0
Ngainun Na'im, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Teras, 2009), hal:1
Kata Hadis ini,_dengan menggunakan ejaan berakhiran huruf "s", bukan "ts", telah terserap ke dalam lingkup Bahasa Indonesia dengan pengertian sabda, perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi Muhammad saw. yg diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam; atau bisa diartikan sumber ajaran Islam yg kedua setelah Alquran. Lihat dalam Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online 1.1
Lihat dalam: Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012), hal: 1-2
TM. Hasbi Al-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hal: 1
Kata fa haddits dalam ayat tersebut dimaknai sebagai: berita, informasi yang disebarkan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Imam Jalal al-Diin Al-Mahalli dan Al-Imam Jalal al-Diin Al-Suyuthi dalam Tafsir Beliau. Penggunaan kata Hadits telah terlihat dalam beberapa bentuk yang bervariatif. Lihat: Jalal al-Diin Al-Mahalli dan Jalal al-Diin Al-Suyuthi, Tafsir al-Qur'an al-'Adziim (--:Dar al-Fikr), Hal: 441
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (--: Wizarah Auqof al-Mishriyyah), Juz IX hal:267, CD Maktabah Syameela: Ishdar II
Mahmud Al-Thahan, Taisir Mushthalahu al-Hadits (Kuwait:--, 1415 H) Hal: 17
Muh Mahfudz bib Abdillah At-Tirmisiy, Manhaj Dzawi al-Nadzr (Jeddah: al-Haramain, 1974), hal: 8
Dari keterangan Imam Suyuthi,terlihat bahwa perbedaan Ulama' terkait definisi Hadits telah berlangsung sejak dahulu. Keterangan lebih lengkap bisa diperiksa dalam: al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalaniy, Nuzhat al-Nadzar fi Taudlihi Nukhbati al-Fikar fi Mushthalahi Ahli al-Atsar, (Maktabah Misykah: dalam CD Maktabah Syameela Ishdar II). Berikut kutipan dalam: Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi Taqriib Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996), hal: 11-12
وأمَّا الحديث فأصله: ضد القديم, وقد استعمل في قليل الخبر وكثيره, لأنَّه يحدث شيئا فشيئا.وقال شيخ الإسلام ابن حجر في «شرح البخاري»(م 6): المُراد بالحديث في عُرف الشَّرع ما يُضَاف إلى النَّبي - صلى الله عليه وسلم - , وكأنَّه أُريد به مُقَابلة القُرآن لأنَّه قديم.وقال الطيبي: ال ديث أعم من أن يكُون قول النَّبي - صلى الله عليه وسلم - والصَّحابي والتابعي وفعلهم وتقريرهم.وقال شيخ الإسلام في «شرح النُّخبة»: الخبر عند عُلماءِ الفن مُرادف للحديث, فيُطْلقان على المَرْفُوع, وعلى الموقوف والمقطُوع.وقيل: الحديث ما جَاء عن النَّبي - صلى الله عليه وسلم - , والخبر ما جاء عن غيره, ومن ثَمَّ قيل لمن يشتغل بالسُّنة: مُحدِّث, وبالتواريخ ونحوها: أخباري. وقيل: بينهما عُموم وخصوص مُطلق, فكل حديث خبر, ولا عكس. وقيل: لا يُطلق الحديث على غير المرفوع إلاَّ بشرط التقييد.وقد ذكر المُصنِّف في النَّوع السابع: أنَّ المُحدِّثين يُسمُّون المرفوع والموقُوف بالأثر، وأن فُقهاء خُراسان يُسمُّون الموقوف بالأثر, والمرفوع بالخبر, ويُقال: أثرت الحديث, بمعنى رويتهُ, ويُسمَّى المُحدِّث أثريًا نسبة للأثر.
Muhammad bin Mukarram bin Mandzur, Lisan al-'Arab (Beirut: Dar Shadir, tt)
Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)
Sebagaimana dikutip Aqib Muslim dalam: Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis: Kajian Hstoris Metodologis (Kediri: STAIN Kediri Press,2010), hal:5. Periksa Juga dalam: Muhammad Alwi Al-Maliki, Al-Manhallu al-Lathiifu fi Ushuuli al-Hadiitsi al-Syariifi, terj. Adnan Qohar (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal: 4-5
Muhammad Alwi, Al-Manhallu,… hal: 4
Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi Taqriib Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996), hal: 11-12
Periksa lebih Lanjut dalam: Muhammad Alwi Al-Maliki, Al-Manhallu al-Lathiifu fi Ushuuli al-Hadiitsi al-Syariifi, terj. Adnan Qohar (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009); Subhi Shalih, Al-Hadits wa Mushtalahuhu,…; Manna Khalil Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdlol A. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), hal: 23-25
Abd al-Haq al-Dahlawi, Muqaddimah fi Ushuli Al-Hadits (Beirut: Dar al-Basya'ir Al-Islamiyyah,1986), cet. II, hal 34-36, CD Maktabah Syameela Ishdar II
Mahmud, Taisir…, Hal: 17
Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)
Dzikri Nirwana, "Rekonsepsi Hadis Dalam Wacana Studi Islam: Telaah Terminologis Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar", Jurnal Edu-Islamika, Vol. 3 No.1 Maret 2012
ibid
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin M (Bandung: Pustaka, 1984), hal: 69
Matan adalah isi dari sebuah hadits.
Rawi adalah orang yang meriwayatkan Hadits, orang yang menyampaikan hadits hingga sampai kepada kita.
Sanad adalah silsilah atau rantai periwayatan mulai dari rawi yang pertama hingga terakhir.
Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis: Kajian Historis Metodologis (Kediri: STAIN Kediri Press,2010), hal: 19-22
Periksa lebih lanjut dalam: Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi Taqriib Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996), hal: 11-12
TM Hasbie Ash-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Hadis (Semarang: Pustaka Rizki Putra,1997), cet 1.
HADITS, SUNNAH, ATSAR, KHABAR DAN HADITS QUDSI (Kajian tentang Similasi dan Distingsi Terminologis serta Implikasinya dalam Kajian Pendidikan Islam)
MAKALAH
Dipresentasikan pada Diskusi Mata Kuliah
Studi Al-Qur-an dan Al-Sunnah
Pada Tanggal 24 Nopember 2013
Oleh:
AKHID NASRULLOH
Dosen Pengampu:
Dr. As'aril Muhajir, M.Ag
INSTITUT AGAMA ISLAM TRIBAKTI (IAIT) KEDIRI
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2013
Pendahuluan
Dalam Agama Islam dikenal dua sumber utama yang menjadi acuan dalam menjalankan ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan segala hal yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW yang lebih sering disebut sebagai Hadits. Al-Qur'an merupakan sumber pertama dan utama dalam kajian Islam. Sedangkan Hadits merupakan sumber kedua dalam ajaran Islam. Kedua sumber penting itu merupakan pegangan hidup umat Islam, yang jika dipegang secara teguh, maka akan mampu menghindarkan dari ketersesatan, baik di dunia maupun di akhirat.
Sebagai sebuah sumber hukum yang penting bagi umat Islam, hadits telah dikaji berkali-kali oleh umat Islam dari masa ke masa. Dalam kajian Hadits, terdapat berbagai macam diskursus yang menarik, terutama terkait peristilahan yang digunakan untuk menyebut segala hal yang merupakan sabda Nabi SAW, perilaku beliau, persetujuan beliau atas sebuah peristiwa maupun respon-respon beliau terhadap kondisi masyarakat sekitar. Maka seringkali disebutkan dalam literatur-literatur kajian Hadits istilah seperti Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar maupun Hadits Qudsi. Akan tetapi seringkali ditemukan, penggunaan istilah-istilah tersebut masih terkesan menyamakan antara Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar maupun Hadits Qudsi. Istilah-istilah tersebut dipergunakan secara acak yang terkadang menimbulkan pertanyaan terkait apakah istilah-istilah tersebut berbeda ataukah sama.
Dalam dunia pendidikan Islam, istilah-istilah tersebut dipergunakan begitu saja. Dalam buku-buku atau kitab-kitab keIslaman, juga seringkali menggunakan istilah tersebut secara acak. Jika melihat implikasinya secara sekilas barangkali tidak terlalu berarti. Akan tetapi ketiadaan penegasan itu barangkali akan menimbulkan pemahaman yang tumpang tindih yang pada kelanjutannya akan mengaburkan dalam proses kajian keIslaman. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Na'im yang menyatakan bahwa hal yang paling utama dan pertama dilakukan dalam sebuah kajian adalah mengetahui terhadap apa yang dikaji. Memahami tentang istilah yang dikaji memiliki arti penting untuk tercapainya kejelasan orientasi dan penentuan langkah strategis. Di samping itu finalisasi dalam aspek terminologis keilmuan Hadits tidak akan didapatkan apabila tidak ada kepastian dalam membedakan peristilahan-peristilahan tersebut. Oleh karena itu, tulisan ini setidaknya akan ikut andil dalam menggali aspek kronologis penyebutan varian istilah hadits tersebut.
Oleh karenya, Makalah ini kurang lebih akan mengulas tentang beberapa hal seperti: pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar, dan Hadits Qudsi; Perbedaan Ulama' tentang definisi masing-masing istilah itu; perbedaan diantara ke lima hal itu; dan Implikasi penggunaan varian istilah Hadits dalam kajian pendidikan Islam.
Pembahasan
Hadits
Istilah Hadis atau Hadits seringkali dimaksudkan untuk menunjukkan hal-hal yang terkait dengan diri Nabi Muhammad SAW, baik yang berbentuk perbuatan, sabda (perkataan), persetujuan maupun hal-hal lain yang lebih luas. Akan tetapi tidak sedikit pula yang menyebut hal itu dengan istilah sunnah. Inilah yang selalu menjadi perbincangan "wajib" dalam setiap literatur-literatur studi hadits.
Beberapa literatur yang membahas tentang hadits, selalu memulai mengartikan istilah Hadits dari tinjauan kebahasaan (etimologi). Barang kali ini menjadi sangat urgen mengingat bahwa setiap kata yang menjadi istilah pasti memiliki asal-usul penggunaan sebelum kata tersebut berkembang dan menyempit maknanya dalam peristilahan keilmuan tertentu. Kata Hadits (dalam teks arab: حديث) dalam tinjauan kebahasaan (etimologis), memiliki kemiripan arti dengan kata: حدث – يحدث – حدوثا – وحداثة yang dalam penjelasan Abdul Majid memiliki beberapa makna seperti baru (al-jiddah), lemah lembut (ath-thariy), dan bermakna berita, pembicaraan atau perkataan (al-khabr wa al-kalaam). Oleh karenanya dari makna khabr (berita) inilah Hasbi Al-Shiddiqiy berpendapat bahwa makna itu sering dihubungkan dengan kata tahdits yang berarti periwayatan atau ikhbar yang berarti penyampaian berita. Betatapun konten sebuah hadits dimodifikasi, di dalamnya tetap terdapat unsur ikhbar (mengabarkan) ataupun tahdits (mengucapkan dalam rangka memberitahukan). Penggunaan kata Hadits dalam berbagai konteks kalimat dan berbagai arti ini juga dapat dilacak dalam beberapa ayat Al-Qur-an seperti pada surat Adl-Dhuha ayat 11:
"Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan"
Penggunaan kata Hadits tersebut juga terdapat dalam sabda Nabi SAW seperti misalnya pada sabda Nabi Muhammad SAW:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ - قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ- نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثاً فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَحْفَظُ لَهُ مِنْ سَامِعٍ.
Dari Abdurrahman bin Abdulloh bin Mas'ud dari ayahnya, dari Nabi SAW, bahwa ayahnya tersebut berkata: "Abdul Razaq berkata saya mendengar Rasululloh SAW bersabda: " semoga Allah memberikan cahaya pada orang yang mendengar hadits dari saya, kemudian menghafalkannya lalu menyampaikannya, maka banyak orang yang menyampaikan itu lebih hafal daripada orang yang (hanya) mendengar (HR. Ahmad)
Penggunaan kata Hadits dalam beberapa ayat Al-Qur-an dan Teks Hadits tersebut pada akhirnya juga menjadi sandaran beberapa pakar hadits untuk menguatkan argumen-argumen mereka tentang terminologi hadis.
Ketika segala hal yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW ini menjadi objek kajian keilmuan dalam disiplin ilmu Musthalah al-Hadits, maka terdapatlah varian definisi yang bermunculan untuk mengurai hakikat "hal-hal yang datang atau disandarkan pada Nabi Muhammad SAW". Maka dalam literatur studi Hadits terdapat beberapa definisi tentang Hadits. Misalnya definisi Hadits yang diungkapkan oleh Muhadditsin (ulama' hadis) seperti:
Dr. Mahmud Al-Thahan:
ما اضيف الى النبي من قول اوفعل او تقرير او صفة
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, yang meliputi perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat.
Syaikh Mahfudz At-Turmusiy (Syaikh Mahfudz Termas, Pacitan)
ان الحديث لا يختص بالمرفوع اليه صلى الله عليه وسلم بل جاء بالموقوف وهو ما اضيف الى الصحابي والمقطوع وهو ما اضيف للتابعي
"Bahwa Hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu', yaitu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW; melainkan juga bisa berupa sesuatu yang mauquf yaitu yang disandarkan kepada shahabat dan juga bisa sesuatu yang maqtu' yaitu yang disandarkan kepada tabi'in"
Syaikh Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuthi yang mengutip dari Syaikhul Islam Ibnu Hajar, bahwa Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam uraiannya, Imam Suyuthi memaparkan bahwa memang terjadi berbagai macam pengertian hadis. Bahkan dari macam-macam definisi tersebut terkesan meniadakan perbedaan antara istilah-istilah tersebut. Semuanya, baik itu hadits, atsar maupun maupun khabar memang memiliki sisi kemiripan.
Akan tetapi dari kesemua definisi hadis yang telah dipaparkan di atas, walaupun ada perbedaan pemaparan, tetapi semuanya memiliki substansi yang sama, yaitu sebuah hal yang penyandarannya diarahkan kepada Nabi SAW. Selain itu titik kesamaan lainnya adalah bahwa substansi dari definisi tersebut mengarah kepada sebuah objek kajian. Dalam arti setiap definisi di atas selalu mengisyaratkan kepada sebuah hal yang disandarkan pada seseorang, yang itu menjadi objek kajian. Dan pada kenyataannya memang para ahli Hadits menggunakan redaksi ma udlifa, atau ma jaa'a, ma utstsiro ilaihi dan sejenisnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa apa yang menjadi objek kajian ilmu hadits adalah sesuatu yang disandarkan, yang pada kelanjutannya memerlukan proses untuk memastikan bahwa apa yang disandarkan itu benar atau tidak, berkualitas atau tidak, dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, dan lain sebagainya.
Sunnah
Dalam tinjauan kebahasaan sunnah berarti jalan, perjalanan atau kebiasaan, baik itu positif maupun negatif. Dalam ayat-ayat Al-Qur-an maupun Hadits, juga sering dijumpai kata sunnah yang diartikan secara bervariatif. Seperti misalnya pada surat An-Nisa' ayat 26:
"Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana"
Dalam ayat tersebut kata Sunnah (sunana) berarti jalan-jalan (banyak jalan), sesuai dengan arti secara kebahasaannya. Hal yang serupa juga bisa ditemui dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Jarir ibn Abdillah:
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
"Barangsiapa membuat inisiatif yang baik, ia akan mendapatkan pahala dan pahala orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang; dan barangsiapa membuat inisiatif yang jelek, ia akan mendapatkan dosa dan dosa-dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang (HR. Muslim)
Sedangkan sunnah menurut perspektif terminologi, terdapat beberapa definisi yang di paparkan oleh para Ulama' Hadits. Ambillah contoh Ajjaj Al-Khatib maupun Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki yang menjelaskan sunnah dalam 3 sudut pandang, yakni:
Sunnah menurut sebagian Muhadditsin: "Segala apa yang dinisbatkan kepada Rasululloh baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, karakter fisik dan etika, ataupun kebiasaan-kebiasaan Nabi SAW baik sebelum diangkat menjadi utusan-seperti berhannuts-nya beliau di gua Hira- maupun setelah diangkat menjadi rasul."
Sementara menurut Muhadditsin yang lain, Sayyid Muhammad menjelaskan bahwa "sunnah itu termasuk segala sesuatu yang dihubungkan kepada para sahabat atau tabi'in, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir ataupun sifat-sifatnya".
Sunnah menurut Ushuliyyin: "Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur-an, baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang patut dijadikan dalil dalam penetapan hukum agama (syari'at)"
Sunnah menurut Fuqaha': "Segala sesuatu yang telah dipastikan berasal dari Nabi SAW yang bukan merupakan hal fardlu juga bukan hal yang wajib"
Sudut pandang dalam definisi di atas sudah sangat bisa dimaklumi mengingat bahwa masing-masing ulama' berangkat dari sudut pandang keilmuan masing-masing. Keilmuan Ushul Fiqh memang menuntut adanya dalil yang bisa dan layak untuk dijadikan dasar menentukan hukum. Sementara keilmuan fiqh memang memiliki peristilahan tersendiri yang itu berkaitan dengan bobot sebuah perintah (amr), apakah itu wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Sementara muhadditsin juga tidak seragam dalam memberikan definisi terhadap sunnah, meskipun pada dasarnya tetap saja memiliki substansi yang sama.
Dalam sebuah perbandingan, banyak juga para ahli hadits yang mencoba menjelaskan definisi sunnah dengan menghadapkannya pada lawan kata sunnah yaitu bid'ah. Dengan kata lain, Sunnah adalah sesuatu yang bukan bid'ah.
Khabar
Secara etimologis khabar (الخبر) berarti berita. Dalam pengembangan bentuk katanya, kata khabar bisa berarti pemberitaan, baik itu berita yang benar maupun berita yang salah. Kata Khabar ini tidak seperti kata Hadits dan Sunnah yang telah dipergunakan cukup sering dalam ayat Al-Qur'an maupun Hadits.
Adapun secara terminologis, para ulama Hadits tidak sepakat dalam mendefiniskan Khabar. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa khabar adalah sinonim dari kata hadits dan sebagian lagi tidak demikian. Di antara definisi Khabar yang beredar di kalangan Muhadditisin digambarkan secara lengkap oleh Ibnu Hajar sebagaimana sebagai berikut:
وقال شيخ الإسلام في «شرح النُّخبة»: الخبر عند عُلماءِ الفن مُرادف للحديث, فيُطْلقان على المَرْفُوع, وعلى الموقوف والمقطُوع.وقيل: الحديث ما جَاء عن النَّبي - صلى الله عليه وسلم - , والخبر ما جاء عن غيره, ومن ثَمَّ قيل لمن يشتغل بالسُّنة: مُحدِّث, وبالتواريخ ونحوها: أخباري. وقيل: بينهما عُموم وخصوص مُطلق, فكل حديث خبر, ولا عكس.
Syaikhul Islam (Ibnu Hajar) menuturkan dalam syarh nuhbah: "khabar menurut pakar istilah merupakan sinonim dari hadits, dimana keduanya merupakan sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, Sahabat dan Tabi'in. pendapat lain mengungkapkan, bahwa hadits adalah sesuatu yang berasal dari Nabi SAW sementara khabar berasal dari selain Nabi SAW. Maka dari itu ada yang menyebut bahwa orang yang berkecimpung dalam kajian sunnah disebut muhaddits, dan orang yang berkecimpung dalam bidang tarikh/sejarah dan sesamanya disebut akhbariy. Pendapat lain mengatakan dengan konsep umum-khusus, dalam arti setiap hadits adalah khabar, dan belum tentu setiap khabar itu hadits.
Perbedaan dalam mengartikan khabar tersebut tampaknya masih terlihat dalam literature-literatur hadits hingga kini. Para pakar kontemporer seperti Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Manna Khalil Qatthan, hingga Subhi Shalih tetap menguraikan perbedaan definisi khabar diantara para Ulama'. Hanya saja, Subhi Shalih terlihat lebih memilih konsep umum-khusus dalam membedakan Khabar dan Hadits. Dalam arti bahwa setiap hadits itu pasti khabar, dan setiap khabar belum tentu hadits. Karena bisa jadi khabar itu bukan bersandar pada Rasulullah SAW, akan tetapi bisa jadi mauquf atau maqtu'. Hal ini mengingat bahwa khabar lebih dominan sebagai pemberitaan atau pemberitahuan, dari manapun datangnya.
Atsar
Secara etimologi, Atsar dari segi bahasa artinya bekas sesuatu atau sisa sesuatu dan berarti pula sesuatu yang dinukil (dikutip). Misalnya sering terdengar ungkapan bahwa "ini tafsir bil ma'tsur" yang maksudnya adalah tafsir yang mengadopsi perkataan-perkataan atau "bekas-bekas" orang sebelumnya.
Sedangkan atsar menurut istilah, juga memiliki perbedaan definisi diantaranya adalah apa yang dipaparkan oleh Syaikh Dahlawi sebagai berikut:
وقد خصص بعضهم الحديث بالمرفوع والموقوف إذ المقطوع يقال له الأثر وقد يطلق الأثر على المرفوع أيضا كما يقال الأدعية المأثورة لما جاء من الأدعية عن النبي صلى الله عليه و سلم والطحاوي سمى كتابه المشتمل على بيان الأحاديث النبوية وآثار الصحابة بشرح معاني الآثار وقال السخاوي إن للطبراني كتابا مسمى بتهذيب الآثار مع أنه مخصوص بالمرفوع وما ذكر فيه من الموقوف فبطريق التبع والتطفل
"terkadang sebagian ulama' mengkhususkan istilah hadits hanya untuk sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dan Sahabat, sedangkan sesuatu yang disandarkan kepada tabi'in disebut Atsar. Terkadang istilah Atsar juga digunakan untuk menyebut sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, seperti misalnya ucapan seseorang bahwa "ini do'a yang ma'tsur", yang menunjukkan bahwa itu berasal dari Nabi SAW.
Ketika melihat pendapat semacam ini, maka Mahmud Thahan memetakan definisi Atsar dalam 2 hal, yakni:
Atsar itu sama dengan Hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW
Atsar itu berbeda dengan hadits, yakni bahwa atsar merupakan sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi'in yang meliputi ucapan maupun perbuatan.
Selain itu, ada juga yang menambahkan bahwa Atsar hanya terkhusus pada khabar yang mauquf atau maqtu'. Istilah atsar bisa digunakan untuk menyebut Hadits jika disertai keterangan bahwa itu adalah hadits Nabi SAW. misalnya dalam sebuah riwayat disebutkan: "atsar ini dari Nabi SAW", maka berarti hal ini adalah hadits.
Hadits Qudsiy
Secara etimologi kata Qudsiy merupakan bentuk nisbah dari kata Quds yang mempunyai arti bersih atau suci. Jikalau Quds berarti Suci, maka ketika mendapat rangkaian huruf ya' nisbah menjadi berarti: yang berhubungan dengan hal yang suci atau disucikan.
قدس –> قدسي= قدسيّة
Hadits Qudsi merupakan varian lain dari hadits yang berasal dari Nabi SAW. Secara terminologis, pengertian hadits qudsi yang telah disepakati Muhadditsin adalah bahwa Hadits Qudsi merupakan setiap hal yang diriwayatkan oleh Nabi SAW dari Tuhan Yang Maha Agung. Demikian yang diungkap dalam Syarh Arba'in Nawawi.
والحديث القدسي: كل ما رواه النبي صلى الله عليه وسلم عن ربه عزّ وجل
Akan tetapi terdapat perbedaan di kalangan Muhadditsin terkait lafadz (redaksi) Hadits Qudsi. Perbedaan tersebut berangkat dari pertanyaan mendasar: "apakah hadits qudsi itu kalam Allah –dalam arti makna dan lafadznya dari Allah sebagaimana Al-Qur'an- ataukah makna (substansi) tersebut diwahyukan oleh Allah, kemudian Nabi SAW sendiri yang memformulasikan redaksinya? Menanggapi pertanyaan ini, para Ulama' (semoga Allah merahmati mereka) berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa seluruh komponen dalam hadits qudsi yang meliputi makna dan lafadz berasal dari Allah SWT. Karena pada kenyataannya, Nabi SAW meriwayatkan hadits tersebut dengan menyandarkannya kepada Allah SWT seperti sabda beliau إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ. Ini menunjukkan bahwa lafadz maupun makna Hadits tersebut dari Allah SWT. Apalagi pada kenyataannya Nabi SAW adalah manusia yang paling dapat dipercaya dan kuat riwayatnya. Tidak mungkin beliau mengungkapkan itu dengan tanpa arti dan maksud. Pendapat kedua seakan memberikan bantahan terhadap pendapat yang pertama. Para Ulama' ini menyatakan bahwa lafadz hadits qudsi merupakan lafadz Nabi SAW, sedangkan maknanya dari Allah SWT. Hal ini dikarenakan oleh beberapa alasan, yakni:
Jikalau hadits Qudsi dikatakan bahwa lafadz dan maknanya dari Allah SWT, maka berarti hadits Qudsi memiliki mata rantai sanad yang lebih tinggi dari Al-Qur'an. Karena semua tahu bahwa hadits Qudsi diriwayatkan Nabi SAW dari Allah SWT dengan tanpa perantara Malaikat Jibril. Sementara Al-Qur'an disampaikan kepada Nabi SAW melalui malaikat Jibril.
Jikalau hadits Qudsi dikatakan bahwa lafadz dan maknanya dari Allah SWT, maka akan tidak ada bedanya antara hadits Qudsi dan Al-Qur-an yang sama-sama Kalam Allah. Padahal Al-Qur'an telah memiliki kekhususan dan keistimewaan seperti: bernilai ibadah bagi yang membacanya, harus suci sebelum menyentuhnya, terjaga dari campur tangan manusia dan lain sebagainya.
Menanggapi hal ini, maka yang diunggulkan adalah pendapat yang kedua yakni bahwa lafadz hadits Qudsi merupakan lafadz Nabi SAW sementara maknanya berasal dari Allah SWT.
Contoh Hadis Qudsi misalnya:
وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِى سِنَانٍ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ وَأَبِى سَعِيدٍ - رضى الله عنهما - قَالاَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ إِنَّ الصَّوْمَ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ إِنَّ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَيْنِ إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِىَ اللَّهَ فَرِحَ. وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ ». )رواه مسلم(
Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad, beliau bersabda, "Allah Azza wa Jalla berfirman, 'Puasa itu untukku, dan Aku yang akan memberikan ganjarannya, disebabkan seseorang menahan syahwatnya dan makannya serta minumnya karena-Ku, dan puasa itu adalah perisai, dan bagi orang yang berpuasa dua kebahagiaan, yaitu kebahagian saat berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya, dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum disisi Allah, daripada bau minya misk/kesturi"
Substansi Perbedaan Hadits dan Sunnah
Istilah hadits dan sunnah memang sering dianggap muradif (bermakna sama) oleh para Muhadditsin. Hal ini dikarenakan hadits dan sunnah bermuara pada pusat yang sama yaitu Nabi SAW. Maka dalam hal ini mereka menganggap bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari dua istilah yang berbeda kata itu. Akan tetapi Muhadditsin yang lain menganggap bahwa secara teknis terdapat perbedaan antara Hadis dan Sunnah. Golongan yang menganggap adanya perbedaan ini tidak memandang kesamaan muara hadis dan sunnah, akan tetapi mereka lebih tertuju kepada substansi hadits dan sunnah.
Dalam keterangan Rif'at Fawzi, sebagaimana dikutip oleh Dzikri, bahwa distingsi (perbedaan dan pembedaan) antara Hadits dan Sunnah telah muncul sejak abad ke-2 Hijriyah (sekitar tahun 100 Hijriyah dan seterusnya). Menurutnya, ada dua teori yang menyebabkan munculnya distingsi tersebut muncul; pertama, perbedaan pandangan bahwa hadis merupakan sesuatu yang bersifat teoritis, sedangkan sunnah lebih bersifat praktis ('amaliy); kedua, asumsi sebagian ulama yang memandang sunnah lebih umum dari hadis. Penyandaran sunnah tidak hanya kepada sabda, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW semata (marfu'), tetapi juga kepada sahabat (mawquf) dan tabi'in (maqthu'), sementara hadis, penyandarannya hanya kepada Nabi saw. (marfu').
Hal inilah yang kemudian menarik para sarjana muslim seperti Fazlur Rahman untuk mengurai perbedaan antara Hadits dan Sunnah. Dalam Pandangan Rahman, Sunnah merupakan sesuatu yang telah dipraktekkan sehari-hari oleh Nabi yang kemudian ditirukan oleh para sahabat, tabi'in dan seterusnya. Baginya, sunnah merupakan praktek-praktek nyata dari apa yang yang diverbalisasi oleh Nabi dalam hadisnya. Rahman menyebut Sunnah sebagai practical tradition (kebiasaan yang dipraktekkan).
Maka jika demikian tentu dapat dipahami dengan mudah perbedaan antara sunnah dan hadis. Sunnah lebih menekankan kepada perilaku tampak atau kebiasaan yang dipraktekkan Nabi SAW dan diikuti umatnya, seperti misalnya Nabi sedang Shalat, Nabi sedang bertutur kata, Nabi sedang menyuapkan makanan untuk fakir miskin dan sejenisnya. Sedangkan istilah hadis lebih tertuju kepada sebuah istilah teknis keilmuan untuk menyebut periwayatan tentang apa yang ada pada diri Nabi SAW. Buktinya, dalam setiap definisi Hadits, selalu didapatkan kata maa adloofa, maa udliifu, atau maa yudloofu yang itu menunjukkan penyandaran atau klaim. Karena itu hanya penyandaran atau klaim, maka dalam studi hadits dipelajari tentang apakah sebuah hadits itu benar-benar sampai kepada Rasululloh SAW atau terputus sanadnya, apakah hadits itu shahih atau hasan atau dlaif dan kajian lain yang sejenis. Inilah sebabnya mengapa dikatakan bahwa Hadis selalu berkaitan dengan kajian keilmuan terhadap sunnah-sunnah Nabi SAW.
Dalam pandangan Akib, Hadits lebih terkait dengan unsur-unsur seperti matan, rawi, sanad dan sesamanya. Ketika seseorang menyebut Hadits, maka akan tertuju pada sebuah verbalisasi atau hasil tangkapan sahabat terhadap apa yang terjadi pada diri Nabi SAW yang itu kemudian diriwayatkan dalam sebuah mekanisme yang melibatkan rowi, konten matan maupun sanad. Dengan bahasa sederhana, penulis menyimpulkan bahwa sunnah itu sesuatu yang berada di alam nyata, sementara hadist itu sesuatu yang berada di alam ide, hasil rekaman tajam panca indra sahabat. Dan tampaknya asumsi ini senada dengan apa yang telah dijelas oleh Al-Imam Ibnu Hajar yang mengatakan bahwa orang yang berkecimpung dalam mengkaji sunnah disebut sebagai Muhaddits.
Berikut merupakan tabel untuk memudahkan melihat distingsi (perbedaan) antara sunnah dan hadits:
Istilah
Penyandaran
(dialamatkan kepada..)
Bentuk
Keberadaan
Sunnah
Nabi SAW, akan tetapi bisa juga sahabat, tabi'in dan lainnya
Practical Tradition (Perilaku tampak yang dipraktekkan)
Berada di alam nyata, dan bisa disaksikan
Hadits
Nabi
Bentuk Verbal dari perilaku tampak yang dipraktekkan tersebut
Berada di alam ide, yang merupakan hasil rekaman tajam para sahabat
Distingsi dan Similasi antara Hadits, Khabar, Atsar dan Implikasinya dalam kajian Islam
Perdebatan para Ulama' terkait peristilahan yang terkait Hadits memang telah terjadi. Mereka mendefinisikan Sunnah, Hadits, Khabar maupun Atsar dalam perspektifnya masing-masing. Akan tetapi jika melihat definisi yang diuraikan, sebenarnya ada benarnya apa yang diungkapkan oleh Hasbie Ash-Shiddiqiy, bahwa perbedaan definisi itu tidak prinsipil. Dalam arti perbedaan-perbedaan seputar apakah istilah itu sama atau berbeda diantara yang lain hanyalah berbeda sudut pandang yang tidak sampai mengarah pada kerancuan penyebutan objek. Misalnya ketika seseorang mengatakan "ini hadits, ini khabar, atau ini atsar", maka tentu yang dimaksud adalah sesuatu yang berhubungan dengan Nabi SAW, kecuali jika terdapat keterangan bahwa itu memang bukan dari Nabi SAW. Dan memang pada kenyataannya, dalam literature-literatur Islam klasik penyebutan istilah itu disamakan atau dipertukarkan satu sama lain.
Perbedaan penyebutan istilah di kalangan Ulama' menurut penulis lebih disebabkan karena masing-masing kata tersebut memang memiliki makna yang layak untuk menyebut sebuah berita yang diklaim datang dari Nabi SAW. Misalnya kata Hadits yang berari omongan atau pembicaraan; atau kata khabar yang berarti kabar atau berita; atau kata atsar yang berarti bekas atau sisa memang kesemuanya itu layak untuk menyebut sesuatu yang berhubungan dengan Nabi SAW. Walaupun demikian adanya, kita juga tetap perlu mempertimbangkan konsep keumuman dan kekhususan istilah tersebut, sebagaiman dinyatakan dalam pemaparan terdahulu. Maka konteks ini menurut penulis, hal yang penting dilakukan adalah adanya qoyyid atau penjelasan dari manakah riwayat itu berasal.
Dalam kaitannya dengan kajian keIslaman maupun terkhusus pada kajian pendidikan Islam, perbedaan penyebutan istilah tersebut memang bisa jadi berpotensi menimbulkan kerancuan, terutama pada terma hadits dan sunnah. Hadits dan Sunnah memiliki perbedaan yang cukup jelas, yang jika itu disamakan maka bisa jadi akan menimbulkan ketidakjelasan dalam kajian. Karena hadits lebih terkait dengan seperangkat formula matan, sanad dan rowi yang itu merupakan hasil tangkapan panca indra, sedangkan sunnah lebih kepada apa yang dipraktekkan oleh Nabi SAW. Asumsi lain dari penulis, kajian dalam hadits hanya berkutat pada hasil-hasil periwayatan verbal, baik itu dari lisan maupun dari kitab-kitab yang ditulis oleh para Ulama' penghimpun hadits. Sedangkan dalam kajian sunnah lebih luas lagi, karena selain mengkaji hadits sebagai verbalisasi dari sunnah juga mengkaji aspek lain yang tidak terdapat dalam formulasi hadits seperti misalnya konteks sejarah (historisitas), situasi sosial budaya ketika sunnah tersebut berlangsung dan lain sebagainya. Maka dengan demikian bukan tidak mungkin bahwa kajian sunnah akan mampu mengungkap dan memotret secara lebih utuh fenomena yang terjadi pada masa Nabi SAW.
Kesimpulan
Dalam mendefinisikan Hadits para Ulama' berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi; atau sahabat; atau tabi'in. Akan tetapi, pada pembahasan ini disimpulkan bahwa Hadits adalah sesuatu yang dikaitkan dengan Nabi SAW yang berupa bentuk verbal (periwayatan).
Sunnah lebih menekankan kepada Practical Tradition (kebiasaan yang dipraktekkan), yakni meliputi praktek-praktek yang dilakukan Nabi SAW dan ditirukan oleh sahabat, tabi'in dan orang-orang setelahnya.
Khabar merupakan bentuk umum dari sesuatu yang diriwayatkan. Maka dalam hal ini, Ulama' berbeda pendapat tentang sandaran khabar yang bisa mengarah ke marfu', mauquf atau maqtu'. Sedangkan Atsar, juga mengalami hal yang sama dengan khabar.
Hadits Qudsi adalah hadits yang oleh Rasululloh disandarkan kepada Allah SWT. Dalam arti, Rasululloh meriwayatkan hadis tersebut dari Allah SWT. dalam pada itu Ulama' berselih paham tentang lafadz dan makna Hadits Qudsi. Ada yang menyatakan bahwa lafadz dan makna hadits qudsi semuanya dari Allah. Dan ada pula yang mengatakan bahwa lafadz hadis qudsi merupakan lafadz Nabi SAW, sedangkan maknanya dari Allah SWT.
Sunnah dan Hadits meskipun banyak Ulama' yang mengatakan murodif, namun menurut beberapa pakar dapat ditemukan sisi perbedaannya. Sunnah lebih menekankan kepada praktek (perilaku tampak) yang dilakukan NabiSAW, sementara Hadits lebih mengarah kepada verbalisasi atau hasil periwayatan yang mengandung unsur-unsur teknis keilmuan seperti sanad, rawi dan matan.
Perbedaan antara Hadits, Khabar dan Atsar tidak terlalu signifikan, hanya saja beberapa Ulama' menyetujui konsep umum-khusus dalam penggunaan istilah tersebut. Perbedaan yang cukup signifikan justru terjadi pada Hadits dan Sunnah seperti yang telah diungkapkan di atas. Perbedaan antara hadits dan sunnah tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi fokus dalam kajian Islam. Para pengkaji yang ingin mengkaji Sunnah berarti dia harus mengkaji apa yang dipraktekkan oleh Nabi selama hidupnya lengkap dengan konteks sosial budaya dan sejenisnya pada masa itu. Sementara bagi para pengkaji Hadits, hanya berkutat pada sistematika periwayatan sunnah-sunnah Nabi yang meliputi Matan, rawi, sanad dan sesamanya.
Bibliografi
Jalal al-Diin Al-Mahalli dan Jalal al-Diin Al-Suyuthi, Tafsir al-Qur'an al-'Adziim. --:Dar al-Fikr
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (--: Wizarah Auqof al-Mishriyyah, CD Maktabah Syameela: Ishdar II
Mahmud Al-Thahan, Taisir Mushthalahu al-Hadits. Kuwait:--, 1415 H
Mahfudz bib Abdillah At-Tirmisiy, Manhaj Dzawi al-Nadzr (Jeddah: al-Haramain, 1974
al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalaniy, Nuzhat al-Nadzar fi Taudlihi Nukhbati al-Fikar fi Mushthalahi Ahli al-Atsar, (Maktabah Misykah: dalam CD Maktabah Syameela Ishdar II).
Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi Taqriib Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996
Muhammad bin Mukarram bin Mandzur, Lisan al-'Arab (Beirut: Dar Shadir, tt
Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)
Akib Muslim, Ilmu Mustalahul Hadis: Kajian Hostoris Metodologis (Kediri: STAIN Kediri Press,2010
Muhammad Alwi Al-Maliki, Al-Manhallu al-Lathiifu fi Ushuuli al-Hadiitsi al-Syariifi, terj. Adnan Qohar (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009
Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, Tadriib Al-rawi fi Syarhi Taqriib Al_Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1996
Subhi Shalih, Al-Hadits wa Mushtalahuhu,…;
Manna Khalil Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdlol A. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004
Abd al-Haq al-Dahlawi, Muqaddimah fi Ushuli Al-Hadits (Beirut: Dar al-Basya'ir Al-Islamiyyah,1986
Abu al-Husain ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail,--)
Dzikri Nirwana, "Rekonsepsi Hadis Dalam Wacana Studi Islam: Telaah Terminologis Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar", Jurnal Edu-Islamika, Vol. 3 No.1 Maret 2012
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin M. Bandung: Pustaka, 1984
TM Hasbie Ash-Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Hadis. Semarang: Pustaka Rizki Putra,1997