ANALISIS USAHATANI BAWANG DAUN ORGANIK DAN ANORGANIK (Studi Kasus : Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Oleh : NELDA YESSI ROMAULI SITANGGANG A.14105578
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN NELDA YESSI ROMAULI SITANGGANG. Analisis Usahatani Bawang Daun Organik Dan Anorganik. Studi Kasus : Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Di bawah Bimbingan NETTI TINAPRILLA)
Pada akhir-akhir ini masyarakat dunia mulai sadar akan bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam pertanian. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan, kini masyarakat pun mulai beralih kepada gaya hidup sehat dan alami atau ”back to nature” yang mengutamakan pangan yang sehat dan bergizi tinggi tanpa kandungan bahan-bahan kimia. Pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat diproduksi dengan metode baru yang lebih dikenal dengan pertanian organik. Pertanian organik memiliki peluang yang sangat baik untuk dikembangkan dimasa kini dan mendatang, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Meningkatnya produksi pertanian organik di Indonesia sekitar 10 persen per tahun, memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk semakin mengembangkan produk-produk pertanian organik, khususnya sayuran organik. Permasalahan yang dihadapi dalam budidaya bawang daun adalah belum meratanya penanaman bawang daun secara organik di Desa Batulayang karena adanya beberapa kendala yang dihadapi oleh para petani, yakni dalam hal produksi, modal dan pasar. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1) menganalisis keragaan usahatani bawang daun organik pada kelompok tani ”Kalicimandala” di Desa Batulayang. 2) menganalisis perbandingan tingkat pendapatan dan efisiensi antara petani yang menerapkan sistem usahatani bawang daun organik dengan petani yang menerapkan sistem usahatani bawang daun anorganik pada kelompok tani ”Kalicimandala” di Desa Batulayang. Penelitian dilakukan di Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat selama kurun waktu pada bulan November hingga Februari 2008. Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan data sekunder. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang petani organik dan 30 orang petani anorganik. Pengambilan sample dilakukan dengan metode Stratified Random Sampling. Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian adalah analisis pendapatan usahatani untuk menganalisis tingkat pendapatan petani dari kegiatan usahatani organik dan anorganik dan analisis perbandingan penerimaan dan biaya (R/C rasio) untuk mengukur tingkat efisiensi masing-masing usahatani terhadap setiap penggunaan satu satuan unit yang memberikan kelipatan atau rasio antara jumlah penerimaan dengan jumlah biaya.
Sebagian besar petani organik dan anorganik berusia antara 30-50 tahun, yakni sebanyak 19 orang (63,34 %) petani bawang daun organik dan 13 orang (43,34 %) petani bawang daun anorganik. Tingkat pendidikan formal yang dimiliki petani organik maupun anorganik rata-rata sama yaitu hanya lulus Sekolah Dasar, sedangkan rata-rata petani responden memiliki pengalaman berusahatani bawang daun lebih dari 10 tahun. Status pengelolaan lahan para petani di desa tersebut adalah sebagai pemilik dengan luasan lahan rata-rata yang dimiliki baik organik maupun anorganik adalah 0,3 hektar. Kegiatan usahatani bawang daun organik yang dilakukan petani responden di Desa Batulayang meliputi : kegiatan persiapan lahan, penanaman, penentuan jarak tanam dan pembuatan lubang tanam, penanaman bibit, pemeliharaan tanaman, pengairan atau penyiraman, pemupukan susulan, penyiangan dan pendangiran, perlindungan tanaman terhadap hama dan penyakit serta panen dan pasca panen. Perbedaan yang terjadi antara budidaya bawang daun organik dengan budidaya bawang daun anorganik adalah dalam hal penggunaan pupuk, penggunaan tenaga kerja dan kegiatan perawatan tanaman. Hasil analisis pendapatan menunjukkan bahwa produksi rata-rata bawang daun organik per luasan lahan rata-rata (0,3 ha) per musim tanam adalah 2.250 kg, sehingga penerimaan yang diperoleh petani sebesar Rp 27.000.000,00, sedangkan produksi rata-rata bawang daun organik per hektar per musim tanam adalah 18.000 kg, sehingga penerimaan yang diperoleh petani sebesar Rp 216.000.000,00. Produksi rata-rata bawang daun anorganik per luasan lahan ratarata (0,3 ha) per musim tanam adalah 2.812 kg, sehingga penerimaan yang diperoleh petani sebesar Rp 16.872.000,00, sedangkan produksi rata-rata bawang daun anorganik per hektar per musim tanam adalah 22.500 kg, sehingga penerimaan yang diperoleh petani sebesar Rp 135.000.000,00. Nilai R/C rasio atas biaya total yang diperoleh petani organik dengan luasan lahan satu hektar dan 0,3 hektar sebesar 5,26 dan 2,23, sedangkan nilai R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani organik dengan luasan lahan satu hektar dan 0,3 hektar adalah 5,64 dan 2,51. Nilai R/C rasio atas biaya total yang diperoleh petani anorganik dengan luasan lahan satu hektar dan 0,3 hektar sebesar 3,79 dan 1,56, sedangkan nilai R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani anorganik dengan luasan lahan satu hektar dan 0,3 hektar adalah 3,98 dan 1,73. Hasil analisis pendapatan dan efisiensi pendapatan yang dinyatakan dalam nilai R/C rasio menunjukkan bahwa usahatani bawang daun organik lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan usahatani bawang daun anorganik. Hal ini terlihat dari nilai penerimaan dan nilai R/C rasio yang diperoleh petani organik lebih tinggi dibanding petani anorganik. Namun jika dilihat dari luasan lahan yang dimiliki, nilai penerimaan dan nilai R/C rasio yang diperoleh petani organik pada luasan lahan satu hektar lebih tinggi dibandingkan luasan lahan 0,3 hektar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa usahatani bawang daun organik dengan luasan lahan satu hektar lebih efisien untuk diusahakan serta memberikan keuntungan yang maksimal bagi petani.
ANALISIS USAHATANI BAWANG DAUN ORGANIK DAN ANORGANIK (Studi Kasus : Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Oleh : NELDA YESSI ROMAULI SITANGGANG A14105578
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
:
Nama NRP
: :
Analisis Usahatani Bawang Daun Organik Dan Anorganik (Studi Kasus : Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Nelda Yessi Romauli Sitanggang A14105578
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Netty Tinaprilla. MM. NIP. 132 133 965
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Supandie, M. Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI DENGAN JUDUL ”ANALISIS USAHATANI BAWANG DAUN ORGANIK DAN ANORGANIK (STUDI KASUS : DESA BATULAYANG, KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT) BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Mei 2008
Nelda Yessi Romauli Sitanggang A14105578
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan putri keempat dari empat bersaudara pasangan Bapak T.T. Sitanggang dan Ibu T. Panjaitan yang lahir pada tanggal 16 September 1984 di Pontianak, Kalimantan Barat. Pada tahun 1990 penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK. Pembina, Pontianak dan pada tahun 1996 penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN 16 Pontianak. Selanjutnya penulis menamatkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 02 Pontianak pada tahun 1999 serta menamatkan pendidikan SMU di SMUN 07 Pontianak pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis juga diterima menjadi mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) di Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian dengan Program Studi Diploma III Manajemen Agribisnis angkatan 39, melalui program USMI. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Yang Maha Kuasa, atas segala kasih, berkat dan karuniaNya yang teramat besar mampu memberikan hikmat dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini menganalisis keragaan usahatani bawang daun serta menganalisis bagaimana perbandingan tingkat pendapatan antara petani yang menerapkan usahatani bawang daun organik dengan petani yang menerapkan usahatani bawang daun anorganik, sehingga dapat diketahui usahatani mana yang lebih efisien untuk dilakukan. Penelitian ini merupakan hasil maksimal yang dapat dikerjakan oleh penulis, meskipun penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi salah satu bahan referensi atau menambah ilmu pengetahuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.
Bogor, Mei 2008
Nelda Yessi Romauli Sitanggang A14105578
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Yang Maha Kuasa, atas segala berkat dan karunia yang selalu diberikan, dan oleh tangan pengasihannya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dalam waktu yang telah ditentukan. Penyelesaian skripsi ini tidaklah terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada bagian ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Kedua orang tua penulis, Bapak dan Mamak tercinta, yang tiada hentinya mendoakan, memberikan perhatian dan semangat dalam bentuk apapun sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. 2. Ir. Netty Tinaprilla. MM, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, ilmu, arahan dan masukan-masukan selama penulisan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Nunung Kusnadi. MS, selaku dosen evaluator pada kolokium yang telah memberikan arahan dan masukan-masukan yang berarti untuk kemajuan skripsi ini. 4. Febriantina Dewi, SE, MSc selaku dosen penguji utama dan Arif Kaeyadi Uswandi, SP sebagai dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik dan sarannya guna kesempurnaan penelitiam ini. 5. Kakak dan Abangku tersayang, Tarully Basaria Sitanggang, Verma Yunita Carolina Sitanggang, Rendra Sahat Parningotan Sitanggang dan Ronald Matio Siahaan, terima kasih atas kasih sayang, perhatian, doa dan semangat yang selalu diberikan. 6. Irma Kurniasari, atas kesediaannya sebagai pembahas dalam seminar.
7. Bapak Yaman Suryaman selaku Ketua Kelompok Tani ”Kalicimandala” beserta seluruh petani bawang daun yang ada di Desa Batulayang yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian penulis. Terima kasih atas penerimaan yang sangat baik serta atas ilmu dan informasi yang telah diberikan. 8. Pihak Pemda Bogor dan Kecamatan Cisarua yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Desa Batulayang serta atas informasi dan data-data yang dibutuhkan penulis. 9. Teman-teman di M15 : Angra, Duna, Eva, Krisnatalia, Yanti, Ziah, Evi, Asti, Puspita, Dede, Andra, dan Choti. Terima kasih atas dukungan dan kebersamaan yang indah selama menjadi anak kos. 10. Sahabat-sahabat terbaikku : Nova, Nana, Nina, Vina dan Lela, terima kasih atas kebersamaan, perhatian dan dukungan yang sangat menguatkan. 11. Teman-teman yang telah banyak memberikan bantuan, informasi maupun dukungan yang sangat berarti hingga terselesaikannya skripsi ini : Eko Hendrawanto, Encep, Ubay, Junita, Maria Irene, Septi, Reni, Santy, Nusrat, Afnita, Nia Yamesa, Resty, Maroji 12. Teman-teman Ekstensi MAB 13 dan DIII MAB Angkatan 39. Terima kasih atas kebersamaan yang tidak akan terlupakan selama di IPB. 13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Bogor, Mei 2008 Nelda Yessi Romauli Sitanggang A14105578
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR...................................................................................... ....xiv DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................xv I
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .............................................................................. 8 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................11 1.4 Kegunaan Penelitian ............................................................................11
II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................13 2.1 Pertanian Anorganik ............................................................................13 2.2 Pertanian Organik ................................................................................14 2.2.1 Definisi Pertanian Organik .........................................................14 2.2.2 Karakteristik Pertanian Organik .................................................17 2.3 Karakteristik Umum Bawang Daun .....................................................18 2.3.1 Budidaya Bawang Daun Anorganik...........................................19 2.3.2 Budidaya Bawang Daun Organik...............................................21 2.4 Penelitian Terdahulu ............................................................................23 2.4.1 Usahatani ....................................................................................23 2.4.2 Usahatani Bawang Daun ............................................................24 2.4.3 Usahatani Organik dan Anorganik .............................................25 III KERANGKA PEMIKIRAN.........................................................................32 3.1 .......................................................................................................... K erangka Pemikiran Teoritis ........................................................................32 3.1.1 Ruang Lingkup Usahatani...........................................................32 3.1.2 Konsep Penerimaan Usahatani....................................................36 3.1.3 Konsep Biaya ..............................................................................36 3.1.4 Konsep Pendapatan Usahatani ....................................................38 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ........................................................41 IV METODE PENELITIAN..............................................................................44 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...............................................................44 4.2 Jenis dan Sumber Data .........................................................................44 4.3 Metode Penarikan Contoh....................................................................45 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................................46 4.4.1 Analisis Pendapatan Usahatani ...................................................47 4.4.2 Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Ratio)..............48 V KERAGAAN USAHATANI BAWANG DAUN ORGANIK .....................50 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................................50 5.2 Karakteristik Petani Bawang Daun ......................................................53 5.2.1 Umur Petani Responden..............................................................53 5.2.2 Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Petani Responden ............54 5.2.3 Luas dan Status Pengelolaan Lahan............................................56
5.3
Keragaan Usahatani Petani Responden Bawang Daun Organik..........57 5.3.1 Persiapan Lahan ..........................................................................58 5.3.2 Penanaman ..................................................................................60 5.3.2.1 Penentuan Jarak Tanam dan Pembuatan Lubang Tanam ................................................................60 5.3.2.2 Penanaman Bibit .............................................................60 5.3.3 Perawatan/Pemeliharaan Tanaman .............................................61 5.3.3.1 Pengairan atau Penyiraman .............................................61 5.3.3.2 Pemupukan Susulan ........................................................62 5.3.3.3 Penyiangan dan Pendangiran ..........................................62 5.3.3.4 Perlindungan Tanaman Terhadap Hama dan Penyakit .........................................................63 5.3.4 Panen dan Pascapanen ................................................................64
VI ANALISIS USAHATANI BAWANG DAUN .............................................67 6.1 Sistem Usahatani Bawang Daun ..........................................................67 6.1.1 Bibit.............................................................................................67 6.1.2 Lahan...........................................................................................68 6.1.3 Tenaga Kerja ...............................................................................68 6.1.4 Alat-alat Pertanian.......................................................................72 6.2 Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Daun ....................................73 6.2.1 Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Daun Organik .............74 6.2.2 Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Daun Anorganik .........77 6.3 Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Bawang Daun Organik dan Anorganik........................................................................81 VII KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................83 7.1 Kesimpulan ..........................................................................................83 7.2 Saran.....................................................................................................84 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................86 LAMPIRAN..........................................................................................................88
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Konsumsi Perkapita Sayuran di Indonesia Periode 2003-2006 ............................................................................................ ....2
2.
Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Sayuran di Indonesia Tahun 2001-2006 ................................................................................ .. 2
3.
Indikator Konsumsi dan Distribusi Pendapatan Indonesia .................. ....4
4.
Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Daun di Indonesia Tahun 2001-2006..................................... ....6
5.
Produktivitas Bawang Daun Per Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2005-2006 ................................................................................. ....7
6.
Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu Mengenai Bawang Daun Organik Dan Anorganik....................................................................... ..29
7.
Metode Perhitungan Pendapatan Usahatani Komoditas Bawang Daun ....................................................................................... ..49
8.
Pemanfaatan Lahan Desa Batulayang Tahun 2007.............................. ..51
9.
Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia dan Jenis Kelamindi Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor Tahun 2008 ............................................................. ..52
10.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor Tahun 2008 .......................................................................................... ..53
11.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Umur Pada Usahatani Bawang Daun Organik dan Anorganik di Kelompok Tani ”Kalicimandala” Tahun 2008 .................................... ..54
12.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pada Usahatani Bawang Daun Organik dan Anorganik di Kelompok Tani ”Kalicimandala” Tahun 2008 .............. ..55
13.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Pada Usahatani Bawang Daun Organik dan Anorganik di Kelompok Tani ”Kalicimandala” Tahun 2008 .................................... ..56
14.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Luasan Lahan di Kelompok Tani ”Kalicimandala” Tahun 2008 ................................ ..57
Nomor
Halaman
15.
Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Bawang Daun Organik Per Hektar Untuk Satu Masa Produksi di Desa Batulayang Tahun 2008 .......................................................................................... ..69
16.
Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Bawang Daun Organik Per Luasan Lahan Rata-Rata (0,3 Ha) Untuk Satu Masa Produksi di Desa Batulayang Tahun 2008 .......................................................... ..70
17
Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Bawang Daun Anorganik Per Hektar Untuk Satu Masa Produksi di Desa Batulayang Tahun 2008 .......................................................................................... ..71
18.
Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Bawang Daun Anorganik Per Luasan Lahan Rata-Rata (0,3 Ha) Untuk Satu Masa Produksi di Desa Batulayang Tahun 2008 ........................................... ..71
19.
Penggunaan Peralatan Pada Usahatani Bawang Daun Untuk Satu Musim Tanam di Desa Batulayang Per Hektar............................ ..73
20.
Penggunaan Peralatan Pada Usahatani Bawang Daun Untuk Satu Musim Tanam di Desa Batulayang Per Luasan Lahan Rata-Rata (0,3 Ha) ............................................................................... ..73
21.
Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Daun Organik Per Luasan Lahan Rata-Rata dan Per Luasan Hektar Per Musim Tanam di Desa Batulayang .............................................................................. ..75
22.
Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Daun Anorganik Per Luasan Lahan Rata-Rata dan Per Luasan Hektar Per Musim Tanam di Desa Batulayang .................................................................. ..79
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
Halaman
Bagan Kerangka Pemikiran Operasional ............................................... ....43
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Kuisioner Penelitian Analisis Usahatani Bawang Daun Organik ............................................................................................ 88
2.
Karakteristik Petani Responden Bawang Daun Organik .......................... 92
3.
Karakteristik Petani Responden Bawang Daun Anorganik ...................... 93
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai
salah satu indikator utama dalam proses pembangunan nasional. Sektor pertanian meliputi beberapa subsektor, yakni subsektor hortikultura, tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan. Salah satu subsektor pertanian yang menjadi andalan adalah hortikultura. Dalam aspek ekonomi, hortikultura memegang peranan penting dalam sumber pendapatan petani, perdagangan, industri maupun penyerapan tenaga kerja. Bahkan secara nasional komoditas hortikultura mampu memberikan sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) secara signifikan1. Hal ini terbukti dari perbandingan nilai PDB terhadap subsektor lainnya. Pada tahun 2005 atas dasar harga berlaku, sumbangan PDB hortikultura mencapai 21,17 persen dari PDB sektor pertanian atau nomor dua setelah tanaman pangan yang mencapai 40,75 persen, sedangkan atas dasar harga konstan pada tahun 2005, PDB hortikultura tersebut bernilai Rp 44.196,- triliyun. Pertumbuhan PDB hortikultura sejak tahun 2000-2005 mencapai 4,6 persen per tahun dan pada tahun 2006-2009 ditargetkan meningkat rata-rata 5,2 persen2 Sayuran tergolong kedalam salah satu jenis tanaman hortikultura yang kaya akan vitamin dan mineral sehingga banyak dikonsumsi oleh masyarakat, namun tingkat konsumsi sayuran juga dipengaruhi oleh oleh berbagai faktor,
1 2
Siswanto Mulyaman, Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, Mei 2007. Ratek Batam, Direktorat Jenderal Hortikultura, Maret 2007.
misalnya harga dan tingkat pendapatan. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat konsumsi sayuran per kapita di Indonesia dari tahun ke tahun yang cenderung berfluktuasi pada Tabel 1. Tabel 1 Konsumsi Perkapita Sayuran di Indonesia Periode 2003-2006 Tahun Jumlah Konsumsi (Kg) 2003 2004 2005 2006 Sumber : Susenas, BPS dalam Pusat Data dan Informasi Ditjen Hortikultura 2007
Banyaknya
manfaat
sayuran
bagi
pemenuhan
gizi
34,52 53,49 35,33 34,16
masyarakat
menyebabkan sayuran menjadi bagian dari komoditas hortikultura yang terus diproduksi. Pada tahun 2001-2006 tingkat produksi sayuran di Indonesia cenderung meningkat. Hal ini disebabkan oleh peningkatan luas panen dengan laju pertumbuhan rata-rata 4,2 persen per tahun. Berikut data luas panen, produksi dan produktivitas sayuran di Indonesia tahun 2001-2006. Tabel 2 Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2001-2006 Tahun
Luas Panen Produksi Produktivitas (Ha) Pertumbuhan (Ton) Pertumbuhan (Ton/Ha) Pertumbuhan (%) (%) (%) 2001 794.033 - 6.919.624 8,71 2002 824.361 3,81 7.144.745 3,25 8,67 (0,45) 2003 913.445 10,80 8.574.870 20,01 9,39 8,30 2004 977.552 7,01 9.059.676 5,65 9,27 (1,27) 2005 944.695 (3,36) 9.101.986 0,46 9,63 3,88 2006 1.007.839 6,68 9.527.463 4,67 9,45 (1,86) Laju/Tahun 4,2 5,67 8,6 Sumber : Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2006
Pada akhir-akhir ini masyarakat dunia mulai sadar akan bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam pertanian seperti pupuk dan pestisida kimia, hormon tumbuh dalam produksi pertanian sampai penggunaan mesin-mesin pertanian. Dampak negatif yang ditimbulkan
dari penggunaan bahan-bahan kimia tersebut tidak hanya dapat merugikan kesehatan tubuh konsumen yang mengkonsumsi hasil produksi pertanian itu, tetapi juga membahayakan kelangsungan daur hidup unsur-unsur hara dalam tanah, lingkungan serta ekosistem lain disekitarnya. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan, kini masyarakat pun mulai beralih kepada gaya hidup sehat dan alami atau ”back to nature” yang mengutamakan pangan yang sehat dan bergizi tinggi tanpa kandungan bahan-bahan kimia. Pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat diproduksi dengan metode baru yang lebih dikenal dengan pertanian organik. Produksi pertanian organik di Indonesia diperkirakan tumbuh kurang lebih 10 persen per tahun (Sutanto, 2002). Hal ini berdampak positif terhadap perkembangan pemasaran produk-produk organik yang kian pesat, baik di pasar domestik maupun internasional. Di pasar domestik terlihat dengan semakin banyaknya supermarket, outlet maupun gerai-gerai khusus yang menjual berbagai jenis produk pertanian organik. Disamping itu, masih banyak lagi kegiatankegiatan yang dilaksanakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok tani, perseorangan dan perusahaan yang bergerak dalam bidang pertanian organik (Sutanto, 2002). Sedangkan di pasar internasional, beberapa negara maju seperti Eropa, Amerika dan Asia Timur (Jepang, Korea, Taiwan) semakin gencar dalam mengembangkan serta memperluas pasar produk-produk pertanian organik. Pada saat ini harga produk yang dihasilkan dari budidaya organik jauh lebih tinggi daripada produk konvensional. Konsumen harus membayar 50-150 persen lebih tinggi, dan produsen memperoleh keuntungan 10-50 persen. Namun
harga yang tinggi tidak menjadi halangan bagi para konsumen untuk tetap loyal dalam membeli serta mengkonsumsi produk organik Pada umumnya konsumen produk organik adalah kelompok masyarakat dibawah 35 tahun yang berpendidikan tinggi dengan pendapatan yang relatif tinggi, mulai dari para pria dan wanita yang belum berstatus menikah sampai keluarga dengan tiga anggota keluarga, terutama apabila keluarga tersebut mempertimbangkan kesehatan anak balitanya (Sutanto, 2002). Berikut data indikator konsumsi dan distribusi pendapatan Indonesia tahun 2002 sampai 2006. Tabel 3 Indikator Konsumsi dan Distribusi Pendapatan Indonesia Tahun 20022006 Indikator Pilihan 2002 2003 2004 2005 Pendapatan Rata-rata per Kapita Persentase Pengeluaran 58,47 56,89 54,59 51,37 Rumah Tangga Untuk Makanan Persentase Pengeluaran 41,53 43,11 45,42 48,63 Rumah Tangga Untuk Non Makanan Distribusi Pendapatan 40 % Masyarakat Dengan 20,92 20,57 20,80 18,81 Pendapatan Rendah 40 % Masyarakat Dengan 36,89 37,10 37,13 36,4 Pendapatan Menengah 20 % Masyarakat Dengan 42,19 42,33 42,07 42,78 Pendapatan Tinggi Sumber : National Socio Economic Survey, Module Consumption 2002-2006
2006 53,01 46,99
19,75 38,1 42,15
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa pendapatan rata-rata masyarakat lebih banyak dialokasikan untuk pengeluaran rumah tangga akan kebutuhan makanan. Hal ini terlihat dari nilai persentase pengeluaran akan makanan yang lebih tinggi jika dibanding nilai persentase pengeluaran rumah tangga akan produk non makanan. Selain itu jika dilihat dari distribusi pendapatan masyarakat Indonesia tahun 2002 sampai 2006, sebanyak 40 persen masyarakat Indonesia berada pada golongan dengan pendapatan menengah yang cenderung meningkat dari tahun ke
tahun. Hal ini dapat dijadikan salah satu peluang bagi para produsen untuk semakin mengembangkan usaha pertanian organik di Indonesia. Pertanian organik memiliki peluang yang sangat baik untuk dikembangkan dimasa kini dan mendatang. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, yakni adanya kritik terhadap asupan kimia yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan dan pada akhirnya akan membawa sistem pertanian konvensional beralih ke sistem pertanian yang lebih baik melalui sistem pertanian organik, semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat serta ramah lingkungan dengan mengkonsumsi produk organik, tingginya permintaan produk organik dari negaranegara maju di dunia yang dapat membuka peluang ekspor yang cukup besar bagi produk organik, serta adanya peluang untuk meningkatkan pendapatan petani karena produk pertanian organik menghemat biaya produksi dan harga jualnya lebih tinggi dibanding produk pertanian konvensional. Produk pertanian organik Indonesia hampir semuanya adalah produk pertanian belum diolah (fresh product), salah satunya adalah sayuran organik yang sangat digemari oleh masyarakat. Adapun daerah-daerah di Indonesia (khususnya pulau Jawa) yang telah banyak memproduksi sayuran organik yaitu Cisarua (Bogor), Lembang (Bandung), Kaliworo (Wonosobo) dan Salatiga. (Pracaya dalam Iryanti, 2005). Bawang daun merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dibudidayakan di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Hal ini disebabkan oleh kondisi lahan dan cuaca di Indonesia yang sangat sesuai untuk pengembangan bawang daun. Selain itu, pembudidayaan bawang daun relatif mudah dan murah.
Perkembangan produksi bawang daun dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Meskipun pernah terjadi penurunan luas panen pada tahun 2003 dan 2005, namun penurunan luas panen tersebut tidak diikuti oleh penurunan produksi maupun produktivitas bawang daun. Hal ini terlihat dari nilai produksi dan produktivitas bawang daun pada tahun 2003 dan 2005 yang justru meningkat dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya perbaikan teknologi atau teknik penanaman dalam usahatani bawang daun. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas bawang daun di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4
Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Daun di Indonesia Tahun 2001-2006
Tahun
Luas Panen Produksi Produktivitas (Ha) Pertumbuhan (Ton) Pertumbuhan (Ton/Ha) Pertumbuhan (%) (%) (%) 2001 34.339 - 283.285 8,25 2002 41.602 21,15 315.232 11,27 7,58 (8,12) 2003 38.453 (7,56) 345.720 9,67 8,99 18,60 2004 45.718 18,89 475.571 37,55 10,40 15,68 2005 45.402 (0,69) 501.437 5,43 11,04 6,15 2006 51.343 13,08 571.264 13,92 11,13 0,81 Laju/Tahun 7,5 12,97 33,12 Sumber : Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2006
Berdasarkan Tabel 4, maka dapat dilihat bahwa produksi bawang daun dari tahun 2001-2006 meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 12,97 persen per tahun. Peningkatan produksi bawang daun tersebut disebabkan oleh peningkatan luas panen dan produktivitas bawang daun dengan laju pertumbuhan masing-masing sebesar 7,5 persen dan 33,12 persen per tahun. Salah satu daerah yang menghasilkan bawang daun di Propinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor. Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (2006) menyebutkan bahwa terdapat sepuluh kecamatan yang memproduksi
bawang daun. Luas panen, produksi dan produktivitas bawang daun di Kabupaten Bogor tahun 2005 dan 2006 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Daun per Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2005 dan 2006 2005 2006 Luas Produksi Produktivitas Luas Produksi Produktivitas No Kecamatan (Ton) (Ton/Ha) (Ton) (Ton/Ha) Panen Panen (Ha) (Ha) Sukajaya 56 3.585 64,02 21 880 41,90 1 Leuwiliang 6 300 50,00 5 125 25,00 2 Pamijahan 58 4.270 73,62 133 11.964 89,95 3 Tenjolaya 4 310 77,50 18 1.250 69,44 4 Cijeruk 12 800 66,67 24 1.262 52,58 5 Caringin 23 1.953 84,91 23 1.768 76,87 6 Ciawi 75 2.800 37,33 73 3.320 45,48 7 Megamendung 71 8.890 125,21 106 11.755 110,90 8 Cisarua 242 34.826 143,91 365 110.160 301,81 9 36 1.149 31,92 36 1.012 28,11 10 Sukamakmur Total 583 58.883 755,09 804 143.496 842,04 Sumber : Monografi Pertanian dan Kehutanan kabupaten Bogor Tahun 2005 dan 2006
Dari Tabel 5, dapat dilihat bahwa pada tahun 2005 sampai 2006 terjadi peningkatan produksi bawang daun di Kecamatan Cisarua, yakni dari 34.826 Ton menjadi 110.160 Ton atau meningkat sebesar 216,32 persen. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya luas panen di kecamatan Cisarua dari tahun 2005 sampai 2006, yakni sebesar 37,91 persen. Peningkatan luas panen dan produksi bawang daun tersebut juga menyebabkan terjadinya peningkatan produktivitas bawang daun di Kecamatan Cisarua sebesar 11,52 persen. Meskipun selama dua tahun tersebut juga terdapat beberapa kecamatan lain selain kecamatan Cisarua (Pamijahan, Tenjolaya, Cijeruk, Ciawi, Megamendung) yang juga memiliki tingkat produktivitas yang cukup tinggi dalam usahatani bawang daun, namun peningkatan produktivitasnya tidak terlalu besar dibanding Kecamatan Cisarua. Hal inilah yang menyebabkan Cisarua menjadi kecamatan dengan produktivitas
tertinggi dalam usahatani bawang daun di Kabupaten Bogor dan memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan.
1.2
Perumusan Masalah Sistem pertanian konvensional yang merupakan sistem pertanian dengan
menggunakan bahan-bahan kimia seperti pupuk kimia, pestisida kimia serta obatobatan kimia lain memang terbukti mampu meningkatkan produktivitas tanah dalam waktu yang relatif pendek. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa akibat perlakuan proses produksi tersebut, dalam jangka panjang akan mulai tampak tanda-tanda terjadinya kelelahan pada tanah dan penurunan produktivitas pada hampir semua jenis tanaman yang diusahakan. Apabila tidak ada tindakan lebih lanjut untuk memperbaikinya, maka akan menimbulkan dampak buruk lanjutan terhadap kelestarian dan kesehatan lingkungan disekitarnya. Seiring dengan kemajuan zaman, kini masyarakat mulai peduli terhadap dampak buruk yang ditimbulkan dari pertanian konvensional. Oleh sebab itu, masyarakat pun mulai beralih pada sistem pertanian yang berwawasan lingkungan dan juga menguntungkan secara ekonomi. Sistem pertanian berwawasan lingkungan tersebut lebih dikenal sebagai pertanian yang berkelanjutan atau biasa disebut pertanian organik. Kunci dari sistem pertanian tersebut adalah mengubah sistem pertanian dari pertanian konvensional yang dalam produksinya mempunyai ketergantungan terhadap bahan-bahan kimia yang membahayakan ke arah pertanian organik yang tidak tergantung pada bahan-bahan kimia atau dengan kata lain berupaya mengurangi atau bahkan meniadakan penggunaan berbagai bahan kimia dalam produksinya.
Salah satu sentra produksi bawang daun di Kecamatan Cisarua terdapat di Desa Batulayang. Penanaman bawang daun di desa tersebut telah berlangsung sekitar 10 tahun. Awalnya penanaman bawang daun di desa tersebut dilakukan melalui sistem penanaman konvensional, kemudian pada tahun 1997 para petani Desa Batulayang mendapat penyuluhan dari pemerintah setempat untuk mencoba suatu teknik penanaman organik yang dalam kegiatan budidayanya tidak menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya seperti pupuk, pestisida dan lain-lain. Teknik penanaman organik ini diharapkan nantinya dapat menghasilkan produk bawang daun yang jauh lebih aman untuk dikonsumsi dibandingkan produk bawang daun hasil penanaman konvensional. Sejak tahun 1997 tersebut, kegiatan usahatani bawang daun secara organik di Desa Batulayang dijalankan oleh para petani yang terhimpun dalam sebuah kelompok tani “Kalicimandala”, bahkan desa tersebut sudah mendapat sertifikasi organik dari kepala daerah Kabupaten Bogor. Namun kegiatan usahatani bawang daun organik di desa tersebut kurang berjalan dengan baik. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa para petani ragu terhadap tingkat produksi bawang daun yang akan mereka peroleh dari usahatani bawang daun secara organik Karena menurut pengalaman mereka selama ini, hasil produksi bawang daun dengan sistem pertanian organik lebih kecil dibandingkan sistem pertanian anorganik, sehingga pada akhirnya akan berdampak pada pendapatan yang akan mereka peroleh. Disisi lain petani juga mempunyai kendala dalam hal modal. Usahatani bawang daun organik membutuhkan modal dalam jumlah yang relatif besar terutama dalam hal pembiayaan usahatani yakni biaya tenaga kerja. Dalam
usahatani bawang daun organik diperlukan jumlah tenaga kerja yang banyak untuk dialokasikan ke bagian pengamatan dan pengawasan tanaman secara lebih intensif. Selain itu, pangsa pasar untuk produk organik relatif masih sedikit, hal ini mengingat segmen pasar untuk produk-produk organik masih terbatas pada kalangan menengah keatas. Hal-hal tersebut diatas tentu saja menjadi penghambat bagi petani untuk mengembangkan usahatani bawang daun organik sehingga menyebabkan belum meratanya penanaman bawang daun organik oleh para petani di Desa Batulayang. Hal ini terlihat dari masih banyak para petani di desa tersebut yang melakukan usahatani bawang daun dengan dua sistem penanaman yakni secara organik dan anorganik (konvensional). Bahkan ada juga petani yang tetap mempertahankan
usahatani
bawang
daunnya
dengan
sistem
budidaya
konvensional/anorganik dan belum mau beralih ke sistem budidaya organik dengan alasan usahatani bawang daun organik tidak menguntungkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilihat bagaimana penerapan usahatani bawang daun organik yang dilakukan oleh para petani di kelompok tani ”Kalicimandala” dan selanjutnya akan dianalisis perbandingan pendapatan usahatani bawang daun organik dan bawang daun konvensional/anorganik untuk mengetahui mana yang lebih efisien, sehingga pada akhirnya hasil analisis tersebut dapat menjadi acuan bagi para petani sekaligus menjawab segala keraguan para petani di Desa Batulayang dalam membudidayakan bawang daun secara organik.
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana keragaan usahatani bawang daun organik pada kelompok tani ”Kalicimandala” di Desa Batulayang ? 2. Bagaimana perbandingan tingkat pendapatan dan efisiensi antara sistem usahatani bawang daun organik dengan sistem usahatani bawang daun anorganik pada kelompok tani ”Kalicimandala di Desa Batulayang ?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah : 1. Menganalisis keragaan usahatani bawang daun organik pada kelompok tani ”Kalicimandala di Desa Batulayang. 2. Menganalisis perbandingan tingkat pendapatan dan efisiensi antara petani yang menerapkan sistem usahatani bawang daun organik dengan petani yang menerapkan sistem usahatani bawang daun anorganik pada kelompok tani ”Kalicimandala di Desa Batulayang.
1.4
Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang
berkepentingan, antara lain : 1. Bagi petani dalam mengembangkan usahatani, baik yang menggunakan sistem usahatani organik maupun anorganik, sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
2. Bagi pemerintah, diharapkan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan-kebijakan untuk pengembangan usahatani, khususnya usahatani organik. 3. Bagi akademisi, sebagai informasi dan bahan literatur untuk penelitian lebih lanjut.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pertanian Anorganik (Konvensional) Pertanian anorganik atau pertanian konvensional adalah sistem pertanian
yang dalam kegiatannya menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya yang sangat merugikan. Bahan-bahan kimia seperti pupuk, pestisida, obat-obatan dan lain-lain, apabila penggunaannya dilakukan secara berlebihan maka akan mencemari lingkungan dan meracuni kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Menurut Schaller dalam Iryanti (2005), sistem pertanian anorganik atau konvensional memberikan dampak negatif, diantaranya : 1. Pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan kimia pertanian dan sedimen. 2. Membahayakan kesehatan manusia dan hewan, baik karena pestisida maupun bahan aditif pakan. 3. Pengaruh negatif senyawa kimia pertanian tersebut pada mutu dan kesehatan makanan. 4. Penurunan keanekaragaman hayati termasuk sumber genetik flora dan fauna yang
merupakan
modal
utama
pertanian
berkelanjutan
(sustainable
agriculture). 5. Perusakan dan pembunuhan satwa liar, lebah madu dan jasad berguna lainnya. 6. Meningkatnya daya ketahanan organisme pengganggu terhadap pestisida. 7. Merosotnya daya produktivitas lahan karena erosi, pemadatan lahan dan berkurangnya bahan organik.
8. Ketergantungan yang makin kuat terhadap sumber daya alam tidak terbarui (non-renewable natural resources). 9. Resiko kesehatan dan keamanan manusia pelaku pekerjaan pertanian.
2.2
Pertanian Organik
2.2.1
Definisi Pertanian Organik Menurut Pracaya dalam Iryanti (2005), pertanian organik adalah sistem
pertanian (dalam hal bercocok tanam) yang tidak menggunakan bahan kimia tetapi menggunakan bahan organik. Bahan kimia tersebut dapat berupa pupuk, pestisida, hormon pertumbuhan dan lain-lain. Istilah pertanian organik menghimpun seluruh imajinasi petani dan konsumen yang secara serius dan bertanggung jawab menghindarkan bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Mereka juga berusaha untuk menghasilkan produksi tanaman yang berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah menggunakan sumber daya alami seperti mendaur ulang limbah pertanian. Dengan demikian pertanian organik merupakan suatu gerakan “kembali ke alam” (Sutanto, 2002). Menurut Sutanto (2002a), seringkali terdapat pemahaman yang keliru tentang “pertanian alami” dan “pertanian organik”. Kedua istilah tersebut dalam praktek sering dianggap sama. Namun Fukuoka (1985) dalam Sutanto (2002) mengemukakan empat langkah menuju pertanian alami dan menjelaskan prinsip pertanian alami, yakni :
1. Tanpa olah tanah. Tanah tanpa diolah atau dibalik. Pada prinsipnya tanah mengolah sendiri, baik menyangkut masuknya perakaran tanaman maupun kegiatan mikrobia tanah, mikro fauna dan cacing tanah. 2. Tidak digunakan sama sekali pupuk kimia maupun kompos. Tanah dibiarkan begitu saja dan tanah dengan sendirinya akan memelihara kesuburannya. Hal ini mengacu pada proses daur ulang tanaman dan hewan yang terjadi di bawah tegakan hutan. 3. Tidak dilakukan pemberantasan gulma, baik melalui pengolahan tanah maupun penggunaan herbisida. Pemakaian mulsa jerami, tanaman penutup tanah maupun penggenangan sewaktu-waktu akan membatasi dan menekan pertumbuhan gulma. 4. Sama sekali tidak tergantung pada bahan kimia. Sinar matahari, hujan dan tanah merupakan kekuatan alam yang secara langsung akan mengatur keseimbangan kehidupan alami. Sutanto (2002) mengatakan bahwa menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, diketahui bahwa penggunaan zat kimia atau bahan sintetik pada penanaman tanaman akan meninggalkan residu pada tanaman tersebut. Dampak negatif lain dari penggunaan bahan sintetik tersebut adalah timbulnya kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan. Penelitian para ahli diberbagai negara menyebutkan bahwa efek negatif dari penggunaan pestisida akan menyebabkan alergi, keracunan saraf, kerusakan sistem endokrin, karsinogen dan menekan sistem kekebalan tubuh. Bagi lingkungan, tanah dan air, penggunaan bahan kimia secara terus menerus akan menurunkan daya dukung lahan.
Akibatnya produktivitas setiap komoditas yang diusahakan senantiasa sulit ditingkatkan. International Federation Organic Agriculture Movement (1990) dalam Sutanto (2002) mempunyai 11 prinsip yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan pertanian organik, antara lain : 1. Melalui pertanian organik dihasilkan makanan dengan kualitas nutrisi yang tinggi dan dalam jumlah yang cukup. 2. Melaksanakan interaksi yang bersifat sinergisme dengan sistem dan daur ulang alami yang mendukung semua bentuk kehidupan yang ada. 3. Mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usahatani dengan mengaktifkan kehidupan biologi (flora dan fauna tanah), tanaman dan hewan. 4. Memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan. 5. Memanfaatkan sumber daya terbarukan (renewable resources) yang berasal dari sistem usahatani itu sendiri. 6. Memanfaatkan bahan-bahan yang mudah didaur ulang, baik di dalam maupun di luar usahatani. 7. Menciptakan keadaan yang memungkinkan ternak melaksanakan gatra dasar sesuai dengan habitatnya. 8. Membatasi terjadinya bentuk pencemaran akibat kegiatan pertanian. 9. Mempertahankan keanekaragaman hayati, termasuk pelestarian habitat tanaman dan hewan. 10. Memberikan jaminan pada produsen (petani) sesuai hak asasi manusia dalam memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan dari pekerjaannya, termasuk lingkungan bekerja yang aman.
11. Mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari kegiatan usahatani terhadap kondisi lingkungan fisik dan sosial.
2.2.2
Karakteristik Pertanian Organik Menurut Akbar dalam Mei (2006), sistem pertanian organik memiliki
karakteristik tertentu, yakni : 1. Melindungi kesuburan jangka panjang tanah dengan menjaga tingkat kandungan materi organik, mendorong aktivitas biologis tanah dan melakukan intervensi mekanis secara hati-hati. 2. Memberikan nutrisi tanaman secara tidak langsung dengan menggunakan sumber nutrien yang relatif tidak terlarut, kemudian diubah menjadi bentuk yang tersedia untuk tanaman oleh mikroorganisme. 3. Swasembada nitrogen melalui penggunaan legum dan fiksasi nitrogen secara biologis serta pendaur-ulangan bahan organik termasuk residu tanaman dan kotoran ternak. 4. Pengendalian hama dan penyakit yang secara utama mengandalkan rotasi tanaman, predator alami, keanekaragaman, pemupukan organik, varietas resisten serta intervensi thermal, biologis dan kimiawi yang terbatas (seminimal mungkin). 5. Pengelolaan ternak secara ekstensif dengan memperhatikan masalah kesejahteraan yang berhubungan dengan gizi, penempatan, kesehatan dan perkembangbiakan. 6. Memperhatikan dengan seksama dampak dari sistem usahatani pada lingkungan yang lebih luas pada konservasi satwa liar dan habitat alamiah.
2.3
Karakteristik Umum Bawang Daun Bawang daun (Allium fistulosum L.) merupakan tanaman sayuran daun
semusim (berumur pendek). Tanaman ini berbentuk rumput atau rumpun dengan tinggi tanaman mencapai 60 cm atau lebih tergantung pada varietasnya. Bawang daun berakar serabut pendek yang tumbuh dan berkembang kesemua arah di sekitar permukaan tanah serta tidak mempunyai akar tunggang. Bagian batang bawang daun berwarna putih dengan bentuk daun bulat, memanjang, berlubang menyerupai pipa, dan bagian ujungnya meruncing. Daun berwarna hijau muda sampai hijau tua dan permukaan daun halus. Pada tanaman ini, bagian batang dan kelopak daun yang masih muda dapat dikonsumsi sebagai bahan bumbu dapur, bahan campuran sayur mayur dan dapat berkhasiat sebagai obat. Bunga secara keseluruhan berbentuk payung majemuk atau payung berganda (umbrella composita) dan berwarna putih. Buah bawang daun berbentuk bulat yang terbagi atas tiga ruang, berukuran kecil serta berwarna hijau muda. Biji bawang daun yang masih muda berwarna putih dan setelah tua berwarna hitam, berukuran sangat kecil, berbentuk bulat agak pipih dan berkeping satu. Selain itu, tanaman bawang daun juga dapat membentuk umbi. Umbi yang terbentuk pada bawang daun berukuran kecil. Umbi ini dapat digunakan untuk mengobati borok atau koreng. Bawang daun termasuk kedalam famili Liliaceae yang selanjutnya dikelompokkan kedalam species yang telah umum dibudidayakan, yakni species Allium fistulosum L, species Allium ampeloprasum var. Porrum serta species Allium schoenoprasum L. Bawang daun yang tergolong kedalam species Allium fistulosum L diantaranya adalah bawang bakung. Bawang bakung memiliki daun
berbentuk bulat panjang dan berongga (berlubang) menyerupai pipa, berwarna hijau tua, berukuran lebar 1-2 cm serta berumbi kecil.
2.3.1
Budidaya Bawang Daun Anorganik (Konvensional) Tanaman bawang daun dapat tumbuh di dataran rendah maupun dataran
tinggi dengan ketinggian antara 900-1700 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan sekitar 1000-1500 mm/tahun dan suhu udara berkisar antara 19ºC24ºC. Jenis tanah yang cocok untuk penanaman bawang daun adalah andosol dan tanah lempeng berpasir dengan pH antara 6,5 - 7,5, jarak tanam 20 cm × 25 cm dan populasi per hektar sebanyak 200.000 tanaman. Kebutuhan bibit dari anakan adalah 200.000 stek/hektar 1. Cara Tanam Bawang daun dapat ditanam secara vegetatif (dengan anakan atau belahan rumpun/setek tunas). Bibit bawang daun yang berasal dari anakan diperoleh dari rumpun bawang daun yang sudah cukup tua, yaitu telah berumur 2,5 bulan dan pertumbuhannya baik/sehat. Tahap awal penanaman bibit bawang daun hasil anakan dimulai dengan memotong sebagian daun dan akarnya kemudian ditanam pada lubang tanam sampai pangkal batang. Selanjutnya lubang tanam ditutup dengan tanah dan dipadatkan pelan-pelan agar tanaman dapat berdiri tegak dan kuat. Setelah penanaman selesai, selanjutnya dilakukan penyiraman lahan dengan cara digenangi air. 2. Pemeliharaan Bibit bawang daun yang telah ditanam perlu dipelihara lebih lanjut agar pertumbuhannya tetap baik. Kegiatan pemeliharaan bawang daun meliputi
penyulaman, pengairan, pemupukan, penyiangan, pemangkasan bunga dan daun serta perlindungan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Jenis hama yang sering menyerang tanaman bawang daun adalah dari golongan serangga, diantaranya adalah ulat. Ulat tanah (Agrotis ipsilon Hfn) menyerang bagian daun dan pucuk tanaman. Daun tanaman bawang daun yang diserang ulat tanah tampak berlubanglubang atau terpotong-potong tidak beraturan, sedangkan jika yang diserang adalah bagian pucuk tanaman, tanaman tersebut tampak terkulai dan rebah. Pengendalian hama untuk jenis ulat ini dilakukan dengan penyemprotan insektisida Duraban 20 EC, Matador, dan Furadan 3 G di sekitar pangkal batang tanaman. Jenis ulat lain yang juga sering menyerang tanaman bawang daun adalah ulat daun (Spodoptera exiqua Hbn). Ulat ini memakan daging daun sehingga daun tampak berwarna putih transparan memanjang dan layu terkulai. Pada tingkat serangan yang berat, daun-daun menjadi rusak dan tidak dapat dikonsumsi. Penyakit yang sering menyerang tanaman bawang daun pada umumnya adalah penyakit yang disebabkan oleh cendawan, salah satunya adalah penyakit busuk daun. Penyakit ini disebabkan oleh serangan cendawan Peronospora destruktor (Berk.) Casp sehingga menimbulkan bercak-bercak hitam pucat pada daun terutama pada ujung-ujung daun yang kemudian berubah warna menjadi putih atau ungu. Pada serangan yang berat, daun akan menguning, layu, mengering dan akhirnya mati. Pengendalian penyakit busuk daun ini dapat dilakukan dengan cara menyemprotkan fungisida, misalnya Daconil 75 WP, Dithane M-45 atau Antracol 70 WP.
3. Panen dan Pascapanen Panen dan penanganan pascapanen merupakan tahap paling akhir dalam kegiatan usahatani bawang daun. Pada umur 2,5 bulan, bawang daun sudah layak dipanen. Bagian utama bawang daun yang dipanen adalah daun-daun muda beserta batangnya yang berwarna putih. Pemanenan bawang daun dilakukan satu kali yakni pada pagi atau sore hari dan pada saat cuaca cerah (tidak mendung atau hujan). Tahapan penanganan pascapanen bawang daun meliputi tahap pengumpulan, sortasi, pencucian, pembersihan, pengemasan, pengangkutan dan pemasaran. Pada umumnya, bawang daun dipasarkan dalam bentuk sayuran segar. Tempat pemasaran bawang daun cukup banyak, seperti pasar-pasar induk, pasar lokal, pasar swalayan (supermarket), konsumen lembaga (hotel, rumah makan dan industri makanan) serta lembaga pemasaran (tengkulak, grosir dan sebagainya).
2.3.2
Budidaya Bawang Daun Organik Bawang daun merupakan salah satu jenis sayuran daun yang dapat
ditanam sepanjang tahun (sepanjang musim). Bawang daun tergolong tanaman yang tahan terhadap hujan sehingga dapat ditanam pada musim hujan serta memberikan hasil yang cukup baik. Namun faktor-faktor dari lingkungan luar seperti serangan hama dan penyakit dapat menjadi masalah yang menimbulkan kerugian bagi penanaman bawang daun, diantaranya penurunan hasil panen, penurunan kualitas daun, peningkatan biaya produksi dan pada akhirnya menyebabkan penurunan pendapatan usahatani. Para petani kerap kali menghindari masalah tersebut dengan pemberian pupuk, obat-obatan serta berbagai jenis pestisida kimia sehingga menimbulkan pencemaran bagi manusia
yang mengkonsumsi dan lingkungan sekitar. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan suatu teknik penanaman bawang daun secara alami (organik), dimana dalam setiap tahapan kegiatannya mengutamakan penggunaan bahanbahan organik dan penanganan tanaman secara alami. 1. Cara Tanam Lahan yang digunakan untuk penanaman bawang daun organik adalah lahan yang bebas dari pencemaran bahan agrokimia seperti pupuk dan pestisida kimia. Apabila lahan yang akan ditanami merupakan lahan bekas penanaman anorganik maka lahan tersebut harus terlebih dulu dikonversi secara bertahap menjadi lahan organik dengan cara pemberian pupuk organik. Lama masa konversi tergantung dari sejarah penggunaan lahan, pupuk, pestisida dan jenis tanaman. Benih yang digunakan berasal dari kebun pertanian organik dan bukan berasal dari benih/bibit hasil rekayasa genetika. 2. Pemeliharaan Secara umum tahapan pemeliharaan terhadap bawang daun organik sama dengan tahapan pemeliharaan pada bawang daun anorganik. Namun perbedaannya terletak pada bahan-bahan serta teknik penanganan yang dilakukan pada beberapa tahapan pemeliharaan. Tahap pemupukan dilakukan dengan memberikan pupuk organik seperti pupuk kompos yang berupa kotoran hewan, pupuk kandang, tanaman rerumputan, semak, perdu dan pohon, limbah pertanaman (jerami padi, batang, jagung, sekam padi) serta limbah agroindustri. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman. Upaya meningkatkan kesuburan tanah juga harus dilakukan secara alami melalui
penambahan pupuk organik, sisa tanaman, pupuk alam serta rotasi dengan tanaman legum. 3. Panen dan Pascapanen Panen dan penanganan pascapanen juga harus dilakukan dengan hati-hati serta menggunakan cara-cara yang alami agar terhindar dari kontaminasi dengan bahan kimia sintesis. Pemanenan bawang daun dilakukan dengan cara mencabut seluruh rumpun tanaman atau membongkarnya dengan alat bantu kored. Penanganan pascapanen bawang daun dimulai sejak pengumpulan hasil hingga pemasaran. Pada tahap pencucian dalam pascapanen bawang daun organik, bawang daun organik yang telah dibuang sebagian akar dan daunnya serta bagianbagian lain yang tidak berguna harus segera dicuci dengan air bersih. Pencucian dengan air bersih bertujuan untuk menghilangkan segala kotoran yang masih melekat pada daun, batang dan akar.
2.4
Penelitian Terdahulu
2.4.1
Usahatani Handayani (2007) mengutarakan bahwa dari sisi petani, pengelolaan
usahatani pada dasarnya terdiri dari pemilihan antara berbagai alternatif penggunaan sumber daya yang terbatas yang terdiri dari lahan, tenaga kerja, modal, waktu dan pengelolaan. Menurutnya, hal ini dilakukan agar para petani dapat menghadapi berbagai kesulitan dan resiko dalam kegiatan usahataninya untuk mencapai tujuan usahatani yang menguntungkan. Puruhito (2005) secara lebih khusus berpendapat bahwa keberhasilan usahatani tidak terlepas dari faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya,
yakni faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern dapat diartikan sebagai faktorfaktor produksi yang pengaruhnya dapat dikendalikan oleh petani, misalnya penggunaan lahan, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan petani dalam mengalokasikan penerimaan keluarga serta jumlah keluarga petani. Sedangkan faktor ekstern diartikan sebagai faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol dan berada diluar jangkauan petani, misalnya faktor iklim, cuaca, ketersediaan sarana angkutan dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan input usahatani, fasilitas kredit, penyuluhan bagi petani serta perubahan harga. Adapun tujuan dari kegiatan usahatani menurut Kusumah (2004), adalah untuk mencapai produksi dibidang pertanian yang pada akhirnya akan dinilai dengan
uang.
Nilai
tersebut
diperoleh
setelah
mengurangkan
atau
memperhitungkan biaya-biaya yang telah dikeluarkan. Berdasarkan nilai tersebut diharapkan akan mendorong petani untuk mengalokasikan nilai yang diperolehnya dalam berbagai kegunaan seperti untuk biaya produksi periode berikutnya, tabungan dan pengeluaran lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
2.4.2
Usahatani Bawang Daun Penelitian tentang usahatani bawang daun pernah dilakukan sebelumnya.
Hasil dari analisis pendapatan terhadap 40 orang petani yang dipilih secara purposive oleh Darwiyah (2006), diketahui bahwa nilai pendapatan yang diperoleh petani, baik pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total usahatani telah menunjukkan bahwa usahatani bawang daun di Desa
Sindangjaya menguntungkan, karena penerimaannya lebih besar dari total biaya produksi yang dikeluarkan. Penelitian yang sama tentang usahatani bawang daun juga dilakukan oleh Sumiyati (2006). Namun yang membedakan antara penelitian ini dengan penelitian bawang daun sebelumnya yang dilakukan oleh Darwiyah adalah perbandingan tingkat pendapatan bawang daun dilihat dalam dua kondisi tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi yang berbeda di lokasi penelitian, yakni pada kondisi aktual dan kondisi optimal setelah dilakukan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Hasil analisis regresi fungsi produksi CobbDouglas menyimpulkan bahwa pendapatan petani bawang daun pada kondisi optimal lebih besar dibandingkan pendapatan petani bawang daun pada kondisi aktual, sehingga nilai R/C pada kondisi optimal lebih besar dibandingkan nilai R/C pada kondisi aktual. Hal ini menunjukkan pada saat dilakukan efisiensi tercapai keuntungan maksimum.
2.4.3
Usahatani Organik dan Anorganik Khairina (2006) dalam penelitiannya juga membandingkan tingkat
pendapatan antara usahatani wortel dengan budidaya organik dan usahatani wortel dengan budidaya anorganik. Penelitian yang juga dilakukan di Desa Citeko ini menunjukkan bahwa nilai R/C atas biaya total dan biaya tunai petani wortel organik lebih besar dibandingkan petani wortel anorganik. Kesimpulan yang dihasilkan adalah usahatani wortel organik lebih menguntungkan dibanding usahatani wortel anorganik.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Kusumah (2004) tentang analisis perbandingan usahatani antara padi organik dengan padi anorganik. Sistem usahatani padi organik yang sedang dikembangkan oleh petani padi di Kelurahan Mulyaharja ini secara umum kegiatannya sama dengan sistem usahatani padi anorganik. Perbedaannya hanya terletak pada input yang digunakannya saja, yakni meliputi pupuk dan pestisida. Hasil perhitungan dengan menggunakan analisis pendapatan menunjukkan bahwa pendapatan atas biaya tunai padi organik lebih rendah bila dibandingkan dengan padi anorganik, sedangkan pendapatan atas biaya total padi organik lebih tinggi dibandingkan padi anorganik. Hal inilah yang secara langsung dapat memberikan keuntungan bagi para petani padi di Kelurahan Mulyaharja karena dapat meningkatkan pendapatan petani organik. Penelitian yang sama tentang usahatani padi organik dan padi anorganik juga dilakukan oleh Marhamah (2007). Perbedaannya terletak pada tujuan dari penelitian ini, yakni menganalisis tingkat produktivitas dan tingkat pendapatan dari padi organik dan anorganik berdasarkan status kepemilikan lahan. Pada penelitiannya di Kelurahan Situgede ini, para petani organik terbagi berdasarkan status kepemilikan lahan yaitu petani pemilik dan petani bagi hasil. Adanya perbedaan kepemilikan lahan ini menyebabkan adanya perbedaan perilaku petani dalam hal mengelola kegiatan usahatani yang dilakukan. Selain itu, sistem kepemilikan lahan yang berbeda juga akan menghasilkan tingkat pendapatan yang berbeda pula. Hasil analisis pendapatan pada usahatani padi organik dan padi anorganik selama satu tahun menunjukkan bahwa pendapatan bersih yang diterima oleh petani pemilik lebih tinggi dibandingkan petani bagi hasil. Petani dengan status sebagai bagi hasil pada usahatani padi organik mempunyai
produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan petani dengan status pemilik. Sedangkan pada usahatani padi anorganik diperoleh hasil bahwa untuk status penguasaan lahan, pemilik mempunyai tingkat produktivitas yang lebih tinggi daripada petani dengan status bagi hasil. Mei (2006) menganalisis usahatani sayuran organik dan anorganik pada Yayasan Bina Sarana Bakti. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pendapatan atas biaya tunai komoditi wortel organik lebih kecil dibandingkan dengan brokoli organik dan bawang daun organik. Pendapatan atas biaya tunai wortel adalah Rp 3.000.000,- sedangkan brokoli dan bawang daun berturut-turut adalah Rp 7.875.000,- dan Rp 5.500.000,-. Hal ini karena harga untuk wortel lebih kecil dibandingkan brokoli dan bawang daun. Pendapatan atas biaya tunai brokoli memberikan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan komoditi yang lain. Hal ini disebabkan jumlah produktivitas yang lebih tinggi didukung oleh harga penjualan yang cukup tinggi sehingga penerimaan petani menjadi lebih besar. Apabila dilihat dari rasio penerimaan atas biaya tunai maupun totalnya, usahatani sayur organik adalah layak untuk diusahakan atau dapat dikatakan usahatani tersebut sudah efisien. Usahatani brokoli merupakan yang paling layak dilakukan dibandingkan dengan usahatani wortel dan brokoli karena memiliki nilai ratio R/C paling besar dibandingkan dengan komoditi yang lain. Nilai R/C atas biaya tunai komoditi brokoli adalah 2,11, artinya setiap biaya yang dikeluarkan oleh petani sebesar Rp 1,00 maka petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 2,11,00. Usahatani ini efisien untuk dilaksanakan sebab bernilai R/C lebih besar dari satu. Analisis usahatani komoditas tomat organik dan anorganik menjadi judul penelitian yang dilakukan oleh Iryanti (2005) di Desa Batulayang Kabupaten
Bogor. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa berdasarkan analisis pendapatan usahatani dapat dilihat bahwa petani yang berusahatani tomat secara organik memperoleh pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total lebih besar jika dibandingkan dengan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total yang diterima oleh petani anorganik. Nilai R/C rasio usahatani tomat organik lebih tinggi dibandingkan nilai R/C rasio usahatani tomat anorganik, sehingga penerimaan yang diperoleh petani organik untuk setiap satu rupiah yang dikeluarkan lebih besar daripada petani anorganik. Dengan demikian usahatani tomat organik lebih menguntungkan daripada usahatani tomat anorganik. Beberapa penelitian terdahulu diatas menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaannya adalah sama-sama menganalisis tentang usahatani yang dilakukan oleh petani dan pendapatan yang akan mereka peroleh, baik pada komoditas bawang daun maupun komoditi lain seperti tomat, padi, wortel dan brokoli yang juga dibudidayakan secara organik. Dari studi terdahulu, hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan petani organik lebih menguntungkan dibandingkan dengan petani anorganik. Perbedaannya adalah beberapa penelitian terdahulu mengenai bawang daun hanya menganalisis usahatani dengan sistem pertanian konvensional atau anorganik dan belum ada yang melakukan penelitian mengenai usahatani bawang daun secara organik. Oleh karena itu, pada penelitian ini peneliti tertarik untuk menganalisis pendapatan usahatani bawang daun melalui sistem pertanian organik dan membandingkannya dengan sistem pertanian anorganik. Ringkasan penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6
No
Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu BawangDaunOrganik dan Anorganik Peneliti
Judul
Komoditas
Mengenai
Usahatani
Metode
Hasil Usahatani bawang merah organik lebih efisien dibanding usahatani bawang merah konvensional. Usahatani bawang merah konvensional dan organik sama-sama layak secara ekonomi untuk diusahakan dan memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif Usahatani bawang merah konvensional dan organik memiliki stabilitas yang tinggi terhadap perubahan harga yang terjadi. Pengusahaan sayuran di Sentul Farm layak untuk dilakukan Tingkat sensitivitas akibat penurunan produksi dan harga jual output lebih peka dibandingkan peningkatan harga input produksi. Pendapatan atas biaya tunai padi organik lebih rendah dibandingkan padi anorganik. Pendapatan atas biaya total padi organik lebih tinggi dibandingkan padi anorganik. Pola pemasaran padi organik lebih efisien dibandingkan dengan pola pemasaran padi anorganik. Struktur pasar yang terbentuk untuk padi organik dan padi anorganik adalah sama, yaitu pasar oligopsoni Faktor produksi bibit, pupuk kandang dan TSP berpengaruh nyata terhadap produksi bawang daun.
1.
Handayani (2007)
Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Bawang Merah Konvensional dan Organik di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah
Bawang Merah
Analisis Pendapatan Usahatani, dan Biaya Sumberdaya Domestik (BSD)
2.
Puruhito (2005)
Analisis Pengembangan Usahatani Sayuran di Sentul Farm
Sayuran
Analisis kelayakan finansial dan analisis sensitivitas
3.
Kusumah (2004)
Analisis Perbandingan Usahatani dan Pemasaran Antara Padi Organik dan Padi Anorganik (Kasus : Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat)
Padi
Analisis Pendapatan, analisis R/C ratio, analisis saluran dan prilaku pasar, analisis marjin, dan farmer share petani.
4.
Darwiyah (2006)
Analisis Usahatani dan Sistem Penjualan Bawang Daun
Bawang Daun
Analisis pendapatan, dan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas
5.
Sumiyati (2006)
6.
Khairina (2006)
7.
8.
(Allium fistulosum L.) di Desa Sindangjaya, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur) Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi Usahatani Bawang Daun
Usahatani bawang daun di daerah penelitian menguntungkan.
Bawang Daun
Analisis Pendapatan, analisis fungsi produksi CobbDouglas
Wortel
Analisis pendapatan usahatani, analisis saluran dan prilaku pasar, dan farmer share petani.
Marhamah (2007)
Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Wortel Dengan Budidaya Organik (Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Analisis Pendapatan Usahatani dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Sistem Usahatani Padi Organik di Kabupaten Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat
Padi
Analisis produktivitas, analisis pendapatan usahatani dan analisis AHP (Analytic Hierarchy Process)
Mei (2006)
Analisis Pendapatan
Sayuran
Analisis pendapatan,
Usahatani bawang daun pada lebih menguntungkan pada kondisi aktual. Faktor produksi untuk lahan, bibit, Urea, KCL, pupuk kandang, obat cair, obat padat, tenaga kerja pria dan wanita berpengaruh nyata, sedangkan untuk pupuk TSP tidak berpengaruh nyata. Usahatani wortel organik lebih menguntungkan dibandingkan usahatani wortel konvensional. Pola saluran pemasaran XII paling efisien. Menurut farmer’s share, saluran pemasaran XII paling menguntungkan bagi petani. Tingkat produktivitas petani bagi hasil padi organik lebih tinggi dibanding petani pemilik. Namun pada usahatani padi anorganik berlaku sebaliknya. Faktor utama yang mempengaruhi adopsi usahatani padi organik adalah ciri pribadi petani, informasi teknologi dan kondisi usahatani. Sedangkan pada elemen subfaktor, yang menjadi subfaktor utama adalah pendapatan luar usahatani. Usahatani sayur organik layak/efisien
Usahatani dan Pemasaran Sayuran Organik Yayasan Bina Sarana Bhakti
9.
Iryanti (2005)
Analisis Usahatani Komoditas Tomat Organik dan Anorganik di Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.
analisis R/C ratio, analisis saluran dan prilaku pasar, analisis marjin, dan farmer share
Tomat
Analisis pendapatan, dan analisis R/C ratio
untuk diusahakan. Usahatani brokoli merupakan yang paling layak dilakukan dibandingkan dengan usahatani wortel karena memiliki nilai ratio R/C paling besar dibandingkan dengan komoditi yang lain. Usahatani tomat organik lebih menguntungkan daripada usahatani tomat anorganik
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1
Ruang Lingkup Usahatani Menurut Suratiyah (2006), ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari
bagaimana seorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga dapat memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan
ilmu
yang
mempelajari
cara-cara
petani
menentukan,
mengorganisasikan dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin. Beberapa definisi ilmu usahatani menurut Suratiyah (2006), yaitu : 1. Menurut Efferson, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara mengorganisasikan dan mengoperasikan unit usahatani dipandang dari sudut efisiensi dan pendapatan yang kontinyu. 2. Menurut Daniel, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani mengkombinasikan dan mengoperasikan berbagai faktor produksi seperti lahan, tenaga dan modal sebagai dasar bagaimana petani memilih jenis dan besarnya cabang usahatani berupa tanaman atau ternak sehingga memberikan hasil maksimal dan kontinyu. 3. Menurut Vink (1984), ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari norma-norma yang digunakan untuk mengatur usahatani agar memperoleh pendapatan yang setinggi-tingginya.
4. Menurut Prawirokusumo (1990), ilmu usahatani merupakan ilmu terapan yang membahas atau mempelajari bagaimana membuat atau menggunakan sumberdaya secara efisien pada suatu usaha pertanian, peternakan atau perikanan. Selain itu, ilmu usahatani juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana membuat dan melaksanakan keputusan pada usaha pertanian, peternakan atau perikanan untuk mencapai tujuan yang telah disepakati oleh petani atau peternak tersebut. 5. Bachtiar Rifai dalam Soeharjo dan Patong (1973), mengatakan bahwa ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari kesatuan, organis dari alam, tenaga kerja, modal dan pegelolaan yang ditujukan untuk mendapatkan produksi di lapangan pertanian. Dari definisi diatas, dapat diperoleh empat unsur pokok yang selalu bekerja dalam usahatani, yakni alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan (manajemen). Keempat unsur tersebut juga dapat disebut faktor-faktor produksi (Hernanto, 1989). Alam merupakan faktor yang sangat menentukan dalam usahatani. Faktor alam dapat dibedakan menjadi dua, yakni faktor tanah yang mencakup jenis tanah dan kesuburan tanah, serta faktor alam sekitar yang mencakup iklim yang juga berkaitan dengan ketersediaan air, suhu dan lain sebagainya. Tanah merupakan faktor produksi yang penting karena tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman, ternak dan usahatani keseluruhannya. Faktor tanah juga tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya yaitu sinar matahari, curah hujan, angin dan sebagainya. Iklim yang juga menjadi bagian dari faktor alam sekitarnya sangat berpengaruh pada jenis tanaman atau komoditas yang akan diusahakan (Suratiyah, 2006).
Tenaga kerja dalam usahatani merupakan faktor produksi kedua selain tanah, modal dan pengelolaan (manajemen). Tenaga kerja dalam usahatani memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan tenaga kerja dalam usaha bidang lain yang bukan pertanian. Karakteristik tenaga kerja bidang usahatani menurut Tohir (1983) adalah : 1. Keperluan akan tenaga kerja dalam usahatani sangat terbatas. 2. Penyerapan tenaga kerja dalam usahatani sangat terbatas. 3. Tidak mudah distandarkan, dirasionalkan dan dispesialisasikan. 4. Beraneka ragam coraknya dan kadang kala tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tenaga kerja usahatani dapat diperoleh dari dalam keluarga dan dari luar keluarga. Ada beberapa hal yang membedakan antara tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja luar keluarga, yakni komposisi menurut umur, jenis kelamin, kualitas dan kegiatan kerja (prestasi kerja). Tanah serta alam sekitarnya dan tenaga kerja adalah faktor produksi asli, sedangkan modal dan peralatan merupakan substitusi faktor produksi tanah dan tenaga kerja. Dalam arti ekonomi perusahaan, modal adalah barang ekonomi yang dapat dipergunakan untuk memproduksi kembali, atau dengan kata lain, modal adalah barang ekonomi yang dapat dipergunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan pendapatan. Modal dapat dikelompokkan berdasarkan sifat, kegunaan, waktu dan fungsi. 1. Sifat. Atas dasar sifat, modal dapat digolongkan menjadi modal yang dapat menghemat lahan (land saving capital) dan modal yang dapat menghemat tenaga kerja (labour saving capital). Disamping itu, ada juga modal yang
justru dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak (misalnya jika menggunakan teknologi kimiawi, biologis, dan pancausaha). 2. Kegunaan. Menurut kegunaannya, modal dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu modal aktif dan modal pasif. Modal aktif adalah modal yang secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan produksi (misalnya pupuk dan bibit unggul, sedangkan modal tidak langsung misalnya terasering). Modal
pasif
adalah
modal
yang
digunakan
hanya
untuk
sekadar
mempertahankan produk (misalnya penggunaan bungkus, karung, kantong plastik dan gudang). 3. Waktu. Atas dasar waktu pemberian manfaatnya, modal dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu modal produktif dan modal prospektif. Modal dikatakan produktif jika dapat meningkatkan produksi (misalnya pupuk dan bibit unggul). Modal dikatakan prospektif jika dapat meningkatkan produksi, tetapi baru akan dirasakan pada jangka waktu lama (misalnya investasi dan terasering). 4. Fungsi. Atas dasar fungsinya, modal dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu modal tetap (fixed assets) dan modal tidak tetap atau modal lancar (current assets). Modal tetap adalah modal yang dapat dipergunakan secara berkali-kali proses produksi. Modal tetap ada yang bergerak atau mudah dipindahkan, ada yang hidup maupun mati (misalnya cangkul, sabit, ternak), sedangkan yang tidak dapat dipindahkan juga ada yang hidup maupun mati (misalnya bangunan, tanaman keras). Modal tidak tetap adalah modal yang hanya dapat digunakan dalam satu kali proses produksi saja (misalnya pupuk dan bibit unggul untuk tanaman semusim).
Pengelolaan
usahatani
adalah
kemampuan
petani
menentukan,
mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya dengan sebaik-baiknya serta mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan (manajemen) itu adalah produktivitas dari setiap faktor maupun produktivitas dari usahanya. Dengan demikian pengenalan secara utuh faktor yang dimiliki dan faktor-faktor yang dapat dikuasai akan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan (Ken Suratiyah, 2006).
3.1.2
Konsep Penerimaan Usahatani Menurut Soekartawi dkk (1986), penerimaan usahatani adalah nilai produk
tunai usahatani dalam jangka waktu tertentu. Penerimaan cabang usaha adalah jumlah salah satu produk usahatani dalam jangka waktu tertentu. Penerimaan ini mencakup suatu produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga petani, digunakanuntuk bibit dalam usahatani, digunakan untuk pembayaran dan yang disimpan. Penerimaan ini dinilai berdasarkan perkalian antara total produksi dengan harga pasar yang berlaku.
3.1.3
Konsep Biaya Menurut Tjakrawilaksana dalam Apriani (2007), biaya atau pengeluaran
usahatani adalah nilai penggunaan faktor-faktor produksi dalam melakukan proses produksi usahatani. Pengertian yang sedikit berbeda juga dikemukakan oleh Hernanto (1995) dan Soekartawi, et. al. (1986). Hernanto mengemukakan bahwa biaya adalah korbanan yang dicurahkan dalam proses produksi yang semula fisik,
kemudian diberi nilai rupiah, sedangkan menurut Soekartawi, et. al , biaya atau pengeluaran usahatani adalah semua nilai masuk yang habis terpakai atau dikeluarkan didalam produksi tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani. Biaya dalam usahatani dapat dibedakan menjadi biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai usahatani merupakan pengeluaran tunai yang dikeluarkan petani, sedangkan biaya yang diperhitungkan merupakan pengeluaran yang secara tidak tunai dikeluarkan petani. Biaya ini dapat berupa faktor produksi yang digunakan petani tanpa mengeluarkan uang tunai seperti sewa lahan yang diperhitungkan atas lahan milik sendiri, penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, penggunaan bibit dari hasil produksi dan penyusutan dari sarana produksi. Biaya penyusutan alat-alat pertanian diperhitungkan dengan membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya modal yang dipakai. Biaya penyusutan dapat diperhitungkan dengan mengunakan Metode Penyusutan Garis Lurus dengan rumus sebagai berikut : BiayaPenyusu tan =
Dimana :
Nb Ns n
Nb − Ns n
= Nilai pembelian, dalam Rupiah = Tafsiran nilai sisa, dalam Rupiah = Jangka usia ekonomi, dalam tahun
Menurut Hernanto (1989), pengaruh status kepemilikan lahan terutama lahan milik sendiri terhadap pengelolaan usahatani antara lain : a) Petani bebas mengelola lahan pertaniannya. b) Petani bebas merencanakan dan menentukan jenis tanaman yang akan ditanam. c) Petani bebas menggunakan teknologi dan cara budidaya. d) Petani bebas memperjualbelikan lahan yang dimilikinya.
e)
Dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab petani terhadap apa yang dimilikinya.
3.1.4
Konsep Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan usahatani yang
diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Besarnya pendapatan usahatani yang diterima merupakan balas jasa untuk tenaga kerja, modal keluarga yang dipakai dan pengelolaan yang dilakukan oleh seluruh keluarga. Bentuk dan jumlah pendapatan mempunyai fungsi yang sama, yaitu memenuhi keperluan sehari-hari dan memberikan kemampuan petani agar dapat melanjutkan kegiatannya. Pendapatan ini akan digunakan untuk mencapai keinginana-keinginan dan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian pendapatan yang diterima petani akan dialokasikan pada berbagai kebutuhan. Jumlah pendapatan dan cara menggunakan inilah yang menentukan tingkat hidup petani. Analisis
pendapatan
usahatani
pada
umumnya
digunakan
untuk
mengevaluasi kegiatan usaha pertanian dalam satu tahun. Bagi seorang petani, analisis pendapatan membantunya untuk mengukur apakah usahataninya pada saat itu berhasil atau tidak. Suatu usahatani dikatakan berhasil apabila situasi pendapatannya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi, termasuk biaya angkutan dan biaya administrasi yang mungkin melekat pada pembelian tersebut. b. Cukup untuk membayar bunga modal yang ditanam, termasuk pembayaran sewa tanah dan pembayaran dana depresiasi modal.
c. Cukup untuk membayar upah tenaga kerja yang dibayar atau bentuk-bentuk upah lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah. Terdapat beberapa ukuran pendapatan menurut Soeharjo dan Patong (1973) : 1. Pendapatan kerja petani (operators farm labour income) Pendapatan ini diperoleh dengan menghitung semua penerimaan yang berasal dari penjualan, yang dikonsumsi keluarga dan kenaikan nilai inventaris. Setelah itu dikurangi dengan semua pengeluaran, baik yang tunai maupun yang diperhitungkan, termasuk bunga modal dan nilai kerja keluarga. 2. Penghasilan kerja petani (operators farm labour earning) Angka ini diperoleh dari menambah pendapatan kerja petani dengan penerimaan tidak tunai 3. Pendapatan kerja keluarga (family farm labour earning) Pendapatan ini merupakan balas jasa dari kerja dan pengelolaan petani dan anggota keluarganya. Pendapatan kerja keluarga diperoleh dari menambah penghasilan kerja petani dengan nilai kerja keluarga. 4. Pendapatan keluarga (family income) Angka ini diperoleh dengan menghitung pendapatan dari sumber-sumber lain yang diterima petani bersama keluarganya disamping kegiatan pokoknya. Menurut Ken Suratiyah (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya dan pendapatan dapat digolongkan sebagai berikut : 1. Faktor internal dan faktor eksternal Faktor internal meliputi umur, pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan keterampilan, jumlah tenaga kerja keluarga, luas lahan dan modal. Sedangkan
faktor eksternal dari segi faktor produksi (input) terbagi dalam dua hal yaitu ketersediaan dan harga. Selain faktor eksternal dari segi faktor produksi, terdapat pula faktor eksternal dari segi produksi (output) maliputi permintaan dan harga. 2. Faktor manajemen Disamping faktor internal dan eksternal, faktor manajemen juga sangat menentukan besarnya biaya dan pendapatan usahatani. Dalam pelaksanaanya, sangat diperlukan berbagai informasi tentang kombinasi faktor produksi dan informasi harga baik harga faktor produksi maupun produk. Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua informasi, yaitu informasi keadaan seluruh penerimaan dan informasi mengenai seluruh pengeluaran selama waktu yang ditetapkan (Soekartawi, et. al. 1986). Pada umumnya jangka waktu yang digunakan adalah satu tahun. Salah satu ukuran efisiensi pendapatan yang digunakan adalah Return Cost Ratio (R/C) atau analisis imbangan penerimaan dan biaya. Nilai R/C menunjukkan besarnya penerimaan yang diperoleh dengan biaya satu satuan biaya. Dua macam R/C yang sering digunakan yaitu R/C rasio atas biaya total dan R/C rasio atas biaya tunai. Hasil perhitungan R/C > 1 memiliki arti bahwa usahatani tersebut menguntungkan dan layak untuk dilaksanakan, nilai R/C < 1 menunjukkan bahwa usahatani tersebut tidak menguntungkan, dan apabila nilai R/C = 1, maka dapat dikatakan bahwa usahatani tersebut berada pada keuntungan normal.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Semakin berkembangnya pengetahuan masyarakat akan kesehatan, maka semakin tinggi pula kesadaran mereka akan dampak negatif yang ditimbulkan dari produk-produk hasil pertanian organik yang menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya. Oleh karena itu, kini masyarakat semakin giat dalam mencanangkan gaya hidup sehat atau “back to nature” dengan lebih berorientasi pada konsumsi akan produk-produk organik. Peluang yang dimiliki oleh produk pertanian organik semakin didukung oleh semakin meningkatnya permintaan akan produk organik baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Produk-produk organik tersebut selain dapat menjaga kelestarian lingkungan, juga dapat meningkatkan pendapatan petani yang mengusahakannya. Hal ini dikarenakan harga jual yang dimiliki produk organik lebih tinggi dibanding produk anorganik. Hal-hal tersebut di atas semakin mendukung pengembangan usahatani sayuran organik. Salah satunya adalah adanya penanaman bawang daun melalui sistem budidaya organik oleh para petani di Desa Batulayang dimulai pada tahun 1997 setelah sebelumnya didominasi oleh sistem budidaya konvensional. Sejak tahun 1997 tersebut, kegiatan usahatani bawang daun secara organik di Desa Batulayang dijalankan oleh para petani yang terhimpun dalam sebuah kelompok tani “Kalicimandala”, bahkan desa tersebut sudah mendapat sertifikasi organik dari kepala daerah Kabupaten Bogor. Namun setelah 10 tahun berjalan, kegiatan usahatani bawang daun organik di desa tersebut kurang berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari masih banyaknya para petani yang melakukan usahatani bawang daun dengan dua sistem penanaman yakni secara organik dan anorganik. Bahkan ada juga petani yang
tetap mempertahankan usahatani bawang daunnya dengan sistem budidaya anorganik dan belum mau beralih ke sistem budidaya organik. Belum tertariknya para petani dalam membudidayakan bawang daun secara organik disebabkan adanya beberapa kendala yang dihadapi oleh para petani, yakni dalam hala modal, produksi dan pasar. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilihat bagaimana sebenarnya penerapan usahatani bawang daun organik yang dilakukan oleh para petani di kelompok tani ”Kalicimandala” melalui analisis keragaan usahatani bawang daun organik pada lahan luas dan lahan sempit. Selanjutnya akan dilihat perbandingan pendapatan antara usahatani bawang daun organik dengan usahatani bawang daun anorganik melalui dua analisis pendapatan usahatani. Hasil dari dua analisis pendapatan usahatani tersebut bertujuan untuk mengetahui sistem usahatani mana yang lebih efisien, yang akan dinyatakan dalam nilai R/C ratio. Pada akhirnya hasil dari perbandingan nilai R/C ratio antara bawang daun organik dan anorganik tersebut dapat menjadi bahan rekomendasi bagi para petani untuk menentukan usahatani bawang daun mana yang efisien untuk dilakukan. Selain itu, hasil analisis tersebut sekaligus dapat menjawab segala keraguan para petani di Desa Batulayang dalam membudidayakan bawang daun organik. Bagan alur kerangka pemikiran dan usahatani komoditas bawang daun organik dan anorganik dapat dilihat pada Gambar 1.
Tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat Meningkatnya permintaan akan produk organik Menjaga kelestarian lingkungan Meningkatkan pendapatan petani
Usahatani Komoditas Bawang Daun di Desa Batulayang Petani bawang daun belum tertarik menerapkan sistem budidaya secara organik karena kendala modal, produksi dan pasar
Petani Organik 1. Produksi rendah 2. Monokultur 3. Menggunakan pupuk alami 4. Pasarnya masih pelangganpelanggan tertentu 5. Biaya tenaga kerja lebih tinggi
Analisis Keragaan Usahatani Bawang Daun Organik Lahan Luas
1. 2. 3. 4. 5.
Petani Anorganik Produksi Tinggi Monokultur Menggunakan pupuk kimia Pasarnya relatif luas Biaya tenaga kerjanya relatif rendah dibandingkan sistem pertanian anorganik
Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Daun Organik
Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Daun Anorganik
Penerimaan
Biaya Tunai
Lahan Sempit
Diperhitungkan
Pendapatan Tunai
Pendapatan Total
R/C Tunai
R/C Total
Rekomendasi Usahatani Bawang Daun yang Efisien untuk Dilakukan
Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran Operasional.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua,
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Batulayang merupakan salah satu desa yang berpotensial untuk mengembangkan sistem pertanian organik karena sudah sekitar sepuluh tahun menerapkan sistem pertanian ini. Sistem pertanian organik mulai dikembangkan di Desa Batulayang pada tahun 1997. Pengumpulan data dilakukan pada bulan November - Februari 2008.
4.2
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer meliputi data produksi, sedangkan data mengenai sistem penanaman dan lain-lain yang diperlukan dalam analisa diperoleh dari wawancara langsung dengan para petani bawang daun yang menerapkan sistem pertanian organik maupun anorganik (konvensional). Perolehan data dan informasi juga diperoleh melalui pengamatan langsung terhadap keadaan usahatani petani bawang daun organik dan anorganik di Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua. Para petani juga dipandu dengan kuisioner yang telah dipersiapkan sebelumnya agar dapat mempermudah para petani dalam pengisian kuisioner tersebut. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari Instansi-instansi yang terkait dengan permasalahan penelitian antara lain Badan Pusat Statistik, Badan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hortikultura serta instansi terkait lainnya seperti kantor Kecamatan Cisarua dan kantor Desa Batulayang. Selain itu, data sekunder juga diperoleh dari literatur-literatur atau perpustakaan yang relevan (laporan penelitian sebelumnya, buku) serta media elektronik yaitu internet.
4.3
Metode Penarikan Contoh Populasi petani dalam penelitian ini merupakan jumlah petani yang
terhimpun dalam sebuah kelompok tani “Kalicimandala” di Desa Batulayang. Populasi petani tersebut sebanyak 150 orang, dimana masing-masing petani melakukan usahatani bawang daun dengan dua sistem penanaman yang berbeda yakni secara organik dan juga secara anorganik. Setiap petani memiliki karakteristik yang berbeda yakni dalam hal luasan lahan yang mereka miliki. Maka untuk dapat menggambarkan secara tepat, populasi ini dibagi dalam strata yang seragam dan dari setiap strata akan diambil sampel secara acak. Dengan kata lain pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode Stratified Random Sampling. Tujuan penstrataan pada penelitian ini adalah untuk mengubah suatu populasi yang tadinya heterogen menjadi homogen. Dalam hal ini adalah suatu populasi petani yang memiliki luasan lahan yang berbeda-beda (heterogen) akan dikelompokkan kedalam dua subpopulasi yang teratur (homogen), yakni luasan lahan sempit dan luas lahan luas. 150 petani tersebut dikelompokkan berdasarkan luasan lahan sempit (≤ 0,3 ha), dan lahan luas (> 0,3 ha). Penggunaan luasan 0,3 hektar sebagai titik dalam penstrataan diperoleh dari nilai rata-rata luasan lahan organik maupun
anorganik yang dimiliki petani. Setelah dilakukan pengelompokan berdasarkan strata luasan lahan pada petani organik, maka diperoleh 114 orang petani berluasan lahan sempit dan 36 orang petani berluasan lahan luas, sedangkan pada petani anorganik diperoleh 96 orang petani berluasan lahan sempit dan 54 orang petani berluasan lahan luas. Selanjutnya, dilakukan persentase dari jumlah petani organik dan anorganik dengan luasan lahan sempit dan luas untuk mendapatkan jumlah responden organik dan anorganik, baik luasan lahan sempit maupun luasan lahan luas. Pada akhirnya diperoleh jumlah responden organik luasan lahan sempit dan luas, yakni masing-masing sebanyak 23 orang dan 7 orang. Sedangkan jumlah responden anorganik luasan lahan sempit dan luas, yakni masing-masing sebanyak 19 orang dan 11 orang. Kemudian diambil sampel secara acak dari masing-masing jumlah petani responden organik dan anorganik yang telah didapatkan tadi. Pengambilan sampel dilakukan dengan proporsi yang sama, yakni 30 orang petani yang mengusahakan bawang daun secara organik dan 30 orang petani yang mengusahakan bawang daun secara anorganik.
4.4
Metode Pengolahan Dan Analisis Data Analisis dan pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Hasil analisis kuantitatif akan dinyatakan secara kualitatif dengan menggunakan tabulasi dan diuraikan secara deskriptif. Data yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi analisis pendapatan petani bawang daun organik yang kemudian akan dibandingkan dengan tingkat pendapatan bawang daun anorganik atau konvensional di lokasi penelitian. Dari analisis pendapatan yang diperoleh
kemudian dilakukan analisis rasio penerimaan dan biaya dari masing-masing usahatani. 4.4.1
Analisis Pendapatan Usahatani Pendapatan dalam penelitian ini akan dibedakan menjadi dua yakni
pendapatan atas biaya tunai (pendapatan tunai) dan pendapatan atas biaya total (pendapatan total). Pendapatan atas biaya tunai adalah selisih antara penerimaan tunai usahatani dan biaya tunai usahatani. Perhitungan pendapatan atas biaya tunai secara umum yaitu : Y
= TR – BT
TR = P × Q Dimana : TR Y Bt P Q
= Total penerimaan (revenue) usahatani, dalam Rp = Pendapatan tunai atau keuntungan tunai usahatani (Kg) = Biaya tunai = Harga jual bawang daun, dalam Rp/Kg = Jumlah bawang daun
Sedangkan pendapatan total memasukkan biaya yang diperhitungkan sebagai biaya usahatani. YT = TR - BT Dimana : YT = Pendapatan total atau keuntungan total usahatani BT = Biaya total termasuk biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Hubungan antara biaya dan penerimaan usahatani ada beberapa kemungkinan, yaitu sebagai berikut : Biaya usahatani (cost) lebih besar dari penerimaan (revenue), maka usahatani dikatakan rugi. Biaya usahatani (cost) sama dengan penerimaan (revenue), maka usahatani dikatakan tidak untung dan tidak rugi. Dengan kata lain keadaan ini disebut titik impas (Break Even Point).
Biaya usahatani (cost) lebih kecil dari penerimaan (revenue), maka usahatani dikatakan untung.
4.4.2
Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Ratio) Return Cost Ratio atau imbangan penerimaan dan biaya adalah
perbandingan antara total penerimaan dengan biaya total yang dikeluarkan dalam satu kali proses produksi usahatani. Hal ini menunjukkan berapa besar penerimaan yang diperoleh sebagai manfaat dari setiap rupiah yang dikeluarkan. Perhitungan R/C rasio dapat dirumuskan sebagai berikut : Rasio R
Rasio R
C atas biaya tunai
C atas biaya total
=
=
TotalPenerimaan(TR ) TotalBiayaTunai
TotalPenerimaan(TR ) TotalBiayaTotal
Nilai R/C > 1, artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya atau dapat dikatakan kegiatan usahatani tersebut menguntungkan dan layak untuk dilaksanakan. Sebaliknya, bila nilai R/C < 1, berarti kegiatan usahatani tersebut tidak menguntungkan dan tidak layak untuk dilaksanakan. Jika R/C rasio = 1, maka kegiatan usahatani tersebut berada pada kondisi keuntungan normal. Metode perhitungan pendapatan usahatani bawang daun dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Metode Perhitungan Pendapatan Usahatani Komoditas Bawang Daun Penerimaan Usahatani Produksi yang dihasilkan
(1)
Harga satuan produksi
(2)
Total penerimaan
(1 x 2) = (3)
Biaya Usahatani I.
Biaya tunai Biaya sarana produksi
elian bibit/benih elian pupuk elian obat-obatan Upah tenaga kerja Sewa lahan Biaya lain-lain otal Biaya Tunai
(4)
Biaya Diperhitungkan Nilai penyusutan alat-alat pertanian Nilai tenaga kerja keluarga otal Biaya Diperhitungkan Biaya Total
(5) (4) + (5) = (6)
Pendapatan atas Biaya tunai
(3) – (4)
Pendapatan atas Biaya total
(3) – (6)
R/C Ratio atas Biaya Tunai
(3) / (4)
R/C ratio atas Biaya Total
(3) / (6)
BAB V KERAGAAN USAHATANI BAWANG DAUN ORGANIK
5.1
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Batulayang yang merupakan bagian dari
wilayah Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Desa Batulayang berbatasan dengan Desa Megamendung dan Desa Jogjogan di sebelah Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cibeureum, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Cisarua dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tugu Utara. Jarak dari Desa Batulayang ke ibukota kecamatan adalah sejauh 3 Km dengan waktu tempuh 15 menit, sedangkan jarak dari Desa Batulayang ke ibukota kabupaten (Bogor) adalah sejauh 36 Km yang dapat ditempuh dalam waktu 1,5 jam. Sarana transportasi yang dapat digunakan untuk menghubungkan desa ini menuju jalan raya utama (jalan raya puncak) adalah ojek atau kendaraan beroda empat. Perjalanan menuju Desa Batulayang tidak terlalu sulit, karena kondisi jalan yang ada di desa tersebut cukup baik dan sebagian besar sudah berupa jalan aspal, meskipun masih ada beberapa jalan tanah dan jalan bebatuan terutama menuju ke lahan pertanian dan perkebunan. Karakteristik geografis Desa Batulayang yaitu berada di daerah dataran tinggi yang memiliki ketinggian 900-1000 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 19-24º C serta curah hujan per tahun di daerah tersebut sekitar 1000 mm. Dengan melihat kondisi tersebut, maka Desa Batulayang merupakan lokasi yang cocok untuk mengembangkan tanaman sayuran khususnya tanaman bawang daun baik yang dibudidayakan secara organik maupun anorganik.
Luas wilayah Desa Batulayang secara keseluruhan adalah 226 hektar. Pemanfaatan lahan desa sebagian besar digunakan untuk areal perkebunan (60,18 %), areal ladang/tegalan (13,27 %) serta areal pertanian dan pemukiman (masingmasing 8,85 %), Sebagian lainnya digunakan untuk areal perikanan, areal bangunan fasilitas umum dan lain-lain. Pemanfaatan lahan di Desa Batulayang secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Pemanfaatan Lahan Desa Batulayang Tahun 2007 Fungsi Lahan Lahan Pertanian
Luas Lahan (Ha)
Persentase (%) 20
8,85
136
60,18
Ladang/Tegalan
30
13,27
Lahan Pemukiman
20
8,85
2
0,88
3.06
1,35
14.94
6,61
226
100
Lahan Perkebunan
Lahan Perikanan Lahan bangunan Fasilitas Umum Lain-lain Total
Sumber : Data Monografi Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, 2007
Desa Batulayang terdiri dari empat RW (Rukun Warga) dan 19 RT (Rukun Tetangga) serta dua dusun yaitu Dusun Batulayang I dan Dusun Batulayang II. Kedua dusun tersebut dipisahkan oleh sungai Ciliwung yang merupakan sumber air bagi penduduk di desa tersebut. Jumlah penduduk Desa Batulayang tercatat sebanyak 7.065 jiwa (tahun 2004), dengan komposisi 3.577 jiwa penduduk laki-laki (50,63 %) dan 3.488 jiwa penduduk perempuan (49,37 %). Jumlah penduduk Desa Batulayang dilihat dari komposisi penduduk berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Usia dan Jenis Kelamin di Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor Tahun 2007 No
Golongan Umur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan (orang) (orang) 71 66 124 116 83 81 433 432 305 308 370 355 66 51 813 873 463 410 532 503 113 104 114 108 90 81
0-12 bulan 13 bulan-4 tahun 5-6 tahun 7-12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun 19-25 tahun 26-35 tahun 36-45 tahun 46-50 tahun 51-60 tahun 61-75 tahun Lebih dari 75 tahun Jumlah 3577 Sumber : Profil Desa Batulayang Tahun 2007
Jumlah (orang)
3488
137 240 164 865 613 725 117 1.686 873 1.035 217 222 171 7065
Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa penduduk Desa Batulayang lebih banyak yang berusia antara 26-35 tahun, yakni sebesar 1.686 jiwa atau sebesar 23,86 persen dari total penduduk dan termasuk dalam kriteria produktif. Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan lebih banyak berada pada kisaran usia 26-35 tahun. Dilihat dari struktur mata pencahariannya, penduduk Desa Batulayang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani maupun buruh tani yaitu sebanyak 3.200 orang atau sekitar 71,54 persen dari total jumlah penduduk berdasarkan
mata
pencaharian,
sedangkan
sisanya
bekerja
disubsektor
jasa/perdagangan, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, subsektor perikanan, subsektor industri kecil/kerajinan dan subsektor industri sedang maupun besar. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Desa Batulayang dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian di Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor Tahun 2007 No 1 2 3 4 5 6 7
Struktur Mata Pencaharian Sub Sektor Pertanian Tanaman Pangan Sub Sektor Perkebunan/Perladangan Sub Sektor Peternakan Sub Sektor Perikanan Sub Sektor Industri Kecil/Kerajinan Sub Sektor Industri Besar/Sedang Sub Sektor Jasa/Perdagangan Jumlah Sumber : Profil Desa Batulayang Tahun 2007
Jumlah (orang) Persentase (%) 3200 71,54 80 1,79 22 0,49 15 0,34 3 0,07 12 0,27 1141 25,50 4473 100,00
Jenis pertanian yang diusahakan oleh para petani di Desa Batulayang cukup bervariasi. Komoditi yang dibudidayakan diantaranya adalah tomat, bawang daun, wortel, cabe, pakcoy, caisin, sawi putih, kembang kol dan lain-lain, sedangkan
untuk
komoditi
buah-buahan
para
petani
lebih
banyak
membudidayakan tanaman pisang. Hal ini disebabkan kondisi alam dan iklim yang cocok untuk pertumbuhan tanaman ini. Komoditi-komoditi tersebut, baik sayuran maupun buah sejak dulu dibudidayakan secara anorganik/konvensional, namun saat ini para petani di Desa Batulayang sedang mengembangkan sistem pertanian organik terutama untuk tanaman sayuran. Hal ini disebabkan kondisi alam di Desa Batulayang yang jauh dari polusi serta cukup mendukung dengan tersedianya sumber air yang langsung berasal dari pegunungan.
5.2
Karakteristik Petani Bawang Daun
5.2.1 Umur Petani Responden Petani responden yang mengusahakan bawang daun dengan sistem budidaya organik maupun anorganik memiliki usia rata-rata antara 25-65 tahun. Sebaran umur petani responden ini dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu petani responden yang berusia muda dengan umur kurang dari 30 tahun, petani
responden yang berusia sedang dengan umur antara 30-50 tahun, dan petani responden yang berusia tua dengan umur lebih dari 50 tahun. Jika dilihat dari sebaran umur petani responden, sebagian besar responden adalah petani yang usianya antara 30-50 tahun. Sebaran umur petani responden dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Umur Pada Usahatani Bawang Daun Organik dan Anorganik di Kelompok Tani ”Kalicimandala” Tahun 2008 Umur Responden < 30 tahun 30-50 tahun > 50 tahun Total 5.2.2
Organik Jumlah Persentase Responden (%) 1 3,33 19 63,34 10 33,33 30 100
Anorganik Jumlah Persentase Responden (%) 7 23,33 13 43,34 10 33,33 30 100
Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Petani Responden Petani Responden pada penelitian ini memiliki pendidikan yang beragam.
Pendidikan formal yang dimiliki petani responden paling tinggi adalah lulusan Perguruan Tinggi (S1), namun yang mengenyam pendidikan tersebut hanya satu orang yakni ketua kelompok tani ”Kalicimandala” yang juga berprofesi sebagai petani bawang daun di Desa Batulayang. Oleh karena itu, petani responden ini memiliki pengaruh yang cukup besar di lingkungan para petani responden lainnya terutama dalam hal penyaluran sumber informasi dan pengetahuan tentang budidaya bawang daun baik organik maupun anorganik. Hal ini terkait dengan masih rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh para petani responden, yakni 25 orang atau sebesar 83,34 persen petani responden organik yang hanya menyelesaikan pendidikan SD dan 22 orang atau sebesar 73,33 persen petani
responden anorganik yang menyelesaikan pendidikan SD. Tingkat pendidikan formal petani responden dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan PadaUsahatani Bawang Daun Organik dan Anorganik di Kelompok Tani ”Kalicimandala” Tahun 2008 Tingkat Pendidikan Tidak sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Perguruan Tinggi Total
Organik Jumlah Persentase Responden (%) 1 3,33 25 83,34 1 3,33 2 6,67 1 3,33 30
100
Anorganik Jumlah Persentase Responden (%) 4 13,33 22 73,33 2 6,67 2 6,67 30
100
Secara garis besar tingkat pendidikan petani responden bawang daun organik maupun anorganik tergolong rendah, hal ini terlihat dari sebagian besar petani responden hanya mengenyam pendidikan dibangku SD. Namun rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki belum tentu mencerminkan rendahnya pengetahuan mereka tentang budidaya bawang daun, karena pengetahuan yang mereka peroleh selama ini berasal dari warisan turun-temurun dari orang tua mereka dan terus dikembangkan dari pengalaman bertani mereka selama bertahun-tahun. Jika dilihat dari segi pengalaman petani responden dalam budidaya bawang daun, maka sebagian besar petani responden mempunyai pengalaman yang cukup lama dalam membudidayakan bawang daun, baik secara organik maupun anorganik. Petani responden dibagi atas tiga kelompok, yaitu petani responden dengan pengalaman kurang dari 5 tahun, petani responden dengan pengalaman antara 5-10 tahun, dan petani responden dengan pengalaman lebih dari 10 tahun. Sebagian besar petani responden anorganik memiliki pengalaman
berusahatani bawang daun anorganik lebih dari 10 tahun, yakni sebanyak 17 orang petani anorganik atau sebesar 56,67 persen. Sedangkan sebagian besar petani organik memiliki pengalaman berusahatani bawang daun organik antara 510 tahun, yakni sebanyak 27 orang petani organik atau sebesar 90 persen. Sebaran petani responden menurut pengalaman berusahatani bawang daun dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Bertani Bawang Daun Organik dan Anorganik di Kelompok Tani ”Kalicimandala” Tahun 2008 Pengalaman Bertani < 5 tahun 5-10 tahun > 10 tahun Total
Organik Jumlah Persentase Responden (%) 3 10 27 90 30 100
Anorganik Jumlah Persentase Responden (%) 1 3,33 12 40 17 56,67 30 100
5.2.3 Luas dan Status Pengelolaan Lahan Pada umumnya lahan yang digunakan dalam usahatani bawang daun organik dan anorganik adalah lahan milik petani responden sendiri. Luas lahan yang dikelola para petani responden sangat beragam, namun rata-rata luasan lahan yang dimiliki petani responden untuk berusahatani bawang daun adalah lahan yang relatif sempit yakni kurang dari atau sama dengan 0,3 ha. Sebaran luas lahan yang digunakan untuk usahatani bawang daun organik dan anorganik dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Luasan Lahan di Kelompok Tani ”Kalicimandala” Tahun 2008 Luasan Lahan (Ha) ≤ 0,3 > 0,3 Total
Organik Jumlah Persentase Responden (%) 23 76,7 7 23,3 30 100
Anorganik Jumlah Persentase Responden (%) 19 63,3 11 36,7 30 100
Berdasarkan Tabel 12, dapat dilihat bahwa sebagian besar petani responden mengelola usahatani bawang daun pada lahan yang sempit, yakni sebanyak 23 orang atau sebesar 76,7 persen petani organik yang mengelola usahatani bawang daun dengan luasan kurang dari atau sama dengan 0,3 ha dan sebanyak 19 orang atau sebesar 63,3 persen petani anorganik yang juga mengelola usahatani bawang daun dengan luas lahan yang sama yakni kurang dari atau sama dengan 0,3 ha. Selain itu juga dapat dilihat hanya 7 orang petani organik dan 11 orang petani anorganik yang mengelola usahatani bawang daun pada lahan yang luas atau lebih dari 0,3 hektar.
5.3
Keragaan Usahatani Petani Responden Bawang Daun Organik Kegiatan usahatani bawang daun organik telah berkembang sekitar 10
tahun, yakni dimulai pada tahun 1997 dengan berkunjungnya seorang bapak bernama Pak Darso ke kelompok tani ”Kalicimandala”. Niat dan tujuan baik beliau adalah untuk melakukan uji coba pertanian organik di desa tersebut. Kondisi alam serta iklim di Desa Batulayang yang sangat berpotensi untuk mengembangkan pertanian organik menjadi motivasi terbesar beliau untuk merangkul para petani khususnya yang tergabung dalam kelompok tani
”Kalicimandala” untuk mengubah sistem penanaman dari anorganik menjadi organik. Setelah beberapa tahun, penanaman bawang daun dengan sistem organik pun kian berkembang dikalangan petani. Meskipun masih terdapat para petani yang tetap bertahan dengan sistem penanaman anorganik/konvensional yang merugikan, namun melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan dari Departemen Pertanian setempat, maka Desa Batulayang kini telah mendapat sertifikat organik dari Departemen Pertanian Kabupaten Bogor. Faktor-faktor produksi yang umum digunakan dalam usahatani bawang daun baik organik maupun anorganik adalah benih atau bibit, pupuk kompos, pupuk kimia, obat-obatan dan tenaga kerja. Keragaan sistem pertanian organik bawang daun di Desa Batulayang diuraikan sebagai berikut : 5.3.1
Persiapan Lahan Persiapan lahan yang baik akan menciptakan media tanam yang
mendukung tanaman untuk tumbuh lebih sempurna. Persiapan lahan untuk budidaya bawang daun organik meliputi pembersihan rumput atau gulma, pengolahan tanah, pemupukan dasar serta pengapuran tanah. Sebelum dilakukan pengolahan tanah yakni 15-30 hari sebelum tanam, lahan dibersihkan dari berbagai jenis gulma dan sisa-sisa tanaman lain, termasuk tanaman kayu serta batu-batu kerikil. Setelah lahan bersih dari rumput (gulma) dapat dilanjutkan dengan pengolahan tanah. Pada tahap ini, tanah dicangkul sehingga didapatkan tanah yang gembur. Kedalaman cangkul antara 20-30 cm agar akar tanaman dapat dengan leluasa memperoleh zat hara yang ada di dalam tanah, selanjutnya tanah dibiarkan selama seminggu.
Tahap selanjutnya adalah penyiapan lahan untuk penanaman bibit berupa pembuatan bedengan. Bedengan dibuat dengan ukuran 20 × 30 cm (lebar = 20 cm dan tinggi = 30 cm) atau tergantung luasan lahan yang dimiliki petani. Jarak antar bedengan ± 30 cm. Pembuatan jarak antar bedengan ini bertujuan agar dapat dilalui oleh petani pada saat melakukan perawatan tanaman bawang daun. Petani di Desa Batulayang tidak semuanya memberlakukan aturan seperti ini karena masing-masing petani sudah mempunyai aturan sendiri tergantung pada luasan lahan yang mereka miliki. Setelah pembuatan bedengan selesai, selanjutnya dilakukan pemupukan dasar menggunakan pupuk kompos dengan dosis ¼ kg. Pemupukan dasar dilakukan dengan cara menaburkan pupuk kompos tersebut di setiap bedengan yang telah dibuat. Setelah itu tanah digemburkan lagi dengan cara dicangkul tipis-tipis sampai tanah merata dengan pupuk kompos. Pengapuran tanah dilakukan jika derajat keasaman tanah (pH) kurang dari 6,5. jika pH tanah untuk menanam bawang daun telah sesuai atau normal (6,5-7,5) maka tidak perlu lagi dilakukan pengapuran tanah. (Cahyono, 2005). Para petani bawang daun di Desa Batulayang ini biasanya melakukan pengapuran tanah sebelum melakukan penanaman bawang daun. Pengapuran dilakukan pada tanah bedengan dengan menggunakan kapur pertanian dengan dosis ½ kg. Penggunaan jumlah tenaga kerja dan lamanya waktu persiapan lahan antara sistem organik dan anorganik adalah sama. Pada tahap persiapan lahan ini, petani yang memiliki luas lahan sempit (≤ 0,3 ha) pada umumnya melakukan persiapan lahan sendiri dan dibantu oleh 1 orang tenaga kerja luar keluarga, sedangkan petani yang memiliki lahan luas (> 0,3 ha) melakukan persiapan lahan sendiri dengan dibantu oleh 4 orang tenaga kerja luar keluarga dengan upah
sebesar Rp 20.000,00 per orang per hari untuk tenaga kerja laki-laki dan Rp 15.000,00 per orang per hari untuk tenaga kerja wanita. 5.3.2
Penanaman Bawang daun dapat ditanam dalam pola tanam monokultur atau polikultur.
Secara umum budidaya bawang daun organik yang dilakukan oleh petani responden ”Kalicimandala” di Desa Batulayang adalah secara monokultur (penanaman tunggal) dengan menggunakan bibit yang berasal dari hasil panen sebelumnya. Dalam penanaman bawang daun biasanya petani melakukannya sendiri dan dibantu oleh tenaga kerja luar keluarga.
5.3.2.1
Penentuan Jarak Tanam dan Pembuatan Lubang Tanam Penanaman bawang daun menggunakan jarak antar tanaman 10 cm dan
jarak antar barisan 5 cm. Jarak tanam yang terlalu rapat dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman bawang daun yang tidak optimal serta tidak meratanya penerimaan sinar matahari keseluruh tanaman. Selain itu jarak tanam yang terlalu rapat juga dapat mengganggu kehidupan organisme sehingga tanaman mudah terserang hama atau penyakit. Namun, jarak tanam yang terlalu lebar pun juga kurang efektif karena populasi tanaman lebih sedikit sehingga penggunaan lahan kurang optimal. Pembuatan lubang tanam dilakukan dengan kedalaman 10 cm. 5.3.2.2
Penanaman Bibit Waktu tanam bibit bawang daun biasanya dilakukan pada awal musim
hujan (Oktober) dan akhir musim hujan (Maret-Mei). Hal ini dikarenakan pada bulan-bulan ini ketersediaan air tanah cukup memadai bagi tanaman bawang daun. Agar dapat tumbuh dengan baik, penanaman bibit bawang daun di kebun
sebaiknya dilakukan pada sore hari agar bibit sudah kuat pada saat terkena terik matahari pada pagi harinya. Pada tahap penanaman ini, bibit anakan bawang daun yang telah dipotong sebagian daun dan akarnya ditanam pada lubang tanam sampai pangkal batang. Kemudian lubang tanam ditutup dengan tanah dan dipadatkan pelan-pelan agar tanaman dapat berdiri tegak dan kuat. Setelah penanaman selesai, sebaiknya segera dilakukan penyiraman. Penggunaan jumlah tenaga kerja dan lamanya waktu penanaman antara sistem organik dengan anorganik adalah sama. Pada tahap ini, tenaga kerja yang lebih banyak digunakan adalah tenaga kerja wanita. Pada luasan lahan luas, tenaga kerja wanita yang digunakan sebanyak 5 orang. Tenaga kerja tersebut merupakan tenaga kerja dari luar keluarga. Pada luasan lahan sempit, tenaga kerja yang digunakan adalah 1 orang laki-laki dari dalam keluarga dan 2 orang wanita dari luar keluarga. Kegiatan penanaman ini menghabiskan waktu masing-masing untuk lahan luas dan lahan sempit yaitu selama 10 hari dan 4 hari. 5.3.3
Perawatan/Pemeliharaan Tanaman Bibit bawang daun yang telah ditanam dikebun perlu dipelihara lebih
lanjut agar pertumbuhannya tetap baik. Kegiatan pemeliharaan bawang daun yang dilakukan oleh petani responden ”Kalicimandala” meliputi pengairan, pemupukan susulan, penyiangan dan pendangiran serta perlindungan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. 5.3.3.1
Pengairan atau Penyiraman Pengairan atau penyiraman bawang daun dilakukan seperlunya.
Pengairan yang berlebihan dapat menyebabkan penyakit busuk akar sehingga tanaman menjadi layu dan akhirnya mati. Selain itu, tanah yang terlalu basah atau
becek akan mendorong pertumbuhan cendawan dan bakteri yang menyerang tanaman. Sebaliknya, pengairan yang kurang dapat menyebabkan pertumbuhan bawang daun menjadi lambat. Untuk itu harus dilakukan pengairan atau penyiraman yang tepat sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif (tinggi tanaman, luas/lebar daun, jumlah daun, diameter batang dan jumlah anakan) dan pertumbuhan generatif tanaman (bunga dan buah). 5.3.3.2
Pemupukan Susulan Setelah tanaman berumur 3-4 minggu setelah tanam, dilakukan
pemupukan susulan yang merupakan pemupukan kedua setelah pemupukan dasar yang dilakukan pada saat pengolahan lahan. Pemupukan susulan bertujuan untuk memberi tambahan zat makanan (hara) terutama N, P, K dan zat-zat hara lainnya. Pupuk yang digunakan dalam pemupukan susulan ini adalah pupuk organik dengan dosis ¼ kg. Cara pemberian pupuk dilakukan dengan membuat lubang sedalam 5-7 cm di dekat tanaman. Lubang ini berjarak 5 cm di sebelah kiri atau kanan baris tanaman. Pupuk dimasukkan ke dalam lubang-lubang tersebut, kemudian ditutup dengan tanah. Pemupukan selanjutnya dilakukan pada saat tanaman berumur sekitar 60 hari atau satu minggu sebelum panen. Pemupukan ini menggunakan pupuk cair organik dengan waktu pemberian empat hari sekali. Pupuk cair organik diberikan dengan cara menyemprotkannya pada daun tanaman. Penyemprotan harus dilakukan pada permukaan daun bagian bawah, yakni tempat terdapatnya stomata (mulut daun). 5.3.3.3
Penyiangan dan Pendangiran Penyiangan merupakan kegiatan membersihkan rerumputan (gulma) dan
jenis tanaman lain yang tumbuh di sekitar tanaman dengan menggunakan tangan
atau dengan alat pencungkil (kored). Kegiatan penyiangan dilakukan seawal mungkin bila lahan telah tampak ditumbuhi rerumputan (gulma) yakni pada saat tanaman berumur 3-4 minggu bersamaan dengan pemberian pupuk susulan. Hal ini untuk menghindari terganggunya tanaman bawang daun dari pertumbuhan rerumputan (gulma) yang dapat menjadi pesaing dalam penyerapan zat-zat makanan (hara), air, oksigen (O2), karbondioksida (CO2) dan cahaya matahari. Kegiatan pendangiran juga dilakukan dengan cara mengolah lahan secara ringan. Kegiatan ini bertujuan untuk menggemburkan tanah, memperbaiki drainase, memperbaiki peredaran udara (aerasi) dan memelihara struktur tanah agar tetap gembur.
5.3.3.4
Perlindungan Tanaman Terhadap Hama dan Penyakit Kegiatan ini dilakukan setiap hari atau apabila telah terlihat adanya
tanda-tanda awal munculnya hama dan penyakit. Kegiatan ini biasa dilakukan oleh tenaga kerja perempuan. Hama yang sering menyerang tanaman bawang daun adalah ulat tanah. Pengendalian hama ini dilakukan secara mekanis tanpa menggunakan obat-obatan kimia, yakni dengan cara menangkap/mengambil ulat pada sore atau malam hari untuk kemudian dimusnahkan. Selain itu penyakit yang juga sering menyerang tanaman bawang daun adalah busuk daun dan bercak ungu. Pengendalian untuk penyakit ini juga dilakukan tanpa menggunakan obatobatan kimia, yakni dengan melakukan sanitasi kebun atau membersihkan rerumputan (gulma) dan sisa-sisa tanaman lain untuk dibakar, melakukan pergiliran tanaman dengan tanaman yang bukan famili Liliaceae, penanaman bibit
bawang daun yang sehat, serta pembuatan drainase yang baik agar air tidak menggenang di areal penanaman bawang daun. Tahap pemeliharaan tanaman ini juga lebih banyak menggunakan tenaga kerja wanita. Hal ini dikarenakan tenaga kerja wanita lebih terampil dan teliti dalam melakukan pemeliharaan tanaman pada tanaman bawang daun organik yang memang membutuhkan pemeliharaan yang intensif. Pada lahan luas, kegiatan pemeliharaan dikerjakan oleh 9 orang tenaga kerja yang terdiri dari 2 orang tenaga kerja pria masing-masing dari dalam keluarga dan luar keluarga serta 7 orang tenaga kerja wanita yakni 1 orang berasal dari dalam keluarga dan 6 orang lagi berasal dari luar keluarga. Pada lahan sempit, tenaga kerja yang digunakan sebanyak 5 orang yang terdiri dari 2 orang tenaga kerja pria masing-masing dari dalam keluarga dan luar keluarga serta 3 orang tenaga kerja wanita yakni 1 orang berasal dari dalam keluarga dan 2 orang lagi berasal dari luar keluarga. Terdapat perbedaan penggunaan jumlah tenaga kerja dan lamanya waktu pemeliharaan antara sistem organik dengan anorganik. Pada sistem anorganik, jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk lahan luas sebanyak 7 orang dengan waktu pemeliharaan 30 hari, sedangkan untuk lahan sempit jumlah tenaga kerja yang digunakan sebanyak 4 orang dengan waktu pemeliharaan 14 hari. 5.3.4
Panen dan Pasca Panen Tanaman bawang daun sudah dapat dipanen saat berumur 2,5 bulan
setelah tanam. Kriteria fisik yang harus dimiliki oleh tanaman bawang daun siap panen yakni beberapa helaian daun bagian bawah telah menguning atau mengering serta jumlah anakan maksimal 7-10 anakan. Pada umumnya petani responden bawang daun tidak melakukan kegiatan pasca panen seperti pencucian,
sortasi dan pengepakan. Biasanya penanganan pasca panen seperti pencucian, sortasi dan pengepakan dilakukan oleh pedagang pengumpul. Hal ini disebabkan karena cara penjualan bawang daun yang dilakukan oleh petani di Desa Batulayang adalah dengan sistem borong sehingga tidak memerlukan perlakuan pasca panen yang khusus. Sistem borong ini berlangsung di kebun dimana pelanggan atau pembeli datang langsung ke kebun untuk memanen sendiri atau mengambil bawang daun yang telah dipanen dan memasarkan sendiri hasil tanaman bawang daun yang mereka beli dari petani. Sebelum melakukan pembelian, biasanya para pembeli atau pelanggan terlebih dahulu melakukan pemesanan yakni dua minggu sebelum panen. Pada kegiatan pemanenan, bawang daun hasil panen ditimbang langsung di kebun sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan pembeli/pelanggan. Cara pemanenan bawang daun yang dilakukan oleh pembeli dilakukan dengan mencabut seluruh rumpun tanaman atau membongkarnya dengan alat bantu kored. Pencabutan tanaman harus dilakukan dengan hati-hati agar seluruh rumpun dan daun tidak ada yang patah atau rusak. Pemanenan bawang daun biasanya dilakukan pada pagi hari atau sore hari pada saat cuaca cerah (tidak mendung atau hujan). Saat ini harga yang diterima oleh petani bawang daun organik yaitu sebesar Rp 12.000,00 per Kg sedangkan untuk bawang daun anorganik dijual dengan harga Rp 5000,00 per Kg sampai Rp 6000,00 per Kg. Pasar untuk bawang daun organik sebagian besar adalah pasar Cisarua sedangkan untuk bawang daun anorganik dijual ke pasar lokal (Cisarua), pasar Bogor (Bogor), pasar Induk
Kramat Jati (Jakarta), pasar Cibitung (Bekasi), pasar Kebayoran Lama, pasar Muara Karang (Grogol) dan pasar Tanah Tinggi (Tangerang).
BAB VI ANALISIS USAHATANI BAWANG DAUN
6.1
Sistem Usahatani Bawang Daun Sistem sarana produksi pada usahatani bawang daun organik dan anorganik
terdiri dari bibit, lahan, tenaga kerja dan alat pertanian yang digunakan pada saat budidaya berlangsung. Berikut dijelaskan subsistem sarana produksi yang terdapat dalam usahatani bawang daun.
6.1.1
Bibit Pada umumnya bibit yang biasa digunakan untuk penanaman bawang daun
terdiri dari dua jenis, yaitu erpe dan ewor. Karena daerah penelitian ini memiliki curah hujan yang cukup tinggi, maka para petani di Desa Batulayang menggunakan bibit jenis erpe 12 karena bibit jenis erpe 12 ini lebih tahan/kuat terhadap hujan bila dibandingkan dengan bibit jenis ewor. Bibit jenis erpe 12 dapat berasal dari hasil penangkaran sendiri yang diperoleh dari hasil panen sebelumnya atau dapat juga dibeli di toko-toko pertanian dengan harga Rp 5.000,00 per kilogram. Jarak tanam yang umum digunakan petani di Desa Batulayang adalah 10 cm × 5 cm, maka untuk luasan lahan satu hektar dibutuhkan bibit bawang daun sekitar 5000 kg bibit dengan hasil panen sebanyak 20.000 kg, sedangkan untuk luasan satu hektar bawang daun anorganik bibit yang dibutuhkan sebanyak 5000 kg dengan hasil panen sebanyak 30.000 kg anorganik.
6.1.2
Lahan Lahan yang digunakan petani untuk berusahatani bawang daun baik organik
maupun anorganik adalah milik sendiri. Keuntungan yang diperoleh petani dengan kepemilikan lahan sendiri adalah petani bebas mengelola lahan pertaniannya Meskipun luasan lahan yang dimiliki para petani tergolong sempit, namun setidaknya mereka dapat sepenuhnya menikmati hasil penjualan bawang daun miliknya tanpa harus berbagi dengan orang lain jika seandainya mereka melakukan sewa lahan dari orang lain. Hal ini merujuk pada teori halaman 37. Dalam hal ini nilai sewa lahan dimasukkan kedalam biaya yang diperhitungkan. Nilai sewa lahan di Desa batulayang diasumsikan sebesar Rp 500.000,00. Rata-rata luas lahan yang dimiliki oleh petani di Desa batulayang tergolong sempit, yakni 0,3 hektar. Dalam usahatani yang mereka lakukan, lahan tersebut hanya ditanami dengan satu jenis tanaman saja, yakni bawang daun sebagai tanaman utama, baik organik maupun anorganik. Sehingga dalam perhitungan analisis usahatani, digunakan luasan lahan rata-rata 0,3 hektar dan luasan lahan satu hektar.
6.1.3
Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani bawang daun terdiri dari tenaga
kerja dalam keluarga yaitu tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga petani sendiri dan tenaga kerja luar keluarga yaitu tenaga kerja yang berasal dari lingkungan sekitar petani yang merupakan tenaga kerja upahan. Waktu kerja yang diberlakukan dalam usahatani bawang daun di Desa Batulayang dibedakan untuk tenaga kerja laki-laki dan perempuan, dimana jam kerja untuk tenaga kerja perempuan lebih pendek dibanding jam kerja untuk tenaga kerja laki-laki. Jadwal kerja tenaga kerja laki-laki dimulai pada pukul 07.00 sampai pukul
15.00 (8 jam kerja) sedangkan jadwal kerja untuk tenaga kerja perempuan dimulai pada pukul 07.00 sampai pukul 13.00 (6 jam kerja). Tingkat upah rata-rata yang dibayarkan untuk tenaga kerja laki-laki adalah Rp 20.000,00 per hari sedangkan untuk tenaga kerja perempuan adalah Rp 15.000,00 per hari. Jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam usahatani bawang daun rata-rata sebanyak dua orang yaitu terdiri dari istri dan anak petani. Kontribusi masing-masing tenaga kerja pada setiap proses usahatani bawang daun organik dapat dilihat pada Tabel 15. Tenaga kerja perempuan lebih banyak digunakan pada kegiatan penanaman dan perawatan. Kontribusi tenaga kerja perempuan dalam usahatani ini sebesar 65,5 persen dari total pemakaian tenaga kerja atau sebesar 292 jam kerja. Total tenaga kerja yang digunakan dalam seluruh proses budidaya sejumlah 446 HKP dengan perincian jumlah tenaga kerja luar keluarga sebanyak 345 HKP (77,3 %) dan dari dalam keluarga sebanyak 101 HKP (22,6 %). Tenaga kerja wanita dikonversi kedalam hari kerja pria dengan nilai konversi 0,8 HKP. Penggunaan tenaga kerja paling banyak digunakan adalah dalam kegiatan perawatan yaitu sebanyak 77 persen. Tabel 15 Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Bawang Daun Organik Per Hektar Untuk Satu Masa Produksi Di Desa Batulayang Tahun 2008
No
Kegiatan Usahatani
1 Persiapan Lahan 2 Penanaman 3 Perawatan 4 Pemanenan Total Nilai Tenaga Kerja (000)
Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga Dalam Keluarga L P L P 40,0 10,0 40,0 10,0 45,0 216,0 45,0 36,0 4,0 89,0 256,0 65,0 36,0 1.780 3.840 1.300 540
Total 50,0 50,0 342,0 4,0 446,0 7.460
Persentase (%) 11,21 11,21 76,68 0,89 100
Kontribusi masing-masing tenaga kerja pada proses usahatani bawang daun organik yang dilakukan pada luasan lahan rata-rata (0,3 Ha) dapat dilihat pada Tabel 16. Tenaga kerja perempuan lebih banyak digunakan pada kegiatan penanaman dan
perawatan. Kontribusi tenaga kerja perempuan dalam usahatani ini sebesar 50,47 persen dari total pemakaian tenaga kerja atau sebesar 42,8 jam kerja. Total tenaga kerja yang digunakan dalam seluruh proses budidaya sejumlah 85 HKP dengan perincian jumlah tenaga kerja luar keluarga sebanyak 49 HKP (57,5 %) dan dari dalam keluarga sebanyak 36 HKP (42,4 %). Tenaga kerja wanita dikonversi kedalam hari kerja pria dengan nilai konversi 0,8 HKP. Penggunaan tenaga kerja paling banyak digunakan adalah dalam kegiatan perawatan yaitu sebanyak 75,94 persen. Tabel 16 Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Bawang Daun Organik Per Luasan Lahan Rata-Rata (0,3 Ha) Untuk Satu Masa Produksi Di Desa Batulayang Tahun 2008
No
Kegiatan Usahatani
1 Persiapan Lahan 2 Penanaman 3 Perawatan 4 Pemanenan Total Nilai Tenaga Kerja (000)
Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga Dalam Keluarga L P L P 4,0 4,0 6,4 4,0 14,0 22,4 14,0 14,0 2,0 20,0 28,8 22,0 14,0 400 432 440 210
Total 8,0 10,4 64,4 2,0 84,8 1.482
Persentase (%) 9,43 12,26 75,94 2,36 100
Tenaga kerja yang digunakan dalam budidaya bawang daun anorganik sebanyak 280 HKP dengan perincian tenaga kerja luar keluarga sebanyak 230 HKP (82,1 %) dan jumlah tenaga kerja dalam keluarga sebanyak 50 HKP (17,8 %). Penggunaan tenaga kerja paling banyak pada saat perawatan yaitu sebesar 62,14 persen. Penggunaan tenaga kerja pada usahatani anorganik ini lebih banyak menggunakan tenaga kerja perempuan yaitu sebesar 66 persen atau sebanyak 184 HKP, sedangkan penggunaan tenaga kerja laki-laki hanya sebesar 34,3 persen atau sebanyak 96 HKP. Perincian penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan budidaya bawang daun anorganik untuk masa produksi tiga bulan dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Bawang Daun Anorganik Per Hektar Untuk Satu Masa Produksi Di Desa Batulayang Tahun 2008
No
Kegiatan Usahatani
1 Persiapan Lahan 2 Penanaman 3 Perawatan 4 Pemanenan Total Nilai Tenaga Kerja (000)
Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga Dalam Keluarga L P L P 40,0 10,0 40,0 10,0 144,0 30,0 6,0 46,0 184,0 50,0 920 2.760 1.000 -
Total 50,0 50,0 174,0 6,0 280,0 4.680
Persentase (%) 17,86 17,85 62,14 2,14 100
Dalam kegiatan budidaya bawang daun anorganik pada luasan lahan rata-rata (0,3 Ha), tenaga kerja yang digunakan sebanyak 72 HKP dengan perincian jumlah tenaga kerja luar keluarga sebanyak 50 HKP (69,4 %) dan jumlah tenaga kerja dalam keluarga sebanyak 22 HKP (30,6 %). Penggunaan tenaga kerja paling banyak pada saat kegiatan perawatan, yakni sebesar 70,19 persen. Penggunaan tenaga kerja pada usahatani anorganik ini lebih banyak menggunakan tenaga kerja pria yaitu sebesar 60 persen atau sebanyak 43 HKP, sedangkan penggunaan tenaga kerja wanita hanya sebesar 40,11 persen atau sebanyak 29 HKP. Perincian penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan budidaya bawang daun anorganik untuk satu masa produksi dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Bawang Daun Anorganik Per Luasan Lahan Rata-Rata (0,3 Ha) Untuk Satu Masa Produksi Di Desa Batulayang Tahun 2008
No
Kegiatan Usahatani
1 Persiapan Lahan 2 Penanaman 3 Perawatan 4 Pemanenan Total Nilai Tenaga Kerja (000)
Penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga Dalam Keluarga L P L P 4,0 4,0 6,4 4,0 14,0 22,4 14,0 3,0 21,0 28,8 22,0 420 432 440 -
Total 8,0 10,4 50,4 3,0 71,8 1.292
Persentase (%) 11,14 14,48 70,19 4,18 100
Terdapat perbedaan penggunaan tenaga kerja antara usahatani bawang daun dengan sistem budidaya organik dan anorganik. Pada usahatani organik penggunaan tenaga kerja lebih banyak daripada usahatani secara anorganik yaitu sebesar 446 HKP pada luasan lahan satu hektar. Penggunaan tenaga kerja perempuan pada budidaya secara organik lebih banyak daripada anorganik yaitu sebesar 292 HKP. Hal ini karena budidaya bawang daun secara organik membutuhkan perawatan yang sangat teliti dan telaten agar tanaman yang dihasilkan berkualitas baik. Hal ini menyebabkan petani bawang daun organik harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk upah seluruh tenaga kerja yang digunakan dibandingkan dengan budidaya bawang daun secara anorganik.
6.1.4
Alat-Alat Pertanian Alat-alat pertanian yang digunakan dalam budidaya bawang daun di Desa
Batulayang meliputi cangkul, parang, kored, sprayer dan garpu. Cangkul digunakan petani untuk menggemburkan tanah. Parang dan kored digunakan pada saat persiapan lahan yakni untuk membersihkan atau menyiangi gulma dan rumput ataupun semaksemak yang mengganggu tanaman. Garpu juga digunakan untuk menggemburkan tanah dan membalik-balikkan tanah pada saat pengolahan dan pemberian pupuk. Sprayer digunakan untuk menyemprotkan pupuk cair organik atau menyemprotkan pestisida pada budidaya anorganik. Petani responden tidak selalu membeli alat-alat pertanian setiap kali musim tanam sebab setiap alat yang digunakan memiliki umur teknis lebih dari dua tahun.
Tabel 19 Penggunaan Peralatan Pada Usahatani Bawang Daun Untuk Satu Musim Tanam di Desa Batulayang per Rata-Rata Luasan Lahan No
Jenis Alat
1 2 3 4 5
Cangkul Sprayer Parang Garpu Kored
Jumlah (Buah) 1 1 2 1 1
Harga Nilai (Rp) (Rp) 35.000 35.000 300.000 300.000 20.000 40.000 150.000 150.000 25.000 20.000 Jumlah
Umur Teknis (Tahun) 3 5 3 3 3
Penyusutan (Rp/Tahun) 11.666 60.000 13.333 50.000 6.666 141.665
Penggunaan alat-alat pertanian untuk setiap budidaya baik secara organik maupun anorganik adalah sama tergantung kepemilikan luas lahan. Tabel 19 dan Tabel 20 menunjukkan nilai penyusutan peralatan pertanian yang digunakan dalam usahatani bawang daun organik dan anorganik pada luasan lahan rata-rata dengan nilai penyusutan sebesar Rp 141.665,00 per tahun. Penyusutan dihitung dengan menggunakan metode garis lurus dengan asumsi peralatan tersebut tidak dapat digunakan lagi setelah melewati umur teknis. Nilai penyusutan peralatan yang digunakan pada luasan lahan satu hektar adalah sebesar Rp 224.999,00. Tabel 20 Penggunaan Peralatan Pada Usahatani Bawang Daun Untuk Satu Musim Tanam di Desa Batulayang per Hektar No
Jenis Alat
1 2 3 4 5
Cangkul Sprayer Parang Garpu Kored
6.2
Jumlah (Buah) 3 1 2 2 2
Harga Nilai (Rp) (Rp) 35.000 105.000 300.000 300.000 20.000 40.000 150.000 300.000 25.000 50.000 Jumlah
Umur Teknis (Tahun) 3 5 3 3 3
Penyusutan (Rp/Tahun) 35.000 60.000 13.333 100.000 16.666 224.999
Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Daun Analisis usahatani bawang daun di Desa Batulayang menggambarkan
besarnya penggunaan input-input produksi dan biaya-biaya yang harus dikeluarkan selama proses usahatani berlangsung. Kegiatan usahatani ini bertujuan untuk
memperoleh pendapatan yang optimal, sebagai imbalan atau usaha dan kerja yang dijalankan oleh petani. Input produksi yang digunakan selama kegiatan usahatani bawang daun baik organik maupun anorganik meliputi bibit, pupuk, tenaga kerja, dan peralatan pertanian. Analisis usahatani bawang daun yang dilakukan dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan cara budidaya, yaitu petani yang melakukan usahatani bawang daun organik dan petani yang melakukan usahatani bawang daun anorganik. Perbedaan-perbedaan tersebut kemudian akan dianalisis apakah cara budidaya tersebut akan berpengaruh pada penggunaan input serta besarnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan.
6.2.1
Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Daun Organik Pada usahatani bawang daun organik, penerimaan total diperoleh petani
dengan perhitungan yakni produksi yang dihasilkan dikalikan dengan harga yang berlaku. Produksi rata-rata bawang daun organik per luasan lahan rata-rata (0,3 Ha) per musim tanam adalah 2.500 Kg. Dalam usahatani bawang daun organik di Desa Batulayang, tingkat kerusakan tanaman diperkirakan sebesar 10 persen. Maka, produksi rata-rata bawang daun organik per luasan lahan rata-rata per musim tanam setelah dikurangi dengan tingkat resiko kerusakan sebesar 10 persen (250 Kg) adalah sebanyak 2.250 Kg. Sehingga penerimaan yang diperoleh petani sebesar Rp 27.000.000,00 per luasan lahan rata-rata. Sedangkan penerimaan yang diperoleh petani per hektar sebesar Rp 216.000.000,00 dengan harga jual bawang daun organik adalah Rp 12.000,00 per kilogram. Biaya yang harus dikeluarkan petani terdiri atas biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai untuk usahatani bawang daun organik ini terdiri dari biaya sarana produksi seperti biaya bibit, pupuk kompos, pupuk cair organik dan
tenaga kerja luar keluarga. Sedangkan biaya yang termasuk kedalam biaya yang diperhitungkan terdiri dari biaya tenaga kerja dalam keluarga, biaya penyusutan peralatan pertanian (cangkul, sprayer, garpu, parang dan kored) serta biaya sewa lahan. Hasil analisis pendapatan per luasan lahan rata-rata dan per luasan hektar per musim tanam petani bawang daun organik di Desa Batulayang dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Daun Organik per Luasan Lahan Rata-Rata dan per Luasan Hektar per Musim Tanam di Desa Batulayang Uraian Penerimaan : Hasil Panen (Kg) Dijual (Kg) Tingkat Kerusakan (Kg) Total Penerimaan Pengeluaran : Biaya Tunai : Bibit Pupuk : Urea (Kg) b. TSP (Kg) c. KCL (Kg) d. Pupuk Kompos (Kg) e. Pupuk Cair Organik (liter) Kapur Pestisida (liter) TKLK (HKP) Pajak Total Biaya Tunai Biaya yang Diperhitungkan TKDK (HKP) Penyusutan Alat Sewa Lahan Total Biaya Diperhitungkan Biaya Total Pendapatan Atas Biaya Tunai Pendapatan Atas Biaya Total R/C Atas Biaya Tunai R/C Atas Biaya Total
Jumlah Fisik
Organik (1 Ha) Harga Nilai (Rp) (Rp/Sat)
Jumlah Fisik
Organik ( 0,3 Ha) Harga Nilai (Rp) (Rp/Sat)
20.000 18.000 (2.000) 18.000
12.000 12.000 12.000 12.000
240.000.000 216.000.000 (24.000.000) 216.000.000
2.500 2.250 (250) 2.250
12.000 12.000 12.000 12.000
30.000.000 27.000.000 (3.000.000) 27.000.000
5.000
5.000
25.000.000
1.500
5.000
7.500.000
15.000 3 3 345 -
400 120.000 20.000 20.000 -
6.000.000 360.000 60.000 6.900.000 38.320.000
5.000 2 1 48,8 -
400 120.000 20.000 20.000 -
2.000.000 240.000 20.000 976.000 10.736.000
101
20.000
2.020.000 224.999 500.000 2.744.999 41.064.999 177.680.000 174.935.001 5,64 5,26
36
20.000
720.000 141.665 500.000 1.361.665 12.097.665 16.264.000 14.902.335 2,51 2,23
Alokasi biaya terbesar dalam sarana produksi adalah untuk bibit. Rata-rata penggunaan bibit per luasan lahan rata-rata per musim tanam adalah 1.500 Kg,
sehingga biaya yang dikeluarkan untuk membeli bibit adalah sebesar Rp 7.500.000,00. Rata-rata penggunaan bibit per hektar per musim tanam adalah sebesar 5.000 Kg. Biaya yang dikeluarkan untuk membeli bibit adalah sebesar Rp 25.000.000,00. Alokasi biaya terbesar kedua dalam sarana produksi adalah tenaga kerja. Tenaga kerja luar keluarga lebih banyak digunakan pada tahap penanaman dan perawatan. Tenaga kerja yang diperlukan untuk luasan lahan rata-rata (0,3 Ha) per musim tanam bawang daun organik adalah sebesar 84,8 HKP dan untuk satu hektar usahatani bawang daun organik digunakan tenaga kerja sebesar 446 HKP. Upah per tenaga kerja laki-laki adalah Rp 20.000,00 dengan jam kerja 8 jam, sedangkan upah untuk tenaga kerja perempuan adalah Rp 15.000,00 dengan jam kerja 6 jam kerja. Pupuk yang digunakan petani dalam usahatani bawang daun organik terdiri dari pupuk kompos dan pupuk cair organik. Pupuk kompos dibuat sendiri oleh salah seorang petani kemudian dijual di Koperasi Tani yang ada di Desa tersebut sehingga dapat digunakan oleh petani lainnya dengan harga jual Rp 400,00 per kilogram. Sedangkan untuk pupuk cair organik, biasanya para petani membelinya di toko-toko pertanian dengan harga jual Rp 120.000,00 per liter. Biaya yang diperhitungkan terdiri dari biaya tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat-alat pertanian dan sewa lahan. Tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan dalam usahatani bawang daun organik di Desa Batulayang adalah untuk luasan lahan rata-rata (0,3 Ha) adalah sebesar 36 HKP dan untuk luasan lahan satu hektar tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan adalah sebesar 101 HKP. Tenaga kerja dalam keluarga ini terdiri dari isteri atau anak-anak dari petani tersebut. Isteri atau anak-anak petani dianggap sebagai buruh tani, sehingga mereka juga diberi upah seperti tenaga kerja luar keluarga. Biaya penyusutan alat-alat pertanian selama satu
musim tanam untuk luasan lahan satu hektar adalah sebesar Rp 224.999,00 dan untuk luasan lahan rata-rata (0,3 Ha) adalah sebesar Rp 141.665,00. Biaya tunai dan biaya total yang dikeluarkan petani untuk usahatani bawang daun organik per luasan lahan rata-rata per musim tanam adalah masing-masing sebesar Rp 10.736.000,00 dan Rp 12.097.665,00, sedangkan untuk luasan lahan satu hektar per musim tanam, biaya tunai dan biaya total yang dikeluarkan adalah masingmasing sebesar Rp 38.320.000,00 dan Rp 41.064.999,00.. Pada luasan lahan rata-rata, pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh sebesar Rp 14.902.335,00 sedangkan pendapatan atas biaya total yang diperoleh sebesar Rp 15.182.335,00. Pada luasan lahan satu hektar, pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh sebesar Rp 177.680.000,00 sedangkan pendapatan atas biaya total yang diperoleh sebesar Rp 174.935.001,00. Bawang daun dengan sistem budidaya organik lebih banyak mendatangkan keuntungan, baik dari segi ekonomi maupun non ekonomi. Setiap rupiah yang dikeluarkan sebagai biaya mendapatkan imbalan atas penerimaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan bawang daun dengan sistem budidaya anorganik. Keuntungan dari segi non ekonomi yakni petani di daerah penelitian dapat menjadi contoh bagi masyarakat di sekitarnya karena melalui usahatani bawang daun secara organik yang mereka lakukan, secara langsung telah mampu melestarikan lingkungan sekitar dengan tidak menggunakan bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya.
6.2.2
Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Daun Anorganik Pada usahatani bawang daun anorganik, penerimaan total diperoleh petani
dengan perhitungan yakni produksi yang dihasilkan dikalikan dengan harga jual yang
berlaku. Produksi rata-rata bawang daun anorganik per luasan lahan rata-rata (0,3 Ha) per musim tanam adalah 3.125 Kg. Dalam usahatani bawang daun anorganik di Desa Batulayang, tingkat kerusakan tanaman diperkirakan sebesar 10 persen. Maka, produksi rata-rata bawang daun organik per luasan lahan rata-rata per musim tanam setelah dikurangi dengan tingkat resiko kerusakan sebesar 10 persen (313 Kg) adalah sebanyak 2.812 Kg. Sehingga penerimaan yang diperoleh petani sebesar Rp 16.872.000,00 per luasan lahan rata-rata. Sedangkan penerimaan yang diperoleh petani per hektar sebesar Rp 150.000.000,00 dengan harga jual bawang daun anorganik adalah Rp 6.000,00 per kilogram. Biaya yang harus dikeluarkan petani terdiri atas biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai untuk usahatani bawang daun organik ini terdiri dari biaya sarana produksi seperti biaya bibit, pupuk kompos, pupuk cair organik dan tenaga kerja luar keluarga. Sedangkan biaya yang termasuk kedalam biaya yang diperhitungkan terdiri dari biaya tenaga kerja dalam keluarga, biaya penyusutan peralatan pertanian (cangkul, sprayer, garpu, parang dan kored) serta biaya sewa lahan. Hasil analisis pendapatan per luasan lahan rata-rata dan per luasan hektar per musim tanam petani bawang daun anorganik di Desa Batulayang dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Analisis Pendapatan Usahatani Bawang Daun Anorganik per Luasan Lahan Rata-Rata dan per Luasan Hektar per Musim Tanam di Desa Batulayang Uraian Penerimaan : Hasil Panen (Kg) Dijual (Kg) Tingkat Kerusakan (Kg) Total Penerimaan Pengeluaran : Biaya Tunai : Bibit Pupuk : Urea (Kg) b. TSP (Kg) c. KCL (Kg) d. Pupuk Kompos (Kg) e. Pupuk Cair Organik (liter) Kapur Pestisida (liter) TKLK (HKP) Pajak Total Biaya Tunai Biaya yang Diperhitungkan TKDK (HKP) Penyusutan Alat Sewa Lahan Total Biaya Diperhitungkan Biaya Total Pendapatan Atas Biaya Tunai Pendapatan Atas Biaya Total R/C Atas Biaya Tunai R/C Atas Biaya Total
Jumlah Fisik
Anorganik (1 Ha) Harga Nilai (Rp) (Rp/Sat)
Anorganik ( 0,3 Ha) Jumlah Harga Nilai (Rp) Fisik (Rp/Sat)
25.000 22.500 (2.500) 22.500
6.000 6.000 6.000 6.000
150.000.000 135.000.000 (15.000.000) 135.000.000
3.125 2.812 (313) 2.812
6.000 6.000 6.000 6.000
18.750.000 16.872.000 (1.878.000) 16.872.000
5.000
5.000
25.000.000
1.500
5.000
7.500.000
300 100 100 8.000 3 10 230 -
1.400 3.000 3.000 400 20.000 5.000 20.000 -
420.000 300.000 300.000 3.200.000 60.000 50.000 4.600.000 33.930.000
90 30 10 2.400 1 3 49,8 -
1.400 3.000 3.000 400 20.000 5.000 20.000 -
126.000 90.000 30.000 960.000 20.000 15.000 996.000 9.737.000
50
20.000
1.000.000 224.999 500.000 1.724.999 35.654.999 101.070.000 99.345.001 3,98 3,79
22
20.000
440.000 141.665 500.000 1.081.665 10.818.665 7.135.000 6.053.335 1,73 1,56
Alokasi biaya terbesar dalam sarana produksi adalah untuk bibit. Rata-rata penggunaan bibit per luasan lahan rata-rata per musim tanam adalah 1.500 Kg, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk membeli bibit adalah sebesar Rp 7.500.000,00. Rata-rata penggunaan bibit per hektar per musim tanam adalah sebesar 5.000 Kg. Biaya yang dikeluarkan untuk membeli bibit adalah sebesar Rp 25.000.000,00. Alokasi biaya terbesar kedua dalam sarana produksi adalah tenaga kerja. Tenaga kerja luar keluarga lebih banyak digunakan pada tahap penanaman dan
perawatan. Tenaga kerja yang diperlukan untuk luasan lahan rata-rata (0,3 Ha) per musim tanam bawang daun anorganik adalah sebesar 49,8 HKP dan untuk satu hektar usahatani bawang daun anorganik digunakan tenaga kerja sebesar 230 HKP. Upah per tenaga kerja laki-laki adalah Rp 20.000,00 dengan jam kerja 8 jam, sedangkan upah untuk tenaga kerja perempuan adalah Rp 15.000,00 dengan jam kerja 6 jam kerja. Pupuk kimia yang digunakan petani dalam usahatani bawang daun anorganik terdiri dari pupuk urea, TSP dan KCL, yang dibeli dengan harga masing-masing Rp 1.400,00 per kilogram, Rp 3.000,00 per kilogram dan Rp 3.000,00 per kilogram. Ratarata penggunaan pupuk kimia per luasan lahan satu hektar per musim tanam adalah sebanyak 300 kg urea, 100 kg TSP, dan 100 kg KCL. Sedangkan pada luasan lahan rata-rata (0,3 Ha), pupuk kimia yang digunakan sebanyak 90 kilogram urea, 30 kilogram TSP, dan 10 kilogram KCL. Biaya yang diperhitungkan terdiri dari biaya tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat-alat pertanian dan sewa lahan. Tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan dalam usahatani bawang daun anorganik di Desa Batulayang adalah untuk luasan lahan rata-rata (0,3 Ha) adalah sebesar 22 HKP dan untuk luasan lahan satu hektar tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan adalah sebesar 50 HKP. Tenaga kerja dalam keluarga ini terdiri dari isteri atau anak-anak dari petani tersebut. Isteri atau anak-anak petani dianggap sebagai buruh tani, sehingga mereka juga diberi upah seperti tenaga kerja luar keluarga. Biaya tunai dan biaya total yang dikeluarkan petani untuk usahatani bawang daun anorganik per luasan lahan rata-rata per musim tanam adalah masing-masing sebesar Rp 9.737.000,00 dan Rp 10.818.665,00, sedangkan untuk luasan lahan satu hektar per musim tanam, biaya tunai dan biaya total yang dikeluarkan adalah masingmasing sebesar Rp 33.930.000,00 dan Rp 35.654.999,00. Pada luasan lahan rata-rata,
pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh sebesar Rp 7.135.000,00 sedangkan pendapatan atas biaya total yang diperoleh sebesar Rp
6.053.335,00. Pada luasan
lahan satu hektar, pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh sebesar Rp 101.070.000,00 sedangkan pendapatan atas biaya total yang diperoleh sebesar Rp 99.345.001,00.
6.3
Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Bawang Daun Organik dan Anorganik Usahatani bawang daun organik selain menguntungkan dari segi ekonomi juga
dapat dikatakan menguntungkan jika dilihat dari hasil perbandingan antara jumlah penerimaan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan (R/C Rasio). Berdasarkan Tabel 21, R/C rasio atas biaya total yang diperoleh petani organik dengan luasan lahan satu hektar adalah sebesar 5,26 yang berarti setiap pengeluaran petani sebesar Rp 1,00 akan mendapatkan imbalan penerimaan sebesar Rp 5,26,00. nilai R/C yang lebih dari satu ini menunjukkan bahwa usahatani bawang daun organik efisien untuk diusahakan karena penerimaan yang dihasilkan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Sedangkan R/C rasio atas biaya total yang diperoleh petani organik dengan luasan lahan rata-rata (0,3 Ha) adalah sebesar 2,23 yang berarti setiap pengeluaran petani sebesar Rp 1,00 akan mendapatkan imbalan penerimaan sebesar Rp 2,23,00. Sementara itu, nilai R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani organik pada luasan lahan satu hektar adalah 5,64 yang berarti petani responden menghasilkan penerimaan sebesar Rp 5,64,00 untuk setiap Rp 1,00 yang dikeluarkan. Sedangkan R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani organik pada luasan lahan rata-rata (0,3 Ha) adalah 2,51 yang berarti petani responden menghasilkan penerimaan sebesar Rp 2,51,00 untuk setiap Rp 1,00 yang dikeluarkan.
Perbandingan nilai R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total petani bawang daun anorganik pada luasan lahan satu hektar adalah 3,98 dan 3,79. artinya setiap Rp 1,00 yang dikeluarkan maka petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 3,98,00 untuk biaya tunai yang dikeluarkan dan Rp 3,79,00 untuk biaya total yang dikeluarkan. Perbandingan nilai R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total petani bawang daun anorganik pada luasan lahan rata-rata (0,3 Ha) adalah 1,73 dan 1,56. artinya setiap Rp 1,00 yang dikeluarkan maka petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,73,00 untuk biaya tunai yang dikeluarkan dan Rp 1,56,00 untuk biaya total yang dikeluarkan. Perbandingan nilai R/C atas biaya tunai yang diperoleh petani responden bawang daun organik untuk luasan lahan satu hektar lebih tinggi daripada petani bawang daun anorganik, yaitu sebesar 5,64 berbanding 3,98 atau memiliki selisih sebesar 1,66. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani bawang daun organik lebih menguntungkan untuk diusahakan bila dibandingkan dengan usahatani bawang daun anorganik, yaitu setiap rupiah yang dikeluarkan akan menghasilkan Rp 5,64,00 untuk budidaya bawang daun organik dan Rp 3,98,00 untuk budidaya bawang daun anorganik. Selain itu, berdasarkan luasan lahan yang dimiliki, nilai R/C atas biaya tunai maupun atas biaya total yang diperoleh petani responden bawang daun organik untuk luasan lahan satu hektar juga lebih tinggi daripada petani bawang daun organik dengan luasan lahan rata-rata (0,3 Ha), yaitu sebesar 5,64 berbanding 2,51 untuk biaya tunai dan sebesar 5,26 berbanding 2,23 untuk biaya total. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani bawang daun organik dengan luasan lahan satu hektar lebih menguntungkan untuk diusahakan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa usahatani bawang daun yang lebih efisien untuk diusahakan adalah usahatani bawang daun organik dengan luasan lahan satu hektar.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian usahatani bawang daun organik yang
dibandingkan dengan usahatani bawang daun anorganik, maka disimpulkan : 1.
Kegiatan usahatani bawang daun organik maupun anorganik yang dilakukan oleh petani responden di Kelompok Tani “Kalicimandala” Desa Batulayang secara umum sama. Kesamaannya mencakup sistem penanaman tunggal (monokultur) yang diterapkan para petani, penggunaan alat-alat pertanian serta penggunaan jenis bibit dan kapur. Namun, perbedaannya terletak pada penggunaan input yang meliputi jumlah pupuk yang digunakan, jenis pupuk yang digunakan serta penggunaan jumlah tenaga kerja. Hasil produksi yang dihasilkan melalui sistem organik lebih sedikit dibandingkan sistem anorganik.
2.
Nilai R/C rasio atas biaya tunai maupun atas biaya total usahatani bawang daun organik, baik untuk luasan satu hektar maupun luasan 0,3 hektar lebih tinggi dibandingkan nilai R/C rasio pada usahatani bawang daun anorganik, baik untuk luasan satu hektar maupun luasan 0,3 hektar, sehingga penerimaan yang diperoleh petani organik untuk setiap satu rupiah yang dikeluarkan
lebih
besar
daripada
petani
anorganik.
Hal
tersebut
menunjukkan bahwa bawang daun organik lebih efisien untuk diusahakan, baik pada luasan satu hektar maupun luasan 0,3 hektar dibandingkan bawang daun anorganik. Selain itu, nilai R/C rasio atas biaya tunai maupun
atas biaya total usahatani bawang daun organik dengan luasan lahan satu hektar lebih tinggi jika dibandingkan dengan usahatani bawang daun organik dengan luasan lahan rata-rata (0,3 Ha). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa usahatani bawang daun organik dengan luasan lahan satu hektar lebih efisien untuk diusahakan dan dapat meningkatkan pendapatan petani di Desa Batulayang.
7.2 1.
Saran Para petani bawang daun di Desa Batulayang, khususnya di kelompok tani ”Kalicimandala” sebaiknya beralih ke sistem penanaman organik yang lebih menguntungkan. Selain itu, agar petani memperoleh pendapatan atau keuntungan yang maksimal, diharapkan petani mengusahakan bawang daun organik di luasan lahan satu hektar dengan syarat perlu adanya perluasan pasar untuk bawang daun organik khususnya, sehingga hasil produksi bawang daun organik tersebut dapat diserap seluruhnya oleh pasar.
2.
Para petani bawang daun yang memiliki luasan lahan sempit sebaiknya menggabungkan diri dengan petani lain yang juga memiliki luasan lahan sempit, agar lahan yang dapat digunakan untuk usahatani bawang daun organik semakin luas, sehingga nantinya keuntungan yang diperoleh semakin besar.
3.
Perlu adanya peran pemerintah dalam hal pelatihan tentang sistem pertanian organik agar petani semakin sadar untuk berusahatani organik sehingga
diharapkan nantinya sistem pertanian organik dapat diterapkan seratus persen di Desa Batulayang. Selain itu, bantuan pemerintah, lembaga swasta maupun investor juga sangat diharapkan, misalnya dalam bentuk penyediaan lahan atau pinjaman modal untuk pembiayaan tenaga kerja, agar para petani lebih termotivasi dalam mengembangkan usahatani khususnya secara organik.
DAFTAR PUSTAKA Apriani, Nuki. 2007. Analisis Usahatani Talas Di Desa Taman Sari, Kecamatan Ciapus, Kabupaten Bogor. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2005. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2007. Jakarta Cahyono, Bambang. 2005. Seri Budidaya Bawang Daun. Kanisius. Yogyakarta. Darwiyah, W. 2006. Analisis Usahatani dan Sistem Penjualan Bawang Daun (Allium fistulosum L.) di Desa Sindangjaya, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Departemen Pertanian. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi. 2006. Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2005. Jakarta. Handayani, R.S. 2007. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Bawang Merah Konvensional dan Organik di Kabupaten Brebes. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hernanto, Fadholi. 1989. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Iryanti, R. 2005. Analisis Usahatani Komoditas Tomat Organik dan Anorganik (Studi Kasus : Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Khairina, Y. 2006. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Wortel Dengan Budidaya Organik (Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor). Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusumah, S.J. 2004. Analisis Perbandingan Usahatani dan Pemasaran Antara Padi Organik dan Padi Anorganik (Kasus : Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Marhamah, R. 2007. Analisis Pendapatan Usahatani dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Sistem Usahatani Padi Organik di Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mei, T. 2006. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Sayuran Organik Yayasan Bina Sarana Bhakti. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Monografi Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2005-2006. Bogor. National Socio Economic Survey, Module Consumption. 2007 Puruhito, T. 2005. Analisis Pengembangan Usahatani Sayuran di Sentul Farm. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soeharjo, A. Dahlan Patong. 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekartawi. A. Suharjo. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penerbit : Universitas Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta. Sumiyati. 2006. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Usahatani Bawang Daun. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suratiyah, Ken. 2006. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta. Tohir, K.A. 1983. Seuntai Pengetahuan Tentang Usahatani Indonesia. Bagian Kedua. PT. Bina Aksara. Jakarta.
Lampiran 1.
KUISIONER PENELITIAN ANALISIS CABANG USAHATANI BAWANG DAUN ORGANIK DAN ANORGANIK (Studi Kasus : Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh : Nelda Yessi Romauli. S / A14105578 Program Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
No. Responden : I. IDENTITAS PETANI BAWANG DAUN a. Nama :…………………………….. b. Alamat :…………………………… c. Usia :……………………………….(tahun) d. Pendidikan terakhir :………………. e. Pengalaman bertani bawang daun :……………………(tahun) f. Pekerjaan di luar bertani bawang daun :……………… g. Jumlah keluarga (tanggungan) Status Nama Pekerjaan Istri 1. 1. Anak 1. 1. 2. 2. 3. 3. 4. 4. Lainnya 1. 1. 2. 2. II. USAHATANI BAWANG DAUN DENGAN SISTEM ORGANIK (1 kali musim tanam) a. (i) Berapa luas lahan yang digunakan untuk bertani bawang daun?............(ha) (ii) Apakah lahan yang digunakan merupakan lahan sendiri atau lainnya? Milik sendiri :………………..ha Sewa :………………..ha (jika menyewa berapa biaya sewa yang dikenakan? Rp……………….. (iii) Berapa biaya pajak lahan/tanah yang dikenakan? Rp…………………. b. Bibit yang digunakan diperoleh dari mana? (i) Membuat sendiri
Berapa jumlah bibit yang digunakan?..................................(tangkai) (ii) Membeli Berapa jumlah bibit yang digunakan?..................................(tangkai) Berapa harga bibitnya? Rp……………………………… (tangkai) c. Berapakah jumlah pupuk yang digunakan? Jenis Jumlah (Dosis/ha)
d. Jumlah tenaga kerja dalam keluarga Jenis Kegiatan Pria (orang) Pengolahan lahan Penanaman Pemeliharaan Panen & Pasca panen e. Jumlah tenaga kerja luar keluarga Jenis Kegiatan Pria (orang) Pengolahan lahan Penanaman Pemeliharaan Panen & Pasca panen
Harga satuan (Rp)
Wanita (orang)
Wanita (orang)
f. Biaya lain-lain yang digunakan : 1. 2. 3. 4. 5. g. Berapakah jumlah produksi yang diperoleh dalam satu kali musim tanam? ………………………………Ton h. Berapakah jumlah pendapatan yang anda peroleh dalam setiap masa panen? Rp…………………………………………………….. i. Mengapa anda melakukan sistem bertani secara organik? Berikan alasan anda! Alasan :
j. Kendala/masalah apa saja yang anda hadapi dalam bertani secara organik? 1. 2. 3. III. USAHATANI BAWANG DAUN DENGAN SISTEM ANORGANIK ( 1 kali musim tanam) a. (i) Berapa luas lahan yang digunakan untuk bertani bawang daun?............(ha) (ii) Apakah lahan yang digunakan merupakan lahan sendiri atau lainnya? Milik sendiri :………………..ha Sewa :………………..ha (jika menyewa berapa biaya sewa yang dikenakan? Rp……………….) (iii) Berapa biaya pajak lahan/tanah yang dikenakan? Rp………………… b. Bibit yang digunakan diperoleh dari mana? (i) Membuat sendiri Berapa jumlah bibit yang digunakan?..................................(tangkai) (ii) Membeli Berapa jumlah bibit yang digunakan?..................................(tangkai) Berapa harga bibitnya? Rp……………………………… (tangkai) c. Berapakah jumlah pupuk yang digunakan? Jenis Jumlah (Dosis/ha)
Harga satuan (Rp)
d. Berapakah jumlah obat-obatan yang digunakan? Jenis Jumlah (Dosis/ha)
Harga satuan (Rp)
e. Jumlah tenaga kerja dalam keluarga Jenis Kegiatan Pria (orang) Pengolahan lahan Penanaman Pemeliharaan Panen & Pasca panen f. Jumlah tenaga kerja luar keluarga Jenis Kegiatan Pria (orang) Pengolahan lahan Penanaman Pemeliharaan Panen & Pasca panen
Wanita (orang)
Wanita (orang)
g. Biaya lain-lain yang digunakan : 1. 2. 3. 4. 5. h. Berapakah jumlah produksi yang diperoleh dalam satu kali musim tanam? ………………………………Ton i. Berapakah jumlah pendapatan yang anda peroleh dalam setiap masa panen? Rp…………………………………………………….. j. Mengapa anda melakukan sistem bertani secara organik? Berikan alasan anda! Alasan : k. Kendala/masalah apa saja yang anda hadapi dalam bertani secara organik? 1. 2. 3. l. Mengapa dalam usahatani bawang daun ini anda menerapkan dua sistem bertani yakni secara organik dan anorganik? Berikan alasan anda! Alasan : m. Menurut anda, manakah yang lebih menguntungkan, bertani bawang daun dengan sistem organik atau anorganik ? Berikan alasan anda ! Alasan :
Lampiran 2. Karakteristik Petani Responden Bawang Daun Organik
Nomor Responden 1
Nama Responden
Yaman Suryaman 2 Apid 3 Munarti 4 Amin 5 Taslim 6 Ujang Sapid 7 Masudin 8 Muhyar 9 Atang 10 Jaya. M. H 11 Aceng 12 Karnadi 13 Apud 14 Kamim 15 Hj. Abdulloh 16 Encep 17 Asep 18 Oleh 19 Ujang Ida 20 Encep Samsudin 21 Udin unuy 22 Udin Ncum 23 Jujum 24 Iyad 25 Ijud 26 Kamal 27 Hj. Napsiah 28 Hj. Sarkosih 29 Nasrudin 30 Jaya Nyai Luasan Rata-Rata Lahan
Luas Lahan (Ha)
Status Lahan
0,5
Milik Sendiri
Lama Menerapkan Sistem Pertanian Organik (Tahun) 9
0,3 0,3 0,3 1 0,5 0,4 0,5 0,5 0,15 0,2 0,1 0,1 0,1 0,25 0,15 0,1 0,05 0,1 0,1 0,1 0,2 0,2 0,1 0,2 0,3 0,4 0,1 0,1 0,2 0,3
Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri
7 7 8 7 9 9 5 5 9 10 10 9 10 9 5 4 5 5 10 4 9 9 7 9 4 6 10 9 8
Lampiran 3. Karakteristik Petani Responden Bawang Daun Anorganik
Nomor Responden 1
Nama Responden
Yaman Suryaman 2 Apid 3 Munarti 4 Amin 5 Taslim 6 Ujang Sapid 7 Masudin 8 Muhyar 9 Atang 10 Jaya. M. H 11 Aceng 12 Karnadi 13 Apud 14 Kamim 15 Hj. Abdulloh 16 Encep 17 Asep 18 Oleh 19 Ujang Ida 20 Encep Samsudin 21 Udin unuy 22 Udin Ncum 23 Jujum 24 Iyad 25 Ijud 26 Kamal 27 Hj. Napsiah 28 Hj. Sarkosih 29 Nasrudin 30 Jaya Nyai Luasan Rata-Rata Lahan
Luas Lahan (Ha)
Status Lahan
0,05
Milik Sendiri
Lama Menerapkan Sistem Pertanian Anorganik (Tahun) 30
0,3 0,5 0,1 0,02 0,05 0,02 0,4 0,3 0,02 0,05 0,4 0,4 0,07 0,02 0,03 0,25 0,07 0,4 0,2 0,2 0,4 1 0,3 0,3 0,4 0,4 0.1 0,4 0,4 0,3
Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri Milik Sendiri
30 25 10 30 20 15 6 12 20 10 10 15 25 30 30 5 35 20 30 5 10 12 30 40 5 7 20 15 15