1 `
LAPORAN KASUS Kejang Demam Kompleks ec tonsilofaringitis akut
Oleh : Muhammad Fadillah H1A 007 041
Pembimbing dr. I Nyoman Budastra, Sp.A
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN ILMU ILMU KESEHATAN KESEHATAN ANAK ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM RSU KOTA MATARAM 2013
BAB I PENDAHULUAN
Kejang demam (KD) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh ( suhu rectal diatas 38 o C ) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam demam merupa merupakan kan kelain kelainan an neurol neurologi ogiss yang yang paling paling sering sering dijump dijumpai ai pada pada anak-a anak-anak nak,, terutama pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. Menurut Consensus statement on febrile seizures (1980), (1980), keja kejang ng dema demam m adal adalah ah keja kejadi dian an pada pada bayi bayi atau atau anak anak yang yang berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam. Defin Definisi isi ini ini meny menyin ingk gkir irka kan n keja kejang ng yang yang diseb disebab abka kan n peny penyak akit it saraf saraf seper seperti ti meningitis, ensefatitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat.3 Dahulu Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi triggered of by fever). Hampir 3% anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderitanya. Wegman (1939) dan Millichap (1959) dari percobaan binatang berkesimpulan bahwa suhu yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya bangkitan kejang. Terjad Terjadiny inyaa bangki bangkitan tan kejang kejang demam demam bergan bergantun tung g kepada kepada umur, umur, tinggi tinggi serta serta cepatnya cepatnya suhu meningkat. Faktor hereditas hereditas juga mempunyai mempunyai peranan. Lennox-Bu Lennox-Buchthal chthal (1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kejang Demam (Febrile Convulsion) 2.1.1 Batasan
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38° C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
2.1.2 Klasifikasi
Umumnya kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu kejang demam sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit dan berlangsung umum, dan kejang demam kompleks, yang berlangsung kurang dari 15 menit, fokal, atau multiple (lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam). Kriteria penggolongan tersebut dikemukan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekam otak dan lainnya.
I. Kalsifikasi KD menurut Prichard dan Mc Greal
Prichard dan Mc Greal membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu: 1. Kejang demam sederhana 2. Kejang demam tidak khas Ciri–ciri kejang demam sederhana ialah: 1. Kejangnya bersifat simetris, artinya akan terlihat lengan dan tungkai kiri yang kejang sama seperti yang kanan 2. Usia penderita antara 6 bulan - 4 tahun 3. Suhu 37,8ºC atau lebih 4. Lamanya kejang berlangsung kurang dari 30 menit 5. Keadaan neurology (fungsi saraf) normal dan setelah kejang juga tetap normal
3
6. EEG (electro encephalography – rekaman otak) yang dibuat setelah tidak demam adalah normal Kejang demam yang tidak memenuhi butir tersebut diatas digolongkan sebagai kejang demam tidak khas.
II. Klasifikasi KD menurut Livingston
Livingston membagi dalam: 1. KD sederhana 2. Epilepsy yang dicetuskan oleh demam
Ciri-ciri KD sederhana: 1. Kejang bersifat umum 2. Lamanya kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit) 3. Usia waktu KD pertama muncul kurang dari 6 tahun 4. Frekuensi serangan 1-4 kali dalam satu tahun 5. EEG normal KD yang tidak sesuai dengan ciri tersebut diatas digolongkan sebagai epilepsy yang dicetuskan oleh demam.
III. Klasifikasi KD menurut Fukuyama
Fukuyama juga membagi KD menjadi 2 golongan, yaitu: 1. KD sederhana 2. KD kompleks Ciri-ciri KD sederhana menurut Fukuyama: 1. Pada keluarga penderita tidak ada riwayat epilepsy 2. Sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun 3. Serangan KD yang pertama terjadi antara usia 6 bulan - 6 tahun 4. Lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20menit 5. Kejang tidak bersifat fokal
4
6. Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang 7. Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologist atau abnormalitas perkembangan 8. Kejang tidak berulang dalam waktu singkat KD yang tidak sesuai dengan criteria tersebut diatas digolongkan sebagai KD jenis kompleks.
Klasifikasi KD Menurut J. Gordon Millichap dan Jerry A. Collifer,
IV.
Ada 2 bentuk kejang demam yaitu: 1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai berikut: •
Kejang berlangsung singkat < 15 menit
•
Kejang umum tonik dan atau klonik
•
Umumnya berhenti sendiri
•
Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
•
Umur penderita 6 bulan- 5 tahun
2. Kejang Demam Komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai berikut: •
Kejang lama >15 menit
•
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
•
Berulang atau lebih dari 1kali dalam 24 jam
•
Kejang pertama kali pada umur < 6 bulan atau > 5 tahun
Kejang Demam Plus •
Kejang demam pada anak umur > 6 tahun
•
KD bersamaan dengan epilepsi
•
Serangan kejang sering, > 13x/tahun
5
2.1.3 Faktor Resiko
Faktor resiko pertama yang penting pada kejang demam adalah demam. Selain itu juga terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung, perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam pengawasan khusus, dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Resiko rekurensi meningkat pada usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperature yang sangat rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsy. Dua puluh sampai 25% penderita kejang demam mempunyai keluarga dekat (orang-tua dan saudara kandung) yang juga pernah menderita kejang demam.Tsuboi mendapatkan bahwa insiden kejang demam pada orang tua penderita kejang demam ialah 17% dan pada saudara kandungnya 22%.Delapan-puluh persen dari kembar monosigot dengan kejang demam adalah konkordans untuk kejang demam.Kebanyakan peneliti mendapat kesan bahwa kejang demam diturunkan secara dominan dengan penetrasi yang mengurang dan ekspresi yang bervariasi, atau melalui modus poligenik. Pada penderita kejang demam risiko saudara kandung berikutnya untuk mendapat kejang demam ialah 10%. Namun bila satu dari orang-tuanya dan satu saudara pernah pula mengalami KD, kemungkinan ini meningkat menjadi 50% . Penelitian Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing juga memperoleh data riwayat keluarga pada 231 penderita KD Dari mereka ini 60 penderita merupakan anak tunggal waktu diperiksa.Sedang 221 penderita lainnya - yang mempunyai satu atau lebih saudara kandung - 79 penderita (36%) mempunyai satu atau lebih saudara kandung yang pemah mengalami kejang yang disertai demam. Jumlah seluruh saudara kandung dari 221 penderita ini ialah 812 orang, dan 119 (14,7%) di antaranya pernah mengalami kejang yang disertai demam. 2.1.4 Etiologi
Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti. Ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam,yaitu: 1. Demamnya sendiri 2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak 3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi 6
4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit 5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang tidak diketahui atau ensefalopati toksik sepintas 6. Gabungan semua faktor diatas
Penyebab
Jumlah
Demam
Penderita
Tonsilitis dan/atau faringitis Otitis media akut (radang liang telinga tengah) Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna) Enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasi Bronkitis (radang saiuran nafas) Bronkopeneumonia (radang paru dan saluran
100 91 22 44 17 38
nafas) Morbili (campak) Varisela (cacar air) Dengue (demam berdarah) Tidak diketahui
12 1 1 66
Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering di-sertai KD daripada infeksi lainnya. Sekitar 4,8% - 45% penderita gastroenteritis oleh kuman Shigella mengaiami KD dibanding gastroenteritis oieh kuman penyebab lainnya di mana angka kejadian KD hanya sekitar 1%. Lahat dkk, 1984 mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian KD pada shigellosis dan salmonellosis mungkin berkaitan dengan efek toksik akibat racun yang dihasilkan kuman bersangkutan.
2.1.5 Patofisiologi
Meskipun mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa faktor fisiologis dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu kejang. Untuk mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
7
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya kosentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ menjadi rendah sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya.Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron.Untuk menjaga keseimbangan petensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-KATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah oleh adanya: 1. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler. 2. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. 3. Perubahan dari patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Pada keadaan demam, kenaikan 1ºC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron, dan dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium listrik.Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang.Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang sudah dapat terjadi pada suhu 38ºC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi pada suhu 40ºC atau lebih. Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan otot pernafasan tidak efisiensehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme anaerob, hipotensi artenal disertai denyutjantungyang tidak teratur dan suhu tubuh yang semakin meningkat oleh karena meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat.
8
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga di dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita menjadi kejang. Berikut merupakan skema penjelasan kejang demam:
Peningkatan Suhu Tubuh
Resiko Tinggi Gangguan Kebutuhan Nutrisi
Metabolisme Basal Meningkat
O2 ke Otak Menurun
Kejang Demam
Kejang Demam Sederhana
TIK Meningkat
Kejang Demam Kompleks
Resiko Injury
Gangguan Perkusi Jaringan
Defisit VolumeCairan
ResikoTinggiGangguan TumbuhKembang
2.1.5 Gejala Klinis
Ada 2 bentuk kejang demam (menurut Liingstone), yaitu: 9
1. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai berikut : •
Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
•
Kejang umum tonik dan atau klonik
•
Umumnya berhenti sendiri
•
Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
2. Kejang demam komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai berikut : •
Kejang lama > 15 menit
•
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejangparsial
•
Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
2.1.6 Diagnosis •
Anamnesis: Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga
yang lainnya (ayah, ibu, atau saudara kandung). •
Pemeriksaan Neurologis :tidak didapatkan kelainan.
•
Pemeriksaan Laboratorium : pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk
mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab (darah tepi, elektrolit, dan guladarah). •
Pemeriksaan Radiologi : X-ray kepala, CT scan kepala atau MRI tidak rutin dan
hanya dikerjakan atas indikasi. Indikasi CT scan CT Scan atau MRI : kelainan neurologi fokal menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi struktural di otak. (mikrosefali, spastisitas) atau terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, UUB menonjol, paresis N.VI, e dema papil) •
Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) : tindakan pungsi lumbal untuk
pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsilumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Bayi < 12 bulan : diharuskan. 2. Bayi antara 12 – 18 bulan : dianjurkan. 3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis.
10
•
Pemeriksaan Elektro Ensefalografi (EEG) :tidak direkomendasikan, kecuali
pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal. 2.1.7 Diagnosis Banding •
Meningitis
•
Ensefalitis
•
Abses otak
2.1.8 Penatalaksanaan
Tindakan awal yang mesti dilakukan adalah menempatkan anak pada posisi miring dan hangat. Setelah air menguap, demam akan turun. Tidak perlu memasukkan apa pun di antara gigi. Jangan memasukkan sendok atau jari ke dalam mulut anak untuk mencegah lidahnya tergigit.Hal ini tidak ada gunanya, justru berbahaya karena gigi dapat patah atau jari luka. Miringkan posisi anak sehingga ia tidak tersedak air liurnya. Jangan mencoba menahan gerakan anak.Turunkan demam dengan membuka baju dan menyeka anak dengan air sedikit. Ada 3 hal yang perlu dikerjakan pada penatalaksanaan kejang demam yaitu: 1. Pengobatan fase akut 2. Mencari dan mengobati penyebab 3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam Pengobatan Fase Akut
Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan dan diusahakan jalan nafas harus bebas agar oksigenisasi terjamin.Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik. Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama pengobatan adalah mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu pemberian obat – obatan antipiretik sangat di perlukan. Obat-obatan yang dapat digunakan sebagai antipiretik adalah parasetamol 10-15mg/kgbb/hari setiap 4-6 jam atau ibuprofen 5-10 mg/kgbb/hari setiap 4-6 jam. Diazepam adalah obat yang paling cepat menghentikan kejang. Efek terapeutik diazepam sangat cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan efek toksik yang serius hampir tidak dijumpai apa bila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg 11
persuntikan. Diazepam dapat diberikan secara intravena dan intrarectal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut. Pemberian diazepam secara intravena pada anak yang kejang seringkali menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan efektif melalui rektum telah dibuktikan keampuhannya (Knudsen, 1979; Ismael dkk., 1981; Kaspari dkk., 1981). Pemberian dilakukan pada anak/bayi dalam posisi miring/ menungging dan dengan rektiol yang ujungnya diolesi vaselin, dimasukkaniah pipa saluran keluar rektiol ke rektum sedalam 3 - 5 cm. Kemudian rektiol dipijat hingga kosong betul dan selanjutnya untuk beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan kedua muskulus gluteus. Dosis diazepam intrarectal yg dapat digunakan adalah 5 mg (BB<10 kg) atau 10 mg (BB>10 kg). Bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian, bila tidak berhenti juga berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena. Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan pemberian fenobarbital dosis rumatan. Untuk 2 hari pertama diberikan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik peroral. Harus diperhatikan bahwa dosis total tidak boleh melebihi 200 mg/hari karena efek sampingnya adalah hipotensi, penurunan kesadaran, dan depresi pernafasan.
Mencari dan Mengobati Penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama.
Pengobatan Profilaksis Terhadap Berulangnya Kejang Demam
Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian, yaitu: 1. Profilaksis intermiten Untuk mencegah terulangnya kejang kembali dikemudian hari, penderita yang menderita kejang demam sederhana diberikan diazepam secara oral untuk profilaksis 12
intermiten dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat juga diberikan secara intrarectal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10 kg) dan 10 mg (BB>10kg) setiap pasien menunjukan suhu lebih dari 38,5OC. Profilaksis intermiten ini sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk menderita kejang demam sedarhana sangat kecil, yaitu sampai sekitar umur 4 tahun. 2. Profilaksis jangka panjang Profilaksis jangka panjang berguna untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang stabil dan cukup didalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari.Profilaksis terus-menerus setiap hari dengan fenobarbital 3-5 mg/ kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan. Pengobatan jangka panjang hanya diberikan jika kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu) : •
Kejang lama > 15 menit
•
Kelainan neurologis yang nyata sebelum/sesudah kejang ; hemiparesis, paresis Todd, serebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
•
Kejang fokal. Pengobatan jangka panjang dipertimbangkan jika :
•
Kejang berulang 2kali atau lebih dalam 24 jam.
•
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
•
Kejang demam > 4 kali per tahun.
\
13
Algoritme Penanganan Kejang Akut dan Status konvulsif
2.1.9 Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan tidak perlu menyebabkan kematian.Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya kejang demam adalah : -
Riwayat kejang demam dalam keluarga
-
Usia kurang dari 12 bulan
-
Temperatur yang rendah saat kejang
-
Cepatnya kejang setelah demam. Jika seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80%, sedangkan bila tidak ada faktor terebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam besar pada tahun pertama. Faktor resiko terjadinya epilepsi : -
Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.
-
Kejang demam kompleks.
-
Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung. 14
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi 4-6%, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 1049%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.
15
BAB III LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Lengkap
: An. ZA
Tempat dan tanggal lahir
: Mataram, 29 -12 - 2009
Umur
: 3 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Labu Api
Status dalam keluarga
: Anak kandung
Identitas Keluarga
: Ibu
Ayah
Nama
Ny. Lilik
Tn. Effendi
Umur
23 th
24 th
Pendidikan
Tidak Tamat SMA
Tamat SMA
Pekerjaan
IRT
Wiraswasta
Masuk RS tanggal
: 30 Maret 2013
Diagnosis Masuk
: Kejang demam kompleks
Keluar RS tanggal
: 2 April 2013
Lama Perawatan
: 3 hari
Keadaan saat KRS
: atas persetujuan dokter
II. ANAMNESIS (tanggal 30 Maret 2013, Heteroanamnesis ibu pasien) •
•
Keluhan Utama : Kejang Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien dibawa ke UGD RSUD Mataram dikeluhkan kejang sejak ± 8 jam SMRS, kejang dialami sebanyak 3 kali dengan jarak ± 1-2 jam, sekali kejang biasanya berlangsung sampai 5 menit, kaki dan tangan pasien kaku kemudian mata pasien
16
mendelik ke atas, keluar busa dari mulut disangkal ibu pasien. Menurut ibu pasien kejang yang dialami pasien tersebut selalu diawali dengan demam, demam awalnya naik turun, dan pada saat demam yang dialami terlalu tinggi maka akan berlanjut dengan kejang. Demam dengan disertai menggigil disangkal. Pasien juga mengeluh tenggorokan terasa nyeri, terutama saat menelan makanan sejak 2 hari yang lalu. Batuk dan pilek tidak dikeluhkan oleh pasien, sesak (-), nyeri telinga (-). Nafsu makan dan minum pasien masih baik, mual (-), muntah (-). BAB (+) normal, konsistensi lembek, frekuensi 1-2 kali sehari, darah (-), nyeri (-). BAK (+) lancar, berwarna kekuningan, frkuensi 2-3 kali sehari, darah (-), nyeri (-). •
Riwayat Penyakit Dahulu:
Menurut ibu pasien, pasien pernah mengalami kejang sebelumnya, yaitu sejak pasien berusia 18 bulan dan 2 tahun. Kejang selalu diawali oleh demam. •
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada keluarga yang pernah menderita keluhan yang sama seperti pasien. Riwayat ayan atau epilepsi dalam keluarga disangkal. •
Riwayat Keluarga (Ikhtisar)
Pasien adalah anak pertama dari dua bersaudara dan pasien tidak memiliki adik.
•
Riwayat Pribadi
1. Riwayat Kehamilan dan persalinan Ibu pasien mengaku tidak ada gangguan selama kehamilan. Ibu melakukan ANC di posyandu lebih dari 4x. Pasien dilahirkan di polindes, dibantu oleh bidan, lahir normal dan langsung menangis, berat badan lahir 2500 gram. 2. Riwayat Nutrisi Pasien mendapat ASI sampai usia 6 bulan. Selanjutnya pasien mendapat PASI berupa bubur setalh berumur lebih dari 6 bulan. Pasien baru mulai makan nasi saat usia 1 tahun. Pasien menyusu sampai usia 1,8 tahun. Pada usianya saat ini, Pasien makan nasi, lauk pauk, sayur dan buah sebanyak 3 kali sehari. 3. Perkembangan dan Kepandaian Orang tua pasien menyatakan perkembangan anaknya baik dan sesuai dengan anak yang seumuran dengan pasien. Pasien merangkak usia 6 bulan, duduk usia 8
17
bulan, berdiri usia 9 bulan, mengucapkan kata- kata usia 10 bulan, dan bisa berjalan usia 14 bulan.
4. Vaksinasi A. Dasar : Lengkap
B. Ulangan
BCG umur 1 bulan Hepatitis umur 0,1,6 bulan Polio umur 2,4,6 bulan DPT umur 2,4,6 bulan Campak umur 9 bulan Pasien selalu mendapat imunisasi sesuai jadwal.
5. Sosial ekonomi dan lingkungan Pasien tinggal bersama orang tuanya. Ayah pasien bekerja sebagai pekerja bengkel dengan penghasilan tidak tetap namun jika dirata-ratakan
sekitar
Rp.500.000. Ibu pasien hanya seorang ibu rumah tangga. pasien tinggal di rumah ukuran 6 x 4 meter persegi, dindingnya terbuat dari bata, atapnya berupa genteng, ventilasinya cukup. Ibu pasien memasak menggunakan kompor minyak tanah.
II. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 30-Maret-2013) o
Kesan umum
: Sedang
o
Kesadaran : Compos Mentis
o
GCS
o
Fungsi Vital
: E4V5M6
Nadi
: 110 kali/menit, isi dan tegangan kuat, irama teratur
Pernapasan
: 24 kali/menit teratur tipe abdominotorakal
T ax
: 37,8 oC
CRT
: < 2 detik
Status Gizi
Berat Badan : 11,5 kg Panjang Badan: 89 cm Umur : 3 tahun 18
BB/PB = antara +2 SD – (-2)SD BB/U = antara +2 SD – (-2)SD PB/U
= antara +2 SD – (-2)SD
Kesan : normal •
Status lokalis : o
Kepala dan Leher :
Kepala :
Bentuk
: normosefali
Rambut :
Warna
: hitam
Tebal/tipis
: tipis
Distribusi
: tidak jarang
Alopesia
: tidak ada
Palpebra
: tidak edema
Mata :
Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut Konjungtiva
: anemis -/-
Sklera
: tidak ikterik
Produksi air mata : cukup
Telinga :
Hidung :
Pupil : Diameter
: 3 mm/3 mm
Simetrisitas
: isokor, normal
Reflek cahaya
: +/+
Kornea
: jernih
Bentuk
: simetris
Sekret
: tidak ada
Serumen
: minimal
Nyeri
: tidak ada
Bentuk
: simetris
Pernafasan cuping hidung : tidak ada
Mulut :
Epistaksis
: tidak ada
Sekret
: tidak ada.
Bentuk
: normal
Bibir
: mukosa basah, tampak kemerahan.
Gusi
: tidak mudah berdarah, pembengkakan tidak ada
Lidah :
Bentuk
: normal
Pucat/tidak
: tidak pucat
19
Tremor/tidak : tidak tremor Kotor/tidak
: tidak kotor
Warna
: kemerahan
Tenggorokan :
Mukosa Bukal
berwarna merah muda, hiperemia (-)
Lidah
Normal
Palatum mole
Ulkus (-), hiperemi (+)
Faring
Mukosa
hiperemi
(+),
edema
(-),
granul
(+),
ulkus
neovaskularisasi (-) Tonsila palatine
Kanan : hiperemia (+), ukuran T2, kripte melebar (+), detritus (+) Kiri : hiperemia (+), ukuran T3, kripte melebar (+), detritus (+)
Leher :
Vena Jugularis :
: tidak terlihat
Tekanan
: tidak meningkat
Pembesaran kelenjar leher
: tidak ada
Kaku kuduk
: tidak ada
Massa
: tidak ada
o
Thoraks :
•
Dinding dada/paru : Inspeksi:
Pulsasi
Bentuk
: simetris
Retraksi
: (-)
Dispnea
: (-)
Pernafasan
: abdominothorakal
Palpasi:
kesan simetris, massa (-)
Perkusi:
sonor/sonor 20
(-),
Auskultasi: Suara Napas Dasar : Suara napas bronkovesikuler Suara Napas Tambahan : Rhonki -/-, Wheezing (-/-) •
Jantung : Inspeksi:
Iktus
: tidak terlihat
Palpasi:
Apeks : teraba pada ICS V LMC Sinistra Thrill : tidak ada
Perkusi:
Batas kanan
: kesan ICS IV LPS dextra
Batas kiri
: kesan ICS V LMK sinistra
Batas atas
: kesan ICS II LPS dextra
Batas bawah
: kesan ICS IV LMK sinistra
Auskultasi: Frekuensi
o
: 110 x/menit
Suara dasar
: S1 dan S2 tunggal
Bising
: tidak ada
Abdomen
Inspeksi:
: Bentuk datar
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Perkusi
: Timpani, asites tidak ada
Palpasi
: Hati : tidak teraba Lien
: tidak teraba
Ginjal : tidak teraba Massa : tidak ada o
Anggota Gerak:
Akral hangat Edema Pucat Kelainan bentuk Pembengkakan Sendi Pembesaran KGB Leher Axilla Inguinal Sianosis o
Tungkai Atas Kanan Kiri + + -
Tungkai Bawah Kanan Kiri + + -
-
-
-
-
Kulit : Ikterus (-), pustula (-), peteki (-), sklofuloderma (-)
21
o
Vertebrae : tidak tampak kelainan
o
Neurologis : o
GCS : E2V2M5
o
Tanda iritasi meningeal: 1. Kaku kuduk : + 2. Kernig sign : + 3. Brudzinsky I : + 4. Brudzinsky II
o
:+
Nervus kranialis: tde
o
Motorik-sensorik: kesan normal
o
Refleks fisiolois-patologis 1. Fisiologis
Bisep
:+
Trisep
:+
2. Patologis
Babynski
Oppenheim : -
Chaddock
:-
Gordon
:-
Schaefer
:-
:-
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG •
Darah Lengkap o
WBC : 15,37
o
RBC
: 5,48
o
HB
: 12,9
o
HCT
: 34,0
o
MCV : 84,7
o
MCH : 28,9
o
PLT
: 304
IV. DIAGNOSIS KERJA
22
Kejang demam kompleks ec tonsilofaringitis akut V. DIAGNOSIS BANDING
Epilepsi
VII. RENCANA AWAL Rencana Diagnostik •
Swab Tenggorok
Rencana terapi
- O2 1-2 lpm (k/p), jika kejang. - IVFD D5%1/4 NS 24 tpm mikro. - Inj. Diazepam 5 mg per IV, (k/p). - Parasetamol 120 mg tiap pemberian, (k/p) - Asam Valproat, 3 x 60 mg. - Amoxicillin 2 x 275 mg. KIE •
Pengobatan minimal 1 tahun dan tidak boleh putus obat
•
Antibiotik diminum sampai habis
•
Jika demam, segera berikan antipiretik.
23
BAB IV PEMBAHASAN
Pada kasus di atas, pasien perempuan berusia 3 tahun didiagnosis dengan kejang demam kompleks et causa ISPA. Kejang demam merupakan suatu bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38° C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Ada 2 bentuk kejang demam (menurut Livingstone), yaitu: (1) Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai berikut Kejang berlangsung singkat, < 15 menit, kejang umum tonik dan atau klonik, umumnya berhenti sendiri, tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam. (2) Kejang demam komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan cirri-ciri gejala klinis sebagai berikut : Kejang lama > 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Penegakkan diagnosis kejang demam didapatkan melalui (1) Anamnesis, biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga yang lainnya (ayah, ibu, atau saudara kandung). (2) Pemeriksaan Neurologis, tidak didapatkan kelainan. (3) Pemeriksaan Laboratorium, pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab (darah tepi, elektrolit, dan guladarah). (4) Pemeriksaan Radiologi, X-ray kepala, CT scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi. (5) Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS), tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut : Bayi < 12 bulan diharuskan, Bayi antara 12 – 18 bulan
dianjurkan, Bayi > 18 bulan
tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda
meningitis. (6) Pemeriksaan Elektro Ensefalografi (EEG) : tidak direkomendasikan, kecualipada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam komplikata pada anakusia > 6 tahun atau kejang demam fokal. Pada pasien ini, dari anamnesis didapatkan keluhan kejang yang diawali oleh demam. Pada keadaan demam, kenaikan 1ºC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi pada kenaikan
suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron, dan dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium listrik.Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak 24
mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang sudah dapat terjadi pada suhu 38ºC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi pada suhu 40ºC atau lebih. Selain itu pasien tersebut sudah sering mengalami kejang sejak usia 18 bulan. Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan otot pernafasan tidak efisien sehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme anaerob, hipotensi artenal disertai denyut jantungyang tidak teratur dan suhu tubuh yang semakin meningkat oleh karena meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga di dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita menjadi kejang. Ada 3 hal yang perlu dikerjakan pada penatalaksanaan kejang demam yaitu: (1) Pengobatan fase akut . (2) Mencari dan mengobati penyebab (3) Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.
Pada pasien ini sudah memiliki indikasi untuk
diberikan tatalaksana kejang demam jangka panjang, dengan diberikan asam valproat sampai 1 tahun periode bebas kejang.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Pediatrics. Practice Parameter : Long-term Treatment of The Child with Febrile Seizures. Pediatrics 1999; 103; 1307 – 10. 2. Baumann RJ. Febrile Seizures. E Med J, March 12 2002, vol.2, No. 3 : 1 – 10. 3. Baumann RJ. Technical Report: Treatment of The Child with Simple Febrile Seizures. http://www.pediatric.org/egi/content/full/103/e86 . 4. Berg AT, Shinnar S, Levy SR, Testa FM. Childhood-Onset Epilepsy With andWithout Preceeding Febrile Seizures. Neurology, vol. 53, no. 8, 1999 : 23-34. 5.
Campfield P, Camfield C. Advance in Diagnosis and Management of PediatricsSeizures Disorders in Twentieth Century. J Pediatrics 2000, 136 : 847 – 9.
6.
Duffer PK, Baumann RJ. A Synopsis of the American Academy of PediatricsPracticeParameter on The Evaluation and Treatment of Children with FebrileSeizures. Pediatrics in Review, vol. 20, No. 8, 1999: 285 – 7.
7. Gordon KE, Dooley JM, Camfield PR, Campfield CS, MacSween J. Treatment of Febrile Seizures: Influence of The Treatment Efficacy and Side-effect Profile on Value to Parents. Pediatrics 2001; 108 : 65-9. 9. Pedley AA. Recent Advences in Epilepsy. Churchil Livingstone. 1992 10. Lumbantobing. Epilepsi pada Anak. Naskah Lengkap Kedokteran Berkelanjutan. Jakarta .FK UI .1992 11. Selzer ME, Dichter MA. Cellular Pathopyysiology and Pharmacology of Epilepsy, in Asbury AK, McKhann GM, McDonald WI. editors. Disease of the Nervous System Clinical Neurobiology 2th ed. Phliadelphia. W.B. Saunders Company,1992; 916-26 12. Meliala L. Epilepsi pada Pendeita Stroke. Berita Kedokteran Masyarakat, FK UGM, Yogyakarta.1999 13. Chandra B. Patofisiologi Epilepsi dalam Epilepsi. Semarang. BP UNDIP. 1993 14. Budiarto.I. Beberapa Karateristik Kejang Demam Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf. FK UNDIP, Semarang. 1999 15. Foldvary N, Wyllie E. Textbook of Clinical Neurology. 1st edition, Philadelphia : WB Saunders Company. 1999
26