Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang di sebabkan o leh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau at au zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang, menghilankan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lengkap, proses peradangan biasanya reda. Namun kadang-kadang inflamasi tidak bisa di cetuskan oleh suatu zat yang tidak berbahaya seperti asma. Pada kasus ini reaksi pertahanan d iri sendiri mungkin menyebabkan luka pro gresif, gresif, dan obat-obat anti inflamasi atau imunosupresi imunosupresi mungkin mungkin di d i perlukan untuk memodulasi proses peradangan. Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik bervariasi dengan tipe pro ses peradangan dan meliputi amin seperti: histamin dan 5-hidroksitriptamin, 5-hidroksitriptamin, lipid seperti prostaglandin, prost aglandin, peptida kecil seperti bradikinin dan peptida besar seperti interleukin. Penemuan variasi yang luas diantara mediator kimiawi yang tampak untuk obat anti inflamasi dapat mempengaruhi kerja mediator utama yang tidak melibatkan mediator target obat. Glukokortikoid, digunakan untuk menekan inflamasi, alergi, dan respon imun. Terapi antiinflamasi digunakan banyak penyakit sepert i asma bronkial, artritis reumatoid, inflamasi berat pada mata dan kulit. Supresi sistem imun bermanfaat dalam mencegah penolakan setelah transplantasi jaringan. Steroid digunakan untuk menekan limfopoiesis. Mekanisme kerjanya kortison berdifusi ke dalam se l target dan terikat pada reseptor glukokortikoid sitoplasma yang termasuk dalam reseptor steroid. Kompleks reseptor glukokortikoid yang teraktifasi memasuki nukleus dan t erikat pada elemen respon steroid pada molekul DNA target dan ikatan ini menginduksi meng induksi sintesis mRNA sprsifik sprsifik dengan menghambat faktor transkripsi. transkripsi. Untuk sebagian besar glukokortikoid mempunyai afinitas yang lebih tinggi untuk reseptor, kurang cepat diinaktifasi, dan mempunyai sedikit ataupunn tidak mempunyai sifat menahan garam. Efek metabolik glukokortikoid adalah memfasilitasi perubahan protein menjadi glikogen. Glukokortikoid menghambat sintesis protein dan menstimulasi katabolisme protein menjadi asam amino. Glukogeno genesis, depo sisi glikogen, dan pelepasan glukosa dari hati distimulasi, tetapi glukosa perifer dihambat. Kortikosteroid mempunyai efek yang nyata dan banyak digunakan untuk antiinflamasi dan imunosupresif, dengan menekan semua fase respon inflamasi, inflamasi, termasuk pembengkakan pembe ngkakan dini, kemerahan, dan nyeri. Sel-sel imunokompeten dan mkrofag dalam sirkulasi dikurangi dan pembentukan mediator proinflamasi, seperti prostaglandin, leukotrien, d ihambat. Steroid menghasilkan efek yang terakhir t erakhir ini dengan menstimulasinsintesis protein dalm leukosit yang menghambat fosfolipase A2. Enzim ini, terletak dalam membran sel, diaktivasi dalam sel-sel yang rusak dan bertanggungjawab dalam pembentukan asam arachidonat yang merupakan prekurson mediator inflamasi. inflamasi. Kortikosteroid juga menekan gen yang mengkode reseptor fosfolipae, fosfolipae, siklooksigenase. Glukokortikoid menurunkan fungsi monosit/makrofag dan mrngurangi limfosit yangberasal dari timus dalam pelepasan interleukin. Transport limposit ke lokasi stimulasi proliferasi, proliferasi, stimulasi st imulasi antigenik dan produksi antibodi juga dihambat. Glukokortikoid menyebabkan efek samping, terutama dalam dosis tinggi yang dibutuhkan untuk aktivitas antiinflamasi. antiinflamasi. Efek E fek metabolik dosis tinggi dengan cepat menyebabkan wajah pleorik yang bulat (moon face) redistrib red istribusi usi lemak dari ekstremitas ke sumbu dbada n dan wajah. Terjadi stiae ungu dan kecenderungan untuk memar. Gangguan metabolisme karbohidrat menyebabkan hiperglikemia dan kadang diabetes. Hilangnya protein dari otot skelet menyebabkan pengurangan masa dan kelemahan otot. Hal ini tidak dapat diatasi oleh protein dari makanan
karena sintesis protein dihambat. Peningkatan katabolisme tulang bisa menyebabkan osteoporosis. Banyak obat anti inflamasi nonsteroid (AINS) bekerja dengan jalan menghambat sintesis prostaglandin. Jadi penghambatan akan obat AINS memerlukan pengertian kerja dan b iosintesis prostaglandin turunan asam lemak tak jenuh yang mengandung 20 karbon yang meliputi suatu struktur cincin siklik. Prostaglandin dan senyawa yang berka itan diproduksi dalam jumlah kecil oleh semua jaringan. Umumnya bekerja lokal pada jaringan tmpat prostaglandin tersebut di sintesis, dan cepat di metabolisme menjadi produk inaktif pada tempat kerjanya. Karena itu prostaglandin tidak bersirkulasi dengan konsentrasi bermakna dalam darah. Tromboksan, leukotrien, dan asam hidroksiperoksieikosatetraenoat dan asam hidroksieikosatetraenoat mrupakan lipid yng berkaitan, disintesis dari prekursor yang sama sebaga i prostaglndin. Asam arachidonat, suatu asam lemak 20-karbon, adalah prekursor utama prostaglandin dan senyawa yang berkaitan. Asam arachidonat terdapat dalam komponen fospolipid membran sel,terutama fosfatidil inositol dan kompleks lipidnlainnya. Asam arachidonat bebas dilepaskan dari jaringan fosfolipid oleh kerja fosfolipase A2 dan asil h idroklase lainnya, melalui suatu proses yang dikontrol oleh hormon dan rangsangan lain. Ada dua jalan utama sintesis eikosanoid dari arachidonat: Jalan siklo-oksigenase : Semua eikosanoid berstruktur cincin tesis melalui jalan siklooksigenase. Telah diteliti dua siklo-oksigenase:COX-1 dan COX-2. Yang pertama bersifat ada dimana-mana dan pembentuk, sedangkan yang kedua diinduksi dalam respon terhadap rangsang inflamasi. Jalan lipooksigenase : Jalan lain, beberapa lipooksigenase dapat bekerja pada asam arachidonat untuk membentuk 5-HPETE, 12-HPETE, 15-HPETE, yang merupakan turunan peroksidasi tidak stabil yang dikonversikan menjad i dua turunan hidroksilasi yang sesuai, atau menjadi leukotrien atau lipoksin, tergantung pada jaringan. Kebanyakan efek prostaglandin diperantarai oleh ikatan pada berbagai reseptor membran yang berbeda yang beroperasi melalui protein G, yang kemudian mengaktivasi atau menghambat adenilil siklase atau merangsang fosfolipase C. Hal ini menyebabkan peningkatan pembentukan diasilgliserol dan inositol-1,4,5-trifosfat. PGF, leukotrien, dan tromboksan memperantarai efekefek tertentu dengan jalan mengaktivasi metabolisme fosfatidilinositol dan dapat menyebabkan peningkatan Ca2+ intraseluler. Obat-obat antiinflamasi nonsteroid merupakan grup obat yang secara kimiawi tidak sama, yang berbeda aktivitas antipiretik, analgesik dan ant iinflamasinya. Obat-obat ini terutamabekerja dengan jalan menghambat enzim siklooksigenase tetapi tidak enzim lipooksigenase. Obat-obat AINS, mempunyai tiga efek terapi utama, yaitu mengurangi inflamasi (antiinflamasi), rasa sakit (analgesik) dan demam (antipiretika). Efek anti-inflamasi : obat dapat menghambat siklooksigenase, sehingga pembentukan prostaglandin dan juga modulasi beberapa aspek inflamasi dan prostaglandin bertindak sebagai mediator. Efek analgesik : prostaglandin diduga mensensitisasi ujung saraf terhadap efek bradikinin, histamin, dan mediator kimiawi lainnya yang d ilepaskan secara lokal oleh proses inflamasi. Jadi dengan menurunnya sintesis prostaglandin, obat AINS lainnya menekan sensasi rasa sakit. Efek antipiretik : demam terjadi jika ³set point´ pada pusat pengatur panas di hipotalamus arterior meningkat. Hal ini disebabkan oleh sintesis prostaglandin yang di rangsang bila suatu zat demam endogen (pirogen) seperti sitokin di lepaskan dar i sel darah putih yang diaktivasi oleh
infeksi, hipersensitifitas, keganasan, atau inflamasi. Obat AINSmengembalikan ³termostat´ kembali ke normal dan cepat menurunkan suhu tubuh penderita demam dengan meningkatkan pngeluaran panas sebagai akibat vasodilatasi perifer dan berkeringat. Efek terhadap pernafasan : pada dosis terapi, dapat meningkatkanventilasi alveoli. Pada dosis tinggi bekerja langsung pada pusat pernafasan di medula, mengakibatkan hiperventilasi dan respirasi alkalosis yang biasanya di kompensasi secara adekuat oleh ginjal. Pada kadar toksik, terjadi paralisis pusat pernafasan dan respirasi asidosis yang di akibatkan o leh produksi CO2 secara kontinu. Efekterhadap saluran cerna : secara normal, prostasiklin menghambat sekresi asam lambung, sedangkan prostaglandin merangsang sintesis mukus prot ektif dalam lambungdan usus kecil. Dengan adanya obat AINS, prostanoid-prostanoid tidak terbentuk, yang mengakibatkan sekresi asam lambung meningkat dan mukus protektif (Farmakologi ulasan bergambar, hal 405) Secara invitro terbukti bahwa prostaglandin dan pro stasiklin dalam jumlah nanogra m, menimbulkan eritem, vasodilatasi dan peningkatan aliran darah lokal. Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler, tetapi efek vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan prostaglandin, efek eksudasi histamin plasma dan brakinin menjadi lebih jelas. Migrasi leukosit ke jaringan radang merupakan a spek penting dalam proses inflamasi. Prostaglandin sendiri tidak bersifat kemotaktik, tetapi produk lain dari asam arachidonat yakni leukotrien merupakan zat ke motaktik yang sangat poten. Obatmirip aspirin tidak menghambat sistem hipooksigenase yang menghasilkan leukotrien sehingga golongan obat ini tidak menekan migrasi sel. Walaupun demikian pada dosis tinggi terlihat penghambatan migrasi sel tanpa mempengaruhi enzim lipooksignase. Obat yang menghambat biosintesis prosraglandin maupun leukotrien akan lebih poten menekan proses inflamasi. RASA NYERI. Prostaglandin hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau inflamasi. Prostaglandin menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi prostaglandin menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi serta brankinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata. Obat mirip aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau n yeri yang di timbulkan oleh efek langsung prostaglandin. Ini menunjukan bahwa sint esis prostaglandi yang di hambat oleh obah ini, dan bukannya blokade langsung. DEMAM. Suhu badan di atur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat yang mirip aspirin. Peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik di awali penglepasan suatu zat pirogen endogen atau sitokin seperti interleukin yang memicu penglepasan prostaglandin yang berlebih di daerh preoptik hipotalamus. Obat seperti aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis prostaglandin. (Farmakologi dan Terapi, hal 2005) Obat ± obat yang digunakan antara lain : Na-Diklofenak
NSAID yang terkuat anti radangnya, efek sampingnya kurang keras dibandingkan dengan obat kuat lainnya ( indometasin, piroxicam). Obat ini sering digunakan untuk segala macam nyeri, juga pada migraine dan encok. Secara parenteral sangat efektif untuk menanggulangi nyeri kolik hebat (kandung kemih dan kandung empedu). Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap, tapi bioavailabilitasnya rata-rata 55% akibat first pass effect besar. Efek analgetisnya dimulai setelah 1jam. Ekskresi melalu kemih berlangsung untuk 60% sebagai metabolit dan untuk 20% dengan empedu dan tinja. ( Tan Hoan Tjay & Karana Rahardja, 2003) Ibu profen Merupakan golongan propionate, termasuk NSAID yang paling sering digunakan karena efek sampingnya yang relative ringan dan status OTC-nya di kebanyakan negara. Merupakan bentuk campuran rasemis, denganbentuk dextro yang aktif. Memiliki daya analgetik dan antiradang yang cukup baik. Resorpsinya dari usus cepat dan baik, melalui rectal lebih lambat. PP-nya 90-99%, plasma t ½nya 2 jam. Ekskresi berlangsung terutama sebagai metabolit-metabolit dan konjugatkonjugatnya. ( Tan Hoan Tjay & Karana Rahardja, 2003) Deksametason Merupakan derivate 9-alfa-fluor, bekerja 6x lebih kuat dari kortisol. Menekan adrenal relative kuat, maka resiko insufiensi juga agak besar. Zat ini digunakan sebagai zat diagnostic untuk menentukan hiperfungsi adrenal (tes-supresi deksametason). ( Tan Hoan Tjay & Karana Rahardja, 2003) Metil prednisolon Mempunyai daya antiinflamasi 20% lebih kuat daripada prednisolon dengan berbagai cara penggunaan oral dan parenteral. Merupakan obat yang paling banyak digunakan pada inflamasi dan alergi tinggi.
Analgetik Dan Antipiretik Oleh : Triyo Rachmadi,S.Kep. PENDAHULUAN Inflamasi adalah respons terhadap cedera jaringan dan infeksi. Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan dimana tubuh berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-agen yang berbahaya pada tempat cedera dan untuk mempersiapkan keadaan untuk perbaikan jaringan. TANDA-TANDA UTAMA INFLAMASI Lima ciri khas dari inflamasi, dikenal sebagai tanda-t anda utama inflamasi, adalah kemerahan, panas, pembengkakan (edema), nyeri dan hilangnya fungsi. Lima Tanda-Tanda Utama Inflamasi Ialah : TANDA-TANDA 1. Eritema (Kemerahan) 2. Edema (Pembengkakan) 3. Demam
KETERANGAN & PENJELASAN Kemerahan terjadi pada tahap pertama dari inflamasi. Darah berkumpul pada daerah cedera jaringan akibat pelepasan mediator kimia tubuh (kinin, prostaglandin, dan histamin). Histamin mendilatasi erteriol. Pembengkakan merupakan tahap kedua dari inflamasi. Plasma merembes ke dalam jaringan interstisial pada tempat cedera. Kinin mendilatasi arterio, meningkatkan permeabilitas kapiler.
4. Nyeri Suatu keadaan keseimbangan terganggu pada keadaan patologis adanya zat pirogen endogen atau sitokin yang 5. Hilangnya fungsi memacu Biosintesa Prostoglandin hingga menaikkan suhu. Alat pengatur suhu tubuh di hipotalamus. Didefinisikan suatu perasaan dan keadaan emosi yang tidak menyenangkan sebagai suatu kenyataan adanya potensiasi kerusakan jaringan yang rusak. Hilangnya fungsi disebabkan karena penumpukan cairan pada tempat cedera jaringan dan karena rasa nyeri, yang mengurangi mobilitas pada daerah yang terkena.
OBAT-OBAT ANTI INFLAMASI
OBAT-OBAT ANTI-INFLAMASI NONSTEROID Obat-obat anti-inflamasi nonstreroid (AINS) merupakan suatu grup obat yang secara kimiawi tidak sama, yang berbeda akt ivitas anti-piretik, analgesik dan anti-inflamasinya. Obat-obat ini terutama bekerja dengan jalan menghambat enzim siklo-oksigenase. A. Aspirin dan Salisilat lain adalah asam organik lemah yang unik diantara obat-obat AINS dalam asetilasi.. Mungkin menguntungkan karena dapat membatasi jaringan inflamasi oleh esterase dalam tubuh, menghasilkan salisilat, yang mempunyai efek anti-inflamasi, anti-piretik, dan analgesik. Difluni sal 3 sampai 4 kail lebih kuat daripada a s pirin, tetapi tidak mempunyai efek antipiretik. Difluni sal tidak memasuki SSP dan karena itu tidak menghilangkan demam.
As pirin
1. Mekanisme kerja : Efek antipiretik dan ant i-inflamasi salisilat terjadi karena penghambatan sintesis prostaglandin di pusat pengatur panas dalam hipot alamus dan perifer di daerah target. 2. Efek Obat-obat AINS, termasuk a s pirin mempunyai tiga efek terapi utama, yaitu mengurangi inflamasi (anti-inflamasi), rasa sakit (analgesik) dan demam (anti pireksia) a. Efek anti-inflamasi Karena a s pirin menghambat aktivitas sikooksigenase, maka aspirin mengurangi pembentukan prostaglandin. b. Efek analgesik Prostaglandin E2 (PGE2) diduga mensensitisasi ujung saraf terhadap efek bradikinin, histamin, dan mediator kimiawi lainnya yang dilepaskan secara lokal oleh proses inflamasi. c. Efek antipiretik Demam terjadi jika ³set-point´ pada pusat pengatur panas di hipotalamus anterior meningkat. 3. Penggunaan Klinik a. Antipiretik dan Analgesik : Natrium sali silat, kolin sali silat (dalam formula liquid), kolin magne sium sali silat dan a s pirin digunakan sebagai antipiretik dan analgesik pada pengobatan gout, demam rematik, dan artritis rematoid. b. Penggunaan eksternal : Asam sali silat digunakan secara topikal untuk mengobati kutil, kalus, dan epidermofitosis (suatu erupsi yang disebabkan o leh jamur). 4. Farmakokinetik a. Dosis : pada dosis rendah, salisilat menunjukkan akt ivitas analgesik; hanya pada dosis lebih tinggi obat-obat ini menunjukkan akt ivitas anti-inflamasi. Misalnya, dua tablet a s pirin 300 mg yang diberikan 4 kali sehari menghasilkan analgesia, sedangkan 12 sampai 20 tablet perhari menghasilkan aktivitas analgesik dan anti-inflamasi. b. Nasib : pada dosis rendah normal (600 mg/hari), a s pirin dihidrolisis menjadi salisilat dan asam asetat oleh esterase yang ada di dalam jaringan dan darah. Salisilat disekresi ke dalam urine dan dapat mempengaruhi ekskresi asam urat. Pada dosis rendah a s pirin, sekresi asam urat menurun; pada dosis besar, sekresi asam urat meningkat.
5. Efek samping a. Saluran cerna : efek salisilat terhadap saluran cerna yang paling umum adalah distres epigastrium, mual, dan muntah. As pirin seharusnya diberi bersama makanan dan cairan volume besar untuk mengurangi gangguan saluran cerna. b. Hipersensitivitas : sekitar 15% pasien yang minum a s pirin mengalami reaksi hipersensitivitas. Gejala alergi yang asli adalah urtikaria, bronkoko nstriksi, atau edema angioneurotik. B. Derivat asam propionat Ibuprofen adalah obat pertama dari kelas ini yang tersed ia. Kemudian diikuti oleh naprok sen, fenoprofen, ketoprofen, flurbiprofen, dan ok saprozin. Semua obat-obat ini mempunyai aktivitas anti-inflamasi, analgesik, dan antipiretik dan mendapat prioritas yang luas pada pengobatan rematoid dan osteoartritis kronik karena efek terhadap saluran cerna umum paling sedikit dibandingkan dengan a s pirin. Obat-obat ini adalah penghambat reversibel siklo-oksigenase dan karena itu, seperti a s pirin, menghambat sintesis prostaglandin tetapi tidak menghambat leukotrien. Mengalami metabolisme hepatik dan diekskresikan melalui ginjal. Feel samping yang paling umum adalah terhadap saluran cerna, mulai dari dispepsia sampai perdarahan. C. Asam indolasetat Yang termasuk dalam grup obat-obat ini adalah Indometa sin, Sulindak dan Etodolak . Semua mempunyai aktivitas anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik. Bekerja menghambat siklooksigenase secara reversibel. Umumnya tidak digunakan u ntuk menurunkan demam. 1. Indometasin : Sebagai anti-inflamasi, obat AINS ini lebih poten d aripada a s pirin, tetapi lebih inferior terhadap salisilat pada dosis toleransi penderita artritis rematoid. a. Penggunaan terapi : walaupun potensinya sebagai obat anti-inflamasi, toksisitas indometa sin membatasi pemakaiannya untuk pengobatan kondisi di atas. Indometa sin juga bermanfaat untuk mengontrol nyeri yang berhubungan dengan uveitis dan pascaoperasi mata. b. Farmakokinetik : Indometa sin cepat dan hampir sempurna diabsorbsi dari saluran cerna bagian atas setelah pemberian per-oral. Dimetabolisme oleh hati. Diekskresikan ke dalam empedu dan urine dalam bentuk tidak berubah dan dalam bentuk metabolit. c. Efek samping : efek samping Indometa sin terjadi sampai pada 50% penderita yang diobati; sekitar 20% ditemukan efek samping yang tidak bisa ditoleransi dan pemakaian obat dihentikan. Kebanyakan efek samping ini berhubungan dengan dosis. Keluhan saluran cerna yaitu mual, muntah, anoreksia, diare, dan nyeri abdomen.
2. Sulindak : P ro-dug yang tidak aktif ini erat kaitannya dengan Indometa sin. Metabolisme oleh enzim mikrosom hati menghasilkan bentuk aktif (sulfida) obat, yang mempunyai masa kerja lama. Walaupun obat ini kurang poten daripada Indometa sin, obat ini berguna pada pengobatan artritis rematoid, osteoartritis,. Efek samping mirip dengan o bat AINS lain termasuk indometa sin, tetapi lebih ringan. 3. Etodolak : Obat ini mempunyai efek mirip dengan obat AINS lain. Masalah saluran cerna mungkin lebih sedikit. Namun, telah dilaporkan efek samping lain seperti retensi cairan dan fungsi ginjal dan hati yang abnormal. Etodolak dapat meningkatkan kadar serum, sehingga meningkatkan resiko efek samping yang disebabkan oleh digok sin, litium, metotrek sat, dan meningkatkan nefrotoksisitas siklo s porin. D. Derivat oksikam Pada waktu ini, hanya pirok sikam yang tersedia. Mekanisme kerjanya belum jelas, tetapi pirok sikam digunakan untuk pengobatan artritis rematoid, dan osteoartritis. Waktu paruh rata-rata 50 jam sehingga pemberiannya satu kali sehari. Gangguan saluran cerna terjadi pada sekitar 20% penderita. Obat dan metabolitnya dieksresikan ke dalam urine. E. Fenamat Asam
mefenamat dan meklofenamat tidak mempunyai anti-inflamasi dibandingkan obat AINS lain. Efek samping, seperti diare, dapat berat dan berhubungan dengan peradangan abdomen. Telah dilaporkan adanya kasus anemia hemolitik.
F. Fenilbutazon Fenilbutazon mempunyai efek anti-inflamasi kuat tetapi aktivitas analgesik dan antipiretiknya lemah. Obat ini bukan merupaka n obat ´first line´. 1. Penggunaan terapi : Fenilbutazon diresepkan terutama untuk terapi jangka pendek artritis rematoid akut jika obat AINS lain gagal. Penggunaan fenilbutazon dibatasi oleh toksisitasnya. 2. Farmakokinetik : fenilbutazon terikat luas dengan protein plasma. Sifat ini dapat menggantikan tempat warfarin, obat-obat hipoglikemik oral dan sulfonamid dari tempat ikatannya pada protein plasma, menyebabkan peningkatan selintas fraksi bebas obat-obat ini. 3.Efek samping : Fenilbutazon sedikit sekali ditoleransi oleh kebanyakan penderita : efek samping terjadi pada hampir setengah dari mereka yang diobati. Efek samping yang paling serius adalah agronulositosis dan anemia aplastik. G. Obat-obat lain
1. Diklofenak : Penghambat siklo-oksigenase, digunakan untuk pengobatan jangka lama artritis rematoid, osteoartritis. 2. Ketorolak : diberikan secara intramuskular untuk pengobatan nyeri pasca operasi, dan secara topikal untuk alergi konjungtivitis. 3. Tolmetin dan nabumeton : Tolmetin dan nabumeton sama kuat dengan a s pirin dalam mengobati artritis rematoid atau osteroartritis dewasa atau juvelisi, tetapi efek sampingnya lebih sedikit.
ANALGESIK NON-NARKOTIK Tidak seperti obat AINS, analgesik non-narkotik mempunyai sedikit atau tidak mempunyai aktivitas anti-inflamasi. Keuntungan terapi analgesik non-narkotik tidak menimbulkan ketergantungan fisik atau toleransi. A. Asetaminofen dan fenasetin Asetaminofen
dan fena setin bekerja dengan jalan menghambat sintesis prostaglandin pada SSP. Ini menerangkan efek antipiretik dan analgesiknya. Efeknya kurang terhadap siklooksigenase jaringan perifer, yang mengakibatkan a ktivitas anti-inflamasinya lemah. 1. Penggunaan terapi : Asetaminofen merupakan pengganti yang baik untuk efek analgesik dan antipiretik a s pirin pada penderita dengan keluhan saluran cerna dan pada mereka dengan perpanjangan waktu perdarahan yang tidak menguntungkan atau mereka yang tidak memerlukan efek anti-inflamasi a s pirin. 2. Farmakokinetik : Asetaminofen cepat diabsorbsi dari saluran cerna. Metabolisme lintas pertama yang bermakna terjadi pada sel lumen usus dan hepatosit. 3. Efek samping : pada do sis terapi normal, a setaminofen bebas dari efek samping bermakna. Kemerahan pada kulit dan reaksi alergi minor sering terjadi.
KERUGIAN TERAPEUTIK
KEUNTUNGAN TERAPEUTIK
AINS Terpilih
AINS Terpilih Ringka san obat-obat anti-inflama si non- steroid ( A INS)
Diposkan oleh Triyo Rachmadi,S.Kep. di 00:31
Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) sudah lama dikenal sebagai salah satu faktor agresif eksogen yang menyebabkan kerusakan sawar (barier) mukosa lambung, baik secara lokal maupun sistemik (Wongso dkk., 1992). Aspirin adalah asam organik lemah yang unik diantara obat-obat AINS dalam asetilasi (dan juga inaktivasi) siklooksigenase ireversibel. AINS lain termasuk salisilat, semuanya penghambat siklooksigenase reversible. Aspirin cepat dideasetilasi oleh esterase dalam tubuh, menghasilkan salisilat, yang mempunyai efek anti-inflamasi, anti-piretik, dan analgesik (Mycek dkk., 2001). Asam salisilat adalah asam organik sederhana dengan pKa 3,0. Aspirin (asam asetilsalisilat) mempunyai pKa 3,5. Ini kira-kira 50% lebih kuat daripada natrium salisilat, walaupun senyawa ini kurang mengiritasi lambung. Salisilat cepat diabsorbsi dari lambung dan usus halus bagian atas, kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam. Suasana asam di dalam lambung menyebabkan sebagian besar dari salisilat terdapat dalam bentuk nonionisasi, sehingga memudahkan absorpsi. Walaupun begitu, bila salisilat dalam konsentrasi tinggi memasuki sel mukosa, maka obat tersebut dapat merusak barier mukosa. Jika pH lambung ditingkatkan oleh penyangga yang cocok sampai pH 3,5 atau lebih, maka iritasi terhadap lambung berkurang. Aspirin diabsorbsi begitu saja dan dihidrolisis menjadi asam asetat dan salisilat oleh esterase di dalam jaringan dan darah (Katzung, 1997). Prostaglandin tromboksan A 2 adalah suatu produk arakidonat yang menyebabkan trombosit untuk mengubah bentuknya, melepas granulnya dan beragregasi. Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 dengan mengasetilasi secara ireversibel enzim siklooksigenase, yang mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi senyawa endoperoksida, pada dosis tepat, obat ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin maupun tromboksan A 2 tetapi tidak leukotrien (Katzung, 1997). Pada dosis rendah, salisilat menunjukan aktivitas analgesik, hanya pada dosis lebih tinggi obatobat ini menunjukkan aktivitas anti inflamasi (Mycek dkk., 2001). Dosis optimum analgesik atau antipiretik aspirin, lebih kecil dari dosis oral 0,6 mg yang lazim digunakan. Dosis yang lebih besar dapat memperpanjang efeknya. Dosis lazim dapat diulang setiap 4 jam dan dosis lebih kecil (0,3 g) setiap 3 jam. Dosis antiinflamasi rata-rata 4 g per hari dapat ditoleransi oleh kebanyakan orang dewasa (Katzung, 2001).
Aspirin sebagai anti-inflamasi, anti-piretik, dan analgesik, tetapi juga mempunyai efek samping pada saluran cerna. Dengan adanya aspirin, prostanoid-prostanoid tidak terbentuk, yang mengakibatkan sekresi asam lambung meningkat dan mukus protektif berkurang. Secara normal, prostasiklin (PGI 2) menghambat sekresi asam lambung, sedangkan PGE2 dan PGF2? merangsang sintesis mukus protektif dalam lambung dan usus kecil. Selain itu, efek aspirin yang juga menghambat tromboxan A 2 bisa mengakibatkan perdarahan pada saluran cerna. Sehingga aspirin dapat menyebabkan distres epigastrium, ulkus, dan perdarahan (Mycek dkk., 2001; Yuan dkk., 2006). Efek topikal dari AINS adalah erosi gaster yang superficial dan lesi petekie. Bagaimanapun juga, risiko ulkus gastroduodenal tidak berkurang dengan penggunaan AINS secara parental atau rektal yang mengindikasi munculnya luka dari efek sistemik AINS pada mukosa gastrointestinal. Risiko terbesar dari perkembangan terjadinya ulkus selama 3 bulan pertama dari penggunaan AINS, setelah itu, risiko menurun tetapi terus-menerus terjadi (Shrestha & Lau, 2006). Hasil evaluasi endoskopi pada penderita yang mendapatkan AINS menunjukkan adanya iritasi mukosa lambung berupa petekie, bahkan dapat timbul ulkus pada mukosa lambung. Secara lokal umumnya obat-obat AINS telah menyebabkan iritasi mukosa, bila terjadi kontak selama 3 jam, dengan endoskopi tampak tanda-tanda perdarahan mikroskopik. Secara sistemik obat-obat AINS ini menghambat pembentukan PGE 2 yang berfungsi sebagai proteksi mukosa lambung (Wongso dkk., 1992). Daftar Pustaka
1. Wongso, S., Manaf, A., Julius. (1992). Proteksi Mukosa Lambung terhadap Obat-obat Antiinflamasi Nonsteroi d . Cermin Dunia KedokteranNo. 79 . Diakses 10 April 2007, dari http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/09 ProteksiMukosa079.pdf/09ProteksiMukosa079.html 2. Mycek, M.J., Harvey, R.A., Champe, P.C. (2001). F armakologi Ulasan Bergambar (edisi 2) (Agus, A., penerjemah). Jakarta: Widya Medika. (Buku asli diterbitkan 1995). 3. Katzung, B. (1997). F armakologi Dasar dan Klinik (edisi 4) (Agus. A., Chaidir. J., Munaf. S., Tanzil. S., Kamaluddin. M. T., Nattadiputra. S., dkk, pener-jemah). Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan 1995). 4. Yuan, Y., Padol, I.T., Hunt, R.H., (2006). Peptic Ulcer Disease Today. Nat Clin Pract Gastroenterol Hepatol 3(2):80-89 . Diakses 24 April 2007, dari http://www.medscape.com/viewarticle/522900.html 5.
Shrestha, S & Lau, D. (2006). www.emedicine.com/med/topic849.html
Gastric
Ulcers.
Diakses
17
April
2007,
dari
http://