4
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
JURNAL KEUANGAN DAERAH
IMPLEMENTASI PROGRAM ALOKASI DANA DESA DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI DESA MURUONA
Source: Laporan Akhir Angkatan XX
AGUSTINUS BRAMANTIO G. P. LIWUN
OLEH: FELIKS BONEFASIO MAGUR
ABSTRACT
Decentralization is applied in Indonesian causes villages as bottom of government structure seen as pure autonomous region that have authority to manage their own house hold likely the province and regency. Muruona village, Ile Ape sub-district in Lembata Regency in East Nusa Tenggara Province. In managing his village, Muruona needs cost to fund all his affairs including government management and society serving. That is why, Indonesia government makes policy and program, one of them is Allocation of Village Funds. In implementation this program still finds many polemics that obstruct the program. Based on the reason, writer interested to make a research entitled "Village Fund Allocation Implementation of Governance in Muruona Village, Ile Ape Sub-district in Lembata Regency in East Nusa Tenggara Province." This research aims know the implementation of Allocation of Village Funds by Muruona village in village government management at that village.
The research design used in this research is explorative method by inductive approach. The data collecting technique that used by writer is documentation and interview.
The research chime with the relevant theory shows that the implementation of Allocation of Village Funds in Muruona village are enough good. In this implementation process, village government finds many obstacles. Muruona village government has done concrete efforts for resolving these obstacles.
Based on research, Muruona village suggested to do more to be better in implementation Allocation of Village Funds in order to create optimal governance and development.
LATAR BELAKANG
Secara administratif, desa merupakan satuan terkecil dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menerbitkan secara formal PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa sebagai dasar hukum untuk mengatur segala sesuatu yang penting dilakukan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Desa didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul, adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam menyelenggarakan pemerintahannya, desa diserahi berbagai hak, wewenang dan kewajiban tertentu untuk menentukan sikap dalam berbagai pengambilan keputusan, melakukan penetapan maupun pertanggung-jawaban (Suwignjo,1985:15).
Hak, wewenang dan kewajiban tersebut tumbuh dan berkembang sejak terbentuknya desa dan adat istiadat yang melingkupinya. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa hak, wewenang dan kewajiban ini telah diatur penggunaannya dalam peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia tadi, yakni PP Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa. Hak dan wewenang ini kemudian disebut sebagai hak menyelenggarakan rumah tangga sendiri atau yang dikenal dengan sebutan Otonomi Daerah. Demikian halnya dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh para pelaku dalam Pemerintahan Desa itu sendiri mencerminkan kesatuan semua desa yang ada di Indonesia sebagai bagian dari sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam menyelenggarakan otonomi-nya, desa mempunyai hak dan kewenangan lain sebagai akibat tugas-tugas yang dibebankan oleh pemerintah yang lebih tinggi, yaitu hak atas pelaksanaan tugas dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan di desa. Berbagai hak dan kewenangan ini menjadi segala sesuatu yang penting untuk dilakukan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya untuk mencapai kesejahteraan.
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang lebih lanjut diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa menandai bahwa Pemerintah Pusat kembali melakukan pendekatan kewilayahan (titik berat dan fokus pembangunan ada di tingkat desa) yang sebelumnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 berorientasi pada pendekatan administratif (titik berat dan fokus pembangunan ada di wilayah kabupaten), artinya secara tegas kedudukan, dan fungsi pemerintah desa diakui oleh pemerintah pusat dimana desa memiliki kewenangan melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan serta menyelenggarakan pembangunan dan oleh karena itu berhak untuk mendapatkan bagian dari dana yang diberikan pemerintah pusat kepada kabupaten. Maka sudah semestinya desa mendapatkan alokasi sumber daya yang memadai khususnya dalam hal pendanaan demi percepatan pembangunan dan kemajuan daerah.
Berkenaan dengan hal tersebut maka pemerintah pusat sejak diterapkannya otonomi daerah selalu mengucurkan dana dari pusat ke daerah yang dihimpun ke dalam Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah (APBD) yang dimaksudkan untuk mengimbangi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sering kita kenal dengan dana perimbangan, dimana dana perimbangan tersebut terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Untuk itulah dalam PP Nomor 72 Tahun 2005 tersebut juga telah mengatur sumber pembiayaan bagi desa dalam rangka memberikan pelayanan pada masyarakat Fakta menunjukan sebagian besar DAU yang dikelola daerah digunakan untuk belanja rutin dan pembiayaan operasional dari aparat penyelenggara pemerintahan daerah, terutama gaji pegawai Pemerintah Daerah. Hal tersebut menyebabkan kebanyakan daerah menjadi sangat bergantung kepada DAK sebagai sumber pendanaan dalam pembangunan sarana dan prasarana fisik kemasyarakatan. DAK dipakai untuk menutup kesenjangan pelayanan publik antardaerah dengan prioritas pada bidang kegiatan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kelautan dan perikanan, pertanian, prasarana pemerintah daerah, dan lingkungan hidup. Sedangkan untuk DBH tidak semua daerah mendapatkannya dikarenakan keterbatasan sumber daya maupun potensi yang dimiliki daerah.
Hal ini jelas membawa efek domino terhadap desa, yang mana merupakan wilayah terbawah dalam struktur pemerintahan kabupaten sehingga desa turut mengalami kesulitan dalam hal pendanaan. Sebagaimana diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 212 ayat (3) disebutkan bahwa sumber pendapatan desa terdiri atas: a) Pendapatan Asli Desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong-royong, dan lain-lain Pendapatan Asli Desa yang sah; b) Bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi kabupaten/kota sebagian bagi desa; c) Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa; d) Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan; e) Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
Untuk menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, maka ditetapkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa; selanjutnya dikeluarkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 140/640/SJ perihal Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa; kemudian dikeluarkan lagi Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/286/SJ perihal pelaksanaan Alokasi Dana Desa yang di dalamnya diatur bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, desa mempunyai hak untuk memperoleh bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten dan kota. Perolehan bagian keuangan desa dari kabupaten/kota selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa (ADD).
Dalam perjalanannya, program ini masih menemui berbagai anggapan terkait hambatan dalam implementasi dan aplikasinya di lapangan, seperti masih terbatasnya sumber-sumber pembiayaan dalam mendanai kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan desa, masih rendahnya sumber daya manusia yang dimiliki, penyaluran dana Alokasi Dana Desa dari kabupaten ke desa-desa cenderung terlambat, pengalokasian dana Alokasi Dana Desa dari kabupaten kepada desa-desa masih kurang dan belum memperhatikan aspek kebutuhan riil desa, kemampuan perangkat desa masih minim dalam hal pengelolaan keuangan desa, dana alokasi yang diterima desa lebih banyak digunakan untuk kegiatan operasional perangkat desa, dan berbagai permasalahan sejenis lainnya yang menyebabkan hasil dari pelaksanaan program ini tidak secara signifikan berhasil merealisasikan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa seperti yang diharapkan.
Didasarkan pada uraian di atas serta berbagai permasalahan yang ada, kajian tentang Implementasi Program Alokasi Dana Desa (ADD) dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dengan locus Desa Muruona Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur, menarik untuk ditelaah kembali. Adapun jurnal ini ditulis berdasarkan Laporan Akhir hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis tentang "IMPLEMENTASI PROGRAM ALOKASI DANA DESA DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI DESA MURUONA KECAMATAN ILE APE KABUPATEN LEMBATA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR" sebagai upaya untuk memberikan keterangan bahwa Laporan Akhir yang dibuat penulis telah memenuhi standar kualitas jurnal dan validitas ilmiah serta bermanfaat bagi para peneliti-peneliti dengan kajian yang sama di masa yang akan datang.
IDENTIFIKASI MASALAH
Upaya dalam merealisasikan pem-bangunan dan pemberdayaan masyarakat desa seperti yang diharapkan seperti yang telah dijelaskan dinilai tidak secara signifikan berhasil karena menemui berbagai permasalahan yang turut mempengaruhi pencapaian tujuan kesejahteraan masyarakat desa. Adapun berbagai permasalahan yang menjadi indikasi pemicu kurang berhasilnya pelaksanaan program Alokasi Dana Desa (ADD), yaitu: a) potensi yang dimiliki desa belum dikembangkan yang menyebabkan kondisi penerimaan desa masih minim dan lebih banyak bergantung dan mengandalkan dana dari kabupaten; b) proses penyaluran dana ADD dari kabupaten ke desa-desa cenderung terlambat; c) adanya anggapan bahwa pengalokasian dana ADD dari kabupaten kepada desa-desa masih kurang dan belum memperhatikan aspek kebutuhan riil desa; d) adanya anggapan bahwa kemampuan perangkat desa masih minim dalam hal pengelolaan keuangan desa; e) masih adanya anggapan bahwa dana alokasi yang diterima desa lebih banyak digunakan untuk kegiatan operasional perangkat desa. Permasalahan-permasalahan di atas merupakan indikasi tentang rendahnya optimalisasi pelaksanaan program ADD yang selama ini diselenggara-kan oleh pemerintah desa.
PEMBATASAN MASALAH
Mengingat bahwa permasalahan mengenai Alokasi Dana Desa di Kabupaten Lembata cukup beragam maka untuk mempersempit ruang lingkup masalah, perlu danya pembatasan masalah tentang implementasi program Alokasi Dana Desa terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa di Kabupaten Lembata. Magang ini dibatasi pada kajian untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana Implementasi Alokasi Dana Desa oleh pemerintah Desa Muruona dalam penyelenggaraan pemerintahan pada desa tersebut.
RUMUSAN MASALAH
Sehubungan dengan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya oleh penulis dan pengidentifikasian masalah yang telah dibuat, maka penulis membuat beberapa rumusan masalah yang menjadi pembahasan utama dalam penelitian ini, dengan lingkup yang lebih khusus dan spesifik. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
Bagaimana implementasi Program Alokasi Dana Desa (ADD) dalam penyelenggaraan pemerintahan di Desa Muruona?
Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh pemerintah Desa Muruona dalam implementasi Program Alokasi Dana Desa di Desa Muruona?
Upaya-upaya apa yang dilakukan pemerintah Desa Muruona untuk mengatasi kendala-kendala dalam Implementasi Alokasi Dana Desa di Desa Muruona?
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari magang ini dapat dirinci sebagai berikut:
a. untuk mengetahui dan menganalisis kegiatan apa saja yang sudah dijalankan pemerintah Desa Muruona dalam pelaksanaan dan pengelolaan Alokasi Dana Desa;
b. untuk mengetahui dan menganalisis kendala-kendala apa saja yang dialami oleh pemerintah Desa Muruona dalam merealisasikan dana alokasi desa untuk pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan desa;
c. untuk mengetahui dan menganalisis upaya-upaya apa yang dilakukan pemerintah Desa Muruona untuk mengatasi kendala-kendala dalam merealisasikan dana alokasi desa untuk pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan desa.
MANFAAT PENELITIAN
Kegunaan Praktis untuk Lokasi Penelitian
Hasil dari kegiatan magang ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, masukan, dan informasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata dalam pengelolaan Alokasi Dana Desa dan mengevaluasi realisasi dari program tersebut.
Kegunaan Praktis untuk Lembaga
Hasil dari kegiatan magang ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi IPDN dalam kajian-kajian sejenis selanjutnya.
METODE PENELITIAN
Pelaksanaan kegiatan penelitian magang ini membutuhkan metode yang jelas, agar pelaksanaannya terarah dan tepat sasaran. Penelitian merupakan proses untuk mencari sesuatu secara sistematis dalam waktu tertentu dengan menggunakan metode ilmiah.
Penelitian menurut Soehartono (2011:2) merupakan, "Upaya untuk menambah dan memperluas pengetahuan, yang selain untuk menghasilkan pengetahuan yang baru sama sekali yaitu yang sebelumnya belum ada atau belum dikenal, juga termasuk pengumpulan keterangan baru yang bersifat memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau bahkan juga yang menyangkal teori-teori yang sudah ada."
Menurut Sugiyono (2013:3), "Metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu". Tujuan diadakannya penelitian menurut Hussey dan Hussey dalam Silalahi (2012:3) adalah sebagai berikut:
1. Meninjau ulang dan mensintesiskan pengetahuan yang ada;
2. Menyelidiki beberapa masalah atau situasi yang ada;
3. Menyediakan solusi bagi suatu masalah;
4. Menyelidiki atau menggali dan menganalisis beberapa isu umum;
5. Membangun atau menciptakan suatu prosedur atau sisitem baru;
6. Menjelaskan satu fenomena baru;
7. Menghasilkan pengetahuan baru;
8. Suatu kombinasi dari hal-hal diatas.
Berdasarkan Peraturan Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri Nomor 02 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penulisan dan Mekanisme Ujian Laporan Akhir Serta Skripsi Institut Pemerintahan Dalam Negeri Tahun Akademik 2012/2013, "Metode pengumpulan data kegiatan magang menggunakan pendekatan metode eksploratif dengan pendekatan induktif."
Penelitian Eksploratif bertujuan untuk mencari hubungan-hubungan baru yang terdapat pada suatu permasalahan yang luas dan kompleks. Penelitian ini bertujuan pula untuk mengumpulkan data sebanyak- banyaknya (Mardalis 2010:25).
Selanjutnya, Martono (2010:15) mengemuka-kan, "Penelitian eksploratif ini juga dapat dikatakan sebagai penelitian pendahuluan dikarenakan penelitian ini mencoba menggali informasi atau permasalahan yang relatif baru."
Adapun Mantra (2008:39) menyebutkan "penelitian eksploratif bertujuan untuk mengungkapkan hal-hal yang baru muncul dimasyarakat. Penelitian penjajakan (eksploratif) ini bersifat terbuka, masih mencari-cari, dan segala metode penelitian digunakan untuk dapat mengungkap peristiwa itu secara keseluruhan."
Berdasarkan pengertian para ahli tersebut di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa penelitian eksploratif adalah suatu metode penelitian yang berusaha menjelajah keadaan di lapangan guna memberikan sedikit penjelasan dan gambaran mengenai konsep peneliti dalam melaksanakan penelitian. Karena bersifat terbuka semua sumber dianggap penting dalam penelitian ini.
Sehubungan dengan itu, di dalam penelitian ini penulis berusaha mempelajari dan menggambarkan tentang implementasi Alokasi Dana Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan di Desa Muruona, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Mengenai pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan induktif. Moleong (2013:10) menjelaskan penelitian dengan menggunakan pendekatan induktif dilakukan karena beberapa alasan.
1. Proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan jamak sebagai yang terdapat dalam data;
2. Analisis induktif lebih dapat membuat peneliti-responden menjadi eksplisit, dapat dikenal, dan akuntabel;
3. Analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat-tidaknya pengalihan pada suatu latar lainnya;
4. Analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan;
5. Analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik.
Kaitannya dengan metode yang telah dijelaskan diatas dikenal adanya teknik pengumpulan data yang merupakan langkah penting dalam proses penelitian karena dengan data inilah suatu persoalan penelitian bisa dijawab. Menurut Jujun S.Suriasumantri dalam Mardalis (2010:21) Mengatakan bahwa "cara berpikir induktif berpijak pada fakta- fakta yang bersifat khusus, kemudian diteliti dan akhirnya ditemui pemecahan persoalan yang bersifat umum." Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa pengumpulan data adalah suatu langkah untuk mendapatkan data-data yang ada dilapangan yang berkaitan dengan objek penelitian yang akan berguna untuk menjawab masalah dari penelitian tersebut. Pengumpulan data dilakukan dengan cara peneliti terjun atau turun langsung ke tempat dimana lokasi penelitian diadakan, maksudnya adalah memperoleh data dan fakta yang terbaru dan akurat yang berkaitan dengan materi yang akan diteliti. Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Wawancara
Wawancara menurut Narbuko (2010:83) adalah "proses tanya-jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan".
Metode wawancara digunakan oleh penulis dengan mendatangi dan mengadakan komunikasi langsung atau tatap muka dengan beberapa responden yang dianggap perlu untuk mendapatkan data, informasi, keterangan, pandangan maupun pendapat responden agar diperoleh kebenaran yang valid dan relevan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian yang sedang dilakukan. Sebelum melakukan kegiatan wawancara harus dibekali dengan pedoman wawancara agar proses wawancara tersebut berjalan terarah. Dalam penelitian ini data dikumpulkan dari hasil wawancara dengan informasi yang berasal dari :
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) 1 (satu) orang;
Kepala Bidang Pemerintahan Desa BPMD 1 (satu) orang;
Kepala Desa Muruona 1 (satu) orang;
Sekretaris Desa Muruona 1 (satu) orang;
Bendahara Desa Muruona 1 (satu) orang;
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) Muruona 1 (satu) orang;
Ketua Badan Permusyawaratan Desa 1 (satu) orang;
Kepala Urusan Pemerintahan Desa Muruona 1 (satu) orang;
Kepala Urusan Keuangan Desa Muruona 1 (satu) orang;
Ketua PKK Desa Muruona 1 (satu) orang;
Kepala Dusun 01 Desa Muruona 1 (satu) orang;
Camat Ile Ape (sebagai Ketua Tim Pengendali Tingkat Kecamatan) 1 (satu) orang;
Kasubbag Perencanaan Program Kecamatan Ile Ape 1 (satu) orang;
2. Dokumentasi
Arikunto (2010:274) menyatakan bahwa dokumentasi adalah "metode yang dilaksanakan oleh penelitian untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya."
Dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi melalui pencatatan data yang dirasa diperlukan dari sumber-sumber tertulis, baik berupa laporan maupun monografi atau dokumen-dokumen dalam membantu menyempurnakan data-data yang diperoleh. Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan mengambil data-data dari dokumentasi yang ada di Desa Muruona, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan di Badan Pembangunan Masyarakat Desa Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
TEKNIK ANALISIS DATA
Setelah data terkumpul, selanjutnya diperlukan pengolahan atau dianalisis agar dapat diberi arti dan makna yanga nantinya akan berguna untuk memecahkan masalah penelitian.
Mantra (2008:123) menyebutkan bahwa :
sebelum diolah data yang terkumpul perlu diseleksi terlebih dahulu atas dasar rebeliabilitasnya. Data yang rendah rebeliabilitasnya digugurkan atau dilengkapi dengan substitusi. Data yang telah lulus dalam seleksi lalu diolah atau dianalisis sehingga merupakan suatu informasi yang siap untuk dievaluasi dan diinterpretasi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data dalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Dalam menganalisis data, penulis melakukan lagkah-langkah sebagai berikut :
1. Reduksi Data
Data yang diperoleh di lapangan ditulis dalam bentuk uraian dan laporan yang terperinci. Laporan tersebut direduksi, dirangkum, diseleksi dan difokuskan pada hal-hal penting kemudian dicari tem dan polanya.
2. Display data
Untuk menghindari kesulitan dalam melihat gambaran pada data yang bertumpuk, maka bagian-bagian tertentu dari penelitian ini diusahakan dalam bentuk tabel, bagan atau grafik.
3. Penarikan kesimpulan
Kesimpulan diverifikasi dangan cara melihat kembali pada hasil reduksi data dan display data sehingga kesimpulan yang diambil tidak menyimpang dari hasil penelitian.
TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Lokasi magang yang menjadi tempat penulis melaksanakan penelitian adalah pada Desa Muruona, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sedangkan untuk waktu pelaksanaan magang dilakukan dari tanggal 23 April 20013 sampai dengan 23 Mei 2013. Adapun rincian pelaksanaan kegiatan penelitian dapat dilihat pada tabel Jadwal Kegiatan Penyusunan Laporan Akhir Wasana Praja Institut Pemerintah Dalam Negeri Tahun Akademik 2012-2013.
KAJIAN TEORI
Adapun kajian teori ini berisi tentang definisi-definisi mendasar sebagai landasan dalam memahami maksud penulis melakukan implementasi program Alokasi Dana Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan pada locus penelitian terkait. Kajian teori ini sendiri digunakan sebagai kerangka berfikir untuk menjelaskan fenomena-fenomena sosial yang akan diteliti. Sugiyono (2012:52) mengungkapkan bahwa : "Kajian Teori adalah teori-teori yang relevan yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang variabel yang diteliti, serta sebagai dasar untuk memberikan jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang diajukan (hipotesis)." Menurut Cooper dan schindler dalam Sugiyono (2012:52) "teori adalah seperangkat konsep, definisi, dan proporsi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena."
IMPLEMENTASI DAN KEBIJAKAN
Ripley dan Franklin dalam Winarno (2012:148) berpendapat bahwa: Implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan ototritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah. Impelementasi mencakup tindakan-tindakan (tanpa tindakan-tindakan) oleh berbagai aktor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan.
Berkaitan dengan uraian implementasi di atas, pemerintah desa pun menentukan berbagai kebijakan untuk kepentingan masyarakat desa. Implementasi kebijakan menjadi "jembatan" karena melalui tahapan ini dilakukan delivery mechanism, yaitu ketika berbagai policy output yang dikonversi dari policy input disampaikan kepada kelompok sasaran sebagai upaya nyata untuk mencapai tujuan kebijakan. Hal senada dikatakan oleh Grindle dalam Purwanto dan Sulistyastuti (2012:66) yang menyebut bahwa "it involves, therefore, the cration of"policy delivery system", in which specific means are designed and pursued in the expectation of arriving at particular ends."
Pada dasarnya Kebijakan Program Alokasi Dana Desa ini, merupakan salah satu dari berbagai macam program yang ada di Kabupaten Lembata. Untuk itulah peneliti menggunakan teori-teori implementasi kebijakan sebagai kerangka pikir dalam memahami makna dari variabel-variabel pendukung kebijakan tersebut, sehingga peneliti dapat memahami makna dari setiap variabel yang dimaksud.
KONSEP ALOKASI DANA DESA
Dikaitkan dengan program Alokasi Dana Desa, Sadu Wasistiono (2007:110) menyatakan bahwa "Konsep tentang dana perimbangan desa sendiri bukan merupakan suatu gagasan ekonomi (semata), melainkan suatu gagasan untuk memberikan dukungan bagi perkembangan proses politik dan proses reform desa". Lukas dalam Winarno dalam kajian tentang rencana penetapan Alokasi Dana Desa (2006:30) menjelaskan bahwa:
Alokasi Dana Desa merupakan hak desa yang diberikan dan diselenggarakan berdasar asas:
1. Pancasila, sebagai landasan konstitusional penyelenggaraan negara;
2. pemerataan dan keadilan, biaya penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat dirasakan secara merata dan adil hingga tingkat pemerintahan desa;
3. kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan hingga tingkat desa dapat memberi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat;
4. keistimewaan desa, biaya bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa berdasar atas penghormatan terhadap otonomi asli, hak asal usul, adat istiadat dan kearifan tradisional desa.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan besaran Alokasi Dana Desa menurut Sadu Wasistiono (2007:112) antara lain:
1. rumusan ADD dipergunakan untuk menghitung besarnya Alokasi Dana Desa untuk setiap desa;
2. hal yang sangat penting dalam menghitung besarnya Alokasi Dana Desa adalah tersedianya data sebagai prasyarat utama perhitungan;
3. rumusan yang dipergunakan berdasarkan asas merata dan adil.
a. Asas merata adalah besarnya bagian Alokasi Dana Desa yang sama untuk setiap desa yang selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa Minimal ( ADDM ).
b. Asas adil adalah besarnya bagian ADD yang dibagi secara proporsional untuk setiap desa berdasarkan nilai bobot desa (BDx) yang dihitung dengan rumusan dan variabel tertentu (misalnya: variabel kemiskinan, variabel keterjangkauan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain) selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP);
4. Besarnya presentase perbandingan antara asas merata dan adil ditetapkan oleh daerah, misal besaran AADM adalah 60% dari jumlah ADD dan besarnya ADDP dalah 40% dari jumlah ADD.
Dalam PP Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa telah dijelaskan mengenai sumber pembiayaan bagi Desa dalam rangka memberikan pelayanan pada masyarakat antara lain dari sumber – sumber Pendapatan Asli Desa, adanya kewajiban bagi Pemerintah dari pusat sampai dengan Kabupaten/Kota untuk memberikan transfer dana bagi Desa, hibah ataupun donasi. Salah satu bentuk transfer dana dari pemerintah adalah Alokasi Dana Desa (ADD) yang telah ditetapkan sebesar 10% dari dana perimbangan pemerintahan pusat dan daerah yang diterima masing-masing Pemerintah Kabupaten/Kota. Ketentuan formal yang mengatur ADD secara lebih jelas sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah tersebut terdapat dalam Permendagri Nomor 37 Tahun 2007, bab IX. Dalam Permendagri tersebut telah cukup dijelaskan mulai tujuan ADD, tata cara penghitungan besaran anggaran per Desa, mekanisme penyaluran, penggunaan dana sampai dengan pertanggung-jawabannya.
Secara garis besar terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan ADD, yaitu :
Terdapat 8 tujuan ADD yang bila disimpulkan secara umum, ADD bertujuan untuk meningkatan aspek pembangunan baik prasarana fisik maupun nonfisik dalam rangka mendorong tingkat partisipasi masyarakat untuk pemberdayaan dan perbaikan taraf hidupnya.
Azas dan prinsip pengelolaan ADD yaitu transparan, akuntabel, dan partisipatif. Hal ini berarti ADD harus dikelola dengan mengedepankan keterbukaan, dilaksanakan secara bertanggungjawab, dan juga harus melibatkan peran serta aktif segenap masyarakat setempat.
ADD merupakan bagian yang integral (satu kesatuan/tidak terpisahkan) dari APBDes mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pelaporannya.
Penggunaan ADD ditetapkan sebesar 30% untuk belanja aparatur dan operasional Desa dan sebesar 70% untuk belanja pemberdayaan masyarakat.
Meskipun pertangungjawaban ADD integral dengan APBDes, namun tetap diperlukan pelaporan atas kegiatan- kegiatan yang dibiayai dari anggaran ADD secara berkala (bulanan) dan laporan hasil akhir penggunaan ADD. Laporan ini terpisah dari pertanggungjawaban APBDes,hal ini sebagai bentuk pengendalian dan monitoring serta bahan evaluasi bagi Pemda.
Untuk pembinaan dan pengawasan pengelolaan ADD, dibentuk Tim Fasilitasi Kabupaten/Kota dan Tim Pendamping Kecamatan dengan kewajiban sesuai tingkatan dan wewenangnya. Pembiayaan untuk Tim dimaksud dianggarkan dalam APBD di luar anggaran ADD.
PEMERINTAHAN DESA
Pemerintahan desa berarti terdiri dari Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan desa, hal ini telah di atur dalam pasal 200 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa, "Dalam Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dibentuk Pemerintahan Desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa".
Selanjutnya dalam pasal 202 pada ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa:
1. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa;
2. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan perangkat desa lainnya.
Penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai pasal 202 ayat (2) adalah "Yang dimaksud dengan "Perangkat Desa Lainnya" dalam ketentuan ini adalah perangkat pembantu Kepala Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa, pelaksana teknis lapangan seperti Kepala Urusan, dan unsur kewilayahan seperti Kepala Dusun atau dengan sebutan lain".
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa menyatakan bahwa "Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan BPD dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalm sistem NKRI".
Kemudian pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 pasal 12 disebutkan tentang Pemerintahan Desa sebagai berikut :
1. Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 terdiri dari Kepala Desa dan perangkat desa.
2. Perangkat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Sekretaris Desa dan perangkat desa lainnya.
3. Perangkat desa lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri atas :
a. Sekretaris Desa;
b. Pelaksana teknis lapangan;
c. Unsur kewilayahan.
4. Jumlah perangkat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
5. Susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan dengan peraturan desa.
Menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dalam pasal 206 disebutkan bahwa yang menjadi kewenangan Pemerintah Desa adalah:
1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa.
2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa.
3. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
ALOKASI DANA DESA
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Alokasi Dana Desa terdapat pada:
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 212 ayat (3) mengenai Keuangan desa.
Sumber pendapatan desa terdiri atas :
a. Pendapatan asli desa;
b. Bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota;
c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota;
d. Bantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota;
e. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.
Pada pasal 212 ayat (5) dan (6) juga menjelaskan tentang pedoman pengelolaan keuangan desa secara umum. Pasal Pasal 212 ayat (5) berbunyi "Pengelolaan keuangan desa dilakukan oleh Kepala Desa yang dituangkan dalam Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan Belanja Desa". Pasal 212 ayat (6) berbunyi "Pedoman pengelolaan keuangan desa ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan".
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, pada Bab I Ketentuan umum pasal (1) ayat (11) disebutkan bahwa "Alokasi Dana Desa adalah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota untuk desa, yang bersumber dari bagian dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota".
Jadi Alokasi Dana Desa berasal dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang telah dikurangi belanja pegawai pada suatu Pemerintah Kabupaten yang kemudian dibagi secara proporsional pada seluruh desa disuatu kabupaten dalam rangka menunjang pembangunan dan penyelengaraan pemerintahan di desa.
Pasal 68 ayat (1) mengenai Sumber Pendapatan. Sumber pendapatan desa terdiri atas:
a. Pendapatan Asli Desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah;
b. Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa;
c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk desa paling sedikit 10 % (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa;
d. Bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan;
e. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 yang dirubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa.
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/640/SJ Tanggal 22 Maret Tahun 2005 perihal Pedoman Pelaksanaan Alokasi Dana Desa.
Lebih jauh, peraturan mengenai Alokasi Dana Desa didasari oleh Peraturan Bupati Lembata Nomor 10 Tahun 2009 tanggal 31 Januari 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD) di Kabupaten Lembata, bahwa agar terjadi sinergitas dan keselarasan program di desa dengan kabupaten, maka penentuan prioritas kegiatan pada program penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat tetap menjadi kewenangan desa dengan tetap memperhatikan arahan Bupati dalam petunjuk teknis pelaksanaan Alokasi Dana Desa setiap tahun.
Peraturan Desa Muruona Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata Nomor 02 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Peraturan Desa Muruona Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata Nomor 02 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Peraturan Desa Muruona Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata Nomor 02 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
GAMBARAN UMUM DESA MARUONA
Desa Muruona merupakan salah satu desa di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata. Desa Muruona memliki wilayah seluas 720 ha atau 7,20 Km2 yang keseluruhan berupa dataran rendah dengan ketinggian 85 m dari permukaan laut dimana 124,5 ha telah dimanfaatkan antara lain wilayah pemukiman 15 ha, pertanian 100 ha, peternakan 5 ha, pekuburan 0,50 ha, dan tanah desa 4 ha.
Secara administratif Desa Muruona memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Gunung Ile Ape
Sebelah Selatan: Kelurahan Lewoleba Timur (Lamahora)
Sebelah Timur : Desa Watodiri
Sebelah Barat : Desa Laranwutun
Dari data jumlah penduduk Desa Muruona menunjukan bahwa berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki 317 jiwa, perempuan 329 jiwa sehingga jumlah keselurahan 646 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 147 Kepala Keluarga, data diperoleh pada tahun 2012. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kepadatan penduduk Desa Muruona terbilang jarang yakni 89,72 jiwa/Km2.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Muruona dapat dilihat dari mata pencaharian masyarakat serta jumlah angkatan kerja. Mata pencaharian masyarakat Desa Muruona tidak terlalu beranekaragam, sebagian besar masih bekerja pada sektor pertanian dan peternakan sedangkan sisanya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil maupun pensiunan Pegawai Negeri Sipil. Namun, apabila berbicara mengenai mayoritas, penduduk Desa Muruona sebagian besar masih mengandalkan sektor pertanian dan peternakan sebagai mata pencaharian hidup. Dari hasil kajian, terlihat bahwa penduduk Desa Muruona yang memiliki pekerjaan adalah sebanyak 400 jiwa. Hal ini dikarenakan masih banyak penduduk desa yang merupakan balita, anak-anak dan remaja usia sekolah, siswa perguruan tinggi, baik yang menempuh pendidikan dalam lingkup Kabupaten maupun yang menempuh pendidikan di luar wilayah Kabupaten Lembata serta lansia.
Dari sektor pendidikan (sosial-budaya), baik kondisi fisik maupun nonfisik, pendidikan di Desa Muruona masih kurang memadai, seperti tidak adanya SLTP dan juga hanya sedikit penduduk yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi yakni D1 sampai D3 berjumlah 10 orang dan D4/S1 hanya 6 orang. Kurangnya sarana dan prasarana pendidikan ini juga disebabkan kurangnya populasi penduduk Desa Muruona sehingga untuk pembangunan SLTP dirasa tidak terlalu mendesak karena kebanyakan penduduk usia SLTP dapat bersekolah di desa tetangga yang tidak jauh jarak tempuhnya dari Desa Muruona, namun kalau dibandingkan dengan desa-desa lain di Kecamatan Ile Ape Desa Muruona termasuk desa yang sarana pendidikannya cukup memadai sebab banyak penduduk usia sekolah dari desa sekitar yang bersekolah pada sekolah-sekolah yang terdapat di Desa Muruona. Untuk permasalahan masih minimnya penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi disebabkan oleh kondisi ekonomi penduduk desa yang belum mampu untuk menyekolahkan anak mereka hingga perguruan tinggi.
Dari sektor kesehatan (sosial-budaya), kesehatan masyarakat Desa Muruona dapat dikatakan cukup baik, hal tersebut terlihat dari minimnya jumlah penduduk yang menderita penyakit berat maupun kondisi gizi buruk, namun hal tersebut berbanding terbalik untuk hal sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia di Desa Muruona sehingga penduduk yang membutuhkan pengobatan yang tidak dapat diperoleh di Desa Muruona harus pergi ke desa sebelah atau ke ibukota kabupaten. Begitu pun dengan sarana fisik di Desa Muruona masih kurang dari memadai dimana belum tersedianya polindes/puskesmas sebagai sarana penunjang bidan desa agar dapat memberikan pelayanan kesehatan.
GAMBARAN UMUM PEMERINTAHAN DESA MARUONA
Pemerintah Desa adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa. Kepala Desa adalah kepala pemerintahan yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa. Jumlah unsur perangkat desa disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan adat istiadat desa masing-masing.
Penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai pasal 202 ayat (2) adalah "Yang dimaksud dengan "Perangkat Desa Lainnya" dalam ketentuan ini adalah perangkat pembantu Kepala Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa, pelaksana teknis lapangan seperti Kepala Urusan, dan unsur kewilayahan seperti Kepala Dusun atau dengan sebutan lain".
Pemerintah Kabupaten Lembata mengeluarkan berbagai peraturan mengenai desa. Salah satunya adalah Peraturan Daerah Kabupaten Lembata nomor 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.
Berdasarkan kajian penulis, dilihat dari fasilitas penunjang kegiatan-kegiatan penyelenggaraan pemerintahan Desa Maruona, kondisi sarana dan prasarana penunjang penyelenggaraan pemerintahan di Desa Muruona masih sangat kurang. Dari hasil pengamatan penulis di lapangan diketahui bahwa Desa Muruona belum memiliki kantor desa dan selama ini menggunakan gedung balai desa sebagai tempat penyelenggaraan pemerintahan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Akibatnya kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat belum dapat terlaksana secara optimal. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh aparat pemerintah Desa Muruona diketahui bahwa sebenarnya pembangunan gedung kantor desa telah direncanakan dan ditetapkan dalam APBDes tahun sebelumnya, tetapi realisasinya masih menemui hambatan dan kendala dikarenakan tanah/lokasi dimana gedung tersebut mau dibangun merupakan tanah sengketa, namun tahun ini pembangunan gedung tersebut akan segera terealisasi sebab telah ada putusan pengadilan yang sah bahwa lokasi tersebut merupakan aset Desa Muruona sehingga dapat segera dibangun kantor desa dan berbagai kelengkapan serta peralatan penunjang penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat demi terciptanya pelayanan yang optimal dari pemerintah Desa Muruona.
GAMBARAN UMUM KEUANGAN DESA MARUONA
Dalam perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), Pemerintah Desa Muruona menganut prinsip sederhana, efektif, efisien dan keberdayagunaan. Anggraran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) adalah dokumen yang memuat pendapatan (penerimaan) serta pengeluaran (belanja) pemerintah desa dalam jangka waktu tertentu.
Berdasarkan Peraturan Desa Muruona tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Muruona Tahun Anggaran 2012, rincian pendapatan dan belanja Desa Muruona secara keseluruhan pada tahun anggaran 2012 yaitu sebesar Rp.183.763.879,11 pada pos penerimaan dan sebesar Rp.209.642.000,00 yang digunakan untuk belanja langsung dan belanja tidak langsung. Hal tersebut jelas menunjukan bahwa keadaan keuangan Desa Muruona pada tahun 2012 adalah defisit. Fenomena ini dikarenakan masih adanya sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya yakni sebesar Rp.25.879.028,68 sehingga bila ditambahkan ke dalam pendapatan desa maka Kondisi Keuangan Desa Muruona menjadi seimbang, hal ini memang terjadi setiap tahunnya dimana penyusunan APBDes selalu memperhitungkan dengan SILPA tahun anggaran sebelumnya.
Pendapatan Asli Desa (PADes) Muruona yang berasal dari sektor-sektor potensial di desa masih sangat minim dan masih sangat bergantung kepada Dana Perimbangan (Alokasi Dana Desa) dan dari Bantuan Keuangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten.
IMPLEMENTASI ALOKASI DANA DESA (ADD)
Alokasi Dana Desa merupakan salah satu sumber pendanaan Desa Muruona dalam upaya membiayai kegiatan-kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat serta pembangunan, namun dalam implementasinya Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa Muruona masih menemui berbagai permasalahan dan hambatan. Adapun berbagai permasalahan dan hambatan tersebut seperti :
Komunikasi Antar Aparat Pengelola Implementasi Alokasi Dana Desa di Desa Muruona dapat berjalan dengan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan dari kebijakan tersebut dipahami oleh individu-individu yang bertanggung jawab dalam pencapaian tujuan kebijakan, yakni bahwa alokasi dana desa tersebut dibutuhkan oleh masyarakat Desa Muruona dalam membangun desanya agar lebih baik lagi. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis serta berdasarkan keterangan yang di dapat dari aparat Desa Muruona dan berbagai pihak terkait dapat dikatakan bahwa komunikasi antara pihak-pihak yang berwenang menangani Alokasi Dana Desa belum berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan keterangan dari pihak Desa Muruona yang mengatakan seringnya terjadi keterlambatan pencairan dana oleh pihak Kabupaten Lembata serta proses pengurusannya yang berbelit-belit dan memakan waktu lama. Begitupun sebaliknya dengan keterangan yang diberikan oleh pihak kabupaten yang mengatakan seringnya terjadi keterlambatan penyerahan laporan keterangan pertanggungjawaban dari pihak pemerintah Desa Muruona baik laporan triwulan maupun tahunan. Demikian pula dengan keterangan dari pihak kecamatan yang mengatakan bahwa permasalahan mengenai Alokasi Dana Desa terletak pada pihak Kabupaten dan Desa Muruona sendiri serta tidak mau disebut bahwa pihak kecamatan turut memiliki andil dalam permasalahan ADD yang ada. Dari penjelasan tersebut maka dapat kita pahami bahwa komunikasi yang terjalin antara berbagai pihak yang berwenang mengurusi ADD tidak berjalan dengan baik.
Sumber Daya Dalam Mengelola ADD
Dari hasil pengamatan yang dilakukan penulis dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya permasalahan dalam implementasi ADD di Desa Muruona adalah sumber daya yang tersedia masih kurang mencukupi, baik itu staf pelaksana, keahlian, serta berbagai fasilitas pendukung lainnya seperti jabatan Sekretaris Desa Muruona yang masih diisi oleh pelaksana harian bukan PNS dan hanya tamatan SMA sehingga kinerja serta profesionalitasnya masih belum optimal, kemudian belum adanya Kantor Desa Muruona, serta belum terkelolanya potensi Desa Muruona dengan baik yang menyebabkan masih sangat bergantungnya Desa Muruona terhadap dana dari kabupaten turut menjadi penghambat terlaksananya implementasi Alokasi Dana Desa di Desa Muruona.
PENUTUP
Dari hasil kajian yang telah dibuat penulis, maka dapat disimpulkan beberapa hal terkait dengan implementasi program ADD ini dalam penyelenggaraan pemerintahan di Desa Maruona, sebagai berikut:
Alokasi Dana Desa di Desa Maruona
Mengelola Alokasi Dana Desa sama artinya mengelola APBDes karena Alokasi Dana Desa menjadi bagian yang menyatu dalam APBDes bersama PADes. Dalam implementasinya, Alokasi Dana Desa harus dijalankan melalui musyawarah desa, mulai dari menggali kebutuhan, merencanakan kegiatan, pelaksanaan, pengawasan, hingga evaluasi dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun pelaksanaan ADD ini harus diatur sebaik mungkin agar terciptanya efektivitas dan efisiensi pengguanaannya mulai dari tahap pencairan dana sampai pada penggunaannya.
Implementasi Alokasi Dana Desa di Desa Maruona
Implementasi pengelolaan ADD di Desa Maruona perlu menggunakan manajemen pengelolaan keuangan desa yang baik dan teratur agar segala indikator yang menjadi tujuan implementasi berjalan dengan baik, mulai dari tahap persiapan, seperti sosialisasi dan pembentukan tim pelaksana; tahap perencanaan seperti pelaksanaan musyawarah penggunaan ADD dan penyaluran dan pencairan dana; tahap pelaksanaan, seperti penggunaan ADD yang sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya Kegiatan dan pemanfaatan yang sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Penggunaan Alokasi Dana Desa Kabupaten Lembata; sampai pada tahap evaluasi.
Hambatan yang Dihadapi dalam Implementasi Program Alokasi Dana Desa di Desa Muruona
Hambatan internal dalam proses implementasi Alokasi Dana Desa di Desa Muruona antara lain:
Tidak adanya inovasi terutama dari Tim Pelaksana tentang aspek-aspek dan jenis-jenis kegiatan pemberdayaan masyarakat menjadi salah satu hambatan dalam pelaksanaan program Alokasi Dana Desa. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan terutama dari Tim Pelaksana. Kekurangan tersebut terlihat dari jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam program Alokasi Dana Desa yang sama seperti pada tahun-tahun sebelumnya dan masih adanya kegiatan yang kurang dibutuhkan oleh masyarakat namun justru mendapat skala prioritas tinggi untuk dilaksanakan.
Kurangnya inisiatif dari Pemerintah Desa untuk mendorong terhimpunnya dana swadaya dan gotong royong masyarakat untuk memfasilitasi kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh lembaga kemasyarakatan. Padahal hal tersebut merupakan salah satu tujuan dilaksanakannya program Alokasi Dana Desa oleh Pemerintah, yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten Lembata dengan Peraturan Bupati Lembata Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan Alokasi Dana Desa di Kabupaten Lembata. Hal ini tampak dari tidak adanya kegiatan yang dilaksanakan dengan dana swadaya untuk mengisi kekosongan saat ada keterlambatan pelaksanaan tahap persiapan dan pencairan dana.
Kurangnya kreativitas dari pihak LPMD selaku Staf Pelaksana Kegiatan dalam memberi masukan terhadap perencanaan kegiatan sehingga jenis kegiatan yang dilaksanakan kurang berkembang, cenderung bersifat rutinitas dan kurang tepat sasaran atau belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Padahal seharusnya LPMD sebagai lembaga kemasyarakatan yang ada di desa lebih mengerti kondisi riil masyarakat desa dan mengetahui kebutuhan masyarakat.
Sarana dan prasarana Pemerintah Desa Muruona yang minim dalam mengelola ADD seperti dalam pembuatan kelengkapan administrasi ADD di mana komputer yang dimiliki Pemerintah Desa hanya berjumlah 1 (satu) unit dan aparat Desa yang dapat mengoperasikannya hanya Plh Sekretaris Desa. Hal tersebut menyebabkan Desa Muruona sering mengalami keterlambatan dalam melengkapi administrasi ADD yang menyebabkan proses pencairan dan penyaluran dana menjadi terlambat.
Pada pelaksanaannya, LPMD lebih banyak diberi tugas untuk menjalankan kegiatan yang bersifat pembagunan fisik. Padahal seharusnya LPMD dapat melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat secara lebih luas, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Hambatan eksternal yang mempengaruhi implementasi ADD di Desa Maruona adalah:
Adanya masyarakat yang enggan berpartisipasi baik dalam hal finansial maupun tenaga dan pikiran untuk menunjang kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh lembaga kemasyarakatan menghambat tercapainya tujuan dari kegiatan yang dilakukan.
Kecilnya dana untuk lembaga kemasyarakatan menyebabkan kesulitan dalam merencanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang lebih bermanfaat untuk skala masyarakat yang lebih luas.
Budaya masyarakat yang kurang menaruh perhatian terhadap pelaksanaan kegiatan-kegiatan Alokasi Dana Desa sehingga kurang ada pengawasan dari masyarakat terhadap pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut.
Pencairan dan penyaluran dana yang terlambat dari jadwal yang telah ditetapkan menyebabkan terhambatnya pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan. Lebih jauh lagi keterlambatan ini mengakibatkan kurangnya kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dapat dilaksanakan secara berkesinambungan.
Tidak adanya sarana penyaluran informasi program Alokasi Dana Desa seperti papan pengumuman desa menyebabkan tidak maksimalnya penyaluran informasi kepada masyarakat karena hanya mengandalkan penyaluran informasi melalui peserta yang hadir dalam musyawarah sehingga partisipasi masyarakat juga kurang maksimal.
Upaya Internal dan Eksternal Mengatasi Hambatan-hambatan Atas Implementasi ADD di Desa Maruona
Upaya Internal
Karena posisi sekretaris yang masih kosong, maka perlu dicari pengganti yang tepat dan memenuhi syarat sehingga pelaksanaan administrasi desa tidak terhambat; 2) Agar tidak terjadi keterlambatan penyaluran dana, maka semua kegiatan pemerintahan dan pelayanan dijalankan sebagaimana mestinya dan membuat skala prioritas untuk menggeser dana dari pos-pos kurang urgent ke pos-pos yang mendesak; 3) Melihat pelaksanaan administrasi di desa lain tentang bentuk pengelolaan administrasi sederhana, seperti surat-menyurat, dan lain-lain.
Upaya Eksternal
Memanfaatkan berbagai potensi desa yang produktif dan mampu menghasilkan untuk menunjang sementara pelaksanaan pemerintahan dan pelayanan masayarakat khususnya; serta Bimbingan Teknis (Bimtek) dan Pelatihan terkait Alokasi Dana Desa kepada Pemerintah Desa Muruona melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD), Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD), maupun Kecamatan Ile Ape.
Rekomendasi
Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis terhadap implementasi Alokasi Dana Desa di Desa Muruona adalah: Perlu ada suatu pemberian pemahaman serta pembinaan kepada Kepala Desa beserta Aparat Desa yang lebih mendalam mengenai program Alokasi Dana Desa, maksudnya disini pemahaman dan pembinaan adalah makna pembangunan bukan hanya pembangunan fisik tetapi harus diimbangi dengan pembangunan sosial melalui usaha penanggulangan ketidakberdayaan dan peningkatan kualitas SDM aparat desa. Sebab pada hakekatnya pembangunan fisik tanpa diimbangi upaya pemberdayaan masyarakat pada program Alokasi Dana Desa itu tidak akan memberi dampak maksimal bagi masyarakat dan tidak akan memberikan perubahan yang berarti bagi masyarakat.
Adanya pemahaman yang meningkat tentang makna dari pembangunan itu sendiri maka yang perlu dilakukan oleh pemerintah desa adalah melakukan perencanaan yang lebih memprioritaskan pada usaha pemberdayaan masyarakat dengan lebih memberdayakan lembaga kemasyarakatan yang ada, dalam hal ini PKK dan LPMD serta sedapat mungkin ditingkatkan dengan memberdayakan lembaga kemasyarakatan yang lain. Usaha memberdayakan lembaga kemasyarakatan ini dilakukan dengan memberikan dana dari program Alokasi Dana Desa dengan porsi yang lebih besar dari apa yang ditentukan pada pedoman pelaksanaan program Alokasi Dana Desa. Dengan dana tersebut maka lembaga kemasyarakatan dapat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang orientasinya pada penanggulangan ketidakberdayaan pada masyarakat, tetapi tetap ada kontrol dari Pemerintah Desa agar kegiatan yang dilaksanakan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Pemerintah Desa hendaknya mau memberikan perhatian bagi lembaga kemasyarakatan yang ada di desa bukan hanya kalau ada program dari Pemerintah Kabupaten tetapi secara bertahap dan berkesinambungan pada setiap tahunnya dengan cara antara lain menganggarkan dana dari APBDes untuk kegiatan lembaga kemasyarakatan yang ada, melobi Pemerintah Kabupaten melalui dinas terkait untuk mengadakan kegiatan pelatihan, penyuluhan bagi masyarakat. Semua itu hendaknya tidak menjadi suatu rencana kegiatan yang rutinitas tetapi ada hubungan satu sama lain sehingga dalam pelaksanaannya bisa saling mendukung.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta. Rineka Cipta;
Kusumanegara, S. 2009. Model dan Aktor Dalam Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta. Gava Media;
Leo, Agustino. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung. Alfabeta;
Mantra, Ida Bagoes. 2008. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta. Pustaka Pelajar;
Mardalis. 2010. Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta. Bumi Aksara;
Martono, Nanang. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Analisis Isi dan Analisis Data Sekunder. Jakarta. Rajawali Pers;
Moleong. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Remaja Rosdakarya Sagala ;
Narbuko, Cholid. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta. Bumi Aksara;
Purwanto, Sulistyastuti. 2012. Implementasi Kebijakan Publik (Konsep dan Aplikasinya Di Indonesia). Yogyakarta. Gava Media;
Silalahi, Ulber. 2006. Metode Penelitian Sosial. Bandung. Unpar Press;
Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial. Bandung. Remaja Rosdakarya;
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung. Alfabeta;
Suharto, E. 2010. Analisis Kebijakan Publik. Bandung. Alfabeta;
Subarsono. 2011. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta. Pustaka Belajar;
Wasistiono, Sadu. 2006. Prospek Pengembangan Desa. Bandung. Fokusmedia;
Winarno, B. 2012. Kebijakan Publik (Teori, Proses dan Studi Kasus). Yogyakarta. CAPS.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 yang dirubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa;
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/640/SJ Tanggal 22 Maret Tahun 2005 Perihal Pedoman Pelaksanaan Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa;
Peraturan Bupati Lembata Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Alokasi Dana Desa di Kabupaten Lembata;
Peraturan Desa Muruona Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata Nomor 02 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
Peraturan Desa Muruona Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata Nomor 02 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
Peraturan Desa Muruona Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata Nomor 02 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
Peraturan Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pedoman Penulisan dan Mekanisme Ujian Laporan Akhir Serta Skripsi Institut Pemerintahan Dalam Negeri Tahun Akademik 2012/2013.
[Type the company name]
[Type the document title]
[Type the document subtitle]
[Type the author name]
[Pick the date]