WIENNA MEIDY UTAMI A011171525 KETIMPANGAN AGRARIA KELAUTAN A. PENGANTAR 1
Agraria sebagai sumberdaya alam yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa
kepada bangsa Indonesia sebagai kekayaan nasional merupakan sarana dalam meyelenggaraakan seluruh aktivitas kehidupan rakyat dan mempunyai peranan yang penting bagi kelangsungan hidup manusia. Agraria merupakan sumber penghidupan umat manusia baik di gunakan untuk tempat tinggal maupun tempat bercocok tanam atau kegiatan lainya. Begitu pentingnya agraria bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Agraria mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) disebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan mengenai agraria juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Agraria adalah kesatuan dari bumi air dan udara. Dalam Pasal 1 ayat (2) UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan; “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Bumi mencakup permukaan bumi ,tubuh bumi dan bumi yang berada di bawah air seperti yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (4) UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria menyebutkan;”Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air”. 1
Unila Digilib. Tahun 2015. http://digilib.unila.ac.id/2977/11/BAB%20I.pdf
Hutan merupakan bagian dari bagian dari permukaan bumi, hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainya.1 Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan pengertian yang tertuang dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan memiliki berbagai macam fungsi pokok salah satunya adalah hutan lindung dijelaskan sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida, habitat hewan, modulator arus hridologika serta pelestari tanah dan merupakan salahsatu aspek biosfer bumi yang paling penting. Karena pentingannya untuk kelangsungan hidup kita bersama, maka kawasan hutan dan hasil hutannya harus dilindungi terus-menerus. Wajarlah bila kita semua penuh perhatian terhadap keberadaan hutan, karena hutan memiliki sarat manfaat bagi kehidupan kita semua. Saat ini luas total hutan di Provinsi Lampung mencapai 1.004.735 Ha, luas lahan kritis mencapai 1.271.584,94 Ha, sedangkan kerusakan kawasan hutan mencapai 555.348,10 Ha. Luas hutan dan lahan yang direhabilitasi 54.959,68 Ha Yang terdiri dari 11.852,78 Ha di dalam kawasan hutan dan 43.106,9 di luar kawasan hutan. Dari berbagai literatur mengenai masalah-masalah agraria di Indonesia, akan dengan mudah ditemukan banyak sengketa agraria yang terjadi di Indonesia, hal ini terjadi karena adanya distribusi penguasaan sumber-sumber agraria yang tidak adil. Situasi ini yang disebut dengan ketimpangan agraria. Masalah ini hendaknya tidak disimak semata-mata urusan tanah atau (lebih sempit lagi) masalah kepemilikan atas tanah. Masalah ketimpangan agraria adalah masalah tentang bagaimana distribusi manfaat sosial ekonomi atas sumber daya agraria secara adil. Masalah pertanahan perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak sebab masalah ini mempunyai kerawanan sosial akibat tindak kekerasan yang sering ditimbulkan
oleh pihak-pihak yang terlibat. Hal ini dapat dimaklumi mengingat tanah sebagai sumber daya langka yang tidak dapat diperbaharui bukan saja merupakan faktor produksi utama, melainkan juga simbol status atau bahkan simbol harga diri.Tipe sengketa tanahnya cukup bervariasi, dari perampasan tanah dengan penggusuran, perampasan tanah tanpa ganti rugi yang layak sampai perampasan tanah dengan pembakaran bangunan diatasnya. Salah satu sengketa pertanahan yang terjadi adalah sengketa lahan hutan yang terjadi di register 22 Way Waya. Sengketa yang terjadi di Register 22 Way Waya Kabupaten Pringsewu itu bermula dari dikeluarkanya Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.742/MENHUT-II/2009 tentang penetapan sebagian Kawasan Hutan Hutan Lindung Kelompok Hutan Way Waya Register 22, seluas 175 (seratus tujuh puluh lima) hektar, yang terletak diwilayah Kecamatan Pagelaran Utara, Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung sebagai Kawasan Hutan Tetap. Keputusan tersebut merupakan keputusan yang dikeluarkan akibat dari proses kompensasi (tukar guling) lahan register dengan tanah marga pada tahun 1999 yang diketuai oleh orang bernama Makmun warga Desa Sumber Bandung bahwa lahan selus kurang lebih 175 (seratus tujuh puluh lima ) hektar merupakan lahan tukar guling dan keluarlah Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.742/MENHUTII/2009 tentang penetapan sebagian Kawasan Hutan Hutan Lindung Kelompok Hutan Way Waya Register 22, seluas 175 (seratus tujuh puluh lima) hektar, yang terletak diwilayah Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung sebagai Kawasan Hutan Tetap. Pada mulanya di Pekon Sumber Bandung ada program kompensasi / tukar guling lahan seluas 175 Ha, yaitu lahan marga akan di ganti dengan lahan register. Lahan tukar guling yang diperjanjikan okeh ketua panitia kompensasi Makmun adalah seluas 175 hektar yang terletak di Sumber bandung. Pada kenyataanya di lapangan Panitia Kompensasi tidak bisa memenuhi lahan kompensasi seluas 175 Ha, dan hanya bisa menyiapkan sekitar 100 ha, sedangkan yang 75 Ha mengambil lahan dari Pekon Giri Tunggal dan Margosari. Lahan seluas 75 Ha itulah yang dipaksakan untuk dimasukan dalam lahan kompensasi padahal warga tidak
menyetujui kalau lahanya dimasukan dalan lahan kompensasi dan warga yang tanahnya termasuk dalam objek tukar guling ini merasa tanah mereka tidak termasuk dalam lahan kompensasi. Masyarakat yang tidak setuju tanah mereka ditukar guling dengan lahan hutan terkejut dengan keluarnya persetujuan dari masyarakat dan rekomendasi oleh Bupati Tanggamus yang menyetujui dan telah membuat pernyataan pelepasan dan penyerahan hak atas tanah karena masyarakat tidak pernah mennyetujui pelepasan dan penyerahan hak atas tanah masyarakat untuk ditukar guling dengan lahan hutan. Masyarakat tidak mau pindah dari lahan hutan Register 22 Way Waya karena mereka berpendapat bahwa tanah kompensasi tersebut adalah tanah mereka dan mereka menjadi korban dari dikeluarkanya Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.742/MENHUT-II/2009 karena status mereka sekarang menjadi perambah hutan. Terbitnya SK tersebut sudah menimbulkan kerugian-kerugian material bagi masyarakat serta kecemasan spiritual di kalangan kaum tani dan sebagai bukti nyata adanya pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terhadap warga negara Indonesia. Penyelesaian sengketa tanah (atau sengketa perdata pada umumnya) dimungkinkan untuk menggunakan dua macam cara penyelesaian yaitu melalui litigasi maupun non litigasi. Badan Pertanahan Nasional menetapkan langkah dan arah dalam menangani dan menyelesaikan sengketa, konflik dan perkara Pertanahan secara efektif yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dimana sistem penanganan masalah Pertanahan dengan berpedoman kepada Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan. Salah satu metode penyelesaian kasus pertanahan ditetapkan melalui Mediasi dimana mekanisme Pelaksanaan Mediasi diatur di dalam Petunjuk Teknis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 05/JUKNIS/D.V/2007 (Keputusan Kepala BPN RI No.34 Tahun 2007) tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi yang
dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 31 Mei 2007. Putusan mediasi juga bisa bersifat mengikat dan dapat langsung dilaksanakan (landasan hukumnya Pasal 1338 dan Pasal 1320 KUH Perdata). Dalam penyelesaian sengketa ini diutamakan diselesaikan melaui non litigasi terlebih dahulu sebelum menggunakan jalur litigasi. Walaupun sudah ada landasan hukum mengenai penyelesaian sengketa kehutanan tapi pada kenyataan di lapangan tidak ada kejelasan dalam proses penyelesaian sengketa lahan hutan. B. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah menggunakan metode tinjauan pustaka, yakni dengan cara mengumpulkan sumber – sumber referensi yang berhubungan dengan budaya maritime di Indonesia. Sumber – sumber itu berupa buku, essay, dan artikel serta tesis yang berhubungan dengan topik yang dibahas dalam makalah ini.
C. PEMBAHASAN 2
Situasi agraria di Indonesia saat ini tentu tidak dapat dilepaskan dari jejak-jejak yang
dapat kita telusuri dalam sejarah perkembangan masyarakat kepulauan nusantara jauh memanjang kebelakang sejak masa sebelum penjajahan hingga sekarang. Penelusuran semacam ini acapkali tidak dapat menghindari generalisasi --kalau tidak disebut melupakan-wilayah-wilayah yang jauh dari pusat-pusat perekonomian besar pada masa itu (remote area) dikarenakan terbatasnya informasi, data dan dokumentasi yang bisa diperoleh. Meski demikian, warisan persoalan agraria Indonesia seolah tidak beranjak dari masa kolonial hingga sesudah merdeka. Warisan-warisan tersebut tersaji dalam keadaan agraria dibawah ini: Kemiskinan; Sampai 2005, rasio antara jumlah penduduk yang bekerja di sektor 2
Nurdin Iwan. Tahun 2015. Diakses pada 22 November 2017 pukul 18.00 WITA.
http://adisuara.blogspot.co.id/2009/06/ketimpangan-struktur-agraria-indonesia.html
pertanian adalah 44,3 persen dari penduduk yang bekerja secara nasional. Namun sektor ini hanya menyumbang 15,9 persen terhadap Produk Domestik Bruto Nasional. Sebaliknya, di sektor non pertanian, rasionya adalah 55,7 persen dan memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto Nasional sebesar 84,1 persen (BPS: 2005). Keadaaan ini juga ini menggambarkan bahwa pertanian nasional kita menyangga beban berat berupa kelebihan tenaga kerja sekaligus menunjukkan rendahnya pendapatan (kemiskinan) pada orang-orang yang bekerja pada sektor pertanian. Rendahnya kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan rakyat; Penyebab utama kemiskinan adalah rendahnya adalah kepemilikan tanah tanah yang sempit. Sejak tahun tahun 1983, persentase usaha tani yang masuk dalam kategori kelompok penguasaan tanah gurem (kurang dari 0,5 ha) telah mencapai 40,8 persen dari total usaha tani dan meningkat menjadi 48,5 persen pada tahun 1993 dan menjadi 56,5% pada 2003 (25, 4 juta jiwa). Peningkatan ini juga disertai dengan menurunnya angka luasan rata-rata usaha tani gurem dari 0,26 ha menjadi 0,17 ha. Kenaikan persentase rumah tangga petani gurem di Jawa jauh lebih cepat dari luar Jawa. Menurut ST.93 persentase rumah tangga petani gurem di Jawa adalah 69,8 persen, sedangkan menurut ST.03 naik menjadi 74,9 % atau naik 5,1 persen. Di luar Jawa dalam ST. 93 sebesar 30,6 persen sedangkan berdasarkan ST.03 meningkat menjadi 33,9 persen atau naik 3,3 persen. Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah petani gurem meningkat 2,6 persen/tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta tahun 2003 (Country Report Indonesia: 2006). Sebuah penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Husodo pada tahun 1999 menunjukkan bahwa skala kepemilikan kurang dari 1 ha hanya mampu memberikan1,44 kali dari biaya input dan cenderung meningkat pada skala usaha tani yang lebih luas. Dengan melihat skala kepemilikan dan komponen biaya, studi ini menyimpulkan bahwa sebagian besar usaha tani di Indonesia tidak menguntungkan lagi (Husodo:1999). Pada areal perkebunan, ketimpangan juga begitu besar. Porsi perusahaan perkebunan menguasai 31,5 % dari areal perkebunan yang ada di tanah air. Padahal, para petani perkebunan rakyat ini rata-rata hidup pada wilayah-wilayah yang berinfrastruktur buruk. Sehingga, barang konsumsi dan hasil panen mereka kerapkali terbebani ongkos pengangkutan yang tinggi.
Di wilayah hutan, ketimpangan pengelolaan yang memprihatinkan juga terus terjadi. Sampai dengan Desember 2003 terdapat 267 Unit perusahaan yang memperoleh HPH dengan luas areal ± 27.797.463 Ha. Setelah tidak dapat lagi dimanfaatkan, sebagian besar diajukan untuk dilepaskan dari kawasan hutan untuk dijadikan areal perkebunan besar ketimbang dihijaukan kembali. Sampai dengan tahun 2004 kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk dijadikan areal perkebunan kepada 503 unit usaha untuk dengan luas 4,682 juta hektar (Badan Planologi Kehutanan: 2004). Padahal, penetapan kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan menjadi non kawasan hutan selalu meniadakan hak masyarakat asli setempat yang telah mendiami dan mengelola kawasan hutan untuk keberlanjutan komunitas mereka. Deretan data ketimpangan tersebut dapat terus diperpanjang jika kita tambahkan pada wilayah pesisir kelautan dan tambang. Warisan persoalan agaria yang kasat mata tersebut semakin kukuh keberadaannya akibat politik hukum agraria yang pro-modal besar ketimbang perlindungan rakyat. Alih-alih melindungi rakyat sekaligus mentransformasikan masyarakat agraria indonesia menjadi para pelaku ekonomi modern yang kuat, politik hukum yang berlaku di Indonesia lebih memberikan porsi peruntukan kepada pemodal besar untuk terus menggurita. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyatakan bahwa permasalahan agraria yang terjadi di kawasan pesisir dilakukan oleh berbagai pelaku yang berasal dari beragam sektor industri di Tanah Air. "Permasalahan agraria di wilayah pesisir dan laut ini begitu kompleks, mengingat aktor yang bermain dalam bidang ini berasal dari sejumlah sektor industri," kata Ketua DPP KNTI Marthin Hadiwinata, di Jakarta, Minggu (24/9/2017). Menurut dia, pelaku yang mengakibatkan terjadinya permasalahan agraria di kawasan pesisir antara lain industri nonekstraktif seperti pariwisata hingga industri ekstraktif termasuk pertambangan. Ia berpendapat, "perselingkuhan" antara pengusaha dan penguasa di daerah yang terjadi di lapangan tak jarang juga menjadi faktor penunjang dalam penindasan masyarakat pesisir. Padalah, Marthin mengingatkan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Pada Hari Agraria Nasional yang diselenggarakan setiap tanggal 24 September,
KNTI menginginkan pemerintah menegakkan keadilan agraria di Indonesia termasuk sumber daya kelautan dan perikanan serta tanah di pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo menargetkan pada 2017 ini sebanyak 5 juta sertifikat gratis bisa diserahkan kepada warga se-Indonesia melalui Program Nasional Agraria (Prona). "3Biasanya setiap tahunnya pemerintah hanya mengeluarkan sekitar 400 ribu sertifikat, tetapi pada 2017 ini kami targetkan 5 juta sertifikat bisa diserahkan kepada warga," katanya saat memberikan pidato kepada 5.500 warga Sukabumi penerima sertifikat gratis di Setukpa Lemdikpol Polri Sukabumi, Kamis (31/8). Kemudian lanjut Presiden Jokowi pada 2018 targetnya 7 juta sertifikat dan 2019 sebanyak 9 juta. Atau setiap tahunnya ada kenaikan 2 juta pembuatan sertifikat yang diselesaikan, Menurut dia, untuk pembuatan sertifikat gratis ini pemerintah pusat mengeluarkan anggaran sebesar Rp2,5 triliun dari APBN 2017. Sertifikat tersebut merupakan tanda bukti hak kepemilikan tanah sehingga tidak bisa disengketakan oleh pihak manapun. Ia mencontohkan, ada beberapa daerah salah satunya DKI Jakarta yakni satu bidang tanah diperebutkan oleh tiga warga yang mengaku sebagai pemiliknya, karena tidak adanya sertifikat, sehingga fungsi sertifikat tersebut sangat penting sebagai bukti kepemilikan bidang tanah. D. Penutup Dalam dunia perikanan kelautan kita mengenal berbagai jurusan yang dikelola. Beberapa contoh yaitu perikanan tangkap, budidaya perikanan, teknologi dan industri perikanan, pengolahan hasil perikanan, managemen ekonomi perikanan dsb. Semua jurusan yang dikelola ini tidak lain adalah untuk memajukan semua hal yang menyangkut di sektor ini. Ini memang upaya Pemerintah dan masyarakat tetapi tengok apakah kinerja Pemerintah di bidang ini sudah optimal? Apakah peran masyarakat sebagai pekerja di lapangan dalam hal ini sudah benar? Saya kira keduanya belum demikian. Karena coba kita tengok permasalahan
3
Jurnalis.
Tahun
2017.
Diakses
pada
22
November
2017
pukul
18.30
https://economy.okezone.com/read/2017/09/24/320/1782032/duh-permasalahan-agraria-dipesisir-dan-laut-begitu-kompleks
WITA.
perikanan dan kelautan di Indonesia, bukannya membaik tapi terus menerus mendatangkan masalah demi maslah. Jika terus seperti ini kita tidak akan bisa menjadi negara maju karena sistem pengelolaan di Indonesia masih seperti ini. Cobalah jangan melihat mereka (negara – negara maju) yang memang di lengkapi dengan teknologi yang canggih tapi apakah kita akan terus terkalahkan oleh mereka? Padahal sumber daya alam kita masih sangat banyak. Jika kita bisa mengelolanya dengan baik, tidak mustahil negara kita akan menjadi maju bahkan mereka yang akan bergantung terhadap kita. Sebetulnya teknologi hanya sebagai alat untuk membantu mempermudah bukan menambah kita semakin maju. Karena modal utama untuk itu
adalah
kemauan
dari
pihak
Pemerintah
ataupun
masyarakat
itu
sendiri.
Sebenarnya menurut saya untuk sekarang yang harus diutamakan adalah perikanan budidaya. Mengapa demikian? Karena seperti kita ketahui perikanan tangkap sebetulnya hanya menangkap dan tidak memperbaharui. Mereka hanya mencari ikan atau produk dan tidak menanam kembali. Apalagi saat ini jumlah nelayan yang semakin banyak, ditambah dengan teknologi yang semakin canggih maka terjadilah kelebihan tangkap (over fishing). Hal ini menyebabkan sedikit demi sedikit biota itu berkurang bahkan beberapa tahun yang akan datang tidak mustahil jika ada salah satu atau banyak spesies yang akan punah. Sedangkan untuk sistem budidaya bisa dikatakan bisa didaur ulang, karena mereka terus mengembangbiakkan produk bersamaan dengan menjual hasil produknya. Ini akan terus berputar
dan
bergulir
dan
sedikit
kemungkinan
terjadi
kepunahan.
Oleh karena itu, menurut saran saya tidak salah jika nelayan – nelayan tangkap juga ikut serta dalam budidaya demi mencegah terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Karena jika bukan kita yang mengurus alam ini siapa lagi. Alloh menciptakan kita sebagai kholifah yaitu pemimpin dunia ini dan sekaligus melestarikannya. Jangan semata – mata kita serakah hanya demi kepentingan pribadi dan kepentingan duniawi saja. E. Daftar Pustaka Unila Digilib. Tahun 2015. Diakses pada 22 November 2017 pukul 17.40 WITA. http://digilib.unila.ac.id/2977/11/BAB%20I.pdf Nurdin Iwan. Tahun 2015. Diakses pada 22 November 2017 pukul 18.00 WITA. http://adisuara.blogspot.co.id/2009/06/ketimpangan-struktur-agraria-indonesia.html
Jurnalis. Tahun 2017. Diakses pada 22 November 2017 pukul 18.30 WITA. https://economy.okezone.com/read/2017/09/24/320/1782032/duh-permasalahan-agraria-dipesisir-dan-laut-begitu-kompleks