BAB I PENDAHULUAN
Hirschsprung’s Hirschsprung’s-associated -associated enterocolitis (HAEC) enterocolitis (HAEC) adalah salah satu komplikasi yang paling penting dari Hirschsprung’s disease. Hirschsprung’s disease pertama pertama kali diperkenalkan oleh Harold Hirschsprung pada tahun 1886, dan pada saat yang sama HAEC juga disebutkan sebagai komplikasi paling rumit dari Hirschsprung’s disease1,2. Hirschsprung’s disease terjadi pada satu dari 5000 kelahiran. Penyebab penyakit ini multifaktorial, dan dapat bersifat familial maupun berkembang secara spontan. Hirschsprung’s disease juga lebih sering s ering ditemui pada laki-laki dibanding pada perempuan3. Penyakit ini disebabkan oleh kegagalan sel ganglion untuk bermigrasi secara sefalokaudal melalui neural crest selama minggu keempat sampai kedua belas kehamilan. Hal ini menyebabkan adanya sebagian atau seluruh, umumnya, usus besar yang tidak memiliki sel saraf ganglion. Bagian distal kolon dengan panjang yang beragam akan gagal untuk melakukan relaksasi, menyebabkan obstruksi kolon fungsional seiring dengan berjalannya waktu. Segmen aganglionik biasanya dimulai di anus dan memanjang ke bagian proksimal. Hirschsprung’s disease segmen pendek paling sering ditemui dan menghuni bagian rektosigmoid kolon. Hirschsprung’s disease segmen panjang mengenai lebih dari bagian rektosigmoid dan dapat memperngaruhi keseluruhan kolon. Hal yang jarang terjadi adalah terlibatnya usus besar dan usus kecil3. Kebanyakan pasien yang dirawat karena Hirschsprung’s disease tidak mengalami komplikasi. Namun, sekitar 10% pasien dapat mengalami konstipasi, dan kurang dari 1% dapat mengalami inkontinensia fekal. Seperti yang telah disebutkan di atas, enterocolitis, selain ruptur kolon, adalah komplikasi paling serius dari
1
penyakit ini dan merupakan penyebab tersering dari kematian terkait Hirschsprung’s disease3,4. Insidensi terjadinya penyakit ini bervariasi. Kessmann pada tahun 2006 menyebutkan bahwa enterocolitis terjadi pada 17 sampai 50% bayi dengan Hirschsprung’s disease dan paling sering disebabkan oleh obstruksi intestinal dan residu usus aganglionik. Pasien harus selalu dimonitor ketat secara berkelanjutan untuk kemungkinan enterocolitis dikarenakan infeksi ini pernah dilaporkan baru terjadi 10 tahun setelah pembedahan. Namun, kebanyakan kasus enterocolitis pascaoperasi
terjadi
dalam
dua
tahun
pertama
dari ileo-anal pull-through
anastomosis3.
2
BAB II PATOGENESIS
A. DEFINISI DAN GAMBARAN UMUM
Hirschsprung’s disease merupakan penyakit malformasi kongenital pada hindgut yang dikarakterisasi oleh tidak adanya sel ganglion intrinsic parasimpatik pada pleksus submukosal dan mienterik. Pada kebanyakan kasus, diagnosis penyakit ini ditegakkan pada bayi baru lahir dikarenakan obstruksi intestinal dengan tampakan sebagai berikut: (1) terlambat keluarnya mekonium (lebih dari 24 jam setelah lahir); (2) distensi abdominal yang diperingan dengan simulasi rektal atau enema; (3) muntah, dan; (4) enterocolitis neonatal. Beberapa pasien didiagnosis setelah melalui masa infansi atau usia dewasa dengan konstipasi berat, distensi abdominal kronis, muntah, dan gagal berkembang5.
Gambar 1.
Tanda dan gejala pada Hirschsprung’s disease6.
3
Deskripsi pertama dari Hirschsprung’s-associated enterocolitis dilakukan oleh Bill dan Chapman pada tahun 1962. Pada serial laporan awal kasus ini dilaporkan angka kematian mencapai 33% pada bayi dengan enterocolitis yang terjadi sebelum tindakan operasi. Literatur-literatur yang ada selanjutnya menunjukkan bahwa enterocolitis dapat terjadi sebelum maupun setelah tindakan operasi definitif 7. Insidensi enterocolitis sebelum diagnosis Hirschsprung’s disease ditegakkan berkisar antara 15 sampai 50%, dengan angka kematian mencapai 20 sampai 50%. Setelah dilakukannya pembedahan rekonstruksi insidensi enterocolitis berkisar antara 2 sampai 33%, dengan angka kematian antara 0 sampai 30%7. Enterocolitis didefinisikan sebagai kondisi klinis dengan diare, muntah, distensi abdominal, pireksia, nyeri kolik abdomen, letargi, dan keluarnya feses dengan darah1.
Gambar 2. Gejala
pada HAEC3
Kejadiran diare merupakan hal patogmonik pada HAEC, dan dilaporkan kejadian ini terjadi hingga 93% pasien. Sulit makan pada bayi juga dapat menjadi gejala awal pada HAEC. Pada kondisi yang telah lanjut syok dapat terjadi3,4,8. Tampakan klinis dapat bersifat sangat fulminan dengan progresi yang cepat, syok dan prostrasi, dan kematian. Enterocolitis dapat terjadi bahkan bertahun-tahun
4
setelah pembedahan. Tampakan klinis enterocolitis dapat berkembang menjadi perforasi kolon jika penanganan segera tidak dilakukan4. B. PATOFISIOLOGI
Terlepas dari beragam investigasi dan penelitian, pemahaman yang penuh mengenai etiologi HAEC masih belum ada. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyumbatan usus yang disebabkan oleh Hirschsprung’s disease dan perubahan lainnya yang terjadi akibat penyakit ini membuat bakteri tumbuh lebih cepat sehingga menyebabkan proses infeksi dan peradangan1,8,9.
Gambar 3. Kelainan
usus pada HAEC8
Beragam teori telah dikemukakan untuk menjelaskan terjadinya penyakit ini termasuk dilatasi fisik usus proksimal, variasi komponen dan produksi musin, rotavirus, Clostridium difficile, peningkatan aktivitas prostaglandin E1, defek imunitas mucosal, reaksi tipe Schwartzman, gangguan motilitas yang berhubungan dengan defisiensi sucrose-isomatase dan sensitisasi protein. Penelitian lain memperdebatkan bahwa penelitian histologis dan imunologis telah mengindikasikan
5
bahwa beberapa pasien lebih rentan untuk mengalami HAEC berulang dikarenakan oleh peradangan persisten di dalam usus, atau defisiensi imun baik lokal ataupun sistemik dengan fungsi sel darah putih yang sud ah tidak efektif 1. Beberapa teori patogenesis terjadinya HAEC adalah sebagai berikut:
Bill dan Chapman (1962) mengemukakan bahwa dilatasi mekanik usus proksimal menghasilkan tumpukan dan stasis feses, dilatasi ini lebih lanjut akan menyebabkan iskemia mukosal dan invasi bakterial yang dapat ditangani dengan cara colostomy. Namun teori ini gagal menjelaskan mengenai enterocolitis yang terjadi pada kolon distal dengan penurunan fungsi stoma proksimal dan terjadinya enterocolitis pada pasien pascaoperasi atau enterocolitis dengan bukti histologis pada usus aganglionik. Dalam teori ini penting untuk mengingat bahwa semakin panjang segmen usus aganglionik, maka semakin besar risiko untuk terjadinya HAEC1.
Di tahun 1973 Ament dan Bill mempresentasikan kasus anak laki-laki berusia 6 tahun dengan enterocolitis kronis setelah pembedahan untuk Hirschsprung’s disease. Penyelidikan klinis menunjukkan adanya defisiensi sucroseisomaltase dan pasien mengalami pembaikan dengan diberikannya diet rendah sukrosa. Hal ini menimbulkan postulasi bahwa HAEC non-obstruksi disebabkan oleh kesalahan metabolism congenital. Penting untung diingat bahwa ras-ras tertentu, seperti Eskimo pada kasus ini, memang memiliki intoleransi sukrosa1.
Berry dan Fraser pada tahun 1968 memikirkan bahwa HAEC dimulai dengan reaksi sensitisasi yang serupa dengan Shwartzman reaction yang disebabkan oleh invasi organism intraluminal terhadap submukosa1.
Pada salah satu laporan kasus mengenai Hirschsprung’s enterocolitis dengan diare tidak responsif fulminan oleh Llyod-Still dan Demers menunjukkan nilai PgE1 yang tinggi. Sebagai respons terhadap kolestiramin, terdapat penurunan 12 kali lipat prostaglandin E (Pg E)
pada cairan colostomy. Hal ini
6
mempostulasikan bahwa peningkatan aktivitas PgE, enterotoksin, dan malabsorpsi asam empedu dapat terlibat pada HAEC1.
Pada 1988 Wilson-Storey mempostulasikan bahwa fungsi sel darah putih yang tidak efektif dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya HAEC. Penelitian ini menemukan adanya neutropenia relatif pada HAEC yang signifikan secara statistik jika dibandingkan dengan HD maupun kontrol1.
Blood group-associated antigen Le b normalnya terdapat pada kolon fetus dan tidak
ada
pada
usus
normal
yang
memiliki
ganglion.
Fujimoto
mendemonstrasikan bahwa ekspresi yang kuat Le b ditemukan sepanjang kripta usus yang tidak memiliki ganglion. Hal ini dapat mengindikasikan proliferasi dari sel kripta imatur atau mukosa kolon tidak mengalami maturasi dan mukosa tetap berada pada tahapan fetus. Hal ini mempostulasikan adanya abnormalitas epitelium yang mendasar pada HAEC yang dapat lebih bersifat kausatif dibandingkan efek dari penyakit1.
Teori lain berfokus pada peran peningkatan dan perubahan mukus intestinal. Secara klinis, sejumlah besar mukus diproduksi pada kondisi HAEC. Hal ini berujung pada spekulasi bahwa mucus adalah faktor patogenik pada HAEC. Akkary pada tahun 1981 melakukan penelitian yang menghasilkan penemuan kenaikan yang bermakna pada mukus yang mengandung sulfat dan sebagian besar sel goblet mengandung mukus yang lebih sedikit terutama pada kasus dengan diare yang berat. Dari hal ini dipostulasikan bahwa peningkatan stimulasi bakteri menghasilkan baik penurunan pembaruan sel mukosa dan peningkatan sulfatisasi mukus menyebabkan abnormalitas rasio mukus. Perubahan
rasio
ini
menghasilkan
peningkatan
perlekatan
organism
enteropatogen ke enterosit.perubahan mukus ini juga dapat merubah kerentanan degradasi bakterial. Secara keseluruhan hal ini tidak membuktikan bahwa perubahan mukus dikarenakan oleh kondisi aganglionik yang mendasari atau merupakan hasil dari enterocolitis. Namun data-data ini
7
mendukung konsep bahwa variasi mukus adalah ekspresi dari sawar mukosa yang mengalami perubahan dan proses aganglionik itu sendiri1.
IgA menyediakan sawar imunologi utama pada traktus gastrointestinal. Albanese et al menunjukkan bahwa IgA ini mengikat bakteri dan mencegah translokasi bakteri. Turnock et al dalam penelitiannya menemukan bahwa fungsi dan formasi IgA pada pasien HAEC adalah normal di dalam sel, namun terdapat defisiensi dalam transfer immunoglobulin menuju lumen untuk membantu mukus sebagai garis depan respons imunologi1.
Suzuki et al melakukan penelitian dengan mencit sebagai model untuk Hirschsprung’s disease segmen panjang dan menemukan bahwa terdapat peningkatan
pada
jumlah
makrofag
di
tunika
muskularis.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa makrofag memiliki peranan penting pada peradangan tunika muskularis pada mencit. Peradangan ini akan menghasilkan gangguan pada ritmisitas pergerakan usus. Hal ini selanjutnya dapat menyebabkan stasis dan pertumbuhan bakteri1. Banyaknya teori yang dikemukakan menunjukkan bahwa etiologi dari penyakit ini bersifat multifaktorial. Beberapa dari teori-teori ini memiliki bukti ilmiah yang lebih dibandingkan yang lainnya namun teori-teori ini lebih sering dijadikan satu tanpa klarifikasi lebih lanjut1. Faktor risiko terjadinya penyakit ini di antaranya:
Hirschsprung’s disease yang tidak terdiagnosis dengan baik – kondisi ini biasanya terdiagnosis pada saat balita, namun pada beberapa kasus dapat baru terdiagnosis pada usia yang lebih tua.
Pull-through surgery, merupakan pembedahan untuk menangani Hirschpr ung’s disease. Area k olon yang bermasalah dibuang, dan kemudian kolon yang sehat disambungkan dengan rektum.
8
Down syndrome, HAEC terjadi pada 50% kasus D own syndrome yang memiliki Hirschsprung’s disease.
Bagian panjang kolon yang terkena Hirschsprung’s disease. Risiko HAEC menjadi lebih besar bila dengan semakin panjangnya segmen usus yang terkena Hirschsprung’s disease8,10.
9
BAB III EVALUASI KLINIS
Adanya tanda dan gejala serta riwayat medis yang mengarah pada terjadinya HAEC cukup sebagai dasar untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Namun terkadang tanda dan gejala ini juga bisa terlihat tidak spesifik sehingga salah diartikan sebagai gastroenteritis. Hal ini akan berujung dengan kesalahan diagnosis dan penundaan penanganan yang sebenarnya10.
Gambar 4. Daftar
panduan diagnosis HAEC11
10
Beberapa ahli mengatakan bahwa HAEC hanya terbatas pada segmen aganglionik, sementara lainnya beranggapan bahwa tampakan histologis HAEC mempengaruhi baik segmen aganglionik maupun ganglionik 11. Gambar 3 memuat hasil dari konsensus para ahli melalui metode Delphi mengenai kriteria HAEC yang telah terstandarisasi. Panel ini memuat 38 kriteria potensial yang meliputi riwayat, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologis, dan penemuan patologi. Sama seperti penelitian lainnya, kriteria yang mendapat kredit terbesar adalah diare, feses eksplosif, distensi abdominal, dan bukti radiologis dari obstruksi usus atau edema mukosa11. Walaupun kriteria ini sangat membantu dan tervalidasi dalam lingkup penelitian, tidak disarankan untuk menggunakan kriteria ini dalam keadaan manajemen klinis. Diagnosis klinis HAEC membutuhkan pemeriksaan pasien yang teliti, dan dapat melibatkan aspek yang tidak tercantum dalam kriteria. Interpretasi penemuan klinis dan radiologis yang termasuk di dalam skoring sering bersifat subjektif. Akhirnya, kebanyakan klinisi lebih cenderung untuk melakukan diagnosis yang berlebihan mengenai HAEC. Hal ini dikarenakan dirasa lebih aman untuk merawat anak yang mungkin saja tidak memilki HAEC dibandingkan jika pada akhirnya diketahui bahwa anak tersebut menderita HAEC11. Tes laboratorium darah rutin, elektrolit, dan kultur darah untuk melihat adanya infeksi dapat dilakukan. Pemeriksaan rontgen abdomen dan endoskopi dilakukan untuk memfasilitasi visualisasi kondisi traktus digestivus. Jika terdapat pasien yang telah menjalani pull-through surgery untuk mengobati penyumbatan usus, pasien harus dimonitor dengan ketat untuk terjadinya tanda dan gejala HAEC. Walaupun kebanyakan kasus HAEC terjadi dalam 2 tahun pertama setelah pembedahan, komplikasi ini dapat terjadi hingga 10 tahun setelah pembedahan. Jika dicurigai terjadinya HAEC, pemeriksaan barium enema yang biasa dilakukan dalam langkah diagnosis Hirschsprung’s disease harus dihindari, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya perforasi usus yang dapat disebabkan o leh barium enema4,8.
11
BAB IV TATA LAKSANA
A.
PENANGANAN
Untuk kasus yang ringan, biasanya hanya diperlukan antibiotik spektrum luas oral seperti metronidazol dan irigasi rektal. Untuk kasus yang serius, selain irigasi rektal akan diberikan antibiotik intravena, keseimbangan elektrolit juga perlu diperhatikan. Irigasi rektal beberapa kali sehari menggunakan kateter yang dengan lembut dimasukkan hingga mencapai kolon, kemudian larutan salin dialirkan melalui kateter ini. Ketika larutan mengalir keluar, aliran ini juga memberi akses bagi gas dan feses untuk keluar dari rektum. Larutan normal salin (10 sampai 15 cc/kgBB) dialirkan melalui kateter dan mampu mengeluarkan sekitar 10 sampai 15 cc inkremen. Pembedahan jarang dibutuhkan sebagai penanganan dari kasus HAEC3,8. B.
KOMPLIKASI
Koreksi pembedahan Hirschsprung’s disease biasanya dilakukan di usia awal kehidupan. Beberapa prosedur operasi telah dibuktikan efektif. Seiring dengan populasi yang mengalami pembedahan bertambah dewasa, komplikasi jangka panjang juga dapat diamati. Baik konstipasi dan inkontinensia fekal telah dikenali sebagai masalah kronik pada sejumlah pasien. Frekuensi enterocolitis yang terjadi pascaoperasi dengan metode pembedahan transanal endorectal pull-through (TEPT) pada penelitian yang dilakukan Saleh et al (2009) lebih sedikit daripada yang dilaporkan sebelumnya, hal ini disebabkan oleh bagian seromuscular cuff yang pendek, coloanal anastomosis yang rendah, dan kebijakan dilatasi anal pascaoperasi rutin pada neonatus dan infan13. Beberapa peneliti melaporkan bahwa kejadian enterocolitis sebelum operasi akan menaikkan secara signifikan kemungkinan enterocolitis pascaoperasi. Hal ini dikarenakan oleh faktor imun yang menjadi predisposisi pada pasien Hirschsprung’s disease yang menjadikannya lebih rentan terhadap kejadian enterocolitis13.
12
Penelitian yang dilakukan oleh Menezes & Puri (2006) menyimpulkan bahwa pasien HAEC berlanjut untuk memiliki gangguan usus sampai bertahun-tahun setelah terjadinya penyakit ini. Beberapa pasien berlanjut mengalami soiling , dan sekitar 14% masih mengalami episode enterocolitis berulang. Jika dibandingkan kepada pasien Hirschsprung’s disease tanpa enterocolitis, pasien dengan enterocolitis secara statistic signifikan menunjukkan fungsi usus yang jauh lebih buruk 12. C.
PENCEGAHAN
Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya HAEC pada anak setelah dilakukannya pembedahan, irigasi rektal dapat dilakukan setelah pull-through surgery. Pentingnya dekompresi rektal ini telah diketahui dengan baik selama ini, penelitian yang dilakukan oleh Marty et al (1995) menunjukkan bahwa irigasi rektal pascaoperasi rutin5. Peran penggunaan antibiotik oral (seperti Bicillin) dalam mencetuskan enterocolitis masih diperdebatkan dalam literatur; beberapa serial mendukung peran etiologi, sementara literatur yang lain tidak mempercayai adanya hubungan antara kejadian ini dengan penggunaan antibiotik oral5. Diagnosis yang cepat, irigasi rektal, dan pembentukan stoma merupakan factor krusial dari pencegahan morbiditas yang berat yang berhubungan dengan HAEC14. Setelah diagnosis dan pembedahan keluarga harus diberikan konseling mengenai pentingnya diet berserat tinggi karena konstipasi dan stasis usus diperkirakan memperbesar risiko terjadinya infeksi usus berulang3. Probiotik, seperti Lactobacillus GG casei juga dapat digunakan dengan prinsip profilaksis untuk meningkatkan ekspresi molekul epitel yang berfungsi menurunkan translokasi bakteri1.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Murphy, F., & Puri, P. (2005). New insights into the pathogenesis of Hirschsprung ’ s associated enterocolitis. Arbor Ciencia Pensamiento Y Cultura, 773-779. doi:10.1007/s00383-005-1551-1 2. Swenson, O. (2002). Hirschsprung’s disease: A review. Pediatrics. doi:10.1542/peds.109.5.914 3. Kessmann, J. (2006). Hirschsprung’s Disease: Diagnosis and Management. Am Fam Physician, 74:1319-22,1327-28. 4. Nurko, Samuel, (n.d.). Hirschsprung’s disease, 1-10. 5. Amiel, J., Sproat-Emison, E., Garcia-Barcelo, M., Lantieri, F., Burz ynski, G., Borrego, S., Pelet, a, et al. (2008). Hirschsprung disease, associated syndromes and genetics: a review. Journal of Medical Genetics, 45(1), 114. doi:10.1136/jmg.2007.053959 6. Izadi, M., Mansour-Ghannaei, F., Jafarshad, R., Bagherzadeh, A. H., Tareh, H., (2007). Clinical manifestations of Hirschsprung’s disease: A 6year course review on admitted patients in Guilan, north Province of Iran, 25-31. 7. Marty, B. T. L., Seo, T., Sullivan, J. J., Matlak, M. E., Black, R. E., & Johnson, D. G. (1995). Rectal Irrigations for the Prevention of Postoperative Enterocolitis in Hirschsprung’s Disease. Journal of Pediatric Surgery, 30(5), 652-654. 8. Kerr, S. J. (2012). Hirschsprung’s-associated Enterocolitis. EBSCO Publishing Society, 1-3. 9. Fragoso, A. C., Campos, M., Soares-oliveira, M., & Carvalho, L. (2006). An approach to minimize postoperative enterocolitis in Hirschsprung ’ s disease. Journal of Pediatric Surgery, 1704-1707. doi:10.1016/j.jpedsurg.2006.05.041 10. Murthi, G.V.S. & Raine, P.A.M. (2003). P reoperative Enterocolitis Is Associated With Poorer Long-Term Bowel Function After Soave -Boley Endorectal Pull-Through for Hirschsprung’s Disease. Seminars in Pediatric Surgery, 69-72. doi:10.1053/jpsu.2003.50013 11. Pastor, A. C., Osman, F., Teitelbaum, D. H., Caty, M. G., & Langer, J. C. (2009). Development of a standardized definition for Hirschsprung ’ sassociated enterocolitis : a Delphi analysis. Journal of Pediatric Surgery, 44(1), 251-256. Elsevier Inc. doi:10.1016/j.jpedsurg.2008.10.052 12. Menezes, M., & Puri, P. (2006). Long-term outcome of patients with enterocolitis complicating Hirschsprung ’ s disease. Pediatric Surgery International , 316-318. doi:10.1007/s00383-006-1639-2 13. Saleh, A.M., Hasan, A., Wesam, A., Amr, A., (2009). Hirschsprung’s Disease: Early and Late Outcome after Correction by Transanal Pull through. Annals of Pediatric Surgery, 5(1), 27-30.
14
14. Ruttenstock, E., & Puri, P. (2010). Systematic review and meta-analysis of enterocolitis after one-stage transanal pull-through procedure for Hirschsprung ’ s disease. Journal of Pediatric Surgery, 1101-1105. doi:10.1007/s00383-010-2695-1
15