KASUS BERSAMA OS KATARAK KOMPLIKATA EX CAUSA UVEITIS
Tugas Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Mata RST Dr. Soedjono Magelang Periode 7 Agustus – Agustus – 9 9 September 2017
Pembimbing: dr. Hari Trilunggono, Sp.M dr. Dwidjo Pratiknjo, Sp.M
Disusun oleh : Gani Rahmani Hanief
1610221113
Rahadian Malik
1610221128
Qonita Aizati
1610221145
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS OS KATARAK KOMPLIKATA EX CAUSA UVEITIS
Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Tk.II dr. Soedjono Magelang
Oleh :
Gani Rahmani Hanief
1610221113
Rahadian Malik
1610221128
Qonita Aizati
1610221145
Magelang, Agustus 2017 Telah dibimbing dan disahkan oleh,
Pembimbing,
dr. YB. Hari Trilunggono, Sp.M
dr. Dwidjo Pratiknjo, Sp.M
BAB I STATUS PASIEN I.1 IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. I
Usia
: 30 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Digelan II, Soropadan
Pekerjaan
: Karyawan Swasta
Status
: Sudah menikah
Agama
: Islam
Datang ke Rumah Sakit
: 14 Agustus 2017
Anamnesis dilakukan secara
: Autoanamnesis dan Alloanamnesis tanggal 14 Agustus 2017 di Poli Mata RST dr.Soedjono Magelang
I.2 ANAMNESA a. Keluhan Utama
Pandangan mata kiri terasa kabur b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan mata kiri kabur sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu, yang lama kelamaan semakin memberat terutama 3 bulan terakhir. Pasien merasakan pandangan kabur secara perlahan, melihat benda tampak tidak jelas seperti ditutupi oleh kabut atau asap. Padangan semakin tidak jelas ketika hari menjelang malam dan silau ketika siang hari. Pasien mengeluh mata nrocos, nyeri cekot-cekot pada mata, sering menabrak saat berjalan, pusing, pandangan double, mata merah disangkal. Pasien mengaku tidak ada riwayat trauma ataupun riwayat operasi mata sebelumnya. Pasien meyangkal mempunyai riwayat pemakaian obat tetes mata atau konsumsi obat dalam waktu lama. Pasien pernah berobat ke bagian mata sebelumnya pada tahun 2014 dan di diagnosis Uveitis. Namun setelah itu pasien tidak rutin kontrol lagi ke bagian mata. Setelah berobat keluhan saat itu mulai berkurang namun karena hal itu pasien tidak kontrol kembali dan tidak lama setelah obat habis keluhan timbul kembali dan semakin lama penglihatannya semakin terganggu.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit mata : diakui, Uveitis pada tahun 2014
Riwayat trauma mata : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit yang sama : disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat diabetes mellitus
: disangkal
e. Riwayat Pengobatan
Pasien sudah melakukan pengobatan 4 bulan yang lalu namun keluhan tidak membaik. Tidak ada obat-obatan yang biasa pasien konsumsi secara rutin. f.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang pensiunan dan biaya bia ya pengobatan ditanggung BPJS. Kesan sosial ekonomi cukup.
I.3 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2017 di Ruang Nusa Indah pukul 17.00 wib. a. Status Umum o
Keadaan Umum
: Tampak sakit ringan
o
Kesadaran
: Compos Mentis / E4 M6 V5
b. Vital Sign
Tekanan Darah
: 130 / 70 mmHg
Nadi
: 85 x / menit
o
Respirasi
: 20 x / menit
o
Temperatur
: 36,80C
o
o
c. Status Generalis o
Kepala
o
Status Oftalmikus No .
: Bentuk normocepal
Pemeriksaan
OD
OS
1.
Visus
6/12
0
(No correction)
2.
Bulbus Okuli -
Gerak bola mata
Baik ke segala arah
Baik ke segala arah
-
Strabismus
-
-
-
Eksoftalmus
-
-
-
Endoftalmus
-
-
Normal
Normal
3.
Supracilia
4.
Palpebral superior
5.
6.
-
Xantelasma
+
+
-
Edema
-
-
-
Hematoma/Brill
-
-
hematoma
-
-
Trikiasis (-)
Trikiasis (-)
-
Silia
-
Bleferospasme
-
-
-
Ektropion
-
-
-
Entropion
-
-
-
Tanda radang
Palpebral inferior -
Xantelasma
+
+
-
Edema
-
-
-
Hematoma/Brill
-
-
hematoma
-
-
Trikiasis (-)
Trikiasis (-)
-
Silia
-
Bleferospasme
-
-
-
Ektropion
-
-
-
Entropion
-
-
-
Tanda radang
-
-
Konjungtiva -
Edema
-
-
-
Injeksi konjungtiva
+
+
-
Injeksi siliaris
+
+
-
Sekret
-
-
-
Folikel
-
-
-
Ekstravasasi darah
-
-
-
Jaringan fibrovaskular
Terdapat jaringan
-
fibrovaskuler yang berbentuk segitiga sudah melewati limbus & sudah mencapai pupil 7.
8.
Sklera -
Warna
-
Laserasi
Hiperemi (+)
Hiperemi (+)
-
-
Tidak keruh
Keruh
Kornea -
Kejernihan
-
Edema
-
-
-
Infiltrat
-
-
-
Ulkus
-
-
-
Sikatrik
-
-
-
Erosi
-
-
-
Jaringan fibrovaskuler
Terdapat jaringan
-
fibrovaskuler yang berbentuk segitiga sudah melewati limbus & sudah mencapai pupil
9.
COA -
Kedalaman
Tidak dangkal
Dangkal
-
Hifema
-
-
-
Hipopion
-
11.
12.
13.
14.
15.
Iris -
Warna
Coklat
Kelabu
-
Sinekia
-
-
-
Seklusio
-
-
-
Iridoplegi
-
-
-
Iridodialisis
-
-
-
Iridoreseksi
-
-
Sentral
Sentral
Bulat
Bulat
+/+
-/-
Pupil -
Letak
-
Bentuk
-
Reflex L & TL
-
Diameter
-
Isokoris
-
Seklusio pupil
2 mm
±0,5
mm
Anisokor -
+
Lensa -
Kejernihan
Jernih
Tidak dapat dinilai
-
Iris shadow
-
-
-
Dislokasi lensa
-
-
Jernih
Tidak dapat dinilai
-
-
Corpus Vitreum -
Kejernihan
-
Hemoftalmus
Fundus Reflex
Tidak dilakukan
Negatif
16.
Funduskopi
Tidak dilakukan
-
Papil n.optikus
-
Vasa
-
Makula
-
-
Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
o
Reflex fovea
o
Eksudat
-
Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Retina o
Edema
-
o
Bledding
-
Tidak dapat dinilai
17.
TIO (palpasi)
Tidak meningkat
o
Hidung
: dalam batas normal
o
Telinga
: dalam batas normal
o
Tenggorokan
: dalam batas normal
o
Leher
: dalam batas normal
o
Toraks
: dalam batas normal
o
Abdomen
: dalam batas normal
o
Genital
: dalam batas normal
o
Ekstremitas
: dalam batas normal
Meningkat (keras)
d. Skema mata pasien
OD
OS
I.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pasien ini diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium terutama untuk periksa gula darah dan kadar lemak darah.
I.5 DIAGNOSA DIFFERENSIAL A. OD PTERIGIUM GRADE IV
OD Pterigium grade IV
Dipertahankan, karena pada anamnesis didapatkan keluhan penglihatannya seperti ada selaput yang tumbuh dan menghalangi pandangannya. Pasien juga sehari-hari sering beraktivitas di luar ruangan terutama di sawah dan perkebunan, tanpa menggunakan kacamata. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya jaringan selaput fibrovaskular pada konjungitva bagian nasal berbentuk segitiga yang telah melewati pupil.
OD Pterigium grade III
Disingkirkan, karena pterigium grade III ditemukan jaringan selaput fibrovaskular pada konjungitva sebelah nasal yang mengarah ke kornea berbentuk segitiga sampai melewati limbus tetapi tidak melewati pupil sedangkan pada pasien jaringan selaput fibrovaskular telah melewati pupil.
OD Pseudopterigium
Disingkirkan, karena pada pseudopterigium terdapat kelainan kornea se belumnya, dan letaknya pseudopterigium pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea sebelumnya sedangkan pada pasien ini tidak ada riwayat kelainan pada korneanya.
B. OS GLAUKOMA SEKUNDER STADIUM ABSOLUT SUDUT TERTUTUP EX CAUSA SEKLUSIO PUPL
OS Glaukoma Sekunder Stadium Absolut Sudut Tertutup Ex Causa Seklusio Pupil
Dipertahankan, karena dari anamnesis pasien mengalami penurunan penglihatan secara mendadak (visus 0) serta sebelumnya didahului keluhan nyeri kepala, mata cekot-cekot serta mual dan muntah. Pasien juga memiliki riwayat sakit mata sebelumnya. Dari pemeriksaan didapatkan pupil miosis, refleks pupil (-), COA dangkal dan peningkatan TIO dengan mata yang teraba keras.
OS Glaukoma sekunder stadium absolut sudut tertutup ex causa katarak imatur
Disingkirkan, karena pada glaukoma sekunder stadium absolut sudut tertutup ex causa katarak imatur sebelumnya didahului keluhan padangan buram terutama pada siang hari dan lebih jelas pada malam hari dan atau adanya riwayat katarak serta didapatkan lensa keruh sebagian, iris shadow (+), fundus refleks suram. Sedangkan pada pasien tidak didapatkan riwayat katarak.
OS Glaukoma primer absolut sudut tertutup
Disingkirkan , karena pada glaukoma primer absolut sudut tertutup tidak dikethaui penyebabnya, pandangannya buram dan terdapat glaukoma attcak, pada pemeriksaan didapatkan visus 0, COA dangkal, lensa edema, tekanan intra okular meningkat. sedangkan pada pasien didapatkan keluhan mata kanan tidak dapat melihat, merah, pupil miosis, visus OD 0, COA dangkal, tekanan intra okular meningkat serta memiliki riwayat sakit mata sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa glaukoma yang dialami pasien diakibatkan oleh penyakit mata sebelumnya C. ODS XANTELASMA
ODS Xantelasma Palpebra
Dipertahankan karena pada xantelasma didapatkan plak kekuningan berbatas tegas, simetris dan berada di sisi medial palpebra superior dan inferior serta adanya riwayat diabetes melitus pada pasien.
ODS Brill Hematoma
Disingkirkan, karena pada brill hematoma berwarna biru kehitaman bulat mengelilingi mata dan disebabkan oleh trauma. Sedangkan pada pasien didapatkan gambaran plak kekuningan dan riwayat trauma pada mata disangkal.
I.6 DIAGNOSA KERJA
OD Pterigium grade IV
OS Glaukoma Sekunder Stadium Absolut Sudut Tertutup Ex Causa Seklusio Pupil
ODS Xantelasma
I.7 PENATALAKSANAAN A. OD Pterigium Grade IV
a. Medikamentosa
Topikal : -
Oral : -
Parenteral : -
Operatif : Ekstirpasi pterigium
b. Non Medikamentosa
Tidak ada
B. OS Glaukoma Sekunder Stadium Absolut Sudut Tertutup Ex Causa Seklusio Pupil
a. Medikamentosa
Topikal : o
Timolol Maleat 0,5% 2x sehari 1 tetes
Oral : o
Asetazolamid tab 250 mg 3x sehari
o
KCL tab 300 mg 1x sehari
Parenteral : -
Operatif : Enukleasi bulbi
b. Non Medikamentosa
Tidak ada
C. ODS Xantelasma
a. Medikamentosa
Tidak ada
b. Non Medikamentosa
Tidak ada
I.8 EDUKASI A. OD Pterigium
Menjelaskan kepada pasien bahwa selaput berwarna putih berbentuk segitiga itu akan semakin melebar yang akan mengganggu penglihatan sehingga dianjurkan untuk dilakukan operasi.
Menjelaskan kepada pasien bahwa selaput di mata kanan tersebut dapat sembuh.
Menjelaskan kepada pasien bahwa selaput tersebut dapat muncul kembali jika mata terpapar dengan faktor pencetus seperti debu, angin, dan paparan sinar UV.
Menjelaskan kepada pasien untuk mengurangi faktor pencetus seperti debu, dan paparan sinar UV dengan memakai kacamata dan menggunakan topi saat beraktivitas di luar ruangan.
B. OS Glaukoma Sekunder Stadium Absolut Sudut Tertutup Ex Causa Seklusio Pupil
Menjelaskan bahwa kebutaan akibat glaucoma absolut bersifat irreversibel, tidak mungkin kembali seperti sedia kala.
Menjelaskan kepada pasien bahwa, pengobatan yang dilakukan hanya semata-ma ta untuk mengurangi keluhan.
C. ODS Xantelasma •
Menjelaskan bahwa plak kuning yang terdapat disekitar mata tidak menganggu fungsi normal dari mata, namun cenderung bersifat permanen dan hanya dapat hilang bila dilakukan pembedahan.
•
Melakukan kontrol kolesterol dan trigliserida serta membiasakan gaya hidup sehat.
I.9 KOMPLIKASI A. Pterigium Grade IV
Pra – operatif :
Astigmatisme Pterigium
pertumbuhan
dalam waktu
fibrovaskuler konjungtiva degeneratif dan infasif
lama pterigium bagian
apex akan
menempel pada
korneatarikan bagian apex pterigium mengakibatkan sumbu meredian vertikal dan horisontal menjadi berubah Astigmatisme
Penurunan visus Pterium derajat 4 dimana pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil jika tidak diekstirpasi gangguan penglihatan
Diplopia Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.
Post operatif :
Pterigium rekuren
Jaringan parut di kornea
B. Glaukoma Sekunder Stadium Absolut
Tidak ada
C. Xantelasma
Tidak ada
I.10 RUJUKAN
Dalam kasus ini diperlukan rujukan ke disiplin ilmu kedokteran lainnya khususnya ilmu penyakit dalam. I.11 PROGNOSIS
Oculus Dexter (OD)
Oculus Sinister (OS)
Quo Ad Visam
:
Dubia ad bonam
Ad malam
Quo Ad Sanam
:
Dubia ad bonam
Ad malam
Ad Bonam
Ad Bonam
Dubia Ad Bonam
Ad Bonam
Quo Ad Functionam : Quo Ad Vitam
:
Quo Ad Kosmetikan :
Ad Bonam
Dubia Ad Bonam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 PTERIGIUM A. Definisi
Menurut American Academy of Ophthalmology, pterigium (berasal dari bahasa Yunani yaitu “ Pterygos” yang artinya sayap) adalah poliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaan kornea. 1,2,3,4 B. Epidemiologi dan Insidens
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian dunia, dengan prevalensi
yang dilaporkan berkisar antara
0,3%-29%. Studi epidemiologis
menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis 'sabuk pterigium' dalam garis peri-khatulistiwa 37o lintang utara dan selatan khatulistiwa. Pada populasi yang terkena, pertumbuhan pterigium telah terlihat pada remaja muda dan banyak terjadi di masyarakat di padang pasir. Pterigium terlihat hampir dua kali lebih sering pada laki-laki daripada wanita.5,6 Secara umum studi lain tentang pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera meningkat seiring bertambahnya usia. Hal yang berbeda dengan beberapa studi dimana pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki. Keberhasilan penanganan pterigium adalah tantangan untuk dokter mata karena tingkat kekambuhan yang tinggi (2,1% menjadi 87%). Tingkat kekambuhan tinggi dan komplikasi penglihatan yang mengancam pada teknik bedah yang berbeda memprovokasi para spesialis mata untuk mencari modalitas baru dan pengobatan yang lebih aman. 5,6 Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah. Berdasarkan beberapa faktor diantaranya: a) Jenis Kelamin Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan wanita. 5
b) Umur Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterigium yang paling tinggi.6 C. Etiologi
Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit ini lebih sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang paling mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki kemungkinan sebagai faktor etiologi. Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis dan proliferasi sel. Radiasi cahaya UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papilloma virus dapat juga terlibat dalam patogenesis pterigium. 2,3,4,5 D. Anatomi Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama konjungtiva (conjoin: bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini karena fakta bahwa ia menghubungkan bola mata dengan kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak mata ke limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva yang terbuka di depan fissura palpebral. Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian:
7,8
1. Konjungtiva palpebralis.
Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebih tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular. Bagian
ini melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva orbital terl etak longgar antara tarsal dan forniks. 2. Konjungtiva bulbaris.
Melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat pada li mbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea. Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva limbal. 3. Konjungtiva fornix
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitar nya, konjungtiva fornix ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahn ya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.
Gambar 1. Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks,
konjungtiva palpebralis.
Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan (Gam.2) yaitu epitel, lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa. 7 1. Epitel Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng. 2. Lapisan adenoid Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat limfosit. Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak di temukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler. 3. Lapisan fibrosa Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar. Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior).4,8
Gambar 2. Histologi konjungtiva normal
(Dikutip dari kepustakaan 10) Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya berbentuk cekung. Karunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di canthus bagian dalam. Pada kenyataannya, massa ini merupakan potongan modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut.4
Gambar 3. Vaskularisasi Konjungtiva
(Dikutip dari kepustakaan 10) Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni arkade arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri ciliaris anterior (Gam. 3). Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari arkade arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua set pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arteri kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari arteri ciliaris anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior membentuk anastomosis dengan
arteri konjungtiva anterior dan membentuk arkade pericorneal. Vena konjungtiva bermuara ke dalam vena pleksus kelopak mata dan beberapa mengelilingi kornea dan bermuara ke vena ciliaris anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke limfonodus submandibular. Limbus kornea pada konjungtiva dipersarafi oleh cabang-cabang dari nervus siliaris panjang yang mempersarafi kornea. Sisa konjungtiva dipersarafi oleh cabang dari lakrimal, infratrochlear, supratrochlear, supraorbital dan nervus frontal.4 E. Patofisiologi
Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai peristiwa terjadinya pterigium pada level intraselular dan ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks ekstraselular.11 Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior. Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterigium. Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV B Merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiotenesis, perubahan patologis termaksud juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia. 5,11 Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak
langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal. 5,11 Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa pterigium seringkali muncul di daerah nasal berasal dari peran patogenetik cahaya matahari. Cahaya matahari diteruskan ke dalam limbus sklerokorneal setelah dipantulkan oleh dinding nasal lateral, di mana konjungtiva bulbar di daerah nasal inilah yang lebih sering terpapar sinar matahari. Mengingat juga, bulu mata di dekat nasal jauh lebih pendek dibanding bulu mata di daerah temporal.5,11 Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas, termasuk laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk mengganggu regulasi p53. Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat berefek pada ekspresi beberapa jenis sitokin dalam sel, seperti reseptor faktor pertumbuhan. Adanya perubahan ekspresi sel-sel sitokin ini telah dievaluasi oleh beberapa studi menggunakan berbagai macam teknik pemeriksaan imunihistokimia dan ELISA. Sinar UV dapat menginduksi sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) bersama dengan tumor necrosis factor (TNF-α) membantu keratosit korneal beradaptasi memperbaiki fenotip. IL-6 berfungsi dalam migrasi sel epitel melalui reseptor integrin dan IL-8 melakukan aktivitas mitogenik dan angiogenetik. Faktor pertumbuhan yang berperan dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth factor (EGF) dan EGF heparin-binding (HB-EGF), vascular endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), plateletderived growth factor (PDGF), transforming growth factor-ß (TGF-ß) and insulin-like growth factor binding proteins (IGF-BP).5 Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium. Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.2,5,6 Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada daerah yang kekurangan limbal stem cell. Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Defisiensi limbal stem cell menyebabkan konjungtivalisasi kornea dari segala arah. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membran pertumbuhan jaringan fibrotik.
Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra. 5,6
F. Klasifikasi
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu: Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas tiga:
a) Tipe I Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi ser ing asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat. b) Tipe II Disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium rekuren tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat. c) Tipe III Pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optic membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai kornea > 4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
a) Stadium-I
: Hanya terbatas pada limbus kornea
b) Stadium-II
: Sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea
c) Stadium-III
: Jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil. d) Stadium-IV
: Jika pterigium sudah melewati tepi pupil
Gbr 4. Pterigum stadium I.
Gbr 5. Pterigium stadium II.
Gbr.6. Pterigium stadium III.
Gbr 7. Pterigium stadium IV.
G. Gambaran Klinis Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan di luar rumah. Pterigium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut “Stocker ’s line”. Pterigium terdiri dari tiga bagian:10 a) Caput b) Apeks (bagian apikal yang muncul pada kornea), c) Collum (bagian limbal), d) Corpus (bagian sklera) membentang antara limbus dan canthus. Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada intoleransi kosmetik. Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada
jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.10
Gambar 11. (A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang
kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea. (B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung H. Diagnosis 1) Anamnesis
Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa gejala sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan, pembengkakan, gatal, iritasi, dan penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari konjungtiva dan dekat kornea pada satu atau kedua mata.1,10 Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada intoleransi kosmetik. Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.1,10
2) Pemeriksaan fisik
Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal, serta di lokasi lainnya. 6
3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam menentukan derajat seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium.6 I. Penatalaksanaan
Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi menunjukkan pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan yang signifikan, ketidaknyamanan, atau perubahan dalam fungsi visual. 1) Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topical lubricati ng drops atau air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta sesekali penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi (misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala lebih intens. Selain itu, penggunaan kacamata anti-UV disarankan untuk mengurangi paparan radiasi ultraviolet lebih lanjut. 6,10 2) Terapi pembedahan
Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang dapat diindikasikan untuk, menurut Ziegler : a) Mengganggu visus b) Mengganggu pergerakan bola mata c) Berkembang progresif d) Mendahului suatu operasi intraokuler e) Kosmetik Penghilangan pterigium melibatkan bedah eksisi pada apeks, collum dan corpus dari pterigium. Corpus dan dasar pterigium tersebut dibedah dengan gunting konjungtiva, sedangkan apeks dan collum pterigium yang telah menyerang kornea sering dihilangkan dengan pisau bedah. Dilakukan usaha untuk mengidentifikasi bidang diseksi, yang memfasilitasi penghilangan pterigium sekaligus mempertahankan permukaan halus kornea yang mendasarinya. Lapisan stroma yang tersisa mungkin dapat dirapikan dengan pisau.
Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi. Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium:
1,3,11,12
a) Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus, menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak dapat diterima karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan). b) Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil. c) Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap. d) Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi. e) Conjungtival graft : suatu free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan. (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).
Gambar 12. Teknik Operasi Pterigium
Rekurensi pada pterigium setelah dilakukan bedah eksisi menjadi masalah yakni sekitar 30-50%. Eksisi Pterigium sering dikombinasikan dengan berbagai langkahlangkah tambahan untuk mencegah rekurensi penyakit. Hal ini mungkin secara luas diklasifikasikan sebagai metode medis adjuvan atau tambahan, beta-iradiasi, dan metode pembedahan. J. Komplikasi
Komplikasi pterigium meliputi distorsi dan / atau pengurangan penglihatan sentral, kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada konjungtiva dan kornea serta keterlibatan yang luas dari otot-otot ekstraokuler dapat membatasi motilitas okular dan berkontribusi terhadap terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani bedah eksisi, jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani eksisi bedah, jaringan parut atau disinsertion dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari diplopia. 6,13
Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi: Sclera dan atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani.6 Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi. Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada kesempatan langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi. 6,13 K. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau tr ansplantasi membran amnion.6
II.2 GLAUKOMA A. Definisi
Glaukoma secara umum berasal dari bahasa Yunani “glaukos” yang berarti hijau kebiruan, yang memberikan kesan warna hijau kebiruan pada pupil penderita glaukoma. 4 Kelainan glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan intra okular, atrofi papil s yaraf optik dan menciutnya lapang pandang. 4, Pada glaukoma dapat diakhiri dengan kebutaan jika terlambat dideteksi atau pengobatan yang diberikan tidak adekuat.4
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma (sempit/te rbuka) dimana sudah terjadi kebutaan total akibat TIO memberikan gangguan fungsi lanjut. 2,4 Glaukoma absolut merupakan stadium terakhir pada glaukoma primer yang tidak diobati ataupun gagal dalam pemberian terapi.4,14 B. Klasifikasi
Klasifikasi glaukoma berdasarkan etiologi: a. Glaukoma primer i. Glaukoma sudut terbuka 1. Glaukoma sudut terbuka primer (glaukoma sudut terbuka kronik, glaukoma simpleks kronik) 2. Glaukoma tekanan normal (glaukoma tekanan rendah) ii. Glaukoma sudut tertutup 1. Akut 2. Subakut 3. Kronik 4. Iris plateau b. Glaukoma kongenital i. Glaukoma kongenital primer ii. Glaukoma yang berkaitan dengan kelainan perkembangan mata lain 1. Sindrom-sindrom pembelahan bilik mata depan 2. Aniridia iii. Glaukoma yang berkaitan dengan kelainan perkembangan ekstraokular c. Glaukoma sekunder Glaukoma yang disebabkan sebagai manifestasi dari penyakit mata lain.
a. Kelainan lensa Luksasi, pembengkakan (intumesen), fakoltik b. Kelainan uvea Uveitis, tumor c. Trauma Perdarahan pada camera okuli anterior (hifema), perforasi kornea dan prolaps iris yang menyebabkan leukoma adheren. d. Pembedahan Camera okuli anterior yang tidak cepat terbentuk setelah pembedahan catarak. e. Penyebab lainnya Rubeosis iridis (akibat trombosis vena retina sentral), penggunaan kortikosteroid topical berlebihan)
d. Glaukoma absolut Hasil akhir dari semua glaukoma yang tidak terkontrol adalah mata yang keras, tidak dapat melihat, dan sering nyeri. Klasifikasi glaukoma berdasarkan mekanisme peningkatan tekanan intraokular a. Glaukoma sudut terbuka
Membran pratrabekular
Kelainan trabekular
Kelainan pascatrabekular
b. Glaukoma sudut tertutup
Sumbatan pupil (iris bombe)
Pergeseran lensa ke anterior
Pendesakan sudut
Sinekia anterior perifer
C. Epidemiologi
Diseluruh dunia, glaukoma dianggap sebagai penyebab kebutaan yang tertinggi, 2% penduduk berusia lebih dari 40 tahun menderita glaukoma. Glaukoma dapat juga didapatkan pada usia 20 tahun, meskipun jarang. Pria lebih banyak diserang daripada wanita (Vaughan, 2007). Diketahui bahwa angka kebutaan di Indonesia menduduki
peringkat pertama untuk kawasan Asia Tenggara. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5% atau sekitar 3 juta orang. Persentase itu melampaui negara Asia lainnya seperti Bangladesh dengan 1%, India 0,7% dan Thailand 0,3%. Menurut Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993-1996, kebutaan tersebut disebabkan oleh katarak (0,78%), glaukoma (0,2%), kelainan refraksi (0,14%) dan penyakit lain yang berhubungan dengan usia lanjut (0,38%). ,4
D. Patofisiologi
Glaukoma sekunder terjadi jika mata mengalami kerusakan akibat:
Infeksi
Peradangan
Tumor
Penyakit mata yang mempengaruhi pengaliran humor Aqueus dari bilik Anterior
Katarak yang meluas
Pada Infeksi sering terjadi glaukoma sekunder, prosesnya: Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).
Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma dapat membentuk presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel pada permukaan endotel kornea. Apabila presipitat keratik ini besar disebut mutton fat .
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel radang didalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam BMD, dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang dapat juga terjadi pada perifer pupil yang disebut Koeppe nodules, bila dipermukaan iris disebut Busacca nodules. Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblast dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun antara iris dengan endotel kornea yang disebut dengan sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang, disebut oklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh selsel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik mata bela kang ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombe. Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma sekunder. Pada fase akut terjadi glaukoma sekunder karena gumpalan-gumpalan pada sudut bilik mata depan, sedangkan pada fase lanjut glaukoma t erjadi karena adanya seklusio pupil. D, Glaukoma Absolut
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma (sempit / terbuka) di mana sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut. Pada glaukoma absolut kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan ekskavasi glaukomatosa, mata keras seperti batu dan dengan rasa sakit. Sering mata dengan buta ini mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah sehingga menimbulkan penyulit berupa neovaskularisasi pada iris, keadaan ini memberikan rasa sakit sekali akibat timbulnya glaukoma hemoragik. Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah atrofi sel ganglion difus, yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf da n inti bagian dalam retina dan berkurangnya akson di saraf optikus. Iris dan korpus siliar juga menjadi atrofi, dan prosesus siliaris memperlihatkan degenerasi hialin.14 Diskus optikus menjadi atrofi disertai pembesaran cekungan optikus diduga disebabkan oleh gangguan pendarahan pada papil yang menyebabkan degenerasi berkas serabut saraf pada papil saraf optik (gangguan terjadi pada cabang-cabang sirkulus Zinn-Haller), diduga gangguan ini disebabkan oleh peninggian tekanan intraokuler. Tekanan intraokuler yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik yang merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata. Bagian tepi papil saraf optik relatif lebih kuat daripada bagian tengah sehingga
terjadi cekungan pada papil saraf optik. Serabut atau sel syaraf ini sangat tipis dengan diameter kira-kira 1/20.000 inci. Bila tekanan bola mata naik serabut syaraf ini akan tertekan dan rusak serta mati. Kematian sel tersebut akan mengakibatkan hilangnya penglihatan yang permanen.4,14
E. Gejala dan Tanda
Glaukoma disebut sebagai “pencuri penglihatan” karena berkembang tanpa ditandai dengan gejala yang nyata. Oleh karena itu, separuh dari penderita glaukoma tidak menyadari bahwa mereka menderita penyakit tersebut. Biasanya diketahui disaat penyakitnya sudah lanjut dan telah kehilangan penglihatan. Pada fase lanjut glaukoma, gejala-gejala berikut mungkin timbul: - Hilangnya lapang pandang perifer - Sakit kepala - Penglihatan kabur - Melihat pelangi bila melihat sumber cahaya. Pada glaukoma sudut terbuka akan terjadi penglihatan yang kabur dan penurunan persepsi warna dan cahaya. Terjadi penurunan luas lapang pandang yang progresif. Yang pertama hilang adalah lapang pandang perifer yang pada akhirnya hanya akan menyisakan penglihatan yang seperti terowongan (tunnel vision). Penderita biasanya tidak memperhatikan kehilangan lapang pandang perifer ini karena lapang pandang sentralnya masih utuh. Pada glaukoma sudut tertutup dapat terjadi gejala nyeri, sakit kepala, nausea, mata merah, penglihatan kabur dan kehilangan penglihatan.4,14 Pada glaukoma absolut didapatkan manifestasi klinis glaukoma secara umum yakni yang didapatkan adalah terdapat tanda-tanda glaukoma yakni kerusakan papil nervus II dengan predisposisi TIO tinggi dan terdapat penurunan visus. Yang berbeda dari glaukoma lain adalah pada penderita glaukoma absolut visusnya nol dan light perception negatif. Apabila masih terdapat persepsi cahaya maka belum dapat didiagnosis sebagai glaukoma absolut.4,14,15 Gejala yang menonjol pada glaukoma absolut adalah penurunan visus tersebut, namun demikian dapat ditemukan gejala lain dalam riwayat pasien. Rasa pegal di sekitar mata dapat diakibatkan oleh peregangan pada didnding bola mata akibat TIO yang tinggi. Gejala gejala dari POAG dan PACG seperti nyeri, mata merah, dan halo dapat ditemukan juga.4,14,15
1) Negative Light Perception
Pada glaukoma absolut visusnya nol dan light perception negatif, hal ini disebabkan kerusakan total papil N.II.Papil N.II yang dapat dianggap sebagai lokus minoris pada dinding bola mata tertekan akibat TIO yang tinggi, oleh karenanya terjadi perubahan perubahan pada papil N.II yang dapat dilihat melalui funduskopi berupa penggaungan. 14 Pada tahap awal glaukoma sudut terbuka discus opticus masih normal dengan C/D ratio sekitar 0,2. Pada tahap selanjutnya terjadi peningkatan rasio C/D menjadi sekitar 0.5. Semakin lama rasio C/D semakin meningkat dan terjadi perubahan pada penampakan vaskuler sentral yakni nasalisasi, bayonetting. Perubahan juga terjadi pada serat-serat syaraf di sekitar papil. Pada tahap akhir C/D ratio mejadi 1.00, di mana semua jaringan diskus neural rusak.16 2) Penyempitan lapang pandang
Penurunan visus akibat glaukoma dapat terjadi perlahan maupun mendadak. Tajam penglihatan yang terganggu adalah tajam penglihatan perifer, atau yang lebih umum disebut lapang pandang. Mekanisme yang mendasari pen yempitan lapang pandang adalah kerusakan papil nervus II serta kerusakan lapisan syaraf retina dan vaskulernya akibat peningkatan TIO. Pada peningkatan TIO maka terjadi peregangan dinding bola mata. Retina merupakan salah satu penyusun dinding bola mata ikut teregang struktur sel syaraf yang tidak elastis kemudian menjadi rusak. Sedangkan pembuluh kapiler yang menyuplai serabut-serabut syaraf juga tertekan sehingga menyempit dan terjadi gangguan vaskularisasi.14 Penyempitan lapang pandang secara bertahap akibat kerusakan papil dan lapisan s yaraf retina. Dari gejala klinis didapatkan penyempitan lapang pandang. Lama-kelamaan penderta seperti melihat melalui terowongan. Dari pemeriksaan perimetri bisa didapatkan kelainan khas yakni scotoma sentral, perisentral, dan nasal. Lama kelamaan scotoma ini berbentuk seperti cincin. Pengurangan lapang pandang biasanya dimulai dari sisi temporal, pada perimetri didapatkan defek berbentuk arcuata yang khas untuk glaukoma. Lamakalamaan defek ini meluas dan mencapai keseluruhan lapang pandang, hanya tersisa di bagian sentral yang sangat kecil. Visus light perception negatif menandakan kerusakan total pada papil N.II. Pada keadaan seperti ini pasien tidak lagi perlu diperiksa perimetri.14,17
Gambar 2.3 Perubahan pada papil N.II pada funduskopi dan lapang pandang pada pemeriksaan perimetri.
3) Sudut Mata
Sudut mata pada pasien glaukoma absolut dapat dangkal atau dalam, tergantung kelainan yang mendasari. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahu kelainan tersebut. Dari riwayat mungkin didapatkan tanda-tanda serangan glaukoma akut pada pasien seperti nyeri, mata merah, halo, dan penurunan visus mendadak. Dengan sudut terbuka mungkin pasien mengeluhkan penyempitan lapang pandang secara bertahap. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan penlight ataupun gonioskopi. Dengan penlight COA dalam ditandai dengan semua bagian iris tersinari, sedangkan pada sudut tertutup iris terlihat gelap seperti tertutup bayangan. Pemeriksaan gonioskopi dapat menilai kedalamaan COA. Penilaian dilakukan dengan memperhatikan garis-garis anatomis yang terdapat di sekitar iris. Penilaian berdasarkan klasifikasi Shaffer dibagi menjadi 5 tingkat, dengan tingkat 4 sebagai COA yang normal yang dalam, sedangkan tingkat nol menunjukkan sudut mata sempit. 14,17
4) Tekanan Intra Okular
Tekanan intraokular pada glaukoma absolut dapat tinggi atau normal. Tekanan normal dapat terjadi akibat kerusakan corpus ciliaris, sehingga produksi aqueus turun. Hal ini bisa terjadi pada penderita dengan riwayat uveitis. TIO tinggi lebih sering ditemukan pada penderita glaukoma. Dikatakan tekanan tinggi apabila TIO > 21 mmHg.4
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan glaukoma absolut dapat ditentukan dari ada tidaknya keluhan. Ketika terdapat sudut tertutup oleh karena total synechiae dan tekanan bola mata yang tidak terkontrol, maka kontrol nyeri menjadi tujuan terapetik yang utama. Penatalaksanaan glaukoma absolut dilakukan dengan beberapa cara : 1) Medikamentosa Pada glaukoma absolut, pengobatan untuk menurunkan TIO seperti penghambat adenergik beta, karbonik anhidrase topikal, dan sistemik, agonis adrenergik alfa, dan obat-obatan hiperosmotik serta mencegah dekompensasi kornea kronis harus dipertimbangkan.4,14 2) Prosedur Siklodestruktif Merupakan tindakan untuk mengurangi TIO dengan merusakan bagian dari epitel sekretorius dari siliaris. Indikasi utamanya adalah jika terjadinya gejala glaukoma yang berulang dan tidak teratasi dengan medikamentosa., biasanya berkaitan dengan glaukoma sudut tertutup dengan synechia permanen, yang gagal dalam merespon terapi. Ada 2 macam tipe utama yaitu : cyclocryotherapy dan cycloablasi laser dgn Nd:YAG. Cyclocryotherapy dapat dilakukan setelah bola mata dianaestesi lokal dengan injeksi retrobulbar. Cyclocryotherapy dapat menghancurkan badan siliaris yang memproduksi aqueous humor untuk menghilangkan produksi aqueous humor, menurunkan TIO, dan menghilangkan nyeri. Cyclocryotherapy memiliki keunggulan dibandingkan cyclodiathermy karena menggunakan sub-freezing sehingga merusak sedikit jaringan sekitarnya, aman dan dapat diulang, dan dapat digunakan pada pasien rawat jalan. Dari sebagian besar kasus glaukoma absolut yang menggunakan cyclocryotherapy TIO menurun mendekati normal sekitar 72,5% pada mata dengan dosis tunggal ataupun dosis berulangProsedur ini memungkinkan terjadinya efek penurunan TIO oleh karena kerusakan epitel siliaris sekretorius, penurunan aliran darah menuju corpus ciliaris, atau keduanya. Hilangnya rasa sakit yang cukup berarti adalah salah satu keuntungan utama cyclocryotheraphy.4,14,17
3) Enukleasi bulbi Secara jarang, enukleasi dilakukan bila rasa nyeri yang ditimbulkan tidak dapat diatasi dengan cara lainnya. Pada glaukoma absolut fungsi badan siliaris dalam memproduksi aqueous humor normal, tetapi aliran keluar terhambat. Sehingga TIO meningkat yang menyebabkan nyeri dan nyeri pada kebutaan. Pengobatan medis sama sekali tidak bermanfaat pada glaukoma absolut dan jika mata terasa sangat sakit, maka diperlukan operasi.8 Enukleasi merupakan prosedur pilihan, karena operasi dekompresi cederung tidak berhasil. Enukleasi (pengangkatan bola mata) dilakukan apabila mata telah tidak berfungsi dan tidak disertai rasa sakit. 4,14 II.3 XANTELASMA A. Definisi Xanthelasma diartikan pula sebagai kumpulan kolesetrol di bawah kulit dengan batas
tegas berwarna kekuningan biasanya di sekitar mata, sehingga sering disebut xanthelasma palpebra.18 B. Epidemiologi
Xanthelasma bermanifestasi pada usia 15-73 tahun, dengan puncaknya pada dekade keempat dan kelima. Pada penelitian didapatkan xanthelasma predominan pada wanita dengan perbandingan 32% dan 17,4%. Kondisi ini dapat terlihat pada individu berkulit cerah maupun gelap. Riwayat dengan xanthelasma sebesar 27,5 %. 18 C. Etiologi
Xanthelasma telah dihubungkan dengan keadaan hiperlipoproteinemia. Semua tipe hiperliproteinemia termasuk bentuk sekunder telah dihubungkan dengan xanthelasma, tetapi tipe II dan III, berkisar 30%-40% pada pasien xanthelasma.18,19 Setengah pasien xanthelasma mempunyai kelainan lipid. Erupsi Xanthomas dapat ditemui pada hiperlipidemia primer dan sekunder. Kelainan genetik primer termasuk dislipoproteinemia, hipertrigliseridimia dan defisiensi lipase lipoprotein yang diturunkan. Diabetes yang tidak terkontrol juga menyebabkan hiperlipidemia sekunder. Xanthelasma juga bisa terjadi pada pasien dengan lipid normal dalam darah yang mempunyai HDL kolesterol rendah atau kelainan lain lipoprotein. D. Patofisiologi
18
Pada xanthelasma terjadinya akumulasi kolesterol yang berawal dari darah, dimana jumlah kolesterol yang paling banyak berasal dari LDL yang masuk melalui dinding vaskular. Dikatakan bahwa trauma dan inflamasi itu dapat merubah permeabilitas vaskuler sehingga lipoprotein dapat masuk ke dalam kulit dan kemudian difagositosis oleh sel dermal. Normalnya LDL mempunyai nilai kebocoran kapiler yang lambat. 8 Panas lokal meningkatkan nilai kebocoran. Dapat dilihat secara eksperimen bahwa nilai kebocoran kapiler dari LDL itu dua kali lebih besar pada daerah yang lebih sering terekspose oleh gerakan fisik atau gesekan, dibandingkan daerah pada kulit yang immobilisasi. Kelopak mata lebih sering mengalami pergerakan yang konstan dan gesekan, dan hal ini mungkin alasan mengapa xanthelasma berkembang pada daerah ini. 19,20
E. Gejala klinis
Timbul plak irregular di kulit, warna kekuningan sering kali disekitar mata Ukuran xanthelasma bervariasi berkisar antara 2 – 30 mm., adakalanya simetris dan cenderung bersifat permanen. Pasien tidak mengeluh gatal, biasanya mengeluh untuk alasan estetika. Xanthelasma atau xanthelasma palpebra biasanya terdapat di sisi medial kelopak mata atas. Lesi berwarna kekuningan dan lembut berupa plaque berisi deposit lemak dengan batas tegas. Lesi akan bertambah besar dan bertambah jumlahnya. 20 F. Diagnosis
Pemeriksaan laboraturium Karena 50% pasien dengan xanthelasma mempunyai gangguan lipid, maka disarankan untuk pemeriksaan plasma lipid juga HDL dan LDL. Xanthelasma biasanya dapat didiagnosa dengan jelas secara klinis dan jarang kelainan lain memberi gambaran klinis sama. Jika ada keraguan, eksisi bedah dan analisis patologi sebaiknya dilakukan. 18 G. Penatalaksanaan
Xanthelasma dapat dibedah apabila mengganggu, tetapi mungkin bisa kambuh. Xanthelasma dapat dihilangkan dengan pengelupas trichloroacetic, bedah, laser atau cryoterapi. Pengangkatan xanthelasma sudah menjadi bagian dari bedah kosmetik.
18
DAFTAR PUSTAKA 1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of
Pterygium. Opthalmic Pearls. 2010 2. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2012 [cited 2012 August 9]. Available from :
www.eyewiki.aao.org/Pterygium 3. Suharjo. Ilmu kesehatan Mata edisi 1. Yogyakarta. Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.2007. hal 40-41 4. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010 5. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009. 6. Jerome
P
Fisher,
Pterygium.
[online].
2011
[cited
2012
August
9]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview 7. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in pterigium treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006 8. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. New York : Thieme Stutgart. 2000 9. Vemuganti, Geeta dkk. International review of cell and molecular biology. [online] 2009.
[cited
2012
August
23].
Available
from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1937644809750051
10. Efstathios T. Pathogenetic Mechanism and Treatment Options for Ophthalmic Pterygium: Trends and Perspectives (Review). International Journal of Melecular Medicine. 2009. 11. Solomon A.S. Pterygium. British.Journal.Ophtalmology.p.665 [online]. 2010. [cited 2011 December 12]. Availble from : http://bjo.bmjjournals.com 12. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In: External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366 13. Sharma KA, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting in Pterigium
Surgery. Postgraduate Department of Opthalmology, Govt. Medical College, Jammu. 2004 14. Barton K dan Hitchings RA, Medical Management of Glaucoma, Springer Healthcare
2013