KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai
“interaksi
obat
dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
Adapun penulisan dalam makalah ini, disusun secara sistematis dan berdasarkan metode-metode yang ada, agar mudah mudah dipelajari dan dipahami sehingga dapat menambah wawasan pemikiran para pembaca. Penulisan makalah ini belum sempurna untuk itulah saya sebagai penulis mengharapkan kritikan positif yang membangun demi menyempurnakan makalah ini. Demikianlah saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung pembuatan makalah ini, semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Jakarta, Oktober 2017
Penyusun
1 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diazepam merupakan obat dari golongan Benzodiazepine. Benzodiazepine merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai obat anti anxiolitik. Obat ini juga telah menggantikan posisi barbiturate dan meprobamate sebagai obat anti cemas, ini dikarenakan benzodiazepine masih lebih aman dan juga lebih efektif. Obat pertama dari benzodiazepine adalah chlordiazepoxide, dimana obat tersebut telah di temukan pada tahun 1955 oleh Leo Sternbach dan teman-teman. Pengaturan kembali ke enam cincin quinazoline oleh reaksi kimia dengan primary amine led, kurang memuaskan, untuk membentuk 7 ikatan, 1,4-benzodiazepin-4-oxide. Bahan tersebut seharusnya inaktif, tetapi efek aktivitas farmakologi diperiksa 2 tahun kemudian. Lalu kemudian diketahui bahwa obat ini memiliki efek sedative, muscle-relaxant, dan anti konvulsi pada hewan terhadap meprobamate, tidak memiliki efek pada system saraf otonom, dan secara umum rendah toksisitasnya. Percobaan klinis membuktikan sediaan ini memiliki efek anti cemas dan anti kejang pada manusia dan diperkenalkan dipasaran pada tahun 1960, dan hanya 2 ½ tahun kemudian dimulai penelitian tentang farmakologinya. far makologinya. Diazepam, pertama kali berhasil di sintesis pada tahun 1959, memiliki profil farmakologik yang hampir mirip tetapi 3 sampai 10 kali lebih poten daripada chlordiazepoxide pada percobaan terhadap hewan. Obat ini mulai dipasarkan sekitar akhir tahun 1963dan sejak itu menjadi salah satu obat yang penggunaannya luas di wilayah barat.
Tujuan
Mengetahui morfologi, mekanisme kerja (farmakodinamik dan farmakokinetik), dosis dan sediaan obat, cara pemberian, indikasi, kontraindikasi, efek samping dan interaksi obat diazepam.
Rumusan masalah
1. 2. 3. 4.
Mekanisme kerja obat terhadap diazepam Farmakokinetik dan Farmakodinamik Interaksi obat pada diazepam Nasib obat dalam tubuh
2 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi
Diazepam adalah turunan dari benzodiazepine dengan rumus molekul 7-kloro-1,3dihidro-1-metil-5-fenil-2H-1,4-benzodiazepin-2-on. Merupakan senyawa Kristal tidak berwarna atau agak kekuningan yang tidak larut dalam air. Secara umum , senyawa aktif benzodiazepine dibagi kedalam beberapa kategori berdasarkan waktu paruh eliminasinya, yaitu: 1. Benzodiazepin short-acting, dengan waktu paruh kurang dari 6 jam. Termasuk didalamnya triazolam, zolpidem dan zopiclone. 2. Benzodiazepin intermediate-acting, dengan waktu paruh 6 hingga 24 jam. Termasuk didalamnya estazolam dan temazepam. 3. Benzodiazepin long-acting, dengan waktu paruh lebih dari 24 jam. Termasuk didalamnya flurazepam, diazepam dan quazepam.
Morfologi
Gambar 1: struktur kimia diazepam (Martindale: 2006) Diazepam merupakan obat anti-cemas yang termasuk pada kelompok benzodiazepine, yang didalamnya juga terdapat alprazolam, clonazepam, lorazepam, flurazepam dan lainnya. Nama sistematiknya (IUPAC) adalah 7-chloro-1,3-dihydro-1methyl-5-phenyl-1,4 benzodiazepin -2-one. Dari sisi kimiawi diazepam merupakan derivate yang paling sederhana dari 1,4-benzodiazepine-2-ones. Banyak cara untuk mensintesis diazepam dari 2-amino-5chloro benzophenon telah ditemukan. Cara pertama dari dua cara yang dipakai adalah cyclocondensasi langsung dari 2-amino-5-chlorobenzophenon atau 2-methylamino5chlorobenzophenon dengan ethyl ester dari glycine hydrochloride. Atom nitrogen amide 3 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
dalam 7-chloro-1,3-dihydro-5-phenyl-2H-1,4-benzodiazepin-2-one di methylasi oleh dimethylsulfate yang membentuk diazepam. Cara kedua berbeda dengan ca ra pertama, dimana methylisasi nitrogen diselesaikan sebelum reaksi cyclocondensasi. Diazepam muncul dalam bentuk padat putih atau Kristal kuning dan suhu leleh pada 131,5 sampai 134,5 celcius. pH dari diazepam adalah netral. Diazepam dapat bertahan selama 5 tahun untuk tablet oral, dan 3 tahun untuk solution IV/IM. Diazepam harus disimpan pada suhu kamar (15-30 celcius). Solusio untuk parenteral harus terlindung dari cahaya dan tetap dingin. Diazepam dapat terabsorpsi kedalam plastic, maka diazepam tidak dikemas dalam botol plastic atau syringes. Obat ini dapat terabsorpsi dalam plastik dan selang untuk infuse intravena. Penyerapan tersebut dipengaruhi beberapa hal, antar lain suhu, konsentrasi, flow rate, dan panjang selang
Obat Yang Bekerja Pada Sususnan Saraf Pusat
Obat-obat yang bekerja untuk system saraf pusat (SSP) merupakan salah satu yang pertama ditemukan manusia primitive dan masih dipergunakan secara luas sebagai zat farmakologi. Obat-obat SSP bekerja pada resptor khusus yang mengatur transmisi sinaps dan merupakan alat paling penting untuk mempelajari aspek fisiologi SSP mulai dari terjadinya bangkitan sampai pada penympanan memori jangka panjang
Obat-obat Yang Termasuk Kelompok Obat
1.
Diazepam
2.
Klordiazepoksid
3.
Flurazepam
4.
Desmatildiazepam
5.
Oxazepam
6.
Lorazepam
7.
Nitrazepam
8.
Triazolam
9.
Alfrazolam
4 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
BAB III PEMBAHASAN
Farmakokinetik Absorpsi
Apabila digunakan untuk mengobati kecemasan atau gangguan tidur, sedativehipnotika biasanya diberikan secara oral. Kecepatan absorpsi oral diazepam lebih cepat dibanding benzodiazepine pada umumnya. Bioavailibilitas dari diazepam setelah pemberian intramuscular tidak dapat dipercaya. Berdasarkan lama kerja, diazepam termasuk golongan benzodiazepine yang bekerja dengan t ½ lebih lama dari 24 jam. Diazepam diabsorpsi dengan baik di saluran cerna. Secara Oral onsetnya 30 menit, dengan waktu puncak 1-2 jam dan durasi 2-3 jam. Secara Intra Vena onsetnya 1-5 menit, waktu puncaknya 15 menit dan durasi 15-60 menit. Pada pemberian secara Intra Muskular onsetnya 15 menit, waktu puncaknya 30-90 menit dengan durasi yang sama 30-90 menit. Plasma konsentrasi dari diazepam adalah antara 0,02-1,01 microgram/ml. Pada pemberian oral atau per rectal, konsentrasi plasma rata-ratanya 76 & 81%. Bioavailibilitas lebih rendah pada peberian suppositoria. Distribusi
Transport sedative-hipnotika di dalam darah merupakan proses dinamis dimana molekul-molekul obat masuk dan keluar jaringan pada kecepatan yang bergantung pada aliran darah, perbedaan konsentrasi, dan permeabilitas. Kelarutan dalam lipid memegang peranan penting dalam menentukan kecepatan dimana sedative-hipnotika tertentu memasuki system saraf pusat. Diazepam lebih mudah larut didalam lipid sehingga mula kerjanya pada system saraf pusat lambat. Kecepatan transformasi metabolis dan eliminasi dari diazepam pada manusia sangat lambat jika dibanding terhadap waktu yang relative singkat untuk mengakhiri semua efek farmakologis utama. Semua sedative-hipnotika menembus sawar darah-plasenta selama kehamilan: Laju keseimbangan konsentrasi darah ibu dengan janin lebih lambat dibandingkan laju keseimbangan antara darah ibu dengan system saraf pusat, karena rendahnya aliran darah menuju plasenta. Jika sedative-hipnotika diberikan pada masa-masa sebelum kehamilan, obat ini bisa menyebabkan depresi pada fungsi-fungsi vital neonates. Sedatif-hipnotika dapat dideteksi di dalam air susu dan dapat mengakibatkan efek-efek depresan terhadap fungsi sitem saraf pusat pada bayi yang mengonsumsi air susu ibu tersebut. 5 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
Diazepam dan sebagian besar sedative-hipnotika lainnya berikatan kuat dengan protein plasma. Kekuatan ikatannya berhubungan erat dengan sifat lipofiliknya, pada diazepam adalah 99%. Kadarnya pada cairan serebrospinal kira-kira sama dengan kadar obat bebas di dalam plasma. Diazepam akan mengalami akumulasi pada penggunaan dosis berulang.
Metabolisme
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme secara ekstensif oleh kelompok enzim sitokrom P450di hati, terutama CYP3A4 dan CYP2C19. Beberapa benzodiazepine seperti oksazepam, dikonjugasi langsung dan tidak dimetabolisme oleh enzim tersebut. Transformasi metabolis menjadi metabolit yang lebih mudah larut di dalam ai r sanagta diperlukan bagi klirens seluruh obat dari tubuh. Sistem enzim pemetabolisme obat mikrosomal dari hati adalah sangat penting dalam hal ini. Karena beberapa sedative-hipnotika dieksresikan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah, waktu-paruh eliminasinya terutama bergantung pada transformasi metabolismenya. Metabolisme hepatis menentukan klirens atau eliminasi dari diazepam dan seluruh benzodiazepine. Diazepam mengalami oksidasi mikrosomal (reaksi fase I), metabolit selanjutnya dikonjugasi (reaksi fase II) oleh glucuronosyltransferase membentuk glucuronide yang dieksresi urine. Banyak metabolit benzodiazepine fase I adalah aktif dengan waktu paruh yang lebih panjang daripada obat induknya. Desmethyldiazepam yang memiliki waktu paruh eliminasi lebih dari 40 jam, merupakan metabolit aktif dari diazepam. Desmethyldiazepam selanjutnya mengalami biotransformasi menjadi senyawa aktif oxazepam, selain itu juga diubah menjadi temazepam. Temazepam selanjutnya mengalami metabolism sebagian menjadi oxazepam. Ekskresi
Diazepam diekskresi melalui urine, baik dalam bentuk bebas maupun terkonjugasi. Diazepam di eksresi dalam urine sebagai glucuronides atau oxidized metabolites. Waktu eliminasi plasma akan memanjang pada neonates, geriatric, dang pasien dengan gangguan liver. Pada sebagian besar kasus, perubahan fungsi ginjal tidak memiliki efek yang kuat terhadap eliminasi obat induk. Sangat sedikit yang dikeluarkan melalui hemodialisa.
Farmakodinamik
Hampir semua efek benzodiazepine merupakan hasil kerja golongan ini pada SSP dengan efek utama: sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap rangsangan emosi/ ansietas, relaksasi otot, dan anti konvulsi. Hanya dua efek saja yang merupakan kerja golongan ini pada jaringan perifer: vasodilatasi koroner setelah pemberian dosis terapi secara IV dan blockade neuromuscular yang hanya terjadi pada pemberian dosis tinggi. Target dari kerja benzodiazepine adalah reseptor GABA. Reseptor ini terdiri dari subunit α, β, dan γ dimana berkombinasi dengan lima atau lebih dari membrane postsinaptik. Benzodiazepine meningkatkan efek GABA dengan berikatan ke tempat yang spesifik dan afinitas tinggi. Reseptor ionotropik ini, suatu protein heteroligometrik transmembran yang 6 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
berfungsi sebagai kanal ion klorida, yang diaktivasi oleh neurotransmitter GABA inhibiotrik. Benzodiazepin meningkatkan frekuensi pembukaan kanal oleh GABA. Pemasukan ion klorida tersebut menyebabkan hyperpolarisasi kecil yang menggerakkan potensial postsinaps menjauh dari threshold sehingga menghambat kejadian potensial aksi. Diazepam digunakan dalam jangka pengobatan jangka pendek untuk ansietas berat, hypnosis untuk manajemen sementara insomnia, sebagai sedative dan premedikasi, sebagai anti konvulsan, dalam pengontrolan spasme otot, dan pada manajemen gejala putus obat. Intraksi Obat
Flumazenil (salah satu imidazobenzodiazepin) merupakan reseptor antagonis benzodiazepine spesifik yang efektif membalikkan kebanyakan dari system saraf pusat oleh benzodiazepine. Benzodiazepine secara luas dan cepat dimetabolisme oleh hepar, dengan waktu paruh yang singkat (t 1/2 = 1 jam). Dosis intravena adalah 0,1-1 mg. efek samping dari pembalikkan tersebut meliputi anxietas, sakit kepala, nausea, vomiting dan resedasi potensial.Cimetidin berikatan dengan cytochrome P-450 dan mengurangi metabolisme diazepam.Heparin mnggantikan diazepam dari ikatan protein dan meningkatkan konsentrasi obat bebas (200% meningkat setelah pemberian 1000 unit heparin). Kombinasi dari opioid dan diazepam menyebabkan penurunan tekanan darah arteri dan tahanan vaskuler perif er. Interaksi sinergis ini selalu di waspadai pada pasien dengan ischemik atau penyakit katup jantung. Benzodiazepine menurunkan konsentrasi minimum alveolar dari anestesi yang diuapkan sampai tingkat 30%.Etanol, barbiturate dan depressan susunan saraf pusat yang lain berpotensi menimbulkan efek sedative dari benzodiazepine.
Indikasi
Diazepam digunakan untuk memperpendek mengatasi gejala yang timbul seperti gelisah yang berlebihan, diazepam juga dapat diinginkan untuk gemeteran, kegilaan dan dapat menyerang secara tiba-tiba. Halusinasi sebagai akibat mengkonsumsi alkohol. diazepam juga dapat digunakan untuk kejang otot, kejang otot merupakan penyakit neurologi. dizepam digunakan sebagai obat penenang dan dapat juga dikombinasikan dengan obat lain.
Kontraindikasi
1. Hipersensitivitas 2. Sensitivitas silang dengan benzodiazepin lain 3. Pasien koma 4. Depresi SSP yang sudah ada sebelumnya 5. Nyeri berat tak terkendali 6. Glaukoma sudut sempit 7. Kehamilan atau laktasi 7 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
8. Diketahui intoleran terhadap alkohol atau glikol propilena (hanya injeksi)
Bentuk Sediaan Obat
·
Per oral : 2-10 mg
·
IM / IV : 5-10 mg
Diagnosis
Kelas terapi : Obat dengan kelas terapi antiansietas, antikonvulsan dan sedatif. Sub kelas terapi : Susunan saraf pusat (SSP) Nama obat dagang : 1. Stesolid 2. Valium 3. Validex 4. Valisanbe 5. Neurodial 6. Metaneuron 7. Danalgin Nama obat Generik : 1. Flurazepam 2. Diazepam 3. Quazepam 4. Temazepam Rumus bangun : 7-Kloro-1,3-dihidro-1-metil-5-fenil-2H-1,4 benzodiazepin-2-on. C16H13ClN2O (FI. IV)
Mekanisme Kerja Obat
Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi hambatan neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin akan bekerja sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas farmakologi berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan. Dengan adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptorn ya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida akan terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang berkurang. Efek Terapi
a) Sedasi : Penurunan terhadap tingkat stimulus 8 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
b) Hipnosis : Dapat menyebabkan tidur c) Anestesi : Akan menekan SSP ke titik yang dikenal sebagai stadium III anastesi umum d) Anti konvulsi : Menghambat perkembangan dan penyebaran aktivitas epilepti Fourmis dalam SSP e) Relaksasi otot : Merelaksasikan otot volunter yang berkontraksi pada penyakit sendi atau spasme otot. f) Respirasi dan Kardiovaskuler pernapasan depresi
: Menimbulkan depresi paru pada penderita paru obstruktif dan pada kardiovaskuler
Efek Samping
- SSP
:Mengantuk, sakit kepala, lemas
- Kardiovaskular
:Bradikardi, kolaps
- Dermatologi
:Urtikaria
- Hematologi
:Neutropenia
- Saluran cerna
:Konstipasi
- Saluran Pernapasan
:Batuk, Depresi pernapasan
Pelaksanaan Cara Pemberian Obat
Obat ini diberikan secara oral untuk mencegah ataksia atau sedasi berlebih, dan dosis dapat dinaikkan secara bertahap bila diberikan secara parenteral (suntikan,) dalam pembrian IV secara langsung tidak memungkinkan, boleh melalui pipa infuse, sedekat mungkin dengan insersinya kedalam vena (karena diazepam sulit terlarut), dan secara lambat didalam vena besar mengurangi resiko tromboflebitis , sedangkan melalui suntik IM dilakukan secara lambat dan tidak konstan.
Dosis Obat
Per Oral:
- Dewasa: 2-10 mg, 2- 4 X sehari, tergantung indikasinya. -Bayi (> 6 Bulan):1-2,5 mg, 3X sehari atau 4 X sehari sebagai permulaan, dinaikkan secara bertahap sesuai kebutuhan. 9 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
Parenteral:
-Dewasa:7-10 mg, IM atau IV sebagai permulaan, diulangi 3-4 jam kemudian bila diperlukan,dan sesuai indikasinya. -Anak (> 5 tahun): 5-10 mg, IM atau IV(perlahan), sesuai dengan indikasinya
-Anak kecil (1 bulan -5 tahun):0,2-2 mg IM atau IV sesuai dengan indikasinya Nasib Obat
a.
Absorbsi : diabsorbsi dari lambung kedalam darah, begitu juga dari usus halus
b.
Distribusi: di distribusi kedalam darah
c. d.
Metabolisme: dimetabolisme dalam hati Ekskresi: diekskresikan terutama dalam ginjal, dan urine
Ketergantungan dan gejala putus obat
Ketergantungan dapat timbul setelah penggunaan lama dari golongan benzodiazepine, walaupun penggunaan dalam dosis terapi. Gejala putus obat dalam muncul dalam waktu yang bervariasi mulai dari 4 minggu hingga 1 tahun atau lebih. Penggunaan dosis tinggi ari diazepam dan obat lain dari golongan benzodiazepine telah disalah gunakan secara intra vena untuk mencapai efek euforianya. Gejala putus obat dari benzodiazepine termasuk, kecemasan, depresi, sulit konsentrasi, insomnia, sakit kepala, pusing, tinnitus, kehilangan selera makan, tremor, prespirasi, hipersensitif secara fisik, visual dan auditori dan rasa yang abnormal, mual, muntah, kram perut, palpitasi, hipertensi sistolik sedang, takikardi, ortostatik hipotensi. Gejala yang jarang tetapi lebih serius seperti, otot yang berkedut, bingung dan paranoid, halusinasi, kejang, hingga delirium.
10 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
BAB IV KESIMPULAN
Besarnya masalah interaksi obat, terutama yang dapat berakibat timbulnya efek samping (adverse drug reaction), dapat meningkat secara bermakna pada populasi masyarakat tertentu sejalan dengan bertambah banyaknya jumlah obat yang dikonsumsi secara bersamaan setiap hari. Populasi masyarakat yang berisiko tinggi terhadap terjadinya interaksi obat yang tidak dikehendaki biasanya adalah kelompok usia lanjut, pasien kritis dalam perawatan intensif, dan pasien yang sedang menjalani prosedur bedah rumit. Meskipun cukup banyak efek samping obat yang terdeteksi selama uji-uji klinik, namun untuk mengetahui profil keamanan suatu obat seringkali baru didapatkan setelah obat tersebut sudah digunakan cukup lama dan secara luas di masyarakat, termasuk oleh populasi pasien yang sebelumnya tidak terwakili dalam uji klinik obat tersebut. Diharapkan dari data tersebut dapat diperoleh dari laporan pharmacovigilance dan post-marketing surveillance yang dilakukan secara periodik setelah obat dipasarkan dan digunakan secara luas di masyarakat. Berdasarkan mekanisme interaksi obat seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, hanya mekanisme interaksi obat secara farmakodinamik yang dapat diprediksi, dan umumnya efek berlaku untuk segolongan obat dari kelas terapi yang sama (class effect). Sedangkan interaksi farmakokinetik tidak dapat diramalkan atau diekstrapolasikan untuk obat dalam klas 11 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
terapi yang sama, disebabkan adanya perbedaan dalam sifat-sifat fisiko-kimia obat yang menyebabkan perbedaan profil farmakokinetik. Obat-obat yang bekerja untuk system saraf pusat (SSP) merupakan salah satu yang pertama ditemukan manusia primitive dan masih dipergunakan secara luas sebagai zat farmakologi. Obat-obat SSP bekerja pada resptor khusus yang mengatur transmisi sinaps dan merupakan alat paling penting untuk mempelajari aspek fisiologi SSP mulai dari terjadinya bangkitan sampai pada penyimpanan memori jangka panjang. Jenis- jenis obat SSP antara lain : Diazepam, Klordiazepoksid, Flurazepam, Desmatildiazepam, Oxazepam, Lorazepam, Nitrazepam, Triazolam, Alfrazolam. Diazepam adalah turunan dari benzodiazepine dengan rumus molekul 7-kloro-1,3dihidro-1-metil-5-fenil-2H-1,4-benzodiazepin-2-on. Merupakan senyawa Kristal tidak berwarna atau agak kekuningan yang tidak larut dalam air.
DAFTAR PUSTAKA
Diazepam, www.rerarosalina.blogspot.com, diakses 29 Oktober 2010 Diazepam – oral Index, www.MediciNet.com, diakses 29 Oktober 2010. Diazepam, www.mentalhealth.com, diakses 21 Oktober 2010. Gunawan, S dkk, (2007). Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta : Gaya Baru Katzung, G Betram. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta : EGC Mutschler E. (1991). Dinamika Obat. Bandung : IPB Valium, www.rxlist.com, diakses 29 Oktober 2010. .------(2008) Sistem Saraf-Sebagai Sistem Pengendali, http://www.blogspot.com. Diambil pada tanggal 29 Oktober 2010. Jam
12 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
LAMPIRAN
JURNAL INTERAKSI OBAT
PENDAHULUAN
Abstrak
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (obat index) berubah akibat adanya obat lain (Precipitant Drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki (Undesirable/Adverse Drug Interactions) yang lazimnya menyebabkan efek samping obat dan/atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal. 1
13 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
Interaksi obat yang tidak dikehendaki dapat bermakna jika: (1) obat memiliki batas keamanan (indeks terapeutik) sempit; (2) mula kerja (onset of action) obat cepat, terjadi dalam waktu 24 jam; (3) Adverse Drug Reaction yang ditimbulkan bersifat serius atau berpotensi fata l dan mengancam kehidupan; (4) penggunaan berbagai jenis obat dalam praktek klinik secara bersamaan dalam kombinasi (polifarmasi).1,15 Banyak faktor yang berperan dalam terjadinya Adverse Drug Reaction yang bermakna secara klinik, antara lain: faktor usia, faktor penyakit, genetik, dan polifarmasi atau Multiple Drugs Therapy. Orang-orang dengan usia lanjut biasanya lebih rentan mengalami interaksi obat, contohnya pada penderita Diabetes Melitus usia lanjut yang disertai dengan penurunan fungsi ginjal, pada pemberian obat golongan ACE-inhibitor (misal: kaptopril) bersama obat golongan diuretik hemat kalium (misal: spironolakton, amilorid, triamteren) dapat menyebabkan terjadinya hiperkalemia yang mengancam kehidupan. Beberapa penyakit seperti penyakit hati kronik dan kongesti hati dapat menyebabkan penghambatan metabolisme obatobat tertentu yang dimetabolisme di hati (misalnya: simetidin) sehingga toksisitasnya dapat meningkat. Multiple Drugs Therapy contohnya pada pemberian relaksans otot bersama aminoglikosida pada penderita miopati, hipokalemia, atau disfungsi ginjal, dapat menyebabkan efek relaksans otot meningkat sehingga kelemahan otot meningkat. Polimorfisme adalah salah satu faktor genetik yang dapat berperan dalam inter aksi obat, misalnya pada pemberian fenitoin bersama isoniazid (INH) pada kelompok polimorfisme asetilator lambat dapat menyebabkan toksisitas fenitoin meningkat. 1 Adakalanya penambahan obat lain justru diperlukan untuk meningkatkan atau mempertahankan kadar plasma obat-obat tertentu sehingga diperoleh efek terapetik yang diharapkan. Selain itu, ada juga penambahan obat lain yang diharapkan dapat mengantisipasi atau mengantagonis efek suatu obat yang berlebihan. Penambahan obat lain dalam bentuk kombinasi (tetap ataupun tidak tetap) kadang-kadang disebut Pharmacoenhancement, juga sengaja dilakukan untuk mencegah terjadinya perkembangan resistensi, meningkatkan kepatuhan, serta menurunkan biaya terapi karena mengurangi regimen dosis obat yang harus diberikan.16,17,18 Pemberian obat presipitan sebagai antagonis atau antidotum untuk mengurangi efek samping obat index adalah contoh lain dari interaksi anta r obat yang dikehendaki, seperti misalnya pada pemberian
14 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
antikolinergik untuk mengatasi efek samping ekstrapiramidal dari obat-obat anti-emetik dan anti-psikotik; pemberian nalokson untuk mengatasi overdosis opium; pemberian atropin untuk intoksikasi antikolinesterase; dsb.16 Sejumlah besar obat baru dilepas di pasaran setiap tahunnya, hal ini dapat menyebabkan timbulnya berbagai interaksi baru antar obat. Namun, profil keamanan suatu obat seringkali baru didapatkan setelah obat tersebut sudah digunakan cukup lama dan secara luas di masyarakat, termasuk oleh populasi pasien yang sebelumnya tidak terwakili dalam uji klinik suatu obat. Konsekuensinya, diperlukan beberapa bulan atau bahkan tahun sebelum diperoleh data yang memadai tentang masalah efek samping akibat interaksi obat. Namun, studi Pharmacovigilance dan Post Marketing Surveilance yang antara lain di kelola oleh industri farmasi diharapkan berperan cukup besar guna mendapatkan data interaksi dan efek samping obat terutama untuk obat-obat baru yang semakin banyak muncul dan beredar di pasaran. 19 Informasi mengenai seberapa sering seseorang mengalami risiko efek samping karena interaksi obat, dan seberapa jauh risiko efek samping yang dapat dikurangi diperlukan jika akan mengganti obat yang berinteraksi dengan obat alternatif. Dengan mengetahui bagaimana mekanisme interaksi antar obat, maka kita dapat memperkirakan kemungkinan efek samping yang akan terjadi dan melakukan antisipasinya. PEMBAHASAN
Mekanisme interaksi obat pada dasarnya dapat digolongkan sebagai berikut: 1. Interaksi Farmasetik Interaksi farmasetik adalah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat obat diformulasikan / disiapkan sebelum obat digunakan oleh penderita. Interaksi farmasetik disebut juga inkompatibilitas farmasetik, bersifat langsung dan selanjutnya menyebabkan obat menjadi tidak
aktif.2 -Interaksi
Bentuk secara
interaksi fisik
:
ini
ada
misalnya
terjadi
2
macam
perubahan
:
kelarutan
-Interaksi secara khemis : misalnya terjadi reaksi terhidrolisisnya suatu obat selama dalam proses pembuatan ataupun selama dalam penyimpanan. Beberapa interaksi farmasetik contohnya: 2 - karbenisilin dengan gentamisin terjadi inaktivasi 15 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
- fenitoin dengan larutan dextrosa 5% terjadi presipitasi - amphotericin-B dengan larutan NaCl fisiologik terjadi presipitasi
2. Interaksi Farmakokinetik Interaksi farmakokinetik berupa perubahan-perubahan yang terjadi pada proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi suatu obat oleh karena adanya obat/senyawa lain.2 Interaksi obat secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi, ha; ini disebabkan karena adanya perbedaan sifat fisikokimia yang menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda. Contohnya: interaksi farmakokinetik oleh simetidin tidak dimiliki oleh H2-bloker lainnya; interaksi oleh terfenadin, aztemizole tidak dimiliki oleh antihistamin non-sedatif lainnya. 2
2.1. Interaksi yang terjadi pada proses absorpsi gastrointestinal Mekanisme interaksi yang melibatkan absorpsi gastrointestinal dapat terjadi melalui beberapa cara: (1) secara langsung, sebelum absorpsi; (2) terjadi perubahan pH cairan gastrointestinal; (3) penghambatan transport aktif gastrointestinal; (4) adanya perubahan flora usus; (5) efek makanan. Interaksi yang terjadi secara langsung sebelum obat diabsorpsi contohnya adalah interaksi antibiotika (tetrasiklin, fluorokuinolon) dengan besi (Fe) dan antasida yang mengandung Al, Ca, Mg, terbentuk senyawa Chelate yang tidak larut (irreversible) sehingga obat antibiotika tidak bisa diabsorpsi. Obat-obat seperti digoksin, siklosporin, asam valproat menjadi inaktif jika diberikan bersama adsorben (kaolin, charcoal) atau anionic exchange resins (kolestiramin, kolestipol).2 Terjadinya perubahan pH cairan gastrointestinal, misalnya peningkatan pH karena adanya antasida, penghambat-H2, ataupun penghambat pompa-proton akan menurunkan absorpsi basa-basa lemah (misal: ketokonazol, itrakonazol) dan akan meningkatkan absorpsi 16 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
obat-obat asam lemah (misal,: glibenklamid, glipizid, tolbutamid). Peningkatan pH cairan gastrointestinal juga akan menurunkan absorpsi beberapa antibiotika golongan sefalosporin. 2 Mekanisme interaksi melalui penghambatan transport aktif gastrointestinal, misalnya grapefruit juice, yakni suatu inhibitor protein transporter uptake pump di saluran cerna, akan menurunkan bioavailabilitas beta-bloker dan beberapa antihistamin (misalnya: fexofenadin) jika diberikan bersama-sama.3 Pemberian digoksin bersama inhibitor transporter efflux pump P-glikoprotein (misalnya: ketokonazol, amiodarone, quinidin) akan meningkatkan kadar plasma digoksin sebesar 60-80% dan menyebabkan intoksikasi (blokade jantung derajat 3), menurunkan ekskresinya lewat empedu, dan menurunkan sekresinya oleh sel-sel tubulus proksimal ginjal.4 Adanya perubahan flora usus, misalnya akibat penggunaan antibiotika berspektrum luas yang mensupresi flora usus dapat menyebabkan menurunnya konversi obat menjadi komponen aktif. 2 Efek makanan terhadap absorpsi terlihat misalnya pada penurunan absorpsi penisilin, rifampisin, INH, atau peningkatan absorpsi hidroklorothiazide, fenitoin, nitrofurantoin, halofantrin, albendazol, mebendazol karena pengaruh adanya makanan. Makanan juga dapat menurunkan metabolisme lintas pertama dari propranolol, metoprolol, dan hidralazine sehingga bioavailabilitas obat-obat tersebut meningkat. Makanan yang berlemak dapat meningkatkan absorpsi obat-obat yang sukar larut dalam air seperti griseovulvin dan danazol. 2
2.2 Interaksi yang terjadipada proses distribusi Mekanisme interaksi yang melibatkan proses distribusi terjadi karena per geseran ikatan protein plasma. Interaksi obat yang melibatkan proses distribusi akan bermakna klinik jika: (1) obat memiliki ikatan protein sebesar > 85%, volume distribusi (Vd) obat < 0,15 l/kg, dan memiliki batas keamanan sempit; (2) obat presipitan berikatan dengan albumin pada tempat ikatan (finding site) yang sama dengan obat utama, serta kadarnya cukup tinggi untuk menempati dan menjenuhkan binding-site nya.9 Contohnya, fenilbutazon dapat menggeser warfarin (ikatan protein 99%; Vd = 0,14 I/kg) dan tolbutamid (ikatan protein 96%, Vd = 0,12 I/kg), sehingga kadar plasma warfarin dan tolbutamid bebas meningkat. 5
17 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
2.3. Interaksi yang terjadi pada proses metabolisme obat Mekanisme interaksi dapat berupa (1) penghambatan (inhibisi) metabolisme, (2) induksi metabolisme, dan (3) perubahan aliran darah hepatik. 5 Hambatan ataupun induksi enzim pada proses metabolisme obat terutama berlaku terhadap obat-obat atau zat-zat yang merupakan substrat enzim mikrosom hati sitokrom P450 (CYP-450).6 Beberapa isoenzim CYP yang penting dalam metabolisme obat antara lain: 7-12 - CYP2D6 (Debrisoquin Hidroksilase) dan merupakan isoenzim CYP pertama yang diketahui, aktivitasnya dihambat oleh obat-obat seperti Kuinidin, Paroxetine, Terbinafine - CYP3A yang memetabolisme lebih dari 50% obat-obat yang banyak digunakan dan terdapat selain di hati juga di usus halus dan ginjal, antara lain dihambat oleh Ketokonazol, Itrakonazol, Eritromisin, Klaritromisin, Diltiazem, Nefazodon - CYP1A2 merupakan enzim pemetabolis penting di hati untuk Teofilin, Kodein, Klozapin dan Warfarin, dihambat oleh obat-obat, seperti Siprofloksasin, Fluvoksamin. Interaksi inhibitor CYP dengan substratnya akan menyebabkan peningkatan kadar substrat obat dalam plasma atau peningkatan bioavailabilitas sehingga memungkinkan aktivitas substrat meningkat sampai terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki ( Adverse Drug Reaction). Berikut ini adalah contoh-contoh interaksi yang melibatkan inhibitor CYP dengan substratnya:
8
(1) Interaksi terfenadin, astemizol, cisapride (substrat CYP3A4/5) dengan ketokonazol, itrakonazol, etitromisin, atau klaritromisin (inhibitor poten CYP3A4/5) akan meningkatkan kadar substrat, menyebabkan toksisitas berupa perpanjangan interval QT yang berakibat terjadinya aritmia ventrikel (torsades de pointes) yang fatal. (2) Interaksi triazolam, midazolam (substrat) dengan ketokonazol, eritromisin (inhibitor) akan meningkatkan kadar substrat, meningkatkan bioavailabilitas sebesar 12 kali, yang berakibat efek sedasi obat-obat sedative di atas meningkat dengan jelas. 18 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
Induktor atau zat yang menginduksi enzim pemetabolis (CYP) akan meningkatkan sintesis enzim tersebut. Interaksi induktor CYP dengan substratnya menyebabkan laju kecepatan metabolisme obat (substrat) meningkat sehingga kadarnya dalam darah menurun dan efikasi obatnya pun akan menurun. Namun induksi CYP dapat menyebabkan meningkatnya pembentukan metabolit yang bersifat reaktif sehingga dapat juga memungkinkan timbulnya risiko toksik. Berikut adalah beberapa contoh interaksi yang melibatkan induktor CYP dengan substratnya:8 (1) Kontraseptik oral (hormon estradiol) dengan adanya induktor enzim seperti rifampisin, deksametason, menyebabkan kadar estradiol menurun sehingga efikasi kontraseptik oral ikut menurun. (2) Asetaminofen (parasetamol) yang merupakan substrat CYP2E1, dengan adanya induktor CYP2E1 seperti etanol dan fenobarbital yang diberikan secara terus menerus (kronik), dapat menyebabkan peningkatan metabolism asetaminofen
menjadi
metabolit
reaktif
sehingga
meningkatkan
risiko
hepatotoksisitas.
Tabel daftar Isozim CYP, substrat, inhibitor dan induktor CYP:
9
Isoenzim CYP
SUBSTRAT
INHIBITOR
INDUKTOR
CYP2D6
amitriptilin betabloker debrisokuin fenasetin haloperidol kodein metoprolol metoklopramid prokainamid propranolol tamadol
amiodarone celecoxib difenhidramin flufenazin halofantrin klorpromazin kuinidin metadon ranitidin ritonavir simetidin
rifampisin
19 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
terjadinya
CYP2C19
diazepam flunitrazepam heksobarbital imipramin klomipramin lansoprazol kontraseptik oral
fluoksetin indometazin ketokonazol omeprazol probenesid ritonavir simetidin
karbamazepin fenobarbital prednison rifampisin
CYP3A4/5
astemizol asetaminofen cisapride terfenadin triazolam midazolam felodipin karbamazepin simvastatinlovastatin
Ketokonazol itrakonazol eritomisin klarirromisin grapefruit juice ritonavir diltiazem
dexametason etanol rifampisin INH
CYP1A2
Teofilin kofein klozapin warfarin
siprofloksasin fluvoksamin
rifampisin karbamazepin barbiturat asap rokok charcoal grill-meat
2.4. Interaksi yang terjadi pada proses ekskresi obat Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada proses ekskresi melalui organ ginjal lewat sekresi pada tubuli; organ empedu mengikuti sirkulasi enterohepatik; dan dapat terjadi juga karena adanya perubahan pH urin. 2 Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama, contohnya kuinidin menurunkan ekskresi empedu digoksin; probenesid menurunkan ekskresi empedu rifampisin. Obat-obat tersebut memiliki system transporter protein yang sama, yaitu P-glikoprotein.13 Obat-obat yang menghambat P-glikoprotein di intestinal akan meningkatkan bioavailabilitas substrat P-glikoprotein, sedangkan hambatan P-glikoprotein di ginjal dapat menurunkan ekskresi substrat lewat ginjal. Contoh, itrakonazol, suatu inhibitor P-glikoprotein di ginjal, akan menurunkan klirens ginjal digoksin (substrat P-glikoprotein) jika diberikan bersama-sama, sehingga kadar plasma digoksin akan meningkat.14
20 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
Penghambatan sekresi di tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama, terutama sistem transport untuk obat bersifat asam dan metabolit yang juga bersifat asam. Contoh: fenilbutazon dan indometasin menghambat sekresi obat-obat diuretik tiazid dan furosemid ke tubuli ginjal sehingga efek diuretiknya menurun; salisilat menghambat sekresi probenesid ke tubuli ginjal sehingga efek probenesid sebagai urikosurik menurun. 14 Perubahan pH urin akibat interaksi obat akan menghasilkan perubahan klirens ginjal melalui perubahan jumlah reabsorpsi pasif di tubuli ginjal. Interaksi ini akan bermakna klinik jika: (1) fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (> 30%); (2) obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam lemah dengan pKa 3,0 - 7,5. Beberapa contoh antara lain: obat bersifat basa lemah (amfetamin, efedrin, fenfluramin, kuinidin) dengan obat yang mengasamkan urin (NH4C1)) menyebabkan klirens ginjal obat-obat pertama meningkat sehingga efeknya menurun; obat-obat bersifat asam (salisilat, fenobarbital) dengan obat-obat yang membasakan urin seperti antasida (mengandung NaHCO3, A1(OH)3, Mg(OH)2), akan meningkatkan klirens obat-obat pertama, sehingga efeknya menurun.14
3. Interaksi Farmakodinamik Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi farmakodinamik suatu obat umumnya dapat terjadi pada obat lain yang segolongan, oleh sebab itu klasifikasi obat dibuat berdasarkan efek farm akodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obatnya. 2,5 Contoh interaksi obat pada reseptor yang bersifat antagonistik misalnya: interaksi antara β-bloker dengan agonis-β2 pada penderita asma; interaksi antara penghambat reseptor dopamine (misalnya: haloperidol, metoklopramid) dengan levodopa pada pasien parkinson. Beberapa contoh interaksi obat secara fisiologik serta dampaknya antara lain 21 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
sebagai berikut: interaksi antara aminoglikosida dengan furosemid akan meningkatkan risiko ototoksik dan nefrotoksik dari aminoglikosida; interaksi β -bloker dengan verapamil akan menimbulkan gagal jantung, AV-block, dan bradikardi berat; benzodiazepin dengan etanol (alkohol) meningkatkan depresi susunan saraf pusat (SSP); kombinasi obat-obat trombolitik (antikoagulan) dan anti platelet akan menyebabkan perdarahan. 2 Penggunaan diuretik kuat (misalnya: furosemid) yang menyebabkan perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit seperti hipokalemia, dapat meningkatkan toksisitas digitalis jika diberikan bersama-sama. Pemberian furosemid bersama relaksan otot (misalnya: dtubokurarin) menyebabkan paralisis berkepanjangan. Sebaliknya, penggunaan diuretik hemat kalium (spironolakton, amilorid) bersama dengan penghambat ACE (kaptopril) menyebabkan hiperkalemia. Kombinasi anti hipertensi dengan obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID) yang menyebabkan retensi garam dan air, terutama pada penggunaan jangka lama, dapat menurunkan efek antihipertensi.2
KESIMPULAN
Besarnya masalah interaksi obat, terutama yang dapat berakibat timbulnya efek samping (adverse drug reaction), dapat meningkat secara bermakna pada populasi masyarakat tertentu sejalan dengan bertambah banyaknya jumlah obat yang dikonsumsi secara bersamaan setiap hari. Populasi masyarakat yang berisiko tinggi terhadap terjadinya interaksi obat yang tidak dikehendaki biasanya adalah kelompok usia lanjut, pasien kritis dalam perawatan intensif, dan pasien yang sedang menjalani prosedur bedah rumit.
22 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
Meskipun cukup banyak efek samping obat yang terdeteksi selama uji-uji klinik, namun untuk mengetahui profil keamanan suatu obat seringkali baru didapatkan setelah obat tersebut sudah digunakan cukup lama dan secara luas di masyarakat, termasuk oleh populasi pasien yang sebelumnya tidak terwakili dalam uji klinik obat tersebut. Diharapkan dari data tersebut dapat diperoleh dari laporan pharmacovigilance dan post-marketing surveillance yang dilakukan secara periodik setelah obat dipasarkan dan digunakan secara luas di masyarakat. Berdasarkan mekanisme interaksi obat seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, hanya mekanisme interaksi obat secara farmakodinamik yang dapat diprediksi, dan umumnya efek berlaku untuk segolongan obat dari kelas terapi yang sama (class effect). Sedangkan interaksi farmakokinetik tidak dapat diramalkan atau diekstrapolasikan untuk obat dalam klas terapi yang sama, disebabkan adanya perbedaan dalam sifat-sifat fisiko-kimia obat yang menyebabkan perbedaan profil farmakokinetik.
Daftar Pustaka
1.
Ament PW, Bertolino JG, Liszewski JL. Clinical pharmacology: clinically significant drug interactions. Am Fam Physician. 2000; 61:1745-54
2.
May RJ. In: Pharmacotherapy a pathophysiologic approach. Adverse drug reactions and interactions. DiPiro JT, Talbert RL, Yee GC, et al. Appleton & Lange, 1997:10116. 23 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
3.
S. U. Mertens-Talcott, et al. Grapefruit-Drug Interactions: Can Interactions With Drugs Be Avoided? J. Clin. Pharmacol. 2006; 46; 1390-1416.
4.
Leahey EB, Reiffel JA, Drusin RE, et al. Interaction between quinidine and digoxin JAMA 1978;240:533-4.
5.
Ito K, Iwatsubo T, Kanamitsu S, et al. Prediction of pharmacokinetic alterations caused by drug-drug interactions: Metabolic interaction in the liver. Pharm Rev 1998; 50 (3):387-411.
6.
Pelkonen O, Maenpaa J, Taavitsainen P, Rautio A, Raunio H. Inhibition and induction of human cytochrome P450 (CYP) enzymes. Xenobiotica 1998;28:12031253.
7.
Walsky, RL and Obach, RS. Validated assays for human Cytochrome P450 activities. Drug Metab Dispos 2004; 32:647-660.
8.
Bauman, JL. The role of pharmacokinetics, drug interactions and pharmacogenetics in the acquired long QT syndrome. Eur. Heart J. Suppl. 2001; 3:93-100.
9.
Br0sen K. Drug interactions and the cytochrome P450 system: The role of cytochrome P450 1A2. Clin Pharmacokinet 1995;29(suppl l):20-5.
10.
Miners JO, McKinnon RA. CYP1A. In: Levy RH, Thummel KE, Trager WF, Hansten PD, Eichelbaum M, editors. Metabolic drug interactions. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. p. 61-73.
11.
Rasmussen BB, Maenpaa J, Pelkonen O, Loft S, Poulsen HE, Lykkesfeldt J, Brasen K. Selective serotonin reuptake inhibitors and thephylline metabolism in human livermicrosomes: potent inhibition by fluvoxamine. Br J Clin Pharmacol 1995;39:1519.
12.
Fuhr U, Anders EM, Mahr G, Sorgel F, Staib AH. Inhibitory potency of quinolone antibacterial agents against cytochrome P4501A2 activity in vivo and in vitro. AntimicrobAgents Chemother 1992;36:942-8
24 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
13.
Silverman JA. P-glycoprotein. In: Levy RH, Thummel KE, Trager WF, Hansten PD, Eichelbaum M, editors. Metabolic drug interactions. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. p. 135-44.
14.
Jalava KM, Partanen J, Neuvonen PJ. Itraconazole decreases renal clearance of digoxin. TherDrug Monit 1997;19:609-13.
15.
Kastrup EK. Drug Interactions Facts. Facts and Comparisons, St. Louis, MO. 2000.
16.
Horn, JR and Hansten, PD. Rx Irony: Drug Interactions for Pharmacoenhancement. Pharmacy Times. February 2007.
17.
Motwani B, Khayr W. Pharmacoenhancement of protease inhibitors. Am J Ther. 2006; 13:57-63.
18.
Krikorian, SA and Rudorf, DC. Drug-Drug Interactions and HIV Therapy: What Should Pharmacists Know? Journal of Pharmacy Practice 2005; 18; 278-94.
19.
Gitawati, Retno. Interaksi obat dan beberapa implikasinya. Media Litbang Kesehatan Volume XVIII No.4. 2008
Penyusun
: Marcellinus Triyuono Dairo / FK Undip / 22010110120134
Sumber materi : Artikel tentang interaksi obat dan implikasinya karya Retno Gitawati tahun 2008 Waktu akses
:Sumber materi diakses oleh penyusun pada hari Minggu, 28 Juli 2013
25 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .
26 | interaksi obat dalam ssp pada distribusi obat diazepam” .