BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome ) merupakan masalah global yang penting dan merupakan masalah yang sangat kompleks. Dewasa ini
dunia
telah
mengalami
suatu
pandemi
virus
HIV
( Human Human
Immunodeficiency Virus) sebagai penyebab AIDS. Penyakit HIV/AIDS sampai sekaran sekarang g masih ditakuti ditakuti karena karena sangat mematikan. mematikan. HIV/AIDS HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan kemanusiaan.
1,2
Menurut data UNAIDS (United (United Programmes on HIV AIDS) yaitu badan WHO dunia yang menanggulangi permasalahan AIDS memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 24 juta orang di dunia sejak tahun 1981 dan menjadikannya sebagai suatu destruksi pandemik yang terbesar dalam sejarah manusia. 3 Sampai saat ini, benua Afrika masih menjadi region terbanyak dengan penduduk yang terinfeksi HIV/AIDS. Berdasarkan fakta epidemiologi HIV/AIDS di Afrika Selatan menurut UNAIDS pada tahun 2008 ini, bahwa sekitar 5,7 juta (64%) orang yang telah menjadi ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), dengan rata-rata prevalensi usia 15-49 tahun sekitar 5,4 juta orang, 3,2 juta diantaranya termasuk wanita wa nita 15 tahun keatas, 280.000 280.000 anak-anak usia 0-14 tahun dan telah tercatat 350.000 pengidap HIV AIDS yang meninggal.
1
emudian K emudian
disusul Asia Tenggara yaitu sekitar 15 % dari total keseluruhan,
sehingga menyebabkan kematian lebih dari 500.000 anak.
4
Statistik kasus yang dilaporkan oleh Ditjen PPM & PL Depkes RI, sampai dengan September 2009 secara kumulatif jumlah kasus yang dilaporkan dilapor kan adalah adala h 18442 di 32 Provinsi. Provi nsi.
Proporsi kumulatif kasus AIDS
tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun, disusul kelompok umur 30-39 tahun dan kelompok umur 40-49 tahun.
5
Di Indonesia yang terletak diantara benua Asia dan Australia, yang memiliki sekitar 17.000 pulau dengan populasi 220 juta penduduk, menjadikan Indonesia sebagai negara ke empat tertinggi di dunia untuk penyebaran HIV. Indonesia termasuk wilayah endemik HIV/AIDS, dimana dari tahun ke tahun meningkat dengan cepat dan tidak memperlihatkan adanya penurunan.
4,6,7
Penyakit Tuberkulosis (TB) sejak lama merupakan penyakit menular yang endemis di Indonesia. Tahun 1940 sampai 1970an ditemukan berbagai obat TB sehingga angka TB diberbagai negara Eropa dan Amerika menurun dengan amat tajam dari waktu ke waktu, tetapi belakangan tampak fenomena baru dan penurunan yang tajam ini tidak terjadi. Beberapa faktor jelas berperan dalam perla mbatan penurunan TB ini seperti perpindahan penduduk, pengungsi pengungsi akibat perang, kemiskinan dan infeksi HIV. 4,6,8 Antara TB dan HIV mempunyai hubungan yang kuat karena dengan infeksi HIV maka angka penyakit TB mengalami peningkatan lagi. Tuberkulosis paru merupakan infeksi oportunistik yang paling sering terjadi
2
emudian K emudian
disusul Asia Tenggara yaitu sekitar 15 % dari total keseluruhan,
sehingga menyebabkan kematian lebih dari 500.000 anak.
4
Statistik kasus yang dilaporkan oleh Ditjen PPM & PL Depkes RI, sampai dengan September 2009 secara kumulatif jumlah kasus yang dilaporkan dilapor kan adalah adala h 18442 di 32 Provinsi. Provi nsi.
Proporsi kumulatif kasus AIDS
tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun, disusul kelompok umur 30-39 tahun dan kelompok umur 40-49 tahun.
5
Di Indonesia yang terletak diantara benua Asia dan Australia, yang memiliki sekitar 17.000 pulau dengan populasi 220 juta penduduk, menjadikan Indonesia sebagai negara ke empat tertinggi di dunia untuk penyebaran HIV. Indonesia termasuk wilayah endemik HIV/AIDS, dimana dari tahun ke tahun meningkat dengan cepat dan tidak memperlihatkan adanya penurunan.
4,6,7
Penyakit Tuberkulosis (TB) sejak lama merupakan penyakit menular yang endemis di Indonesia. Tahun 1940 sampai 1970an ditemukan berbagai obat TB sehingga angka TB diberbagai negara Eropa dan Amerika menurun dengan amat tajam dari waktu ke waktu, tetapi belakangan tampak fenomena baru dan penurunan yang tajam ini tidak terjadi. Beberapa faktor jelas berperan dalam perla mbatan penurunan TB ini seperti perpindahan penduduk, pengungsi pengungsi akibat perang, kemiskinan dan infeksi HIV. 4,6,8 Antara TB dan HIV mempunyai hubungan yang kuat karena dengan infeksi HIV maka angka penyakit TB mengalami peningkatan lagi. Tuberkulosis paru merupakan infeksi oportunistik yang paling sering terjadi
2
pada
penderita
HIV.
Infeksi
HIV
merupakan
faktor
resiko
untuk
berkembangnya TB melalui mekanisme berupa reaktivasi infeksi laten, progresiviti yang cepat pada infeksi primer atau reinfeksi dengan ycobacterium M
tuberculosis ( M. tuberculosis). M. tuberculosis).
4,9
Sebanyak 24% - 45% kasus TB pada infeksi HIV asimptomatik menjadi 70 % pada pasien dengan AIDS, bentuk terbanyak adalah TB ekstrapulmoner termasuk limfadenitis, bakteremia, penyakit sistem saraf pusat (tuberkuloma, meningitis TB). Tingginya angka kejadian TB pada penderita HIV dengan uji tuberkulin positif dan berpotensi terjadi TB aktif maka perlu diadakan strategi terapi pencegahan TB yang optimal dan sebaiknya mendapat prioriti tinggi pada pasien HI V.9 Menurut data dari WHO tahun 2008, TB merupakan penyebab utama kematian terkait HIV di seluruh Dunia. Di beberapa negara dengan prevalensi HIV yang lebih tinggi, hingga 80% dari orang uji TB positif HIV. Sekitar 30% dari orang yang terinfeksi HIV diperkirakan memiliki infeksi laten TB. Pada tahun 2008, ada sebuah perkiraan 1,4 juta kasus baru TB di antara orang dengan infeksi HIV dan TB menyumbang 23% dari kematian terkait AIDS.
10
Jumlah kepadatan yang tinggi, rendahnya akses ke tempat kesehatan, dan populasi beresiko tinggi di antara para tahanan berperan dalam peningkatan infeksi TB dan HIV di antara penghuni penjara. Dr. Fabienne Hariga dari UN Office on Drugs and Crime dan Dr. Alasdair Reid dari UNAIDS menyoroti suramnya statistik kesehatan untuk orang-orang di balik jeruji besi.
Menurut Hariga, beberapa penjara memiliki sampai 65% populasi orang yang
3
terinfeksi HIV. DCS statistik melaporkan bahwa terjadi peningkatan sebanyak 700% untuk penderita HIV di penjara sejak tahun 1995
11,12
Angka TB di penjara mencapai angka 50 kali lebih tinggi daripada populasi umum. Angka peningkatan ditemukan pada tahanan yang dihukum lebih lama. Hal ini mengakibatkan adanya keterkaitan antara infeksi TB dan lama tahanan. Narapidana juga lebih mungkin meninggal akibat TB dan/atau dari pengobatan dibandingkan dengan populasi di luar penjara. Dilaporkan bahwa 90-95% kematian di penjara berhubungan dengan HIV dengan koinfeksi TB.
11,12
Berdasarkan data dari DEP K ES ES RI tahun 2006, bahwa jumlah penderita HIV di Penjara
elas K elas
1 Makassar sebanyak 33 orang dan penderita TB 19
sebanyak 22 orang dari 925 tahanan . Hingga saat ini belum tersedia data koinfeksi TB-HIV/AIDS di rumah tahanan Gunung Sari Makassar. 1.2 Rumusan Masalah
Rumusan
Masalah
dalam
penelitian
ini
adalah
bagaimanakah
karakteristik kejadian ko-infeksi penderita HIV/AIDS dengan penyakit Tuberkulosis Tuberkulosis di Rumah Tahanan Ta hanan Gunung Sari Makassar ? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh informasi mengenai karakteristik kejadian ko-infeksi penderita HIV/AIDS dengan Penyakit Tuberkulosis di rumah tahanan Gunung Sari Jalan Sultan Alauddin Makassar
4
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui prevalensi penderita HIV/AIDS di rumah tahanan Gunung Sari Makassar 2. Untuk mengetahui prevalensi penderita TB di rumah tahanan Gunung Sari Makassar. 3. Untuk mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi Tuberkulosis berdasarkan umur 4. Untuk Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi Tuberkulosis Tuberkulosis berdasarkan jenis kelamin. 5. Untuk Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi Tuberkulosis Tuberkulosis berdasarkan jumlah CD4. 6. Untuk Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi Tuberkulosis Tuberkulosis berdasarkan foto thoraks. 7. Untuk Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi Tuberkulosis Tuberkulosis berdasarkan BTA. 8. Untuk Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS dengan infeksi Tuberkulosis Tuberkulosis berdasarkan pemberian terapi. 1.3 Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi pihak Rumah tahanan Gunung Sari jalan Sultan Alauddin dalam peningkatan upaya pencegahan dan penanganan HIV/AIDS dengan infeksi Tuberkulosis di masa yang aka n datang.
5
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi perbandingan untuk peneliti selanjutnya. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber bacaan bagi mahasiswa kedokteran dan peneliti selanjutnya.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. HIV/AIDS 2.1.1 Definisi
AIDS adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV
(Human
Immunodeficiency
Virus)
yang
mengakibatkan
rusaknya/menurunnya sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit. Apabila HIV ini masuk ke dalam peredaran darah seseorang, maka HIV tersebut menyerap sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih ini adalah bagian dari sistem kekebalan tubuh yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan penyakit. HIV secara berangsur-angsur merusak sel darah putih hingga tidak bisa berfungsi dengan baik.
1,4,6
2.1.2 Sejarah
Penyakit ini pertama kali timbul di Afrika, Haiti, dan Amerika Serikat pada tahun 1978. Pada tahun 1979 pertama kali dilaporkan adanya kasuskasus Sarkoma
K aposi
dan penyakit-penyakit infeksi yang jarang terjadi di
Eropa, penyakit ini menyerang orang-orang Afrika yang bermukim di Eropa. Sampai saat ini belum disadari oleh para ilmuwan bahwa kasuskasus tersebut adalah AIDS. Sindrom yang kini telah menyebar ke seluruh dunia ini pertama kali dilaporkan oleh Gotlieb dan kawan-kawan di Los Angeles pada tahun 1981. Orang yang terinfeksi virus HIV akan berpotensi sebagai pembawa dan penular virus selama hidupnya walaupun orang tersebut tidak merasa sakit dan tampak sehat.
4,13
7
Dalam tahun yang sama yaitu pada tahun 1981 Amerika Serikat melaporkan adanya kasus Sarkoma
K apusi
dan penyakit infeksi yang jarang
terjadi di kalangan homoseksual. Hal ini menimbulkan dugaan yang kuat bahwa transmisi penyakit ini terjadi melalui hubungan seksual. Pada tahun 1982 CDC-USA (Centers for Disease Control) Amerika Serikat untuk pertamakali membuat defenisi kasus AIDS. Sejak tahun 1982 dilakukan surveilans terhadap kasus-kasus AIDS. Pada tahun 1982 ±1983 mulai diketahui adanya transmisi diluar jalur hubungan seksual, yaitu melalui transfusi darah, penggunaan jarum suntik secara bersama oleh para penyalahgunaan narkotik da n obat-obat terlarang.
4,14
Di Indonesia pertama kali mengetahui adanya kasus AIDS pada bulan April tahun 1987, pada seorang warganegara Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah Bali akibat infeksi sekunder pada paru-paru, sampai pada tahun 1990 penyakit ini masih belum mengkhawatirkan, namun sejak awal tahun 1991 telah mulai adanya peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat (doubling time) kurang dari setahun, bahkan mengalami peningkatan kasus secara ekponensial.
15,16
2.1.3 Epidemiologi
Saat ini diperkirakan ada 5 ± 10 juta orang pengidap HIV (Human Immuno Deficeincy Virus) yang belum menunjukkan gejala apapun tetapi potensial sebagai sumber penularan. Di samping itu telah dilaporkan adanya lebih kurang 100.000 orang penderita AIDS dan 300.000 ± 500.000 orang penderita ARC (AIDS Related Complex) sampai 1 Maret 1989 telah
8
dilaporkan 141.000 kasus AIDS ke WHO oleh 145 negara. AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case Fatality Rate 100 % dalam 5 tahun, artinya dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan meninggal. Pada populasi normal Adult Mortality Rate adalah 50/10.000 bila seroprevalensi infeksi HIV adalah 10 % maka dalam 5 tahun mendatang Adult Mortality Rate ini akan meningkat dua kali menjadi 100/10.000
4,16
. Dari Tahun 2001 ± 2007, terjadi
peningkatan penderita HIV dari 93.000-270.000.
Grafik
2.1 Estimasi angka manusia yang hidup dengan HIV
17
Distribusi umur penderita AIDS di AS, Eropa dan Afrika tidak berbeda jauh, kelompok terbesar berada pada umur 30 ± 39 tahun, dan menurun pada kelompok umur yang lebih besar dan lebih kecil. Hal ini membuktikan bahwa transmisi seksual baik homo maupun heteroseksual merupakan pola transmisi utama. Mengingat masa inkubasi AIDS yang berkisar dari 5 tahun ke atas, maka infeksi terbesar terjadi pada kelompok
9
umur muda/seksual paling aktif yaitu 20 ± 30 tahun 11,12. Distribusi penderita HIV menurut umur dapat dilihat dari gambar 2.
Grafik
17
2.2. Distribusi penderita HIV/AIDS menurut umur .
Depkes RI melaporkan bahwa sampai pada tahun 2009 kasus HIV/AIDS tercatat sebanyak 18442 orang yang menyebar di 33 Propinsi. Perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut :
5
Tabel 2.1 Perkembangan HIV AIDS di Indonesia Jenis Kelamin/Sex
AIDS
AIDS/IDU
Laki-laki/Male
13654
6877
Perempuan/Female
4701
574
Tak Diketahui/Unknown
87
47
Jumlah/Total
18442
7498
Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia 5 Sumber : Ditjen PPM & PL Depkes RI
10
Rasio jenis kelamin pria wanita adalah 10 ± 15 : 1 karena sebagian besar penderita adalah kaum homoseksual. Perbandingan antara penderita dari daerah urban (perkotaan) dan rural (pedesaan) umumnya lebih tinggi di daerah urban, karena di kota lebih banyak dilakukan promiskuitas (hubungan seksual dengan banyak mitra seksual), maka kelompok masyarakat berisiko tinggi adalah kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas, yaitu kaum homoseksual termasuk kelompok biseksual, heteroseksual, dan penyalahguna narkotik suntik, serta penerima transfusi darah termasuk penderita hemofili dan penyakit-penyakit darah, anak dan bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV. Prevalensi infeksi HIV dikalangan ini terus meningkat dengan pesat. Di San Fransisco pada tahun 1978, hanya 4 % kaum homoseksual diperkirakan mengidap HIV, 3 tahun kemudian angka ini bertambah menjadi 24 %, 8 tahun kemudian menjadi 80 % dan pada saat ini telah menjadi 100 %. K elompok
4, 18
heteroseksual risiko tinggi ini di Indonesia adalah para
WTS, para pramupijat, pramuria bar dan club malam dan para pelanggannya.
K elompok
penyalah guna narkotik suntik, mereka ini
menggunakan alat suntik bersama dan sering masih terdapat sisa darah di dalam jarum atau alat suntik.
K elompok
ini di Eropa meliputi 11 % dari
semua kasus AIDS dan di Amerika Serikat 25 % dari seluruh kasus AIDS 4. Menurut data dari National AIDS reports, jumlah penderita HIV sebanyak 56,1 % pada perempuan, dan 52,2 % pada laki-laki. Sedangkan
11
pada umur <25 tahun, terdapat 41,7% penderita HIV, dan pada umur >25 17
tahun ada 57,9% penderita HIV . Ini dapat dilihat pada gambar 3.
Grafik
2.3 Persentase dari resiko tinggi penderita HIV berdasarkan umur dan jenis kelamin. 17
2.1.4 Gejala
Gejala-gejala yang muncul dari HIV bisa mempengaruhi seseorang secara bertahap. Setelah virus memasuki tubuh, maka virus akan berkembang dengan cepat. Virus ini akan menyerang limfosit CD4 (sel T) dan menghancurkan sel-sel darah putih sehingga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Setiap tahapan dari infeksi akan menunjukkan gejala yang berbeda. Tahap awal dari infeksi virus ini biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda atau gejala apapun, gejala baru akan muncul setelah dua sampai empat minggu setelah terinfeksi. Seseorang bisa mengeluh mengalami sakit kepala yang berat dan persisten disertai dengan demam.
5,8
Terdapat 4 gejala stadium klinis HIV yang dapat digunakan
untuk mendiagnosis HIV, yaitu :
12
Tabel 2.2 Stadium klinis untuk mendiagnosis HIV Stadium 1 Asimptomatik Tidak ada penurunan berat badan Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten Stadium 2 Sakit ringan Penurunan BB 5-10% ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir Luka di sekitar bibir (keilitis angularis) Ulkus mulut berulang Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE) Dermatitis seboroik Infeksi jamur kuku Stadium 3 Sakit sedang Penurunan berat badan > 10% Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan K andidosis oral atau vaginal Oral hairy leukoplakia TB Paru dalam 1 tahun terakhir Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll) TB limfadenopati Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml) Stadium 4 Sakit berat (AIDS) Sindroma wasting HIV Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan. K andidosis esophageal TB Extraparu* Sarkoma kaposi Retinitis CMV* Abses otak Toksoplasmosis* Encefalopati HIV Meningitis K riptokokus* Infeksi mikobakteria non-TB meluas y y
y y y y y y y y
y y y y y y y y y
y y y y y y y y y y y
Kondisi dengan tanda* perlu diagnosis dokter yang dapat diambil dari rekam medis RSsebelumnya
Dikutip dari DEP K ES RI ± Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Edisi II± 19 2007
13
2.1.5 Penularan AIDS.
HIV dapat ditularkan melalui : A. Hubungan seksual (homoseksual ataupun heteroseksual) dengan seorang yang mengidap HIV. B. Transfusi darah yang tercemar HIV. C. Melalui alat suntik, alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) bekas dipakai orang yang mengidap HIV. D. Pemindahan HIV dari ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin yang dikandungnya. 18,19 2.1.6 Penilaian Imunologi
Jumlah CD4 adalah cara yang terpercaya dalam menilai status imuunitas seorang ODHA. Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis yang mana dapat memandu dalam menentukan kapan pasien memerlukan pengobatan profilaksis terhadap IO dan terapi ARV sebelum penyakitnya berlanjut menjadi lebih parah.
18,19
2.1.7 Terapi ARV A. Tidak tersedia tes CD4
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis 18,19
yang baru.
14
B. Tersedia tes CD4
Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3.
18,19,20
15
Tabel 2.3 Saat memulai terapi pada ODHA dewasa Stadium Klinis 1
Bila tersedia pemeriksaan Terapi antiretroviral dimulai bila
Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4 Terapi ARV tidak
diberikan 2
CD4 <200
Bila jumlah total limfosit <1200
Jumlah CD4 200 ± Terapi ARV dimulai 350/mm3, tanpa memandang pertimbangkan terapi jumlah limfosit sebelum CD4 <200/mm3 Pada kehamilan atau TB: Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil dengan CD4 ,350 Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi bakterial berat Terapi ARV dimulai 4 tanpa memandang jumlah CD4 Dikutip dari DEP K ES RI ± Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Edisi II± 2007 19 3
y
y
Keterangan: a CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan). b Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat ditentukan. c Jumlah limfosit total 1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I ) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumberdaya terbatas .
16
Panduan ARV lini pertama yang dianjurkan adalah : 1. Pilih lamivudin (3TC), ditambah 2. Pilih salah satu obat dari golongan nucleoside revere transcriptase inhibitor (NRTI), zidovudine (AZT) atau stavudin (d4T) Tabel 2.4 Pilihan Paduan ARV untuk Lini - Pertama Anjuran
Paduan ARV
Keterangan
Pilihan utama
AZT + 3TC + NVP
AZT dapat menyebabkan anemia, dianjurkan untuk pemantauan hemoglobin, tapi AZT lebih disuka dari pada stavudin (d4T) oleh karena efek toksik d4T (lipoatrofi, asidosis laktat, neropati perifer). Pada awal penggunaan NVP terutama pada pasien perempuan dengan CD4 >250 berisiko untuk timbul gangguan hati simtomatik, yang biasanya berupa ruam kulit. Risiko gangguan hati simtomatik tersebut tidak tergantung berat ringannya penyakit, dan tersering pada 6 minggu pertama dari terapi.
Pilihan Alternatif
AZT + 3TC + EFV
Efavirenz (EFV) sebagai substitusi dari NVP manakala terjadi intoleransi dan bila pasien juga mendapatkan terapi rifampisin. EFV tidak boleh diberikan bila ada peningkatan enzim alanin aminotransferase (ALT) pada tingkat 4 atau lebih. Perempuan hamil tidak boleh diterapi dengan EFV. Perempuan usia subur harus menjalani tes kehamilan terlebih dulu sebelum mulai terapi dengan EFV. d4T dapat digunakan dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium.
d4T + 3TC + NVP atau EFV
Dikutip dari DEP K ES RI ± Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Edisi II± 2007 19
17
Tabel 2.5 Terapi ARV untuk Pasien dengan Koinfeksi TB dan HIV CD4
Paduan yang
Keterangan
Dianjurkan CD4 <200/ mm3
Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2 bulan) Paduan yang mengandung EFV (AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800 mg/hari). Setelah OAT selesai maka bila perlu EFV dapat diganti dengan NVP Bila NVP terpaksa harus digunakan disamping OAT, maka dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan fungsi hati (SGOT/SGPT) secara
Saat mulai ART pada 2 ± 8 minggu setelah OAT
ketat CD4 200-350/ mm3
Mulai terapi TB
Setelah 8 minggu terapi TB
CD4 >350/ mm3
Mulai terapi TB.
Tunda terapi ARV e , evaluai kembali pada saat minggu ke 8 terapi TB dan setelah terapi TB lengkap
CD4 tidak mungkin diperiksa
Mulai terapi TB.
Pertimbangkan terapi ARV mulai 2 ± 8 minggu setelah terapi TB dimulai
Dikutip dari DEP K ES RI ± Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Edisi II± 200719
2.2. Tuberkulosis 2.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992
W orld
Health Organization (WHO)
telah mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global Emergency » . Laporan
18
WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah pendduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk, seperti terlihat pada tabel Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk,
dimana
prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan
peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
21,22
Tabel 2.6 Perkiraan insidens TB dan angka mortaliti, 2002 Jumlah (Ribu)
Pembagian daerah WHO Afrika Amerika Mediteranian timur Eropa Asia Tenggara Pasifik barat Global
Kasus
K asus
100000 duk
Semua kasus (%) 2354 (26) 370 (4) 622 (7)
Sputum positif 1000 165 279
Semua kasus (%) 350 43 124
472 (5) 2890 (33) 2090 (24) 8797 (100)
211 1294 939 2887
54 182 122 141
Per Pendu
K ematia
Sputum positif
Jumlah (Ribu)
149 19 55
556 53 143
Per 100 000 Penduduk 83 6 28
24 81 55 63
73 625 373 1823
8 39 22 29
n akibat TB
Dikutip dari pedoman diagnosis dan penata laksanaa Tuberkulosis di Indonesia
12
19
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia. Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi M ycobacterium tuberculosis complex. berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 ± 0,6 mm dan panjang 1 ± 4 mm. Dinding
M.
tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel
M.
tuberculosis ialah asam mikolat, lilin
kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor , dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 ± C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester.
9,10,12,13
2.2.2 Patogenesis K uman
tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang
di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar
20
getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer.
K ompleks
primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut : 1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum) 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus) 3. Menyebar dengan cara Perkontinuitatum, secara bronkogen, hematogen dan limfogen Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. 9,12,16 2.2.3 Klasifikasi Tuberkulosis 1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura Berdasarkan Pemeriksaan dahak, Tuberkulosis pari dibagi menjadi :
21
-
Tuberkulosis Paru BTA (+) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif, Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif, Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak 12,17,19
menunjukkan BTA positif dan biakan positif -
Tuberkulosis Paru BTA (-) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif, Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif 12,17,20
Berdasarkan Tipe Pasien, ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu : a.
K asus
baru
b.
K asus
kambuh (relaps)
c.
K asus
defaulted atau drop out
d.
K asus
gagal
e.
K asus
kronik / persisten
2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing,
22
alat kelamin dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. 2.2.4
Gambaran
12
Klinik
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya
12
2.2.4.1 Gejala klinik
1. Gejala respiratorik - batuk ³ 2 minggu - batuk darah - sesak napas - nyeri dada 2. Gejala sistemik - Demam - Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun 3. Gejala tuberkulosis ekstra paru 2.2.4.2 Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan
bakteriologik
untuk
menemukan
kuman
tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal , bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
23
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
12
12
2.2.4.3 Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. 9,12,19
dicurigai sebagai lesi TB aktif
Gambaran radiologik yang
:
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah,
K aviti,
terutama lebih dari satu,
dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular - Bayangan bercak milier - Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif - Fibrotik - K alsifikasi - Schwarte atau penebalan pleura
24
Gambar
2.1. Alur Diagnosis TBC Dikutip dari pedoman diagnosis dan penatalaksanaa Tuberkulosis di 12 Indonesia 2. 2.6 Pengobatan TB
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan ta mbahan.9,12,15
25
OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai: Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adala h: · Rifampisin, INH, Pirazinamid, Streptomisin, Etambutol Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) · K anamisin · Amikasin · K uinolon Tabel 2.7 Jenis dan Dosis OAT
Obat
R
Dosis (Mg/Kg BB/Hari)
8-12
Dosis yg dianjurkan Harian Intermitte (mg/ (mg/Kg/ kgBB / BB/kali) hari)
DosisMaks (mg)
10
600
10
Dosis (mg) / beraty badan (kg)
<40
4060 450
>60 600
150
300
450
350 H
4-6
5
10
300
Z
20-30
25
35
750
1000 1500
E
15-20
15
30
750
1000 1500
S
15-18
15
15
Sesuai
750
1000
1000
BB Dikutip dari pedoman diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis di 12 Indonesia .
26
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 8.12,23 Tabel 2.8 Dosis Obat Anti tuberkulosis kombinasi dosis tetap Fase Intensif
Fase lanjutan
2 Bulan BB
4 bulan
6 Bulan harian
Harian
harian
3x seminggu
harian
3x seming gu
RHZE 150/75/ 400/275
RHZ 150/75/400
RHZ 150/150/ 500
RH 150/ 75
RH 150/150
30-37
2
2
2
2
2
1,5
38-54
3
3
3
3
3
2
55-70
4
4
4
4
4
3
>71
5
5
5
5
5
3
EH 400/ 150
Dikutip dari pedoman diagnosis dan penatalaksanaan Tuberkulosis Indonesia 12 2.2.3 Hubungan HIV dengan TB
HIV/AIDS dan Tuberkulosis (TB), terutama TB paru, saat ini merupakan masalah kesehatan global. TB paru merupakan infeksi
27
oportunistik paling sering terjadi pada penderita HIV/AIDS di dunia, sebagian besar disebabkan karena menyebarnya penderita HIV di daerah dimana prevalensi TB tinggi. Di negara-negara sedang berkembang diduga sekitar 3-4,5 juta penduduk di Afrika, sub sahara , menderita HIV dan TB 16,22,23
secara bersamaan.
HIV meningkatkan epidemi TB dengan beberapa cara.. Telah diketahui bahwa HIV merupakan faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif baik pada orang yang baru terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten. Risiko terjadinya TB pada orang dengan ko-infeksi HIV/TB berkisar antara 5 ± 10% per tahun. Sekitar 60% orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan Purified Protein Derivative (PPD) positif berkembang menjadi TB aktif semasa hidupnya, sedangkan pada PPD positif dan HIV negatif adalah sekitar 10%. (lihat Gambar 4). HIV meningkatkan angka kekambuhan TB, baik disebabkan oleh reaktifasi endogen atau re-infeksi eksogen. Peningkatan kasus TB pada ODHA akan meningkatkan risiko penularan TB pada masyarakat umum dengan atau tanpa terinfeksi HIV. Pencegahan HIV terkait TB melebihi pelaksanaan sepenuhnya dari DOTS, karena juga mencakup pencegahan infeksi HIV sejak awal, pencegahan berkembangnya infeksi TB laten menjadi penyakit aktif serta ketentuan dan penyediaan pengobatan dan perawatan HIV/AIDS. 16,22,23
28
Gambar
2.2. Perkembangan TB dan AIDS dengan melihat pemeriksaan PPD23
Sekitar 72% jumlah penderita TB dunia terdapat di Asia, dan lebih dari 1,3 juta orang dewasa di Asia diperkirakan terinfeksi dengan HIV dan TB secara bersamaan. Di negara-negara dengan prevalensi TB yang tinggi seperti Indonesia maka setidaknya 50% atau lebih penduduk dewasanya telah terinfeksi kuman TB dan di dalam tubuhnya terdapat kuman TB dalam keadaan dorman. Mereka tidak menjadi sakit karena daya tahan tubuh yang baik. Bila daya tahan menurun akibat HIV maka penyakit TB dapat muncul akibat reaktivasi endogen kuman dorman dalam tubuh. Di pihak lain, mereka yang terinfeksi HIV tidak dapat menahan dirinya terhadap kemungkinan infeksi baru TB secara eksogen. 17 Program nasional TB di negara-negara dengan beban HIV yang tinggi melaporkan terjadinya peningkatan case fatality rate (CFR) sampai 25% pada pasien dengan BTA positif dan 40 ± 50%
29
pada pasien TB paru dengan BTA negatif. Di seluruh dunia terdapat 350.000 kematian akibat HIV dengan TB pada tahun 2000. Hal ini dapat disebabkan oleh 23,24
keterlambatan diagnosis dan pengobatan TB
.
Grafik
2.3 Angka kasus baru TB menurut status HIV per 100.000 orang di Chiang Rai, Thailand (1987-2000). ( Sumber: TB/HIV Research Project, RIT JATA, Provincial Health Office Chiang Rai, Ministry of Public Health, 23 Thailand)
Sejumlah publikasi dari beberapa tempat tertentu di Thailand dan India melaporkan bahwa proporsi TB dengan HIV seropositif meningkat tajam setelah tahun 1991. Dari register TB di Rumah Sakit Propinsi Chiang Rai, yang mulai melaksanakan tes HIV secara sukarela dan rahasia pada Oktober 1989, menunjukkan peningkatan jumlah dan proporsi yang cepat dan konsisten dari pasien TB dengan HI V seropositif dari 1,5% pada tahun 1990 menjadi 45,5% pada tahun 1994 serta 72,0% pada pasien laki-laki dan 65,8% pada pasien perempuan pada tahun 1998. Data periode-10-tahun
30
yang serupa diperoleh dari Pune, India ± angka HIV seropositif pada pasien TB yang baru didiagnosis meningkat secara konsisten dari 4% pada tahun1991 menjadi 20% pada tahun 1996. Meluasnya epidemi HIV/TB di Asia Tenggara tergantung epidemi HIV dimasa mendatang dan upaya pengendalian TB
23,24
.
Menurut Data dari WHO HIV Department, didapatkan jumlah penderita TBC yang dites HIV sebanyak 996.000 (16%), ternyata yang positif HIV adalah 30 % penderita. Distribusi penderitanya dapat dilihat pada tabel 8. Tabel 2.9 Persentase Pasien TBC yang dites HIV tahun 2007
HIV t sti Regi
TB t st
¥
'
!
#
$
!
tr
ti ts f r HIV !
f t st TB ti ts HIV +
"
#
$
!
!
"
!
tm fi
TB
#
$
!
AF
£
¢
¡
¢
,
¢
£
¥
¦
,
, ¢
¨
§
l
( .
¡
¢
, ¢
¢
¤
(
¢
¤
¢
¨
¨
( . ¡
¢
¢
¢
¨
"
TB
#
!
"
ti A T $
!
"
tifi ts
!
"
%
.
)
¤
¡
£
)
¤
¡
(
)
¤
( .
¢
fi
!
)
¤
(
¢
tifi ts
)
£
"
)
¢
¢
(
¢
£
£
A
Gl
¢
©
¢
£
,
U
,
M
¢
AM
,
"
ti C T !
&
t,
¤
)
20
Dikutip dari Marco Victoria, WHO HIV department .
31
TB adalah infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang semua organ tubuh, terutama paru. TB merupakan infeksi oportunistik yang potensial untuk penderita HIV/AIDS, karena kondisi imunosupresif seluler yang terjadi pada penderita HIV/AIDS mempermudah
penyebaran
infeksi
TB
primer.
Sebaliknya
infeksi
M.tuberculosis pada penderita HIV akan mempercepat perjalanan infeksi HIV stadium dini menjadi stadium lanjut.
16
32
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang diteliti
Berdasarkan kerangka teori, terdapat banyak karakteristik kejadian koinfeksi HIV dengan Tuberculosis yaitu umur, jenis kelamin, status gizi, lama menderita HIV, Status perkawinan, faktor resiko berupa riwayat berhubungan seks dengan banyak pasangan, riwayat penggunaan jarum suntik, riwayat kontak dengan penderita TBC, jumlah CD4, hasil Foto thoraks, hasil pemeriksaan BTA, dan pemberian terapi. Akhirnya dipilih beberapa variabel untuk diteliti yaitu umur, jenis kelamin, jumlah CD4, foto thoraks, hasil pemeriksaaan BTA, dan pemberian terapi. Sedangkan faktor yang lain tidak dilakukan penelitian karena keterbatasan data yang ada di rekam medik.
33
3.2. Kerangka Konsep Penelitian UMUR
JENIS KELAMIN
KO-INFEKSI HIV DENGAN
JUMLAH CD4
TUBERKULOSIS
HASIL FOTO THORAKS
HASIL PEMERIKSAAN BTA
JENIS TERAPI
34
3.3. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Variabel
: Umur
Definisi
: lamanya hidup seseorang mulai lahir hingga saat
penderita
didiagnosis
HIV
dengan
infeksi
Tuberkulosis
yang
dinyatakan dalam satuan tahun. Alat Ukur
: kuesioner
Cara Ukur
:
Berdasarknn hasil
jawaban
kuesioner
yang
diperoleh dari pencatatan rekam medik K riteria
Objektif
: K lasifikasi umur : 1. 10 tahun 2. 11-20 tahun 3. 21-30 tahun 4. 31-40 tahun 5. 41-50 tahun 6. 51-60 tahun
2. Variabel
: Jenis K elamin
Definisi
: Identitas subjek berdasarkan organ seksualnya
Alat Ukur
: kuesioner
Cara Ukur
:
Berdasarkan
hasil
jawaban
kuesioner
yang
diperoleh dari pencatatan rekam medik K riteria
objektif
: 1. Laki-laki 2. Perempuan
35
3. Variabel
: Jumlah CD4
Definisi
: sebuah marker atau penanda sistem kekebalan
tubuh yang diperiksa pada awal perawatan. Berdasarkan kategori CDC (Centers for Disease Control) untuk pemeriksaan CD4. Alat Ukur
:
kuesioner
Cara Ukur
:
Berdasarkan
hasil
jawaban
kuesioner yang
diperoleh dari pencatatan rekam medik K riteria
objektif
:
1. Dilakukan pemeriksaan Jumlah CD4 dengan pengelompokkan sebagai berikut : K ategori
1 : >500 µl limfosit CD4+/µl
K ategori
2 : 200 - 499 µl limfosit CD4+/µl
K ategori
3 : <200 µl limfosit CD4+/µl
2. Tidak dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 4. Variabel Definisi
: Hasil Foto Thoraks : jenis pemeriksaan radiologi yang digunakan untuk
menunjang diagnosis penyakit. Alat Ukur
:
kuesioner
Cara Ukur
:
Berdasarkan
hasil
jawaban
kuesioner
yang
diperoleh dari pencatatan rekam medik K riteria
objektif
: 1. Mendukung diagnosis TBC 2. Tidak mendukung diagnosis TBC
36
5. Variabel
: Hasil Pemeriksaan BTA
Definisi
: Hasil pemeriksaan sputum dengan menggunakan
pewarnaan Ziehl-Nielsen Alat Ukur
: kuesioner
Cara Ukur
:
Berdasarknn
hasil
jawaban
kuesioner
yang
diperoleh dari pencatatan rekam medik K riteria
objektif : pemeriksaan BTA mempunyai kategori sebagai
berikut : 1.
K ategori
1 : BTA (+)
2.
K ategori
2 : BTA (-)
3. Tidak dilakukan pemeriksaan 6. Variabel Definisi
: Jenis Terapi : jenis pengobatan yang diberikan kepada penderita
HIV/AIDS dengan infeksi tuberkulosis. Alat Ukur
:
kuesioner
Cara Ukur
:
Berdasarknn
hasil
jawaban
kuesioner
yang
diperoleh dari pencatatan rekam medik K riteria
objektif : Pemberian terapi pada penelitian ini adalah jenis
pengobatan yang diberikan atau tidak diberikan oleh dokter yang memeriksa penderita HIV/AIDS dengan infeksi tuberkulosis, dengan jenis terapi sebagai berikut : 1. Obat Antiretrovirus 2. Obat untuk Infeksi tuberkulosis
37
3. Pengobatan Simptomatis dan suportif. 4. Obat ARV, Obat TB, dan pengobatan simptomatis serta suportif 5. Obat ARV dan obat TB 6. Obat ARV dan obat Simptomatis serta suportif 7. Obat TB dan Obat simptomatis
38
BAB 1V METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan K arakteristik kejadian ko-infeksi HIV/AIDS dengan TB di 25
Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar . Data yang diperoleh selanjutnya digambarkan berdasarkan tujuan penelitian yang akan dicapai. 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah tahanan Gunung Sari yang terletak di jalan Sultan Alauddin, makassar selama 2 minggu mulai tanggal 18-31 Oktober 2010. 4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita HIV/AIDS dengan infeksi tuberkulosis di Rumah tahanan Gunung Sari Makassar. 3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah penderita HIV/AIDS dengan infeksi tuberkulosis di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar yang terdaftar di rekam medik.
39
3.3.3. Kriteria Seleksi 4.3.3.1 Kriteria Inklusi
1. Rekam Medik tahanan yang menderita HIV/AIDS dengan Infeksi Tuberkulosis yang tercatat di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar 2. Rekam Medik Pasien HIV/AIDS selama periode Januari ± Desember 2009 4.3.3.2 Kriteria Eksklusi
1. Rekam Medik yang tidak mempunyai data yang lengkap 2. Rekam Medik yang hilang dan tercec er 4.3.4 Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling dimana mengambil seluruh sampel data rekam medik yang tersedia dan memenuhi 21
kriteria seleksi berdasarkan tahun 2009 4.4 Data dan Instrumen Penelitian 4.4.1 Jenis Data
Data Sekunder dari bagian rekam medik Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar 4.4.2 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa reka m medik 4.5. Manajemen Data 4.5.1
Teknik Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data sekunder di baina rekam medik rumah tahana n gunung sari Makassar
40
4.5.2
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan
data
dan
naratif
deskriptif
menggunakan komputer melalui program W indows
4.5.3
M icrosoft
dilakukan
dengan
Excel dan SPSS for
15
Penyajian Data
Data yang diolah dan dianalisis akan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik untuk menggambarkan karakteristik kejadian ko-infeksi HIV/AIDS dengan Tuberkulosis disertai penjelasan yang sesuai. 4.6
Etika Penelitian
1. Menyerahkan surat pengantar yang ditukan kepada pihak pemerintah dan Rumah Tahanan sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian 2. Menyerahkan surat persetujuan yang ditujukan kepada pihak tempat penelitian untuk melakukan penelitian 3.
K ami
akan berusaha untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek
penelitian yang terdapat pada data sekunder yang diperoleh, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian ini 4. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang terkait, khususnya bagi dunia kedokteran dan bagi program penaggulangan HIV/AIDS dan Tuberkulosis di Indonesia
41
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 18 ± 22 Oktober 2010 di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data rekam medik pasien. Dalam penelitian ini, didapatkan jumlah pasien HIV sepanjang tahun 2009 berjumlah 28 orang, dan yang menderita Tuberkulosis sebanyak 14 orang. Dari 28 orang ini yang memiliki ko-infeksi dengan tuberkulosis berjumlah 8 orang. Tabel 5.1. Distribusi Pasien HIV menurut Jenis Kelamin di Rumah Tahanan Gunung
Sari Makassar periode Januari-Desember 2009
Jenis Kelamin
Frekuensi
Presentase (%)
Laki-laki
26
92,9
Perempuan
2
7,1
Jumlah (n)
28
100,0
Sumber : data sekunder 2009 Tabel 5.1 menunjukkan bahwa jumlah penderita HIV di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar lebih banyak laki-laki, yaitu 26 orang (92,9 %), sedangkan perempuan berjumlah 2 orang (7,1 %).
42
Tabel 5.2. Distribusi Pasien HIV menurut Kelompok Umur di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar periode Januari-Desember 2009
Kelompok Umur (Tahun)
Frekuensi
Presentase (%)
<10
0
0
10-19
1
3,6
20-29
21
75
30-39
6
21,4
40-49
0
0
50-59
0
0
>60
0
0
Jumlah (n)
28
100
Sumber : data sekunder 2009 Tabel 5.2 menunjukkan bahwa kelompok umur 20 ± 29 tahun terbanyak pada pasien HIV di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar sebanyak 21 orang (75 %), sedangkan tidak ada pasien yang berumur di bawah 10 tahun dan di atas 40 tahun. Dengan umur terendah 19 tahun, tertinggi 34 tahun.. Tabel 5.3. Distribusi Pasien Tuberkulosis di Rumah Tahanan
Gunung
Sari
Makassar periode Januari ± Desember 2009 Jenis Kelamin
Frekuensi
Presentase (%)
Laki-laki
13
92,86
Perempuan
1
7,14
Jumlah (n)
14
100,0
Sumber : data sekunder 2009
43
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa jumlah pasien TB di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar peiode 2009 berjumlah 14 orang dimana yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 13 orang (92,86 %) dan perempuan berjumlah 1 orang (7,14 %) Tabel 5.4. Karakteristik Pasien Ko-infeksi HIV dengan Tuberkulosis di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar periode Januari ± Desember 2009 berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Frekuensi
Presentase (%)
Laki-laki
8
100,0
Perempuan
0
0
Jumlah (n)
8
100,0
Sumber : data sekunder 2009 Tabel 5.4 menunjukkan bahwa jumlah pasien ko-infeksi HIV dengan Tuberkulosis di Rumah Tahanan Gunung Sari periode 2009 adalah 8 orang. Semua pasien ko-infeksi HIV dengan TB berjenis kelamin la ki-laki.
44
Tabel 5.6. Karakteristik Pasien Ko-infeksi HIV dengan Tuberkulosis di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar periode Januari ± Desember 2009 berdasarkan Umur
Kelompok Umur (Tahun)
Frekuensi
Presentase (%)
< 10
0
0
11 ± 19
0
0
20 ± 29
7
87,5
30 ± 39
1
12,5
40 ± 49
0
0
50 ± 59
0
0
>60
0
0
Jumlah (n)
8
100,0
Sumber : data sekunder 2009 Tabel 5.6 menunjukkan bahwa kelompok umur terbanyak pada pasien
K o-
infeksi HIV dengan Tuberkulosis tahun 2009 adalah kelompok umur 20-29 tahun dengan jumlah 7 orang (87,5 %), sedangkan kelompok umur 30-39 tahun berjumlah 1 orang (12,5 %), dan tidak ada pasien yang berumur di bawah 20 tahun dan diatas 40 tahun.
45
Tabel 5.7. Karakteristik Pasien Ko-infeksi HIV dengan Tuberkulosis di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar periode Januari ± Desember 2009 berdasarkan Jumlah CD4 Pemeriksaan CD4
Frekuensi
Presentase (%)
Dilakukan Pemeriksaan CD4
1
12,5
Tidak Dilakukan Pemeriksaan
7
87,5
8
100,0
CD4 Jumlah (n)
Sumber : data sekunder 2009 Tabel 5.7 menunjukkan bahwa sebanyak 7 orang (87,5%) penderita ko-infeksi HIV dengan Tuberkulosis tidak dilakukan pemeriksaan CD 4, sedangkan hanya 1 orang (12,5%) penderita yang dilakuka n pemeriksaan CD4 Tabel 5.8. Karakteristik Pasien Ko-infeksi HIV dengan Tuberkulosis di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar periode Januari ± Desember 2009 berdasarkan Pemeriksaan BTA
Hasil Pemeriksaan BTA
Frekuensi
Presentase (%)
BTA (+)
0
0
BTA (-)
3
37,5
Tidak Dilakukan
5
62,5
8
100,0
Pemeriksaan Jumlah (n)
Sumber : data sekunder 2009
46
Tabel 5.8 menunjukkan bahwa sebanyak 5 orang (62,5%) penderita koinfeksi HIV dengan Tuberkulosis tidak dilakukan pemeriksaan BTA. Pasien koinfeksi yang dilakukan pemeriksaan dan hasilnya adalah BTA (-) sebanyak 3 orang (37,5%). Tidak terdapat pasien dengan hasil pemeriksaan BTA (+).
Tabel 5.9. Karakteristik Pasien Ko-infeksi HIV dengan Tuberkulosis di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar periode Januari ± Desember 2009 berdasarkan Hasil Foto Thoraks Hasil Foto Thoraks
Frekuensi
Presentase (%)
Mendukung Diagnosis TB
8
100,0
Tidak Mendukung Diagnosis
0
0
8
100,0
TB Jumlah (n)
Sumber : data sekunder 2009 Tabel 5.9 menunjukkan bahwa pasien ko-infeksi HIV dengan TB dengan hasil foto thoraks mendukung diagnosis TB berjumlah 8 orang (100%). Tidak ada pasien dengan hasil foto thoraks tida k mendukung diagnosis TB.
47
Tabel 5.10. Karakteristik Pasien Ko-infeksi HIV dengan Tuberkulosis di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar periode Januari ± Desember 2009 berdasarkan Jenis Terapi Jenis Terapi
Frekuensi
Presentase (%)
Terapi ARV
0
0
Terapi TB
0
0
Terapi Simptomatik
1
12,5
Terapi ARV, TB, dan
1
12,5
0
0
Terapi ARV dan TB
0
0
Terapi TB dan
6
75
8
100,0
Simptomatik Terapi ARV dan simptomatik
Simptomatik Jumlah (n)
Sumber : data sekunder 2009 Tabel 5.10. menunjukkan bahwa pasien koinfeksi HIV dengan TB yang mendapatkan terapi TB dan Simptomatik berjumlah 6 orang (75%), sedangkan pasien yang mendapatkan terapi ARV, TB, dan simptomatik berjumlah 1 orang (12,5%). Pasien dengan terapi Simptomatik saja berjumlah 1 orang (12,5%). Tidak ada pasien yang mendapatkan terapi ARV dan TB secara bersamaan.
48
5.2. PEMBAHASAN
Berdarakan hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa disribusi frekuensi penyakit HIV di Rutan Gunung Sari Makassar periode 2009 berdasarkan tabel 5.1. berjumlah 28 orang dengan distribusi berdasrkan jenis kelamin adalah laki-laki berjumlah 26 orang (92,9%), dan perempuan 2 orang (7,1%). Hasil ini sesuai dengan statistik dari Ditjen PPM & PL Depkes RI sampai tahun 2009 yaitu jumlah penderita HIV terbanyak adalah laki-laki sebanyak 13654 orang, dan perempuan sebanyak 4701 orang. 5 Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rasmaliah (2001) yang mendapatkan perbandingan laki-laki dengan perempuan 10:1. Akan tetapi, data ini tidak sesuai dengan pelaporan National AIDS Reports dimana jumlah penderita berjenis-kelamin perempuan adalah 56,1% dibandingkan dengan laki-laki yang berjumlah 52,2%.
17
Pada penelitian ini,
jumlah penderita HIV adalah 28 orang dari 829 tahanan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian oleh Hariga yang mengatakan bahwa 65 % populasi penjara menderita HIV/AIDS K elompok
11
umur 20-29 tahun merupakan kelompok umur yang rentan
terhadap HIV/AIDS sesuai dengan hasil pelaporan statistik Ditjen PPM & PL Depkes RI sampai tahun 2009 bahwa proporsi kumulatif kasus HIV/AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun disusul kelompok umur 30-39 tahun, dan kelompok umur 40-49 tahun 5. Penderita positif HIV pada usia tersebut diduga telah meakukan hubungan seksual pada saat mereka masih di
49
bangku SMP ataupun SMA. Meski sebenarnya penularan HIV tak hanya melalui hubungan intim. Berdarakan hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa disribusi frekuensi penyakit TBC di Rutan Gunung Sari Makassar periode 2009 berdasarkan tabel 5.3. berjumlah 14 orang dengan distribusi berdasrkan jenis kelamin adalah laki-laki berjumlah 13 orang (92,9%), dan perempuan 1 orang (7,1%). Hal ini berbeda menurut teori mengatakan bahwa distribusi TB paru adalah sama pada laki-laki dan perempuan 18. Distribusi frekuensi ko-infeksi HIV dengan TB paru berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa pria lebih banyak menderita TB paru dibanding perempuan.
Hasil ini sesuai dengan penelitian dari Rahayu Lubis (2007) 24
yaitu 72,0 % penderita adalah laki-laki . Berdasarkan kelompok umur yang tertinggi menderita TB-HIV adalah kelompok umur 20-29 tahun dimana sesuai dengan teori bahwa ko-infeksi TB dan HIV menyerang pada usia 2049 tahun. Jumlah penderita ko-infeksi TB ± HIV di penjara adalah 8 orang. Hasil ini tidak sesuai dengan data TB in Prison yang mengatakan bahwa jumlah penderita TB di penjara 50% lebih banyak dari jumlah penderita TB di populasi umum11. Hitung sel CD4 digunakan sebagai alat untuk memantau resiko perkembangan penyakit dan menentukan waktu yang tepat untuk memulai atau memodifikasi regimen obat. Hitung sel CD4 memberikan informasi mengenai status imunologik seseorang. Pada penelitian ini, jumlah penderita ko-infeksi TB-HIV yang dilakukan pemeriksaan CD4 adalah 1 orang, dan
50
jumlah penderita yang tidak dilakukan pemeriksaan CD4 adalah 7 orang. Banyaknya penderita yang tidak dilakukan pemeriksaan CD4 karena sebelum penderita diperiksa, banyak diantaranya yang meninggal atau pindah rumah tahanan. Tidak ditemukan referensi yang membahas mengenai pemeriksaan CD4 di penjara. Distribusi
frekuensi
ko-infeksi
TB
dan
HIV
berdasarkan
hasil
pemeriksaan BTA adalah sebanyak 3 orang BTA negatif, 4 orang tidak dilakukan pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan artikel yayasan spiritiva yang menyatakan bahwa pada penderita infeksi TBC dengan HIV lebih banyak menghasilkan BTA negatif. Adapun banyaknya penderita yang tidak dilakukan
pemeriksaan
dikarenakan
pihak
dari
rutan
menghentikan
pemeriksaan BTA terhadap tahanan yang dicurigai TBC karena hasil negatif 26
yang selalu diperoleh . Distribusi
frekuensi
ko-infeksi
TB
dan
HIV
berdasarkan
hasil
pemeriksaan foto thoraks menujukkaan bahwa jumlah penderita yang dicurigai TBC setelah dilakukan pemeriksaa n foto thoraks, 100% mendukung diagnosa TB. Oleh karena itu, keluhan pasien dan foto thoraks dijadikan alat diagnosis TB di penjara. Hal ini sesuai dengan alur diagnosis TB menurut pedoman diagnosa dan penatalaksanaan T B di Indonesia 12. Distribusi frekuensi penderita ko-infeksi TB dan HIV berdasarkan jenis terapi yang diberikan menunjukkan 6 orang (75%) diberikan terapi TB dan simptomatik. Hanya 1 orang penderita yang mendapat terapi lengkap yaitu terapi ARV, terapi TB dan terapi simptomatik. Hal ini karena penderita yang
51
dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 adalah satu orang yang merupakan dasar dalam pemberian terapi ARV. Ini sesuai dengan pedoman terapi ARV pada penderita
ko-infeksi
TB
HIV
yaitu
Pemeriksaan
CD4
melengkapi
pemeriksaan klinis yang mana dapat memandu dalam menentukan kapan pasien memerlukan pengobatan profilaksis terhadap Infeksi oportunistik dan 19
terapi ARV sebelum penyakitnya berlanjut menjadi lebih parah .
52
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang karakteristik kejadian ko-infeksi HIV dengan Tuberkulosis paru di Rumah Tahanan Gunung Sari Makassar periode 2009, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Distribusi kejadian ko-infeksi HIV/AIDS dengan tuberkulosis paru berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki. 2. Distribusi kejadian ko-infeksi HIV/AIDS dengan tuberkulosis paru berdasarkan umur adalah kelompok umur 20-29 tahun 3. Distribusi kejadian ko-infeksi HIV/AIDS dengan tuberkulosis paru berdasarkan Jumlah CD4 adalah tidak dilakukan pemeriksaan 4. Distribusi kejadian ko-infeksi HIV/AIDS dengan tuberkulosis paru berdasarkan hasil pemeriksaan BTA adalah tidak dilakukan pemeriksaan 5. Distribusi kejadian ko-infeksi HIV/AIDS dengan tuberkulosis paru berdasarkan hasil foto thoraks adalah mendukung diagnosa TB 6. Distribusi kejadian ko-infeksi HIV/AIDS dengan tuberkulosis paru berdasarkan Jenis terapi adalah Jenis terapi TB, terapi simptomatik dan suportif
53
6.2. Saran
1. Dari penelitian ini dapat diketahui masih ada beberapa data pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya yang perlu dilakukan untuk penegakan diagnosis, penatalaksanaan, dan kontroling pada pasien ko-infeksi TB dan HIV. 2. Perlunya partisipasi aktif oleh para profesional kesehatan dalam menangani kejadian ko-infeksi HIV dengan t uberkulosis 3. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan muncul penelitian-penelitian lain tentang ko-infeksi HIV dengan infeksi tuberkulosis
54
DAFTAR PUSTAKA
1.
Djoerban Z., Djauzy S., HIV/AIDS di Indonesia Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III, Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas K edokteran Universitas Indonesia; 2006
2.
Amiruddin D., Penyakit Menular Seksual
K ausa
Virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) Dalam Penyakit Menular Seksual. Makassar : Bagian Ilmu Penyakit
K ulit
dan
K elamin
Fakultas
K edokteran
Universitas
Hasanuddin : 2004 3.
Djuanda A., Penyakit
K elamin
Syndrome) Dalam Ilmu Penyakit
AIDS (Aqcuired Immuno Deficincy K ulit
dan
K elamin,
Edisi ke-4. Jakarta :
Fakultas kedokteran Universitas Indonesia : 2005 4.
Rasmaliah., Epidemiologi HIV/AIDS dan Upaya Penanggulangannya.Medan : Fakultas K esehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara:2001
5.
Ditjen PP & PL Depkes RI. Statistik K asus HIV/AIDS di Indonesia. 2009
6.
Soewandojo, Eddy., The management of HIV/AIDS in Pulmonary Tuberculosis. TB Update 2002. Surabaya: 2002
7.
UNAIDS, WHO. AIDS Epidemic Update 2007. England. 2007
8.
Yoga, Tjandra. Tuberculosis and Human Immunodeficiency Virus Infection. MedicalProgress. Jakarta:2005
9.
Tabrani, Rab. Tuberculosis paru. Dalam buku Ilmu Penyakit Paru. Hipokrates.Jakarta :1996
55
10. TB dan HIV Meningkat di Penjara. (Cited 2010 Okt 13). Available from : http://spiritia.or.id/news/bacanews.php?nwno=1798 11. TB
in
Prison.
(
Cited
2010
Okt
13
).
Available
From
:
http://www.kaisernetwork.org/health_cast/uploaded_files/Carmelia%20Basri 1.pdf 12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman diagnosis dan Penatalaksanaan Di indonesia. Jakarta:2006 13. Schwartzstein, Richard. Parker, Michael. The Phyiological Implications of the Anatomy of The Respiratory System. In Respiratory Physiology, a Clinical Approach. Lippincott Williams a nd Wilkins. Philadelphia : 2006 14. Gunardi, Wani. Patogenitas dan Virulensi Tuberkulosis. Tugas Problema Infeksi Secara Umum. Program Pendidikan Dokter spesialis Mikrobiologi fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin. Jakarta:2005 15. Helmia, Manase Lulu. Tuberkulosis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru Fakultas UNAIR. Surabaya: 2004 16. Soewandojo, Eddy. The management Of HIV/AIDS in Pulmonary TB. Simposium Nasional TB Update 2002. Surabaya: 2002 17. ................Indonesia Evidence to Action. Country Pr ofile. 2008 18. Janis, Eddy. Sugito. HIV/AIDS di RS. H. Adam Malik Medan. Dalam Jurnal Respirologi Indonesia. Surakarta ; 2005 19. Aditama,Tcandra.dkk,. Panduan Tatalaksana Dewasa
dan
Remaja.
Dalam
buku
K linis
Infeksi HIV pada orang
Pedoman
Nasional
Terapi
Antiretroviral.DEPK ES RI. Jakarta. 2007
56