ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS: ANAK KORBAN PEMERKOSAAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS: KORBAN KDRT
Disusun Oleh : Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa II yang diampu oleh : Ns. Zumrotul Choiriyah, S.Kep., S.Kep., M.Kes Disusun Oleh : 1. Annisa Nirmala Pravitasari
(010115A018)
2. Devi Anis Ramonda
(010115A028)
3. Findriana Eka S
(010115A043)
4. Hari Anteng Lintang P
(010115A051)
5. Icha Oktaviani Widya P
(010115A055)
6. Jefry Ardyansah
(010115A062)
PSIK-A/ Semester V
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS NGUDI WALUYO TAHUN 2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa ,karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa II
Program Studi
Keperawatan Universitas Ngudi Waluyo. Makalah berisikan tentang laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan pada Anak Korban Pemerkosaan dan Korban KDRT ini merupakan bentuk pertanggungjawaban atas tugas yang diberikan Dosen dalam mata kuliah Keperawatan Jiwa II, sekaligus salah satu syarat untuk memenuhi nilai kami. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah Keperawatan Jiwa II serta rekan rekan yang telah banyak membantu dalam membuat makalah ini. Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih mempunyai kekurangan,oleh sebab itu dengan dada lapang serta tangan dan hati terbuka kami mengharapkan saran dan kritiknya yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Ungaran, 28 September 2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa ,karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa II
Program Studi
Keperawatan Universitas Ngudi Waluyo. Makalah berisikan tentang laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan pada Anak Korban Pemerkosaan dan Korban KDRT ini merupakan bentuk pertanggungjawaban atas tugas yang diberikan Dosen dalam mata kuliah Keperawatan Jiwa II, sekaligus salah satu syarat untuk memenuhi nilai kami. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah Keperawatan Jiwa II serta rekan rekan yang telah banyak membantu dalam membuat makalah ini. Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih mempunyai kekurangan,oleh sebab itu dengan dada lapang serta tangan dan hati terbuka kami mengharapkan saran dan kritiknya yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Ungaran, 28 September 2017
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maraknya pemberitaan di media massa mengenai kekerasan seksual terhadap anak cukup membuat masyarakat terkejut. Kasus kekerasan seksual terhadap anak masih menjadi fenomena gunung es. Hal ini disebabkan kebanyakan anak yang menjadi korban kekerasan seksual enggan melapor. Karena itu, sebagai orang tua harus dapat mengenali tanda-tanda anak yang mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual terhadap anak akan berdampak panjang, di samping berdampak pada masalah kesehatan dikemudian hari, juga berkaitan dengan trauma yang berkepanjangan, bahkan hingga hingga dewasa. Dampak trauma akibat kekerasan seksual yang dialami oleh anakanak, antara lain: pengkhianatan atau hilangnya kepercayaan anak terhadap orang dewasa (betrayal), trauma secara seksual (traumatic sexualization), merasa tidak berdaya (powerlessness), dan stigma (stigmatization). Secara fisik memang mungkin tidak ada hal yang harus dipermasalahkan pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual, tapi secara psikis bisa menimbulkan ketagihan, trauma, bahkan pelampiasan dendam. Bila tidak ditangani serius, kekerasan seksual terhadap anak dapat menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat. Penanganan dan penyembuhan trauma psikis akibat kekerasan seksual haruslah mendapat perhatian besar dari semua pihak yang terkait, seperti keluarga, masyarakat maupun negara. Berbeda dengan kasus perilaku kekerasan dalam keluarga lebih sering berbentuk kekerasan dalam keluarga atau rumah tangga (KDRT). Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah segala bentuk, baik kekerasan secara fisik, secara psikis, kekerasan seksual,
maupun ekonomi yang pada intinya mengakibatkan penderitaan, baik penderitaan yang secara kemudian memberikan dampak korban menjadi sangat trauma atau mengalami penderitaan secara psikis. Perilaku kekerasan dalam keluarga dapat terjadi pada semua orang yang tinggal dalam keluarga, suami, istri, orang tua, anak, usia lanjut, ataupun pembantu, tanpa membedakan gender ataupun posisi dalam keluarga.
B. Tujuan 1. Tujuan Umum
Makalah ini disusun agar mahasiswa dapat mengetahui tentang Aasuhan Keperawatan pada anak klien dengan kebutuhan khusus: Anak Korban Pemerkosaan dan juga Asuhan Keperawatan pada Klien dengan kebutuhan khusus: Korban KDRT
2. Tujuan Khusus
Setelah disampaikannya materi tentang Pemerkosaan dan KDRT, diharapkan mahasiswa dapat : a. Mahasiswa mampu memahami secara menyeluruh tentang Perilaku Anak korban Pemerkosaan dan Tindakan KDRT pada istri dalam rumah tangga. b. Mahasiswa dapat mengidentifikasi bentuk serta faktor-faktor terjadinya pemerkosaan pemada anak dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). c. Mahasiswa
dapat
mengimplikasikan
dan
mengetahui
bagaimana proses asuhan keperawatan dalam masalah Korban Pemerkosaan dan Korban KDRT
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Pemerkosaan pada Anak
Perkosaan atau verkrachting termasuk kejahatan kesusilaan yang ada di dalam Buku II KUHP Pasal 285. Menurut Pasal 285 KUHP perkosaan adalah suatu tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap wanita diluar pernikahan si pelaku. Salah satu unsur di dalam Pasal 285 adalah kekerasan. Kekerasan yang dimaksud dalam Pasal 285 adalah kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Pemerkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapare yang berarti mencari, memaksa, merampas atau membawa pergi. Pemerkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum. Secara
umum
pengertian
kekerasan
seksual
pada
anak
adalah
keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual. Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dalam kategori berdasar identitas pelaku terdiri dari:
1. Familial Abuse
Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest. kategori incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak. Kategori pertama, sexual molestation (penganiayaan). Kategori kedua, sexual assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, fellatio (stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris). Kategori terakhir yang paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa), meliputi kontak seksual. 2. Extrafamilial Abuse
Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban, dan hanya 40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pedophilia diartikan ”menyukai anak -anak” sedangkan Pedetrasy merupakan hubungan seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki. Biasanya ada tahapan yang terlihat dalam melakukan kekerasan seksual, kemungkinan pelaku mencoba perilaku untuk mengukur kenyamanan korban. Jika korban menuruti, kekerasan akan berlanjut dan intensif, berupa nudity (dilakukan oleh orang dewasa), disrobing (orang dewasa membuka pakaian di depan anak), genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa), observation of the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang air), mencium anak yang memakai pakaian dalam, fondling (meraba-raba dada korban, alat genital, paha, dan bokong), masturbasi, fellatio (stimulasi pada penis, korban atau pelaku sendiri), cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban atau pelaku), digital penetration (pada anus atau rectum), penile penetration (pada vagina), digital penetration (pada vagina), penile penetration (pada anus atau
rectum), dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku atau area genital lainnya, paha, atau bokong korban).
B. Klasifikasi
Menurut kriminolog Mulyana W. Kusuma menyebutkan macam-macam perkosaan sebagai berikut: 1. Sadistic Rape
Perkosaan sadistis, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, tetapi melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban. 2. Angea Rape
Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Disini tubuh korban seakan-akan merupakan objek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan, dan kekecewaan hidupnya. 3. Dononation Rape
Yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual. 4. Seductive Rape
Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks. 5. Victim Precipitatied Rape
Yakni perkosan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebaagi pencetusnya.
6. Exploitation Rape
Perkosaan yang menunjukkan bahwa setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya, istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa majikannya,
sedangkan
pembantunya
tidak
mempersoalkan
(mengadukan) kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.
C. Faktor-faktor Terjadinya Perkosaan
Perkosaan terjadi karena berbagai jenis sebab. Umumnya dapat dibedakan dalam dua jenis yang berbeda, yakni faktor internal (yang berasal dari korban sendiri) ataupun faktor eksternal (yang berasal dari luar diri korban perkosaan). Pada dasarnya seorang wanita menjadi korban perkosaan karena kondisi fisik maupun psikisnya yang lebih lemah dari pria (pelaku perkosaan)
D. Efek Kekerasan Seksual
Kebanyakan
korban
perkosaan
merasakan
kriteria
psychological
disorder yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), simtomsimtomnya berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis. Korban yang mengalami kekerasan membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun untuk terbuka pada orang lain, empat jenis dari efek trauma akibat kekerasan seksual, yaitu: 1. Betrayal (penghianatan)
Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban kekerasan seksual. Sebagai anak individu percaya kepada orangtua dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak.
2. Traumatic sexualization (trauma secara seksual)
Perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. 3. Powerlessness (merasa tidak berdaya)
Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya. 4. Stigmatization
Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri
yang
buruk.
Rasa
bersalah
dan
malu
terbentuk
akibat
ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya. Korban sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori kejadian tersebut.
E. Risiko Psikis Dan Reproduksi
1. Korban perkosaan biasanya mengalami trauma 2. Rasa takut yang berkepanjangan 3. Tidak mampu kembali berinteraksi secara sosial dengan masyarakat secara normal 4. Tidak jarang dikucilkan dan dibuang oleh lingkungannya karena dianggap membawa aib 5. Risiko tinggi menjadi tidak mampu melakukan aktivitas seksual secara normal pada kehidupannya dimasa dating
F. Konsekuensi dari kekerasan seksual 1. Kehamilan dan komplikasi ginekologis
Kehamilan dapat terjadi dari pemerkosaan, sebuah studi mengenai remaja di Ethiopia menunjukkan bahwa 17% dari mereka yang pernah diperkosa telah hamil, sepeti juga penelitian di Meksiko yang menunjukkan 15-18% mengalami kehamilan. Studi longitudinal di Amerika Serikat menemukan bahwa dari 4000 perempuan yang diikuti selama 3 tahun, rasio kehamilan dari pemerkosaan adalah 5% dari pemerkosaan di antara korban berusia 12-45 tahun.
2. Penyakit-penyakit menular seksual HIV dan penyakit menular seksual lainnya merupakan konsekuensi yang jelas dari pemerkosaan. Penelitian pada perempuan di rumah-rumah menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual dari pasangan intim secara signifikan lebih mungkin untuk memiliki penyakit menular seksual. Pada perempuan yang diperjualbelikan untuk pekerjaan seks, tingkat penyakit menular seksual cukup tinggi.
3. Kesehatan mental Kekerasan seksual telah diasosiasikan dengan beberapa permasalahan mental pada remaja dan dewasa. Pada suatu penelitian berdasar populasi, prevalensi gejala dan tanda yang mengarahkan pada gangguan psikiatrik adalah 33% pada perempuan dengan riwayat kekerasan seksual saat dewasa, 15% pada perempuan dengan riwayat kekerasan seksual oleh pasangan intim dan 6% pada perempuan yang tidak mengalami. Terdapat hubungan antara riwayat pemerkosaan dengan gangguan tidur, gejalagejala depresi, keluhan somatik, konsumsi rokok dan gangguan perilaku saat ini. Pada kondisi-kondisi di mana tidak dilakukannya konseling trauma, efek psikologis yang negatif dapat menetap sampai setahun setelah kejadian berlalu, sementara trauma fisik yang diderita cenderung membaik selama periode tersebut. Meskipun dilakukan konseling, masih dapat ditemukan 50% dari perempuan tersebut mengalami gejala-gejala
gangguan stres. Adapun, perempuan yang mengalami kekerasan seksual pada waktu kecil maupun dewasa memiliki risiko lebih untuk melakukan tindakan bunuh diri.
4. Pengasingan sosial Pada berbagai lingkungan sosial, dipercayai pria tak bisa mengendalikan nafsu seksualnya dan perempuan bertanggungjawab untuk menarik hasrat seksual pada pria. Pada beberapa masyarakat, disetujui bahwa perempuan yang diperkosa sebaiknya menikahi pelaku, sehingga menjaga integritas dari perempuan dan keluarganya dengan mengesahkan hubungan tersebut. Selain dari pernikahan, keluarga cenderung menekan korban untuk tidak melaporkan atau menuntut pelaku. Pria biasanya diperbolehkan untuk menolak seorang perempuan sebagai istri jika ia sudah diperkosa. Di beberapa negara, mengembalikan kehormatan seorang perempuan yang mengalami kekerasan seksual dapat berarti sang perempuan harus diasingkan, atau dalam kasus yang ekstrim, perempuan tersebut akan dibunuh.
G. Fase Reaksi Psikologi Terhadap Perkosaan
1. Fase disorganisasi akut Fase yang dimanifestasikan dalam 2 cara yaitu : a) Keadaan terekspresi yaitu syok, tidak percaya, takut, rasa memalukan, marah dan bentuk emosi yang lainnya. b) Keadaan terkontrol, dimana perasaan tertutup atau tersembunyi dan korban tampak tenang 2. Fase menyangkal dan tanpa keinginan untuk bicara tentang kejadian, diikuti tahap cemas yang meningkat, takut mengingat kembali, gangguan tidur, terlalu waspada dan reaksi psikosomatik 3. Fase reorganisasi, dimana kejadian ditempatkan pada perspesktif, beberapa korban tidak benar-benar pulit dan mengembangkan gangguan stress kronik
H. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah memberikan dukungan simpatis untuk menurunkan trauma, emosional pasien dan mengumpulkan bukti yang ada untuk kemungkinan tindakan legal. 1. Hormati privacy dan sensitifitas pasien, bersikap baik dan memberikan dukungan. 2. Yakinkan pasien bahwa cemas adalah sesuatu yang dialami. 3. Terima reaksi emosi pasien, misalnya terlalu perasa. 4. Jangan tinggalkan pasien sendiri.
Korban KDRT A. Definisi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Perilaku kekerasan dalam keluarga lebih sering berbentuk kekerasan dalam keluarga atau rumah tangga (KDRT). Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah segala bentuk, baik kekerasan secara fisik, secara psikis, kekerasan seksual, maupun ekonomi yang pada intinya mengakibatkan penderitaan, baik penderitaan yang secara kemudian memberikan dampak korban menjadi sangat trauma atau mengalami penderitaan secara psikis. Perilaku kekerasan dalam keluarga dapat terjadi pada semua orang yang tinggal dalam keluarga, suami, istri, orang tua, anak, usia lanjut, ataupun pembantu, tanpa membedakan gender ataupun posisi dalam keluarga. KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya
kehangatan
emosional,
ketidaksetiaan
dan
menggunakan
kekuasaan untuk mengendalikan istri. Setelah membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan datang. (Made, Saniti, Umum, & Sanglah, 2011)
B. Faktor Penyebab Perilaku Kekerasan Dalam Keluarga 1. Biologi
Perubahan sistem limbik otak dan neurotransmitter menyebabkan individu tidak mampu mengendalikan perilaku agresifnya. Teori biologi terdiri atas 3 pandangan, yaitu pengaruh neurofisiologis, biokimia, genetik, dan gangguan otak.
a) Pengaruh Neurofisiologis Beragam komponen dari sistem neurologis, baik pada manusia maupun hewan mempunyai implikasi, memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik secara jelas terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif. Pusat otak atas memgang peran penting terhadap manusia dengan secara konstan berinteraksi dengan pusat agresi. b) Pengaruh Biokimia Berbagi neurotransmitter (epinefrin, neuropinefri, dopamin, asetil kolin dan serotonin ) sangat berperan dalam memfasilitasi dalam menghambat impuls agresif. c) Pengaruh Genetik Komponen berbagai genetik yang berhubungan dengan perilaku agresif sudah banyak diteliti. Penelitina membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan keterkaitan dengan genetik termasuk genetik karyotype XYY, yang pada umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak kriminal. d) Pengaruh Gangguan Otak Sindrom otak organik berhubungan dengan berbagai gangguan serebral telah terbukti dari hasil penelitian sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. 2. Psikologi
Keggalan, frustasi, ketidakpuasan, pernah jadi korban, saksi, atau pelaku kekerasan. 3. Sosial budaya
Adanya perilaku agresif yang dapat memenuhi kebutuhan akan cenderung diulang dalam cara penyelesaian masalah. Adanya penerimaan masyarakat atas perilaku kekerasan yang terjadi, tidak
adanya pencegahan, dan kurang berperannya aspek hukum akan menyuburkan perilaku kekerasan di dalam keluarga dan masyarakat. 4. Lingkup Kekerasan dalam Rumah Tangga
a) Pertama: hubungan keturunan darah. b) Kedua : hubungan suami istri. c) Ketiga : hubungan bekerja di dalam keluarga. 5. Klasifikasi Kekerasan dalam Rumah Tangga
a) Kekerasan antarorang dewasa. b) Kekerasan orang dewasa dengan anak. c) Kekerasan orang dewasa dengan lansia.
C. Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Secara fisik
Secara fisik yaitu menampar, memukul, menjambak rambut, menendang, menyundut dengan rokok, melukai dengan senjata, dan sebagainya. Berikut ini ada beberapa pembagian dari kekerasan fisik itu sendiri : a) Kekerasan Fisik Berat . Kekerasan ini berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul, melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan: 1) Cedera berat 2) Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari 3) Pingsan 4) Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati 5) Kehilangan salah satu panca indera. 6) Mendapat cacat. 7) Menderita sakit lumpuh. 8) Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebi 9) Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
10) Kematian korban. b). Kekerasan Fisik Ringan. Kekerasan ini berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan : 1) Cedera ringan 2) Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat . 2. Secara psikologis
yaitu penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan, melarang istri mengunjungi saudara atau teman-temannya, mengancam akan dikembalikan ke rumah orang tuanya, dan sebagainya. a). kekerasan Psikis Berat . Kekerasan ini berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi social, tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis, yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut : 1) Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun. 2) Gangguan stress pasca trauma. 3) Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis) 4) Depresi berat atau destruksi diri 5) Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya 6) Bunuh diri.
3. Secara seksual ( marital rape), yaitu kekerasan dalam bentuk
pemaksaan dan penuntutan hubungan seksual. penyerangannya secara fisik oleh pelaku seringkali diikuti, atau diakhiri dengan kekerasan seksual dimana korban dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pelaku atau berpartisipasi dalam suatu kegiatan seksual yang tidak diinginkannya, termasuk hubungan seks tanpa pelindung. a. Kekerasan Seksual Berat , berupa : 1) Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan. 2) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki 3) Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan. 4) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu. 5) Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi. 6) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera. b. Kekerasan Seksual Ringan. Kekerasan ini berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. (Kusumaningtyas, Rokhmah, & Nafikadini, 2013)
4. Secara ekonomi, yaitu tidak memberi nafkah istri, melarang istri
bekerja, atau membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi.Membatasi akses pasangan mereka terhadap keuangan dan informasi akan keadaan keuangan keluarga, dan mengendalikan keuangan pasangan. a. Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa : 1) Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran. 2) Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya. 3) Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban. b. Kekerasan Ekonomi Ringan, Kekerasan ini berupa melakukan upaya upaya sengaja yang menjadikan korban ter gantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
D. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam hal ini banyak dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan itu sendiri. Dampak kekerasan dalam rumah tangga akan terjadi pada istri, anak, bahkan suami. 1. Dampak pada istri :
a. Perasaan rendah diri, malu dan pasif b. Gangguan kesehatan mental seperti kecemasan yang berlebihan, susah makan dan susah tidur c. Mengalami sakit serius, luka parah dan cacat permanen d. Gangguan kesehatan seksual e. Menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan f. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan
tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks 2. Dampak pada anak :
a. Mengembangkan prilaku agresif dan pendendam b. Mimpi buruk, ketakutan, dan gangguan kesehatan c. Kekerasan menimbulkan luka, cacat mental dan cacat fisik 3. Dampak pada suami :
a. Merasa rendah diri, pemalu, dan pesimis b. Pendiam, cepat tersinggung, dan suka menyendiri Selain
itu
menurut
Suryasukma
efek
psikologis
penganiyaan bagi banyak perempuan lebih parah disbanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan terhadap istri juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara bilologis yang pada akhirnya terganggu secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiyaan mereka. Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat
tidak
hamil
mengalami
gangguan
menstruasi
seperti
menorhagia, hipomenohagia atau metrohagia bahkan wanita dapat mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme. Diseluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil yang mengalami
kekerasan
fisik
dan
kekerasan
seksual
oleh
pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran/abortus, persalinan immature, dan bayi meninggal dalam rahim. Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi
dengan BBLR. Terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati. Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya perubahan pola pikir, emosi dan ekonomi keluarga. Dampak terhadap pola pikir istri misalnya tidak mampu berpikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bias percaya dengan apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular (www.depkes.go.id). Dampak terhadap ekonomi keluarga adalah persoalan ekonomi, hal ini terjadi tidak saja pada wanita yang tidak bekerja tetapi juga pada wanita yang bekerja atau mencari nafkah. Seperti terputusnya akses mendadak , kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk tempat tinggal, kepindahan, pengobatan, terapi serta ongkos untuk kebutuhan yang lain.
E. Jenis Kekerasan 1. Aniaya fisik ( physical abuse)
Contoh aniaya fisik adalah anak menjatuhkan gelas yang ada di meja, maka dihukum dengan memukul tangan anak atau anak disiram air. Indikator Anak yang Mengalami Kekerasan secara Fisik : a. Fisik : memar,luka bakar, lecet dan goresan, kerusakan tulang, fraktur, serta luka di bibir, mulut, mata dan perineal. b. Perilaku : takut kontak dengan orang dewasa, prihatin jika anak menangis, waspada atau ketakutan, agresif/pasif.
2. Pengabaian (Child Neglect)
Pengabaian mendapatkan
perawatan pemenuhan
dan
asuhan
kebutuhan
sehingga sesuai
anak
dengan
tidak tingkat
perkembangannya dan menurunkan kesejahteraan anak. Contohnya adalah gagal menciptakan lingkungan belajar yang nyaman. Indikator anak mengalami pengabaian : a. Fisik : kelaparan, kebersihan diri kurang, pakaian tidak terurus, tidak terurus dalam waktu lama, tidak pernah periksa kesehatan. b. Perilaku : pengemis, berbuat jahat, mencuri, datang cepat, pulang lambat, pasif/agresif/penuntut. 3. Aniaya emosi ( emotional maltreatment )
Perlakuan emosional yang salah dari orang tua dan berdampak pada kerusakan emosi pada anak sepanjang masa. Contohnya adalah penolakan,
tidak
peduli,
menyalahkan
dengan
kata-kata
yang
menyakitkan (misal, bodoh, anjing), mengisolasi anak, dan disiplin dengan peraturan yang tidak konsisten. Indikator anak yang mengalami aniaya emosi : a. Fisik : gagal dalam perkembangan, pertumbuhan fisik terganggu, gangguan bicara. b. Perilaku : perilaku ekstrime seperti pasif sampe agresif
4. Aniaya seksual ( sexual abuse)
Aktivitas seksual yang dilakukan orang dewasa kepada anak. Contohnya,
rangsangan
seksual,
eksploitasi
kegiatan
seksual,
prostitusi, dan pornografi. a. Fisik : Sukar jalan duduk, pakaian dalam berdarah, genital gatal, perineal memar/berdarah, penyakit kelamin, ketergantungan obat, tumbuh kembang terlambat, hamil usia remaja. b. Perilaku : Harga diri rendah, tidak percaya pada orang lain, disfungsi kognitif motorik, defisit kemampuan personal dan sosial,
penjahat, ketergantungan obat, ide bunuh diri dan depresi, melakukan aniaya seksual,psikotik.
F. Strategi Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Pendidik
Institusi pendidikan dari jenjang SD sampai dengan SMA memiliki andil yang penting dalam usaha pencegahan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. 2. Penegak hukum dan keamanan
Pemerintah bersama penegak hukum juga memiliki peran yang lebih kuat melalui UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, BAB II Pasal 2 yang menyatakan, “Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan secara wajar”. Selain itu, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Oleh karenanya, tidak ada alasan bagi siapapun untuk boleh melakukan kekerasan dalam rumah tangga. 3. Media massa
Media massa sebaiknya menampilkan berita kekerasan yang diimbangi dengan artikel pencegahan dan penanggulangan dampak kekerasan yang diterima korban jangka panjang atau pendek, sehingga masyarakat tidak menjadikan berita kekerasan sebagai inspirasi untuk melakukan kekerasan 4. Pelayanan kesehatan
a. Prevensi primer, yaitu promosi orang tua dan keluarga sejahtera. b. Prevensi sekunder, yaitu diagnosis dan tindakan bagi keluarga yang stres. c. Prevensi tertier, yaitu edukasi ulang dan rehabilitasi keluarga.
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
Asuhan Keperawatan Pada Anak Korban Pemerkosaan A. Pengkajian
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha untuk mengatasi kecemasan . Setiap melakukan pengkajian,tulis tempat klien dirawat dan tanggal dirawat isi pengkajian meliputi: 1. Identitas Klien
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan,
agama,
tanggal
masuk
rumah
sakit,
tanggal
pengkajian, dan alamat klien. 2. Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi kurang atau tidak ada , berdiam diri dikamar , menolak interaksi dengan orang lain ,tidak melakukan kegiatan sehari – hari (misal bersekolah, bermain dengan teman sebaya) 3. Faktor predisposis
Terjadi trauma yang tiba-tiba misalnya, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi (korban perkosaan) perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama. 4. Aspek fisik / biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, suhu, pernapasan , tinggi badan (TB), berat badan (BB))), dan keluhan fisik yang dialami oleh klien.
5. Aspek Psikososial
Genogram yang menggambarkan tiga generasi Konsep diri : a. Citra tubuh : Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh , persepsi negatif tentang tubuh. Penyesalan dengan bagian tubuh yang hilang , mengungkapkan keputusasaan dan mengungkapkan ketakutan. b. Identitas diri Ketidakpastian
memandang
diri
dan
tidak
mampu
mengambil keputusan . c. Peran Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan oleh perkosaan (misalnya berhenti bersekolah yang seharusnya masih berperan sebagai pelajar) d. Ideal diri Mengungkapkan keputusasaan karena perilaku perkosaan e. Harga diri Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap diri sendiri , gangguan hubungan sosial, mencederai diri sendiri dan kurang percaya diri. 6. Status Mental
Kontak
mata
klien
berkurang
atau
tidak
dapat
mepertahankan kontak mata dengan lawan bicara, tidak dapat memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan adanya perasaan keputusasaan
dan
kurang
berharga
mendapatkan perilaku yang tidak baik.
dalam
hidup
setelah
7. Kebutuhan persiapan pulang.
a. Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan b. Klien
mampu
BAB
membersihkan WC,
dan
BAK,
menggunakan
dan
membersikan diri dan merapikan
pakaian. c. Pada observasi mandi : bagaimana cara mandi, menyikat gigi, cuci rambut, gunting kuku dan cara berpakaian klien terlihat rapi d. Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas didalam dan diluar rumah e. Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar. f. Klien mampu mengatur aktivitas sehari-hari didalam rumah (misal membantu orang tua melakukan aktivitas dirumah, berinteraksi dengan saudara dirumah) g. Klien mampu melalukan aktivitas sehari-hari diluar rumah (misal bermain dengan teman-teman sebaya, berinteraksi dengan teman-teman sebaya) 8. Mekanisme Koping
Klien tidak mau menceritakan masalanya dengan orang lain dikarenakan takut apabila masalahnya akan membuat klien lebih tidak bisa menerima kenyataan. 9. Aspek Medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa terapi farmakologi dan rehabilitas.
B. Masalah Keperawatan
1. (00142) Sindrom Trauma Perkosaan Definisi : Respons maladaptive terus-menerus terhadap kekerasan hubungan seksual secara paksa yang bertentangan dengan keinginan dan persetujuan korban. 2. (00148) Ketakutan Definisi : Respons terhadap persepsi ancaman yang secara sadar dikenali sebagai sebuah bahaya. No
DiagnosaKeperawatan
1
(00142)
Sindrom
Trauma Perkosaan Definisi
Setelah
dilakukan
NIC
tindakan
keperawatan selama 24 jam
:Respon diharapkan klien anak mampu :
Maladaptif terhadap
terusmerus (1208) Tingkat Depresi kekerasan Keparahan
hubungan secara
NOC
seksual paksa
bertentangan
alam
keinginan
dan
Kriteria Hasil : 120801Perasaan
depresi
Batasan Karakteristik :
Dipertahankan pada skala1
Agitasi
proses
interaksi pada
yang
kebutuhan
dan SO untuk meningkatkan mendukung
koping,
penyelesaiaan masalah dan
ditingkatkan.
Ansietas
membantu
dan
persetujuan korban.
Penggunaan
perasaan masalah atau merasaan klien
menkolis dan kehilangan minat
Def:
berfokus
yang pada peristiwa kehidupan. dengan
(5240)Konseling.
hubungan
interpersolan.
Aktivitas :
Bangun
hubungan
keskala 3.
terapeutik
120828 Rasa bersalah yang
didasarkan pada (rasa)
Depresi
berlebihan.
saling percaya dan saling
Fobia
dari
Gangguan
skala
1
120807
Perasaan
Harga diri rendah
berharga.
Keputusasaan
pada
Ketidakberdayaan
ditingkatkan keskala 3.
Menyalahkan diri
menghormati
dan
ditingkankan keskala 3.
dalam
berhubungan
Dipertahankan
2
dan
120831 Berat badan turun.
Tujukan
epmpati,
kehangatan
tidak
dan
ketulusan.
Dipertahankan
skala
yang
Sediakan
privasi
dan
jaminan kerahasiaan.
Bantu
pasien
untuk
Merasa terhina
Dipertahankan pada skala 2
mengidentifikasi
Merasa malu
dan di tingkatkan keskala 3.
masalah
atau
Pikiran dendam
120832
yang
menyebabkan
Riwayat upaya bunuh
menurun.
diri
pada
Syok
ditingkatkan keskala 3.
perilaku
Trauma fisik
120836 Pikiran bunuh diri
mempengaruhi pasien.
Waspada berlebihan
Nafsu
makan
distress.
Dipertahankan
skala
2
yang
dan
situasi
Tentukan
bagaimana keluarga
berulang.
Dipertahankan pada skala 2 dan ditingkatkan keskala 3.
120814
Kesedihan.
Dipertahankan pada skala 1 dan ditingkatkan keskala 3.
120816
Kemarahan.
Dipertahankan
keskala
1
dan ditingkatkan keskala 3.
120817
Keputusasaan.
Ditingkatkan pada skala 1 dan ditingkatkan keskala 3.
120819 Rendahnya harga diri.
Dipertahankan
pada
skala 1 dan ditingkatkan keskala 3. 2
(00148)Ketakutan
Setelah
dilakukan
tindakan
(5820)
Penguragan
Def :Respon terhadap keperawatan selama 24 jam
Kecemasan.
persepsi, ancaman yang diharapkan pasien mampu :
Def :Mengurang tekanan,
secara
sadar
dikenali (1213)Tingkat
rasa
takut
:
sebagai sebuah bahaya. Anak Batasan karakteristik :
Gelisah
Keparahan
ketakuatan, firasat, maupun ketidaknyamanan
rasa
takut
yang
dengan
diwujudkan, ketegangan atau bahaya
terkait
sumber-sumber yang
tidak
Penurunan
ketidaknyamanan yang muncul
teridentifikasi.
kepercayaan diri
dari
Aktivitas :
Rasa diteror
diidenifikasi
Raspanik
berumur
Rasa Takut
berumur 7 tahun.
Rasa terancam
Rasa waspada
Perilaku menghindar
sumber
1
yang
bisa
pada
anak
tahun
hingga
yang
KriteriaHasil : 121311Menangis.
yang
terjadi
dari
Berada di sisi klien untuk
intravena.
ketakutan
Dipertahankan
100805Asupan
Dorong keluarga untuk
Nutrisi
Dipertahankan
Dorong perasaan,
keskala 4.
ketakutan Emosi
labil.
klien
dengan cara yang tepat.
dari skala 2 dan ditingkatkan
121312
mengurangi
mendampingi
Bantu
verbalisasi persepsi
klien
dan
untuk
Dipertahankan pada skala 1
mengerti
dan ditingkatkan keskala 3.
diskripsi yang realistis
121317
mengenai
Menarik
diri.
dan ditingkatkan keskala 3. 121345
Ketakutan.
Dipertahankan pada skala 1 dan ditingkatkan keskala 3.
krisis
dan
Dipertahankan pada skala 2
isituasi
100804AsupanCairan
parenteral.
Paham
meningkatkan rasa aman
dari skala 4.
dan
dan ditingkatkan dari skala 3
dari skala 2 dan ditingkatkan
tenang
perspektif klien
Dipertahankan dari skala 1
pendekatan
meyakinkan
Gunakan
121346
Kenaikan
Dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan keskala 4.
dating
kulasikan
yang
akan
C. Strategi Pelaksanaan 1. Pasien
Strategi pelaksanaan 1 :
Identifikasi penyebab menarik diri, siapa yang serumah, siapa yang dekat, yang tidak dekat dan apa sebabnya.
Melatih berinteraksi dengan keluarga atau teman sebaya dalam satu kegiatan harian.
Masukkan dalam jadwal untuk kegiatan sehari-hari.
Strategi pelaksanaan 2 :
Evaluasi kegiatan berinteraksi dengan keluarga atau teman sebaya (beberapa orang). Beri pujian.
Melatih cara berinteraksi dengan orang lain dalam 2 kegiatan harian (misalnya bermain dengan teman sebaya).
Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan berinteraksi dengan orang lain saat melalukan kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 3 :
Evaluasi kegiatan berinteraksi dengan orang lain dalam 2 kegiatan harian (misalnya bermain dengan teman sebaya). Beri pujian.
Melatih cara berinteraksi (4-5 orang) dalam 2 kegiatan harian baru.
Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan berinteraksi dengan 4-5 orang saat melakukan 4 kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 4 :
Evaluasi kegiatan berinteraksi saat melakukan 4 kegiatan harian. Beri pujian.
Melatih cara berinteraksi dalam kegiatan sosial (misal meminta sesuatu atau menjawab pertanyaan).
Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan berinteraksi dengan > 5 orang saat melalukan kegiatan harian.
2. Keluarga
Strategi pelaksanaan 1 :
Diskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien perkosaan.
Menjelaskan cara merawat : berinteraksi saat melakukan kegiatan harian.
Strategi pelaksanaan 2 :
Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat atau melatih pasien berinteraksi saat melakukan kegiatan harian.
Menjelaskan kegiatan rumah yang dapat melibatkan pasien berinteraksi (misal makan, sholat bersama, bermain bersama saudara).
Melatih cara membimbing pasien berinteraksi dan memberi pujian.
Strategi pelaksanaan 3 :
Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat atau melatih pasien berinteraksi saat melakukan kegiatan harian dan dalam rumah.
Menjelaskan cara melatih pasien dalam melakukan kegiatan sosial (misal berbelanja bersama orang tua, meminta sesuatu).
Melatih keluarga mengajak pasien pergi kesuatu tempat (misal pasar, taman bermain).
Strategi pelaksanaan 4:
Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat atau melatih pasien berinteraksi saat melakukan kegiatan harian dan dalam rumah.
Menganjurkan membantu pasien sesuai jadwal.
D. EVALUASI
Diagnosa
: Sindrom Trauma Perkosaan
Tujuan Umum
: Klien dapat berinteraksi dengan orang lain
Tujuan
: Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan
Khusus
orang lain
Rasional
: Hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik dengan cara sebagai berikut : - Menyapa klien dengan ramah - Memperkenalan diri dengan sopan terhadap klien - Menanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien - Jelaskan tujuan pertemuan yang akan dilakukan - Menunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya - Memberikan perhatian kebutuhan dasar klien
Tujuan
: Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri yang
Khusus
sedang dialaminya saat ini
Rasional
:
Memberikan
kesempatan
untuk
mengungkapkan
perasaannya dan dapat membantu mengurangi kecemasan dan ketakutaan saat ini
Asuhan Keperawatan Pada Korban KDRT
A. Pengkajian 1. Identifikasi Hasil
a. Kecemasan Pasien akan menunjukkan cara adaptif dalam mengatasi stress b. Gangguan tidur Pasien akan mengekspresikan perasaannya secara verbal dari pada melalui perkembangan gejala-gejala fisik. c. Gangguan seksual Pasien akan mencapai tingkat maksimal respons seksual yang adaptif untuk meningkatkan atau mempertahankan kesehatan. 2. Perencanaan
a. Kecemasan Pasien harus mengembangkan kapasitasnya untuk mentoleransi ansietas. b. Gangguan tidur Penyuluhan untuk pasien tentang strategi koping yang adaptif. 3. Implementasi
a. Kecemasan Memecahkan masalah yang membuat pasien cemas b. Gangguan tidur Memenuhi kebutuhan fisiologis pasien. Memenuhi kebutuhan dasar akan rasa aman dan keselamatan. c. Gangguan Seksual Sebelum melakukan penyuluhan perawat harus memeriksa nilai dan keyakinannya sendiri tentang pasien yang berperilaku seksual yang mungkin berebda.
4. Evaluasi
a. Kecemasan 1) Sudahkah ancaman terhadap integritas fisik atau system diri pasien berkurang dalam sifat, jumlah, asal, atau waktunya? 2) Apakah perilaku pasien menunjukkan ansietas? 3) Sudahkah sumber koping pasien dikaji dan dikerahkan dengan adekuat? 4) Apakah pasien menggunakan respon koping adaptif? b. Gangguan tidur 1) Sudahkah pola tidurnya telah normal kemabali? 2) Apakan kecemasan masih mengganggu tidur pasien? c. Gangguan seksual 1) Apakah pengakajian keperawatan tentang seksualitas telah lengkap, akurat, dan dilakukan secara professional? 2) Apakah pasien merasakan perbaikan selama perbaikan? 3) Apakah hubungan interpersonal pasien telah meningkat? 4) Apakah penyuluhan kesehatan tentang ekspresi seksual telah dilakukan dengan benar? 5) Apakah perasaan perawat sendiri tentang seksual telah digali semua pada pasien?
No Diagnosa Keperawatan
NOC
NIC
1
(00148) Ketakutan
Setelah dilakukan tindakan
(5820)
Definisi : Respon terhadap
keperawatan
persepsi secara
ncaman, sadar
selama
Pengurangan
24 Kecemasan
yang jam diharapkan klien anak Mengurangi
dikenali mampu :
tekanan,
ketakutan, firasat, maupun
sebagai sebuah bahaya.
(1210) Tingkat Rasa Takut
Batasan Karakteristik :
Keparahan rasa takut yang dengan
suber-sumber yang
Gelisah
diwujudkan
Gugup
atau
Rasa panic
yang muncul dri sumer
Rasa takut
yang bisa diidentifiksi
Rasa diteror
Kriteria Hasil :
Rasa terancam
ketegangan berbahaya
Distress. dari
berat
121016
Peningkatan
tenang
dan
Nyatakan dengan jelas
Berada
disis
untuk
darah.
klien
meningkatkan
rasa aman dan enguragi
ditingkatkan dari cukup berat menjadi ringan
pendekatan
harapan perilaku klien
Tekanan
ketakutan.
Dorong keluarg untuk
121026 Tidak mampu
endampingi
tidur.
dengan cara yang tepat
cukup
berat
menjadi ringan 121028
Kelelahan.
Ditingkatkan
121032
dari
Ditingkatkan
Menagis.
kien
atsmosphere
aman
untuk
meningkatkan kepercayaan.
dari
Identifikasi pada saat terjadi
cukup berat/skala 2 ke ringan skala 4.
Ciptakan rasa
scukup berat ke ringan.
Gunakan
meyakinkan
menjadi
ringan
tidak
Aktivitas :
yang
121001
cukup
terkait
ketidaknyamanan teridentifikasi.
Ditingkatkan
ketidaknyamanan,
perubahan
tingkat kecemasan
Berikan
aktivitas
Ketakutan.
pengganti
yang
Ditingkatkan dari skala
bertujuna
untuk
berat ke ringan.
mengurang tekanan.
121033
121034
Kepanikan.
Bantu
klien
Ditingkatkan dri skala
mengidentifikasi situasi
3 ke 4.
yang
memicu
kecemasan.
2
(00145)
Sindrom Pasca
Trauma. Definisi
keperawatan :
Rentan jam
mengalami maladaptive
Setelah dilakukan tindakan
respon yang
terus
selama
diharapkan
(5440) Peningkatan system
24 Dukungan.
pasien Definisi:
fasilitasi
mampu :
dukungan bagi
pasien
(2514) Pemulihan terhadap
oleh
teman-
keluarga,
menerus terhadap peristiwa kekerasan.
teman dan masyarakat.
trauatis dan memilukan.
Aktivitas :
Faktor Resiko :
Kriteria Hasil :
mengenali
Identifikasi
respon
Dukungan social yang
hubunga yang bersifat
pskologis
tidak adekuat
kekerasan.
situasi dan ketersediaan
Durasi
Dipertahankan
peristiwa
Persepsi traumatic.
dari
skala 2 dan ditingkatkan
traumatic
251401
peritiwa
system dukungan.
Identifikasi
tingkat
dari skala 4.
dukungan
251402
penyembuhan
keluarga,dukungan
trauma
psikologis.
Dipertahankan
keuangan,
dari
skala 2 dan ditingkatkan
terhadap
dan
sumberdya lainnya.
Monitor
situasi
dari skala 4.
keluarga saat ini dan
251403
Penyembuhan
jaringan dukungan yang
trauma
fisik.
Dipertahankan
dari
ada
Anjuran pasien untuk
skala 2 dan ditingkatkan
berpartisipasi
ke skala 4.
kegiatan
251408
Harga
dalam
social
dan
masyarakat.
diri.
Ditingkatkan dari skala 2 ke skala 4.
3
(00146) Ansietas
Setelah dilakukan tindakan
Definisi: Perasaan tidak keperawatan nyaman yang
kekhawatiran jam
samar
otonom; takut
disebabkan antisipasi bahaya.
diharapkan
pasien Mengurangi
merupakan
ketidaknyamanan,
terkait
yang keparahan dari tanda-tanda dengan
sumber-sumber
oleh
yang
ketakutan,
ketegangan, bahaya
kegelisahan
tidak
yang teridentifikasi.
ini berasal dari sumber yang Aktivitas : isyarat tidak dapat diidentifikasi.
kewaspadaan
tekanan,
ketakutan, firasat, maupun
(1211) Tingkat Kecemasan
terhadap atau Hal
Pengurangan
24 Kecemasan.
disertai mampu :
respons perasaan
selama
5820
yang
memperingatkan
Kriteria Hasil :
Gunakan
pendekatan
yang meyakinkan
121105
Perasaan
Berada
disisi
klien
individu akan adanya
Gelisah. Dipertahankan
untuk
meningkatkan
bahaya
pada
rasa
aman
dan
memampukan individu untuk
bertindak
3
dan
ditingkatkan ke skala 4.
menghadapi ancaman.
121107 wajah Tegang. Dipertahankan skala
Batasan Karakteristik:
skala
2
121109
Tidak
mengurangi ketakutan
pada
Gelisah
mengambil keputusan.
-
Insomnia
Dipertahankan
pada
klien
dengan cara yang tepat.
bisa
-
Dorong keluarga untuk mendampingi
dan
ditingkatkan ke skala 4.
dan
Lakukan usapan pada punggung/leher dengan cara yang tepat.
Ciptakan
rasa
aman
-
Mengekspresikan
skala
kekhawatiran
ditingkatkan ke skala 4
karena perubahan
-
3
dan
121114 Kesulitan dala
untuk
meningkatkan
kepercayaan.
Dukung
dala peristiwa
penyelesaian masalah.
mekanisme
hidup
Dipertahankan
dari
yang sesuai
Kesedihan yang
skala
dan
mendalam
ditingkatkan ke skala 4.
3
penggunaan koping
Atur penggunaan obatobatan
untuk
-
Putus asa
mengurangi kecemasan
-
Ancaman kematian
secara tepat.
-
Ancaman pada status terkini
-
Stressor