Hukum dan HAM
Ringkasan buku HAM dalam Transisi Politik di Indonesia
BAB II
A. HAK ASASI MANUSIA
Pada dasarnya konsepsi HAM dapat ditelusuri bahwa dikenal pada masa Yunani kuno dan Romawi yang memiliki kaitan dengan konsep hukum alam(Natural Law) dari stoisisme yunani. Konsep ini bercirikan bahwa kekuatan kerja yang universal mencakup semua ciptaan dan tingkah laku manusia, oleh karenanya harus dinilai berdasarkan kepada -dan sejalan dengan hukum alam. Kemudian hak asasi mulai dikenal secara luas di berbagai negara-negara di dunia yakni pada saat akhir perang dunia II yang mana pada saat itu diusung konsep Human Rights dengan adanya Deklarasi Universal Hak asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tahun 1948. Jauh sebelum itu hak manusia dikenal dengan nama Natural Rights yaitu hak alam. Istilah ini mendapat kritik sebab konsep hukum alam terdapat frasa rights of man yang mana kemudian tidak mencakup hak-hak wanita.
Pemikiran-pemikiran HAM juga dipengaruhi oleh beberapa filsuf kenamaan seperti thomas aquinas yang berpendapat bahwa HAM merupakan hak hak yang kekal dan tak dapat dicabut oleh siapapun, yang tak terlepaskan ketika manusia terkontrak untuk memasuki masyarakat dari suatu negara dan tidak pernah dikurangi oleh tuntutan yang berkaitan dengan hak ketuhanan dari raja. Pemikir lainnya John Locke mendasarkan bahwa HAM merupakan hak yang dimiliki oleh setiap warga yang kemudian akan dimanifestasikan kepada pemerintah yang mana pemerintah ini berkewajiban untuk memenuhi dan tidak melanggar hak-hak yang dimiliki oleh warga masyarakatnya.
Ide-ide HAM kemudian berkembang pada abad ke-18 dan 19 dalam perjuangan melawan absolutisme politik, adalah Karel Vassak yang memperkenalkan teori generasi yang memberikan landasan HAM kepada seluruh generasi terhadap segala perilaku negara. Hak-hak ini terbagi menjadi tiga yakni pada generasi pertama terdapat hak-hak sipil dan politik, generasi kedua terdapat hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, dan generasi ketiga mencakup hak-hak atas solidaritas.
dari sekian banyak deklarasi-deklarasi maupun konvensi intenasioanl mengenai hak asasi, ada satu pemikiran yang dilahirkan oleh para mantan pemimpin-pemimpin dunia, pemikiran tersebut adalah mengenai adanya suatu gagasan mengenai dibuatnya deklarasi universal mengenai adanya suatu tanggung jawab internasional. Gagasan ini muncul disebabkan disamping hak yang mesti dipenuhi terdapat suatu timbal balik yang wajib di penuhi pula yaitu bertanggungjawab, hal ini dilakukan agar nantinya dari kebebasan tersebut tidak menciderai asas-asas kebebasan itu sendiri.
Dalam pekembangan HAM dalam konteks internasional, terdapat pergulatan mengenai dua perspektif, apakah HAM itu bersifat Universalisme atau Berelativitas mengikuti suatu budaya. Dari yang disebut pertama, HAM bersifat mondial dan tidak terikat pada suatu bangsa atau tempat. HAM sejatinya sudah ada secara inheren dan bercorak sama pada seluruh kebudayaan yang ada didunia. Sementara dalam pandangan relativisme menolak universalitas dari HAM sebab manusia selalu menjadi produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya setempat. Tradisi yang berbeda dari budaya dan peradaban yang berbeda membuat ukuran atau patokan manusia menjadi berbeda pula, oleh karena itu HAM merupakan konsep yang terikat ruang dan waktu yang terbatas sesuai dari kebudayaan masing-masing. Para penganut relativisme memandang perspektif Universalisme HAM cenderung dipaksakan oleh negara-negara barat yang menginisiasi dari adanya HAM di sebagian besar dunia.
B. TRANSISI POLITIK MENUJU DEMOKRASI
Pada tahun 1970-an di berbagai belahan dunia terdapat beberapa revolusi politik dalam suatu negara yang tadinya berbentuk otokrasi/totaliarianisme menuju ke bentuk demokrasi. Dalam berbagai gejolak transisi politik yang melanda hampir sebagian negara-negara di dunia, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi jalannya politik kekuasaan dalam suatu negara. Faktor ini dapat berupa krisis moneter, timbulnya gerakan-gerakan sosial ideologis, dan kesenjangan sosial yang melanda di masyarakat. Fenomena lainnya yang penting dalam konteks transisi politik adalah adanya rezim totaliarianisme yang muncul pada awal abad ke-20. Rezim ini ditandai dengan adanya kekuasaan politik yang besar dan despotik yang dimiliki oleh pemerintah yang saat itu sedang berkuasa. Contoh dari adanya negara totaliter ini adalah Jerman dengan Nazi-nya pada masa pemerintahan Adolf Hitler dan Uni Soviet dengan Bolsjewisme di bawah pemerintahan Josep Stalin. Dari adanya berbagai ideologi politik yang berkembang di seluruh dunia sebelum abad ke-20, dapat diketemukan pola bagaimana cara-cara transisi pemerintahan yang otokratik seperti yang disebutkan diatas berubah menjadi demokratik.
Dalam rezim otoritarian, hubungan sipil-militer tidak mendapat tempat yang mempunyai arti penting dalam penerapannya. Dalam arti bahwa hubungan ini tidak begitu diperhatikan. Pemimpin-pemimpin militer dalam rezim otoritarianisme dalam menjalankan kewenangan fungsionalnya seringkali melewati batas-batas kewenangan ataupu melakukan tindakan yang diluar dari kapasitasnya. Tidak ada batas yang membedakan mana yang menjadi urusan militer dan urusan publik(sipil). Seringkali militer merangsek masuk sangat dalam kedalam kehidupan sipil masyarakat dengan melakukan intervensi politik atas pemerintahannya. Hal ini sangat kontras dengan negara-negara industrialis-demokratis yang mana membedakan secara tegas antara kewenangan militer dengan ranah publik. Tidak ada intervensi antar kedua fungsi tadi, kalaupun ada maka yang terjadi adalah sipil mempengaruhi militer, bukan sebaliknya. Karena yang berjalan adalah supremasi sipil dan militer tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh kekuasaan sipil.
Dalam konteks transisi politik, yang menjadi hal paling fundamental ialah perubahan perspektif terhadap kedudukan dan peranan militer. Kekuasaan militer yang begitu besar dalam suatu negara direduksi agar nantinya tidak menagarah pada sistem otorianisme lagi. oleh karena itu, konsep demiliterisasi bukan hanya terbatas pada bidang politik saja namun menyeluruh ke segala aspek yang berkaitan dengan urusan sipil. Di Indonesia konsep demiliterisasi ini mencuat di tahun 1999 yang mana saat itu kondisi yang mengarah pada demokratisasi memaksa TNI untuk mengubah doktrin fundamentalnya, salah satunya yakni Dwifungsi yang selama ini melegitimasi kekuasaan politiknya. Demiliterisasi ini termanifes dalam bentuk "Paradigma Baru". Dalam paradigma baru menyatakan bahwa militer tetap berperan dalam mempengaruhi perkembangan politik, tetapi tidak lagi memiliki aspirasi untuk mendominasi pemerintahan. Terdapat beberapa langkah yang penting untuk menuju konsep "Paradigma baru" ini. langkah-langkah tersebut adalah :
1. Pengurangan dalam perwakilan TNI-POLRI di lembaga-lembaga perwakilan
Langkah ini direalisasikan yakni pada tahun 1997 terdapat 100 anggota TNI-Polri di DPR. Keanggotaan tersebut berkurang menjadi 38 dari 500 anggota DPR. Dan dirancang pada 2004 TNI sudah tidak terdapat lagi di tubuh DPR, melainkan hanya di MPR.
2. Penghapusan kekaryaan (pengalihan sementara para perwira TNI-Polri ke Posisi sipil)
Di awal tahun 199 terdapat 4000 perwira polisi dan TNI yang menduduki posisi di birokrasi pemrintahan. Kemudian para perwira ini diminta pensiun apabila menjabat/ menduduki posisi sipil. Kemudian timbul fenomena dikalanagn pemerintahan, yang mana mayoritas diisi oleh posisi sipil . hal ini kemudian berdampak para poltisi sipil tadi akan menunjuk para pendukung mereka sendiri dibanding para perwira TNI-POLRI.
3. Netralitas Politik
Pada masa Orba, TNI-Polri memberikan dukungan yang sangat besar kepada Partai Golongan Karya yang memungkinkan Golkar untuk mendapatkan kemenangan yang berlimpah pada setiap pemilu. Di tahun 1999, Jendral Wiranto memrintahkan agar TNI-Polri tidak melibatkan diri dalam kampanye pemilu. Dan semua pengamat setuju bahwa perintah ini diikuti.
4. Pemisahan Polisi dari TNI
Sebelum reformasi, penampilan antara Polisi-TNI cenderung tidak mempunyai perbedaan karena kedua institusi tersebut berada dalam satu badan yang sama. Pada saat ini, polisi telah dipisahkan dari TNI, yang mana dari segi struktur dan teknis polisi berbeda dengan TNI. Keamanan dalam negeri pun menjadi tanggung jawab Polisi, meski tidak menutup kemungkinan Angkatan Darat untuk turun tangan apabila polisi tidak dapat meng-handle situasi.
5. Orientasi pertahanan
Hal ini tercermin pada masa kabinet Abdurrahman Wahid, yang mana Departemen Pertahanan dan Keamanan yang membawahi TNI berubah menjadi Departemen Pertahanan saja.
C. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik
Salah satu kasus yang terkenal mengenai pelanggaran HAM dalam konteks transisi politik adalah kasus Steven Biko, warga negara Afrika Selatan pendiri Gerakan Kesadaran Kaum Kulit Hitam yang mana ia ditahan dan kemudian ditemukan meninggal pada 12 September 1977 dalam keadaan mengenaskan di Rumah Sakit Penjara. Komisi kebenaran dan rekonsiliasi Afrika sebagai lembaga yang mengetengahi banyak permasalahan HAM di Afrika selatan kemudian memberikan amnesti kepada 5 polisi yang terlibat terhadap penganiayaan yang menyebabkan kematian kepada Steven Biko. Dengan dasar bahwa amnesti merupakan suatu jalan menuju rekonsiliasi antara kedua kelompok (kulit Putih dan Kulit Hitam di Afrika) yang saat itu sedang menuju masa transisi rekonsiliasi. Ntsiki Biko, janda dari Steven Biko menilai kewenangan komisi tersebut memberikan amnesti adalah bertentangan dengan hukum internasional. Dalam pertimbangannya MK Afrika selatan berpolemik pada dua pilihan yakni menegakkan keadilan terhadap korban dari pelanggaran di masa lalu dan mewujudkan rekonsiliasi dan transisi yang cepat ke masa depan. Pada akhirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi memutuskan untuk menolak permohonan amnesti terhadap para pembunuh steven Biko.
Terkait dengan kewenangan pemberian amnesti oleh komisi kebenaran dan rekonsiliasi dapat ditelaah dari sudut pandang hukum internasional. terdapat kelompok yang mengutamakan Prinsip "outward looking" yang berpendapat bahwa semua ketentuan dari badan-badan internasional bersifat mengikat dan harus dilaksanakan, dan kelompok "inward looking" yang berpendirian bahwa keputusan-keputusan internasional memang perlu dihormati dan dilaksanakan akan tetapi diyakini bahwa negara-negara yang lemah ekonominya, disamping memenuhi hak politik, fokus utama perlu ditujukan pada pelaksanaan hak asasi pembangunan. Sebab hal ini merupakan prasyarat dari adanya suatu negara yang berdemokrasi.
Berikut akan dipaparkan beberapa contoh dan gambaran bagaimana beberapa negara-negara di dunia bergulat dengan permasalahan HAM dalam transisi politik yang terjadi di masing-masing negara. Secara garis besar negara-negara ini terbagi menjadi 2 kubu yakni negara-negara Amerika Selatan dan Negara-negara non-Amerika Latin.
1. Amerika Latin
situasi politik yang terjadi di beberapa negara Amerika Latin dalam masa pra transisi politik sering disebut dengan "otoriterisme Birokratik" yang mempunyai unsur-unsur patrimonialis atau bahkan sultanistis. Rezim somoza di Nikaragua adalah yang termasuk dalam kategori ini, sebagaimana pula rezim batista di Kuba, Rezim stroessner di Paraguay.
Dalam kasus Chile yang mana termasuk dalam kategori rezim birokratik otoriter, transisi yang terjadi disana sudah mulai mennuju kearah liberalisasi dan mulai terjadi keruntuhannya. Langkah yang dijalankan dalam mencapai liberalisasi di Chile telah tidak dimungkinkannya untuk kembali ke jalan rezim birokratik otoriter. Di Meksiko peran yang dimainkan oleh angkatan bersenjata dalam struktur kekuasaan politik cenderung lebih kecil, namun dari sektor rakyat dorongan ini begitu besar terhadap suatu transisi politik yang kerap terjadi disana. Hal ini disebabkan dari sejarah rezim meksiko yang khas sebagai suatu gerakan rakyat yang revolusioner.
2. Non Amerika latin
a. Yunani
Kejatuhan rezim otoriter Yunani pada tanggal 23 Juli 1974 telah membuka jalan bagi pendirian suatu pemerintahan yang demokratis. Karakteristik dari proses demokratisasi Yunani semenjak masa transisi tahun 1974, yakni adanya peranan sentral dari sistem kekuasaan kehakimannya untuk menyelesaikan kasus-kasus yang berhubungan dengan pihak masa lalunya yang otoriter.
b. Jerman dan Cekoslovakia
keadaan yang tak berbeda juga melanda Jerman dan Cekoslovakia yang juga mengalami masa rezim otoriterisme birokrat. Di masa transisi Jerman bersatu dan bekas negara Cekoslovakia berjuang dengan berbagai pendekatan untuk menghadapi warisan-warisa aparat keamanan yang represif. Dimana Polisi negara jerman timur telah melakukan pengawasan secara khusus terhadap sepertiga dari 18 juta warga negaranya.
TANGGAPAN
Terkait dengan di instusionalisasikannya, HAM pada pasca perang dunia II yang mana dicanangkan dalam Universal Declaration of Human Rights. Maka dapat diketemukan bahwa HAM secara mondial dan praktikal baru dikenal pada 2 abad belakangan ini, sebab dengan adanya pencanangan suatu deklarasi terhadap penghormatan dan perlindungan HAM di seluruh dunia menunjukkan bahwa dunia pada saat itu sedang mengalami krisis hak. Padahal sejatinya, secara teoritis dan immanen, HAM merupakan suatu hak yang melekat secara inheren sejak manusia itu dilahirkan. Hal demikian berlaku kepada setiap umat manusia dari semua generasi yang pernah hidup di bumi. Terdapat berbagai teori mengenai adanya keberadaan HAM ini. diantaranya yakni melalui pandangan hukum kodrat, yang mempostulasikan filsafat hukum kodrati yang terdahulu adalah ide bahwa posisi masing-masing orang dalam kehidupan ditentukan oleh Tuhan, tetapi semua orang apapun statusnya tunduk pada otoritas Tuhan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa bukan hanya kekuasaan raja saja yang dibatas oleh aturan-aturan ilahiah, tetapi juga bahwa manusia dianugerahi identitas individual yang unik, yang terpisah dari negara. Dari pernyataan yang terakhir dapat dipandang sebagai mengandung benih dari ide hak kodrati(a priori) yang menyatakan bahwa setiap orang adalah individu yang otonom. Jadi dapat disimpulkan pada dasarnya HAM adalah sudah lahir sejak manusia itu ada dan wajib dihormati dan dilindungi keberadaannya, bukan sejak HAM itu diinstitusionalisasikan kedalam suatu bentuk instrumen yang wajib ditaati dan dipaksakan kepada para negara yang meratifikasinya.
Persoalan mengenai Teori tiga generasi Karel Vassak, juga perlu mendapat perhatian secara dalam sebab dalam mengkategorisasi beberapa hak asasi terdapat landasan persepsi mengenai eksistensinya, nilai serta hubungan antara hak yang satu dengan yang lain, dan hubungannya dengan norma hukum pada umumnya akan menghasilkan konsekuensi-konsekuensi praktis terkait proteksi HAM. Permasalahan yang timbul dapat dikritisi melalui beberapa pertanyaan : apakah ketiga generasi hak itu adalah benar-benar "hak asasi manusia" dalam arti sesungguhnya? Jika ya, apakah semuanya sederajat atau malah adanya hubungan hierarkis diantara hak tersebut? Lalu, apa yang membedakan hak sipil dan hak politik dengan jenis hak lain? Apakah hak asasi manusia berbeda dari jenis-jenis hak lain? Apakah hak asasi dapat dihapuskan? Dapatkah eksistensi hak-hak itu dibuktikan secara objektif dalam segala peristiwa? Apakah pemahaman mengenai hak asasi manusia pada budaya yang berlainan benar-benar sama? Apakah HAM berdimensi universal atau relatif dari budaya yang mempengaruhinya? Siapakah yang berkewajiban "membuktikan" atau "menyangkal" eksistensi suatu hak?
Pertanyaan-pertanyaan diatas dapat dikerucutkan kedalam satu pertanyaan yang merupakan suatu kritisasi epistemologis mengenai bagaimanakah HAM itu mucul dan dapat dipertahankan? Sebab nantinya HAM inilah yang menjadi rujukan dunia untuk berlalu lintas hukum dalam konteks internasinal maupun domestik. HAM inilah yang melindungi segenap warga dunia atas suatu tindakan sewenang-wenangan dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Maka sangat perlu untuk dicermati, suatu konsepsi HAM yang mendasar dan dapat dipertahankan agar nantinya jika memang HAM ini merupakan suatu instrumen yang berguna dan baik untuk masyarakat dunia maka dapat melindungi dan memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat dunia.
Transisi politik dari sebuah negara dengan pemerintahan otoriter menuju negara dengan pemrintahanyang lebih demokratis di berbagai belahan dunia menyisakan beberapa persoalan pelik yang tidak mudah untuk diselesaikan.Samuel Huntington, menyebutkan ada dua masalah penting dalam transisi politik. Pertama, bagaimana pemerintahan baru mengatasi "masalah si penyiksa" yaitu bagaimana memperlakukan pejabat pejabat otoriter yang telah malanggar hak asasi manusia(HAM). Masalah kedua adalah bagaimana pemerintahan baru mengatasi "masalah praetorian" yakni bagaimana mengurangi keterlibatan militer dalam politik.
Sedang Alfred Stephan mengemukakan bahwa dalam sebuah rezim yang berada dalamproses demokraitsasi, tingkat kontestasi militer sangat dipengaruhi oleh sejauh mana terdapat petikaian besar atau ketidaksepakatan yang mendasar antara militer dalam pemerintahan yang baru dalam sejumlah isu penting. Salahs satu wilayah isu yang mengandung potensi konflik besar ialah bagaimana rezim baru menangani warisan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim otoriter masa lalu.
Dalam masa transisi politik yang rawan akan adanya pelanggaran HAM. Diupayakan dengan memberikan jalan keadilan kepada para korban dari pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintahan otoriterisme birokratis. Upaya ini dikenal dengan keadilan transisional. Yang mana konsepnya adalah tindakan untuk mewujudkan keadilan atas pelanggaran HAM di masa transisi bukan keadilan yang sedang mengalami transisi. Dengan adanya keadilan transisional ini, maka diharapkan adanya pemulihan hak-hak asasi yang telah dilanggar oleh para pemimpin-pemimpin rezim otoriteriseme birokratis pada zamannya.
Hubungan sipil-militer dalam konteks negara Indonesia di tengah iklim reformasi pada tahun 1999 mendapat sorotan yang tajam terkait fungsionalisasinya. Sorotan ini mengharuskan kalangan militer untuk meninjau kembali perannya dalam kehidupan sosial politik. Sebagai konsekuensinya, doktrin dwifungsi ABRI dipertanyakan kembali kesahihannya dan harus mengalami redefinisi, bahkan dituntut untuk dihapuskan. Proses menggugat kembali peran sosial politik kaum militer ini merupakan proses yang tidak mudah. Apalagi jika pada akhirnya harus menghapuskan dwifungsi ABRI untuk memberikan jalan bagi munculnya supremasi politik dari kalangan sipil.
Sikap dari kalangan sipil terhadap transisi politik dari otoriterisme menuju demokratisasi adalah mendesak dan menuntut berakhirnya peran-peran politik ABRI(militer) sesegera mungkin. Perubahan yang seringkali ditawarkan oleh kelompok sipil, misalnya atas dasar kajian Ulf Sundhausen, menjelaskan bahwa militer dimana pun dihadapkan pada empat pilihan: (1) mempertahankan kekuasaan dan membatasi partisipasi; (2) mempertahankan kekuasaan dan memperluas partisipasi; (3) mengembalikan kekuasaan sipil dan membatasi partisipasi; (4) mengembalikan kekuasaan pada sipil dan memperluas partisipasi.
Untuk mengurangi intervensi militer pad ruang-ruang publik dalam hal pengambilan keputusan politik, maka perlu diketahui secara normatif bagaimana fungsi asli militer dalam suatu negara demokratis. Dr. Dietrich memperkenalkan beberapa prinsip terkait dengan hal tersebut:
Militer merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif suatu tata kelola pemerintahan. Dengan demikian, militer merupakan elemen pemisahan kekuasaan dalam sistem politik yang demokratis, yang ditandai dengan pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Militer berada dibawah kepempimpinan politik yang telah disahkan secara demokratis, dengan jabatan menteri pertahanan dipegang oleh pihak sipil.
Militer mengikuti pedoman politik yang digariskan
Militer patuh dan tunduk pada hukum.
Militer dibatasi oleh tugas-tugas yang telah ditetapkan oleh konstitusi; secara reguler menjaga keamanan eksternal negara (dari serangan atau ancaman dari luar) dan menjaga pertahanan negara. Dalam kasus-kasus tertentu dengan situasi dan batas batas tertentu yang digariskan secara jelas. (Militer dapat dilibatkan) dalam upaya-upaya untuk menjaga keamanan internal negara dibawah komando polisi.
Militer bersifat netral dalam politik
Militer tidak dibenarkan memiliki akses untuk memperoleh dukungan-dukungan keuangan diluar anggaran pendapatan dan belanja negara.
Militer dikendalikan oleh parlemen, kepemimpinan politik, kekuasaan kehakiman, dan masyarakat sipil.
Militer memiliki tanggungjawab yang jelas berdasar keahlian profesional yang dimilikinya dan dengan itu memiliki harkat dan martabatnya.
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia[Human Rights], diterjemahkan oleh Hadyana Pudjaatmaka, (Jakarta:PT Grafiti, 1994), hal.36.
Ibid., hal 33
Budiman Tenuredjo, "Militer dan Penyelesaian Pelanggaran HAM era Soeharto,"(Tesis Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), Hal.1. Lihat juga Samuel Huntington, The third Wave: Democritazition in Late Twentieth Century
Ibid. Lihat pula Alfred Stephan, Rethinking Military Politics:Brazil and The Southern cone
Rizal Sukma dan J Kristiadi, Hubungan Sipil-Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia, (jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1999), hal. 60.
Ibid. Hal. 56.
Tim KontraS, Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia Catatan KontraS Paska Perubahan Rezim 1998, (Jakarta: KontraS, 1998), hal. 20-22