19
Perekonomian Indonesia
"Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan Indonesia"
disusun oleh :
Arfan Andi Muin A21113540
Khaerunnisa Nur Fatimah S A31113510
Andi St Haniah A31113508
Muchlisanti Muslimin A31113507
Syarifah Wihdaniah A21113539
Tri Rezki Inayati A21113306
Jerry Yosafat A21115303
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016
DAFTAR ISI
Daftar isi 2
Bab I : Pendahuluan
Latar Belakang 3
Rumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 4
Bab II : Pembahasan
2.1 Dasar Teori 6
2.1.1 Penyebab Ketimpangan di Indonesia 8
2.2 Mengukur Kesenjangan Distribusi Pendapatan 9
2.2.1 Indikator Kesenjangan Distribusi Pendapatan 9
2.2.2 Koefisien Gini pada Kesenjangan Distribusi Indonesia 12
2.3 Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan Indonesia Berdasarkan Data BPS 13
2.4 Kebijaksanaan Pemerataan Pendapatan Bagian dari Pengelolaan
Keuangan Negara 15
2.4.1 Teknik Pemerataan Pendapatan 16
BAB III : Penutup
3.1 Kesimpulan 19
Daftar Pustaka 20
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan pokok dalam pembangunan ekonomi adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan penghapusan kemiskinan. Di beberapa Negara, tujuan tersebut terkadang menjadi sebuah dilema antara mementingkan pertumbuhan ekonomi atau mengurangi ketidakmerataan distribusi pendapatan (Deininger dan Olinto, 2000). Pertumbuhan yang tinggi belum tentu memberi jaminan bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan akan rendah. Banyak Negara Sedang Berkembang (NSB) yang mempunyai pertumbuhan (± > 7%/tahun), tetapi tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan dan kemiskinannya juga tinggi.Hal ini menimbulkan tuntutan untuk lebih mementingkan pengurangan ketidakmerataan distribusi pendapatan daripada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan adalah dua hal yang sedang gencar-gencarnya ditekan pertumbuhannya oleh pemerintah.Ketidakmerataan terkait erat dengan kemiskinan karena secara mendasar adalah indikator kemiskinan relatif, yaitu kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Rendahnya ketidakmerataan, atau semakin meratanya distribusi pendapatan, tentunya merupakan salah satu agenda penting pembangunan ekonomi.
Masalah kesenjangan ini dalam praktek sering memicu kecemburuan sosial dan kekerasan yang sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia.Sumber daya alam yang melimpah seharusnya memberikan kesejahteraan masyarakat jika regulasi berpihak kepada rakyat.Namun, yang terjadi sebaliknya, kesenjangan terjadi di manamana.
Aspek kesenjangan ekonomi dan indikator ekonomi untuk mengukur tingkat kesenjangan ekonomi antara lain dengan melihat Indeks Gini (Gini Ratio). Ironisnya indeks Gini tercatat mengalami peningkatan, jika pada 2010 hanya 0,38, pada 2011 menjadi 0,41, begitupun pada tahun 2012, 2013 dan 2014 Indeks Gini menetap pada angka 0,41. Padahal, indeks Gini merupakan indikator tingkat distribusi pendapatan yang ditunjukkan dengan koefisien nol hingga satu, yang artinya semakin tinggi koefisien, kian tidak merata distribusi pendapatan penduduk. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa tingkat distribusi pendapatan menunjukkan adanya ketidakmerataan yang hampir mendekati setengah parah di saat perekonomian dikatakan dalam angka terlihat cukup baik.
Pembagian distribusi pendapatan di Indonesia semakin tidak merata. Hal tersebut tampak dari semakin meningkatnya Indeks Gini Indonesia. Sebagaimana diketahui, indeks Gini mengukur distribusi pendapatan suatu negara.Besarnya indeks Gini antara 0 (nol) sampai 1 (satu), indeks Gini sama dengan 0 (nol) menunjukkan besarnya indeks bahwa distribusi pendapatan merata sempurna, sementara indeks Gini sama dengan 1(satu) menunjukkan distribusi pendapatan sama sekali tidak merata. Berdasarkan data, indeks Gini Indonesia 5 tahun terakhir tidak mengalami peningkatan maupun penurunan. Namun bila kita meninjau laju perubahan indeks gini sejak 10 tahun terakhir, Jika pada tahun 2005 besarnya indeks Gini adalah 0,36 maka pada tahun 2009 meningkat menjadi 0,37 dan kembali meningkat menjadi 0,41 pada tahun 2014. Bahkan saat pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2012 yaitu dari 6,5% menjadi 6,3%, indeks Gini Indonesia tidak mengalami penurunan yaitu tetap 0,41. Hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pendapatan perlu mendapatkan perhatian. Permasalahan yang lebih penting yaitu mengidentifikasi jalur (chanels) yang menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dengan distribusi pendapatan. Hal ini perlu dilakukan untuk menghasilkan kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pendapatan.Kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh tiap negara berbeda-beda, tergantung dari ciri masing-masing negara yang bersangkutan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diidentifikasi adanya permasalahan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan. Dalam makalah ini kelompok kami akan berfokus pada beberapa rumusan masalah, sebagai berikut :
Apa yang dimaksud dengan ketidakmerataan distribusi pendapatan ?
Bagaimana pengukuran ketidakmerataan distribusi pendapatan menurut Koefisien Gini dan Bank Dunia ?
Bagaimana identifikasi ketidakmerataan distribusi pendapatan Indonesia berdasarkan data BPS ?
Apa saja upaya pemerintah untuk pemerataan distribusi pendapatan di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dasar Teori
Distribusi pendapatan nasional adalah mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil suatu negara di kalangan penduduknya (Dumairy, 1996). Dalam literature ekonomi dikenal 3 (tiga) konsep distribusi pendapatan, yaitu distribusi fungsional, distribusi fungsional yang diperluas dan distribusi personal. Distribusi fungsional yang berkaitan dengan pembagian pendapatan yang diterima oleh pemilik faktor produksi tradisional dalam suatu proses produksi. Distribusi fungsional yang diperluas merupakan bentuk lain dari distribusi fungsional, dan umunya penggolongannya disesuaikan dengan masalah yang sedang dibahas, misalnya pembagian pendapatan menurut wilayah, sektor ekonomi, atau menurut teknik produksi. Sedangkan distribusi personal berkaitan dengan pembagian pendapatan yang diterima oleh individu atau rumah tangga. Ukuran kesejahteraan sering dikaitkan dengan distribusi personal.
Kesenjangan pendapatan yang ada di Indonesia sangat terlihat jelas dan terjadi pada lingkungan sekitar kita bahkan pada diri kita sendiri. Negara-negara maju telah menempuh lima tahap pembangunan dalam menapaki usaha perbaikan kehidupan masyarakat yakni; tahap masyarakat tradisional, prakondisi tinggal landas, tinggal landas, menuju kedewasaan dan konsumsi massa yang tinggi (Jaffee,1998:104-105).
Dengan menggunakan pijakan teori tersebut, dapat dikatakan bahwa negara-negara dunia ketiga sekaligus menerapkan proses industrialisasi dalam memulai pembangunan. Populernya strategi industrialisasi menjadikannya semacam ideologi pembangunan ekonomi yang dipercaya kemanjurannya. Negara-negara berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin menyelenggarakan strategi itu serentak dengan harapan dapat mengangkat kemakmuran rakyat. Jalan pintas ini menjadi semacam ide bagi pemimpin di negara-negara dunia berkembang untuk segera membangun sektor industri guna menempatkan negaranya sejajar dengan negara maju dibidang ekonomi.
Persoalan sesungguhnya muncul justru pada titik disepakatinya sektor industri sebagai basis pertumbuhan ekonomi yang mana tentu saja harus didukung sepenuhnya dengan mengabaikan sektor lainnya. Dalam hal ini sektor industry didinamisir untuk memproduksi secara efisien dan produktif sehingga bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya sektor lainnya karena diabaikan tetap dalam kondisi stagnan.
Terlepas dari argumentasi tersebut, akibat dukungan pemerintah yang berlebihan terhadap sektor industri, muncul perbedaan efisiensi dan produktivitas antara sektor industri dan sektor lainnya misalnya sektor pertanian, sehingga menyebabkan kesenjangan sektoral yang dalam penilaian mikro sekaligus menunjukkan kesenjangan pendapatan antara pelaku ekonomi yang bekerja di sektor industri dan pelaku ekonomi yang bekerja di sektor pertanian. Dalam tahap awal pembangunan sering dijumpai kesenjangan yang tinggi yang setelah itu akan menurun pada level pembangunan berikutnya. Menurunnya ketimpangan tersebut bukan diakibatkan oleh semakin meningkatnya efisiensi produktivitas di sektor lain misalnya pertanian, tetapi karena merosotnya kinerja sektor industri akibat tidak bertumpu pada sektor basis. Fakta ini banyak ditemukan pada negara-negara berkembang yang memprioritaskan industri sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi.
Ketimpangan juga dapat diperiksa dari sisi lain, bahwa ketika industrialisasi dijalankan, faktor produksi yang paling berkuasa adalah modal. Akibat dominasi modal dibandingkan faktor produksi lain, setiap tetes penghasilan ekonomi yang diperoleh dari proses produksi sebagian besar akan jatuh pada pemilik modal secara tidak adil. Tenaga kerja dan pemilik tanah hanya menikmati bagian kecil yang tidak sebanding dengan kontribusi mereka terhadap proses produksi. Singkatnya, saat keuntungan perusahaan meningkat dalam kurun waktu tertentu, maka peningkatan laba tersebut hampir seluruhnya jatuh ke pemilik modal, sedangkan pemilik tanah tetap menikmati sewa seperti masa sebelumnya dan tenaga kerja tetap menerima upah seperti sedia kala ketika keuntungan belum meningkat.
Dapat kita ambil contoh pada sektor pertanian yang misalnya kesenjangan terjadi pada pembagian pendapatan yang tidak sepadan antara pemilik lahan dan buruh tani yang menganut system kerja share cropping atau bagi hasil. Dalam system ini pembagian pendapatan cenderung ditentukan sepihak oleh pemilik lahan akibat posisi tawar mereka yang jauh lebih kuat dibandingkan buruh tani.
Dari paparan diatas, kesenjangan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok besar yaitu :
Perbedaan dalam alokasi kepemilikan sumberdaya dan faktor produksi seperti; tenaga kerja, modal, tanah, dan teknologi.
Ketidaksempurnaan pasar akibat adanya kebijakan ekonomi yang diskriminatif seperti praktik monopoli, proteksi, subsidi, bias informasi, dan lain-lain.
Kesenjangan pendapatan juga bisa diakibatkan oleh struktur perekonomian yang tidak seimbang antarsektor maupun antarpelaku ekonomi.
2.1.1 Penyebab Ketimpangan di Indonesia :
Dalam rencana pembangunan jangka menengah, pemerintah telah menetapkan sasaran untuk menurunkan tingkat koefisien Gini, dari 41 menjadi 36 pada tahun 2019.
Agar berhasil mencapai sasaran tersebut, Indonesia perlu mengatasi empat penyebab ketimpangan, yaitu:
Ketimpangan peluang. Nasib anak dari keluarga miskin terpengaruh oleh beberapa hal utama, yaitu tempat mereka lahir atau pendidikan orangtua mereka. Awal yang tidak adil dapat menentukan kurangnya peluang bagi mereka selanjutnya. Setidaknya sepertiga ketimpangan diakibatkan faktor-faktor di luar kendali seseorang individu.
Ketimpangan pasar kerja. Pekerja dengan keterampilan tinggi menerima gaji yang lebih besar, dan tenaga kerja lainnya hampir tidak memiliki peluang untuk mengembangkan keterampilan mereka. Mereka terperangkap dalam pekerjaan informal dengan produktivitas rendah dan pemasukan yang kecil.
Konsentrasi kekayaan. Kaum elit memiliki aset keuangan, seperti properti atau saham, yang ikut mendorong ketimpangan saat ini dan di masa depan.
Ketimpangan dalam menghadapi goncangan. Saat terjadi goncangan, masyarakat miskin dan rentan akan lebih terkena dampak, menurunkan kemampuan mereka untuk memperoleh pemasukan dan melakukan investasi kesehatan dan pendidikan.
2.2 Mengukur Kesenjangan Distribusi Pendapatan
Indikator Kesenjangan Distribusi Pendapatan
Terdapat beberapa metode untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dapat dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yaitu axiomatic dan stochastic dominance. Berikut dua indicator yang umum digunakan untuk mengukur tingkat pendapatan penduduk.
Koefisien Gini (Gini Ratio)
Koefisien Gini umumnya ditunjukkan oleh Kurva Lorenz.
Dalam Kurva Lorenz diatas, Garis Diagonal 0E merupakan garis kemerataan sempurna karena garis tersebut menunjukkan persentase yang sama antara jumlah penduduk dengan penerimaan pendapatan. Koefisien Gini adalah perbandingan antara luas bidang A dan ruas segitiga OPE. Semakin jauh garis Kurva Lorenz dari garis kemerataan sempurna, semakin tinggi tingkat ketidakmerataannya, dan sebaliknya. Pada kasus ekstrim, jika pendapatan didistribusikan secara merata, semua titik akan terletak pada garis diagonal dan daerah A akan bernilai nol. Pada kasus ekstrim lain, bila hanya satu pihak saja yang menerima seluruh pendapatan, luas A akan sama dengan luas segitiga sehingga angka koefisien Gininya adalah satu (1). Jadi suatu distribusi pendapatan makin merata jika koefisien Gini mendekati nol (0). Sebaliknya suatu distribusi pendapatan makin tidak merata apabila nilai koefisien gininya mendekati satu. Tabel beikut memperlihatkan patokan kategori berdasarkan nilai koefisien Gini.
Nilai Koefisien Gini
Distribusi Pendapatan
.... < 0,4
Tingkat ketimpangan rendah
0,4 < 0,5
Tingkat ketimpangan sedang
.... > 0,5
Tingkat ketimpangan tinggi
Menurut Kriteria Bank Dunia
Bank Dunia umumnya mengelompokkan jumlah penduduk menjadi tiga grup, yaitu 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi dari total jumlah penduduk. Selanjutnya ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Tabel berikut memperlihatkan kriteria Bank Dunia terhadap pengukuran distribusi pendapatan (Yuli Eko, Sri Nur Mulyati dan Mahfudz, 2009)
Distribusi Pendapatan
Tingkat Ketimpangan
Kelompok 40% termiskin pengeluarannya
< 12% dari keseluruhan pengeluaran
Tinggi
Kelompok 40% termiskin pengeluarannya
12%–17% dari keseluruhan pengeluaran
Sedang
Kelompok 40% termiskin pengeluarannya
> 17% dari keseluruhan pengeluaran
Rendah
Koefisien Gini pada Kesenjangan Distribusi Indonesia
Indikator ketimpangan melaju pesat dimana koefisien gini sebesar 0,36% pada tahun 2005 meningkat menjadi 0,41 sejak tahun 2011 sampai tahun 2014.
Sumber : BPS
Tidak banyak yang menyadari bahwa, berdasarkan angka koefisien Gini, Indonesia termasuk ke dalam 30 negara yang paling merata sedunia (diperingkat dari data Bank Dunia, World Development Indicator 2002). Dengan angka koefisien Gini sebesar 0,32 (peringkat ke 26), Indonesia sejajar dengan negara-negara bekas komunis (seperti Slowakia, Belarusia, dan Hongaria), negara-negara Skandinavia (Denmark, Swedia), atau negara-negara yang menerapkan sistem welfare-state (Belanda, Belgia) (Arief Anshory Yusuf, 2013). Rendahnya ketimpangan di negara-negara tersebut tentunya terkait dengan desain sistem ekonominya.
Indikator koefisien Gini mungkin menyatakan bahwa distribusi pendapatan Indonesia baik-baik saja, merata dan adil. Tapi di mata orang awam yang melihat berita ini tentu akan mempertanyakan "apakah koefisien Gini tidak salah ?" Dalam hal ini dapat dilihat bahwa fakta yang dihasilkan koefisien Gini bertolak belakang dengan fakta pada kehidupan masyarakat. Penyebab pertama yang muncul dari analisis kalangan ahli ekonomi adalah karena angka ketimpangan Indonesia yang diukur dari angka pengeluaran rumah tangga, bukan dari angka pendapatan. Karena tingkat menabung golongan kaya yang tinggi, maka pendapatan mereka akan tercatat rendah karena angka yang dilihat adalah angka pengeluarannya. Otomatis ketimpangan berkalkulasi rendah. Penyebab yang kedua adalah jika data yang digunakan untuk menghitung ketimpangan tidak akurat dalam merepresentasikan golongan kaya. Hal ini bisa disebabkan budaya orang Indonesia yang low profile sehingga melaporkan pengeluaran lebih kecil dari yang sebenarnya. Under-reporting seperti ini, sangat logis, akan lebih besar di golongan kaya. Penyebab yang lain adalah jika sampel data survei rumah tangga (Susenas) kurang mewakili golongan pendapatan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa bisa jadi ketimpangan Indonesia lebih tinggi dari yang di tunjukkan kepada dunia luar. Perhitungan survey di pedesaan telah akurat, yang menjadi masalah adalah perhitungan survey daerah perkotaan yang cenderung under-estimated.
Tingkat ketimpangan di Indonesia, bisa jadi, jauh lebih besar daripada yang terukur dengan menggunakan indikator-indikator standar selama ini. Indonesia belum dapat masuk 30 besar dan disejajarkan dengan negara-negara paling merata di dunia karena tidak adanya kejujuran pasti dalam survey distribusi pendapatan.
2.3 Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan Indonesia Berdasarkan Data BPS
Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita dan Indeks Gini, 2010-2014
Daerah
Tahun
40% Berpengeluaran Rendah
40% Berpengeluaran Sedang
20% Berpengeluaran Tinggi
Indeks Gini
Kota
2010
17.57
36.99
45.44
0.38
2011
16.10
34.79
49.11
0.42
2012
16.00
34.53
49.48
0.42
2013
15.40
34.83
49.77
0.43
2014
15.62
34.89
49.49
0.43
Desa
2010
20.98
38.78
40.24
0.32
2011
19.96
37.46
42.58
0.34
2012
20.60
37.57
41.82
0.33
2013
21.03
37.96
41.00
0.32
2014
20.94
38.4
40.65
0.32
Kota+Desa
2010
18.05
36.48
45.47
0.38
2011
16.85
34.73
48.42
0.41
2012
16.98
34.41
48.61
0.41
2013
16.87
34.09
49.04
0.41
2014
17.12
34.6
48.27
0.41
Catatan:
- Dihitung dengan menggunakan data individu bukan data kelompok pengeluaran seperti pada tahun 1996-1999
Diolah dari Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Triwulan I-2012, Triwulan I-2013 and Triwulan I-2014, BPS
Sumber : Publikasi Statistik Indonesia
Indikator ketimpangan melaju pesat dimana koefisien gini sebesar 0,36%
pada tahun 2005 meningkat menjadi 0,41 di tahun 2014. Tidak banyak yang menyadari bahwa, berdasarkan angka koefisien Gini, Indonesia termasuk ke dalam 30 negara yang paling merata sedunia (diperingkat dari data Bank Dunia, World Development Indicator 2002).
Indikator koefisien Gini mungkin menyatakan bahwa distribusi pendapatan Indonesia baik-baik saja, merata dan adil. Tapi di mata orang awam yang melihat berita ini tentu akan mempertanyakan "apakah koefisien Gini tidak salah ?" Dalam hal ini dapat dilihat bahwa fakta yang dihasilkan koefisien Gini bertolak belakang dengan fakta pada kehidupan masyarakat. Penyebab pertama yang muncul dari analisis kalangan ahli ekonomi adalah karena angka ketimpangan Indonesia yang diukur dari angka pengeluaran rumah tangga, bukan dari angka pendapatan. Karena tingkat menabung golongan kaya yang tinggi, maka pendapatan mereka akan tercatat rendah karena angka yang dilihat adalah angka pengeluarannya. Otomatis ketimpangan berkalkulasi rendah. Penyebab yang kedua adalah jika data yang digunakan untuk menghitung ketimpangan tidak akurat dalam merepresentasikan golongan kaya. Hal ini bisa disebabkan budaya orang Indonesia yang low profile sehingga melaporkan pengeluaran lebih kecil dari yang sebenarnya. Under-reporting seperti ini, sangat logis, akan lebih besar di golongan kaya. Penyebab yang lain adalah jika sampel data survei rumah tangga (Susenas) kurang mewakili golongan pendapatan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa bisa jadi ketimpangan Indonesia lebih tinggi dari yang di tunjukkan kepada dunia luar. Perhitungan survey di pedesaan telah akurat, yang menjadi masalah adalah perhitungan survey daerah perkotaan yang cenderung under-estimated.
Tingkat ketimpangan di Indonesia, bisa jadi, jauh lebih besar daripada yang terukur dengan menggunakan indikator-indikator standar selama ini. Indonesia belum dapat masuk 30 besar dan disejajarkan dengan negara-negara paling merata di dunia karena tidak adanya kejujuran pasti dalam survey distribusi pendapatan.
2.4 Kebijaksanaan Pemerataan Pendapatan Bagian dari Pengelolaan Keuangan Negara
Pemerataan pendapatan (redistribusi pendapatan/ distribution of income) merupakan usaha yang dilakukan oleh pemerintah agar pendapatan masyarakat terbagi sementara mungkin diantara warga masyarakat.
Pengertian merata disini tidak berarti bahwa semua warga masyarakat pendapatannya dibuat sama, tetapi kesempatan yang sama bagi setiap warga untuk memperoleh pendapatan. Tujuannya adalah agar tidak terjadi ketimpangan pendapataan dalam masyarakat sehingga dapat menimbulkan keresahan dan kecemburuan sosial yang pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas nasional.
Ukuran pokok distribution of income dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
Pengukuran redistribusi pendapatan ( The size distribution of income / the personal distribution of income)
Pengukuran atas dasar ini biasanya dilakukan oleh ahli ekonomi. Cara mengukurnya adalah masing-masing individu dicatat penghasilan per tahunnya dari sejumlah individu yang di teliti secara sampling. Penghasilan dinyatakan dalam satuan uang. Kemudian dikelompokkan berdasar urutan penghasilan dari terendah sampai tertinggi.dari hasil pengelompokkan tersebut akan diketahui kelompok golongan berpenghasilan rendah memperoleh beberapa persen dari seluruh penghasilan nasional dan kelompok golongan paling kaya memperoleh beberapa, selanjutnya dapat diketahui adanya ketimpangan atau tidak.
The functional ditribution of income (share distribution)
Ukuran ini menjelaskan tentang bagian pendapatan yang diterima oleh setiap faktor produksi. Beberapa yang diterima oleh seluruh buruh (upah), pengusaha (keuntungan), pemilik tanah (sewa), pemilik modal (bunga/jasa) sesuai dengan fungsi masing-masing faktor produksi.
2.4.1 Teknik Pemerataan Pendapatan
Teknik Pemerataan Pendapatan adalah cara yang digunakan untuk mengatasi ketimpangan pembagian pendapatan yang terjadi di Indonesia. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk distribusi pendapatan, antara lain :
1. Transfer Uang Tunai (NIT, Demogrant, WRS)
Transfer uang tunai merupakan pemberian subsidi berupa uang tunai kepada orang yang termasuk berpenghasilan rendah. Model transfer tunai dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
a. Model pajak pendapatan negatif (Negative Income Tax/NIT), maksudnya adalah bahwa pemerintah memberikan subsidi kepada penduduk yang dianggap tidak mampu. Persyaratannya adalah bahwa keluarga yang diberi subsidi merupakan keluarga yang penghasilannya di bawah pas-pasan dan nilai yang disubsidi adalah selisih antara penghasilan pas-pasan dengan penghasilan riil keluarga itu. Model NIT menguntungkan jika penghasilan keluarga yang bersangkutan itu rendah, semakin besar keluarganya semakin menguntungkan.
b. Model demogrant, yaitu suatu program subsidi uang tunai dimana semua anggota kelompok demografi menerima subsidi uang tunai yang sama, tanpa membedakan tingkat penghasilan mereka. Kelompok demografi adalah kelompok penduduk yang pendapatannya berada di bawah penghasilan pas-pasan. Persyaratannya adalah bahwa batas penghasilan pas-pasan ditetapkan pemerintah, yang disubsidi adalah keluarga di bawah penghasilan pas-pasan dan subsidi dihitung per jiwa dalam bentuk rupiah, model ini menguntungkan jika penghasilannya tetap, dan pemerintah menetapkan besarnya subsidi per jiwa tinggi. Namun sulit menetapkan dengan tepat besarnya subsidi perjiwa dalam rupiah.
c. Model subsidi upah (Wages Rate Subsidies/WRS), yaitu subsidi yang diberikan kepada buruh yang bekerja harian dan penghasilannya di bawah upah pas-pasan, semakin banyak upah buruh (sepanjang masih di bawah upah pas-pasan, semakin sedikit subsidinya), namun subsidi maksimum juga ditetapkan dan upah minimum juga harus ditetapkan oleh pemerintah, selanjutnya setiap tambahan upah minimum disubsidi.
2. Transfer Uang dan Barang
Dalam realisasinya, transfer uang tunai sebagaimana tersebut di atas, dapat juga diberikan sebagian dalam bentuk barang, hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir penyimpangan, karena nyatanya bantuan yang diberikan oleh pemerintah biasanya tidak langsung dapat diterima oleh masyarakat. Maka dari itu, pemerintah harus lebih selektif dalam menyalurkan bantuan. Jadi ini memiliki maksud pemberian subsidi yang sesungguhnya. Yaitu salah satunya melalui:
a.Pajak pendapatan progresif langsung, dikarenakan pada perorangan dan perusahaan, dalam pengertian bahwa golongan yang lebih kaya dituntut untuk membayar persentase yang lebih besar dari total pendapatannya, dibandingkan golongan yang lebih miskin.
b.Pemberian atau penyediaan langsung barang-barang konsumsi perorangan dan jasa bagi golongan ekonomi lemah, merupakan sarana penting lain dari suatu kebijakan yang dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan. Misalnya penyediaan pusat-pusat kesehatan masyarakat di desa dan wilayah pinggiran kota, program peningkatan gizi balita, penyediaan air bersih dan listrik masuk desa.
3. Program Kesempatan Kerja (PEP)
Kesempatan kerja merupakan hal yang sangat didambakan bagi orang yang belum bekerja. Pemerintah harus menyediakan lapangan kerja dengan tingkat upah tertentu, tetapi dalam kenyataan program penciptaan kesempatan kerja pada sektor pemerintah maupun swasta di negara berkembang bahkan di negara maju sekalipun mengalami kesulitan. Di beberapa negara maju, mereka yang menganggur mendapat tunjangan atau subsidi (Basroni dkk, 2009:5-7).
BAB III
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, di dapatkan kesimpulan sebagai berikut :
Pemerintah memegang peranan besar sebagai penyebab kesenjangan distribusi pendapatan.
Aspek kesenjangan ekonomi dan indikator ekonomi untuk mengukur tingkat kesenjangan ekonomi bisa dilihat melalui Indeks Gini (Gini Ratio). Dimana indeks Gini tercatat mengalami peningkatan dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2014, yang berarti tingkat kesenjangan semakin meningkat.
Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah dalam pemerataan distribusi pendapatan :
Transfer Uang Tunai (NIT, Demogrant, WRS)
Transfer Uang dan Barang
Program Kesempatan Kerja (PEP)
DAFTAR PUSTAKA
Latumaerissa, Julius R.2015. Perekonomian Indonesia dan Dinamika Ekonomi Global
http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/08/indonesia-rising-divide
https://www.google.co.id/search?q=kurva+lorenz
http://www.bps.go.id/
http://e-journal.uajy.ac.id/3125/3/2EP15901.pdf
http://www.bappenas.go.id/files/3913/5022/6047/rasio-gini-di-indonesia-1__20121217143142__3712__1.pdf
Arifianto, Wildan. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Distribusi Pendapatan di Indonesia