Diposkan oleh deliani putri di 21.18
KLIPING PERMASALAHAN EKONOMI DI INDONESIA Masalah Ekonomi di Indonesia - Siapa sih yang tidak tahu bahwa negara kita, Indonesia ini adalah termasuk negara yang kaya? Terutama kaya akan sumber daya alam yang tidak dimiliki oleh negara lain. Tapi sayangnya pemanfaatan sumber daya alam Indonesia belum maksimal. Parahnya lagi adalah orang asing yang berhasil mengeruk kekayaan alam kita. Itu baru satu contoh permasalahan permasa lahan ekonomi Indonesia Indonesi a yang muncul kepermukaan. kepermuka an. Tidak hanya itu, masih ada beberapa permasalahan lagi yang membuat ekonomi Indonesia agak lambat untuk berkembang.
Beberapa Masalah Ekonomi di Indonesia
1. Tingginya Jumlah Penganggura Pengangguran. n.
Dari tahun ke tahun, masalah jumlah pengangguran di Indonesia kian bertambah. Belum ada solusi yang jitu untuk mengatasi tingginya angka pengangguran sampai saat ini. Pengadaan lapangan kerja saja dirasa tidak cukup untuk menekan angka pengangguran di negara ne gara kita.
2. Tingginya Biaya Produksi
Sudah menjadi rahasia umum di dunia industri di negara kita ini bahwa selain biaya produksi cukup tinggi belum lagi ditambah dengan biaya-biaya yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan. Namun karena faktor keamanan di negara kita masih sangat minim dan ketidakmampuan pemerintah untuk mendukung dan melindungi sektor industri, akibatnya terdapat banyak pungutan-pungutan liar yang bahkan akhir-akhir ini dilakukan dengan terang-terangan. Hal ini yang juga akhirnya menjadikan biaya produksi semakin meningkat. Parahnya lagi, belum ada solusi pasti untuk masalah ini. Bahkan beberapa industri yang dinilai cukup bagus akhirnya bangkrut dan lebih memilih untuk beralih menjadi importir yang hanya cukup menyediakan gudang dan beberapa pekerja saja dibanding dengan mendirikan sebuah industri baru. Ini harus menjadi perhatian khusus pemerintah untuk mengatasi masalah ini dan masalah ekonomi di i ndonesia lainnya.
Masalah Ekonomi di Indonesia Lainnya : 3. Keputusan Pemerintah Yang Kurang Tepat
Kita semua tahu bahwa beberapa tahun belakangan ini sangat marak sekali peredaran barang barang dari China di negara kita, bukan? Nah, penyebabnya adalah keputusan pemerintah dalam hal regulasi ekonomi yang dirasa kurang tepat jika dilihat dari kondisi perekomomian Indonesia. Di saat itu pemerintah memutuskan untuk bergabung dalam ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA). Akhirnya terjadilah seperti yang kita rasakan sekarang ini. Produk lokal nyaris kalah dengan produk yang berasal dari China.
4. Bahan Kebutuhan Pokok Masih Langka
Langkanya bahan kebutuhan pokok adalah salah satu masalah serius yang menimpa kondisi ekonomi indonesia. Masalah ini akan sangat terasa sekali di saat menjelang perayaan harihari besar seperti hari raya idul fitri, natal, dan hari-hari besar lainnya. Meskipun pemerintah terkadang melakukan razia pasar untuk terjun langsung melihat penyebab langkanya bahan kebutuhan pokok, namun tindakan ini dirasa masih jauh dari menyelesaikan masalah langkanya kebutuhan pokok itu sendiri. 5. Suku Buka Perbankan Terlalu Tinggi
Perlu anda ketahui bahwa salah satu indikator untuk menentukan baik atau tidaknya kondisi perekonomian di suatu negara adalah suku bunga. Semakin tinggi atau semakin rendahnya suku bunga perbankan di suatu negara, maka akan berpengaruh besar terhadap kondisi ekonomi di negara tersebut. Nah, untuk suku bunga perbankan di Indonesia masih dinilai terlalu tinggi sehingga masih perlu perhatian lebih dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini. 6. Nilai Inflasi Semakin Tinggi
Selain suku bunga perbankan, satu hal lagi yang juga mempengaruhi kondisi ekonomi di suatu negara adalah nilai inflasi. Di Indonesia, nilai inflasi dinilai nyaris cukup sensitif. Bahkan hanya gara-gara harga sembako dipasaran tinggi, maka nilai inflasi juga terpengaruh. Akibat dari tingginya nilai inflasi di negara kita ini, maka akan bermunculan masalahmasalah ekonomi Indonesia yang lain.
Kinerja Perbankan di Yogyakarta Terus Meningkat Erfanto Linangkung Selasa, 31 Januari 2017 − 21:42 WIB
Gedung Otoritas Jasa Keuangan Yogyakarta. Foto/kemenkumham.go.id YOGYAKARTA - Kinerja perbankan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2016 yang lalu cukup
baik. Bahkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai sebagian besar bank di Yogyakarta atau 85% berkinerja sangat baik, 9% baik dan 4% dalam kondisi sedikit baik, dan 1% kurang baik. Angka terakhir yang kurang baik adalah BPR yang masuk dalam pengawasan khusus oleh OJK. Jika melihat dari sisi kinerja perkreditan di Yogyakarta, Non Performance Loan (NPL) baik bank umum konvensional berada di angka 2,76%. Sementara bank umum syariah di angka 2,48%. Untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPRS nilai NPLnya juga berada di kisaran 5%. Secara umum, nilai kredit bermasalah perbankan di Yogyakarta masih di bawah ketentuan. Secara ketentuan batas ambang aman nilai NPL bank umum berada di bawah 5%, sementara BPR harus berada di bawah 10%. Kendati nilai NPL kredit BPR di angka 5%, tetapi OJK mengklaim nilai NPL BPR di 2016 lalu masih aman. Artinya kredit yang dikucurkan perbankan masih di bawah kendala. Kepala OJK Yogyakarta, Fauzi Nugroho mengatakan, untuk penghimpunan dana dari perbankan di Yogyakarta, masih didominasi oleh bank umum. Bank umum total asetnya mencapai Rp58 triliun, unit syariah Rp4,7 triliun. Aset yang dimiliki oleh 53 BPR mencapai Rp5,54 triliun, sementara BPRS
nilai asetnya baru sekitar Rp0,64 triliun. "Bank umum konvensional memang masih mendominasi karena jaringannya lebih besar," tuturnya.
Penetrasi Perbankan Syariah Masih Sangat Rendah Erfanto Linangkung Jum'at, 20 Januari 2017 − 02:32 WIB
Meski sudah beberapa dekade bank syariah beroperasi di Indonesia, namun ternyata penetrasinya masih sangat rendah. Foto/Ilustrasi/Istimewa A+ AYOGYAKARTA - Meski sudah beberapa dekade bank syariah beroperasi di Indonesia, namun
ternyata penetrasinya masih sangat rendah. Potensi 290 juta penduduk Indonesia yang di antaranya 87% penduduk muslim belum menjamin pertumbuhan industri bank syariah tumbuh seperti yang diharapkan. Direktur Bisnis BNI Syariah Kukuh Raharjo mengungkapkan, 87% penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Dan 60% dari 87% penduduk muslim tersebut masuk dalam kategori usia produktif. Namun, rekening penduduk Indonesia di bank syariah hanya 5,86% dari total jumlah penduduk. "Artinya hanya 17 juta penduduk Indonesia yang memiliki rekening di Bank Syariah," kata dia di Semarang, Kamis (19/1/2017).
Menurutnya, jumlah tersebut sangat sedikit karena ternyata perbankan syariah sudah diinisiasi 26 tahun lalu. Meski sudah 26 tahun tetapi angka literasi masyarakat masih kurang. Kukuh menganggap, selama ini sosialisasi produk juga kurang. Padahal, sejatinya produk syariah bersumber Alquran dan Assunah maka bersifat tetap dan kebaikan, seharusnya masyarakat muslim mudah menerimanya.
Kepemilikan Asing di Perbankan Nasional Harus Dibatasi Arief Sinaga Senin, 6 Februari 2017 − 21:00 WIB
Indef menilai kepemilikan asing di perbankan nasional harus dibatasi. Foto/Ilustrasi/Istimewa JAKARTA - Kepemilikan asing di perbankan nasional harus menjadi prioritas utama dalam
amandemen Undang Undang (UU) Perbankan No 10 Tahun 1998 yang akan mulai dibahas tahun ini. UU Perbankan Nomor 10 ini disetujui untuk direvisi dan masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2017. "Sejak 1998, perbankan kita itu sangat liberal dibandingkan negara ASEAN lainnya, dengan porsi kepemilikan saham mencapai 99 persen. Padahal negara lain seperti Thailand cuma 25 persen dan Singapura sebanyak 40 persen," ujar Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati, dalam diskusi Jakarta Economic Media Forum bertajuk 'RUU Perbankan dan Penguatan Industri Perbankan Nasional' di Jakarta, Senin (06/02/2017).
Apalagi, tambah Enny, dari sisi asas resiprokal dalam pendirian bank atau kantor bank di luar negeri tidak semudah yang diberikan ketika bank asing masuk ke Indonesia. "Hal ini sangat terlihat pada sulitnya bank-bank lokal membuka kantor cabang di negara lain, sedangkan bank asing begitu mudah sekali buka cabang di sini," jelas Enny. Enny mengatakan, aturan kepemilikan saham bank tak dijelaskan secara jelas dalam undang-undang di negara ini. Namun, hanya diatur dalam peraturan Bank Indonesia (BI). Sedangkan di negara lain, seperti Thailand, mengatur bank komersialnya untuk tidak mentransfer saham kepada pihak siapa pun. Enny juga menyinggung soal perang bunga surat utang yang akan memberikan dampak negatif untuk menurunkan tingkat suku bunga pinjaman di bawah 10% atau yang lebih dikenal dengan ungkapan satu digit.
Tekan Kredit Macet, Perbankan Lakukan Pencadangan Lily Rusna Fajriah Kamis, 2 Februari 2017 − 14:26 WIB
Ekonom LPS Dody Arifianto mengungkapkan, tahun ini perbankan banyak melakukan pencadangan demi menekan risiko kredit macet. Grafis/istimewa
JAKARTA - Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dody Arifianto mengungkapkan, tahun ini perbankan banyak melakukan pencadangan demi menekan risiko kredit macet (non performing loan/NPL). Pencadangan yang dilakukan bank tersebut sudah diatur Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
sebagai regulator.
Namun, kata dia, perbankan juga melakukan pencadangan agar alur kredit tidak menjadi masalah bagi kinerja keuangan. Sehingga, kinerja bisnis di tahun depan tidak terganggu. Dalam melakukan pencadangan, Dody mengaku, para bank juga melihat performa dari debitur atau perusahaan yang menerima kredit. "Performa debitur dilihat, apakah dia (perusahaan meminjam) sedang batuk-batuk sementara saja dan bisa disehatkan pemiliknya. Dari sini bank bisa melakukan penilaian dan menyesuaikan," kata dia dalam rilisnya, Jakarta, Kamis (2/2/2017). Menurutnya, ketika menyalurkan kredit, perbankan pastinya melihat track record dari perusahaan debitur. Sebab, pelaku pasar (investor) selalu memantau kinerja perbankan, terutama azas kehati hatian. "Kalau perbankan di Indonesia tebal-tebal (pencadangan), makanya di situ memang konservatif. Hampir semua bank memiliki pencadangan. Mejadi penting ketika tingkat NPL sudah bersih tidak terlalu tinggi, maka akan membuat laju pertumbuhan kredit meningkat," papar Dody. Atas dasar itu, tingkat pencadangan yang dilakukan perbankan merupakan usaha positif demi menjaga kredit, sehingga tidak mengganggu kinerja perbankan. "Bagus, pencadangan yang dilakukan bank itu bertujuan positif. Hubungan bank dan debitur harus turut dijaga, jadi tidak bisa main diputus saja, khususnya nasabah yang besar," jelasnya. Sementara, Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan, kinerja kredit perbankan mengalami perlambatan di 2016, dikarenakan permintaan dan rata-rata tingkat NPL perbankan masih tinggi hingga di kuartal IV/2016. David optimistis, tingkat NPL rata-rata perbankan akan membaik di tahun i ni. Dengan banyaknya perbankan yang melakukan pencadangan tiap tahunnya. Apalagi banyak bank yang melakukan pencadangan di tahun lalu, sehingga akan memberikan sentimen positif bagi tingkat kredit tahun ini. "Permintaan kredit 2016 masih rendah, masih banyak risiko sehingga belum bisa ambil kredit. Pada 2017, kalau dilihat dari fundamental bagus. Satu hal memberikan keyakinan perbankan. Kira-kira kinerja pertumbuhan kredit perbankan sekitar 10% di tahun ini," terang dia.
BI Ubah Sistem Lelang Instrumen Moneter Ilyas Istianur Praditya
06 Feb 2017, 15:29 WIB
Bank Indonesia (BI) telah mengubah sistem lelang instrumen moneter agar penyerapan likuiditas lebih efektif.
Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) telah mengubah sistem lelang instrumen moneter. Perubahan
tersebut berlaku sejak awal Februari ini. Perubahan dilakukan agar penyerapan likuiditas lebih efektif. Instrumen moneter Bank Indoensia yang mengalami perubahan sistem lelang adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Surat Berharga Negara (SBN) dan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI). Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Dody Zulverdi menjelaskan, perubahan sistem lelang yang dilakukan adalah sebelumnya BI menerapkan sistem bunga tetap atau fix rate tender , sedangkan saat ini BI memberlakukan sistem bunga varibel atau variable rate tender . "Dengan variable rate tender ini maka bunga lelang dalam operasi moeneter Bank Indonesia silahkan bank-bank yang mengajukan, baru nanti kita tentukan mereka dapat berapa," kata Dody di Gedung Bank Indonesia, Senin (6/2/2017). Meski nantinya setiap lelang dan setiap bank akan mendapat bunga yang berbeda-beda, tetapi BI memastikan bunga yang dipatok tidak akan jauh dari suku bunga acuan 7 Days Repo Rate yang berlaku. Tujuan perubahan sistem lelang ini memiliki dua tujuan. Pertama, dengan adanya bunga yang variabel ini maka penyerapan likuiditas yang dilakukan Bank Indonesia jauh lebih efektif. Kedua, Bank Indonesia juga bisa mendapatkan informasi dari para perbankan mengenai kondisi likuiditas yang sedang terjadi di pasar.
"Jadi kalau bank-bank itu likuiditasnya tinggi, dia pasti nanti bisa mengajukan bunga yang sedikit rendah. Tapi jika bank-bank yang likuiditasnya ketat, biasanya bunganya akan sedikit tinggi," tegas dia. Dengan informasi yang disampaikan para perbankan ini, maka bisa menjadi pertimbangan dari Bank Indoensia untuk merespons melalui kebijakan moeneter, jika masih memiliki ruang. (Yas/Gdn)
BI dan Pemerintah Sepakati 6 Langkah Strategis Jaga Inflasi 2017 Ilyas Istianur Praditya
25 Jan 2017, 13:55 WIB
BI beserta pemerintah menyepakati enam langkah strategis untuk menjaga inflasi.
Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) beserta pemerintah menyepakati enam langkah strategis
untuk menjaga inflasi 2017 agar tetap berada dalam kisaran 4 persen dan penetapan sasaran inflasi tahun 2019-2021. Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo menjelaskan, kesepakatan atas langkah strategis dan penetapan sasaran inflasi ke depan sejalan dengan upaya membawa inflasi tetap rendah dan stabil. Kesepakatan tersebut dicapai dalam rapat koordinasi antar pimpinan lembaga dan kementerian yang tergabung dalam Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dan Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID) yang diselenggarakan hari ini di G edung Bank Indonesia.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh Gubernur BI Agus Martowardojo, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti. Selain itu, dalam pertemuan tersebut juga hadir Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf, Pejabat Eselon I dan II dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian PPN, dan Kepolisian Republik Indonesia. "Ke depan, pengendalian inflasi di tahun 2017 menghadapi beberapa tantangan, baik berasal dari eksternal maupun domestik, yang perlu diwaspadai dan dimitigasi sejak dini. Tantangan dari eksternal terutama terkait dengan kenaikan harga komoditas global," kata Agus di Gedung Bank Indonesia, Rabu (25/1/2017). Agus menambahkan, untuk tantangan domestik berasal dari kelanjutan kebijakan reformasi subsidi energi yang lebih tepat sasaran yaitu berupa penyesuaian harga untuk pelanggan listrik dengan daya 900 VA, dan penyesuaian harga jual BBM sesuai dengan kenaikan harga minyak dunia. Meskipun demikian, Agus melihat, kebijakan reformasi tersebut perlu didukung untuk mewujudkan aspek pemerataan dan menciptakan keuangan negara yang lebih sehat. Keenam langkah strategis yang disepakati oleh BI dan Pemerintah untuk menjaga inflasi 2017 dan 2018 agar berada dalam kisaran sasarannya, yaitu masing-masing sebesar 4 persen dan 3,5 persen, adalah: 1. menekan laju inflasi volatile food (VF) menjadi di kisaran 4-5%, melalui: - penguatan infrastruktur logistik pangan di daerah, khususnya pergudangan untuk penyimpanan komoditas ; - membangun sistem data lalulintas barang, khususnya komoditas pangan; - penggunaan instrumen dan insentif fiskal untuk mendorong peran pemerintah daerah dalam stabilisasi harga; - mendorong diversifikasi pola konsumsi pangan masyarakat, khususnya untuk konsumsi cabai dan bawang segar, antara lain dengan mendorong inovasi industri produk pangan olahan; - penguatan kerjasama antar daerah; - mempercepat pembangunan infrastruktur konektivitas; dan memperbaiki pola tanam pangan. 2. mengendalikan dampak lanjutan dari penyesuaian kebijakan AP, seperti pengendalian tarif angkutan umum; 3. melakukan sequencing kebijakan AP, termasuk rencana implementasi konversi beberapa jenis subsidi langsung menjadi transfer tunai (a.l. pupuk, raskin, dan LPG 3Kg);
4. memperkuat kelembagaan TPI dan Pokjanas TPID melalui Perpres menjadi Tim Pengendalian Inflasi Nasional; 5. memperkuat koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah dengan penyelenggaran Rakornas VIII TPID tahun 2017 pada bulan Juli 2017; dan 6. memperkuat bauran kebijakan Bank Indonesia untuk memastikan tetap terjaganya stabilitas makroekonomi. Pemerintah dan Bank Indonesia juga menyepakati sasaran inflasi 2019, 2020 dan 2021 masing-masing sebesar 3,5 persen, 3 persen dan 3 persen, "Sasaran inflasi yang lebih rendah tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan prospek dan daya saing perekonomian," tambah Agus. Selain itu, penetapan sasaran inflasi tersebut juga bertujuan untuk terus mengarahkan ekspektasi inflasi pada tingkat yang rendah dan stabil. Ke depan, Pemerintah dan Bank Indonesia berkomitmen untuk terus memperkuat koordinasi, terutama dalam hal penentuan besaran dan timing kebijakan energi, pengendalian dampak lanjutan ( second round effect ), dan penguatan kebijakan pangan untuk menekan inflasi Volatile Food menjadi di kisaran 4 persen
sampai 5 persen. (Yas/Gdn)
Pendapatan Per Kapita Masyarakat Naik, Ini Tantangan RI Fiki Ariyanti
06 Feb 2017, 17:15 WIB Pekerja
menata uang di kantor BRI, Jakarta, Kamis (22/12). PT Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk menyiapkan pasokan uang tunai Rp17 triliun untuk memenuhi kebutuhan transaksi masyarakat pada liburan Natal dan Tahun Baru 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)
Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, pendapatan per kapita atau rata-rata
orang Indonesia menjadi Rp 47,96 juta per tahun atau mendekati Rp 4 juta per bulan di 2016. Meski mengalami kenaikan dibanding dua tahun sebelumnya, namun Indonesia masih memiliki tantangan ketimpangan pendapatan dan middle income trap. Kepala BPS, Suhariyanto atau akrab disapa Kecuk ini mengungkapkan, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,02 persen di 2016, nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga Berlaku tercatat sebesar Rp 12.406,8 triliun. "Dengan jumlah PDB Indonesia di 2016 sebesar Rp 12.406,8 triliun, pendapatan per kapita di Indonesia mencapai Rp 47,96 juta atau senilai US$ 3.605,06 di 2016," terang dia di kantornya, Jakarta, Senin (6/2/2017). Adapun realisasi PDB per kapita pada 2016 naik dibanding realisasi dua tahun lalu yang mencapai Rp 45,14 juta atau US$ 3.374,49 per tahun di 2015, dan Rp 41,92 juta atau US$ 3.531,85 pada 2014. Meskipun naik secara nasional, namun Kecuk menilai ada ketimpangan pendapatan antara penduduk di kota dan di desa atau di Jakarta dengan daerah lainnya. Ketimpangan tersebut cukup tajam. "Mungkin kalau kita sudah punya angka PDB per kapita per provinsi, ada perbedaan tajam antara satu provinsi dengan provinsi lain, seperti antara Jakarta dan NTT. Jadi kita masih punya PR bahwa ada ketimpangan, ini perlu perhatian," terangnya. Dalam menurunkan ketimpangan, lebih jauh dijelaskan dia, dapat dilakukan dengan mempermudah akses pendidikan, modal, kesehatan, lapangan kerja, dan pembangunan infrastruktur secara merata dari wilayah Bagian Barat, Tengah, dan Timur. Tantangan lain, Indonesia masih terkungkung dalam jeratan middle income trap atau negara berpendapatan menengah. Untuk keluar dari jebakan ini, Bank Indonesia (BI) mengatakan, Indonesia harus memiliki pendapatan per kapita sebesar US$ 13 ribu pada 2030. Kecuk menambahkan, supaya PDB per kapita meningkat, Indonesia harus mampu menaikkan nilai PDB atas dasar harga berlaku. Syaratnya, seluruh industri harus bergerak, tumbuh tinggi sehingga nilai tambah meningkat. "Industri yang harus bergerak tinggi adalah 4 sektor yang selama ini memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi, yakni sektor pertanian, industri, perdagangan, dan kontruksi," paparnya. Diakui dia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1 persen di 2018. "Jadi kita harapkan dari 4 sektor utama ini tumbuh tinggi karena mampu men-generate income, berpengaruh ke masyarakat, menyerap tenaga kerja," jelas Kecuk.
Kecuk menyarankan, pemerintah harus dapat mengendalikan inflasi, baik dari harga barang-barang yang diatur pemerintah (administered prices) dan gejolak harga bahan pangan. Pasalnya dengan inflasi yang tinggi, akan menggerus daya beli masyarakat sehingga berpotensi menurunkan konsumsi rumah tangga. "Inflasi akan mempengaruhi konsumsi rumah tangga, karena inflasi yang rendah, konsumsi bagus. Inflasi akan menjadi deflator untuk PDB harga berlaku, karena pertumbuhan ekonomi dihitung harga PDB konstan. PDB harga berlaku dibagi inflasi. Jadi inflasi harus dijaga," tandas dia.