Merkaptopurin vs Allopurinol
Sebuah tugas Mata Kuliah Interaksi Obat
Heriyanto N21114787
Kelas B
[email protected]
supervised by :
Usmar,S.Si., M.Si., Apt.
[email protected]
Program Studi Profesi Apoteker
Universitas Hasanuddin
Makassar, 2015
Kasus–Seorang penderita leukemia mendapatkan terapi merkaptopurin. Pasien ini juga diketahui menderita hiperurisemia sehingga mendapatkan terapi lain untuk hiperurisemianya. Ternyata beberapa hari kemudian pasien menderita gangguan berupa sesak napas, kurang nafsu makan, kulit pucat, bahkan diare. Ia lalu kembali ke dokter, dan setelah pemeriksaan klinik, diketahui pasien mengalami overdosis merkaptopurin.
pendahuluan
Leukemia adalah suatu penyakit malignan yang mengenai sumsum tulang dan sistem getah bening (lymphatic). (Hockenberry 2003 & Wong 2001). Leukemia adalah keganasan yang berasal dari sel-sel induk system hematopoetik yang mengakibatkan proliferasi sel-sel darah putih tidak terkontrol dimana sel-sel darah tersebut dibentuk dan ditandai dengan proliferasi sel-sel imatur abnormal. Keberadaan sel-sel ini mempengaruhi produksi sel-sel darah normal lainnya. (Gale.1999) [1].
Kemoterapi pada penderita leukemia mempunyai peran penting dalam mencapai optimalisasi terapi dan saat ini banyak kemajuan pengalaman penggunaan kemoterapi untuk pengobatan leukemia. Ditinjau dari aspek pemberiannya, kemoterapi dapat digunakan untuk mencapai kesembuhan (complete remission) dan mencapai masa bebas penyakit (disease free survival). Berbagai penelitian tentang kemoterapi telah dilakukan dengan tujuan berusaha mencari obat baru atau mengkombinasi beberapa macam obat agar kinerja obat lebih baik dengan efek samping yang minimal dan dapat ditolerir oleh tubuh. Yang penting untuk diperhatikan adalah efektifitas (cure rate/response rate), keamanan, rasional, dan terjangkau oleh daya beli penderita. Perkembanagan terkini dalam menentukan pemilihan protocol kemoterapi antara lain melalui pemeriksaan biologi sel kanker, dimana tipe sel leukemia (perangai sel) merupakan salah satu faktor prediksi keberhasilan terapi [2].
Merkaptopurin merupakan kemoterapi sitostatika golongan anti metabolit yang secara umum mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat sintesis DNA dan RNA melalui penghambatan pembentukan asam nukleat dan nukleotida. Antipurin dan antipirimidin mengambil tempat purin dan pirimidin dalam pembentukan nukleosida, sehingga mengganggu berbagai reaksi penting dalam sel kanker. Penggunaannya sebagai obat antikanker didasarkan pada metabolisme purin dan pirimidin lebih tinggi pada sel kanker daripada sel normal. Dengan demikian penghambatan sintesis DNA lebih tinggi daripada terhadap sel kanker.[3]
Merkaptopurin Menghambat sejumlah enzim interkonversi purin. Merkaptopurin merupakan inhibitor kompetitif dari enzim yang menggunakan senyawa purin sebagai substrat. Suatu alternative lain dari mekanisme kerjanya ialah dengan pembentukan 6-metil merkaptopurin (MMPR) yang menghambat biosintesis purin, sehingga sintesis RNA, CoA, ATP, dan DNA dihambat. 6-metil merkaptopurin (6-MP, puritenol) merupakan substrat dari hipoxanthin guanine fosforibosil transferase (HGPRT). Di dalam tubuh akan mengalami konversi menjadi 6-tioguanin-5-monofosfat (6-tionosin-5-monofosfat (T-IMP). T-IMP menghambat sintesis basa purin. Pembentukan ribosil-5-monofosfat dan konversi IMP menjadi adenine juga dihambat [4].
Gbr. 1 Alur metabolisme merkaptopurin
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar serum asam urat (hingga di atas 7,0 mg/dl untuk pria dan 6,0 mg/dl untuk wanita.) dalam tubuh. Hiperurisemia disebabkan oleh kelainan genetik dalam sistem metabolisme tubuh yang menyebabkan tubuh menghasilkan asam urat lebih banyak dan atau disebabkan karena tubuh tidak dapat mengeliminasi asam urat dari tubuh. Meskipun hiperurisemia merupakan dasar untuk pengembangan gout, keberadaannya justru sering tidak menimbulkan gejala. Gout merupakan suatu keadaan dimana kadar asam urat terlalu tinggi dalam cairan tubuh sehingga terbentuk kristal monosodium urat pada cairan sinovial, yang menyebabkan terjadinya nyeri dan inflamasi [5].
Hiperurisemia termasuk dalam sindrom lisis tumor yang merupakan komplikasi dari sel leukemik yang mengalami lisis sebagai respon terhadap kemoterapi sitotoksik dan pelepasan kandungan untraselulernya ke dalam dalah. Sindrom ini sering terjadi di dalam sel yang memiliki fraksi pertumbuhan yang tinggi (leukemia). Jika seseorang menderita hiperurisemia maka kadar urat dalam jaringan penghubung dan dalam ruang intestinal akan tinggi. Hal ini menyebabkan terbentuknya Kristal dalam sendi dan jaringan lunak. salah satu kontrol hiperurisemia adalah golongan xanthine oxidase inhibitor yang merupakan jenis urate lowering agent yang bekerja menghambat oksidasi hipoxantin menjadi xantin, dan xantin menjadi asam urat. Obat yang termasuk golongan ini adalah allopurinol.[6].
Alopurinol hampir 80% diabsorpsi setelah pemberian peroral. Seperti asam urat, alupurinol dimetabolisme sendiri oleh xantin oksidase. Senyawa hasilnya yaitu aloxantin, yang dapat mempertahankan kemampuan menghambat xantin oksidase dan mempunyai masa kerja yang cukup lama, sehingga alopurinol cukup diberikan hanya sekali sehari. Onset dari alopurinol yaitu 1–2 minggu. Absorbsi alopurinol bila diberikan secara peroral adalah 60% dari dosis pemberian. Volume distribusinya 1,6 L/Kg dan metabolisme menjadi metabolit aktif oxypurinol (75%). Ekskresi alopurinol dalam urin sebesar 76% dalam bentuk oxypurinol dan 12% dalam bentuk utuh. T ½ dari alopurinol adalah 1 – 3 jam sedangkan untuk aloxantin 18–30 jam. Bioavaibilitasnya 49 % – 53%. Klirens alopurinol pada dosis 200 mg per hari adalah 10–20 ml/menit. Untuk dosis 100 mg per hari, klirens alopurinol yaitu 3–10 ml/menit sedangkan untuk sediaan extended dengan 100 mg per hari, klirens alopurinol < 3 ml/menit.[7]
INTERAKSI OBAT
Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai dengan perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva (AUC), onset aksi, waktu paro dsb. Interaksi farmakokinetik diakibatkan oleh perubahan laju atau tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik biasanya dihubungkan dengan kemampuan suatu obat untuk mengubah efek obat lain tanpa mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya. Mekanisme yang terlibat dalam interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek pada jaringan / reseptor [8]
Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama-sama. . [9]
Gbr.2 Mekanisme penghambatan allopurinol terhadap enzim xantin oksidase pada pembentukan asam urat Alur metabolisme merkaptopurin
Allpurinol menghambat xantin-oksidase, sintesis asam urat turun. Pada pirai dengan tophi dikulit, kadar asam urat plasma dapat turun dalam beberapa hari sampai dua minggu. Diberikan bila produksi asam urat lebih dari 1 gram dalam 24 jam, misalnya pada polisitemia vera, methaplasia mieloid, leukimia, limfoma, atau akibat pemecahan berlebihan asam nukleat pada pemberian sitostatika. Pada awal terapi, allopurinol dapat meningkatkan srangan pirai akut yang dapat dicegah dengan fenilbutazon atau kolkisin. [9].
Dengan menghambat aktivitas enzim xantin oksidase, alopurinol menurunkan produksi asam urat sehingga menjadi dasar untuk pengobatan rematik. Xantin oksidase juga berperan penting dalam metabolisme obat-obat yang berpotensi toksik, seperti merkaptopurin dan aza-tioprin, dan bila enzim tersebut dihambat oleh alopurinol, maka efek kedua obat tersebut akan meningkat dengan nyata.[10]
KESIMPULAN
Overdosis merkaptopurin terjadi karena pasien juga meminum obat untuk menangani hiperurisemianya dalam hal ini allopurinol. Allopurinol bekerja menghambat enzim xantin oxidase yang merupakan enzim yang memetabolisme obat merkaptopurin menjadi tidak aktif. Dengan demikian, kadar merkaptopurin dalam plasma akan tinggi dan menyebabkan over dosis.
Dengan penghambatan dari enzim xantin oxidase maka dapat menurunkan kecepatan metabolisme merkaptopurin sehingga pajanan DNA oleh nukleutida tioguanin (TGN) meningkat. Hal ini meningkatkan kerusakan DNA, baik DNA sel kanker maupun sel sehat sehingga akan berisiko terjadi toksisitas.
Dengan demikian, pada kondisi dimana pasien leukemia juga menderita hiperurisemia, penting untuk diperhatikan regimen terapi yang tepat, mengingat interaksi antara obat-obatan yang digunakan bias saja berakibat fatal bagi pasien.
Pemberian merkaptopurin dengan allopurinol, bisa saja digunakan dengan catatan dosis merkaptopurin harus dikurangi hingga ¼ dari dosis biasa atau memberikan rentang waktu penggunaan kedua obat sekitar 1-2 jam. Jika hal ini masih meragukan, maka penggantian regimen allopurinol dengan anti hiperurisemia lain yang tidak berinteraksi dengan merkaptopurin bisa menjadi pertimbangan bagi apoteker.
Referensi
Bakta, I.M. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.
Miller DR. Hematologic Malignancies : Leukemia and Lympoma. Edisi VI Philadelphia : Mosby Company 1990 : 604-49
Bowman, W. and Rand, M., 2000, Textbook of Pharmacology, Second Edition, Blackwell Scientific Publications, London..
Katzung, Bertram, 2010, Pharmacology, EGC, Edisi 10. Jakarta. Hal 917-918
Ernst, M.E., Clark, E.C., and Hawkins, D.W. 2008. Gout and Hyperuricemia. 2008. In: Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, A.G., Posey, L.M. editors. Pharmacotherapy: a Pathophysiologic Approach, 7thed. USA: McGraw-Hill Companies. P. 1539-1550.
Dincer H. Erhan, Ayse P. Dincer, Dennis J. Levinson. August 2002. Asymptomatic hyperuricemia: To treat or not to treat. Cleveland Clinic Journal of Medicine Volume 69 Number 8: 594-608
http://aticarahman.blogspot.com/2011/12/kimia-farmasi.html. Kimia Farmasi, diakses, tgl. 11 januari 2015.
Harjani, M., 2012. Penggunaan Antihiperurisemia pada Pengobatan Kemoterapi Anak Berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus Menurut Formula Schwartz dan Counahan-Barratt Di RSUP DR. Sardjito Tahun 2010. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Stockley, 2010. Stockley's Drug Interactions Ninth Edition- A source book of interactions, their mechanisms, clinical importance and management. Pharmaceutical press.
Mutschler, E., 1985, Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi, 88-93, Penerbit ITB, Bandung.
Interaksi Obat Page 1