TINJAUAN YURIDIS PEMBENTUKAN PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA SEBAGAI SUATU PROSES POLITIK HUKUM
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Hukum
Dosen Pembina: Prof. Dr. I. Gede Pantja Astawa, S.H, M.H
Disusun oleh : Nin Yasmine Lisasih
110120100040
PROGAM MAGISTER ILMU HUKUM - HUKUM BISNIS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2010
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL............................................................................................... i DAFTAR ISI............................................................................................................ ii BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah............................................................................... 4 B. Perumusan Masalah...................................................................................... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 9 1. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)..........................
9
a) Pengertian Hak Asasi Manusia........................................................ 9 b) Hak-hak yang diproklamasikan dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia................................................................... 9 c) Hak-hak yang bersifat Derogable Rights dan Non derogable rights…………………………………………………………………… 10 2. Tinjauan Umum Tentang Pelanggaran HAM berat..............................
12
a) Pengertian pelanggaran HAM berat................................................ 12 b) Macam-macam pelanggaran HAM berat........................................ 13 3. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan HAM ad hoc.............................
14
a) Pengertian Pengadilan HAM.......................................................... 14 b) Pengertian Pengadilan HAM ad hoc..............................................
15
c) Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM ad hoc............................ 16 BAB III PEMBAHASAN......................................................................................
19
A. Latar belakang Pembentukan Pengadilan HAM dalam Penyelesaian Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Timor Timur................................................................................ 20 1. Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM.............................
20
2. Landasan Yuridis Terbentuknya Undang-Undang Pengadilan HAM...........................................................................
23
3
3. Legitimasi Berdirinya Pengadilan HAM Ad Hoc............................ 25 B. Tinjauan Yuridis Pembentukan Pengadilan HAM sebagai Suatu Proses Politik Hukum................................................................
30
BAB IV PENUTUP................................................................................................. 35 A. Simpulan...................................................................................................... 35 B. Saran............................................................................................................ 36 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................
3
37
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Satjipto Raharjo, politik hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan hukum dalam masyarakat. Politik hukum merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika masyarakat karena politik hukum diarahkan kepada ius constituendum, hukum yang seharusnya berlaku. Dalam konsep demokrasi, dengan memperhatikan dinamika masyarakat yang berkembang sejauh ini, beberapa hal mengharuskan penegakan HAM sebagai akibat dari perkembangan politik hukum yang terjadi, karena disanalah menjadi nilai penting sebagai salah satu penghargaan atas entitas manusia secara individual. HAM menjadi masalah yang cukup krusial dengan mempertimbangkan kecenderungan ancaman konflik dan kekerasan, yang didalam demokrasi selalu mengedepankan aspek itu. Namun, masalah HAM barangkali, kendatipun ada elemen muncul dari nilai yang diyakini sejauh ini relatif beririsan. Bisa seiring, tapi bisa pula bertubrukan. Permasalahan HAM ini menjadi permasalahan penting dalam politik hukum suatu negara. Sejak hukum membuat tradisi untuk dituliskan (written law), maka penafsiran terhadap teks hukum tidak dapat dihindarkan. Hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan tanpa ruang bagi penafsiran. Teks-teks itu ditafsirkan oleh karena ia merupakan “a finitive-closed scheme of permessible justification”, sedang alam dan kehidupan sosial itu bukan suatu “scheme” yang “finite closed”, melainkan terus berubah, bergerak secara dinamis. Saat ini tengah berkembang bahwa hukum harus dilihat sebagai bangunan rasional, yang memiliki metode rasional pula bagi upaya untuk mengembangkannya. Beberapa tokoh positivisme hukum seperti Hans Kelsen, John Austin, Lon Fuller, Hart, Ronald Dworkin dan
5
banyak lagi lainnya, mencoba membuat kerangka bangunan hukum yang serba tertib, teratur dan formal, dan struktur ilmu pun menjadi kaku dan bersifat positiflegalistik. Pandangan ini telah berkembang luar biasa masif, menghegemoni banyak pemikir hukum dan berakhir pada klaim absoluditas penjelasan yang dapat diterima. Realitas hukum termarjinalisasi dan pencarian kebenaran alternatif menjadi terhambat. Fenomena tersebut diatas ternyata juga terjadi di Indonesia, salah satunya adalah dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur pasca jajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999. Kasus Timor Timur bermula ketika Pemerintah Republik Indonesia (RI) mengeluarkan dua opsi pada tanggal 27 Januari 1999, yaitu menerima atau menolak otonomi khusus melalui jajak pendapat. Pada tanggal 5 Mei 1999 Pemerintah RI melakukan perjanjian dengan Portugal di New York di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tentang penyelenggaraan jajak pendapat di Timor Timur termasuk pengaturan pemeliharaan perdamaian dan keamanan di Timor Timur. Dalam Pasal 3 Perjanjian New York dinyatakan bahwa: “Pemerintah Indonesia akan bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan keamanan di Timor Timur agar penentuan pendapat dapat dilaksanakan secara adil dan damai dalam suasana yang bebas dari intimidasi, kekerasan dan campur tangan dari pihak manapun”. Hasil jajak pendapat menunjukkan sebagian besar rakyat Timor Timur memilih berpisah dari Indonesia. Setelah pengumuman hasil jajak pendapat, terjadi sejumlah tindak kekerasan yang menimbulkan korban jiwa maupun terjadinya kerusakan dalam skala besar terhadap rumah-rumah penduduk serta harta benda lainnya, bahkan terjadi pemindahan penduduk secara meluas. Berdasarkan hal-hal tersebut diduga telah terjadi pelanggaran berat HAM dan pelanggaran hukum humaniter. Menyikapi kekerasan yang terjadi di Timor Timur, pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB (DK PBB) 5
mengeluarkan Resolusi Nomor 1264 yang mengutuk tindak kekerasan yang terjadi di Timor Timur dan mendesak Pemerintah Indonesia mengadili pihakpihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan. Tak hanya itu, Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa pada tanggal 23-27 September 1999 menyelenggarakan special session mengenai situasi di Timor Timur. Special session tersebut menghasilkan Resolusi Nomor 1999/S-4/1 yang menuntut kepada pemerintah Indonesia, antara lain dalam kerja sama dengan Komnas HAM menjamin orang-orang yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan dan pelanggaran sistematis terhadap HAM akan diadili. Kemudian Pemerintah Indonesia melalui Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur (KPP-HAM) pada tanggal 22 September 1999 dengan masa kerja terhitung sejak 23 September 1999 hingga akhir Desember 1999, yang kemudian diperpanjang hingga 31 Januari 2000. Dalam laporan yang disusun di Jakarta pada tanggal 31 Januari 2000, KPPHAM menyatakan telah menemukan adanya pelanggaran berat HAM, yaitu mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, dan pemindahan paksa serta lain-lain tindakan tidak manusiawi terhadap penduduk sipil, ini adalah pelanggaran berat atas hak hidup, hak atas integritas fisik, hak atas kebebasan, hak akan kebebasan bergerak dan bermukim serta hak milik. Pada bagian kesimpulan, KPP-HAM menyatakan telah berhasil mengumpulkan fakta dan bukti yang menunjukkan indikasi kuat telah terjadi pelanggaran berat HAM yang dilakukan secara terencana, sistematis, serta dalam skala besar dan luas berupa pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan
terhadap
perempuan
dan
anak-anak,
pengungsian
paksa,
pembumihangusan dan perusakan harta benda yang kesemuanya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pemerintah Indonesia pun diminta untuk membentuk Pengadilan HAM yang berwenang mengadili perkara-perkara pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengacu pada
7
hukum nasional dan internasional, padahal pada saat itu Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak asasi manusia maupun pengadilan hak asasi manusia. Bahwa kemudian Pemerintah Indonesia menyusun dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada tanggal 23 September 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) pada tanggal 23 November 2000. Menurut Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, yang berwenang mengadili kasus pelanggaran HAM berat adalah Pengadilan HAM dan berada di lingkungan Peradilan Umum. Pembentukan Pengadilan HAM tersebut pada awalnya didasarkan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 yang mengatur tentang Pengadilan HAM, namun Perpu tersebut kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UndangUndang pengadilan HAM mengatur bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Ham ad hoc, dengan kata lain baik Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diberlakukan secara ex post facto. Pembentukan pengadilan HAM di Indonesia merupakan suatu proses politik hukum dalam pendiriannya. Adanya kemauan pemerintah bersama warga negaranya untuk mengadopsi nilai-nilai yang menjunjung tinggi HAM dalam setiap produk hukum yang dibuatnya. Oleh karena itu hukum sebagai produk politik, dalam arti politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan.. Berangkat dari terpenuhinya sistem hukum yang mengakomodir seperangkat peraturan perundang-undangan di bidang HAM tersebut (law making policy) maka terbentuk pula politik hukum pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan 7
mengenai HAM, salah satunya adalah Peradilan HAM., dalam kerangka membangun hukum Indonesia yang progresif dari rule of law menuju rule of social justice. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti dan menuangkan dalam paper dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PEMBENTUKAN PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA SEBAGAI SUATU PROSES POLITIK HUKUM“.
B. Rumusan Masalah Perumusan masalah digunakan untuk mengetahui dan menegaskan masalahmasalah apa yang hendak diteliti. Untuk
mempermudah dalam pembahasan
permasalahan yang akan diteliti maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah mekanisme proses pembentukan pengadilan HAM di Indonesia terkait kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur? 2. Bagaimanakah tinjauan yuridis pembentukan pengadilan HAM di Indonesia sebagai suatu proses politik hukum?
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
9
1. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi manusia a. Pengertian Hak Asasi Manusia Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 1 angka 1 BAB I tentang Ketentuan Umum, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Konsep hak-hak asasi manusia mempunyai dua pengertian dasar. Pertama, bahwa hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena ia seorang manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin martabat setiap manusia. Kedua, hak-hak menurut hukum yang dibuat sesuai dengan proses pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun internasional. Dasar dari hak-hak ini adalah persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga yang tunduk kepada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang merupakan dasar dari arti yang pertama. b. Hak-hak yang diproklamasikan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Hak-hak dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dapat dibagi dalam dua macam hak, yaitu: 1) Hak-hak yang berhubungan dengan hak-hak sipil dan politik
termasuk
hak
untuk
hidup,
kebebasan,
keamanan pribadi kebebasan dari penganiayaan dan perbudakan, partisipasi politik, hak-hak atas harta 9
benda, perkawinan dan kebebasan dasar untuk menyatakan pendapat, ungkapan, pikiran, suara hati dan
agama,
kebebasan
untuk
berkumpul
dan
bersidang. 2) Hak
ekonomi,
sosial
dan
kebudayaan
yang
berhubungan dengan pekerjaan, tingkat kehidupan yang pantas, pendidikan, kebebasan hidup berbudaya. Selain itu, pasal pertama dari Deklarasi menyatakan kemutlakan hak-hak itu dipandang dari sudut persamaan martabat manusia, Pasal 2 menyatakan hak semua orang atas hak yang telah ditetapkan tanpa diskriminasi apapun. Prioritas yang mendasari hak-hak yang diumumkan dalam deklarasi itu dimuat dalam Mukadimah Deklarasi, dimulai dengan pengakuan martabat dan hak yang sama dan yang tidak dapat dicabut dari semua anggota umat manusia. c. Hak-hak yang bersifat Derogable Rights dan Non Derogable Rights Istilah derogable rights diartikan sebagai hak-hak yang masih dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara dalam kondisi tertentu. Sementara itu istilah non derogable rights maksudnya adalah ada hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara, meskipun dalam kondisi darurat sekalipun. Dua kovenan penting tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yaitu Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik (SIPOL) dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOSBUD) sesungguhnya memuat jenis-jenis hak yang memiliki sifat berbeda dalam pelaksanaannya. Kovenan Hak SIPOL yang tergolong dalam non derogable rights diantaranya memuat hak-hak seperti: a) hak hidup; b) hak bebas dari perbudakan dan penghambaan;
11
c) hak untuk tidak dijadikan obyek dari perlakuan penyiksaan-perlakuan atau penghukuman keji; d) hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan tidak direndahkan martabatnya sebagai manusia; e) hak untuk mendapatkan pemulihan menurut hukum; f) hak untuk dilindungi dari penerapan hukum pidana karena hutang; g) hak untuk bebas dari penerapan hukum pidana yang berlaku surut; dan h) hak diakui sebagai pribadi didepan hukum; kebebasan berpikir dan berkeyakinan agama. Dengan demikian, tidak dibernarkan suatu negara manapun mengurangi, membatasi atau bahkan mengesampaikan pemenuhan dari hak-hak di atas. Jika pembatasan terpaksa harus dilakukan, hanya dan bila hanya syarat-syarat komulatif yang ditentukan oleh Kovenan tersebut dipenuhi oleh negara yang bersangkutan. Syarat komulatif yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1) sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara; 2) penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial; dan 3) pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sementara itu yang dimaksudkan sebagai hak yang bersifat dapat ditangguhkan atau dibatasi oleh negara pemenuhannya adalah yang dimuat 11
dalam Kovenan kedua, yaitu Kovenan Hak EKOSOSBUD. Diantaranya yang dimaksud sebagai derobagle rights adalah: (a) hak untuk bekerja; (b) hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan baik; (c) hak untuk membentuk dan ikut dalam organisasi; (d) hak mendapatkan pendidikan; (e) hak berpartisipasi dan berbudaya. Namun sama halnya seperti hak SIPOL, penangguhan atau pembatasan juga diperketat yaitu dalam hal pembatasan tersebut harus diatur oleh hukum dan dengan maksud semata-mata untuk memajukan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis (Pasal 4 Kovenan Hak Ekososbud). Oleh karena dua Kovenan di atas merupakan bagian dari The Internasional Bill of Rights yang bersifat universal dan berlaku sebagai hukum yang mengikat semua negara, maka suatu negara tidak bisa mengabaikan hak-hak warga negaranya hanya dengan dalih demi melindungi kepentingan umum, tanpa adanya aturan yang sudah dinyatakan sebelumnya dalam suatu UndangUndang yang berlaku efektif di negara tersebut. Terlebih lagi pemenuhan hakhak SIPOL, dimana jika salah satu atau dua syarat saja yang dijelaskan di atas terpenuhi, masih belum cukup kuat untuk dijadikan dasar bagi negara melakukan pembatasan dan penangguhan. 2. Tinjauan Umum tentang Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) Berat a. Pengertian Pelanggaran HAM Berat Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 1 angka 6, dinyatakan bahwa Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
13
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pasal 1 angka 2, yang dimaksud Pelangggaran Hak Asasi Manusia yang Berat adalah pelanggaran hak asasi mnusia sebagimana dimaksud dalam undang-undang ini, kemudian dalam pasal 7 dinyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. b. Macam-Macam Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) Berat. Macam-macam pelanggaran HAM berat dalam hukum positif nasional dan yang diatur dalam Statuta Roma 1998 terdapat perbedaaan, hal ini terjadi karena Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998, serta mengenai kejahatan perang dan kejahatan agresi masih terdapat perbedaan pendapat diantara negara-negara anggota mengenai pengaturannnya. 1) Jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dapat diketahui dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9. 2) Perbuatan tersebut adalah merupakan bagian dari serangan yang dilakukan secara meluas atau sistematik. 3) Serangan tersebut diketahui ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma 1998 (Rome Statute of the International Criminal Court), yang termasuk kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) berat (the most serious crimes) ada 4 macam, yaitu: 13
a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan; c. kejahatan perang; d. kejahatan agresi. Mengenai “Elements of Crime” dalam kejahatan genosida dan kejahatan kemanusian dalam Statuta Roma adalah sama dengan dengan “elements of crime” yang telah dijelaskan sebelumnya, karena Indonesia hanya mengadopsi ketentuan tersebut dari Statuta Roma 1998. 3. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan HAM AD HOC a. Pengertian Pengadilan HAM. Pengertian Pengadilan Hak Asasi Manusia atau Pengadilan HAM dalam Pasal 1 angka 3 adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat. Jika pengertian Pengadilan HAM pada Pasal 1 angka 3 dikaitkan dengan Pasal 2 yang menentukan bahwa Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum, dan Pasal 4 yang menentukan bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat, maka menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan Pengadilan HAM adalah pengadilan yang berada dilingkungan Peradilan umum yang hanya bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat saja. (R. Wiyono, 2006:9). Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 disebutkan
bahwa
dibentuknya
Pengadilan
HAM
dilaksanakan
atas
pertimbangan sebagai berikut: 1.
Pelanggaran HAM yang berat merupakan extra
15
ordinary crimes dan berdampak secara luas, baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasan tidak aman, baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi
hukum
untuk
mencapai
kedamaian,
ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. 2.
Terhadap perkara pelanggaran HAM yang berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan yang bersifat khusus, yaitu:
a. diperlukan penyelidikan dengan membentuk tim ad hoc, penyidikan ad hoc, penuntut umum ad hoc dan hakim ad hoc. b. diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh
Komnas
HAM,
sedangkan
penyidik
tidak
berwenangmenerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP. c. diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. d. diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi. e. diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagim pelanggaran HAM yang berat. b. Pengertian Pengadilan HAM Ad hoc
15
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak ada ketentuan yang menyebutkan pengertian dari Pengadilan HAM Ad hoc, tetapi jika ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 dikaitakan dengan Pasal 43 ayat (1) yang menentukan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad hoc. Dengan demikian dapat diketahui bahwa yang dimaksud Pengadilan HAM Ad hoc adalah pengadilan khusus yang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat, yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 pada tanggal 23 November 2000. c. Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM Ad hoc 1. Kewenangan Absolut a. Memeriksa dan memutus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakukanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 pada tanggal 23 November 2000. b. Memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat sesuai Pasal 7 Undang-Undang Pengadilan HAM yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Undang-undang Pengadilan HAM tidak memuat seluruh jenis pelanggaran HAM yang terdapat dalam Statuta Roma 1998, Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra (yang pada tahun 2001 masih menjabat
sebagai
Menteri
Kehakiman
RI)
memberikan
penjelasan mengenai beberapa pertimbangan yang ditempuh Pemerintah Indonesia: 1. Pertama, dua jenis pelanggaran HAM lainnya ( kejahatan perang dan agresi) sampai saat ini masih dalam perdebatan
17
negara anggota PBB dan Indonesia belum menentukan sikapnya secara tegas terhadap keduanya. 2. Kedua, Statuta Roma 1998 sudah diadopsi dalam Konferensi Diplomatik di Roma namun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998 sehingga tidak ada kewajiban pemerintah Indonesia untuk memenuhi seluruh ketentuan dalam Statuta Roma tersebut. Jika Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 mengadopsi sebagian ketentuan dalam Statuta Roma tersebut adalah dilatarbelakangi kepentingan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. 3. Ketiga, kepentingan pemerintah untuk mengundangkan UU nomor 26 tahun2000 didorong oleh kehendak untuk memenuhi prinsip Komplementaritas (complementarity principles) yang dianut oleh Statuta Roma 1998 tersebut sehingga dengan cara demikian Undang-undang nasional Indonesia (UU Nomor 26 tahun 2000) mengenai peradilan atas perkara Pelanggaran HAM Berat sudah memenuhi standar minimum hukum internasional tersebut. 4. Keempat, karena Statuta Roma 1998 tersebut merupakan perjanjian internasional yang tidak boleh direservasi sama sekal maka ratifikasi terhadap Statuta Roma tersebut berdampak mengikat secara penuh negara peratifikasi sehingga pemerintah Indonesia masih harus berhati-hati untuk meratifikasinya.
Untuk kepentingan Indonesia
kebijakan pemerintah yang telah mengadopsi beberapa prinsip dan ketentuan dalam Statuta Roma tersebut merupakan kebijakan yang dianggap tepat untuk saat ini dan tidak akan membahayakan kedaulatan negara RI. 2. Kewenangan relatif 17
Kompetensi relatif atau wewenang relatif, menjawab pertanyaan Pengadilan Negeri mana yang berwenang untuk mengadili perkara. Kewenangan Relatif atau kompetensi relatif dari Pengadilan HAM ad hoc adalah seperti yang ditentukan dalam Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, misalnya Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2000 yang diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001 telah dibentuk Pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam Keppres tersebut ditentukan bahwa Pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mempunyai wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dilli dan Soae pada bulan April 1999 dan bulan September 1999 dan yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984. Secara terinci berikut adalah pengadilan negeri yang memiliki kewenangan relatif mengadili pelanggaran HAM, yaitu: a. Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta pusat dengan daerah hukum meliputi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sumatra Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. b. Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan daerah hukum meliputi: Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur
dan
Daerah
Istimewa
Yogyakarta. c. Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makasar dengan daerah
hukum
meliputi:
Sulawesi
Selatan,
Sulawesi
19
Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Irian Jaya.
BAB III PEMBAHASAN A. Latar Belakang Mekanisne Proses Pembentukan Pengadilan HAM di 19
Indonesia Terkait Kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur. 1. Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM. Orde Baru yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) telah banyak dicatat
melakukan
pelanggaran-pelanggaran
HAM.
Orde baru
yang
memerintah secara otoriter selama lebih dari 30 tahun telah melakukan berbagai tindakan pelanggaran HAM karena perilaku Negara dan aparatnya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) dalam laporan tahunnya menyatakan bahwa pemerintah perlu menuntaskan segala bentuk pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia sebagai akibat dari struktur kekuasaan yang otoriter. Selanjutnya, pasca Orde Baru pelanggaran HAM yang berbentuk aksi kekerasan massa, konflik antar etnis yang banyak menelan korban jiwa dan pembumihangusan di Timor Timur pasca jajak pendapat menambah panjang sejarah pelanggaran HAM. Berbagai pelanggaran HAM yang terjadi belum pernah terselesaikan secara tuntas sedangkan gejala pelanggaran kian bertambah. Penyelesaian kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Papua dan kasus Pelanggaran HAM berat di Timor Timur selama pra dan pasca jajak pendapat belum ada yang terselesaikan. Atas kondisi ini sorotan dunia internasional terhadap Indonesia semakin menguat. Berdasarkan laporan hasil penyelidikan oleh Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP-HAM), telah ditemukan fakta, dokumen, keterangan dan kesaksian dari berbagai pihak yang mengarah pada tindakan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat HAM yang menjadi tanggung jawab negara (state responsibilities). Pelanggaran tersebut mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, pemindahan paksa dan lain-lain tindakan tidak manusiawi terhadap penduduk sipil. Berikut adalah fakta pelanggaran yang diperoleh KPP-HAM:
21
Tabel 1: Pelanggaran yang ditemukan oleh KPP-HAM Pelanggaran Pembunuhan massal sistematis
Penyiksaan penganiayan
Keterangan Terdapat cukup banyak keterangan dan bukti-bukti, dan telah terjadi berbagai tindak kekerasan dan upaya pembunuhan terhadap sejumlah orang atas dasar alasan-alasan politik maupun bentuk diskriminasi lainnya, berlangsung kejam dan brutal serta extra judicial. Kasus pembunuhan terjadi di pemukiman penduduk sipil, di gereja, termasuk di penampungan pengungsi di markas militer dan polisi. dan Hampir dalam setiap kasus tindak kekerasan yang dilakukan anggota TNI, Polri dan milisi terdapat bukti tentang penyiksaan dan penganiayaan terhadap penduduk sipil yang memiliki keyakinan politik berbeda. sebelum jajak pendapat, penganiayaan dilakukanoleh milisi tehadap warga sipil yang menolak untuk bergabung atau menjadi anggota milisi. Sesudah pengumuman jajak pendapat, penganiayaan merupakan bagian dari tindakan teror dan ancaman pembunuhan yang terjadi dalam setiap penyerangan, penyerbuan dan pemusnahan prasarana fisik termasuk berbagai kasus penyergapan terhadap iring-iringan pengungsi.
Penghilangan Paksa Penghilangan paksa terjadi sejak diumumkannya dua opsi. Warga penduduk sipil yang berseberangan keyakinan politiknya telah diintimidasi, diancam dan dihilangkan. Penghilangan paksa ini dilakukan oleh kelompokkelompok milisi yang diduga memperoleh bantuan dari aparat keamanan dengan cara menculik atau menangkap untuk kemudian beberapa diantaranya dieksekusi seketika. 21
Kekerasasn Berbasis Gender
Pembumihangusan
Kasus kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun KPP-HAM menyangkut penyiksaan, pemaksaan perempuan dibawah umur melayani kebutuhan seks para milisi, perbudakan seks dan perkosaan. Perkosaan tersebut memiliki bentuk:(a) seorang pelaku terhadap satu perempuan, (b) lebih dari satu pelaku terhadap satu perempuan, (c) lebih dari satu pelaku terhadap sejumlah perempuan secara bersamaan di satu lokasi, dan (d) penggunaan satu lokasi tertentu dimana tindak perkosaan dilakukan secara berulang kali. KPP-HAM di Timor Timur telah menemukan bukti bahwa telah terjadi suatu pengrusakan, penghancuran dan pembakaran secara massal, terencana dan sistematis di berbagai kota seperti Dili, Suai, Liquisa dan lainnya. Pembumihangusan ini dilakukan terhadap rumah-rumah penduduk, kebun dan ternak, toko, warung, penginapan, dan gedung-gedung perkantoran, rumah ibadah, sarana pendidikan, rumah sakit dan prasarana umum lainnya serta instalasi militer maupun polisi. Diperkirakan tingkat kehancuran mencapai 7080%.
Sumber: Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X tahun 2005 tentang KOMNAS HAM yang diterbitkan oleh ELSAM Kasus pembumihangusan di Timor Timur telah mendorong dunia internasional agar dibentuk peradilan internasional (international tribunal) bagi para pelakunya. Desakan untuk adanya peradilan internasional khususnya bagi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor Timur semakin menguat bahkan Komisi Tinggi HAM untuk hak-hak asasi manusia telah mengeluarkan resolusi untuk mengungkapkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Atas resolusi tersebut Indonesia secara tegas menolak dan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM
23
dengan menggunakan ketentuan nasional karena konstitusi Indonesia memungkinkan untuk menyelenggarakan peradilan hak asasi manusia. Mekanisme penyelesaian secara hukum atas pelanggaran berat HAM pada dasarnya mengacu kepada prinsip exhaustion of local remedies yang mengutamakan penyelesaian secara hukum di forum pengadilan nasional. Namun, fakor-faktor ketidakmauan dan ketidakmampuan dari Negara pelaku pelanggaran HAM berat dapat menyebabkan mekanisme internasional mengambil alih fungsi pengadilan nasional. Akan tetapi, faktor inability pada kenyataannya tidak secara otomatis menyebabkan penyelesaian dilakukan melalui mekanisme internasional, tetapi melalui hybrid tribunal yang merupakan internasionalisasi pengadilan nasional. Dengan demikian sistem hukum nasional tetap merupakan pilihan utama (primary fora) untuk menegakkan pertanggungjawaban tersebut. Hal ini sesuai dengan kewajiban negara untuk menegakkan prinsip supremasi hukum. Pertimbangan lain adalah kedekatannya dengan tempat, suasana dan iklim pada saat kejahatan terjadi, dan kedekatannya dengan pelaku serta korban. Tribunal ad hoc internasional sekalipun menggunakan istilah ‘primacy’ terhadap pengadilan nasional, pada dasarnya tetap memberikan kesempatan mengadili terlebih dahulu kepada sistem pengadilan nasional. Istilah yang digunakan dalam Preamble ICC lebih jelas yakni ‘complementary’. Meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa sistem pengadilan nasional tidak mungkin dapat menerapkan jurisdiksi atas semua kejahatan tanpa mempedulikan di mana kejahatan tersebut terjadi. Jurisdiksi nasional tersebut harus mentaati ketentuan-ketentuan baik yang diatur oleh hukum nasional maupun asas-asas hukum internasional. 2. Landasan Yuridis Terbentuknya Undang-Undang Pengadilan HAM Berdasarkan kondisi tentang perlunya instrumen hukum untuk berdirinya 23
sebuah pengadilan HAM secara cepat maka pemerintah menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Perpu ini telah menjadi landasan yuridis untuk adanya penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur oleh Komnas HAM. Karena berbagai alasan Perpu Nomor 1 Tahun 1999 kemudian ditolak oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang. Alasan mengenai ditolaknya Perpu tersebut adalah sebagai berikut: 1. Secara konstitusional pembentukan Perpu tentang Pengadilan HAM dengan mendasarkan pada Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang dijadikan dasar untuk mengkualifikasikan adanya kegentingan yang memaksa dianggap tidak tepat. 2. Substansi yang diatur dalam Perpu tersebut masih terdapat kekurangan atau kelemahan. Setelah adanya penolakan Perpu tersebut oleh DPR maka pemerintah kemudian mengajukan rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan HAM. Dalam Penjelasan pengajuan RUU tentang pengadilan HAM tersebut disebutkan sebagai berikut: a. Merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang mengembangkan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM yang ditetapkan oleh PBB, serta yang terdapat dalam berbagai instrument hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah ada atau diterima oleh Negara Indonesia. b. Dalam rangka melaksanakan Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. c. Untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan
25
ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia. Dari ketiga alasan di atas, landasan hukum bahwa perlu adanya pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM berat adalah alasan yang kedua dimana terbentuknya pengadilan HAM ini adalah pelaksanaan dari Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM berat dibentuk pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum, ayat (2) menyatakan “pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-Undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun”. Tidak sampai empat tahun, Undang-Undang yang khusus mengatur tentang Pengadilan HAM terbentuk yaitu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. 3. Legitimasi Berdirinya Pengadilan HAM Ad Hoc
Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan
sebelum
adanya
Undang-Undang
No.
26
tahun
2000.
Legitimasi atas adanya pengadilan HAM ad hoc didasarkan pada Pasal 43 Undang-Undang No. 26 tahun 2000 yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. (2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk 25
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. (3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana di maksud dalam ayat (1) berada di lingkunganPeradilan Umum. Dalam penjelasannya, DPR yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini. Pertimbangan hukum pembentukan pengadilan HAM yang tertuang dalam Undang-Undang Pengadilan HAM oleh Mahkamah konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 065/PUU-II/2004 Tentang Penerapan Asas Berlaku Surut Dalam Kasus Pelanggaran HAM Berat yang dimohonkan oleh Abilio Jose Osorio Soares, didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut: Pertama, untuk menjawab sejumlah persoalan HAM yang selalu berulang (recurrent) yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu yang relatif lama sehingga pengadilan HAM ini diharapkan dapat menyelesaikan sejumlah persoalan HAM masa lalu agar tidak selalu menjadi ganjalan yang tidak terselesaikan; Kedua, untuk menjawab sejumlah persoalan yang bersifat kontemporer atau muncul sebagai ”burning issues” yang berdimensi luas mengingat Indonesia tidak dapat mengisolasi dirinya dari sejumlah persoalan hak asasi manusia yang dihadapi oleh bangsa-bangsa didunia sebagai persoalan kolektif hak asasi manusia kontemporer; Ketiga, untuk memberdayakan institusi-institusi hak asasi manusia dalam menjawab sejumlah persoalan HAM di masa kini dan masa mendatang.
27
Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang pengadilan HAM tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM berat. Dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur pengadiln HAM ad hoc yang terbentuk melalui mekanisme sebagai berikut: a. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1), Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM juga sesuai dengan Perpu No. 1 Tahun 1999, dalam Perpu tersebut dinyatakan pihak yang berwenang melakukan penyelidikan adalah Komnas HAM. Komnas HAM lalu membentuk KPP-HAM yang memiliki ruang lingkup tugas yaitu mengumpulkan fakta dan mencari berbagai data, informasi tentang pelanggaran HAM di Timor Timur. Dengan memberikan perhatian khusus pada pelanggaran berat HAM antara lain genocide, massacre, torture, enforced displacement, crime against woman and children. Menyelidiki tingkat keterlibatan aparatur Negara dan atau badan nasional dan internasional lain dalam pelanggaran HAM di Timor Timur. b. Hasil penyelidikan tersebut diserahkan kepada Kejaksaan Agung dan jika sudah lengkap, maka atas dasar ketentuan Pasal 21 ayat (1), Jaksa Agung selaku penyidik menindaklanjuti hasil penyelidikan dengan melakukan penyidikan. c. Hasil penyidikan menunjukkan adanya cukup alat bukti bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat, maka diserahkan kepada Presiden. d. Presiden mengirimkan surat kepada DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah membentuk pengadilan ham ad hoc. e. DPR sependapat dengan Jaksa Agung, maka DPR mengajukan usul 27
Komnas Ham
Jaksa Agung
penyelidikan
penyidikan
kepada
Presiden
presiden
untuk
DPR
dikeluarkan
Keputusan
Presiden
tentang
pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Setelah melalui proses persetujuan DPR dari hasil usulan sidang Pleno DPR melalui Keputusan DPR-RI No. 44/DPR-RI/III/2001 tanggal 21 Maret 2001. f. Presiden mengeluarkan Keppres yang melandasi dibentuknya pengadilan HAM ad hoc. Presiden mengeluarkan dua buah Keppres yaitu Keppres No. 53 Tahun 2001 dan Keppres No.96 Tahun 2001. Keluarnya dua buah Keppres ini karena Keppres No. 53 Tahun 2001 oleh Pemerintah dianggap mempunyai wilayah yurisdiksi yang terlalu luas (tidak membatasi secara spesifik baik wilayah maupun waktunya). Kemudian wilayah dan waktu ini dipersempit dengan Keppres No.96 Tahun 2001 dan yurisdiksi menjadi tiga wilayah yaitu wilayah Liquica, Dili, dan Suai dengan batasan waktu antara bulan April sampai dengan September 1999 (penyempitan yurisdiksi ini menimbulkan konsekuensi yaitu kasus pelanggaran HAM dalam rentang pasca jajak pendapat tidak semuanya dapat diungkap, termasuk para pelakunya sehingga kesempatan untuk membuktikan adanya unsur sistematik dan meluas sedikit banyak terhalang). Surat ke DPR 1
2
3
Penuntutan 6
4 5
Rekomendasi
29
Pengadilan HAM ad hoc
Keppres Pengadilan HAM ad hoc Gambar.2 Skema alur pengadilan HAM ad Hoc
Dari proses menuju pengadilan HAM ad hoc ini, sorotan yang paling tajam adalah adanya kewenangan DPR untuk dapat mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc. DPR sebagai lembaga politik dianggap sebagai pihak yang dapat menentukan untuk mengusulkan adanya pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM yang berat di masa lalu karena pelanggaran HAM yang berat tersebut lebih banyak bernuansa politik. Adanya ketentuan ini dianggap sebagai kontrol atas adanya pengadilan HAM ad hoc, dimana pengadilan ini tidak dapat terbentuk bila tanpa adanya rekomendasi atau usulan dari DPR secara implisit sama halnya dengan memberikan kewenangan kepada DPR memandang pelanggaran HAM berat dalam konteks politik.
II.
Tinjauan Yuridis Pembentukan Pengadilan HAM sebagai Suatu Proses Politik Hukum. HAM yang melekat pada manusia secara kodrati merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yamng Maha Esa dan merupakan anugeah-Nya yang wajib dihormati, dijujung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang. Hak-hak 29
ini tidak dapat diingkari oleh siapapun juga. Pengingkaran terhadap hak prinsipil tersebut berarti mengingkari martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itulah baik negara, pemerintah maupun organisasi apapun harus mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada tiap manusia tanpa terkecuali. Hal ini mengandung maksud bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bemasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di Indonesia pembahasan mengenai HAM terdapat dalam UUD 1945 Pasal 28 A – 28 J (Bab X A), Ketetapan MPR RI Nomor.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi manusia dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang kemudian diikuti oleh asas-asas hukum internasional seperti Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi-konvensi Internasional yang telah diratifikasi dalam bentuk UU seperti UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, sebagai salah satu contohnya. Penegasan mengenai HAM dalam setiap bentuk peraturan perundangundangan Indonesia seperti disebut di atas, merupakan terdapatnya politik hukum pemerintah dalam melaksanakan nilai-nilai esensial yang terkandung di dalam HAM. Pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang otoriter kepada sistem pemerintahan yang cenderung demokratis saat ini dapat telihat dengan jelas dari karakteristik produk hukum yang dihasilkannya. Hal ini dapat dijelaskan dalam konfigurasi politik dan produk hukum bahwa dalam sistem yang demokratis maka menghasilkan produk hukum yang berkarakter responsif1. Produk hukum yang responsif ialah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya 1 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta : LP3ES Inonesia, 2001) hal 15
31
memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutantuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat2. Pernyataan bahwa “hukum adalah produk politik” adalah benar jika didasarkan pada Das Sein dengan mengonsepkan hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorang pun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar. Dalam konsep dan konteks inilah terletak kebenaran pernyataan bahwa ”hukum merupakan produk politik”3 Roscoe Pound dan Von Savigny masing-masing mengatakan bahwa “law is a tool of social engineering” (hukum determinan atas masyarakat) dan “society changes,so does law as well”
(masyarakat determinana atas hukum).
Hal
tersebut menegaskan bahwa hukum dapat berubah-ubah sesuai dengan apa yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Demikian pula halnya yang terjadi pada salah satu bidang peegakan hukum, dimana adanya keinginan masyarakat baik nasional atau internasional untuk segera memiliki atau membentuk institusi peradilan yang khusus mengenai masalah HAM di wilayah Indonesia. Politik hukum HAM merupakan kebijakan hukum (legal policy) tentang HAM yang mencakup kebijakan Negara tentang bagaimana hukum tentang HAM itu telah dibuat dan abagiamana pula seharusnya hukum tentang HAM itu dibuat untuk membangun masa depan yang lebih baik, yakni kehidupan Negara yang bersih dari pelanggaran-pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh 2 Ibid, hal. 25 3 Dikemukakan oleh Prof. Koesnoe dalam ceramah Ilmiah di Fakultas Hukum UII, Yigyakarta. 5 Juni 1981 (tanpa menyebut sumber)
31
penguasa4. Dengan demikian, UU Nomor 26 Tahun 2000 merupakan pengganti dari Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tentang hal yang sama, maka ada beberapa hal pertimbangan Pemerintah dalam penyusunan tentang RUU Pengadilan HAM, antara lain adalah sebagai berikut : Pertama, merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian merupakan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjujung tinggi dan melaksanakan Delarasi Universal HAM yang ditetapkan PBB., serta yang terdapat dalam berbagai instrument hukum lainnya yang mengatur mengenai HAMyang telah dan atau diterima oleh Negara Republik Indonesia. Kedua, dalam rangka melaksanakan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hal ini mengingat kebutuhan yang sangat mendesak, baik ditinjau dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan Internasional, maka segera dibentuk Pengadilan HAM sebagai Pengadilan khusus untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat. Ketiga untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan ketertiban, termasuk perkonomian nasional. Keberadaan Pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepecayaaan masyarakat dan duinia Internasional terhadap penegakana hukum dan jaminana kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia5. Bila diamati lebih lanjut maka berdasarkan segala pertimbangan tersebut, pada prinsipnya dapat disimpulkan perlu membentuk suatu pertauran perundang4 Moh. Mahfud. MD, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu Politik Hukum yang disampaikan dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Islam Indonesia (UII) (Yogyakarta 23 Sepember 2000), hal. 4 5 Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, Catatan dan Gagasan :Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, (Tim Pakar Hukum Departeman Kehakiman dan HAM, 2002) Hal. 75-77
33
undangan yang mengakomodir mengenai institusi peradilan khusus yang bersifat permanen dalam mengangani masalah pelanggaran HAM (Pengadilan HAM). Ha ini sangat penting untuk menjaga reformasi dalam langkah demokrasi politik ke depan yang dapat diwujudkan dari politik hukum pemerintah, dimana salah satunya merevisi perundnag-undnagan di bidang kehakiman dan pemberlakuan UU HAM dan Pengadilan HAM6. Oleh sebab itu jika dikaitkan dengan politik hukum, maka dalam sistem yang demokratis akan menghasilkan produk yang responsif, hal ini dikarenakan politik hukum lahir dari suatu tatanan Negara yang ingin lebih demokratis maka menghasilkan produk hukum yang lebih responsive salah satunya dibentuk UU mengenai HAM, Pengadilan HAM dan KKR.
6 Ramli Hutabarat, ”Pemerintahan Soeharto secara Konstitusional hanya berlangsung 1966-1998 , http://hukumonline.com/detailasp?id=9553&d=Berita, diakses tanggal 10 Sepember 2005
33
BAB IV. PENUTUP A. Simpulan 1. Prinsip tanggung jawab Negara merupakan prinsip dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa suatu Negara memiliki tanggung jawab apabila melanggar kewajiban internasional baik untuk berbuat sesuatu maupun tidak berbuat sesuatu. Bentuk penerapan tanggung jawab Negara atas pelanggaran berat HAM dapat dilakukan melalui forum pengadilan di tingkat nasional maupun
internasional.
Mekanisme
penyelesaian
secara
hukum
atas
pelanggaran berat HAM pada dasarnya mengacu kepada prinsip exhaustion of local remedies yang mengutamakan penyelesaian secara hukum di forum pengadilan nasional. Namun, fakor-faktor ketidakmauan dan ketidakmampuan dari Negara pelaku pelanggaran HAM berat dapat menyebabkan mekanisme internasional mengambil alih fungsi pengadilan nasional. Dalam penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM Timor Timur, Indonesia menunjukkan memiliki kemauan dan kemampuan untuk menyelesaikan kasus tersebut melalui mekanisme pengadilan nasional dengan membentuk Pengadilan HAM ad hoc berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diberlakukan surut. 2. Pembentukan hukum mengenai Pengadilan HAM merupakan upaya membangun hukum yang responsif dimana didahului dengan demokratisasi dalam kehidupan politik sebab setiap karakter produk hukum sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang menghasilkannya. Pembentukan Peradilan HAM secara menyeluruh dipertimbangkan berdasarkan adanya
35
desakan perubahan masyarakat , baik nasional maupun internasional dalam memahami suatu keberadaan institusi yang menangani masalah HAM, Pelanggaran HAM merupakan bentuk kejahatan luar biasa, Hukum Acaranya memerlukan penanganan khusus, Pelaksanaan dari tindak lanjut UU Nomor 39 tahun 1999 dan mengembalikan kepercayaan masyarakat dan internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian HAM di Indonesia. B. Saran 1. Penerapan prinsip tanggung jawab Negara atas pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam hukum internasional, pelaksanaannya sangat bergantung dari kemauan Negara yang menjadi pelanggarnya. Oleh karena itu, agar penerapan prinsip tanggung jawab Negara dapat mengikat secara hukum diperlukan instrument hukum yang lebih mengikat dalam bentuk perjanjian internasional atau treaty. 2. Pemerintah segera menyidangkan perkara-perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu, melakukan rekonsiliasi nasional mengenai pemberian pengampunan atas segala pelanggaran yang terjadi di masa lalu serta menghindari terulangnya/terjadinya pelanggaran HAM berat. Apabila terjadi kembali, ancaman hukuman seberat-beratnya dapat diberikan tanpa pandang bulu (equality before the law).
35
DAFTAR PUSTAKA Buku Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009 Prof. Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2008 Moh. Mahfud. MD, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu Politik Hukum yang disampaikan dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Islam Indonesia (UII) (Yogyakarta 23 Sepember 2000). Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, Catatan dan Gagasan :Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, (Tim Pakar Hukum Departeman Kehakiman dan HAM, 2002) Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Stelsel pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana). PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2002. Ahmad Gunawan dan Mu’ammar Ramadhan. Menggagas Hukum Progresif Indonesia. Semarang: Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo Semarang dan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. 2006. Andrey Sujatmoko. Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM Indonesia, Timor Leste, Dan Lainnya. Gramedia. Jakarta. 2005. Anthon Freddy Susanto. Semiotika Hukum (Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna). PT Refika Aditama. Bandung. 2005. Antonius Sujata. Reformasi dalam Penegakan Hukum. Djambatan. Jakarta. 2000. Barda Nawawi Arief. Kapita Selekta Hukum Pidana.. Citra Aditya Bakti.Bandung. 2003. C. De Rover. To serve & To Protect Acuan Universal Penegakan HAM. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2000.
37
Henry Campbell Black, Joseph R. Nolan, Jacqueline M. Nolan. Black’s Law Dictionary With Pronounciations. ST Paul, Minn West Publishing. USA. 1990. Human Rights Watch. Genosida Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Saripati kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda) Jilid I. Elsam. Jakarta. 2007. Johnny Ibrahim. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayumedia Publishing. Malang. 2006 Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung. 2009 Muladi. Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat). Refika Aditama. Bandung. 2005. I Wayan Parthiana. Hukum Pidana Internasional Dan Ekstradisi. CV. Yrama Widya. . Bandung. 2004. Masyhur Effendi. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM). Ghalia Indonesia. Bogor. 2005. Nyoman Serikat Putra Jaya. Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2008. Otje Salman dan Anton F. Susanto. Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka kembali). Refika Aditama. Bandung. 2005 P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1997 Peter Mahmud Marzuki.. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2006 R. Wiyono. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2006. Majalah, Makalah dan Jurnal Edy Herdyanto. “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Sebagai Alternatif lain dalam 37
Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu”. Majalah Hukum Yustisia. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2005. Muladi. “Mekanisme Domestik Untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat Melalui Sistem Pengadilan Atas Dasar Undang-Undang No. 26 Tahun 2000”. Makalah Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). 2005. Satjipto Rahardjo. Reformasi Menuju Hukum Progresif. Jurnal Rekonstruksi Indonesia. Edisi No. 53/XXVII/III/2004. 2004.
UNISIA:
Sriyana. “Komisi Nasional Hak Asasi Manusia”. Makalah Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). 2005. Zainal Abidin. “Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia”. Makalah Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). 2005. Internet Ramli Hutabarat, ”Pemerintahan Soeharto secara Konstitusional hanya berlangsung 1966-1998 , http://hukumonline.com/detailasp?id=9553&d=Berita, diakses tanggal 10 Sepember 2005 Backil. Pengantar Ilmu Hukum. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugasmakalah/pengantar-ilmu-hukum/makalah-pengantar-ilmu-hukum. [7 November 2009 pukul 20.00] Budi Santoso. Evaluasi Kritis Atas Kelemahan UU Peradilan HAM. http://pusham.uii.ac.id/upl/article/id_budi%20santoso.pdf. [3 Februari 2010 pukul 11.15 WIB] Isharyanto. Tuntutan Dan Kebijakan Penyelesaian Kasus-Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Kerangka Transisi Ke Demokrasi Di Indonesia.http://isharyanto-hukum.com/Tuntutan_Penyelesaian_Kasus. [18 Januari 2010 pukul 14.30 WIB]. Laode Muh. Syahartian. Mengkritisi Undang-Undang Pengadilan HAM Pasca Bebasnya Eurico Gueteres. http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/04/12/mengkritisi-uu-pengadilanham-pasca-bebasnya-eurico-gueteres/. [3 Februari 2010 pukul 11.00 WIB]
39
Yuzril Ihza Mahendra. Pelanggaran HAM Berat dan Pengadilan HAM Ad hoc.http://legalitas.org. [7 November 2009 pukul 20.45 WIB] Peraturan Perundang-undangan dan Instrumen Hukum Internasional Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 Batang Tubuh Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 26 Tahun 200 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (Iinternational Covenan on Civil and Political Rights) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Konvensi Amerika tentang Hak-hak Asasi Manusia Konvensi tentang Tidak Dapat Ditetapkannya Pembatasan Statuta pada Kejahatan Perang dan Kejahatan kemanusiaan Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional Piagam PBB (UN Charter), Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986
39