BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN 2018
UNIVERSITAS HASANUDDIN
INFEKSI MALARIA PADA KEHAMILAN
OLEH :
K Wibianto
(C 111 11 108)
PEMBIMBING:
dr. Muzdatul Khairiah
KONSULEN:
Dr. dr. Nur Rakhmah, Sp. OG(K)
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :
Nama : K Wibianto
N I M : C111 11 108
Judul Referat : Infeksi Malaria Pada Kehamilan
Universitas : Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Telah menyelesaikan tugas refarat dalam rangka kepaniteraan klinik
pada Bagian Osbtetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin Makassar.
Makassar, April 2018
Supervisor, Pembimbing
Residen,
Dr. dr. Nur Rakhmah, Sp. OG(K) dr. Muzdatul Khairiah
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN i
DAFTAR ISI ii
BAB I . PENDAHULUAN 1
BAB II . TINJAUAN PUSTAKA 3
A. DEFINISI 3
B. EPIDEMIOLOGI 4
C. ETIOLOGI 4
D. PATOGENESIS 7
E. RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI MALARIA 9
F. MALARIA DALAM KEHAMILAN 10
G. IMUNITAS WANITA HAMIL YANG TERINFEKSI MALARIA 12
H. HISTOPATOLOGI 13
I. GAMBARAN KLINIS 14
J. DIAGNOSIS MALARIA PADA KEHAMILAN 15
K. KOMPLIKASI MALARIA DALAM KEHAMILAN 19
L. PENANGANAN MALRIA SELAMA KEHAMILAN 22
BAB III . PENUTUP 37
3.1 Kesimpulan 37
DAFTAR PUSTAKA 38
BAB I
PENDAHULUAN
Sampai saat ini malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
dinegara-negara seluruh dunia, baik didaerah tropis maupun sub tropis,
terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Saat ini diperkirakan
minimal terjadi 300 juta kasus malaria akut dan 280 juta orang sebagai
carrier di dunia setiap tahunnya yang menyebabkan kematian lebih dari l
juta usia dewasa dan 3 juta anak. Sekitar 90% dari penyakit ini terjadi di
Afrika, terutama menyerang balita. Malaria adalah penyebab kematian utama
anak balita di Afrika (20%) dan sekitar 10% dari kematian akibat seluruh
penyakit di benua tersebut.1,3
Malaria menyerang individu tanpa membedakan umur dan jenis kelamin,
tidak terkecuali wanita hamil merupakan golongan yang rentan. Malaria dalam
kehamilan merupakan masalah obstetrik, sosial dan medis yang membutuhkan
penanganan multidisipliner dan multidimensional. Wanita hamil merupakan
kelompok usia dewasa yang paling tinggi berisiko terkena penyakit ini dan
diperkirakan 80% kematian akibat malaria di Afrika terjadi pada ibu hamil
dan anak balita. Di Afrika, kematian perinatal akibat malaria diperkirakan
terjadi sebanyak 1500 kasus/hari. Di daerah-daerah endemik malaria, 20—40%
bayi yang dilahirkan mengalami berat lahir rendah.1,3,4
Di Indonesia, sejumlah daerah-daerah tertentu, yaitu daerah rawa dan
pantai juga merupakan daerah endemis malaria. Di daerah endemik, malaria
diperkirakan bertanggung jawab atas 20% dari berat badan lahir rendah
(BBLR) bayi dan faktor resiko terbesar pada mortalitas bayi.1,5
Pemerintah memandang malaria masih sebagai ancaman terhadap status
kesehatan masyarakat terutama pada rakyat yang hidup didaerah terpencil.
Hal ini tercermin dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden nomor 2 tahun
2015 tentang rencana pembangunan jangka menengah nasional tahun 2015-2019
dimana malaria termasuk penyakit prioritas yang perlu ditanggulangi.
Oleh karena itu malaria juga merupakan masalah kesehatan di Indonesia.
Berdasarkan hal-hal diatas terlihat bahwa malaria selama kehamilan perlu
mendapat perhatian khusus dalam memahami diagnostik dan penanganan malaria
pada ibu hamil untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan
janinnya.1,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Malaria adalah penyakit protozoa yang disebarkan melalui gigitan
nyamuk Anopheles betina aktif. Protozoa penyebab malaria adalah genus
Plasmodium yang dapat menginfeksi manusia maupun serangga. Infeksi malaria,
yang sebagian besar tersebar di daerah tropis, merupakan penyakit yang
berpotensi mengancam jiwa. Nama malaria mulai dikenal sejak zaman
kekaisaran Romawi, dan berasal dari kata Italia malaria atau "udara kotor"
dan disebut juga demam Romawi. Diduga penyakit ini berasal dari Afrika dan
menyebar mengikuti gerakan migrasi manusia melalui pantai Mediterania,
India dan Asia Tenggara.1,2
B. EPIDEMIOLOGI
Setiap spesies Plasmodium memiliki daerah endemik tertentu walaupun
seringkali memiliki geografi yang saling tumpang tindih. Infeksi malaria
tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika Selatan,
Amerika Tengah, Hispaniola, India, Timur Tengah dan daerah Oceania dan
Kepulauan Caribia. Lebih dari 1,6 triliun manusia terpapar oleh malaria
dengan dugaan morbiditas 200-300 juta dan mortalitas lebih dari 1 juta
pertahun. Beberapa daerah yang bebas malaria yaitu Amerika Serikat, Canada,
negara di Eropa (kecuali Rusia), Israel, Singapura, Hongkong, Japan,
Taiwan, Korea, Brunei dan Australia. Negara tersebut terhindar dari malaria
karena vektor kontrolnya yang baik. Walaupun demikian, di negara tersebut
makin banyak dijumpai kasus malaria yang diimpor karena pendatang dari
negara malaria atau penduduknya mengunjungi daerah-daerah malaria.2,4
Gambar 1. Peta Penyebaran Infeksi Malaria (Diambil dari Kepustakaan 7)
Plasmodium Falciparum dan Plasmodium Malariae umumnya dijumpai pada
semua negara dengan malaria. Di Afrika, Haiti dan Papua Nugini umumnya
Plasmodium Falciparum. Adapun Plasmodium Vivax banyak di Amerika Latin. Di
Amerika Selatan, Asia Tenggara, negara Oceania dan India umumnya
Plasmodium Falciparum dan Plasmodium Vivax. Plasmodium Ovale biasanya hanya
di Afrika.4
Di Indonesia kawasan timur mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah
sampai ke Utara, Maluku, Irian Jaya dan dari Lombok sampai Nusa Tenggara
Timur serta Timor Timur merupakan daerah endemis malaria dengan Plasmodium
Falciparum dan Plasmodium Vivax. Beberapa daerah di Sumatera mulai dari
Lampung, Riau, Jambi, dan Batam kasus malaria cenderung meningkat.4
C. ETIOLOGI
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
Plasmodium yang masuk ke dalam tubuh manusia, ditularkan oleh nyamuk
Anopheles betina.4,6
Gambar 2. Plasmodium spp. (Diambil dari Kepustakaan 6)
Lima species Plasmodium penyebab malaria pada manusia adalah: 2,4,6
1. Plasmodium vivax. Spesies ini cenderung menginfeksi sel-sel darah merah
yang muda (retikulosit), dengan demikian menyebabkan tingkat parasitemia
yang lebih rendah. Kira-kira 43% dari kasus malaria di seluruh dunia
disebabkan oleh Plasmodium vivax. Dari semua pasien yang terinfeksi P.
vivax, 50% gejala berulang dalam beberapa minggu sampai 5 tahun setelah
gejala awal. Ruptur limpa mungkin berhubungan dengan infeksi sekunder P.
vivax, yakni splenomegaly yang merupakan hasil sekuestrasi sel darah
merah.
2. Plasmodium malariae. Mempunyai kecenderungan untuk menginfeksi sel-sel
darah merah yang tua. Seseorang yang terinfeksi jenis Plasmodium ini
biasanya tetap asimptomatik untuk jangka waktu yang jauh lebih lama
dibandingkan orang yang terinfeksi P. vivax dan P. ovale. Kekambuhan
biasanya terjadi pada penderita P. malariae dan berhubungan dengan
sindrom nefrotik yang mungkin akibat dari pengendapan kompleks antigen-
antibodi di glomerulus.
3. Plasmodium ovale. Predileksinya dalam sel-sel darah merah mirip dengan
Plasmodium vivax (menginfeksi sel-sel darah muda) walaupun gejalanya
lebih ringan karena parasitemianya lebih ringan. P. ovale sering sembuh
tanpa pengobatan. Ada juga seorang penderita terinfeksi lebih dari satu
spesies Plasmodium secara bersamaan.
4. Plasmodium falciparum yang sering menjadi malaria cerebral dengan angka
kematian yang tinggi. Merozoitnya menginfeksi sel darah merah dari segala
usia (baik muda maupun tua) sehingga menyebabkan tingkat parasitemia
jauh lebih tinggi dan cepat (> 5% sel darah merah terinfeksi). Spesies
ini menjadi penyebab 50% malaria di seluruh dunia. Sekuestrasi merupakan
sifat khusus dari P. falciparum. Selama berkembang dalam 48 jam, parasit
terebut melakukan proses adhesi yang menyebabkan sekuestrasi parasit pada
pembuluh darah kecil. Karena hal tersebut, hanya bentuk awal yang dapat
dilihat pada darah tepi sebelum sekuestrasi berlangsung, hal ini
merupakan petunjuk diagnostik penting seorang pasien terinfeksi P.
falciparum. Sekuestrasi parasit dapat menyebabkan perubahan status
mental dan bahkan koma. Selain itu, sitokin dan parasitemia berkontribusi
pada organ target. Gangguan pada organ target dapat berlangsung sangat
cepat dan secara khusus melibatkan sistem saraf pusat, paru-paru, dan
ginjal.
5. Plasmodium Knowlesi yang dapat meninfeksi manusia yang sebelumnya hanya
menginfeksi hewan primata/monyet dan sampai saat ini masih terus
diteliti.
Malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk Anopheles
betina. Terdapat lebih dari 400 spesies Anopheles di dunia, dan hanya
sekitar 67 spesies yang terbukti mengandung sporozoit dan dapat menularkan
ke manusia. Di setiap daerah dimana terjadi transmisi malaria biasanya
hanya ada satu atau paling banyak 3 spesies Anopheles yang menjadi vektor
penting. Di Indonesia telah ditemukan 24 spesies.6
Gambar 3. Anopheles Betina (Diambil dari kepustakaan 8)
Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Plasmodium
Falciparum dan Plasmodium Vivax atau campuran keduanya, sedangkan
Plasmodium Malariae hanya ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan Plasmodium
ovale ditemukan di Papua. Morfologi spesies Plasmodium dapat dibedakan dari
pemeriksaan apusan darah. P. falciparum dibedakan dari jenis Plasmodium
lainnya oleh tingkat parasitemia dan bentuk gametosit yang menyerupai
pisang.2,6
D. PATOGENESIS PENYAKIT MALARIA
1. Siklus Hidup Aseksual Plasmodium
Sporozoit infeksius dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina
masuk ke dalam darah manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Dalam waktu
tiga puluh menit, parasit tersebut memasuki sel-sel parenkim hati dan
dimulai stadium eksoeritrositik dari daur hidupnya. Di dalam sel hati,
parasit tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi merozoit (10.000-
30.000 merozoit, tergantung spesiesnya) . Sel hati yang mengandung
parasit pecah dan merozoit keluar dengan bebas, sebagian di fagosit. Oleh
karena prosesnya terjadi sebelum memasuki eritrosit maka disebut stadium
preeritrositik atau eksoeritrositik yang berlangsung selama 2 minggu.
Pada P. Vivax dan P. Ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung
berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dorman yang
disebut hipnozoit. Hipnozoit dapat tinggal didalam hati sampai bertahun-
tahun. Pada suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif
sehingga dapat menimbulkan relaps (kekambuhan).1,9
Siklus eritrositik dimulai saat merozoit memasuki sel-sel darah
merah. Parasit tampak sebagai kromatin kecil, dikelilingi oleh sitoplasma
yang membesar, bentuk tidak teratur dan mulai membentuk tropozoit,
tropozoit berkembang menjadi skizon muda, kemudian berkembang menjadi
skizon matang dan membelah banyak menjadi merozoit. Dengan selesainya
pembelahan tersebut sel darah merah pecah yang menyebabkan penderita
demam. Selanjutnya merozoit, pigmen dan sisa sel keluar dan memasuki
plasma darah. Parasit memasuki sel darah merah lainnya untuk mengulangi
siklus skizogoni. Beberapa merozoit memasuki eritrosit dan membentuk
skizon dan lainnya membentuk gametosit yaitu bentuk seksual (gametosit
jantan dan betina) setelah melalui 2-3 siklus skizogoni darah.1,2,9
2. Siklus Hidup Seksual Plasmodium
Siklus aseksual terjadi dalam tubuh nyamuk apabila nyamuk anopheles
betina menghisap darah yang mengandung gametosit. Gametosit yang bersama
darah tidak dicerna. Pada makrogamet (jantan) kromatin membagi menjadi 6-
8 inti yang bergerak ke pinggir parasit. Dipinggir ini beberapa filamen
dibentuk seperti cambuk dan bergerak aktif disebut mikrogamet. Pembuahan
terjadi karena masuknya mikrogamet kedalam makrogamet untuk membentuk
zigot. Zigot berubah bentuk seperti cacing pendek disebut ookinet yang
dapat menembus lapisan epitel dan membran basal dinding lambung. Ditempat
ini ookinet membesar dan disebut ookista. Didalam ookista dibentuk ribuan
sporozoit dan beberapa sporozoit menembus kelenjar liur nyamuk dan bila
nyamuk menggigit/menusuk manusia maka sporozoit masuk kedalam darah dan
mulailah siklus preeritrositik.1,9
Gambar 4. Siklus Seksual Plasmodium (Diambil dari kepustakaan 8)
P. falciparum dapat menyebabkan malaria serebral, edem paru, anemia
dan gangguan ginjal. Hal tersebut akibat kemampuan menginfeksinya yang
hebat dengan melekat dan bertahan pada dinding sel endotel dan
menyebabkan obstruksi vaskular. Ketika sel darah merah terinfeksi P.
falciparum, organisme tersebut menghasilkan protein yang berikatan dengan
sel endotelial. Hal tersebut menyebabkan sel darah merah menyumbat
pembuluh darah di berbagai bagian tubuh menyebabkan kerusakan
mikrovaskuler dan memperberat kerusakan yang ditimbulkan parasit.8
Gambar 5. Siklus hidup Plasmodium (Diambil dari Kepustakaan 2)
E. RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI MALARIA
Respon imun spesifik terdiri dari imunitas seluler oleh limfosit T
dan imunitas humoral oleh limfosit B. Limfosit T dibedakan menjadi
limfosit T helper (CD4+) dan sitotoksik (CD8+), sedangkan berdasarkan
sitokin yang dihasilkannya dibedakan menjadi subset Th-1 (menghasilkan IFN
dan TNF) dan subset Th-2 (menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, IL10). Sitokin
tersebut berperan mengaktifkan imunitas humoral. CD4+ berfungsi sebagai
regulator membantu produksi antibodi dan aktivasi fagosit lain sedangkan
CD8+ berperan sebagai efektor langsung untuk fagositosis parasit dan
menghambat perkembangan parasit dengan menghasilkan IFNƔ.4,6
Epitop-epitop antigen parasit akan berikatan dengan reseptor limfosit
B yang berperan sebagai sel penyaji antigen kepada sel limfosit T dalam hal
ini CD4+. Selanjutnya sel T akan berdiferensiasi menjadi sel Th-1 dan Th-2.
Sel Th-2 akan menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang memacu pembentukan Ig oleh
limfosit B. Ig tersebut juga meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag.
Sel Th-1 menghasilkan IFNƔ dan TNFα yang mengaktifkan komponen imunitas
seluler seperti makrofag dan monosit serta sel NK.6
F. MALARIA DALAM KEHAMILAN
Malaria dan kehamilan adalah dua kondisi yang saling mempengaruhi.
Perubahan fisiologis dalam kehamilan dan perubahan patologis akibat malaria
mempunyai efek sinergis terhadap kondisi masing-masing, sehingga semakin
menambah masalah baik bagi ibu hamil dan janinnya. P. falciparum dapat
menyebabkan keadaan yang memburuk dan dramatis untuk ibu hamil.
Primigravida umumnya paling mudah terpengaruh oleh malaria, berupa anemia,
demam, hipoglikemia, malaria serebral, edema pulmonar, sepsis puerperalis
dan kematian akibat malaria berat dan hemoragis.10
Malaria pada ibu hamil dapat menimbulkan berbagai kelainan, tergantung
pada tingkat kekebalan seseorang terhadap infeksi parasit malaria dan
paritas (jumlah kehamilan). Ibu hamil dari daerah endemi yang tidak
mempunyai kekebalan dapat menderita malaria klinis berat sampai menyebabkan
kematian.10
Malaria lebih sering dijumpai pada kehamilan trimester I dan II
dibandingkan pada wanita yang tidak hamil. Malaria berat juga lebih sering
pada wanita hamil, hal ini disebabkan karena penurunan imunitas selama
kehamilan. Beberapa factor yang menyebabkan turunnya respon imun pada
kehamilan seperti: peningkatan dari hormone steroid dan gonadotropin, alpha
fetoprotein dan penurunan dari limfosit menyebabkan kemudahan terjadinya
infeksi malaria, ibu hamil dengan infeksi HIV cenderung mendapat infeksi
malaria dan sering mendapatkan malaria congenital pada bayinya dan berat
bayi lahir rendah.10
1. Pengaruh pada Ibu
Malaria pada ibu hamil dapat menimbulkan berbagai kelainan
tergantung pada tingkat kekebalan seseorang terhadap infeksi parasit
malaria dan paritas dimana gejala malaria akan lebih berat pada
primigravida dan menurun seiring jumlah paritas karena kekebalan pada
ibu telah dibentuk dan meningkat.3
Perempuan dewasa yang belum pernah terkena parasit dalam jumlah
banyak (tinggal di daerah epidemik atau transmisi malaria rendah),
seringkali menjadi sakit bila terinfeksi oleh parasit pertama kali. Ibu
hamil yang tinggal di daerah dengan transmisi rendah mempunyai resiko 2
sampai 3 kali lipat untuk menjadi sakit yang berat dibandingkan dengan
perempuan dewasa tanpa kehamilan. Kematian ibu hamil biasanya
diakibatkan oleh penyakit malarianya sendiri atau akibat langsung anemia
yang berat. Masalah yang biasa timbul pada kehamilannnya adalah
meningkatnya kejadian berat bayi lahir rendah, prematuritas, pertumbuhan
janin terhambat, infeksi malaria dan kematian janin.4,6
Pada daerah dengan transmisi malaria sedang sampai tinggi,
kebanyakan ibu hamil telah mempunyai kekebalan yang cukup karena telah
sering mengalami infeksi. Gejala biasanya tidak khas untuk penyakit
malaria. Yang paling sering adalah berupa anemia berat dan ditemukan
parasit dalam plasentanya. Janin biasanya mengalami gangguan pertumbuhan
dan selain itu menimbulkan gangguan pada daya tahan neonatus.4,6
2. Pengaruh pada Janin
Seorang ibu yang terinfeksi parasit malaria, parasit tersebut akan
mengikuti peredaran darah sehingga akan ditemukan pada plasenta bagian
maternal. Bila terjadi kerusakan pada plasenta, barulah parasit malaria
dapat menembus plasenta dan masuk ke sirkulasi darah janin sehingga
terjadi malaria kongenital. Beberapa peneliti menduga hal ini terjadi
karena adanya kerusakan mekanik, kerusakan patologi oleh parasit,
fragilitas dan permeabilitas plasenta yang meningkat akibat demam akut
dan akibat infeksi kronis.3
Kekebalan ibu berperan menghambat transmisi parasit ke janin. Oleh
sebab itu pada ibu-ibu yang tidak kebal atau dengan kekebalan rendah
terjadi transmisi malaria intra-uretrin ke janin walaupun mekanisme
transplasental dari parasit ini masih belum diketahui.3
Abortus, kematian janin, bayi lahir mati dan prematuritas
dilaporkan terjadi pada malaria berat dan resiko ini meningkat sampai
tujuh kali, walaupun apa yang menyebabkan terjadinya kelainan tersebut
diatas juga masih belum diketahui. Malaria maternal dapat menyebabkan
kematian janin karena terganggunya transfer makanan secara
transplasental, demam yang tinggi (hiperpireksia) atau hipoksia karena
anemia. Kemungkinan lain adalah Tumor Necrosis Factor (TNF) yang
dikeluarkan oleh makrofag bila di aktivasi oleh antigen merupakan salah
satu faktor yang dapat menimbulkan berbagai kelainan pada malaria,
antara lain demam, kematian janin dan abortus.11,12
Umumnya infeksi pada plasenta lebih berat daripada darah tepi.
Kortmann (1972) melaporkan bahwa plasenta dapat mengandung banyak
eritrosit yang terinfeksi (sampai 65%), meskipun pada darah tepi tidak
ditemukan parasit. Hal ini mungkin terjadi karena plasenta merupakan
tempat parasit berkembang biak, seperti pada kapiler alat dalam
lainnya.11,12,13
Pada semua daerah, malaria maternal dapat dihubungkan dengan
berkurangnya berat badan lahir, terutama pada kelahiran anak pertama.
Hal ini mungkin akibat gangguan pertumbuhan intra-uretrin, persalinan
prematur atau keduanya akibat berkurangnya transfer makanan dan oksigen
dari ibu ke janin. Namun patofisiologi pertumbuhan lambat intra-uretrin
pada malaria adalah multifaktor.11,13
Insidens malaria plasenta dipengaruhi oleh paritas ibu yaitu lebih
tinggi pada primipara (persalinan pertama) dan makin rendah sesuai
dengan peningkatan paritas ibu. Demikain pula berat badan lahir
dipengaruhi oleh paritas ibu, ini dapat diterangkan bahwa pada
multigravida kekebalan pada ibu telah dibentuk dan meningkat.5,13
G. IMUNITAS WANITA HAMIL YANG TERINFEKSI MALARIA
Konsentrasi eritrosit yang terinfeksi parasit banyak ditemukan di
plasenta sehingga diduga respon imun terhadap parasit di bagian tersebut
mengalami supresi. Hal tersebut berhubungan dengan supresi sistem imun baik
humoral maupun seluler selama kehamilan sehubungan dengan keberadaan fetus
sebagai "benda asing" di dalam tubuh ibu. Supresi sistem imun selama
kehamilan berhubungan dengan keadaan hormonal. Konsentrasi hormon
progesteron yang meningkat selama kehamilan berefek menghambat aktifasi
limfosit T terhadap stimulasi antigen. Selain itu efek imunosupresi
kortisol juga berperan dalam menghambat respon imun.6
H. HISTOPATOLOGI
Malaria pada kehamilan dipastikan dengan ditemukannya parasit malaria
di dalam:4
- Darah maternal
- Darah plasenta/melalui biopsi.
Pada wanita hamil yang terinfeksi malaria, eritrosit berparasit
dijumpai di plasenta sisi maternal dari sirkulasi tetapi tidak di sisi
fetal, kecuali pada penyakit plasenta. Pada infeksi aktif, plasenta
terlihat hitam atau abu-abu dan sinusoid padat dengan eritrosit terinfeksi.
Secara histologis ditandai oleh sel eritrosit berparasit dan pigmen malaria
dalam ruang intervilli plasenta, monosit mengandung pigmen, infiltrasi
mononuklear, simpul sinsitial (syncitial knotting), nekrosis fibrinoid,
kerusakan trofoblas dan penebalan membrana basalis trofoblas.6
Gambar 6. Histologi Plasenta Penderita Malaria yang Menunjukkan Bentuk
Cincin-cincin yang Berimpah/Parasitemia Plasmodium falciparum (Diambil dari
kepustakaan 12)
Prevalensi malaria plasenta lebih tinggi pada primigravida
dibandingkan multigravida. Penyebaran malaria ke janin diperkirakan dicegah
karena adanya adhesi par asit ke kondroitin sulfat A yang ada dalam
plasenta. Oleh karena itu, jumlah parasit dalam plasenta jumlahnya lebih
besar ditemukan dibandingan dalam darah perifer. Namun sawar plasenta tidak
mampu mencegah transmisi malaria sepenuhnya, terutama jika terdapat
perlukaan plasenta yang dicetuskan selama persalinan atau telah ada infeksi
lain sebelumnya.12
Bila terjadi nekrosis sinsitiotrofoblas, kehilangan mikrovilli dan
penebalan membrana basalis trofoblas akan menyebabkan aliran darah ke janin
berkurang dan akan terjadi gangguan nutrisi pada janin. Lesi bermakna yang
ditemukan adalah penebalan membrana basalis trofoblas, pengurusan
mikrovilli fokal menahun. Bila villi plasenta dan sinus venosum mengalami
kongesti dan terisi eritrosit berparasit dan makrofag, maka aliran darah
plasenta akan berkurang dan ini dapat menyebabkan abortus, lahir prematur,
lahir mati ataupun berat badan lahir rendah.6
I. GAMBARAN KLINIS
Gejala utama infeksi malaria adalah demam yang diduga berhubungan
dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit/skizon) dan terbentuknya sitokin
dan atau toksin lainnya. Pada daerah hiperendemik sering ditemukan
penderita dengan parasitemia tanpa gejala demam. Gambaran karakteristik
dari malaria ialah demam periodik, anemi dan splenomegali. Sering terdapat
gejala prodromal seperti malaise, sakit kepala, nyeri pada tulang/otot,
anoreksi dan diare ringan. Namun sebenarnya efek klinik malaria pada ibu
hamil lebih tergantung pada tingkat kekebalan ibu hamil terhadap penyakit
itu sedangkan kekebalan terhadap malaria lebih banyak ditentukan dari
tingkat transmisi malaria tempat wanita hamil tinggal/berasal, yang dibagi
menjadi 2 golongan besar:6
1. Stable transmission/transmisi stabil, atau endemik (contoh: Afrika Sub-
Sahara). Orang-orang di daerah ini terus-menerus terpapar malaria karena
sering menerima gigitan nyamuk infektif setiap bulannya. Kekebalan
terhadap malaria terbentuk secara signifikan.
2. Unstable transmission/transmisi tidak stabil, epidemik atau non-endemik
(contoh: Asia Tenggara dan Amerika Selatan). Orang-orang di daerah ini
jarang terpapar malaria dan hanya menerima rata-rata < 1 gigitan nyamuk
infektif/tahun.
Wanita hamil (semi-imun) di daerah transmisi stabil/endemik tinggi
akan mengalami peningkatan parasite rate (pada primigravida di Afrika
parasite rate pada wanita hamil meningkat 30—40% dibandingkan wanita tidak
hamil), peningkatan kepadatan (densitas) parasitemi perifer, serta
menyebabkan efek klinis lebih sedikit, kecuali efek anemi maternal sebagai
komplikasi utama yang sering terjadi pada primigravida. Anemia tersebut
dapat memburuk sehingga menyebabkan akibat serius bagi ibu dan janin.6
Sebaliknya di daerah tidak stabil/non-endemik/endemik rendah yang
sebagian besar populasinya merupakan orang-orang non-imun terhadap malaria,
kehamilan akan meningkatkan risiko penyakit maternal berat, kematian janin,
kelahiran prematur dan kematian perinatal. Ibu hamil yang menderita malaria
berat di daerah ini memiliki risiko fatal lebih dari 10 kali dibandingkan
ibu tidak hamil yang menderita malaria berat di daerah yang sama.6
J. DIAGNOSIS MALARIA PADA KEHAMILAN
Gambaran klinik malaria pada wanita non-imun (di daerah non-endemik)
bervariasi dari Malaria ringan tanpa komplikasi (uncomplicated malaria)
dengan demam tinggi, sampai Malaria berat (complicated malaria) dengan
risiko tinggi pada ibu dan janin (maternal mortality rate 20-50 % dan
sering fatal bagi janin). Sedangkan gambaran klinik malaria pada wanita di
daerah endemik sering tidak jelas, mereka biasanya memiliki kekebalan yang
semi-imun, sehingga tidak menimbulkan gejala, misal demam dan tidak dapat
didiagnosis klinik.6
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
1. Malaria klinis ringan/tanpa komplikasi
Pada anamnesis:1,4
- Harus dicurigai malaria pada seseorang yang berasal dari daerah
endemis malaria dengan demam akut dalam segala bentuk, dengan/tanpa
gejala-gejala lain.
- Adanya riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria dalam 2 minggu
terakhir.
- Riwayat tinggal di daerah malaria .
- Riwayat pernah mendapat pengobatan malaria.
Pada pemeriksaan fisik:6
- Suhu > 37,5oC
- Dapat ditemukan pembesaran limpa
- Dapat ditemukan anemi
- Gejala klasik malaria khas terdiri dari 3 stadium yang berurutan,
yaitu menggigil (15-60 menit), demam (2-6 jam), berkeringat (2-4
jam).
Di daerah endemis malaria, pada penderita yang telah mempunyai
imunitas terhadap malaria, gejala klasik di atas tidak timbul
berurutan, bahkan tidak semua gejala tersebut dapat ditemukan. Selain
gejala klasik di atas, dapat juga disertai gejala lain/gejala khas
setempat, seperti lemas, sakit kepala, mialgia, sakit perut,
mual/muntah, dan diare.1,4,6
2. Malaria klinis berat/dengan komplikasi
Malaria berat/severe malaria/complicated malaria adalah bentuk
malaria falsiparum serius dan berbahaya, yang memerlukan penanganan
segera dan intensif. Oleh karena itu, pengenalan tanda-tanda dan gejala-
gejala malaria berat sangat penting bagi unit pelayanan kesehatan untuk
menurunkan mortalitas malaria. Beberapa penyakit penting yang mirip
dengan malaria berat adalah meningitis, ensefalitis, septikemi, demam
tifoid, infeksi viral, dll. Hal ini menyebabkan pemeriksaan
laboratorium sangat dibutuhkan untuk menambah kekuatan diagnosis. WHO
mendefinisikan Malaria berat sebagai ditemukannya P. falciparum bentuk
aseksual dengan satu atau beberapa komplikasi/manifestasi klinik berat,
yaitu:4,6
- Gangguan kesadaran sampai koma (malaria serebral)
- Anemi berat (Hb < 5 g%, Ht < 15 %)
- Hipoglikemi (kadar gula darah < 40 mg%)
- Udem paru/ARDS
- Jaundice (bilirubin > 3 mg%)
- Kejang umum berulang ( > 3 kali/24 jam)
- Asidosis metabolik
- Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam-basa.
- Perdarahan abnormal dan gangguan pembekuan darah.
- Hemoglobinuri
- Kelemahan yang sangat (severe prostration)
- Hiperparasitemi
- Hiperpireksi (suhu > 40oC)
Malaria falciparum tanpa komplikasi (uncomplicated) dapat menjadi
berat(complicated) jika tidak diobati secara dini dan semestinya. Semua
wanita hamil yang menderita malaria harus diskrining HIV sebagai
koinfeksi malaria dan karena HIV meningkatkan kematian bayi secara
signifikan.4,12
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan mikroskopik masih merupakan yang terpenting pada penyakit
malaria karena selain dapat mengidentifikasi adanya parasit, juga dapat
mengidentifikasi jenis Plasmodium secara tepat sekaligus juga dapat
menghitung jumlah parasit sehingga derajat parasitemi dapat diketahui. Pada
umumnya apusan darah tepi dan tebal harus dilakukan. Jika apusan darah awal
negatif, spesimen baru harus diperiksa dalam interval 6 jam. Diantara
pasien malaria, 5—7% terinfeksi lebih dari satu spesies Plasmodium.1,2,9
Pemeriksaan dengan mikroskop:4,6
- Pewarnaan Giemsa pada sediaan apusan darah untuk melihat parasit
- Pewarnaan Acridin Orange untuk melihat eritrosit yang terinfeksi
- Pemeriksaan Fluoresensi Quantitative Buffy Coat (QBC)
Pemeriksaan apusan darah tebal dan tipis dipuskesmas/lapangan/rumah
sakit digunakan untuk menentukan nilai ambang parasit dan mengetahui
kepadatan parasit (terutama penderita rawat inap) pada sediaan darah.
Identifikasi pemeriksaan ini sangat bergantung pada pengalaman ahli
mikroskopi yang mengetahui morfologi parasit.1,9
Gambar 7. Merozoit pada Darah Perifer. Beberapa merozoit telah berpenetrasi
ke membran eritrosit dan memasuki sel (Diambil dari kepustakaan 2)
Gambar 8. Bentuk Trofozoit (kiri), Skizon Matur dalam Eritrosit (kanan)
(Diambil dari kepustakaan 2)
Metode diagnostik yang lain adalah:6
- Deteksi antigen HRP II dari parasit dengan metode Dipstick test
- Tes radio immunologik (RIA)
- Tes immuno enzimatik (ELISA)
Para wanita hamil yang tinggal di daerah yang banyak terdapat malaria
berada dalam risiko tinggi dan risiko tersebut bahkan semakin besar dalam
dua bulan setelah mereka melahirkan. Di masa lalu, kita sering menduga
bahwa peningkatan kepekaan terhadap malaria pada para wanita hamil akan
berakhir seiring dengan terjadinya kelahiran. Ternyata dibandingkan dengan
setahun sebelum mereka hamil, para wanita memiliki kemungkinan sekitar 4
kali lebih besar untuk terjangkit malaria dalam 60 hari setelah
melahirkan.6
K. KOMPLIKASI MALARIA DALAM KEHAMILAN
1. Anemia
Menurut defini WHO, anemia dalam kehamilan adalah bila kadar
hemoglobin (Hb) < 11 g/dL. Gregor (1984) mendapatkan data bahwa penurunan
kadar Hb dalam darah hubungannya dengan parasetimia, terbesar terjadi pada
primigravida dan berkurang sesuai dengan peningkatan paritas.3 Malaria
dapat menyebabkan atau memperburuk anemia. Hal ini disebabkan:1,2
1. Hemolisis eritrosit yang terinfeksi parasit
2. Peningkatan kebutuhan Fe selama hamil
3. Penekanan hematopoeisis
4. Peningkatan klirens sel darah merah oleh limpa
5. Hemolisis berat dapat menyebabkan defisiensi asam folat yang mampu
memperberat anemia.
Anemia yang disebabkan oleh malaria lebih sering dan lebih berat
antara usia kehamilan 16-29 minggu. Adanya defisiensi asam folat sebelumnya
dapat memperberat anemia ini. Brabin (1990) menyatakan bahwa makin besar
ukuran limpa makin rendah nilai Hb-nya, dan anemia yang terjadi pada
trimester I kehamilan sangat menentukan apakah wanita tersebut akan
melahirkan bayi dengan berat badan rendah atau tidak karena kecepatan
pertumbuhan maksimal janin terjadi sebelum minggu ke 20 usia kehamilan.
Seiring dengan berlangsungnya infeksi, parasit tersebut dapat menyebabkan
trombositopenia. Laporan WHO menyatakan bahwa anemia berpengaruh terhadap
morbiditas ibu hamil dan secara tidak langsung dapat menyebabkan kematian
ibu dengan meningkatnya angka kematian kasus yang disebabkan oleh
pendarahan setelah persalinan.1,2,3
Anemia meningkatkan kematian perinatal dan morbiditas serta
mortalitas maternal. Kelainan ini meningkatkan risiko edema paru dan
perdarahan pasca persalinan secara tidak langsung akibat perubahan
hemodinamik. Transfusi yang terlalu cepat, khususnya whole blood dapat
menyebabkan peningkatan volume intravaskuler dan edema paru berat.4,6
2. Hipoglikemia
Mekanisme terjadinya hipoglikemi sangat kompleks dan belum diketahui
secara pasti. Komplikasi hipoglikemia lebih sering ditemukan pada wanita
hamil daripada yang tidak hamil. Diduga pada wanita hamil terjadi perubahan
metabolisme karbohidrat yang cenderung menyebabkan terjadinya hipoglikemia,
terutama trimester akhir kehamilan. Selain itu, parasit memperoleh
energinya hanya dari glukosa dan organisme tersebut memetabolisme 70—75
kali lebih cepat sehingga menyebabkan hipoglikemia dan asidosis laktat
serta pada wanita hamil terjadi peningkatan fungsi sel B pankreas terhadap
stimulus sekresi (misalnya guinine) sehingga pembentukan insulin
bertambah.2,3
Hipoglikemia pada pasien-pasien malaria tersebut dapat tetap
asimtomatik dan dapat luput terdeteksi karena gejala-gejala hipoglikemia
juga menyerupai gejala infeksi malaria, yaitu: takikardia, berkeringat,
menggigil dll. Akan tetapi sebagian pasien dapat menunjukkan tingkah laku
yang abnormal, kejang, penurunan kesadaran, pingsan, bahkan sampai koma
yang hampir menyerupai gejala malaria serebral. Bila sebelumnya penderita
sudah dalam keadaan koma karena malaria serebral maka komanya akan lebih
dalam lagi. Penderita ini bila diinjeksikan glukosa atau diinfus dengan
dekstrosa maka kesadarannya akan pulih kembali, tetapi karena
hiperinsulinemi, keadaan hipoglikemi dapat kambuh dalam beberapa hari. Oleh
karena itu semua wanita hamil yang terinfeksi malaria falciparum, khususnya
yang mendapat terapi quinine harus dimonitor kadar gula darahnya setiap 4-6
jam sekali dan sebaiknya monitor kadar gula darah harus konstan
dilakukan.1,3
Kadang-kadang hipoglikemia dapat berhubungan dengan laktat asidosis
dan pada keadaan seperti ini risiko mortalitas akan sangat meningkat.
Hipoglikemia maternal juga dapat menyebabkan gawat janin tanpa ada tanda-
tanda yang spesifik.4,6
3. Edema paru akut
Mekanisme terjadinya edema paru masih belum diketahui secara pasti,
kemungkinan terjadi karena autotransfusi darah post-partum yang penuh
dengan sel darah merah yang terinsfeksi. Keadaan edema paru akut bisa
ditemukan saat pasien datang atau baru terjadi setelah beberapa hari dalam
perawatan. Kejadiannya lebih sering pada trimester 2 dan 3 dan setelah
persalinan.1,3
Edema paru akut bertambah berat karena adanya anemia sebelumnya dan
adanya perubahan hemodinamik dalam kehamilan. Kelainan ini sangat
meningkatkan risiko mortalitas. Gejalanya mula-mula frekuensi pernafasan
meningkat, kemudian terjadi dispneu dan penderita dapat meninggal dalam
waktu beberapa jam.3
4. Imunosupresi
Imunosupresi dalam kehamilan menyebabkan infeksi malaria yang terjadi
menjadi lebih sering dan lebih berat. Lebih buruk lagi, infeksi malaria
sendiri dapat menekan respon imun. Perubahan hormonal selama kehamilan
menurunkan sintesis imunoglobulin.Penurunan fungsi sistem
retikuloendotelial adalah penyebab imunosupresi dalam kehamilan. Hal ini
menyebabkan hilangnya imunitas didapat terhadap malaria sehingga ibu hamil
lebih rentan terinfeksi malaria. Infeksi malaria yang diderita lebih berat
dengan parasitemia yang tinggi. Pasien juga lebih sering mengalami demam
paroksismal dan relaps.1,13
Infeksi sekunder (infeksi saluran kencing dan pneumonia) dan
pneumonia algid (syok septikemia) juga lebih sering terjadi dalam kehamilan
karena imunosupresi ini.1,13
5. Gagal Ginjal
Hemoglobinuri (blackwater fever) merupakan kondisi urin yang berwarna
gelap akibat hemolisis sel darah merah dan parasitemia yang hebat dan
sering merupakan tanda gagal ginjal.2
6. Risiko Terhadap Janin
Malaria dalam kehamilan adalah masalah bagi janin. Tingginya demam,
insufisiensi plasenta, hipoglikemia, anemia dan komplikasi-komplikasi lain
dapat menimbulkan efek buruk terhadap janin. Baik malaria P. vivax dan P.
falciparum dapat menimbulkan masalah bagi janin, akan tetapi jenis infeksi
P. falciparum lebih serius (dilaporkan insidensinya mortalitasnya l5,7% vs
33%). Akibatnya dapat terjadi abortus spontan, persalinan prematur,
kematian janin dalam rahim, insufisiensi plasenta, gangguan pertumbuhan
janin (kronik/temporer), berat badan lahir rendah dan gawat janin. Selain
itu penyebaran infeksi secara transplasental ke janin dapat menyebabkan
malaria kongenital.1,14
7. Malaria kongenital
Malaria kongenital sangat jarang terjadi, diperkirakan timbul pada
<5% kehamilan. Barier plasenta dan antibodi Ig G maternal yang menembus
plasenta dapat melindungi janin dari keadaan ini. Akan tetapi pada
populasi non imun dapat terjadi malaria kongenital, khususnya pada keadaan
epidemi malaria. Kadar quinine plasma janin dan klorokuin sekitar l/3 dari
kadarnya dalam plasma ibu sehingga kadar subterapeutik ini tidak dapat
menyembuhkan infeksi pada janin. Keempat spesies plasmodium dapat
menyebabkan malaria kongenital, tetapi yang lebih sering adalah P.
malariae. Neonatus dapat menunjukan adanya demam, iritabilitas, masalah
minum, hepatosplenomegali, anemia, ikterus dll. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan melakukan apus darah tebal dari darah umbilikus atau tusukan di
tumit, kapan saja dalam satu minggu pascanatal. Diferensial diagnosisnya
adalah inkompatibilitas Rh, infeksi CMV, Herpes, Rubella, Toksoplasmosis
dan sifilis.1
L. PENANGANAN MALARIA SELAMA KEHAMILAN
1. Pencegahan Transmisi
a) Kemoprofilaksis
Kesadaran akan resiko menderita malaria pada ibu hamil sangat
penting. WHO dan CDC merekomendasikan bahwa wanita hamil jangan
bepergian ke wilayah endemik malaria. Kemoprofilaksis dapat mengurani
anemia pada ibu dan menambah berat badan lahir terutama pada kelahiran
pertama. Resiko malaria dan konsekuensi bahayanya tidak meningkat
selama kehamilan kedua pada wanita yang menerima kemoprofilaksis
selama kehamilan pertama. Pemberian obat profilaksis selama kehamilan
dianjurkan untuk megurangi resiko transmisi diantaranya dengan
pemberian klorokuin basa 5 mg/kgBB (2 tablet) sekali seminggu, tetapi
untuk daerah yang resisten, klorokuin tidak dianjurkan pada kehamilan
dini, namun dapat diganti dengan meflokuin. Obat lain yang sering
digunakan untuk profilaksis adalah kombinasi sulfadoksin-pirimetamin
dengan dosis digunakan dosis 1 tablet perminggu, tetapi tidak
dianjurkan untuk trimester pertama karena pirimetamin dapat
menyebabkan teratogenik.1,3,6,12
Pemberian profilaksis pada ibu hamil di atas 20 minggu dapat
megurangi malaria falciparum sampai 85% dan malaria vivax sampai 100%.
Profilaksis klorokuin menurunkan infeksi plasenta yang asimptomatik
menjadi 4% bila dibandingkan tanpa profilaksis sebanyak 19%.1,5,13
b) Mengurangi Kontak dengan Vektor
Pemakaian kelambu, insektisida, atau keduanya dinilai efektif
untuk menurunkan jumlah kasus malaria pada ibu hamil dan neonatus
khususnya densitas tinggi, insidens klinis dan mortalitas malaria.
Penelitian di Afrika menunjukkan bahwa pemakaian kelambu setiap malam
menurunkan kejadian berat badan lahir rendah atau bayi prematur
sebanyak 25%. Adapun pada wanita hamil di Thailand dilaporkan bahwa
pemakaian kelambu efektif dalam mengurangi anemia maternal dan
parasitemia densitas tinggi. Kelambu sangat disarankan terutama pada
kehamilan dini dan bila memungkinkan selama kehamilan.1,3,5,13
c) Vaksinasi
Target vaksin malaria antara lain mengidentifikasi antigen
protektif pada ketiga permukaan stadium parasit malaria yang terdiri
dari sporozoit, merozoit, dan gametosit. Sampai saat ini belum
ditemukan vaksin yang aman dan efektif untuk penanggulangan malaria.
Kemungkinan penggunaan vaksin yang efektif selama kehamilan baru
muncul dan perlu pertimbangan yang kompleks. Tiga hal yang perlu
dipertimbangkan dalam penggunaan vaksin untuk mencegah malaria selama
kehamilan, yaitu:3
a. Tingkat imunitas sebelum kehamilan
b. Tahap siklus hidup parasit
c. Waktu pemberian vaksin
2. Terapi Malaria
Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan yang radikal malaria dengan
membunuh semua stadium parasit yang ada didalam tubuh manusia, termasuk
stadium gametosit. Adapun tujuan pengobatan radikal untuk mendapat
kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan rantai penularan.6,16
Semua obat anti malaria tidak boleh diberikan dalam keadaan perut kosong
karena bersifat iritasi lambung. Oleh sebab itu penderita harus makan
terlebih dahulu setiap minum obat anti malaria. Dosis pemberian obat
sebaiknya berdasarkan berat badan.6, 16
Pengobatan malaria di Indonesia menggunakan obat kombinasi. Yang dimaksud
dengan pengobatan kombinasi malaria adalah penggunaaan dua atau lebih obat
anti malaria yang farmakodinamik dan farmakokinetiknya sesuai, bersinergi
dan berbeda cara terjadinya resistensi. Tujuan terapi kombinasi ini adalah
untuk pengobatan yang lebih baik dan mencegah terjadinya resistensi
plasmodium terhadap obat anti malaria. Pengobatan kombinasi malaria
harus:6, 16
A. Aman dan toleran untuk semua umur
B. Efektif dan cepat kerjanya
C. Resistensi dan / atau resistensi silang belum terjadi
D. Harga murah dan terjangkau
Saat ini dipakai program nasional adalah derivate artemisinin dengan
golongan aminokuinolon, yaitu:6
1. Kombinasi tetap (Fixed Dose Combination=FDC) yang terdiri atas
Dihydroartemisinin dan Piperakuin (DHP). Satu tablet FDC mengandung 40
mg dihydroartemisinin dan 320 mg piperakuin. Obat ini diberikan per
oral selama 3 hari dengan range dosis tunggal harian sebagai berikut :
Dihydroartemisinin dosis 2-4mg/kgBB; Piperakuin dosis 16-
32mg/kgBB
2. Artesunat-Amodiakuin .Kemasan artesunat-amodiakuin yang ada pada
program pengendalian malaria dengan 3 blister, setiap blister terdiri
dari 4 tablet artesunat @ 50mg dan 4 tablet amodiakuin 150 mg.
3.
PENGOBATAN MALARIA TANPA KOMPLIKASI PADA DEWASA
1. Pengobatan malaria falsiparum dan malaria vivaks
Pengobatan malaria falsiparum dan vivaks saat ini menggunakan ACT
ditambah primakuin. Dosis ACT untuk malaria falsiparum sama dengan malaria
vivaks, sedangkan obat primakuin untuk malaria falsiparum hanya diberikan
pada hari pertama saja dengan dosis 0,75 mg/kgBB dan untuk malaria vivaks
selama 14 hari dengan dosis 0,25 mg/kgBB. Lini pertama pengobatan malaria
falsiparum dan malaria vivaks adalah seperti yang tertera dibawah ini:3
A. Lini Pertama : ACT + Primakuin
Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum Menurut Berat Badan Dengan DHP
dan Primakuin16
Pengobatan Lini Pertama Malaria Vivaks Menurut Berat Badan Dengan DHP dan
Primakuin16
Dosis obat: Dihydroartemisinin = 2-4 mg/kgBB
Piperakuin = 16-32 mg/kgBB
Primakuin = 0,75 mg/kgBB (P.falsiparum untuk hari I)
Primakuin = 0,25 mg/kgBB (P.vivax selama 14 hari)
Keterangan:
Sebaiknya dosis pemberian DHA+PPQ berdasarkan berat badan. Apabila
penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan maka pemberian obat dapat
berdasarkan kelompok umur.
1) Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada tabel
pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah berdasarkan berat badan.
2) Dapat diberikan pada ibu hamil trimester 2 dan 3
3) Apabila pasien P. falsiparum dengan BB > 80 kg datang kembali dalam
waktu 2 bulan setelah pemberian obat dan pemeriksaan sediaan darah masih
positif P. falsiparum, maka diberikan DHP dengan dosis ditingkatkan menjadi
5 tablet/hari selama 3 hari.
ATAU
Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum Menurut Berat Badan Dengan
Artesunat + Amodiakuin dan Primakuin16
Pengobatan Lini Pertama Malaria Vivaks Menurut Berat Badan Dengan Artesunat
+ Amodiakuin Dan Primakuin16
Dosis obat: Amodiakuin basa = 10mg/kgBB dan
Artesunat = 4mg/kgBB
Primakuin = 0,75mg/kgBB (P. falsiparum untuk hari I)
Primakuin = 0,25mg/kgBB (P. vivax selama 14 hari)
B. Lini Kedua Untuk Malaria falsiparum:
Kina + Doksisiklin atau Tetrasiklin + Primakuin
Pengobatan lini kedua malaria falsiparum diberikan jika pengobatan
lini pertama tidak efektif, dimana ditemukan gejala klinis tidak memburuk
tetapi parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali
(rekrudesensi).16
Pengobatan Lini Kedua untuk Malaria Falsiparum (dengan Obat Kombinasi Kina
dan Doksisiklin)3
Catatan : Dosis Kina diberikan sesuai BB (3x10mg/kgBB/hari)
Dosis Doksisiklin 3,5mg/kgBB/hari diberikan 2 x sehari ( 15 tahun)
Dosis Doksisiklin 2,2 mg/kgBB/hari diberikan 2 x sehari (8-14
tahun)
Pengobatan Lini Kedua untuk Malaria Falsiparum (dengan Obat Kombinasi Kina
dengan Tetrasiklin)16
Catatan :
Dosis Tetrasiklin 4mg/kgBB/kali diberikan 4 x sehari tidak diberikan pada
anak umur < 8 tahun.
Oleh karena Doksisiklin dan Tetrasiklin tidak dapat diberikan pada ibu
hamil maka sebagai penggantinya dapat dipakai Klindamisin yang tersedia di
Puskesmas.
C. Lini Kedua Untuk Malaria Vivaks : Kina + Primakuin
Kombinasi ini digunakan untuk pengobatan malaria vivaks yang tidak
respon terhadap pengobatan ACT.16
Pengobatan Lini Kedua Malaria Vivaks16
D. Pengobatan malaria vivaks yang relaps
Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) diberikan dengan
regimen ACT yang sama tapi dosis Primakuin ditingkatkan menjadi 0,5
mg/kgBB/hari.17
E. Pengobatan malaria ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu DHP ditambah
dengan Primakuin selama 14 hari. Dosis pemberian obatnya sama dengan untuk
malaria vivaks.17
F. Pengobatan malaria malariae
Pengobatan P. malariae cukup diberikan ACT 1 kali perhari selama 3
hari, dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak
diberikan primakuin.17
G. Pengobatan infeksi campur P. falciparum+ P. vivax/P.ovale
Pada penderita dengan infeksi campur diberikan ACT selama 3 hari serta
primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari.17
PEMBERIAN OBAT ANTI MALARIA BERAT
Pilihan utama Artesunate intravena. Pengobatan malaria berat ditingkat
Puskesmas dilakukan dengan memberikan artemeter ataupun kina hidroklorida
intramuscular sebagai dosis awal sebelum merujuk ke RS rujukan. Apabila
rujukan tidak memungkinkan, pengobatan dilanjutkan dengan pemberian dosis
lengkap artemeter intra muscular. Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil
di Puskesmas dilakukan dengan memberikan kina HCl pada trimester 1 secara
intra muscular dan artemeter injeksi untuk trimester 2 dan 3. Pengobatan
malaria di RS dianjurkan untuk menggunakan artesunat intravena. Pengobatan
malaria berat untuk ibu hamil pada trimester 2 dan 3 menggunakan artesunat
intravena, sedangkan untuk ibu hamil trimester 1 menggunakan kina
parenteral.16
1. Kemasan dan cara pemberian artesunat
Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk
kering asam artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium
bikarbonat 5%. Untuk membuat larutan artesunat dengan mencampur 60mg serbuk
kering artesunik dengan larutan 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Kemudian
ditambah larutan dextrose 5% sebanyak 3-5 cc. Artesunat (AS) diberikan
dengan dosis 2,4mg/kgBB per iv, sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24.
Selanjutnya diberikan 2,4mg/kgBB per iv setiap 24 jam sampai penderita
mampu minum obat. Larutan artesunat ini juga bisa diberikan secara
intramuscular (i.m) dengan dosis yang sama. Apabila penderita sudah dapat
minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-
piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari + primakuin atau dosis pengobatan
lini pertama malaria falsiparum tanpa komplikasi.
2. Kemasan dan cara pemberian artemeter
Artemeter intramuscular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg
artemeter dalam larutan minyak. Artemeter diberikan dengan dosis 3,2
mg/kgBB intramuscular. Selanjutnya diberikan 1,6 mg/kgBB intramuscular satu
kali sehari sampai penderita mampu minum obat. Apabila penderita sudah
dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen
dihydroartemisinin-piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari + primakuin
(sesuai dengan dosis pengobatan lini pertama malaria falsiparum tanpa
komplikasi)
3. Kemasan dan cara pemberian kina parenteral
Obat alternatif malaria berat yaitu kina hidroklorida parenteral. Kina
per infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah
yang tidak tersedia derivate artemisinin parenteral dan pada ibu hamil
trimester pertama. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina hidroklorida
25%. Satu ampul berisi 500mg/2ml. Dosis dan cara pemberian kina pada orang
dewasa termasuk untuk ibu hamil loading dose 20 mg/kgBB dilarutkan dalam
500 ml dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama.
Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl
0,9%. Setelah itu diberikan kina dengan dosis maintenance 10mg/kgBB dalam
larutan 500 ml dextrose 5% atau NaCl selama 4 jam. Empat jam selanjutnya,
hanya diberikan lagi cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%.
Setelah itu diberikan lagi dosis maintenance seperti diatas sampai
penderita dapat minum kina per oral. Apabila sudah sadar/dapat minum, obat
pemberian kina i.v diganti dengan kina tablet per oral dengan dosis
10mg/kgBB/kali, pemberian 3 kali sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung
sejak pemberian kina per infus yang pertama). Kina tidak boleh diberikan
secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan
kematian. Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis maintenance kina
diturunkan 1/3-1/2 nya. Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan
primakuin dengan dosis 0,75mg/kgBB. Dosis kina maksimum dewasa 2000mg/hari.
Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu
dianjurkan pemberiannya dalam dextrose 5%.
PENGOBATAN MALARIA PADA IBU HAMIL
Pada prinsipnya pengobatan malaria pada ibu hamil sama dengan
pengobatan pada orang dewasa lainnya. Perbedaannya adalah pada pemberian
obat malaria berdasarkan usia kehamilan. Pada ibu hamil tidak diberikan
primakuin.16
Pengobatan malaria falsiparum pada ibu hamil16,18
Pengobatan malaria vivax pada ibu hamil16, 18
*Dosis Klindamisin 10mg/kgBB diberikan 2 x sehari
Sebagai kelompok yang berisiko tinggi pada ibu hamil dilakukan
penapisan/skrining terhadap malaria yang dilakukan sebaiknya sedini mungkin
atau begitu ibu tahu bahwa dirinya hamil. Pada fasilitas kesehatan,
skrining ibu hamil dilakukan pada kunjungannya pertama sekali ke tenaga
kesehatan/fasilitas kesehatan. Selanjutnya pada ibu hamil juga dianjurkan
menggunakan kelambu berinsektisida setiap tidur.16
Skema Penemuan Dan Pengobatan Malaria Pada Ibu Hamil16
PEMANTAUAN RESPON PENGOBATAN
Pemantauan pengobatan untuk Plasmodium falsiparum dan Plasmodium vivax
pada pasien rawat jalan dilakukan pada hari ke-2, hari ke-3, hari ke-7,
hari ke- 14, sampai hari ke-28 setelah pemberian obat hari pertama, dengan
memonitor gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopik. Apabila terjadi
perburukan gejala klinis sewaktu-waktu segera kembali ke fasilitas
pelayanan kesehatan. Pada pasien rawat inap, evaluasi pengobatan dilakukan
setiap hari dengan memonitor gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis.
Evaluasi dilakukan sampai bebas demam dan tidak ditemukan parasit aseksual
dalam darah selama 3 hari berturu-turut. Setelah pasien dipulangkan harus
kontrol pada hari ke-14 dan ke-28 sejak hari pertama mendapatkan obat anti
malaria.16
KRITERIA KEBERHASILAN PENGOBATAN
Kriteria keberhasilan pengobatan antara lain:16
1. Sembuh
Penderita dikatakan sembuh apabila gejala klinis (demam) hilang dan
parasit aseksual tidak ditemukan pada hari ke-4 pengobatan sampai dengan
hari ke-28.
2. Gagal pengobatan dini/Early treatment failure
a. Menjadi malaria berat pada hari ke-1 sampai hari ke-3 dengan parasitemia
b. Hitung parasit pada hari ke-2 > hari ke-0
c. Hitung parasit pada hari ke-3 25% hari ke-0
d. Ditemukan parasit aseksual dalam hari ke-3 disertai demam
3. Gagal pengobatan kasep/Late treatment failure
a. Gagal kasep pengobatan klinis dan Parasitologis
1) Menjadi malaria berat pada hari ke-4 sampai ke-28 dan parasitemia
2) Ditemukan kembali parasit aseksual antara hari ke-4 sampai hari ke-28
disertai demam
b. Gagal kasep Parasitologis
Ditemukan kembali parasit aseksual dalam hari ke-7, 14, 21, dan 28
tanpa demam.
4. Rekurensi
Ditemukan kembali parasit aseksual dalam darah setelah pengobatan
selesai. Rekurensi dapat disebabkan oleh :
1) Relaps : rekurensi dari parasit aseksual setelah 28 hari pengobatan.
Parasit tersebut berasal dari hipnozoit P. vivax atau P. ovale
2) Rekrudesensi : rekurensi dari parasit aseksual selama 28 hari pemantauan
pengobatan. Parasit tersebut berasal dari parasit sebelumnya (aseksual
lama)
3) Reinfeksi : rekurensi dari parasit aseksual setelah 28 hari pemantaun
pengobatan pasien dinyatakan sembuh. Parasit tersebut berasal dari infeksi
baru (sporozoit).
3. Penanganan Komplikasi Malaria
a) Edem paru akut1,15
Pemberian cairan yang dimonitor dengan ketat; tidur dengan posisi
setengah duduk, pemberian oksigen, diuretik dan pemasangan ventilator
bila diperlukan.
b) Hipoglikemia1,15
Dekstrosa 25-50%, 50-100 cc i.v., dilanjutkan infus dekstrosa 10%.
Bila sebabnya adalah kelebihan cairan, dapat diberikan glukagon 0,5-l
mg intramuskuler. Glukosa darah harus dimonitor setiap 4-6 jam untuk
mencegah rekurensi hipoglikemia.
c) Anemia1,15
Harus di berikan transfusi bila kadar hemoglobin <5 g%. Anemia yang
signifikan (Hb <7-8gr%) harus ditangani dengan transfusi darah.
Sebaiknya diberikan packed red cells daripada whole blood untuk
mengurangi tambahan volume intravaskuler.
d) Gagal Ginjal1,15
Gagal ginjal dapat terjadi pre prenal karena dehidrasi yang tidak
terdeteksi atau renal karena parasitemia berat. Penanganannya
meliputi pemberian cairan yang seksama, diuretik dan dialisa bila
diperlukan.
e) Syok septikemia1,15
Infeksi bakterial sekunder seperti infeksi saluran kemih, pneumonia
dll, sering menyertai kehamilan dengan malaria. Sebagian dari pasien-
pasien tersebut dapat mengalami syok septikemia, yang disebut 'algid
malaria'. Penanganannya adalah dengan pemberian cephalosporin
generasi ketiga, pemberian cairan, monitoring tanda-tanda vital dan
intake-output.
f) Transfusi ganti1,15
Transfusi ganti diindikasikan pada kasus malaria falciparum berat
untuk menurunkan jumlah parasit. Darah pasien dikeluarkan dan diganti
dengan packed sel. Tindakan ini terutama bermanfaat pada kasus
parasitemia yang sangat berat (membantu membersihkan) dan impending
odema paru (membantu menurunkan jumlah cairan).
4. Penanganan saat persalinan
Anemia, hipoglikemia, edema paru dan infeksi sekunder akibat
malaria pada kehamilan aterm dapat menimbulkan masalah baik bagi ibu
maupun janin. Malaria falciparum berat pada kehamilan aterm
menimbulkan risiko mortalitas yang tinggi. Distres maternal dan fetal
dapat terjadi tanpa terdeteksi. Oleh karena itu perlu dilakukan
monitoring yang baik, bahkan untuk wanita hamil dengan malaria berat
sebaiknya dirawat di unit perawatan intensif. 1,15
Malaria falciparum merangsang kontraksi uterus yang menyebabkan
persalinan prematur. Frekuensi dan intensitas kontraksi tampaknya
berhubungan dengan tingginya demam. Gawat janin sering terjadi dan
seringkali tidak terdeteksi. Oleh karena itu perlu dilakukan monitoring
terhadap kontraksi uterus dan denyut jantung janin untuk menilai adanya
ancaman persalinan prematur dan takikardia, serta bradikardia atau
deselerasi lambat pada janin yang berhubungan dengan kontraksi uterus
karena hal ini menunjukkan adanya gawat janin. Harus diupayakan segala
cara untuk menurunkan suhu tubuh dengancepat, baik dengan kompres,
pemberian antipiretika seperti parasetamol, dll. 1,14
Pemberian cairan denagn seksama juga merupakan hal penting. Hal
ini disebabkan baik dehidrasi maupun overhidrasi harus dicegah karena
kedua keadaan tadi dapat membahayakan baik bagi ibu maupun janin. Pada
kasus parasitemia berat, harus dipertimbangkan tindakan transfusi ganti.
1,15
Bila diperlukan, dapat dipertimbangkan untuk melakukan induksi
persalinan. Kala II harus dipercepat dengan persalinan buatan bila
terdapat indikasi pada ibu atau janin. Seksio sesarea ditentukan
berdasarkan indikasi obstetrik. 1,15
BAB III
KESIMPULAN
Malaria adalah penyakit protozoa yang disebarkan melalui gigitan
nyamuk Anopheles betina aktif. Protozoa penyebab malaria adalah genus
Plasmodium yang dapat menginfeksi manusia maupun serangga. Lebih dari 1,6
triliun manusia terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas 200-300 juta
dan mortalitas lebih dari 1 juta pertahun. Lima species Plasmodium penyebab
malaria pada manusia adalah plasmodium vivax, plasmodium ovale, plasmodium
knowlesi, plasmodium malariae dan plasmodium falciparum.
Malaria dan kehamilan adalah dua kondisi yang saling mempengaruhi.
Perubahan fisiologis dalam kehamilan dan perubahan patologis akibat malaria
mempunyai efek sinergis terhadap kondisi masing-masing. Gejala utama
infeksi malaria adalah demam yang diduga berhubungan dengan proses
skizogoni (pecahnya merozoit/skizon) dan terbentuknya sitokin dan atau
toksin lainnya. Pemerikasaan yang dianjurkan adalah apusan darah tipis dan
tebal. Pada umumnya, penatalaksanaan malaria pada ibu hamil sama dengan
penatalakasaan malaria pada orang dewasa kecuali pada pemberian obat
primakuin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sulaeman J, Pribadi A. Demam Dalam Kehamilan dan Persalinan: Malaria
dalam Kehamilan: Ilmu Kandungan. Edisi IV. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirodihardjo; 2012. p. 634-642.
2. Bruce LJ, Chwatt. Malaria and pregnancy. England: British Medical
Journal; 2010. Volume 286. p.1457-458
3. Chahaya I. Pengaruh Malaria Selama Kehamilan. Available from
www.Usudigitallibrary.pdf. Last update in 2003.
4. Harijanto, N Paul. Malaria. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2014
5. Rijken MJ Rijken JA Papageorghiu AT etc. Malaria in pregnancy: the
difficulities in measuring birthweight. England: BJOG An International
Journal of Obstetric and Gynecology; 2011. p.671-77.
6. Suparman E, Suryawan A. Malaria pada Kehamilan. Jurnal Kedokteran
Maranatha. 2014; Vol. 4
7. Wolf JE. Treatment and Prevention of Malaria : An Update . [online].
2002 [Cited 2012 November 20]. Available from: http://www.turner-
white.com/pdf.
8. Knirsch DGH. The Malaria. In: Parasitic Disease. 5th Ed. USA: Apple
Trees Productions L.L.C.NY; 2007. p:50—68.
9. Perez EV, Jorge. Malaria. [online]. 2012. Diakses dari:
http://emedicine.medscape.com/article/221134-overview.
10. Kakkilaya. Pregnancy dan malaria,malaria dalam kehamilan. 2010
11. Ukaga CN, Nowke BEB, et al. Placental malaria in Owerri, Imo State,
south-eastern Nigeria. [online].diakses dari:
http://www.bioline.org.br.2009
12. Krishnan S, Cheripalli P, Tangella K. Placental Malaria . [online].
2009 diakses dari: http://www.turner-white.com.
13. Bardaji A, Sigauque B, Sanz S, et al. Impact of Malaria at the End of
Pregnancy on Infant Mortality and Morbidity. USA Journal of Infectious
Disease; 2011. p.691-99.
14. Hanretty KP. Obstetric Illustrated. 6th Ed. British: Crurchill
Livingstone; 2003. p.152-55.
15. Surya I.G.P .Penyakit Infeksi : Infeksi Malaria. Ilmu Kandungan Edisi
IV. Jakarta : P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo; 2012. p912-17.
16. Kementerian Kesehatan. Pedoman Tata Laksana Malaria. Jakarta: Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
17. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Saku Tatalaksana Kasus
Malaria.Jakarta: 2017
18. World Health Organization. Guidelines for Treatment of Malaria. Third
Edition. Geneva: WHO Press. 2015.