LEMBAR PENGESAHAN NAMA NIM UNIVERSITAS JUDUL KASUS
: Truelly Juniette Chananta : 406162119 : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara : Seorang Anak Laki-Laki dengan Meningoensefalitis, Hidrosefalus, Hiponatremi, Malnutrisi Akut
BAGIAN PEMBIMBING
: Ilmu Kesehataan Anak – Anak – RSUD RSUD Kota Semarang : dr. Neni Sumarni, Sp.A
Semarang, Agustus 2017 Pembimbing
dr. Neni Sumarni, Sp.A
1
LEMBAR PENGESAHAN NAMA NIM UNIVERSITAS JUDUL KASUS
: Truelly Juniette Chananta : 406162119 : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara : Seorang Anak Laki-Laki dengan Meningoensefalitis, Hidrosefalus, Hiponatremi, Malnutrisi Akut
BAGIAN PEMBIMBING
: Ilmu Kesehataan Anak – Anak – RSUD RSUD Kota Semarang : dr. Neni Sumarni, Sp.A
Semarang, Agustus 2017 Pembimbing
dr. Neni Sumarni, Sp.A
1
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. D
Umur
: 12 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Suku Bangsa
: Jawa
Alamat
: Semarang
Tanggal masuk RS
: 22 Juli 2017
Nomor Rekam Medis
: 390609
Bangsal
: ICU
ORANG TUA/WALI Ayah
Ibu
Nama
: Tn. A
Nama
: Ny. S
Umur
: 41 tahun
Umur
: 45 tahun
Pekerjaan
: Wiraswasta
Pekerjaan
: IRT
Pendidikan
: SMP
Pendidikan
: SMA
Agama
: Islam
Agama
: Islam
Suku Bangsa
: Jawa
Suku Bangsa
: Jawa
2
A. DATA DASAR 1.
Anamnesis (Autoanamnesis atau Alloanamnesis)
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. S (ibu kandung pasien) pada tanggal 1 Agustus 2017 jam 12.00 di bangsal ICU RSUD Kota Semarang. Keluhan Utama
: Penurunan kesadaran
Keluhan Tambahan
: Sakit kepala
Riwayat Penyakit Sekarang
Sebelum Masuk RS 7 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami demam yang dirasakan naik turun. Demam dirasakan tidak berkurang walaupun sudah minum obat penurun panas. Demam disertai dengan menggigil malam hari saat tidur. Demam dirasakan semakin hari semakin panas. Beberapa jam sebelum dibawa ke rumah rumah sakit, pasien mengalami demam tinggi. Demam tidak diukur suhunya di rumah. Demam disertai dengan keluhan sakit kepala. Sakit muncul bersamaan dengan demam. Sakit kepala dirasakan hilang timbul dan tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan waktu.
Sakit kepala kepala dirasakan diseluruh kepala dan terasa seperti
diremas. Ketika sakit kepala muncul, pasien akan memegang kepalanya. Sakit kepala dirasakan lebih berkurang jika pasien berbaring dan dirasakan semakin hari semakin memberat. Tidak ada keluhan mual muntah serta sakit perut selama demam. Tetapi beberapa jam sebelum dibawa ke rumah sakit, pasien muntah 1x. Pasien memuntahkan cairan hijau, jumlahnya sedikit, ada ampas makanan, dan muntahnya muncrat atau nyembur. Ada penurunan nafsu makan selama sakit. Awalnya pasien masih mau makan seperti biasa tetapi semakin hari pasien makan semakin sedikit. Ibu pasien harus memaksa pasien untuk makan. 2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien sudah tidak mau makan.
3
Di rumah pasien masih dapat berkomunikasi dengan normal seperti biasa. Hari pertama demam pasien masih dapat berjalan mondar-mandir di rumah dan beraktivitas seperti biasanya, yaitu bermain, nonton tv, dan lain-lain. Tetapi semakin hari pasien bertambah lemas dan sulit berakitivas selalu mau berbaring saja. Beberapa jam sebelum dibawa ke rumah sakit pasien mengeluhkan sakit kepala dan pusing yang sangat hebat seperti mau mati rasanya kemudian pasien terlihat sempoyongan dan mulai berbicara ngelantur. Pasien berkata sesuatu yang ibu tidak dapat mengerti, kata-kata terputus-putus dan tidak nyambung. Pasien juga sudah tidak dapat berjalan sendiri saat itu. Pasien harus dipapah untuk berjalan saat diantar ke rumah sakit. Ibu melihat tatapan mata pasien tampak kosong. Pasien tidak mengalami batuk, pilek, sakit pada persendian atau nyeri otot. BAB dan BAK tidak ada keluhan selama sakit. Saat di IGD tanda-tanda vital pasien diukur HR: 104x/menit, RR: 20x/menit, suhu: 38⁰C, SpO2: 100%. Kemudian pasien diberi infus KaEN3B 3cc/kgBB/jam, inj. Cefotaxime 3x500mg, inj. Ranitidin 2x20mg, inj. Paracetamol 250 mg jika suhu di atas 39⁰C, paracetamol syr 3x2cth. Kemudian pasien dipindahkan ke bangsal Bima dan dirawat untuk observasi febris. Pasien diberi obat 2A⅟ 2 N 4mEq/kg, inj. Cefotaxime 2x50mg/kgbb. Tanda-tanda vital pasien HR: 84x/menit, RR: 20x/menit, suhu: 37⁰C. Satu hari setelah tanggal 23 Juli 2017 dirawat di bangsal Bima, pasien masih panas, tetapi sakit kepala berkurang dan masih sedikit pusing. Pasien sadar dan dapat makan walaupun tidak banyak karena sedikit mual. Terapi dilanjut antibiotik diganti menjadi ceftriaxone 2x1 gram, parasetamol inj. 250mg/8 jam, dexamethasone inj. 1 ampul. Pasien dikonsulkan ke dokter spesialis saraf. Hari kedua dirawat tanggal 24 Juli 2017 di bangsal Bima paginya, pasien masih demam, sakit kepala dan pusing sudah berkurang. Pasien sudah mual, muntah 1x, dan nafsu makan belum meningkat. Terapi yang diberikan ceftriaxone 2x1 gram, inj. Ondansetron 3x2mg, inj. Dexamethasone 3x⅟ 2 ampul, inj. Ranitidine 2x⅟ 2 ampul, inj. Paracetamol 3x250mg. Malam harinya pasien kembali berbicara meracau dan tampak setengah sadar. Pasien terlihat gelisah dan mengeluh pusing. Pasien diberikan inj. Miloz 0,1/kgBB kemudian pasien dipindahkan ke ICU. Saat
4
dipindahkan ke ICU pasien dipasangkan selang oksigen karena napas pasien tidak teratur, tampak sesak, dan cepat. Pasien juga dipasangkan selang kencing. Ibu mengatakan setelah dirawat dua hari di ICU tanggal 26 Juli 2017 kesadaran pasien membaik dan pasien sudah mau makan. Pasien yang meminta makan dan makan dalam jumlah yang banyak. Pasien tidak mengeluh sakit kepala dan pusing lagi. Selama dirawat pasien tidak BAB sama sekali tetapi kencing tidak ada keluhan. Hari ketiga pasien dirawat di ICU tanggal 27 Juli 2017, pagi harinya pasien sudah bisa BAB 1x dan jumlahnya banyak. Setelah dibersihkan, pasien tiba-tiba kejang. Sekujur tubuh pasien kaku beberapa menit kemudian kejang berhenti. Tidak lama pasien kembali kejang menjadi klojotan seluruh badan. Kejang berlangsung kurang lebih 10 menit. Saat pasien kejang, dr.Zuhriah Hidajati,Sp.A sedang visit dan langsung memberikan obat anti kejang inj. Fenitoin 2x100mg. Kemudian pasien dirujuk untuk CT-Scan kepala dengan kontras. Hasilnya meningoensefalitis dengan hidrosefalus dan dianjurkan untuk dilakukan operasi. Tanggal 28 Juli 2017 dilakukan operasi pada kepala. Setelah dioperasi pasien dipasangkan alat bantu pernapasan. Pasien masih mengalami penurunan kesadaran tetapi semakin hari semakin membaik dan demam sudah tidak lagi dirasakan. Beberapa hari setelah dioperasi pasien sudah sedikit sadar dan bisa diajak berkomunikasi walaupun pasien belum dapat berbicara karena masih dipasangkan alat bantu napas. Pasien dapat menganggukkan kepalanya sedikit-sedikit. Pasien makan melalui sonde. Pada tanggal 31 Juli 2017, pasien sudah dapat membuka mata. Perut pasien teraba kembung. Setelah operasi pasien belum BAB sama sekali, tetapi BAK tidak ada keluhan dan pasien tidak mengalami kejang.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak mengalami riwayat sakit seperti ini sebelumnya. Selama 1 tahun terakhir pasien pernah mengalami demam tetapi sembuh dalam beberapa hari setelah dirawat di rumah sakit beberapa hari. Tidak ada riwayat penyakit batuk ataupun pilek dalam waktu lama. Pasien juga tidak memiliki riwayat sakit telinga seperti terasa
5
penuh atau keluar cairan dari lubang telinga. Pasien tidak pernah mengalami sakit yang membutuhkan perawatan di rumah sakit sebelumnya. Pasien punya riwayat sering mimisan, tidak terlalu banyak. Biasanya muncul saat pasien mengorek-ngorek hidungnya. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit bawaan, alergi makanan atau obatobatan tertentu.
Riwayat penyakit keluarga:
Keluarga tidak ada yang memiliki riwayat penyakit seperti ini. Mbah pasien pernah mengalami TB paru beberapa tahun yang lalu dan sudah diobati selama beberapa bulan. Mbah pasien masih batuk sedikit-sedikit sekarang ini.
Riwayat lingkungan:
Tidak ada tetangga maupun teman sekolah yang mengalami sakit atau keluhan seperti pasien. Tidak ada tetangga yang mengalami batuk lama dan memerlukan pengobatan selama 6 bulan atau yang membuat kencing menjadi warna merah.
Riwayat sosial:
Pasien tinggal di rumah bersama 4 orang anggota keluarga yang lain yaitu ibu, bapak, adik laki-laki, dan mbah. Pasien memiliki sifat yang tertutup sehingga jarang bercerita tentang apa yang dialaminya. Tetapi tidak ada ganggian atau kesulitan dalam bergaul dan berinteraksi dengan keluarga, tetangga, maupun temantemannya.
Riwayat perinatal, persalinan, dan kelahiran:
Saat hamil, dikandungan ibu ada mioma uteri. Ibu mendapatkan suntik TT sebelum kehamilan dan rajin mengontrol kehamilan sesuai jadwal. Tidak ada keluhan demam, riwayat keputihan, radang panggul selama kehamilan. Pasien lahir dari ibu G2P1A0 umur 35 tahum dengan usia kehamilan cukup bulan dan lahir SC. Bayi langsung menangis dan berat badan lahir 3000 gram. Bayi
6
langsung dirawat gabung dengan ibunya. Bayi mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan.
Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak
- Pertumbuhan Pertumbuhan pasien dari bayi sampai sekarang tidak mengalami gangguan. - Perkembangan Perkembangan pasien sesuai dengan perkembangan normal. Tidak ada keterlambatan.
Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar dilakukan sampai dengan usia 9 bulan sesuai jadwal. Pada pemeriksaan kulit regio deltoid dextra terdapat scar post imunisasi BCG.
Riwayat makan
Pasien makan sehari 3 kali kurang lebih 1 porsi nasi dan lauk pauk. Pasien lebih suka makan sayur-sayuran dibandingkan dengan daging ayam, ikan, dan telur.
Riwayat Keluarga Berencana
Ibu tidak mengikuti program Keluarga Berencana dulu tetapi sekarang sudah disteril.
Riwayat Ekonomi
Ayah bekerja sebagai buruh pabrik untuk menanggung keluarga yang terdiri dari 1 istri, 2 orang anak, dan 1 orang tua yang tinggal bersama. Ibu pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS kelas II
2.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 1 Juli 2017 jam 12.00 WIB di ICU bed 8 Keadaan Umum : Tampak sakit berat, penurunan kesadaran GCS
: E3M4Vett (dengan phenitoin)
7
Tanda Vital
Tekanan darah
: 115/80mmHg
HR
: 115 x/menit
Suhu
: 38,20C
RR
: 18 x/menit
SpO2
: 99 %
Status gizi berdasarkan CDC BB/U= di persentil 67% gizi kurang PB/U= di persentil 94% mild stunting BMI/U= di persentil 77% gizi kurang Lingkar lengan atas= 21 cm Kesan
: Malnutrisi akut
a. Status Generalis
Kepala
:Normocephali , ubun-ubun besar sudah menutup, kasa penutup luka operasi pus (-), darah (-)
Mata
: Konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), Refleks cahaya (+/+),pupil isokor (± 2mm)
Telinga : secret -/-, nyeri tekan tragus-/-, nyeri tarik daun telinga -/-, nyeri tekan mastoid -/-
Hidung : secret (-/-), napas cuping hidung (-/-), deviasi septum nasi (-)
Mulut
: Sianosis (-), trismus (-), labioschizis (-), palatoschizis (-)
Leher
: pembesaran KGB (+), deviasi trachea (-)
Thorax :
Paru-paru
- Inspeksi
: Hemithorax dextra dan sinistra simetris inspirasi dan ekspirasi, retraksi suprasternal (-), epigastrik (-), intercostal (-),
- Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, ronchi -/- basah halus, wheezing -/- Palpasi
: stem fremitus sama kuat kiri dan kanan
- Perkusi
: sonor diseluruh lapang paru, batas paru hepar setinggi ICS V 8
Jantung
- Inspeksi
: Pulsasi iktus kordis tampak di ICS V
- Palpasi
: Iktus cordis teraba tidak kuat angkat
- Auskultasi : Bunyi jantung I II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi
: Distensi, insersi tali pusat di tengah
- Auskultasi : - Palpasi
Bising usus (+) menurun
: Teraba distensi di regio epigastrium, nyeri tekan (-), massa (-), turgor kulit baik, defans muskular (-)
- Perkusi
: hiper timpani di seluruh abdomen
Genitalia
Jenis kelamin laki-laki, belum disunat.
Ekstremitas Superior
Inferior
Sianosis
-/-
-/-
Edema
-/-
-/-
Akraldingin
-/-
-/-
< 2”/ < 2”
< 2”/ < 2”
-
-
Capillary refill time Deformitas Kesan: Normal
Pemeriksaan Neurologis Kaku kuduk
: (+)
Brusinsky
: (-)
Lasegue
: (-)
Kernig
: (-)
N. I
: tidak dilakukan
N. II
: tidak dilakukan
N. III, IV,VI
: pupil isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+, tidak langsung +/+, pergerakan bola mata tidak dapat diperiksa tetapi bola mata dapat bergerak, nistagmus tidak dapat dilakukan. 9
N. V, VII, VIII, IX, X, XI, XII tidak dapat dilakukan
Pemeriksaan Motorik
Normotoni, eutrofi Kekuatan otot 3/3, 3/3, Refleks fisiologis: bisep (+/+), trisep (+/+), pattela (+/+), achilles (+/+) Refleks patologis: Hoffmen (-), Tromner (-), Gordon (-), Oppenheim (-), Babinski (-), Chaddock (-), Schaeffer (-) 3.
Pemeriksaan Penunjang
22 Juli 2017
Hemoglobin (g/dL)
: 10,8 g/dL
Hematokrit
: 30.30%
Leukosit (mm3)
: 24.800/mL
Trombosit
: 543.000/mL
GDS
: 147mg/dL
Natrium
: 114mmol/L
Kalium
: 4.20mmol/L
Calsium
: 1.08mmol/L
Widal S typhi O
: Negatif
Widal S typhi H
: Negatif
23 Juli 2017
Urin Rutin Makroskopis Warna
: Kuning muda
Kekeruhan
: Jernih
pH
: 7,0
Jamur
: Negatif
Protein
: Negatif
Reduksi
: Negatif
Mikroskopis Leukosit
: 1-2
Eritrosit
: 0-1
10
Silinder
: Negatif
Epitel
: 2-4
Kristal
: Negatif
Amorf
: Negatif
Bakteri
: Negatif
Trikomonas
: Negatif
Lain-lain
: Negatif
24 Juli 2017
Hemoglobin (g/dL)
: 9,9 g/dL
Hematokrit
: 28,50%
Leukosit (mm3)
: 15.400/mL
Trombosit
: 481.000/mL
Natrium
: 123 mmol/L
Kalium
: 3,80 mmol/L
Calsium
: 1,14 mmol/L
Salmonella typhi IgM
: 1,00
26 Juli 2017
LED 1 jam
: 30 mm
Hemoglobin (g/dL)
: 11,6 g/dL
Hematokrit
: 33,60%
Leukosit (mm3)
: 17.200/mL
Trombosit
: 505.000/mL
Natrium
: 130 mmol/L
Kalium
: 5,00 mmol/L
Calsium
: 0,85 mmol/L
GDS
: 123 mg/dL
Ureum
: 19,2 mg/L
Creatinin
: 0,4 mg/L
Gambaran darah tepi Eritrosit
: Anisositosis ringan (normosit, makrosit)
11
Poikilosistosis ringan (ovalosit, pear shape cell, tear drop cell) Leukosit
: Estimasi jumlah meningkat, ditemukan peningkatan
jumlah
dari
segmen
neutrofil
(neutrofillia), terdapat gambaran granulasi toksik pada segmen neutrofil Trombosit
: Estimasi jumlah sulit dilakukan, klumping (+), bentuk besar (+)
Kesan
: 1. Leukositosis dengan neutrofilia DD/ Inflamasi ec. Bacterial infection SIRS/Sepsis 2. Trombositosis dengan peningkatan aktivitas Trombosit DD/ Infeksi Perdarahan
Saran
: - Memonitoring hematologi rutin - Pemeriksaan fungsi hati - Pemeriksaan feses dan urin rutin
Hitung Jenis Sel Darah Putih
Eosinofil
:0
Basofil
:0
Batang
:1
Segmen
: 87
Limfosit
:9
Monosit
:3
28 Juli 2017
Hemoglobin (g/dL)
: 10,1 g/dL
Hematokrit
: 27,90%
Leukosit (mm3)
: 12.800/mL
Trombosit
: 397.000/mL
12
Natrium
: 114,0 mmol/L
Kalium
: 3,30 mmol/L
Calsium
: 1,16 mmol/L
GDS
: 161 mg/dL
HbsAg
: Negatif
Pemeriksaan LCS Makroskopis Warna
: Tidak berwarna
Kekeruhan
: Jernih
Bekuan
: Negatif
Kimiawi Protein
: 0,1 mg/dL
Glukosa
: 70 mg/dL
Albumin
: 0,0 mg/dL
Mikroskopis Eritrosit
: 2 sel/mm3
Leukosit PMN
: 3 sel/mm3
Leukosit MN
: 2 sel/mm3
Sel Asing
: Negatif
29 Juli 2017
SGOT
: 17 U/L
SGPT
: 17 U/L
Natrium
: 122 mmol/L
Kalium
: 2,50 mmol/L
Calsium
: 1,24 mmol/L
31 Juli 2017
Natrium
: 123 mmol/L
Kalium
: 3,90 mmol/L
Calsium
: 1,51 mmol/L
1 Agustus 2017
Trigliserida
: 105 mg/dL
13
2 Agustus 2017
3 Agustus 2017
4.
Pemeriksaan Penunjang
X Foto Thorax AP 25 Juli 2017
Cor
: CTR = 55,17% bentuk dan letak normal.
Pulmo
: Corakan vaskular meningkat Tak tampak jelas pembesaran hilus. Tampak
perselubungan
homogen
pada
laterobasal
kedua
hemithorax. Diafragma baik, sinus kostofrrenikus kanan kiri suram. Tulang dan soft tissue baik Kesan
: Cor kosfigurasi normal Gambaran bronkopneumonia Efusi pleura dupleks
CT-Scan Otak dengan Kontras 27 Juli 2017
Tampak pelebaran dan balloning semua ventrikel
14
Cisterna 2 menyempit Tak tampak midline shift Tak tampak lesi hipodens/hiperdens pada parenkim otak Batang otak dan cerebelum tenang Pada pemberian kontras tak nyata enhansemen pada cisterna yang menyempit Tampak perselubungan dengan densitas cairan pada sinus sphenoid Tak tampak fraktur/destruksi tulang Kesan
: Hidrocephalus Communicans Suspect Meningitis Sinusitis Sphenoidalis
15
16
X Foto Thorax AP 29 Juli 2017
Tampak ujung distal ETT pada setinggi V.Th 2-3 Cor
: Apeks bergeser ke laterocaudal
Pulmo
: Corakan bronkovaskuler meningkat Tidak tampak bercak
Diafragma
dan
sinus
costophrenicus
kiri
tertutup
opasitas,
sinus
costophrenicus kanan tumpul Tulang : Tidak tampak lesi litik dan sklerotik KESAN : - Letak ETT cukup baik - Cor curiga kardiomegali - Pulmo curiga tanda awal edem pulmo - Efusi pleura dupleks (kanan minimal) - Tulang tiak tampak kelainan
17
Scroring TB Variabel
0
1
Kontak TB
2
3 #
Uji Mantoux Demam Batuk Status Gizi KGB
#
Pembengkakan sendi Foto Thorax
#
18
FOLLOW UP SELAMA DI ICU
Tanggal 1 Agustus 2017 S:Pasien sudah mulai sadar dan dapat berinteraksi dengan sedikit menganggukkan kepala. Pasien bergerak sesekali merubah posisi tubuh dan mau melepas ETT sehingga tangan perlu diikat. Masih demam tetapi tidak kejang dan belum BAB dari hari setelah dioperasi. O: Keadaan umum tampak sakit berat, E3M4Vett, bergerak sesekali TD: 115/80 mmHg HR: 115x/menit RR: 18x/menit Suhu: 38.2 C ˚
Saturasi O2: 100% Mata: pupil isokor, D 3mm/3mm, refleks cahaya +/+ Thorax: Cor BJ I, II reguler, Murmur (-), Gallop (-) Pulmo SNV -/-, Rh -/-, Wh -/Abdomen: Supel, tampak membuncit, BU (+) menurun, teraba distensi di regio epigastrium, Nyeri tekan (-), hiper timpani di seluruh lapang abdomen. Tidak teraba pembesaran hepar dan lien. Lingkar perut 65cm. Ekstrimitas: hangat di keempat akral, CRT < 2detik, tidak ada edema Cateter Urin: 1700cc A: Meningoensefalitis Post Shunting Suspect peritonitis Hidrosefalus SIADH Hiponatremi (123mmol/L) Suspect bronkopneumonia spesifik P: Infus 2A½N 33cc/kg Inj Aminosteril 1gram/kg/hari Inj Meropenem 3x500mg (hari ke lima)
19
Koreksi Na dengan NaCl 0,9% 32.4 mEq/L dalam 24 jam OAT R 300 mg, H 200 mg, Z 500 mg, B6 10 mg, E 350 mg Inj Omeprazole 2x20 mg Inj Dexamethasone 3x1 ampul Inj Phenitoin 3x100mg PO: Asam folat 1x1, PCT 2x500mg, Acetozolamid 2x½tab
Tanggal 2 Agustus 2017 S:Kondisi pasien sudah lebih tenang, tangan pasien tidak diikat. Ketika nama pasien dipanggil pasien bangun. Napas spontan dan adekuat. Sudah tidak demam dan tidak membuncit, tetapi belum BAB. O: Keadaan umum tampak sakit berat, E3M5Vett TD: 112/81 mmHg HR: 90x/menit RR: 13x/menit Suhu: 36
˚
C
Saturasi O2: 100% Mata: pupil isokor, D 3mm/3mm, refleks cahaya +/+ Thorax: Cor BJ I, II reguler, Murmur (-), Gallop (-) Pulmo SNV -/-, Rh -/-, Wh -/Abdomen: Supel, datar, BU (+) menurun, massa (-), Nyeri tekan (-), timpani di seluruh lapang abdomen. Tidak teraba pembesaran hepar dan lien Ekstrimitas: hangat di keempat akral, CRT < 2detik, tidak ada edema A: Meningoensefalitis Post Shunting Suspect peritonitis Hidrosefalus SIADH Hiponatremi (123mmol/L) Suspect bronkopneumonia spesifik P: Extubasi Infus D10% 100cc/hari + Nacl 3% 5 ml
20
Inj Aminosteril 2x200ml Inj Meropenem 3x500mg (hari ke enam) OAT R 300 mg, H 200 mg, Z 500 mg, B6 10 mg, E 350 mg Inj Omeprazole 2x20 mg Inj Dexamethasone 2x5mg Inj Phenitoin 3x100mg PO: Asam folat 1x1, PCT 2x500mg, Carbamazepin 1x100 mg
Tanggal 3 Agustus 2017 S: Pasien bernapas spontan, adekuat, BAB 1x jumlah sedikit, lendir (+), sariawan. O: Keadaan umum tampak sakit berat, E3M5Vett TD: 106/77 mmHg HR: 78x/menit RR: 12x/menit Suhu: 36 C ˚
Saturasi O2: 97% Mata: pupil isokor, D 3mm/3mm, refleks cahaya +/+ Mulut: stomatitis, gigi insisor dextra (41) patah Thorax: Cor BJ I, II reguler, Murmur (-), Gallop (-) Pulmo SNV -/-, Rh -/-, Wh -/Abdomen: Supel, datar, BU (+) normal, massa (-), Nyeri tekan (-), hiper timpani di seluruh lapang abdomen. Tidak teraba pembesaran hepar dan lien Ekstrimitas: hangat di keempat akral, CRT < 2detik, tidak ada edema A: Meningoensefalitis Post Shunting Suspect peritonitis Hidrosefalus SIADH Hiponatremi (123mmol/L) Suspect bronkopneumonia spesifik Stomatitis
21
P: Pemeriksaan Feses Rutin Kontrol dokter spesialis gigi anak Pindah ruangan Infus D10% 100cc/hari + Nacl 3% 5 ml Inj Aminosteril 2x200ml Inj Meropenem 3x500mg (hari ke tujuh) OAT R 300 mg, H 200 mg, Z 500 mg, B6 10 mg, E 350 mg Inj Omeprazole 2x20 mg Inj Dexamethasone 2x5mg Inj Phenitoin 3x100mg PO: Asam folat 1x1, PCT 2x500mg, Carbamazepin 1x100 mg, zinc 1x20mg
B. RESUME
Telah diperiksa anak laki-laki umur 12 tahun dengan keluhan demam sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan naik turun dan semakin hari suhu semakin meningkat dan tidak membaik walaupun sudah minum obat penurun panas. Malam hari pasien menggigil. Demam disertai sakit kepala yang dirasakan semakin memberat setiap hari. Sakit kepala hilang timbul tanpa provokasi dan membaik jika pasien berbaring. Sakit kepala yang dirasakan sangat sakit seperti mau mati rasanya. Ada penurunan nafsu makan selama demam dan semakin hari semakin berkurang. Beberapa jam sebelum dibawa ke IGD pasien muntah 1 kali cairan kehijauan jumlah tidak banyak dan muntahnya nyemprot atau muncrat dan pasien sudah berbicara ngelantur dan tidak dapat berjalan sendiri. Di rumah mbah pasien pernah mendapatkan terapi infeksi paru selama 6 bulan. Sudah dinyatakan sembuh tetapi mbah masih terbatuk-batuk. Pasien sehari-hari lebih suka makan sayur-sayuran dibandingkan daging sapi, ayam, ikan dan telur. Dalam setahun terakhir pasien pernah dirawat di rumah sakit beberapa hari dengan keluhan demam. Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan tanggal 1 Agustus 2017 didapatkan pasien tampak sakit berat. GCS E3M4Vett (dengan phenitoin) Tanda Vital
22
Tekanan darah
: 115/80mmHg
HR
: 115 x/menit, takikardi
Suhu
: 38,20C, febris
RR
: 18 x/menit
SpO2
: 99 %
Status gizi berdasarkan CDC BB/U= di persentil 67% gizi kurang PB/U= di persentil 94% mild stunting BMI/U= di persentil 77% gizi kurang Lingkar lengan atas= 21 cm Kesan
: Malnutrisi akut
Kaku kuduk (+) Pada pemeriksaan penunjang
22 Juli 2017 Hemoglobin (g/dL)
: 10,8 g/dL
anemia
Hematokrit
: 30.30%
Leukosit (mm3)
: 24.800/mL leukositosis
Trombosit
: 543.000/mL
GDS
: 147mg/dL
Natrium
: 114mmol/L
rendah
trombositosis hiperglikemia hiponatremia
24 Juli 2017 Hemoglobin (g/dL)
: 9,9 g/dL
anemia
Hematokrit
: 28,50%
rendah
Leukosit (mm3)
: 15.400/mL
Trombosit
: 481.000/mL
Natrium
: 123 mmol/L
leukositosis trombositosis hiponatremia
26 Juli 2017 LED 1 jam
: 30 mm
Leukosit (mm3)
: 17.200/mL
Trombosit
: 505.000/mL
Natrium
: 130 mmol/L
leukositosis trombositosis hiponatremia
23
Calsium
: 0,85 mmol/L
hipocalsemia
Gambaran darah tepi Kesan
: 1. Leukositosis dengan neutrofilia DD/ Inflamasi ec. Bacterial infection SIRS/Sepsis 2. Trombositosis dengan peningkatan aktivitas Trombosit DD/ Infeksi Perdarahan -
Hitung Jenis Sel Darah Putih Segmen
: 87
28 Juli 2017 Hemoglobin (g/dL)
: 10,1 g/dL
Hematokrit
: 27,90%
Leukosit (mm3)
: 12.800/mL
Natrium
: 114,0 mmol/L
GDS
: 161 mg/dL
rendah leukositosis hiponatremia
hiperglikemia
29 Juli 2017 Natrium
: 122 mmol/L
hiponatremia
Kalium
: 2,50 mmol/L
hipokalemia
: 123 mmol/L
hiponatremia
31 Juli 2017 Natrium
5.
anemia
Pemeriksaan Penunjang
X Foto Thorax AP 25 Juli 2017
Kesan
: Gambaran bronkopneumonia Efusi pleura dupleks
CT-Scan Otak dengan Kontras 27 Juli 2017
Kesan
: Hidrocephalus Communicans Suspect Meningitis Sinusitis Sphenoidalis
24
X Foto Thorax AP 29 Juli 2017
KESAN : - Cor curiga kardiomegali - Pulmo curiga tanda awal edem pulmo - Efusi pleura dupleks (kanan minimal) C. DIAGNOSIS BANDING
-
Penurunan kesadaran :
Intrakranial o
Infeksi
o
Tumor
o
Trauma
Ekstrakranial o
Elektrolit imbalance
o
Hipoglikemia
-
Hidrosefalus
-
Hiponatremia
-
Suspect TB paru
-
Malnutrisi akut
D. DIAGNOSIS SEMENTARA
Meningoensefalitis
E. DIAGNOSIS SEKUNDER
Hidrosefalus Hiponatremia Suspect TB paru Malnutrisi Akut
INITIAL PLANNING Initial Plan Diagnosis:
Pasang bedside monitor Cek darah lengkap, GDS, elektrolit Initial Plan Terapi tanggal 22 Juli 2017
25
•
Inf KAEN 3B 3cc/kg/jam
•
Koreksi Na 125-114x27x0,6=178.2mEq/Liter
•
Inj paracetamol 270 mg/8 jam
•
Inj ceftriaxone 100mg/kg dibagi dalam 2 dosis
•
Elevasi kepala 30˚
Initial Plan Edukasi
Memberi tahu pada keluarga kondisi pasien bahwa anak perlu dirawat untuk pengawasan dan mencari sumber infeksi.
F. EDUKASI
•
Memberi
informasi
tentang
keadaan
pasien
yang
membutuhkan
pengobatan yang lama •
Menjelaskan prognosis penyakit mungkin dapat memberikan gejala sisa
•
Menjelaskan komplikasi dari penyakit yaitu kejang, gangguan neurologis dna lain-lain
G. PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubia
Quo ad functionam
: dubia
Quo ad sanationam
: dubia
26
TINJAUAN PUSTAKA
A. Meningoensefalitis
Ensefalitis adalah infeksi pada parenkim otak sedangkan meningitis merupakan infeksi pada selaput meningen otak yang dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, dan protozoa). Seringkali pasien memiliki keterlibatan infeksi keduanya baik meningen maupun parenkim otak sehingga meningoensefalitis harus dipertimbangkan. [1]
1.
Meningitis Bakterialis Meningitis bakterialis adalah suatu peradangan selaput jaringan otak dan medulla spinalis yang disebabkan oleh bakteri patogen. Peradangan mengenai araknoid, piameter, dan cairan serebrospinalis. [2]
1.1 Epidemiologi Meningitis bakterialis paling sering disebabkan oleh H. Influenzae dan Mengiococcal . Lebih sering terkena pada laki-laki dibanding perempuan. Meningitis yang disebabkan oleh H. Influenzae paling sering menyerang pada balita dan anak-anak. Meningitis Meningococcal paling sering terjadi pada anakanak dan remaja tetapi juga dapt menyerang pada orang dewasa. Meningitis nosokomial 40% disebabkan oleh bakteri staphylococcus dan bakteri bacilli gram negatif. Transmisi kontak orang ke orang dapat melalui droplets atau sekresi saluran napas.[adams] Anak-anak yang mengalami bakterimia akibat meningococcus memiliki resiko 85 kali untuk terjadinya meningitis sedangkan bakterimia akibat H. Influenzae tipe B memiliki resiko 12 kali lebih besar.[1] 1.2 Etiologi Penyebab paling sering meningitis pada anak-anak di negara berkembang adalah S. Pneumoniae dan Haemophilus influenzae tipe B.[1] Etiologi berdasarkan usia:[2] -
Usia 0-2 bulan: Streptococcus group B, Escherichia coli
-
Usia 2 bulan-5 tahun: Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophillus influenzae
27
-
Usia diatas 5 tahun: Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis Beberapa infeksi patogen yang dapat menyebabkan defek anatomi atau
imunodefisiensi yang dapat meningkatkan resiko meningitis a kibat patogen yang kurang umum yaitu Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Salmonella spp., anaerobes, dan Listeria monocytogenes.[1] 1.3 Patogenesis dan Patofisiologi Patogen meningeal yang paling umum paling sering merupakan flora normal pada nasofaring dan bergantung pada kapsular antifagosit atau permukaan antigen untuk dapat bertahan hidup di jaringan
host yang terinfeksi. Untuk
sampai ke meningen, bakteri harus invasif masuk ke aliran darah (bakterimia). Masuknya organisme ke cairan serebrospinal melalui pleksus koroidalis ataupun dari aliran darah selaput otak atau meningen tidak diketahui dengan jelas. Beberapa teori menjelaskan masuknya bakteri ke ruang subaraknoid dapat difasilitasi oleh gangguan pada sawar darah otak karena tr auma, endotoksin yang beredar, atau adanya infeksi virus pada meningen yang mendahului sehingga menyebabkan bakteri dapat menembus mukosa sawar darah otak. Beberapa penyakit yang dapat mempermudah masuknya bakteri ke meningen yaitu kelainan kongenital defek neuroektoderma, post-kraniotomi, penyakit pada telinga tengah dan sinus paranasal, fistula perilimfatik, fraktur tengkorak, kasus infeksi yang sering berulang, robeknya dural akibat trauma minor atau mayor. [3] Proses inflamasi pada meningen menghasilkan eksudat purulen yang terdistribusi disepanjang pembuluh darah, sinus venosus, sulkus-sulkus cerebrum dan cerebellum, sulcu cerebri sylvii, sisterna basalis, dan saraf tulang belakang. Ventrikulitis bakterialis dan sel inflamasi dapat ditemukan pada cairan ventrikular. Sel PMN dapat inflitrasi ke lapisan subintimal arteri dan vena kecil menyebabkan vaskulitis, trombosis dari vena kortikal kecil, oklusi pada sinus venosus mayor, nekrosis arteritis yang dapat menyebabkan perdarahan subaraknoid. Gangguan pada pembuluh darah ini dapat nyebabkan infark cerebral dan dapat menyebabkan sekuele. [1] Peningkatan tekanan intrakranial merupakan akibat dari kematian sel (serebral edem sitotoksik), sitokin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
28
kapiler darah (edem serebral vasogenik), dan peningkatan tekanan hidrostatik (edem serebral interstisial) akibat obstruksi reabsorbsi LCS di vili subaraknoid atau obstruksi aliran LCS dari ventrikel. Tekanan intrakranial dapat melebihi 300 mmH2O. Perfusi cerebral dikompensasi jika tekanan perfusi cerebral (mean arterial pressure dikurang TIK) <50cm H2O dengan cara hipotensi sistemik untuk mengurangi aliran darah serebral. Syndrome of inappropriate antidiureti hormone secretion (SIADH) menyebabkan retensi cairan yang berlebihan dan berpotensi meningkatkan resiko peningkatan TIK.[1] Hidrosefalus dapat terjadi sebagai komplikasi akut meningitis bakterialis. Hidrosefalus yang sering terbentuk merupakan bentuk hidrosefalus komunikans yang disebabkan oleh perlengketan dan penebalan vili subarachnoid yang mengganggu resorpsi LCS. [1] 2.
Meningoensefalitis Virus Meningoensefalitis virus adalah proses inflamasi akut yang melibatkan selaput meningen dan parenkim otak. Karakteristik pemeriksaan LCS yaitu pleositosis dan tidak ditemukan mikroorganisme pada pewarnaan Gram dan kultru bakteri rutin. Dalam kebanyakan kasus, infeksi ini bersifat self-limited. [1]
2.1 Etiologi Beberapa virus yang dapat menyebabkan infeksi sistem saraf pusat, yaitu HIV-1, HIV-2, herpes simplex virus (HSV-1 dan HSV-2), varisela zoster virus (VZV), Epstein-Barr virus (EBV), cytomegalovirus (CNV), poliovirus, rabies, dan beberapa virus musiman (Flavivirus).[3] Enterovirus adalah penyebab meningoensefalitis paling sering pada anak-anak. Meningoensefalitis kadang terjadi akibat virus respirasi yang diikuti dengan pemberian vaksin virus hidup seperti polio dan MMR.[1] 2.2 Epidemiologi Epidemiologi
dari
meningoensefalitis
virus
dilihat
dari
prevalensi
enterovirus, yang merupakan etiologi tersering. Infeksi enterovirus dapat menyebar langsung dari orang ke orang dengan masa inkubari 4-6 hari. Beberapa faktor resiko yaitu anak berusia <5 tahun dan pada orang yang memiliki imunodefisiensi yang disebabkan karena penyakit tertentu, sedang
29
menerima pengobatan steroid jangka panjang dan orang yang baru saja melakukan transplantasi sumsum tulang. [4] 2.3 Patogenesis dan Patofisiologi Virus memasuki tubuh manusia melalui beberapa cara. Mumps, measles, dan VZV masuk melalui sistem respirasi. Virus polio dan enterovirus masuk melalui oral-intestinal dan HSV memelalui mukosa oral dan genitalia. Fetus terinfeksi virus rubella, CMV, dan HIV melalui transplasental. Dalam semua infeksi ini, viremia adalah cara virus untuk dapat sampai ke otak dan LCS. Cara lain HSV, VZV, dan virus rabies yaitu melalui saraf tepi, berjalan retrograde axoplasmuc transport system. Hal ini dapat menjelaskan gejala awal rabies terjadi secara lokal. Telah dilakukan secara eksperimental bahwa HSV dapat menyebar ke SSP dengan melibatkan nervus olfactorius di mukosa hidung; kemudian sel ini akan melalui celah di lempeng cribiformis dan bersinaps di pusat nervus olfactorius. [3] Kerusakan neuorologis disebabkan oleh invasi dan destruksi langsung virus dan reaksi host dan antigen terhadap jaringan neural. Gangguan tersebut menyebabkan kongesti meningeal dan infiltrasi mononuklear, bendungan perivaskular akibat sel limfosit dan sel plasma, neuronophagia, dan proliferasi atau nekoris endotelial.[1] 3.
Meningitis TB Tuberkulosis merupakan penyebab yang umum meningitis pada negara berkembang dengan angka kejadian tuberkulosis paru yang tinggi. Di dunia, angka kejadian TB paling terbanyak adalah di Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan benua Afrika.[5] Tuberkulosis meningitis merupakan salah satu bentuk TB pada sistem saraf pusat yang sering ditemukan pada anak, dan merupakan TB dengan gejala klins yang berat yang dapat mengancam nyawa atau meninggalkan gejala sisa pada anak. [1]
3.1 Patofisiologi [6] Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer,
30
atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran secara hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread ). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang memiliki vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe dan termasuk di otak. Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender
terjadinya TB di berbagai organ. Infeksi TB tidak langsung
memberikan gejala. Meningitis TB dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6 bulan pertama setelah terinfeksi.
4.
Manifestasi Klinis Gejala awal yang timbul pada meningitis akut adalah demam, sakit kepala yang hebat, dan kaku kuduk, dan beberapa gejala lebih jarang yaitu kejang generalisata, halusinasi dan gangguan kesadaran(somnolen, stupor, dan koma). Pada pemeriksaan Brudzinski dan Kernig biasa ditemukan positif
31
tetapi tidak selalu terjadi. Meningoensefalitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit tetapi manifestasi klinis yang ditimbulkan sama. Gejala yang sering sakit kepala, mual, muntah, penurunan nafsu makan, letih, penurunan kesadaran dan gelisah, gejala yang timbul tidak spesifik. Gejala yang sering pada infeksi sistem saraf pusat yaitu demam, fotofobia, sakit dan kaku leher, kesadaran somnolen atau ngantuk, stupor, koma, kejang, dan defisit neurologis fokal. Gangguan pada nervus cranialis juga dapat terjadi.
[1]
Gejala yang muncul pada neonatus dan bayi tidak seperti pada anak dan orang dewasa. Gejala pada bayi akan tampak seperti gejala penyakit sistemik yang tidak spesifik yaitu rewel, demam, selalu mengantuk, muntah, kejang, dan ubun-ubun besar teraba cembung. Kaku kuduk tidak selalu terjadi. Pemeriksaan fungsi lumbal adalah hal yang ideal dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Faktor resiko pada neonatus adalah gangguan obstetri trimester ke tiga yaitu lahir prematur, waktu persalinan yang lama, ketuban pecah dini lebih dari 18 jam. Faktor ibu yaitu, infeksi saluran kemih dan riwayat demam saat kehamilan karena sebab yang tidak jelas.[1] Meningitis pada bayi dengan progresifitas penyakit yang cepat, jumlah PMN sedikit, dan peningkatan protein pada LCS berhubungan dengan terbentuknya efusi subdural. Melakukan pemeriksaan transluminasi pada cranium merupakan cara yang paling mudah untuk menilai adanya pembentukan efusi subdural.[3] Pada meningitis tuberkulosis tanda dan gejala serupa dengan meningitis dengan penyebab lainnya seperti sakit kepala, demam, dan kaku kuduk. Walaupun tanda meningeal dapat tidak terjadi pada awal perjalanan penyakit. GCS dapat ditemukan 10 atau lebih rendah. Kelumpuhan nervus cranialis, hemiparesis, paraparesis dan kejang adalah gejala yang umum. Pasien biasanya dapat ditemukan keluhan kelumpuhan nervus cranialis multipel, kelumpuhan nervus II, VI, dan VII paling sering ditemukan. Pada pemeriksaan foto X-ray thorax dapat ditemukan tanda TB pulmonal yang aktif atau sebelumnya.[4]
32
Gejala TB meningitis timbul lambat selama beberapa minggu dan dapat dibagi menjadi 3 stadium: [7] a. Stadium 1 berlangsung 1-2 minggu dengan gejala tidak spesifik seperti panas, sakit kepala, mengantuk, dan malaise, tidak terdapat gangguan neurologis (GCS 15) b. Stadium 2 dengan gejala timbul tiba-tiba, seperti penurunan kedasaran, kejang, kaku kuduk, muntah, hipertoni, gangguan saraf otak, Brudzinski dan Kernig (+), serta gejala neurologi lainnya (GCS 11-14) c. Stadium 3 terdapat gangguan kesadaran yang lebih dalam (GCS ≤10), hemiplegi atau para plegi, hipertensi, deserebrasi, dan sering menimbulkan kematian. 4.
Diagnosis Mendiagnosis meningitis piogenik akuta ditegakkan dengan analisis LCS, dengan penwarnaan Gram dan kultur, bakteri patogen dapat diketahui. Pungsi lumbal harus dikerjakan ketika meningitis bakterialis dicurigai. Kontraindikasi pungsi lumbal yaitu (1) adanya bukti peningkatan TIK (selain ubun-ubun besar teraba cembung) seperti kelumpuhan nervus cranialis III atau VI disertai penurunan kesadaran, atau hipertensi dan bradikardi disertai gangguan pernapasan; (2) gangguan kompensasi kardiopulmonal yang parah yang membutuhkan tindakan resusitasi, (3) infeksi kulit pada bagian yang akan di pungsi lumbal. Trombositopenia merupakan kontraindikasi pungsi lumbal yang bersifat relatif. Ketika pungsi lumbal tertunda, pemberian terapi antibiotik empirik harus segera dimulai. [1] CT-Scan dapat menunjukkan adanya abses otak atau peningkatan TIK, tetapi pengerjaannya tidak boleh menunda pemberian antibiotik empirik. [3] Kultur darah harus dilakukan pada setiap pasien yang dicuriagi meningitis. Peningkatan C-reactive protein, sedimentasi eritrosit, dan procalcitonin digunakan untuk membedakan patogen bakterial (biasanya meningkat) dari virus penyebab meningitis.[1]
33
Pemeriksaan LCS pada meningitis bakterialis didapatkan leukosit meningkat >1.000/mm3 dan sel neutrofil dominan (75-95%). LCS tampak keruh jika leukosit melebihi 200-400/mm 3. Normalnya pada anak-anak tanpa infeksi sistem saraf pusat <5 leukosit/mm3 dan pada neonatus sehat paling banyak 30 leukosit/mm3 (biasanya<10) dan pada keduanya didominasi oleh sel limfosit atau monosit. Pleositosis dapat tidak terjadi pada meningitis bakterialis yang mengalami sepsis berat dan merupakan prognosis yang buruk.
[1]
Pada meningitis viral, pemeriksaan LCS dapat ditemukan konsentrasi protein tetap normal atau sedikit meningkat, tetapi dapat meningkat dengan sangat tinggi jika destruksi otak terjadi sangat parah pada ensefalitis HSV. Kadar glukosa normal tetapi dapat rendah seperti pada infeksi mumps.Pada pemeriksaan EEG dapat ditemukan slow-wave yang difus, tanpa ada gangguan fokal. CT-Scan ditemuka edem pada parenkim otak. [1] Pada meningitis tuberkulosis, pemeriksaan LCS ditemukan pleositosis dengan predominan limfosit, protein level yang tinggi, dan level glukosa yang rendah adalah tanda Hallmark.
Pemeriksaan pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN)
harus dilakukan. CT-Scan dan MRI dapat ditemukan hidrosefalus, infark, tuberkuloma, eksudasi, peninggian meningeal. [3] Kondisi
Tekanan
Leukosit (mm3)
(mmH2O) Normal
50-80
<5, ≥75%
Protein
Glukosa
(mg/dL)
(mg/dL)
20-45
limfosit Meningitis bakteri Meningkat
100-500
Rendah <40
100-500
Normal/rendah
50-200
Umumnya
(100-300)
Meningitis bakteri
Normal/
5-10.000, PMN,
setengah terobati
meningkat
mononuklear
80-150
Jarang >1000 sel
virus
serum glukosa)
300-2000, PMN
akut
Meningoensefalitis
>50 (75%
Mononuklear
normal, mumps rendah
Meningitis TB
Meningkat
10-500, limfosit
100-3000
<50
34
5. Terapi Inisial Pemilihan antibiotik empirik untuk meningitis bakterialis harus dengan dosis terapeutik di LCS. Vancomisin (60mg/kg/24jam) merupakan rekomendasi terapi inisial empirik diberikan selama 5-7 hari. Cefalosporin generasi tiga sensitif untuk terapi meningitis yang disebabkan oleh S. Pneumoniae, N. Meningitidis, dan H. Influenzae tipe B, cefotaxime (300mg/kg/24jam, diberikan tiap 6 jam) atau ceftriaxone (100mg/kg/24jam dosis tunggal atau 2 dosis per 12 jam) dapat dijadikan terapi inisial empirik. Pemberian antibiotik sebaiknya diberikan selama 10-14 hari. Pasien yang menerima antibioti melalui intravena atau peroral sebelum dilakukan pungsi lumbal dan patogen penyebab belum diketahui, tetapi mempunyai bukti terinfeksi bakteri harus melanjutkan pemberian antibiotik ceftriaxone atau cefotaxime selama 7-10 hari.[1] Pememberian kortikosteroid untuk menekan reaksi inflamasi yang dimediasi oleh sitokin yang dapat menyebabkan edem otak dan infiltrasi neutrofil yang dapat menambah cedera pada otak. Pemberian dexamethasone 0.15 mg/kg diberikan tiap 6 jam selama 2 hari sebelum terapi antibiotik inisial diberikan dapat
mengurangi
durasi
demam
dan
resiko
penurunan
pendengaran
sensorineural. Pemberian juga dapat diberikan setelah pememberian antibiotik dosis pertama. Komplikasi pemberian kortikosteroid termasuk perdarahan saluran cerna, hipertensi, hiperglikemia, leukositosis, dan demam yang meningkat kembali.[1] Terapi meningoensefalitis virus bersifat suportif, kecuali pada ensefalitis HSV diberikan acyclovir. Untuk menurunkan demam dianjurkan menggunakan acetaminofen. [1] Meningitis tuberkulosis lini pertama 2 bulan pertama, isoniazid, rifampicin, rifampicin, pyrazinamide, dan ethambutol (anak) atau streptomisin (dewasa). Kemudian diikuti dengan 10 bulan berikutnya isoniazid dan rifampisin.
[5]
Pemberian cairan secara intravena pada pasien dengan tekanan darah yang normal harus dibatasi 800-1000mL/m 2/24jam sampai peningkatan TIK dapat diatasi atau SIADH sudah tidak ada. [1]
35
Pememberian diazepam (0.1-0.2 mg/kg) atau lorazepam (0.05-0.1mg/kg) dapat diberika saat terjadi kejang tetpai haris diperhatikan tanda-tanda gagal napas. Fenitoin loading dose (5mh/kg/24jam) dapat diberikan setelah itu sebahai dosis maintenance untuk mencegah rekurensi. [1]
B.
Hidrosefalus
Hidrosefalus merupakan kondisi melebarnya ventrikel akibat dari gangguan aliran LCS.[adams] Kasus ini merupakan salah satu masalah yang sering ditemui di bidang bedah saraf, yaitu sekitar 40% hingga 50%. Secara teoritis patofisiologi hidrosefalus terjadi karena tiga hal yaitu produksi liquor yang berlebihan, peningkatan resistensi liquor yang berlebihan, dan peningkatan tekanan sinus venosa.[8] 1.1 Etiologi Penyebab hidrosefalus pada anak secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu penyebab prenatal dan postnatal. Penyebab prenatal
Sebagian besar anak dengan hidrosefalus telah mengalami hal ini sejak lahir atau segera setelah lahir. Beberapa penyebabnya terutama adalah stenosis akuaduktus
sylvii,
malfromasi
Dandy
Walker,
Holopresencephaly,
Myelomeningokel, dan Malformasi Arnold Chiari. Selain itu, terdapat juga jenis malformasi lain yang jarang terjadi. Penyebab lain dapat berupa infeksi in-utero, lesi destruktif dan faktor genetik.[9] Stenosis Akuaduktus Sylvius terjadi pada 10% kasus pada bayi baru lahir. Insidensinya berkisar antara 0,5-1 kasus/1000 kelahiran. Insidennya 0,5-1% kasus/1000 kelahiran. Malformasi Dandy Walker terjadi pada 2-4% bayi yang baru lahir dengan hidrosefalus. Malformasi ini mengakibatkan hubungan antara ruang subarakhnoid dan dilatasi ventrikel 4 menjadi tidak adekuat, sehingga terjadilah hidrosefalus. Penyebab yang sering terjadi lainnya adalah Malformasi Arnold Chiari (tipe II), kondisi ini menyebabkan herniasi vermis serebelum, batang otak, dan ventrikel 4 disertai dengan anomali inrtakranial lainnya.
36
Hampir dijumpai di semua kasus myelomeningokel meskipun tidak semuanya berkembang menjadi hidrosefalus (80% kasus).[8,9] Penyebab postnatal
Lesi massa menyebabkan sekitar 20% kasus hidrosefalus, kista arakhnoid dan kista neuroepitelial merupakan kedua terbanyak yang mengganggu aliran likuor. Perdarahan, meningitis, dan gangguan aliran vena juga merupakan penyabab yang cukup sering terjadi.[8] Hidrosefalus Obstruktif
Hidrosefalus Komunikans
Kongenital
Kongenital
Stenosis akuaduktus
Malformasi Arnold Chiari
Kista Dandy Walker
Ensefalokel
Benign intracranial cyst
Deformitas basis kranii
Malformasi vaskular
Didapat
Didapat
Infeksi (CMV, toxoplasma, post-
Tumor
bacterial meningitis)
Lessi massa (giant aneurysm, abses)
Perdarahan (sub-arachnoid
Ventricular scarring
haemorrhage) Hipertensi vena (trombosis sinus venosus) Meningeal carcinomatosis Sekresi berlebihan CSF (papiloma pleksis koroidalis)
Dari penjelasan di atas, hidrosefalus dapat diklasifikasikan menjadi hidrosefalus obstruktif dan hidrosefalus komunikans seperti yang dapat dilihat pada tabel. [8] 1.2 Patofisiologi Pembentukan cairan serebrospinal terutama dibentuk di dalam sistem ventrikel. Kebanyakan cairan tersebut dibentuk oleh pleksus koroidalis di ventrikel lateral, yaitu kurang lebih sebanyak 80% dari total cairan serebrospinalis. Kecepatan pembentukan cairan serebrospinalis lebih kurang 0,35-0,40 ml/menit atau 500 ml/hari, kecepatan pembentukan cairan tersebut
37
sama pada orang dewasa maupun anak-anak. Dengan jalur aliran yang dimulai dari ventrikel lateral menuju ke foramen monro kemudian ke ventrikel 3, selanjutnya mengalir ke akuaduktus sylvii, lalu ke ventrikel 4 dan menuju ke foramen luska dan magendi, hingga akhirnya ke ruang subarakhnoid dan kanalis spinalis.[10] Secara teoritis, terdapat tiga penyebab terjadinya hidrosefalus, yaitu:[1,10] 1. Produksi likuor yang berlebihan. Kondisi ini merupakan penyebab paling jarang dari kasus hidrosefalus, hampir semua keadaan ini disebabkan oleh adanya tumor pleksus koroid (papiloma atau karsinoma), namun ada pula yang terjadi akibat dari hipervitaminosis vitamin A. 2. Gangguan aliran likuor yang merupakan awal kebanyakan kasus hidrosefalus. Kondisi ini merupakan akibat dari obstruksi atau tersumbatnya sirkulasi cairan serebrospinalis yang dapat terjadi di ventrikel maupun vili arakhnoid. Secara umum terdapat tiga penyebab terjadinya keadaan patologis ini, yaitu: a. Malformasi yang menyebabkan penyempitan saluran likuor, misalnya stenosis akuaduktus sylvii dan malformasi Arnold Chiari. b. Lesi massa yang menyebabkan kompresi intrnsik maupun ekstrinsik saluran likuor, misalnya tumor intraventrikel, tumor para ventrikel, kista arakhnoid, dan hematom. c. Proses inflamasi dan gangguan lainnya seperti mukopolisakaridosis, termasuk reaksi ependimal, fibrosis leptomeningeal, dan obliterasi vili arakhnoid. 3. Gangguan penyerapan cairan serebrospinal. Suatu kondisi seperti sindrom vena cava dan trombosis sinus dapat mempengaruhi penyerapan cairan serebrospinal. Kondisi jenis ini termasuk hidrosefalus tekanan normal atau pseudotumor serebri. Dari penjelasan di atas maka hidrosefalus dapat diklasifikasikan dalam beberapa sebutan diagnosis. Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi ventrikel, sedangkan hidrosefalus eksterna menunjukkan adanya pelebaran rongga subarakhnoid di atas permukaan korteks disertai dengan pelebaran ventrikel lateral. Hidrosefalus komunikans adalah keadaan di mana ada 38
hubungan antara sistem ventrikel dengan rongga subarakhnoid otak dan spinal, sedangkan hidrosefalus non-komunikans yaitu suatu keadaan dimana terdapat blok atau sumbatan dalam sistem ventrikel atau salurannya ke rongga subarakhnoid. Hidrosefalus obstruktif adalah jenis yang paling banyak ditemui dimana aliran likuor mengalami obstruksi.
[9,10]
1.3 Diagnosis Hidrosefalus pada neonatus atau bayi dapat ditegakkan melalui tanda dan gejala klinis. Ukuran lingkar kepala melewati persentik 97. Fontanel anteroir dan posterior teraba tegang ketika posisi pasien menengadah ke depan. Sutura teraba melebar, anak rewel, sulit minum, dan sering muntah. Seiring bertambah besarnya otak, anak akan semakin tampak lesu dan apatis, tidak tertarik kepada lingkungan di sekitarnya, dan tidak dapat beraktivitas dengan baik. Semakin lama akan tampak kelopak mata atas tertarik dan bola mata cenderung melihat ke bawah sehingga sklera di atas iris dapat tampak, dinamakan setting-sun sign. Jika dibiarkan, bayi akan membentuk postur tangan flexi, dan kaki terfleksi atau ekstensi. Masa awal, papil edem tidak tampak, tetapi selanjutnya optic disc akan menjadi pucat dan penglihatan berkurang. [3] Pada anak dengan hidrosefalus, akan tampak pembesaran ventrikel hanya pada anak dengan sutura yang telah menutup. [adams] Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar daripada bayi, gejala ini mencakup nyeri kepala, muntah, gangguan okulomotor, dan gejala gangguan batang otak (bradikardia, aritmia respirasi).[8,10] Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan USG dapat mendeteksi hidrosefalus pada periode prenatal, dapat pula digunakan untuk mengukur dan memonitor ukuran ventrikel, terutama digunakan pada anak prematur. CT Scan dapat digunakan untuk mengukur dilatasi ventrikel secara kasar dan menentukan sumber obstruksi. CT Scan dapat menilai baik secara fungsional maupun anatomikal namun tidak lebih baik daripada MRI, namun karena pemeriksaannya cukup lama maka pada bayi perlu dilakukan pembiusan. [8,11] 1.4 Tatalaksana Terapi sementara
39
Terapi konservatif medikamentosa berguna untuk mengurangi cairan dari pleksus khoroid (asetazolamid 100 mg/kg BB/hari; furosemid 0,1 mg/kg BB/hari) dan hanya bisa diberikan sementara saja atau tidak dalam jangka waktu yang lama karena berisiko menyebabkan gangguan metabolik. Terapi ini direkomendasikan bagi pasien hidrosefalus ringan bayi dan anak dan tidak dianjurkan untuk dilatasi ventrikular posthemoragik pada anak. [8,12] Pada pasien yang berpotensi mengalami hidrosefalus transisi dapat dilakukan pemasangan kateter ventrikular atau yang lebih dikenal dengan drainase likuor eksternal . Namun operasi shunt yang dilakukan pasca drainase ventrikel eksternal memiliki risiko tertinggi untuk terjadinya infeksi.15 Cara lain yang mirip dengan metode ini adalah dengan pungsi ventrikel yang dapat dilakukan berulang kali.[8,12] Operasi shunting
Sebagian besar pasien memerlukan tindakan ini untuk membuat saluran baru antara aliran likuor (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas drainase (seperti peritoneum, atrium kanan, dan pleura). Komplikasi operasi ini dibagi menjadi tiga yaitu infeksi, kegagalan mekanis, dan kegagalan fungsional. Tindakan ini menyebabkan infeksi sebanyak >11% pada anak setelahnya dalam waktu 24 bulan yang dapat merusak intelektual bahkan menyebabkan kematian.[8] C.
Peningkatan Tekanan Intrakranial
Pada orang dewasa rata-rata volume kepala 1450mL: 1300mL otak, 65 mL LCS and 110 mL darah. Nilai TIK normal bergantung usia. Pada orang dewasa dan anak remaja nilai normalnya 10-15 mm Hg dan pada anak-anak yang lebih muda 3-7 mm Hg. Pada bayi nilai normalnya 1.5-6 mm Hg. TIK 20-30 mm Hg dikatakan hipertensi intrakranial ringan, tetapi jika terdapat massa temporal herniasi dapat terjadi dengan TIK kurang dari 20 mm Hg. TIK di atas 20-25 mm Hg membutuhkan terapi dan TIK melebihi 40 mm Hg merupakan hipertensi intrakranial berat yang mengancam nyawa.[13] 1.1 Fisiologi Kranium yang intak, canalis vertebra bersaam dengan lapisan dura yang tidak elastik membentuk sebuah wadah yang rigid; sehingga ketika terjadi 40
peningkatan volume dari otak, darah, atau LCS akan meningkatkan TIK. Adanya penambahan dari salah satu komponen tersebut membuat yang lainnya harus dikorbankan, inilah yang disebut doktrin Monro-Kellie. Penambahan sedikit volume tidak langsung menyebabkan peningkatan TIK karena ada efek penyeimbangan LCS dari kavitas cranial ke canalis spinalis. Ketika volume lebih bertambah, deformasi otak dan peregangan dura mater yang seharusnya tidak dapat diregangkan khususnya di daerah falx cerebri yang berada di antara hemisfer dan tentorium yang berada di antara hemisfer dan cerebelum. Ketika jalur kompensasi sudah tidak dapat lagi mengkompensasi, sehingga dapat terjadi herniasi parenkim otak. Jika terus terjadi penambahan volume, darah di vena dan sinus akan dikurangi dan pembentukan LCS diperlambat. Ada dua faktor yang mempengaruhi TIK komplians dan elastan. Komplians menggambarkan potensi akomodasi dari rongga intrakranial. Elastan adalah nilai perubahan tekanan akibat adanya perubahan volume. Elastan menggambarkan resistensi terhadap adanya suatu massa intra kranial.[3] 1.2 Penyebab peningkatan TIK [13] Beberapa mekanisme penyebab peningkatan TIK: •
Massa di cerebral atau ekstraserebral seperti tumor otak; infark cerebral dengan edem; trauma kontusio; atau abses, semua yang dapat dilokalisasi dan membentuk jaringan otak di sekitarnya
•
Pembengkakan otak generalisata, terjadi saat iskemik -anoksi, gagal hepar akut, hipertensi ensefalopati, hipercarbia, dana sindrom Reye hepatocerebral. Gangguan ini menyebabkan peningkatan tekanan yang menurunkan perfusi cerebral, tetapi jaring hanya sedikit tergeser karena efek massanya terdistribusi merata ke seluruh konten kranial.
•
Peningkatan tekanan vena karena trombosis sinus venosus cerebral, gagal jantung, atau obstruksi mediastinal superior atau vena jugularis.
•
Obstruksi pada aliran dan absorpsi LCS. Jika obstruksi di ventrikel atau ruang sub araknoid di basis otak maka akan terbentuk hidrosefalus. Penyakit ekstensi meningeal dari berbagai penyebab (infeksi, karsinoma, granulomatosa, perdarahan) merupakan mekanisme yang dapat
41
menyumbat aliran LCS. Jika penyumbatan terbatas hanya di regio absortif yang berdekatan dengan konveksitas cerebral dan sinus sagitalis superior, ukuran ventrikel akan tetap normal atau sedikit membesar karena tekanan pada konveksitas mendekati tekanan di dalam ventrikel •
Proses apapaun yang menyebabkan ekspansi volume LCS (meningitis, subarachnoid hemorrhage) atau peningkatan produksi LCS (tumor plexus choroidalis).
1.3 Manifestasi klinis peningkatan TIK Manifestasi klinis peningkatan TIK pada anak-anak dan orang dewasa adalah sakit kepala, mual dan muntah, mengantuk, okular palsi, dan papiledem. Dilatasi papil terjadi ketika ada herniasi atau midline shift biasanya pada TIK 28 sampai 34 mm Hg. Ketika TIK melebihi 40-50 mm Hg maka dapat mengurangia aliran darah yang menyebabkan penurunan kesadaran dan iskemik global dan mati otak. Papiledem dapat menyebabkan penurunan pengelihatan periodik, jika ter jadi terus-menerus dapat mengakibatkan atrofi optik dan kebutaan. Peningkatan TIK pada anak-anak yang suturanya belum menutup, kepala akan tampak membesar dan mata menonjol keluar.[3]
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman R, Stanton B, Geme J, Schor N, Behrman R. Nelson textbook of pediatrics 19th Ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011 2. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009 3. Ropper AH, Samuels MA, Klien JP.Adams and Victor’s principles of neurology. 10th Ed. United State: Mc Graw Hill education: 2014 4. CDC. Viral meningitis. (update 2017 Jun 15; cited 2017 Aug 10). Available from: https://www.cdc.gov/meningitis/viral.html 5. Chin JH. Tuberculous meningitis. (updated 2014 Jun 4; cited 2017 Aug 10). Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4121465/ 6. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. 1st Ed. Jakarta:Ikatan Dokter Anak Indonesia.2008 7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2016 8. Satyanegara. Buku Ajar Bedah Saraf Edisi IV. Jakarta : PT. Gramedia Pusta ka Utama; 2010. P.267-89 9. Sahu S, Lata I, Srivastava V, Gupta D. Respiratory depression during VP shunting in Arnold Chiari malformation Type-II, a rare complication (Case reports and review of literature). J Pediatr Neurosci [internet]. 2009 Jan-Jun [cited 2017 Aug 10];4(1):44 – 46. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3162838 10. Rizvi R, Anjum Q. Hydrocephalus in children [internet]. Pakistan: Journal of Pakistan Medical Association; 2005 [cited 2017 Aug 10]. Available from: http://jpma.org.pk/full_article_text.php?article_id=956 11. Dincer A, Ozek MM. Radiologic evaluation of pediatric hydrocephalus. Childs nerv Syst [internet]. 2011 [cited 2017 Aug 9].27(10):1543-62. Available from: http://reference.medscape.com/medline/abstract/21928020
43