XXX-X-XXXX-XXXX-X/XX/$XX.00 ©20XX IEEE
KASUS KEJAHATAN MAYANTARA OLEH KELOMPOK MUSLIM CYBER ARMY DALAM KAJIAN HUKUM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Nungki Wahyuni (8111416130)
Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang (UNNES)
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak—Adanya globalisasi dengan ditandainya kemajuan di bidang teknologi dan komunikasi tidak hanya membawa dampak positif bagi masyarakat. Dampak negatif pun tidak dapat dipungkiri selalu mengintai masyarakat yang memanfaatkan kemajuan tersebut. Salah satu dampak negatif yang muncul ialah adanya kejahatan yang terjadi di dunia maya atau kejahatan siber atau yang biasa dikenal dengan cybercrime. Baru-baru ini Indonesia dihadapkan dengan salah satu bentuk cybercrime tersebut yakni sebuah organisasi yang menamai diri mereka sendiri dengan Muslim Cyber Army. Motif dari tindakan serta dampak yang ditinggalkan dari adanya Muslim Cyber Army tersebut dapat diidentifikasi serta dikaji lebih lanjut dengan melihat pada peraturan perundang-undangan di Indonesia serta hubungannya dengan salah satu bidang kajian hukum yakni Hukum dan Teknologi.
Kata Kunci— (Globalisasi, Cybercrime, Muslim Cyber Army, Hukum dan Teknologi)
PENDAHULUAN
Perkembangan globalisasi yang mulai memasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat pada dasarnya menjadi pisau bermata dua bagi masyarakat tersebut. Di satu sisi berkembangnya globalisasi membawa dampak positif bagi masyarakat yang mampu memanfaatkan perkembangan globalisasi tersebut dengan baik dan maksimal. Akan tetapi, di sisi lain perkembangan globalisasi juga membawa dampak negatif bagi masyarakat dengan banyaknya kemudahan-kemudahan yang telah disediakan dengan adanya perkembangan teknologi tersebut.
Salah satu bidang yang cukup kentara dipengaruhi adanya perkembangan globalisasi terkhusus teknologi yakni bidang teknologi informasi dan komunikasi atau ada juga yang menyebutnya dengan bidang telematika. Istilah teknologi informasi atau telematika merujuk pada perkembangan konvergensi antara teknologi telekomunikasi, media, dan informatika yang semula masing-masing berkembang secara terpisah.
Kemajuan di bidang teknologi informasi yang seakan-akan membuat dunia menjadi tanpa batas dari adanya globalisasi sekaligus memudahkan setiap orang untuk berkomunikasi dengan siapapun dan dari penjuru dunia mana pun ternyata tidak pula terlepas dari dampak negatif. Salah satu ciri negatif dari timbulnya globalisasi yang juga berefek pada kemajuan teknologi dan informasi yakni dapat menimbulkan saling ketergantungan serta pengaburan terhadap batas-batas negara (borderless). Dampak lain yang juga mengintai para pengguna yang memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut yakni munculnya kejahatan dalam dunia siber atau sebutan lainnya yakni dunia maya yang biasa dikenal dengan cybercrime. Pada dasarnya cybercrime merupakan salah satu jenis bidang hukum yang pengaturannya termasuk dalam golongan hukum pidana. Dimana hukum pidana tersebut dapat didefinisikan sebagai aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Jadi, pada dasarnya Hukum Pidana berpokok kepada dua hal yakni perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan yang kedua yakni pidana.
Pengertian Cybercrime menurut Gregory ialah suatu bentuk kejahatan virtual dengan memanfaatkan media komputer yang terhubung ke internet, dan kemudian mengeksploitasi komputer lain yang juga terhubung dengan internet. Adanya lubang atau celah-celah keamanan pada sistem operasi menyebabkan kelemahan dan terbukanya celah tersebut yang dapat digunakan oleh para pelaku atau biasa dikenal dalam dunia cyber yakni para hacker, cracker dan script kiddles untuk menyusup ke dalam komputer tersebut.
Indonesia sebagai salah satu negara di dunia ternyata tidak terlepas dari banyaknya kejahatan siber atau yang selanjutnya akan disebut dengan cybercrime dengan banyaknya pengguna internet terutama media sosial di Indonesia. Salah satu kasus yang cukup hangat belum lama ini terjadi yakni adanya kelompok di dunia maya terutama bergerak dalam lingkup media sosial yang menjuluki diri mereka sebagai Muslim Cyber Army yang dikatakan dari berbagai sumber memunculkan diri mereka sendiri ketika suatu wacana terkait penodaan agama diberitakan di berbagai media di Indonesia dimana salah satunya ketika pemberitaan mengenai kasus penodaan agama yang terjadi di Ibu Kota dengan jalan menyebarkan berita serta kabar yang diklaim sendiri oleh para anggotanya merupakan suatu kebenaran padahal apabila melihat dari sudut pandang masyarakat pada umumnya hanyalah berita palsu atau hanya ujaran kebencian yang tidak bermakna apapun serta menyalahi kebenaran umum.
Dengan melihat pada penegakan hukum di Indonesia mengenai ramainya kasus terjadinya cybercrime di tanah air khususnya kasus Muslim Cyber Army maka kajian mengenai apa dan bagaimana korelasi antara hukum terutama bidang kajian Hukum dan Teknologi serta peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman bagi pihak yang berwajib menyelesaikan kasus terkait cybercrime akan dibahas lebih lanjut dalam bagian hasil dan pembahasan di dalam paper ini.
METODE PENULISAN
Metode penulisan paper ini bersifat studi pustaka. Studi kepustakaan merupakan segala usaha yang dilakukan oleh peneliti maupun penulis untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti dimana pada topik atau masalah yang diangkat pada tulisan ini ialah terkait dengan kasus kejahatan mayantara oleh kelompok Muslim Cyber Army dalam kajian hukum dan peraturan perundang-undangan. Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang hendak dipecahkan dan dibahas.
Sumber dan Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan tulisan ini berasal dari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan dengan penyebaran hoax oleh Muslim Cyber Army dalam perspektif hukum dan teknologi. Beberapa jenis referensi utama yang digunakan adalah buku hukum dan teknologi maupun buku terkait cybercrime atau yang terkait, peraturan perundang-undangan, jurnal nasional, dan sumber-sumber lain yang masih terkait dengan tema. Jenis data yang diperoleh variatif, yakni bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Pengumpulan Data
Metode penulisan bersifat studi pustaka dimana informasi didapatkan dari berbagai literatur dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang diperoleh. Penulisan paper diupayakan saling terkait antara satu dengan yang lainnya dan sesuai dengan topik terkait kasus kejahatan mayantara yang dilakukan oleh Muslim Cyber Army dalam perspektif hukum dan teknologi serta peraturan perundang-undangan.
Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan didapatkan setelah melihat kembali pada rumusan masalah dari topik yang diangkat dalam paper serta pembahasan. Kesimpulan yang ditarik mencerminkan pokok bahasan dari paper.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungan Kelompok Muslim Cyber Army Dengan Terjadinya Kejahatan Mayantara (Cybercrime)
Cybercrime
Ruang siber (cyberspace) adalah ruang dimana komunitas saling terhubung menggunakan jaringan yakni misalnya internet untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari. Pada perkembangannya sekarang ini, Internet membawa dampak negatif apabila kita melihat pada fakta di lapangan. Sebuah teori menyatakan, crime is product of society it's self, yang dapat diartikan bahwa masyarakat itu sendirilah yang menghasilkan kejahatan. Kejahatan yang terjadi sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi internet ini sering disebut sebagai cybercrime.
Sesuai dengan sifat global internet, ruang lingkup dari kejahatan ini juga bersifat global atau mendunia. Cybercrime seringkali dilakukan secara transnasional, melintasi batas negara sehingga menimbulkan kesulitan dalam memastikan yuridiksi hukum negara yang berlaku terhadap pelaku kejahatan cybercrime tersebut. Karakteristik internet di mana orang dapat berlalu-lalang tanpa identitas (anonymous) yang dapat memungkinkan terjadinya berbagai aktivitas jahat yang tak tersentuh hukum.
Ancaman di dalam ruang siber (cyberspace) didominasi oleh aktor atau pelaku non-negara atau bisa dikatakan para pelaku ini bukanlah orang-orang yang duduk di bangku pemerintahan (non-state actor) seperti misalnya individu yang dikenal dengan istilah hacker, para kelompok hacker, terorisme, kegiatan para hacker, kelompok kejahatan terorganisir (organized criminal groups), non-government organization (NGO), dan sektor swasta (seperti security companies, internet companies and carries) juga dapat dikhawatirkan mengancam pertahanan dan kedaulatan negara.
Pada intinya, cybercrime meliputi semua tindak pidana yang berkenaan dengan informasi, dan sistem informasi itu sendiri, serta sistem komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaian atau penukaran informasi pada pihak lainnya.
Tindakan kejahatan yang dilakukan di dunia maya atau selanjutnya diistilahkan menjadi cybercrime ialah memiliki berbagai bentuk tindak pidana kejahatan yakni dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut.
Unathorized Access to Computer System and Service (Akses tidak sah ke dalam sistem dan layanan komputer)
Merupakan kejahatan yang dilakukan dengan jalan memasuki atau menyusup ke dalam sistem jaringan atau komputer seseorang tanpa izin.
Illegal Contents (Konten Ilegal)
Merupakan kejahatan yang dilakukan dengan jalan memasukkan data atau informasi ke dalam sistem Internet misalnya media sosial atau website pribadi tentang suatu hal yang tidak benar, bohong, tidak etis, dan dianggap melanggar hukum. Sebagai contoh, perbuatan memuat suatu berita bohong atau fitnah yang bertujuan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain yang dituju oleh pelaku.
Data Forgery (Pemalsuan data)
Merupakan suatu kejahatan yang dilakukan dengan jalan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan dalam suatu scripless document yang dilakukan melalui Internet. Kejahatan ini biasanya dilakukan terhadap dokumen-dokumen e-commerce.
Cyber Espionage (Spionase siber)
Merupakan kejahatan yang dilakukan dengan memanfaatkan jaringan Internet untuk melakukan kegiatan memata-matai pihak lain dimana biasanya dilakukan terhadap saingan bisnis maupun data-data penting dengan cara memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran yang dituju.
Cyber Sabotage and Extortion (Sabotase dan pemerasan siber)
Merupakan kejahatan yang dilakukan dengan jalan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan Internet. Misalnya ialah dengan melakukan penyebaran virus komputer saat korban melakukan browsing atau penjelajahan di Internet.
Offense against Intellectual Property (Pelanggaran terhadap kekayaan intelektual)
Merupakan suatu kejahatan yang dilakukan dengan jalan ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki oleh pihak lain di Internet. Misalnya melakukan peniruan tampilan pada halaman web suatu situs milik orang lain secara illegal.
Infringements of Privacy (Pelanggaran privasi)
Merupakan suatu kejahatan yang biasanya dilakukan dengan ditujukan kepada keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized (terkomputerisasi), dimana apabila diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materiil maupun immaterial. Misalnya nomor kartu kredit, cacat penyakit tersembunyi, nomor PIN ATM, dan sebagainya.
Muslim Cyber Army
Dari beberapa sumber pemberitaan maupun artikel-artikel tulisan yang mengangkat tema terkait dengan Muslim Cyber Army terutama sebuah tulisan yang ditulis dan diterbitkan dalam media internet yakni yang mengangkat judul "Memindai Aktivitas MCA Dalam Kontestasi Sosial-Politik di Indonesia" oleh Damar Juniarto selaku Regional Coordinator SAFEnet dalam Southeast Asia Freedom of Expression Network menjelaskan bahwa MCA yang merupakan kependekan dari Muslim Cyber Army, yang dimana terkadang juga memakai nama lain seperti Cyber Muslim Army atau Muslim Mega Cyber Army merupakan suatu identitas yang digunakan oleh sejumlah masyarakat di dalam jaringan internet (warganet) atau masyarakat lebih mengenalnya dengan istilah netizen di media sosial Indonesia yang melakukan suatu tindakan tertentu dengan mengatasnamakan perlindungan terhadap suatu agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia.
Banyak klaim yang dikeluarkan oleh anggota MCA bahwa pada awalnya MCA tidak berniat untuk mencampuri urusan politik dalam negeri Indonesia dan itu bukan bidang kajian dari MCA. Akan tetapi, ketika suatu kasus penodaan agama muncul ke publik, para anggota MCA yang memiliki persepsi dan suatu junjungan bahwa seorang pemimpin haruslah seorang muslim kemudian mulai menyebarkan berita yang dipertanyakan kebenarannya terkait dengan kasus tersebut.
Dalam sumber tulisan lain di internet mengungkapkan bahwa Muslim Cyber Army ialah semula kelompok pembenci pemerintah. Dijelaskan pula bahwa mereka memiliki berbagai alasan untuk menjadi oposisi atau pihak penentang bagi pemerintah. Mereka adalah para pengurus dan anggota yang loyal dari berbagai grup "Islami" yang memiliki tugas memproduksi sampah informasi, ujaran kebencian untuk menyebar kebencian, teror, hujatan, dan kritik dimana mereka sendiri memberikan klaim atas tindakan mereka atas nama Allah, habib dan ulama.
Menurut mereka yang mengakui dirinya sebagai MCA dalam tulisan Damar Juniarto mengungkapkan bahwa MCA kerap kali ditulis sebagai organisasi tanpa bentuk, tanpa ketua, tidak memiliki gedung dan tidak digaji, serta tanpa modal. Diungkapkan pula bahwa bahkan ada yang mengimajinasikan MCA seperti kelompok bayangan yang tindak tanduknya seperti kelompok Anonymous yang mana merupakan kelompok Aktivis atau "Hacktivis" yang dibentuk pada tahun 2003 yang mana pada 2011 majalah Time memasukkan nama Anonymous sebagai salah satu orang yang paling berpengaruh di dunia.
Menurut sumber tulisan yang sama yang ditulis oleh Damar Juniarto bahwa secara garis besar, ada sejumlah ciri MCA yang dapat dikenali langsung oleh publik, yaitu sebagai berikut.
Menyebutkan dirinya sebagai MCA, Muslim Cyber Army, Cyber Muslim Army, MMCA. Sebagai suatu identitas, MCA ditemukan dalam wujud yang beragam dipakai seseorang yang mengakui dirinya sebagai MCA yakni digunakan sebagai nama akun, sebagai avatar/profile picture, sebagai nama grup atau halaman Facebook, disematkan dalam keterangan biodata, atau dinyatakan secara terbuka.
Memilih bekerja secara berkelompok atau kolektif dimana kelompok atau kolektif MCA ini bergerak secara bergerombol yang dapat dikenali dari identitas yang ditunjukannya. Penyebutan diri layaknya lebah seperti yang kerap disampaikan mereka yang mengaku atau mengetahui MCA sebenarnya merujuk pada penyebutan suatu nas yang berbunyi: "Perumpamaan orang beriman itu bagaikan lebah, Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap di tempat yang bersih dan tidak merusak atau mematahkan (yang dihinggapinya)." (disadur dari perkataan Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Bazzar). Dimana pada dasarnya lebah selalu hidup dalam koloni besar, tidak pernah menyendiri. Mereka pun bekerja secara kolektif, dan masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri.
Menyampaikan secara beruntun pesan yang sama di media sosial. Pesan yang sama ini bisa dipindai dari menyuarakan hashtag (tagar/tanda pagar) atau kata kunci (keyword) secara bersamaan dan beruntun secara berkali-kali dalam kurun waktu tertentu sehingga bisa mengirimkan serta menyampaikan pesan secara cepat di ranah online. Contoh pesan yang disebarkan pada 5 Maret 2018 belum lama ini; #GaduhKarenaAhok, #RakyatBersamaFPI, #BubarkanGMBI, #CopotKapoldaJabar, #PenjarakanAhok.
Nama kelompok Muslim Cyber Army menjadi nama kelompok yang akrab di telinga dan muncul ke permukaan ketika pada Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017 lalu dimana pada dasarnya MCA merupakan pendukung aktif di media sosial yang begitu menjunjung kepemimpinan Islam sehingga MCA melakukan klaim sebagai kelompok yang memperjuangkan kepentingan umat Islam dan berupaya menggagalkan kemenangan pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat.
Beberapa tahapan yang dilakukan oleh akun-akun para anggota MCA terhadap mereka yang terindikasi melakukan suatu tindak pidana yang dinilai mendekati penodaan agama terutama yang menjadi pegangan dari para anggota MCA dalam tindakan persekusi ialah meliputi beberapa tahap sebagai berikut.
TAHAP 1: Penentuan Target
Ajakan mengumpulkan target
Pendataan target
Diviralkan lebih luas lagi
TAHAP 2: Ajakan Berburu
Ajakan melakukan perburuan
Koordinasi perburuan
TAHAP 3: Mobilisasi
Memaksa permintaan maaf
Pendokumentasian
Diviralkan ke media sosial
TAHAP 4: Kriminalisasi
Dibawa ke kantor polisi
Meminta dilakukan penahanan
Berdasarkan analisis data dari tulisan berjudul "Memindai Aktivitas MCA Dalam Kontestasi Sosial-Politik di Indonesia" oleh Damar Juniarto selaku Regional Coordinator SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) diungkapkan bahwa sesungguhnya MCA yang bekembang dan meresahkan media sosial di Indonesia dan ikut campur dalam urusan politik dalam negeri Indonesia dua tahun belakangan ini dari tahun 2017 lalu hingga tahun 2018 sekarang ini bahwa MCA tersebut bukanlah MCA yang sudah ada dan berkembang sejak dahulu. Sehingga dapat diambil kesimpulan jika organisasi Muslim Cyber Army bukanlah organisasi tunggal. Fakta lain menyebutkan bahwa MCA yang pertama kali berkembang dahulu merupakan organisasi yang enggan mengurusi urusan kebijakan politik dalam negeri. Berbeda dengan organisasi MCA yang kembali muncul belakangan ini. Selain itu, dari pengakuan salah seorang anggota MCA berdasarkan tulisan Damar Juniarto bahwa organisasi MCA yang pertama kali ada dahulu kini telah menghilang jadi dapat diambil kesimpulan bahwa organisasi MCA yang ada sekarang ini bukanlah organisasi yang sama dengan organisasi MCA yang lama.
Apabila melihat tindakan para anggota MCA yang menyebarkan suatu konsep, ajaran atau argumen dimana kebenaran dari keseluruhan itu tidak bisa dipertanggungjawabkan dan masih harus dipertanyakan kebenarannya merupakan suatu hal yang termasuk dalam kategori tindak pidana cybercrime jenis illegal contents. Dimana pengertian dari illegal contents, seperti yang sudah ada di dalam pembahasan sebelumnya bahwa jenis tindak pidana cybercrime kategori illegal contents merupakan suatu tindakan kejahatan yang dilakukan dengan jalan memasukkan data atau informasi ke dalam sistem Internet misalnya media sosial atau website pribadi tentang suatu hal yang tidak benar, bohong, tidak etis, dan dianggap melanggar hukum. Sehingga beberapa kegiatan yang dilakukan oleh para anggota MCA dengan menyebarkan konsep atau ajaran palsu dan tidak benar, menyebarkan fitnah bisa dikategorikan sebagai tindak pidana cybercrime termasuk dalam illegal contents.
Kasus Kejahatan Mayantara Muslim Cyber Army dalam Kajian Hukum dan Peraturan Perundang-undangan
Indonesia sebagai salah satu negara hukum dimana keseluruhan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan warga masyarakat haruslah berpedoman pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dimana menurut pandangan Plato bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik.
Dengan adanya perkembangan pada aspek globalisasi juga berdampak pada banyaknya bidang kehidupan yang dipengaruhi termasuk juga dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi dimana masyarakat Indonesia kian dimudahkan dalam mengakses berbagai informasi yang terdapat pada berbagai platform online di Internet sekaligus dapat memudahkan seluruh warga masyarakat dalam berkomunikasi dengan semua orang di seluruh penjuru dunia mana pun. Dengan berbagai dampak positif yang didapatkan dengan adanya globalisasi, Indonesia tentunya juga tidak dapat dihindarkan akan mendapatkan dampak negatif dari berbagai kemajuan tersebut terutama dengan adanya berbagai kejahatan cybercrime yang semakin lama semakin banyak bermunculan terutama ancaman yang datang dari organisasi yang mengatasnamakan diri mereka sebagai Muslim Cyber Army.
Seiring dengan berkembangnya pemanfaatan Internet, maka mereka yang memiliki kemampuan di bidang komputer dan memiliki maksud atau niat tertentu dapat memanfaatkan kehadiran komputer dan keberadaan Internet untuk melakukan kejahatan atau kenakalan yang dapat merugikan pihak lain.
Dengan berbagai ancaman kejahatan cybercrime yang datang, tidak dapat dipungkiri bahwa negara hukum seperti Indonesia membutuhkan peraturan yang mengatur mengenai kejahatan cybercrime yang mengancam keamanan dari warga masyarakat secara umum juga melindungi kesatuan dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berusaha dihancurkan oleh pihak lain salah satunya dengan memanfaatkan perkembangan globalisasi dengan melakukan tindak pidana cybercrime seperti salah satunya ialah yang dilakukan oleh kelompok Muslim Cyber Army yang mulai ikut campur dalam politik dalam negeri Indonesia pada sisi yang negatif.
Indonesia sebagai negara hukum seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya ternyata juga memiliki perangkat hukum serta peraturan perundang-undangan yang secara khusus membahas mengenai informasi dan transaksi elektronik termasuk juga mengatur mengenai kejahatan terkait cybercrime yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan dasar pengaturan dan pembentukan undang-undang tersebut yakni tertuang pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Apabila dihubungkan dan dikaitkan dengan tindakan penyebaran berita palsu oleh para anggota Muslim Cyber Army dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka pengaturan mengenai penyebaran berita palsu atau hoax tersebut diatur di dalam Pasal 28 ayat (1) undang-undang tersebut yang mengatakan,
"Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik."
Apabila dilihat dalam unsur pasal tersebut yang menyebutkan bahwa penyebaran berita bohong dan menyesatkan tersebut berkaitan dengan kebohongan yang berakibat pada 'kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik', sedangkan dalam kasus Muslim Cyber Army sama sekali tidak berhubungan dengan Transaksi Elektronik atau ada konsumen yang merasa dirugikan. Untuk mengatasi hal tersebut maka di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur lebih mendalam dan memiliki jangkauan yang lebih luas dengan kaitannya dengan penyebaran berita bohong tersebut yang sesuai dengan kategori tindakan yang dilakukan oleh para anggota kelompok Muslim Cyber Army yakni pada Pasal 28 ayat (2) yang mengatakan,
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan."
Selain itu, dalam kaitannya dengan 'menyebarkan berita bohong, palsu atau yang biasa disebut hoax, selain diatur dalam Pasal 28 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 dimana dapat menjerat para pelaku anggota Muslim Cyber Army juga diketahui pada Pasal 311 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga dapat menjerat anggota Muslim Cyber Army yang selain menyebarkan berita bohong juga melakukan tindakan fitnah dan pencemaran nama baik yakni dimana pada pasal tersebut menyatakan bahwa,
"Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang, dengan menuduh sesuatu hal yang maksudnya tentang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah."
Selain disebutkan dengan pasal-pasal tersebut di atas, tindakan penyebaran berita yang menyesatkan seperti yang dilakukan oleh para anggota kelompok Muslim Cyber Army juga dapat diberikan ancaman pidana dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Pasal 14 dan 15 yang berbunyi sebagai berikut.
Pasal 14
(1) "Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjaran setinggi-tingginya sepuluh tahun."
(2) "Barangsiapa, dengan menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan Ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun."
Pasal 15
"Barangsiapa, menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan Ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun."
Dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan menyebarkan berita palsu atau bohong dan menyesatkan, dapat dikatakan bahwa Indonesia sudah menerapkan prinsip sebagai negara hukum dengan memiliki pedoman berbentuk peraturan perundang-undangan tersebut. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan ialah dengan meningkatkan penegakan hukum di Indonesia terkait dengan tindak pidana cybercrime yang dilakukan oleh berbagai pihak termasuk yang dilakukan oleh kelompok Muslim Cyber Army.
Lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik seharusnya dapat kita hadapi dengan sikap yang positif, sebab undang-undang tersebut dapat digunakan sebagai payung hukum dalam dunia kejahatan mayantara atau cybercrime, dengan harapan bahwa adanya undang-undang tersebut dapat menjadi acuan dan salah satu bentuk literatur berupa undang-undang dalam hal penegakan cyberlaw di Indonesia. Dalam penanganan kasus cybercrime diharapkan pula adanya kemaksimalan dari berbagai pihak terkhusus pihak kepolisian untuk menghindari agar kasus-kasus cybercrime salah satunya yakni tindakan penyebaran berita bohong dan menyesatkan oleh kelompok organisasi Muslim Cyber Army yang telah terjadi dapat begitu saja terlepas dari pengawasan hukum. Selain itu, masyarakat juga harus diperkenalkan lebih banyak mengenai Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga nantinya masyarakat bisa lebih mengetahui tentang cyberlaw dan membantu mengurangi kegiatan kejahatan cybercrime di Indonesia.
Dengan beberapa pasal yang mengatur terkait tindakan penyebaran berita bohong, palsu dan juga menyesatkan perlu adanya pertimbangan dari praktisi hukum dalam memilih dan menentukan pasal dari undang-undang manakah yang sekiranya cocok untuk dijatuhkan kepada para anggota Muslim Cyber Army yang melancarkan aksinya melalui media sosial berbasis Internet. Selain itu dikenalnya asas dalam hukum pidana yang berbunyi lex specialis derogat legi generali memberikan pemahaman lebih bahwa undang-undang yang sifatnya dan isi materinya lebih khusus mengesampingkan ketentuan dalam undang-undang yang sifatnya umun. Dimana apabila dilihat pada beberapa undang-undang yang telah dijabarkan sebelumnya maka undang-undang yang lebih sesuai untuk para pelaku penyebaran berita bohong dan menyesatkan oleh para anggota Muslim Cyber Army ialah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terutama Pasal 28 ayat (1) dan (2).
Peran serta dari berbagai pihak sangat perlu untuk dilakukan. Adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur akan tetapi tidak dibersamai dengan pelaksanaan penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan tersebut sama saja dengan tidak berfungsinya hukum di negara yang mengakui diri mereka sebagai negara hukum. Pelaksanaan penegakan hukum tersebut juga perlu dilakukan supaya tidak ada lagi tindak pidana yang terjadi dalam dunia maya (cybercrime) sehingga tidak ada lagi ancaman tersembunyi yang berniat menghancurkan keamanan dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sudah terbentuk selama bertahun-tahun yang lalu dengan usaha yang tidak mudah.
KESIMPULAN
Dengan adanya perkembangan pada aspek globalisasi juga berdampak pada banyaknya bidang kehidupan yang dipengaruhi termasuk juga dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi dimana masyarakat Indonesia kian dimudahkan dalam mengakses berbagai informasi yang terdapat pada berbagai platform online di Internet sekaligus dapat memudahkan seluruh warga masyarakat dalam berkomunikasi dengan semua orang di seluruh penjuru dunia mana pun. Dengan berbagai dampak positif yang didapatkan dengan adanya globalisasi, Indonesia tentunya juga tidak dapat dihindarkan akan mendapatkan dampak negatif dari berbagai kemajuan tersebut terutama dengan adanya berbagai kejahatan cybercrime terutama dengan kehadiran kelompok yang menyebut diri mereka sebagai Muslim Cyber Army.
Dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan menyebarkan berita palsu atau bohong dan menyesatkan, dapat dikatakan bahwa Indonesia sudah menerapkan prinsip sebagai negara hukum dengan memiliki pedoman berbentuk peraturan perundang-undangan tersebut. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan ialah dengan meningkatkan penegakan hukum di Indonesia terkait dengan tindak pidana cybercrime yang dilakukan oleh berbagai pihak termasuk yang dilakukan oleh kelompok Muslim Cyber Army.
Sehingga dapa diambil kesimpilan bahwa dalam penanganan kasus cybercrime diharapkan pula adanya kemaksimalan dari berbagai pihak terkhusus pihak kepolisian untuk menghindari agar kasus-kasus cybercrime salah satunya yakni tindakan penyebaran berita bohong dan menyesatkan oleh kelompok organisasi Muslim Cyber Army yang telah terjadi dapat begitu saja terlepas dari pengawasan hukum.
REFERENSI
[1] Arief, D. M. dan Elisatris Gutom. (2009). Cyberlaw Aspek Hukum Teknologi Informasi. Bandung: PT. Refika Aditama.
[2] Azhary, Tahir. (1992). Negara Hukum. Jakarta: Bulan Bintang.
[3] Kementerian Pertahanan Indonesia. (2014). Pedoman Pertahanan Siber. Jakarta: Kemhan RI.
[4] Scholte, J.A.. (2000). Globalization: A Critical Introduction. London: Palgrave.
[5] Sudarto. (2009). Hukum Pidana I. Semarang: Penerbit Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
[6] Wahid, Abdul dan Mohammad Labib. (2010). Kejahatan Mayantara (Cybercrime). Bandung: PT Refika Aditama.
[7] Agus, A. Aco dan Riskawati. (2016). "Penanganan Kasus Cyber Crime di Kota Makassar (Studi Kasus Pada Kantor Kepolisian Resort Kota Besar Makassar", Jurnal Supremasi, 11(1), 21.
[8] Arifah, Dista Amalia. (2011). "Kasus Cybercrime di Indonesia (Indonesia's Cybercrime Case)", Jurnal Bisnis dan Ekonomi, 18(2), 189.
[9] Golose, Petrus Reinhard. (2006). "Perkembangan Cybercrime dan Upaya Penanganannya di Indonesia oleh Polri", Jurnal Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, 4(2), 112.
[10] Pratama, Eva Argarini. (2013). "Optimalisasi Cyberlaw Untuk Penanganan Cybercrime Pada E-Commerce", Jurnal Bianglala Informatika, 1(1), 3.
[11] Putra, Akbar Kurnia. (2014). "Harmonisasi Konvensi Cyber Crime Dalam Hukum Nasional", Jurnal Ilmu Hukum, 1(1), 99.
[12] Rahmawati, Ineu. (2017). "Analisis Manajemen Risiko Ancaman Kejahatan Siber (Cybercrime) Dalam Peningkatan Cyber Defense", Jurnal Pertahanan & Bela Negara, 7(2), 52.
[13] Saragih, Yasmirah Mandasari dan Andysah Putera Utama Siahaan. (2016). "Cyber Crime Prevention Strategy in Indonesia", SSRG International Journal of Humanities and Social Science (SSRG-IJHSS), 3(6), 23.
[14] Sugiswati, Besse. (2011). "Aspek Hukum Pidana Telematika Terhadap Kemajuan Teknologi di Era Informasi", Jurnal Perspektif, 16(1), 59.
[15] Tianotak, Nazarudin. (2011). "Urgensi Cyberlaw di Indonesia Dalam Rangka Penanganan Cybercrime di Sektor Perbankan", Jurnal Sasi, 17(4), 21.
[16] Yahfizham. (2012). "Moral, Etika dan Hukum (Implikasi Etis Dari Teknologi Informasi dan Komunikasi)", Jurnal Iqra', 6(1), 13-14.
[17] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
[18] Republik Indonesia. (1946). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. Sekretariat Negara. Jakarta.
[19] Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Nomor 5952. Sekretariat Negara. Jakarta.
[20] Safenet Voice. (March 20, 2018). Retrieved Juny 26, 2018, from http://id.safenetvoice.org/2018/03/laporan-mca/.
[21] Tirto. (March 2, 2018). Retrieved Juny 14, 2018, from http://tirto.id/mengklaim-bela-ulama-muslim-cyber-army-produksi-sampah-informasi-cFxp.
Besse Sugiswati, 2011, "Aspek Hukum Pidana Telematika Terhadap Kemajuan Teknologi di Era Informasi", Jurnal Perspektif, Vol. 16-1, hlm 59.
J.A Scholte, 2000, Globalization: A Critical Introduction, London: Palgrave, hlm. 154.
Prof. Sudarto, S.H., 2009, Hukum Pidana I, Semarang: Penerbit Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, hlm. 13.
Dista Amalia Arifah, 2011, "Kasus Cybercrime di Indonesia (Indonesia's Cybercrime Case)", Jurnal Bisnis dan Ekonomi, Vol. 18-2, September 2011, hlm. 189.
Kementerian Pertahanan Indonesia, 2014, Pedoman Pertahanan Siber, Jakarta: Kemhan RI, hlm. 5.
Eva Argarini Pratama, 2013, "Optimalisasi Cyberlaw Untuk Penanganan Cybercrime Pada E-Commerce", Jurnal Bianglala Informatika, Vol. 1-1, September 2013, hlm. 3.
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, 2010, Kejahatan Mayantara (Cybercrime), Bandung: PT Refika Aditama, hlm. 45.
Akbar Kurnia Putra, 2014, "Harmonisasi Konvensi Cyber Crime Dalam Hukum Nasional", Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1-1, hlm. 99.
Ineu Rahmawati, 2017, "Analisis Manajemen Risiko Ancaman Kejahatan Siber (Cybercrime) Dalam Peningkatan Cyber Defense", Jurnal Pertahanan & Bela Negara, Vol. 7-2, Agustus 2017, hlm. 52.
D. M. Arief dan Elisatris Gutom, 2009, Cyberlaw Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 67.
Petrus Reinhard Golose, 2006, "Perkembangan Cybercrime dan Upaya Penanganannya di Indonesia oleh Polri", Jurnal Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 4-2, Agustus 2006, hlm. 112.
http://tirto.id/mengklaim-bela-ulama-muslim-cyber-army-produksi-sampah-informasi-cFxp (diakses pada 14 Juni 2018 pukul 14:30).
Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 66.
Nazarudin Tianotak, 2011, "Urgensi Cyberlaw di Indonesia Dalam Rangka Penanganan Cybercrime di Sektor Perbankan", Jurnal Sasi, Vol. 17-4, Oktober-November 2011, hlm. 21.
Yahfizham, 2012, "Moral, Etika dan Hukum (Implikasi Etis Dari Teknologi Informasi dan Komunikasi)", Jurnal Iqra', Vol. 6-1, Mei 2012, hlm. 13-14.
A. Aco Agus dan Riskawati, 2016, "Penanganan Kasus Cyber Crime di Kota Makassar (Studi Kasus Pada Kantor Kepolisian Resort Kota Besar Makassar", Jurnal Supremasi, Vol. 11-1, April 2016, hlm. 21.
Yasmirah Mandasari Saragih dan Andysah Putera Utama Siahaan, 2016, "Cyber Crime Prevention Strategy in Indonesia", SSRG International Journal of Humanities and Social Science (SSRG-IJHSS), Vol. 3-6, November-Desember 2016, hlm. 23.