1
MAKALAH
SANAD DAN MATAN HADITS
Disusun Oleh:
Liny Mardhiyatirrahmah (NIM. 1401251508)
Rima Aprilia Larasati (NIM. 1401250909)
Mutmainah (NIM. 1401250889)
Norhayati (NIM. 1401250894)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI IAIN ANTASARI BANJARMASIN
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEPTEMBER 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sanad dan matan merupakan dua unsur pokok hadits yang harus ada pada setiap haditst, antara keduanya memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisakan. Suatu berita tentang rasulullah SAW (matan) tanpa ditemukan rangkaian atau susunan sanadnya, yang demikian tidak dapat disebutkan hadits, sebaliknya suatu susunan sanad, meskipun bersambung sampai rasul, jika tidak ada berita yang dibawanya, juga tidak bisa disebut haditst.
Pembicaran dua istilah diatas, sebagai dua unsur pokok haditst, matan dan sanad diperlukan setelah rasul wafat. Hal ini karna berkaitan dengan perlunya penelitian terhadap otentisitas isi berita itu sendiri apakah benar sumbernya dari rasul atau bukan. Upaya ini akan menentukan bagaimana kualitas hadits tersebut, yang akan dijadikan dasar dalam penetapan syari'at islam.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang akan dijadikan objek pembahasan dari karya tulis saya adalah sebagai berikut :
Bagaimana pengertian, sinonim, serta jenis-jenis sanad?
Bagaimana pengertian dan macam-macam matan?
Bagaimana pengertian rawi hadits?
Bagaimana kedudukan sanad dan matan Hadits?
Bagaimana penelitian sanad dan matan hadits?
Tujuan
Untuk mengetahui pengertian, sinonim, serta jenis-jenis sanad.
Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam matan.
Untuk mengertahui pengertian rawi hadits.
Untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan Hadits.
Untuk mengetahui penelitian sanad dan matan hadits.
Manfaat
Makalah ini dibuat agar penulis dan para pembaca bisa lebih mengerti dan memahami makna dari sanad, matan, dan rawi hadits, beserta macam-macamnya dan segala yang berhubungan dengan sanad dan matan hadits. Selain itu, diharapkan kedepannya agar lebih mengetahui apa arti sanad dan matan hadits dalam diri dan dapat diaplikasikan kehidupan kita.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sanad
2.1.1 Pengertian Sanad
Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang berarti mutamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah). Dikatakan demikian karena haditst itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenaranya.
Secara temionologis, sanad adalah silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadits atau jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkati (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama. Silsilah orang ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang meyampaikan materi hadits tersebut sejak disebut pertama sampai kepada Rasul SAW, yang memuat perbuatan, perkataan, taqrir, dan lainnya merupakan materi atau matan hadits. Dengan pengertian diatas maka sebutan sanad hanya berlaku pada serangkaian orang-orang bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan. Sedangkan, sebutan untuk pribadi yang menyampaikan hadits dilihat dari sudut orang perorangannya disebut dengan rawi.
Sedangkan menurut istilah, yakni jalan yang dapat menghubungkan matan hadist kepada Nabi Muhammad saw, misalkan hadist yang diwirayatkan oleh Bukhari berikut.
: : :( : ; ; )
"telah memberitahukan kepadaku Muhammad bin al-musannah,ujarnya:'abdul-wahhab as-saqafi telah menyebarkan kepada ku, ujarnya:'telah bercerita kepadaku ayyub atas pemberitahuan abi kilabah dari anas dari Nabi Muhammad saw, sabdanya:'tiga perkara, yang barangsiapa mengamalkannya niscaya memperoleh kelezatan iman'. Yakni:1) Allah dan rasulnya hendaknya lebih dicintai daripada selainnya. 2)kecintaannya kepada seseorang, tak lain karena Allah semata-mata dan 3) keenggananmya kembali kepada kekufuran, seperti keengganannya dicampakkan ke neraka'." (HR. Bukhari)
Berdasarkan pengertian di atas, disebutkan bahwa sanad adalah jalan matan (thariq al-min). Jalan matan berarti serangkaian orang-orang yang menyampaikan atau meriwayatkan matan hadits, mulai perawi pertama sampai yang terakhir.
Bagian di bawah ini adalah sanad Haditst:
حدّثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه
"Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth'im dari bapaknya".
سمعت رسول الله (صلعم) قرأ فى المغرب بالطور.
"aku mendengar Rasulullah SAW membaca surat Thur ketika Shalat Maghrib".
2.1.2 Istiad, Musnad, dan Musnid
Selain istilah sanad, terdapat istilah lainnya, seperti al-isnad, musnad, dan al-musnid. Istilah-istilah tersebut mempunyai kaitan erat dengan istilah sanad.
Istilah al-Isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembali ke asal), dan mengangkat. Menurut Ath-Thibi, sebagaimana dikutip al-Qasimi, kata al-isnad dengan as-sanad mempunyai arti yang hampir sama atau berdekatan. Ibn Jama'ah, dalam hal ini lebih tegas lagi, menurutnya bahwa ulama muhaditsin memandang kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama serta keduanya dapat dipakai secara bergantian.
Berbeda dengan istilah al-isnad, istilah al-musnad mempunyai beberapa arti: pertama, berarti hadits yang diriwayatkan dan disandarkan atau disanadkan kepada seseorang yang membawanya, seperti Ibn Syihab az-Zuhri, Malik bin Anas, dan Amarah binti Abd ar-Rahman; kedua, berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan sistem penyusunannya berdasarkan nama-nama para sahabat perawi hadits, seperti kitab Musnad Ahmad; ketiga, berarti nama bagi hadits yang memenuhi kriteria marfu' (disandarkan kepada Nabi saw.) dan muttashil (sanad-nya bersambung sampai kepada akhirnya).
2.1.3 Jenis-Jenis Sanad Hadits
Sanad `Aliy'
Sanad 'Alit' adalah sebuah sanad yang jumlah rawinya lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad lain. Hadits dengan sanad yang jumlah rawinya sedikit akan tertolak dengan sanad yang sama jika jumlah rawinya lebih banyak. Sanad Aliy ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu sanad yang mutlak dan sanad yang nisbi (relatif).
Sanad 'aliy yang bersifat mutlak adalah sebuah sanad yang jumlah rawinya hingga sampai kepada Rasulullah lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad yang lain. Jika sanad tersebut sahib, sanad itu menempati tingkatan tertinggi dari jenis sanad aliy.
Sanad 'aliy yang bersifat nisbi adalah sebuah sanad yang jumlah rawi di dalamnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan para imam ahli hadits, seperti Syu'bah, Al-A'masy, Ibnu Juraij, AtsTsauri, Malik, Asy-Syafi'i, Bukhari, Muslim, dan sebagainya, meskipun jumlah rawinya setelah mereka hingga sampai kepada Rasulullah lebih banyak.
Para ulama hadits memberikan perhatian serius terhadap sanad aliy sehingga mereka membukukan sebagian di antaranya dan menamakannya dengan ats-tsultsiyyat. Yang dimaksudkan dengan atstsultsiyyat adalah hadits-hadits yang jumlah rawi dalam sanadnya antara rawi yang menulisnya dengan Rasulullah berjumlah tiga orang rawi.
Di antara kitab-kitab tersebut adalah Ats-Tsultsiyyat Al-Bukhari karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Ats-Tsultsiyyat Ahmad bin Hanbal karya Imam As-Safarini.
Sanad Nazil
Sanad nazil adalah sebuah sanad jumlah rawinya lebih banyak jika dibandingkan dengan sanad yang lain. Hadits dengan sanad yang lebih banyak akan tertolak dengan sanad yang sama )ika jumlah rawinya lebih sedikit.
2.1.4 Tinggi-Rendahnya Rangkaian Sanad (Silsilatu AdzDzahab)
Sebagaimana kita ketahui bahwa suatu hadits sampai kepada umat muslim dan tertulis dalam kitab hadits, melalui sanad-sanad. Setiap sanad bertemu dengan rawi yang dijelaskan sandaran menyampaikan berita (sanad yang setingkat lebih atas) sehingga seluruh sanad itu merupakan suatu rangkaian. Rangkaian sanad itu berdasarkan perbedaan tingkat kedhabit-an dan keadilan rawi yang dijadikan sanad-nya, ada yang berderajat tinggi, sedang, dan lemah. Rangkaian sanad yang berderajat tinggi menjadikan suatu hadits lebih tinggi derajatnya daripada hadits yang rangkaian sanad-nya sedang atau lemah. Para muhaditsin membagi tingkatan sanad-nya menjadi sebagai berikut.
Ashahhu Al-Asanid (Sanad-sanad yang lebih sahih)
Para ulama seperti Imam An-Nawawi dan Ibnu Ash-Shalah tidak membenarkan menilai suatu (sanad) hadits dengan ashahhu alasanid, atau menilai suatu (matan) hadits dengan ashahhu al-asanid, secara mutlak, yakni tanpa menyandarkan pada hal yang mutlak.
Penilaian ashahhu al-asanid ini hendaklah secara muqayyad. Artinya dikhususkan kepada sahabat tertentu, misalnya ashahhu alasanid dari Abu Hurairah r.a. atau dikhususkan kepada penduduk daerah tertentu, misalnya ashahhu al-asanid dari penduduk Madinah, atau dikhususkan dalam masalah tertentu, jika hendak menilai matan suatu hadits, misalnya ashahhu al-asanid dalam bab wudhu atau masalah mengangkat tangan dalam berdoa.
Contoh ashahhu al-asanid yang muqayyad tersebut adalah:
Sahabat tertentu, yaitu:
Umar Ibnu Al-Khaththab r.a., yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Salim bin 'Abdullah bin 'Umar, dari ayahnya ('Abdullah bin 'Umar), dari kakeknya ('Umar bin Khaththab).
Ibnu Umar r.a. adalah yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' dari Ibnu 'Umar r.a.
Abu Hurairah r.a., yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Ibnu Al-Musayyab dari Abu Hurairah r.a.
Penduduk kota tertentu, yaitu:
Kota Mekah, yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Uyalnah dari `Amru bin Dinar dari Jabir bin Abdullah r.a.
Kota Madinah, yaitu yang diriwayatkan oleh Ismail bin Abi Hakim dari Abidah bin Abi Sufyan dari Abu Hurairah r.a.
Contoh ashahhu al-asanid yang mutlak, seperti:
Jika menurut Imam Bukhari, yaitu Malik, Nafi', dan Ibnu Umar r.a.
Jika menurut Ahmad bin Hanbal, yaitu Az-Zuhri, Salim bin `Abdillah dan ayahnya ('Abdillah bin 'Umar).
Jika menurut Imam An-Nasa'i, yaitu `Ubaidillah Ibnu 'Abbas dan `Umar bin Khaththab r.a.
Ahsanu Al-Asanid
Hadits yang bersanad ashahhu al-asanid lebih rendah derajatnya daripada yang bersanad ashahhu al-asanid. Ahsanu al-asanid itu antara lain bila hadits tersebut bersanad:
Bahaz bin Hakim dari ayahnya (Hakim bin Mu'awiyah) dari kakeknya (Mu'awiyah bin Haidah).
Amru bin Syu'aib dari ayahnya (Syu'aib bin Muhammad) dari kakeknya (Muhammad bin Abdillah bin 'Amr bin 'Ash).
AdhafuAl-Asanid
Rangkaian sanad yang paling rendah derajatnya disebut adhafu al-asanid atau auha al-asanid. Rangkaian sanad yang adh'afu alasanid, yaitu:
Yang muqayyad kepada sahabat:
Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Shadaqah bin Musa dari Abi Ya'qub Farqad bin Ya'qub dari Murrah Ath-Thayyib dari Abu Bakar r.a.
Abu Thalib (Ahli al-Bait) r.a., yaitu hadits yang diriwayatkan oleh 'Amru bin Syamir Al-Ju'fi dari Jabir bin Yazid dari Harits Al-A'war dari 'Ali bin Abi Thalib r.a.
Abu Hurairah r.a., yaitu hadits yang diriwayatkan oleh AsSariyyu bin Isma'11 dari Dawud bin Yazid dari ayahnya (Yazid) dari Abu Hurairah r.a.
Yang muqayyad kepada penduduk:
Kota Yaman, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Hafsh bin `Umar dari Al-Hakam bin Aban dari `Ikrimah dari Ibnu `Abbas r.a.
Kota Mesir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Muhammad bin Al-Hajjaj Ibnu Rusydi dari ayahnya dari kakeknya dari Qurrah bin 'Abdurrahman dari setiap orang yang memberikan hadits kepadanya.
Kota Syam, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Qais dari Ubaidillah bin Zahr dari 'Ali bin Zaid dari Al Qasim dari Abu Umamah r.a.
2.1.5 Sanad dan Hubungannya dengan Dokumentasi Hadits
Dokumentasi Sanad Hadits
Sebagai salah satu data sejarah yang cukup lama, kitab-kitab hadits merupakan salah satu dokumen sejarah yang cukup tua. Perjalanan sejarahnya sudah melewati waktu yang sangat panjang, sejak empat abad yang lalu. Kitab-kitab tersebut isinya terpelihara secara murni dan diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya secara berkesinambungan.
Salah satu keistimewaan atau keunikan hadits dari dokumen sejarah lainnya di dunia ialah tertulisnya data orang-orang yang menerima dan meriwayatkan hadits-hadits tersebut, yang disebut sanad. Dengan ketelitian, semangat kerja yang tinggi dan profesional, khususnya para penulis kitab hadits, sanad hadits satu persatu terdokumentasikan secara urut. Hal ini dapat dilihat pada kitab, AI-Jami' ash-Shahih karya al-Bukhari dan Muslim. Mereka menuliskan nama-nama sanad hadits masing-masing, meskipun untuk hadits-hadits yang memiliki banyak jalan sanad, seperti hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Begitu juga dengan Abu Daud, at-Turmudzi, an-Nasa'i, Ibn Majah, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, ad-Darimi, ad-Daruquthni, dan al-Hakim, mereka tidak menulis satu hadits pun yang tidak memiliki sanad-nya secara lengkap, termasuk untuk hadits-hadits yang memiliki jalan sanad berbilang.
Peranan Sanad dalam Dokumentasi Hadits
Peranan sanad pada dasarnya terbagi pada dua, yaitu untuk pengamanan atau pemeliharaan matan hadits, dan untuk penelitian kualitas hadits satu per satu secara terperinci. Peranannya akan dijelaskan tersendiri pada bagian selanjutnya.
Sanad hadits, dilihat dari sudut rangkaian atau silsilahnya, terbagi kepada beberapa thabagah atau tingkatan. Tingkatan tersebut menunjukkan urutan generasi demi generasi, yang antara satu dengan lainnya bertautan atau bersambung.
Hadits-hadits Rasul saw. yang berada sepenuhnya di tangan mereka, diterima dan disampaikan melalui dua cara, yaitu dengan cara lisan dan dengan cara tulisan. Cara yang pertama merupakan cara yang utama ditempuh oleh para ulama ahli hadits dalam kepastiannya sebagai sanad hadits. Hal ini karena dalam tradisi sastra pra-Islam, masyarakat Arab telah terbiasa dengan budaya hafal, yang dilakukannya sejak nenek moyang mereka. Dengan kegiatan ini, maka tradisi lama yang cukup positif itu menjadi tetap terpelihara dan dimanfaatkan untuk pemeliharaan ajaran agama.
Upaya mengembangkan daya hafal ini semakin efektif dengan ditunjang oleh potensi, yaitu kuatnya daya hafal yang mereka miliki dan semangat kerja yang termotifasi oleh keimanan, ketakwaan, dan tanggung jawab terhadap terpeliharanya syariat Islam.
Cara yang kedua (cara tulisan), pada awal Islam, kurang berkembang, jika dibanding masa-masa tabi'in atba' tabi'in. Hal ini karena sebagaimana telah dibahas pada pembahasan yang lalu (Bab IIA), ada beberapa faktor yang berkaitan dengan terbatasnya fasilitas penunjang, di samping adanya prioritas untuk lebih mengefektifkan penyebaran Al-Qur'an. Namun demikian, kegiatan tulis menulis berjalan dengan baik, yang turut mendukung upaya pemeliharaan hadits. Di kalangan para sahabat, sebagaimana telah disebutkan di atas ialah Abdullah bin Amr bin al-'ash, Jabir bin Abdillah, Abu Hurairah, Abu Syah, Abu Bakar ashShiddiq, Ibn Abbas, Abu Ayyub al-Anshari, Abu Musa al-Asy'ari, dan Anas bin Malik. Di kalangan para tabi'in besar, tercatat nama-nama, antara lain Ikrimah, Umar bin Abd al-Aziz, Amarah binti abd ar-Rahman, al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dan Muhammad bin Abi Kabsyah al-Anshari. Kemudian pada kalangan tabi'in kecil, tercatat nama-nama, antara lain Ibrahim bin Jarir, Ismail bin Abi Khalid al-Ahmasi, Ayyub bin abi Tamimah as-Sakhytani, Tsabit bin Aslam, Al-Ahmasi, Ayyub bin Abi Sulaiman, Zaid bin Aslam, dan Zaid bin Rafi (Muhammad Musthafa al-A'zhami, Lt.: 92-324).
Tulisan-tulisan mereka ada yang berbentuk Surat yang dikirim kepada yang lain, yang di dalamnya berisi nasihat atau pesan Rasul saw., seperti yang dilakukan oleh Asid Hudhair al-Anshari kepada Marwan tentang peradilan terhadap pencuri atau yang dilakukan oleh Jarir bin abdillah kepada Mu'awiyah tentang sebuah hadits yang berbunyi: "Man lam yarham an-na'sa la yarhamullahu Allah 'Azza wa Jalla (siapa yang tidak menyayangi manusia, ia tidak akan menyayangi Allah). Ada yang berupa catatan pribadi semata, yang pada saatnya akan diriwayatkan kepada yang lain atau murid-muridnya, baik melalui qirah atau. imla' (dibacakan atau didekatkan di depan muridnya), ijazah (memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits kepada yang lain), al-muktaba (menuliskan hadits yang diberikan kepada muridnya), dan beberapa cara lainnya (As-Suuthi, t.t.: 214-222).
Gambaran di atas menunjukkan bahwa sanad memegang peranan yang menentukan terhadap kelangsungan dan terpeliharanya hadits, yang berarti merupakan kontribusi besar bagi kelangsungan Islam dan umatnya. Tanga usaha mereka, umat Islam akan menghadapi kesulitan dalam mempelajari sumber ajaran yang kedua ini.
2.2 Matan
Pembahasan tentang matan merupakan kajian yang tidak kalah pentingnya dengan pembahasan dan kajian terhadap sanad. Penelitian tentang matan bertujuan untuk mengetahui kebenaran penisbatan teks kepada penuturnya. Di sisi lain, penelitian ini dapat juga digunakan untuk mengetahui keotentikan redaksi teks tersebut. Oleh sebab itu, para ahli hadits banyak meneliti teks dari spek yang berbeda-beda, di antaranya penenelitian tentang kebenaran penisbatan teks kepada penuturnya, pembahasan ntang substansi teks, dan penelitian tentang perbandingan antara berapa teks.
Dalam pembahasan ini, terdapat macam-macam hadits yang berkaitan dengan matan. Selain itu, kita akan menyinggung tentang hadits qudsi, serta perbedaannya dengan al-Qur'an an hadits nabawi. Sub-sub bahasan ini terasa penting untuk membahas karena semuanya berkaitan dengan teks dan sumbernya berasal dari asal yang sama yaitu wahyu, sekalipun ada sisi tertentu yang membedakan ketiga jenis teks di atas. Namun belum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mendefinisikan lebih dahulu makna istilah matan.
2.2.1 Pengertian Matan Hadits
Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa'amin al-aradhi (tanah yang meninggi). Secara temonologis, istilah matan memiliki beberapa definisi, yang mana maknanya sama yaitu materi atau lafazh hadits itu sendiri. Definisi matan dari sisi bahasa bermakna 'punggung jalan' atau 'gundukan', bisa juga bermakna 'isi atau muatan'. lbarat tangga, akhir dari anak tangga berujung pada teks itu sendiri adalah redaksi atau ucapan yang dituiturkan oleh si pengucap. Pengucap atau penutur teks itu bisa abi, sahabat, atau bisa juga tabi'in.
Sedangkan matan menurut istilah ilmu hadis, yaitu sebagai berikut.
"perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda nabi saw yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya."
Contoh:
'dari Muhammad yang diterima dari abu salamah yang diterima dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullahsaw bersabda :" saandainya tidak akan memberatkan terhadap umatmu, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) niscaya aku melakukan shalat."(HR. Turmizi).
Pada salah satu definisi yang sangat sederhana disebutkan bahwa matan ialah ujung atau tujuan sanad . Berdasarkan definisi di atas memberi pengertian bahwa apa yang tertulis setelah (penulisan) silsilah sanad adalah matan hadits. Pada definisi lain seperti yang dikatakan ath-thibi mendifinisikan dengan: "lafazh-lafazh hadits yang didalamnya megandung makna-makna tertentu". Jadi, dari pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut matan ialah materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah sanad dan sebelum rawi.
Agar lebih memperjelas dan memudahkan untuk membedakan mana yang matan dan mana yang sanad, maka perhatikan haditst berikut:
حدّثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال: سمعت رسول الله (صلعم) قرأ فى المغرب بالطور. (رواه البخارى)
"Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth'im dari bapaknya berkata: "aku mendengar Rasulullah SAW membaca surat Thur ketika Shalat Maghrib". (HR. Bukhari).
Macam-macam Matan
Setelah kita mengetahui makna matan, langkah berikutnya kita akan berbicara tentang macam-macam matan yang bersumber dari wahyu. Ada al-Qur'an hadits qudsi, dan hadits nabawi, yaitu :
AL-Qur'an
Al-Qur'an adalah kalam Allah yang diturunkan secara bertahap melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. dengan periwayatan yang mutawatir, terdapat dalam mushhot dan dimulai dari surat al-Fatihah dan berakhir pada surat an-Nas.
Hadits Qudsi
Hadits qudsi adalah kalam yang maknanya dari Allah do; lafadnya dari Nabi saw. Atau dengan ibarat lain, kalam yang I dinisbatkan kepada Nabi dan maknanya bersumber dari Allah.
Hadits qudsi sering diistilahkan dengan hadits ilahi nisb,t kepada i1ali, atau hadits robbani nisbat kepada Rabb. Penisbatan iio mengindikasikan adanya makna kemuliaan, karena disandark.m kepada kesucian 'Allah (ijadasatidiali).
Dalam istilah ini, sebenarnya terdapat dua sisi lafaz 'hadits' dan qudsi. Lafad hadits kembali kepada Nabi dan lafi, qudsi kembali kepada Allah. Penggabungan dua kata ini karell dalam hadits qudsi terdapat perpaduan antara lafad yang i1i bersumber dari Nabi dan makna yang bersumber dari Allah.
Gambaran bentuk ungkapan dari sebuah makna sepcil yang terdapat dalam hadits qudsi sebenarnya banyak didapatk,i contohnya dalam al-Qur'an. Misalnya saat Allah menceritakan ucapan-ucapan para Nabi terdahulu, atau dialog mereka dengan kaumnya. Dialog itu kemudian diceritakan kembali oleh Allah dalam al-Qur'an dengan menggunakan bahasa Arab, dan teks Al-Qur'an saat mengungkapkan isi dialog tersebut tidak persis seperti teks dialog yang sebenarnya tapi sebatas makna dan substansi yang terjadi dalam diolog saat itu.
Hadits Nabawi
Sebagaimana telah disinggung di awal pembahason bahwa hadits adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan atau sifat psikis dan fisik. Dalam pembahasan ini, yang dilihat sebatas siapa menuturkan teks tersebut, dan tidak melihat bagaimana kualitas lafadnya. Hadits ditinjau dari aspek penuturnya dapat dibedakan menjadi tiga bagian: marfu', mauquf, dan maqthu'.
Marfu'
Definisi marfu' adalah hadits yang dinisbatkan kepada Nabi saw berupa ucapan, perbuatan, persetujuan atau sifat, baik madnya bersambung maupun tidak. Sedangkan, yang menisbatkan kepada Nabi bisa sahabat atau juga kita. Selama ada ungkapan 'Nabi bersabda' atau 'Nabi melakukan ini dan itu' maka dapat dinamakan dengan marfu'.
Mauquf
Definisi hadits mauquf adalah ucapan atau perbuatan yang dinisbatkan kepada sahabat. Jika terdapat sebuah teks dan Penuturnya seorang sahabat maka diistilahkan dengan mauquf, Imik bersambung sanadnya maupun tidak. Jika bersambung maka dinamakan mauquf muttashil, dan jika tidak maka dinamakan mauquf munqathi.
Maqthu'
Definisi hadits maqthu' adalah ucapan atau perbuatan yang dinisbatkan kepada tabi'in. Jika terdapat sebuah teks dan penuturnya seorang tabi'in maka diistilahkan dengan maqthu' baik bersambung sanadnya maupun tidak.
Terkait dengan matan atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadits, yaitu:
Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanad-nya (apakah ada yang melemahkan atau yang menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al-Qur'an (apakah ada yang bertolak belakang).
Rawi Hadits
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits. Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Begitu juga, setiap rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya merupakan sanad bagi thabaqah berikutnya.
Contoh:
.
'Warta dari umul mukminin,'aisyah ra, ujurnya:'rasulallah saw telah bersabda:'barang siapa yang mengada-adakan suatu yang bukan termasuk dalam urusan (agama) ku, maka ia tertolak'."
Akan tetapi, yang membedakan antara kedua istilah di atas, jika dilihat lebih lanjut, adalah dalam dua hal, yaitu:
Dalam hal pembukuan hadits. Orang yang menerima hadits-hadits, kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan rawi. Dengan demikian, rawi dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun hadits). Adapun orang-orang yang menerima hadits dan hanya menyampaikannya kepada orang lain, tanpa membukukannya, disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini, dapat dikatakan bahwa setiap sanad adalah rawi pada tiap-tiap thabaqah-nya, tetapi tidak setiap rawi disebut sanad hadits sebab ada rawi yang membukukan hadits.
Dalam penyebutan silsilah hadits, untuk sanad, yang disebut sanad pertama adalah orang yang langsung menyampaikan hadits tersebut kepada penerimanya, sedangkan para rawi, yang disebut rawi pertama, adalah para sahabat Rasul SAW. Dengan demikian, penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan sebaliknya. Artinya, rawi . pertama, adalah sanad terakhir, dan sanad pertama, adalah rawi terakhir.
2.4 Kedudukan Sanad dan Matan Hadits
Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting karena hadits yang diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits, dapat diketahui hadits yang dapat diterima atau ditolak dan hadits yang sahih atau tidak sahih, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam.
Para ahli hadits sangat berhati-hati dalam menerima suatu hadits, kecuali apabila mengenal dari siapa perawi hadits tersebut menerima hadits tersebut dan sumber yang disebutkan benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya, riwayat dari golongan sahabat tidak disyaratkan untuk diterima periwayatannya. Akan tetapi, mereka pun sangat hati-hati dalam menerima hadits.
Pada masa Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., periwayatan hadits diawasi secara hati-hati dan suatu hadits tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seorang lain. Ali bin Abu Thalib tidak menerima hadits sebelum orang yang meriwayatkannya disumpah.
Meminta seorang saksi kepada perawi bukanlah merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati dalam menerima hadits. jika dipandang tak perlu meminta saksi atau sumpah para perawi, mereka pun menerima periwayatannya.
Adapun meminta seseorang saksi atau menyuruh perawi untuk bersumpah untuk membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang umum tentang diterima atau tidaknya periwayatan hadits. Hal yang diperlukan dalam menerima hadits adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. jika sewaktu-waktu ragu tentang riwayatnya, barulah didatangkan saksi atau keterangan.
Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting karena hadits yang diperoleh atau diriwayatkan akan mengikuti yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits, dapat diketahui mana yanc, dapat diterima atau ditolak dan mana hadits yang sahib atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam.
Perhatian terhadap sanad di masa sahabat, yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dan mereka mempunyai daya ingat yano, luar biasa. Dengan adanya perhatian mereka, terpeliharalah sunnah Rasul dari tangan-tangan ahli bid'ah dan para pendusta. Karenanya pula, imam-imam hadits berusaha pergi dan melawat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad yang terdekat dengan Rasul yang dilakukan sanad 'ali.
Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari orang yang dipercaya hingga sampai kepada Nabi SAW. dengan bersambung-sambung para perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah, khususnya kepada orang-orang Islam. Memerhatikan sanad riwayat adalah suatu keistimewaan dari ketentuan-ketentuan umat Islam. Dengan adanya sanad inilah, para imam ahli hadits dapat membedakan hadits yang sahib dan hadits yang dhaif dengan cara melihat para perawi hadits tersebut. Jika tidak ada sanad, niscaya Islam sekarang akan sama seperti pada zaman sebelumnya karena pada zaman sebelumnya tidak ada sanad sehingga perkataan nabi-nabi mereka dan orang-orang saleh di antara mereka tidak dapat dibedakan. Adapun Islam yang sekarang telah berumur 1400 tahun lebih masih dapat dibedakan antara perkataan Rasulullah SAW. dan perkataan sahabat.
Penelitian Sanad dan Matan Hadits
2.5.1 Perlunya Penelitian Sanad Matan Hadits
Penelitian terhadap sanad dan matan hadits (sebagai dua unsur pokok hadits) bukan karena hadits itu diragukan otentisitasnya. Hadits secara kuli merupakan sumber ajaran setelah Alquran yang keseluruhannya. Penelitian ini dilakukan untuk menyaring unsur-unsur luar yang masuk ke dalam hadits, yang sesuai dengan penelitian terhadap kedua unsur hadits di atas, agar hadits-hadits Rasul saw. dapat terhindar dari segala yang mengotorinya.
Faktor yang paling utama perlunya dilakukan penelitian ini, ada dua hal, yaitu karena beredarnya hadits palsu (hadits maudhu) pada kalangan masyarakat dan hadits tidak ditulis secara resmi pada masa Rasul saw. (berbeda dengan Alquran), sehingga penulisan dilakukan hanya bersifat individu (tersebar di tengah pribadi para sahabat) dan tidak menyeluruh.
Dengan berdirinya hadits maudhu' ke dalam kehidupan keagamaan masyarakat dimaksudkan untuk merusak agama, cukup mengganggu nilai kemurnian hadits dan dapat meresahkan masyarakat. Apalagi jika maknanya benar-benar bertentangan dengan sanad-sanad lain dan mengacaukan pemahaman serta kaidah masyarakat.
Tenggang waktu pembukuan hadits dari masa penulisan individu kepada penulisan secara resmi yang agak lama, bagi kalangan orang-orang yang ingin mengaburkan ajaran agama, juga cukup memiliki peluang untuk merealisasikan keinginannya. Apalagi masih banyaknya hadits-hadits yang belum ditulis (yang masih berada pada hafalan para ulama).
2.5.2 Penelitian Para Ulama tentang Sanad dan Matan Hadits
Penelitian hadits, baik terhadap sanad maupun matan-nya mengalami evolusi, dari bentuknya yang sangat sederhana sampai terciptanya seperangkat kaidah secara lengkap sebagai salah satu disiplin dalam ilmu agama, yang dikenal dengan ilmu hadits. Evolusi itu terjadi sejak awal abad pertentangan hijraih secara bertahap sampai lahirnya kriteria kesahihan hadits dan munculnya kitab-kitab produk mereka.
Setelah wafat Rasulullah saw., pada khalifah, terutama Abu Bakar Jan Umar, sangat berhati-hati terhadap periwayatan hadits, dengan alasan karena khawatir terjadinya kesalahan dalam menerima atau meriwayatkan hadits. Karena alasan ini, sehingga jika ada suatu hadits yang baru, khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, selalu meminta sumpah kepada pembawa hadits yang disampaikan lepadanya (Ajjaj al-Khatib, U.: 115-116). Tentu saja bukan hanya sumpah, melainkan ditunjang oleh keseriusan melihat dan memahami kandungannya. Ini gambaran dari upaya para ulama kurun sahabat dalam mengadakan penelitian hadits.
Pada kurun tabi'in, penelitian dilakukan dengan mengacu kepada beberapa ketentuan bahwa hadits dapat diterima jika diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, baik akhlaknya, dan dikenal memiliki pengetahuan dalam bidang hadits. Sebaliknya, hadits tidak bisa diterima jika perawinya tidak tsiqah (Syuhudi Ismail, 1988: 369-371), 2), suka berdusta dan mengikuti hawa nafsu, tidak memahami hadits yang diriwayatkannya, dan orang yang ditolak kesaksiannya.
Asy-Syafi'i dalam merumuskan kaidah untuk penelitian hadits ini lebih maju dari yang dikemukakannya di atas, ia berhasil mengajukan pedoman dalam melakukan penelitian yang mencakup sanad dan matan hadits. Dalam ar-Risalah-nya, ia mengemukakan hadits ahad diriwayatkan o1eh perawi yang dapat dipercaya pengalaman agamanya, dikenal jujur dalam menyampaikan berita, memahami dengan baik hadits yang diriwayatkannya, memahami perubahan makna hadits jika terjadi perubahan lafal, mampu meriwayatkan hadits secara lafal, terpeliharanya periwayatan, baik dilakukan melalui hafalan maupun tulisan, jika hadits itu diriwayatkan juga oleh perawi lain, maka bunyinya tidak berbeda, dan tidak ada unsur tadlis (menyembunyikan kecacatan) dalam periwayatan dan silsilah sanad-nya harus bersambung (Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, 1979: 369-106).
Penelitian sanad dan matan untuk keperluan hadits, ini berlanjut sampai pada pertengahan abad kelima hijriah, yaitu masa al-Hakim (312-405 H) dan al-Baihaqi (384-458 H ). Untuk selanjutnya, penelitian ini diarahkan untuk keperluan penyempurnaan dan penganekaragaman sistem penulisan hadits.
Munculnya buku-buku atau kitab-kitab dalam masalah ibadah, akidah, dan akhlak yang menggunakan dalil-dalil hadits dewasa ini dengan tidak menyertakan sumber rujukan dan keterangan tentang kualitas hadits-hadits tersebut. Dengan demikian, meskipun sifat dan sasarannya lebih terbatas, tetapi kajian-kajian berikutnya, seperti dengan melakukan takhrij al-hadits, merupakan solusi yang perlu terus dikembangkan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan :
Sanad dan matan merupakan dua unsur pokok hadits yang harus ada pada setiap hadits.
Sanad,matan,dan rawi memiliki kaitan sama dalam kesahihan satu hadits.
Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting, karena hadits yang diperoleh/diriwaytkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadits yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam.
3.2 Saran
Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan ini meskipun penulisan ini jauh dari sempurna minimal para pembaca dapat mengimplementasikan tulisan ini. Selain itu, makalah ini masih banyak memiliki kesalahan dari segi penulisan, sumber materi, dan lainnya, karena penulis juga merupakan manusia yang adalah tempat salah dan dosa: dalam hadits "al insanu minal khotto' wannisa'", dan para juga butuh saran serta kritik agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik daripada masa sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Mahmud, dkk. 1984. Ilmu Musthalah Hadits. Jakarta: PT. Hidayakarya
Agung.
B Smeer, Zeid. 2008. Ulumul Hadis: Pengantar Studi Praktis Hadis. Malang:
UIN Malang Press.
Mudasir. 1999. Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadis. Bogor: Ghalia Indonesia.
Solahudin, Agus, dkk. 2011. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
http://alfiahkhoiriasyir.blogspot.com/2013/05/makalah-pengertian-sanad-dan-matan.html
Diunduh pada tanggal 18 September 2014 pukul 16.53 WITA.
http://hadis-hadis.blogspot.com/2008/04/perngertian-sanad-matan-rawidan-rijalul.html
Diunduh pada tanggal 22 September 2014 pukul 00.22 WITA.
http://halaqohtdj.blogspot.com/2012/06/arti-dari-sanad-dan-matan-dalam-hadits.html
Diunduh pada tanggal 19 September 2014 pukul 17.31 WITA.
http://sumberpiji.wordpress.com/2011/11/16/pengertian-matan-sanad-isnad-musnad-dan-rawi-haditst/
Diunduh pada tanggal 19 September 2014 pukul 17.39 WITA.