Ketua Komite Keperawatan untuk diteruskan kepada Direktur Rumah Sakit c. Memelihara mutu profesi dengan tugas sebagai berikut : 1) Menyusun data dasar profil tenaga keperawatan sesuai area praktik 2) Merekomendasikan
perencanaan
pengembangan
profesional berkelanjutan tenaga keperawatan 3) Melakukan audit keperawatan dan kebidanan 4) Memfasilitasi
proses
pendampingan
sesuai
dengan
kebutuhan d. Menjaga disiplin dan etika profesi tenaga keperawatan dengan tugas sebagai berikut : 1) Melakukan sosialisasi kode etik tenaga keperawatan 2) Melakukan pembinaan etik dan disiplin profesi tenaga keperawatan 3) Merekomendasikan penyelesaian masalah pelanggaran disiplin dan masalah etik dalam kehidupan profesi dan pelayanan asuhan keperawatan/kebidanan 4) Merekomendasikan pencabutan kewenangan klinis 5) Memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan etis dalam asuhan keperawatan/kebidanan. 5. Kewenangan Komite Keperawatan Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Komite Keperawatan memiliki kewenangan sebagai berikut : a. Memberikan rekomendasi rincian kewenangan klinis b. Memberikan rekomendasi perubahan kewenangan klinis c. Memberikan rekomendasi penolakan kewenangan klinis d. Memberikan rekomendasi Surat Penugasan Klinik
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
15
e. Memberikan rekomendasi tindaklanjut audit keperawatan dan kebidanan f. Memberikan rekomendasi pendidikan keperawatan dan pendidikan kebidanan berkelanjutan g. Memberikan rekomendasi pendampingan dan memberikan rekomendasi pemberian tindakan disiplin. Struktur dan kedudukan Komite Keperawatan dalam struktur organisasi RS digambarkan sebagai berikut : Gambar 1. Struktur Organisasi Komite Keperawatan RS
Struktur tersebut dapat diadaptasi sesuai dengan kelas Rumah Sakit. 6. Hubungan koordinasi Komite Keperawatan dan Direktur Rumah Sakit Direktur Rumah Sakit menetapkan kebijakan, prosedur dan sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan fungsi dan tugas
Komite
Keperawatan.
Mengingat
pengurus
Komite
Keperawatan ditetapkan dengan SK Direktur, maka Komite keperawatan bertanggung jawab kepada Direktur. Untuk
melaksanakan
tugas
dan
fungsinya
Komite
Keperawatan dapat dibantu oleh panitia adhoc yang ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit berdasarkan usulan Ketua Komite Keperawatan. Panitia adhoc tersebut berasal dari tenaga keperawatan yang tergolong sebagai Mitra Bestari, yang bisa berasal dari Rumah Sakit lain, Organisasi Profesi Perawat,
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
16
Organisasi
Profesi
Bidan,
dan/atau
Institusi
Pendidikan
Keperawatan/Kebidanan. Sebagai landasan dalam pembinaan keprofesian, Komite Keperawatan menyusun Peraturan Internal Staff Keperawatan (Nursing Staff by Law) yang mengacu kepada Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital by Law) dan peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan Internal Staff Keperawatan yang disusun disahkan oleh Direktur Rumah Sakit sebagai panduan bagi Komite
Keperawatan
dan
Staff
Keperawatan
dalam
melaksanakan tata kelola klinis yang baik di Rumah Sakit. Mengingat Komite Keperawatan ditetapkan dengan SK Direktur, maka kepengurusan Komite Keperawatan berhak mendapatkan insentif sesuai dengan aturan dan kebijakan Rumah Sakit. Pelaksanaan kegiatan Komite Keperawatan didanai dengan anggaran Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 7. Hubungan
Komite
Keperawatan
dengan
Bidang
Keperawatan Komite koordinasi
Keperawatan dengan
memberikan
bekerjasama
Bidang
masukan
dan
Keperawatan
tentang
melakukan serta
perkembangan
saling profesi
keperawatan dan kebidanan di rumah sakit. 8. Pembinaan dan Pengawasan Komite Keperawatan Secara nasional dilakukan oleh Menteri Kesehatan melalui Direktorat Keperawatan. Pada tingkat Provinsi dilakukan oleh Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Pada tingkat Kabupaten/Kota dilakukan oleh Kepala
Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota
dan
Dewan
Pengawas. Pengawasan dan pembinaan juga dilakukan oleh perhimpunan/asosiasi
perumahsakitan
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
dengan
melibatkan
17
organisasi profesi yang terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Pembinaan dan pengawasan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja Komite Keperawatan dalam rangka menjamin mutu pelayanan keperawatan dan kebidanan serta keselamatan pasien di Rumah Sakit. Kegiatan pembinaan dan pengawasan tersebut melalui : a. Advokasi, sosialisasi dan bimbingan teknis b. Pelatihan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia c. Monitoring dan evaluasi Dalam rangka pembinaan Komite Keperawatan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kabupaten/Kota dapat memberikan sanksi administratif berupa teguran lisan dan teguran tertulis. C. Issue strategis tentang Komite Keperawatan Regulasi yang secara langsung menyebutkan tentang perlunya dibentuk Komite Keperawatan memang belum memiliki dasar hukum yang kuat, mengingat bahwa dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Komite Perawatan sudah tidak menjadi kelompok yang dianggap penting di rumah sakit. Pada BAB IX pasal 33 hanya disebutkan bahwa : “Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan keuangan” . Regulasi yang mengatur tentang Komite Keperawatan di Rumah Sakit pada awalnya adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Daerah dan sifatnya lebih rendah dengan undang-undang. Selain itu dengan diberlakukannya
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
18
UU 44/2009 maka segala peraturan perundangan yang berada di bawahnya harus menyesuaikan. Dalam Kepmendagri Nomor 1/2002 tersebut pada BAB II Pasal 6,
disebutkan bahwa “Susunan
organisasi Rumah Sakit Daerah sekurang-kurangnya terdiri dari; Direktur, Wakil Direktur; Sekretariat, Bidang, Komite Medik, Staf Medik
Fungsional,
Komite
Keperawatan,
Instalasi,
Susunan
Pengawas Intern”. Mungkin undang undang RS itu sebagai evaluasi atas keberadaan Komite Perawatan di rumah sakit. Diakui atau tidak, selain masih banyaknya rumah sakit yang tidak memiliki Komite Perawatan, banyak juga rumah sakit yang memiliki Komite Perawatan tapi tidak ada suaranya sama sekali. Komite Perawatan hanya sekedar terdengar namanya, ada pengurusnya dan mungkin ada kantornya, tapi absen dari aktifitas dan miskin kegiatan. Bahkan sebagian rumah sakit, keberadaan Komite Perawatan dimanfaatkan oleh sebagian anggotanya hanya untuk mengkritisi kebijakan Bidang Perawatan bahkan kebijakan Direktur Rumah Sakit. Hingga muncul konflik yang sama sekali tidak produktif dan tidak menguntungkan komunitas perawat . Mungkin Komite Perawatan tidak mampu bersinergi dengan Bidang Perawatan disebabkan oleh “berebut pengaruh” di dalam komunitas. Ketika keinginan yang tinggi untuk mempengaruhi komunitas itu muncul, terkadang lepas kontrol dan terjerumus pada perilaku menyalahkan dan merendahkan Bidang Perawatan. Kondisi seperti ini justru akan semakin mengerdilkan peran Komite Perawatan,
karena
dengan
merendahkan
dan
tidak
mau
menghormati Bidang Perawatan, maka Komite Keperawatan tidak akan memiliki kapasitas yang cukup untuk melakukan peran dan fungsinya .
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
19
Komite Keperawatan kembali menjadi fokus perhatian setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit. Meskipun Permenkes ini memiliki kedudukan lebih rendah dari UU 44/2009, tetapi apabila dikaitkan dengan konteks penjaminan mutu asuhan keperawatan sebagai populasi paling besar dari tenaga kesehatan yang berada di Rumah Sakit maka hal ini sejalan dengan gagasan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-Undang
Nomor
36
Tahun
2014
Tentang
Tenaga
Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan. Sebab seluruh orientasi pelayanan kesehatan dan asuhan yang diberikan kepada pasien harus membawa misi untuk keselamatan pasien dalam kerangka penjaminan mutu profesi dan profesionalisme tenaga keperawatan. Karena itulah dalam instrumen penilaian akreditasi rumah sakit versi tahun 2012 edisi 1 yang dikeluarkan oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS), beberapa kali disebutkan secara umum tentang perlunya sebuah mekanisme, sebuah komite yang berorientasi pada penjaminan mutu dan keselamatan pasien. Hal ini secara jelas disebutkan dalam stadar PMKP 1.1 bahwa Pimpinan Rumah
Sakit
berkolaborasi
dalam
melaksanakan
program
peningkatan mutu dan keselamatan pasien. Manajemen RS bisa saja membuat suatu sistem penjaminan mutu dalam perspektif manajemen, tetapi harus diingat juga bahwa pelaku utama dalam pelayanan, salah satunya adalah tenaga keperawatan (perawat dan bidan) yang notebene merupakan populasi terbesar tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Dan sangat logis apabila upaya penjaminan profesionalisme dikelola oleh profesi
itu
sendiri
melalui
sebuah
organisasi
yaitu
Komite
Keperawatan.
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
20
D. Penyatuan persepsi dan membangun komitmen Mengingat sangat pentingnya Komite Keperawatan terhadap hidup dan berkembangnya profesionalitas tenaga keperawatan yang memberikan asuhan kepada pasien maka perlu disadari oleh semua pihak bahwa Komite Keperawatan utamanya diselenggarakan untuk tujuan-tujuan yang baik sehingga harus diselenggarakan dengan cara-cara yang baik pula. Keberadaan Komite Keperawatan bukan untuk mengungguli peran Bidang Keperawatan, begitu juga sebaliknya. Keduanya adalah setara dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Karena itulah penting dilakukan penyatuan persepsi dan membangun komitmen bersama sebagai upaya knowledge management agar perbedaan peran dan fungsi yang ada dapat diarahkan untuk saling bersinergi menjadi sumber kekuatan bagi Rumah Sakit . Beberapa cara yang dapat ditempuh untuk menyatukan persepsi tersebut antara lain : 1. Seminar/Sosialisasi melibatkan pembicara yang kompeten Seminar dan/atau Sosialisasi adalah salah satu bentuk kegiatan untuk mengakses informasi dari sumber-sumber yang memiliki kompetensi dan kepakaran dalam bidang tersebut. Kegiatan ini dapat diselenggarakan secara mandiri oleh Rumah Sakit maupun secara terbuka dengan melibatkan institusi pendidikan maupun rumah sakit lain yang berdekatan dalam satu wilayah . Sangat penting untuk dapat menghadirkan unsur manajemen dan unsur komite dalam satu forum untuk bersama-sama mengakses informasi dari sumber yang sama dan terpercaya sehingga perbedaan penafsiran atas peran dan fungsi komite dan bagaimana sinergitasnya dengan bidang keperawatan dapat diklarifikasi .
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
21
Dari kegiatan ini diharapkan semua pihak yang terlibat bisa memahami peran dan fungsinya masing-masing. Dengan kapasitas pemahaman yang baik maka kendala-kendala yang muncul di kemudian hari dapat dicarikan solusi sesuai dengan aturan yang berlaku dan bagaimana yang semestinya. 2. Pembentukan Mitra Bestari Mitra Bestari merupakan mitra strategis bagi Rumah Sakit maupun bagi Komite Keperawatan, sebab Mitra Bestari adalah kumpulan tenaga keperawatan yag memiliki pemahaman yang baik tentang profesinya. Terutama anggota Mitra Bestari yang berasal dari institusi pendidikan dan organisasi profesi, memiliki pemahaman yang lebih
baik
tentang
bagaimana
semestinya
konsep
ilmu
diaplikasikan dalam menjalankan profesi. Selain itu Mitra Bestari tidak memiliki kepentingan langsung terhadap masalah-masalah yang ada di rumah sakit, kecuali semata-mata mendorong terselenggaranya pengembangan profesi sebagaimana yang semestinya. Karena
itu
dalam
menganalisa
masalah,
terutama
yang
berkaitan dengan interaksi Komite Keperawatan dan Bidang Keperawatan maka pertimbangan dari unsur Mitra Bestari cenderung lebih obyektif. Sehingga pada saat membuat keputusan, Direktur tidak akan mudah dikatakan subyektif atau berat sebelah sebab Mitra Bestari adalah pihak ketiga yang sama sekali tidak memiliki kepentingan baik terhadap Bidang Keperawatan maupun Komite Keperawatan . 3. Menanamkan jiwa caring Aktualisasi diri adalah puncak dari pemenuhan kebutuhan dasar manusia . Banyaknya konflik peran, konflik kepentingan, dan hambatan-hambatan
dalam
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
menjalankan
sebuah
program
22
bersumber dari upaya aktualisasi diri . Perkembangan Komite Keperawatan akan stagnan, mudah mencapai kejenuhan, serta cenderung akan meredup kegiatannya apabila tidak didukung oleh mitra strategisnya. Mitra strategis Komite Keperawatan pada tatanan manajemen adalah Bidang Keperawatan, pada tatanan
lingkungan
internal
adalah
Tenaga
Keperawatan
(Perawat dan Bidan), dan pada taatanan lingkungan eksternal adalah Mitra Bestari. Ketiga mitra strategis tersebut juga memiliki kebutuhan aktualisasi diri masing-masing sebagai bagian dari kebutuhan dasar manusia. Karena itu penting untuk difahami bahwa setiap pihak mesti memberikan penghargaan atas pihak lainnya dan memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk berkembang. Dan salah satu kiat keperawatan dalam memenuhi kebutuhan aktualisais diri dari orang lain adalah dengan menerapkan caring . Kemampuan
mengaplikasikan
caring
harus
dimiliki
oleh
pengurus Komite Keperawatan sebab mereka merupakan sentral dari seluruh interaksi yang akan terjadi. Kemampuan mempraktikkan sikap empati dan membangun komunikasi interprofesi dan antarprofesi yang dilandasi jiwa caring adalah faktor kunci dalam menjalankan organisasi . Karena itulah penting dilakukan kredential terlebih dahulu terhadap Ketua Komite
Keperawatan
oleh
Mitra
Bestari
dalma
rangka
menumbuhkan jiwa caring sebagai jati diri perawat (Siregar, 2013). E. Pembentukan Komite Keperawatan Pembentukan Komite Keperawatan sebenarnya adalah langkah yang mudah. Melalui proses musyawarah dan pemilihan maka akan didapatkan Pengurus Komite Keperawatan dalam waktu singkat.
Tetapi
yang
perlu
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
mendapatkan
perhatian
adalah
23
bagaimana agar pengurus Komite Keperawatan yang sudah dipilih tersebut
mampu
menggulirkan
organisasi
dengan
baik dan
membangun kemitraan yang saling menguntungkan dengan mitra strategisnya.
Karena
itu
manajemen
RS
perlu
melakukan
kredensialing bagi calon Ketua Komite Keperawatan. Kredensialing tersebut dibutuhkan untuk mendapatkan ketua komite yang memang
memahami
kewenangannya
dan
dinamika
dalam
organisasinya sendiri. Kredensialing dapat dilakukan dengan melibatkan Mitra Bestari. Kredensialing tersebut ditekankan pada aspek kepemimpinan dan kapasitas individual. Contoh syarat kredensial untuk menjadi Ketua Komite Keperawatan sebagai berikut : Tabel 1. Contoh Kompetensi dan Persyaratan Administratif tambahan untuk kredensial bagi Ketua Komite Keperawatan Kompetensi Utama Syarat Administratif A. Memahami Komite Keperawatan 1. Mengetahui konsep Komite a. Sertifikat Pelatihan / Workshop yang Keperawatan berhubungan dengan Komite Keperawatan B. Memiliki sikap profesional dan kepribadian yang baik 1. Mampu melakukan a. Form penilaian oleh komunikasi dalam konteks sekurang-kurangnya 60 % kolegialitas dari jumlah tenaga keperawatan 2. Mampu melakukan a. Form penilaian oleh 5 orang komunikasi antarprofesi dan dokter / dokter spesialis lintas sektoral b. Form penilaian oleh 5 orang pejabat struktural RS setingkat eselon IV keatas c. Form penilaian oleh Mitra Bestari C. Memiliki keterampilan memimpin 1. Mampu memecahkan a. Hasil Uji Tulis masalah sesuai dengan peraturan yang berlaku
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
24
2. Mampu memberikan pengarahan
a. Pernah menjadi Perawat Supervisi dibuktikan dengan SK Direktur b. Pernah menjadi Kepala Ruangan dibuktikan dengan SK Direktur c. Pernah menjadi Pembimbing Klinik mahasiswa dibuktikan dengan SK Pembimbing / CI a. Hasil uji Psikometri
3. Memiliki kapasitas kepemimpinan
Apabila peserta yang lolos seleksi awal pemilihan Ketua Komite Keperawatan lebih dari satu maka dapat dilaksanakan pemilihan terbuka yang diikuti oleh sekurang-kurangnya 90 % dari seluruh tenaga keperawatan yang terdaftar setelah masing-masing calon menyampaikan visi dan misi nya secara terbuka atas persetujuan Panitia Seleksi. Pemenang harus mengumpulkan suara sekurang-kurangnya 50 % + 1. Setelah Ketua Komite terpilih maka Ketua melakukan kredensial terhadap anggota komite, sesuai dengan struktur organisasi
Komite
Keperawatan.
Setelah
itu
Direktur
RS
mengeluarkan Keputusan Direktur Tentang Pengurus Komite keperawatan dengan masa kerja 5 tahun. Komite
mulai
menyusun
Peraturan
Internal
Staff
Keperawatan. Dalam proses ini Komite Keperawatan dapat dibantu oleh Mitra Bestari dalam kepanitiaan yang bersifat adhoc dan ditetapkan dengan SK Direktur. Selain itu juga disusun program kerja dalam 5 tahun kedepan terkait dengan kredensial, penjaminan mutu dan penjaminan etik/disiplin tenaga keperawatan, serta Buku Putih yang selanjutnya disosialisasikan kepada seluruh tenaga keperawatan di RS.
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
25
F. Kredensialing Tenaga Keperawatan Kredensial
tenaga
keperawatan
dilaksanakan
melalui
beberapa jenis kegiatan yang akan diuraikan sebagai berikut : 1. Kredensial awal Kredensial
ini
dilakukan
pada
saat
dilakukan
rekrutmen
penerimaan perawat baru non PNS di RS. Bagi perawat PNS maka kredensial awal dapat dianggap sudah dilakukan apabila persyaratan administratif sudah terpenuhi. 2. Kredensial maintenance Kredensial ini dilakukan untuk memastikan bahwa tenaga keperawatan masih memiliki kompetensi klinis yang dibutuhkan dalam jenjang karir tertentu. Kredensial ini dilakukan setiap 2 tahun sejak kredensial awal, atau sesuai ketentuan yang disepakati. Hasil kredensial ini memiliki beberapa kemungkinan sebagai berikut : a. Tenaga keperawatan yang bersangkutan masih boleh diberikan kewenangan klinis sebelumnya. b. Tenaga
keperawatan
yang
bersangkutan
diragukan
kemampuannya untuk melaksanakan kewenangan klinis sebelumnya sehingga direkomendasikan untuk dilakukan pembinaan
dan
dilakukan
kredensial
ulang
sekurang-
kurangnya 3 bulan setelah selesainya masa pembinaan. c. Tenaga keperawatan yang bersangkutan memiliki potensi untuk diberikan tambahan kewenangan klinis sehingga direkomendasikan untuk pendidikan berkelanjutan dan/atau kredensial kenaikan jenjang karir. 3. Kredensial kenaikan jenjang karir Kredensial ini dapat dilakukan apabila tenaga keperawatan telah melalui sekurang-kurangnya 1 kali kredensial maintenance. Kredensial ini dilakukan oleh perawat dengan jenjang karir
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
26
minimal 1 level di atasnya dan melibatkan sekurang-kurangnya 1 orang perawat yang memiliki jenjang karir 2 level di atas jenjang karir yang akan dituju. Apabila hal ini tidak tersedia karena baru pertama kali dilakukan maka tim penguji kredensial dapat melibatkan perawat dari RS lain atau lembaga pendidikan yang tergolong Mitra Bestari dengan kualifikasi pendidikan yang sesuai. Contoh jenjang karir dan persyaratan kredensial pada masingmasing jenjang karir adalah sebagai berikut :
Gambar 2. Model Jenjang Karir Perawat Profesional PPNI
Sumber : (Kornela, Hariyanto, & Pusparahaju, 2014) Keterangan : PK : Perawat Klinis PM : Perawat Manajer PP : Perawat Pendidik PR : Perawat Riset / Peneliti Jenjang karir mengalami kenaikan secara reguler setiap 4 tahun. Tenaga keperawatan yang memiliki prestasi bernilai tinggi atau memiliki prestasi kerja yang baik boleh mengajukan percepatan kenaikan jenjang karir dengan syarat sudah pernah melalui kredensial maintenance.
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
27
G. Penjaminan Mutu Penjaminan
mutu
hakikatnya
adalah
upaya
mempertahankan kualitas asuhan yang diberikan sesuai dengan standar yang ada (STIKES Santo Borromeus, 2010). Standar Praktik Keperawatan mengacu pada Standar Praktik Keperawatan Indonesia yang dikeluarkan oleh PPNI tahun 2010. Standar tersebut mencakup Standar Praktik Profesional dan Standar Kinerja Profesional. Adapun standar asuhan kebidanan mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 938 Tahun 2007 Tentang Standar Asuhan Kebidanan. Untuk memastikan bahwa praktik dan asuhan yang diberikan kepada pasien adalah asuhan yang bermutu, maka harus dilaksanakan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, yang dibuktikan dengan hasil audit asuhan berbasis dokumentasi. Saat ini sudah
berkembang
pendekatan-pendekatan
baru
dalam
melaksanakan audit praktek keperawatan, tetapi yang harus digarisbawahi adalah audit dilaksanakan bukan untuk mencari kesalahan tetapi lebih diarahkan pada upaya menemukan hal-hal yang belum memenuhi standar untuk selanjutnya ditingkatkan agar menjadi lebih baik lagi. Karena itu topik audit ditentukan berdasarkan situasi yang menjadi current issue saat itu. Akan lebih baik apabila audit mengikuti temuan-temuan klinis yang dirasakan tidak memuaskan dari sudut pandang perawat, atau dilaksanakan berdasarkan adanya keluhan dari pasien sebagai pengguna layanan. Upaya penjaminan mutu juga sebenarnya sudah berjalan ketika jenjang karir Perawat Manajer (PM mulai dikembangkan setidaknya mulai PM III samai PM V) karena itu untuk melakukan audit mutu ini sebaiknya adalah perawat dengan kualifikasi minimal setara dengan PM III, yaitu PK V dan PP II. Apabila tidak tersedia
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
28
tenaga yang sesuai dengan kualifikasi tersebut maka audit mutu boleh
diselenggarakan
oleh
tenaga
keperawatan
sekurang-
kurangnya adalah yang setara dengan PM II, yaitu PK IV dan PP I. H. Pembinaan Etik dan Disiplin Keperawatan Pembinaan etik dan disiplin sebenarnya bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya kelalaian atau kejadian mal-practice dalam
pelaksanaan
praktik
keperawatan
di
rumah
sakit.
Pencegahan dan penanganan kejadian pelanggaran etik dan disiplin ini menjadi salah satu fokus penilaian dalam akreditasi rumah sakit menurut versi KARS-2012. Kejadian-kejadian seperti near misses (Kejadian Nyaris Cedera/KNC), Kejadian Tak Diharapkan (KTD), ketidakcocokan hingga kelalaian harus diantisipasi dengan baik melalui sistem penjagaan etik dan disiplin tenaga keperawatan. Karena itu perlu dibuat gradasi untuk screening dini supaya tidak terjadi kejadian mal-praktik atau kelalaian, serta bagaimana alur penyelesaian masalahnya apabila terjadi kejadian-kejadian seperti di atas (KARS, 2012). I. Road-Map
Pembentukan
dan
Pengembangan
Komite
Keperawatan di Rumah Sakit 1. Persiapan Pada tahap ini Komite Keperawatan belum dibentuk dan/atau jenjang karir belum terisi oleh tenaga keperawatan. Kebutuhan yang utama adalah membentuk panitia adhoc yang tugasnya adalah menyusun Nursing Staff by Law sebagai panduan jenjang karir tenaga keperawatan, menyatukan persepsi tentang Komite Keperawatan
dan
manfaatnya
bagi
Rumah
Sakit,
serta
mempersiapkan dan menyelenggarakan kredensial awal bagi Pengurus Komite Keperawatan. a. Menyusun Nursing Staff by Law dan jenjang karir profesional
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
29
Ketentuan mengenai sistematika NSBL terdapat dalam lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit. Isi NSBL merupakan
panduan
dalam
menyusun
jenjang
karir
profesional bagi tenaga keperawatan. Harus dipertimbangkan potensi terisinya jenjang karir dengan komposisi tenaga keperawatan yang ada saat ini, serta tingkat pencapaian jenjang yang dibutuhkan untuk seorang Ketua Komite. Jenjang karir juga perlu memperhatikan hirarki pendidikan keprofesian dan batas kewenangan tertinggi dari masingmasing jenjang pendidikan tersebut. Selain itu perlu diingat bahwa
jenjang
karir
akan
berjalan
selama
tenaga
keperawatan bekerja hingga usia pensiun, sebagai dasar untuk menentukan batas waktu kenaikan jenjang karir profesional tersebut. Untuk tahap awal sebaiknya jenjang karir tidak menuntut persyaratan yang tidak mungkin dicapai dalam 5 tahun kedepan, dan seiring waktu dapat dilakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan perkembangan dan pencapaian tenaga keperawatan selanjutnya. b. Menyatukan persepsi tentang Komite Keperawatan Banyak kasus terjadi dimana Komite Keperawatan tidak mampu berjalan dengan baik, adalah karena ada perebutan pengaruh dengan Bidang / Seksi Keperawatan. Pada beberapa Rumah Sakit, Komite keperawatan dipersepsikan sebagai ancaman terhadap peran dan fungsi Bidang / Seksi Keperawatan sehingga tidak dapat berjalan dengan optimal dan pembinaan keprofesian menjadi terhambat sehingga merugikan Rumah Sakit karena tata kelola klinis yang dilaksanakan tenaga keperawatan berjalan tanpa pembinaan
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
30
yang baik. Banyak kasus yang akhirnya muncul dari situasi ini, seperti tingginya keluhan pasien terhadap pelayanan keperawatan, banyaknya kejadian-kejadian pelanggaran etik dan disiplin serta muncul konflik perebutan “penghasilan tambahan” baik terkait penerimaan staff baru ataupun bimbingan mahasiswa. Namun
ada
juga
Rumah
Sakit
yang
memberikan
kewenangan sangat besar bagi Komite Keperawatan, dimana Komite menjalankan peran bukan hanya sebagai pemberi rekomendasi tetapi sudah menjalankan fungsi pengawasan dan kontrol bagi manajemen Rumah Sakit. Sehingga yang terjadi adalah tingginya protes terhadap kebijakan yang dirasakan “merugikan” bagi tenaga keperawatan yang bekerja di Rumah Sakit. Hal ini tentu tidak produktif untuk membangun
keprofesian
sebab
Komite
sendiri
bukan
merupakan wadah struktural dalam manajerial Rumah Sakit dan bukan pula wadah perwakilan tenaga keperawatan (semisal Serikat Pekerja). Karena itulah sosialisasi tentang Komite Keperawatan harus dilaksanakan sebelum Komite berjalan. Akan muncul banyak tanggapan
dari
sosialisasi
yang
diselenggarakan
dan
mungkin saja akan banyak protes maupun klarifikaasiklarifikasi
dari
unit-unit
yang
sebelumnya
(mungkin)
merupakan “kerajaan kecil” dengan penghasilan di atas ratarata unit lainnya. Untuk mengatasi hal ini maka manajemen Rumah Sakit perlu mempertimbangkan pembicara yang kompeten tentang Komite Keperawatan sehingga konsepnya terpapar dengan jelas. Sosialisasi mungkin membutuhkan waktu beberapa minggu, yang berisi pertemuan-pertemuan kecil dengan metode sindikat dilaksanakan di unit-unit
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
31
perawatan yang diakhiri dengan pertemuan skala besar dihadiri oleh stake-holder terkait dengan mendatangkan pembicara yang kompeten, untuk finalisasi konsep dan pemahaman serta memberikan klarifikasi-klarifikasi sesuai kebutuhan. c. Kredensial bagi Pengurus Komite Keperawatan Setelah sosialisasi dirasakan memadai, maka langkah selanjutnya adalah melaksanakan kredensial Ketua Komite Keperawatan. Meskipun dalam Permenkes 49 / 2013 disebutkan bahwa Ketua Komite ditunjuk oleh Direktur atas masukan dari tenaga keperawatan yang bekerja di Rumah Sakit, tapi perlu juga disadari bahwa Komite keperawatan akan menyelenggarakan peran yang besar, mencakup fungsi pengawasan dan pengendalian. Karena itu seorang Ketua Komite harus memiliki kapasitas yang memungkinkan dirinya mengelola organisasi dengan baik. Ada banyak potensi gejolak dan ketegangan ketika Komite Keperawatan mulai berjalan dan seorang Ketua Komite haruslah memiliki pemahaman yang baik tentang konsep komite itu sendiri sehingga klarifikasi yang diberikan atas masalah yang timbul serta solusinya dapat diterima oleh tenaga keperawatan dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Pengurus komite keperawatan juga merupakan bagian dari sistem
kredensial
dan
pengawasan
yang
akan
dilaksanakannya. Karena itu mereka harus memiliki kapasitas setidak-tidaknya satu tingkat di atas jenjang karir tenaga keperawatan
pada
umumnya,
ketika
Komite
nantinya
dilaksanakan serta sudah terlebih dahulu melalui proses kredensial tersebut. Kapasitas mereka harus dibuktikan melalui
kredensial
yang
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
dilaksanakan
secara
terbuka
32
sehingga nantinya mereka memperoleh legitimasi dan penghargaan dari anggota komite dan tenaga keperawatan lainnya. Apabila pada tahap awal, calon-calon yang mengajukan diri mengikuti
kredensial
Ketua
Komite
semuanya
belum
memenuhi 100% kualifikasi yang dibutuhkan, atau diantara seluruh tenaga keperawatan belum ada yang mampu memenuhi semua aspek kompetensi yang dipersyaratkan maka Ketua Komite yang dipilih harus membuat pernyataan bahwa dirinya berkomitmen untuk segera meningkatkan kapasitas dirinya sesuai persyaratan yang telah disepakati. Mengingat pada tahap persiapan ini belum ada Komite, maka prosesnya diselenggarakan oleh panitia adhoc yang ditunjuk oleh Direktur. Panitia adhoc ini dapat berasal dari kelompok Mitra Bestari (misalnya tenaga keperawatan dari Rumah Sakit lain, tenaga keperawatan senior yang dihormati, institusi pendidikan, dan organisasi profesi) yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang Komite Keperawatan. Panitia adhoc ini ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit dengan Surat Keputusan. Tidak ada batasan jumlah panitia adhoc ini dan tidak ada aturan yang khusus mengatur tentang hal ini. Semaata-mata dilaksanakan untuk memenuhi rasa keadilan dan agar Pengurus Komite Keperawatan yang tersusun memiliki legitimasi yang baik sebab proses pembentukannya melalui tahapan-tahapan yang formal dan diselenggarakan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas individual yang terpercaya. 2. Pembentukan Komite Setelah
sosialisasi
dilaksanakan
maka
Panitia
Adhoc
menyususn persyaratan kredensial bagi Ketua Komite dan Pengurus Komite. Persyaratan kredensial ini diumumkan secara
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
33
terbuka dan diberikan kesempatan bagi tenaga keperawatan untuk mempersiapkan
persyaratan tersebut dengan baik.
Sosialisasi bisa dilaksanakan selama 1 bulan, dan dilanjutkan dengan penetapan peserta kredensial dilanjutkan dengan jadwal kegiatan kredensial. Setelah Ketua Komite ditetapkan maka dilaksanakan pemilihan pengurus oleh Ketua Komite bersama-sama dengan Panitia Adhoc. Calon ketua yang tidak terpilih boleh direkrut sebagai pengurus. Kepengurusan Komite Keperawatan harus terdiri dari tenaga perawat dan bidan sehingga memungkinkan kedua profesi memperoleh rasa keadilan. Namun perlu disadari bahwa saat ini pendidikan keprofesian untuk bidan klinik sebagian besar hanya setingkat Diploma-III, dan sebagian kecil adalah D-IV Pendidik.
Selain
itu
konsep
keprofesian
dan
pendidikan
keprofesian pada Bidan belum berkembang sebagaimana yang terjadi pada Perawat, sehingga akan lebih adil jika proporsi Perawat yang menduduki jabatan inti dalam kepengurusan lebih banyak dari Bidan. Untuk membangun komitmen dan rasa memiliki terhadap Komite, maka proses sosialisasi dan pemilihan pengurus harus diselenggarakan
secara
“semarak”
tanpa
mengabaikan
pelayanan kepada pasien. Organisasi Profesi tingkat Komisariat harus mengkomunikasikan hal itu secara intens baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit sebab penyelenggaraan tata kelola klinis yang baik akan berakibat pada meningkatnya citra profesi. Setelah Pengurus Komite Keperawatan terbentuk dan ditetapkan dengan SK Direktur maka secara formal, kepanitiaan adhoc berakhir. Namun demikian, untuk menjaga kondusifitas, Panitia Adhoc sebaiknya diposisikan sebagai penasihat dari Komite Keperawatan sampai batas waktu tertentu yang dibutuhkan.
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
34
Terutama bagi Rumah Sakit yang beru pertama kali menjalankan Komite Keperawatan, akan banyak potensi masalah yang terjadi pada tahap-tahap awal, sehingga peran Panitia Adhoc yang memiliki pengetahuan yang baik tentang Komite Keperawatan menjadi penting untuk membantu Komite mencari jalan keluar yang baik dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Panitia Adhoc juga dapat berperan sebagai mentor bagi pengurus Komite
Keperawatan dalam mengembangkan
keprofesian.
Karena itulah Panitia Adhoc sebaiknya berasal dari kalangan yang memiliki keilmuan yang baik, serta mampu menginspirasi orang lain untuk bekerja dengan baik tanpa mengutamakan imbalan serta mampu berkomunikasi antar profesi. 3. Kredensial Tenaga Keperawatan Ketika
pola
jenjang
karir
sudah
disepakati
dan
Komite
Keperawatan telah dilembagakan maka langkah selanjutnya adalah melakukan kredensial untuk mengisi jenjang karir yang ada. Seluruh tenaga keperawatan mendaftarkan diri kepada Sub Komite Penjaminan Mutu dan disertai dengan dokumendokumen penunjang seperti ijazah, SK kepangkatan, sertifikat pelatihan, dan dokumen lain yang dianggap penting dan menunjang karir profesionalnya. Data yang terkumpul kemudian dibuat rekapitulasi dan disusun dalam folder masing-masing individu. Ini adalah data dasar untuk membuat profil tenaga keperawatan yang berada di Rumah Sakit. Data ini akan sangat berguna untuk Bagian SDM / Kepegawaian pada saat merencanakan kebutuhan tenaga dan membuat analisa beban kerja / analisa jabatan. Dokumendokumen yang terkumpul diseleksi bersama dengan Sub Komite Kredensial untuk menentukan mana dokumen yang terkategori
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
35
dokumen utama dan mana dokumen yang hanya merupakan pendukung. Selanjutnya Sub Komite Kredensial membuat pemetaan, dengan cara membuat asumsi penempatan masing-masing tenaga keperawatan pada masing-masing jenjang karir. Rencana penempatan ini dibuat dengan mempertimbangkan potensi individual
dari
masing-masing
tenaga
keperawatan,
kemungkinan untuk memenuhi persyaratan kredensial yang kurang dalam jangka waktu tertentu, atau hal lain yang layak dipertimbangkan (misalnya prestasi kerja, pelayanan terhadap pasien,rekomendasi dari rekan kerja/sejawat, atau perilaku keseharian). Hasil pemetaan tersebut sebaiknya juga dibahas bersama dengan Bidang Keperawatan untuk memperoleh masukanmasukan yang baik dan terkait rencana peningkatan kapasitas tenaga keperawatan jangka panjang. Progress dari proses yang berjalan juga sebaiknya dikomunikasikan kepada Direktur dan stake-holder terkait. Hasil pemetaan yang sudah final kemudian disosialisasikan kepada
seluruh
tenaga
keperawatan
disertai
kekurangan
dokumen yang harus diupayakan dalam jangka waktu tertentu (misalnya
3-6
bulan,
sesuai
kebutuhan).
Hal
ini
untuk
memberikan kesempatan bagi tenaga keperawatan melengkapi dokumen dan memenuhi azas keterbukaan informasi dan azas keadilan. Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan dokumen tersebut tidak berhasil dilengkapi maka proses kredensial dilakukan menurut jenjang karir di bawahnya. Selama masa sosialisasi, tenaga keperawatan juga berhak mengajukan permohonan
alih
jenjang
yang
setara
(misalnya
direkomendasikan sebagai PK III tetapi yang bersangkutan
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
36
memohon untuk dikredensial sebagai PM I) dengan melampirkan dokumen tambahan. Usulan ini dinilai dan dievaluasi oleh Sub Komite Kredensial untuk disetujui atau ditolak sesuai dengan kebutuhan organisasi. Mengingat keberadaan Komite Keperawatan masih baru, maka pada tahap ini sebaiknya tetap melibatkan unsur-unsur Mitra Bestari dalam melakukan penelaahan dan penilaian. Setelah jangka waktu sosialisasi berakhir maka Sub Komite Kredensial menetapkan peserta Ujian Jenjang Karir, waktu dan tempat pelaksanaan ujian serta Tim Penguji. Harus
difahami
bahwa
Sub
Komite
Kredensial
adalah
penyelenggara proses kredensial. Dalam melakukan penilaian, tidak harus Pengurus komite yang melakukannya. Tim Penguji haruslah proporsional dengan jenjang karir yang akan di uji. Misalnya, Pengurus Komite dengan kualifikasi setingkat PK II tentu tidak etis jika menguji tenaga keperawatan yang ingin menduduki jabatan PK III, atau sebaliknya. Sangat berlebihan jika pengurus dengan kualifikasi PK V ikut menguji tenaga keperawatan untuk menduduki jabatan PK II. Pada tahap awal, penguji sebaiknya melibatkan pihak Mitra Bestari atau praktisi profesional yang memiliki kapasitas keilmuan dan kepribadian yang dibutuhan untuk masing-masing jenjang karir. Hasil ujian dilaporkan kepada Ketua Komite untuk disampaikan kepada Direktur sebagai rekomendasi untuk memperoleh kewenangan klinis tertentu sesuai jenjang karirnya. Atas
dasar
hasil
rekomendasi
ini,
selanjutya
Direktur
mengeluarkan Surat Penugasan Klinis (SPK) kepada masingmasing
tenaga
keperawatan
untuk
melakukan
praktik
profesionalnya sesuai batas kewenangan yang tertuang dalam SPK tersebut. Dengan demikian Direktur telah melaksanakan
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
37
upaya penjaminan mutu yang berorientasi pada keselamatan pasien, sebab masing-masing tenaga keperawatan sudah melalui
penilaian
tertentu
dalam
melakukan
praktek
profesionalnya di Institusi Rumah Sakit. Untuk memenuhi rasa keadilan terhadap kesejahteraan, maka sepatutnya hal ini diikuti dengan remunerasi yang memperhitungkan jenjang karir dan prestasi yang bersangkutan dalam melaksanakan profesinya. Secara berkala, proses kredensial untuk maintenance
dan
kenaikan jenjang karir dilaksanakan dengan mulai mengurangi peran Mitra Bestari sedikit demi sedikit seiring dengan penigkatan kapasitas Komite Keperawatan. 4. Peningkatan Kapasitas Seiring waktu, masing-masing tenaga keperawatan berupaya meningkatkan kapasitas dirinya sendiri dan sejawatnya untuk meningkatkan mutu asuhan yang diberikan. Hal ini dapat dilakukan secara formal (studi lanjut) maupun informal (kursus, pelatihan, seminar, workshop) serta kaderisasi (preseptorship dan
mentorship).
Upaya
pengembangan
kapasitas
juga
mencakup penyempurnaan aturan yang berlaku dan penataan jenjang karir secara lebih baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya penjaminan mutu tingkat kebijakan (regulation safety). Komite Keperawatan harus mulai melakukan audit klinis secara formal selain dari audit-audit yang diselenggarakan oleh Perawat Manager. Tool untuk audit harus mulai dikembangkan dan diuji sensitifitasnya
sehingga
terjadi
siklus
penjaminan
mutu
berkelanjutan. Penyempurnaan
aturan
juga
berkaitan
dengan
cara
mengidentifikasi masalah-masalah etik dan disiplin dalam praktik profesional
dan
merumuskan
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
bagaimana
mekanisme
38
penyelesaiannya serta mengidentifikasi pihak-pihak yang akan terlibat dalam penyelesaian masalah etik dan disiplin tersebut. Pengembangan
kapasitas
juga
harus
diarahkan
pada
peningkatan grade persyaratan pada jenjang karir tertentu (pengetatan
persyaratan)
sehingga
kualifikasi
tenaga
keperawatan secara perlahan-lahan meningkat. Penyelenggaraan Komite Keperawatan yang diiringi dengan upaya pengembangan, akan menghasilkan sebuah sistem yang mendukung tata kelola klinis yang baik sehingga memudahkan Rumah Sakit untuk menjadi Rumah Sakit Pendidikan yang menyediakan wahana pembelajaran yang bermutu bagi perawat muda maupun calon perawat. 5. Penyempurnaan Sistem Berkelanjutan Seiring
dengan
perkembangan
teknologi
informasi
maka
beberapa institusi Rumah Sakit sudah mulai mengkonversi mekanisme kredensial dan penjaminan mutu manual ke dalam sebuah sistem informasi berbasis digital. Salah satunya sistem kredensial yang tengah dikembangkan oleh PPNI saat ini adalah Sistem Informasi Keperawatan secara on-line. Hal ini adalah salah
satu
upaya
kredensial
untuk
mendapatkan/memperpanjang Surat Tanda Registrasi (STR). Mekanisme yang sama juga dapat diterapkan dalam kredensial jenjang karir perawat yang bekerja di Rumah Sakit. Selain itu, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan masalah etik dan disiplin juga perlu dikuatkan dalam bentuk keputusan formal dengan Keputusan Direktur. Terkait penjaminan mutu, Komite Keperawatan sebagai sebuah lembaga juga perlu dilakukan audit dan sertifikasi (standarisasi mutu). Karena itu perlu dikembangkan sistem audit dan tool yang
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
39
dibutuhkan untuk menilai kinerja Komite itu sendiri serta pihakpihak yang terlibat dalam proses audit tersebut. Meskipun dalam jangka waktu 5-10 tahun kedepan hal ini baru akan terlaksana dengan baik, tetapi setidaknya Rumah Sakit harus mulai persiapan melaksanakan hal itu sejak dini sehingga saat
kebutuhan
Internasional
akreditasi
(akreditasi
meningkat
Join
Commite
hingga
ke
International
taraf for
Accreditation / JCI), semua hal itu sudah dipersiapkan sejak dini. J. Penutup Mengingat begitu pentingnya asuhan yang berorientasi pada keselamatan pasien maka tenaga keperawatan (perawat dan bidan) sebagai tenaga kesehatan dengan proporsi paling banyak di Rumah Sakit untuk selalu dibina dan ditingkatkan profesionalismenya. Seiring dengan semakin banyaknya regulasi yang berkaitan dengan praktik keperawatan dan kebidanan maka manajemen Rumah Sakit perlu mengambil langkah untuk mulai memberdayakan Komite Keperawatan dan Mitra Bestari sebagai mitra strategis Rumah Sakit dalam mengembangkan profesionalisme tenaga keperawatan. Pustaka Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607)
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
40
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 307; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5612) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1053) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 938 Tahun 2007 Tentang Standar Asuhan Kebidanan Bawole, G. Y. (2013). Rumah Sakit sebagai Badan Hukum bertanggung jawab atas tindakan medis yang dilakukan dokternya. Lex Crimen, II(5), 130–139. Christina, M. (2012). Mutu Pelayanan Kesehatan. UGM. Hartati, K., Djasri, H., & Utarini, A. (2014). Implementasi tata kelola klinis oleh komite medik di rumah sakit umum daerah di provinsi Jawa Tengah. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 17(01), 51–59. Herkutanto. (2009). Profil Komite Medis di Indonesia dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerjanya dalam Menjamin Keselamatan Pasien. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 12(01), 41–47. Herkutanto, & Susilo, A. P. (2009). Hambatan dan Harapan Sistem Kredensial Dokter: Studi Kualitatif di Empat Rumah Sakit Indonesia. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 12(03), 140– 147. Idris, F. (2007). Manajemen resiko dalam pelayanan kesehatan : konsep dalam sistem pelayanan kesehatan. Palembang: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat-Kedokteran Komunitas. KARS. (2012). Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi 2012. Kornela, F., Hariyanto, T., & Pusparahaju, A. (2014). Pengembangan Model Jenjang Karir Perawat Klinis di Unit Rawat Inap Rumah Sakit (Clinical Nursing Career Model Development in Inpatient Units of Hospital). Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28(1), 58–63.
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
41
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan RS. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 755 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Komite Medik Di Rumah Sakit. Siregar, C. T. (2013). Perilaku Caring Perawat dalam Melakukan Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Tengku Mansyur Tanjungbalai. Asuhan Keperawatan. Retrieved from http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39084/4/Chapter ll.pdf STIKES Santo Borromeus. (2010). PELAKSANAAN STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL: IDENTIFIKASI RESIKO PASIEN JATUH DENGAN MENGGUNAKAN SKALA JATUH MORSE DI RUMAH SAKIT “A” BANDUNG. Stikes, 1, 1–12.
Komite Keperawatan di Rumah Sakit
42