GOOD MINING PRACTICES
Disusun oleh :
OCTAVIANIE (212.15.0032)
MARCIA VIOLETHA RIKUMAHU (212.15.0036)
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER TEKNIK PERTAMBANGAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA
2016
PENDAHULUAN
Aktivitas operasi produksi kandungan kekayaan alam di bawah permukaan daratan dan lautan bumi ini, memang selalu meninggalkan dampak bagi alam terutama perubahan rona muka bumi. Bukit bisa berubah menjadi lembah, lembah bisa menjadi gunungan, kering bisa menjadi banjir, kondisi cukup air bisa menjadi kekeringan pun sebaliknya. Satu sisi, kandungan alam itu akan bernilai ekonomis dan bisa bermanfaat bagi sebesar-besar kebutuhan manusia. Dunia ini butuh energi untuk bergerak maju. Perekonomian butuh bahan-bahan mineral untuk berkembang baik.
Tak ada yang menolak anggapan bahwa aktivitas dasar pertambangan itu sifatnya destruktif, merubah lanskap lahan, memotong vegetasi di permukaan, pembuangan limbah dan lain sebagainya. Tekanan aktivitas pertambangan yang begitu besar terhadap lingkungan untuk beberapa hal dan kondisi memang patut dikoreksi terlebih mengingat masih adanya paradigma kuno tentang tambang terkait dengan sifat eksploitatifnya yang diturunkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Masyarakat juga awam terhadap aktivitas pertambangan secara keseluruhan. Paradigma yang keliru inilah yang menimbulkan penolakan atau ketidaksukaan publik.
Namun berbagai perkembangan di dunia internasional telah membawa trend baru dalam dunia pertambangan di mana bahan galian tidak lagi dianggap hanya sebagai produk namun aset yang memiliki nilai tambah/ nilai lanjut. Terdapat transformasi manfaat dalam kegiatan pertambangan, tidak hanya terhenti pada eksploitasi semata namun ada mata rantai pembangunan berkelanjutan yang membawa manfaat lebih bagi negara dan masyarakat.
SEJARAH DAN KONSEP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Pembangunan berkelanjutan atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan sustainable development pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 pada Konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm, Swedia. Pada konferensi tersebut, dunia menyadari sepenuhnya bahwa perkembangan pesat populasi manusia harus bertahan dalam keterbatasan sumberdaya. Tanpa ada pengelolaan yang baik, sumberdaya seperti makanan, energi dan air dapat habis, yang pada akhirnya akan mengarah ke krisis global. Pelaksanaan konferensi ini telah memicu pembentukan lembaga-lembaga perlindungan lingkungan, dan yang terpenting adalah terlibatnya para politisi, institusi pemerintah dan organisasi-organisasi internasional sebagai kekuatan di belakang pergerakan tersebut. Selanjutnya, International Union for the Conservation of Natural Resources (IUCN) menerbitkan Strategi Konservasi Dunia (World Conservation Strategy/WCS) pada tahun 1980 yang merupakan cikal bakal konsep pembangunan berkelanjutan.
Pada tahun 1983, World Commission on Environment and Development (WCED) berdiri, dan setahun kemudian disahkan menjadi badan independen oleh Majelis Umum PBB dengan tugas merumuskan Agenda Global untuk Perubahan (A Global Agenda for Change). Melalui laporannya "our common future" atau lebih dikenal dengan Laporan Brundtland (Brundtland Report) yang dirilis tahun 1987, WCED merumuskan defenisi pembangunan berkelanjutan sebagai "pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri" (development which meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs). Definisi ini kemudian dikenal sebagai definisi klasik yang diterima secara luas oleh dunia. Melalui laporan ini juga, WCED menegaskan bahwa lingkungan dan pembangunan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain: lingkungan adalah tempat di mana kita semua hidup; dan pembangunan adalah apa yang kita semua lakukan dalam upaya untuk memperbaiki nasib kita di dalam tempat tinggal kita itu.
Konferensi internasional pertama yang mengusung tema pembangunan berkelanjutan digelar oleh PBB di Rio de Janeiro, Brazil pada Juni 1992 tentang Ekonomi dan Pembangunan/ UN Conference on Environment and Development (UNCED). Secara spesifik, konferensi ini mengadopsi agenda lingkungan dan pembangunan di abad ke-21 atau yang dikenal dengan nama Agenda 21. Agenda 21 merupakan sebuah program aksi untuk pembangunan berkelanjutan yang berisi Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan. Deklarasi ini secara tegas mengakui hak setiap bangsa untuk mengejar kemajuan sosial dan ekonomi dan memberi tanggung jawab kepada negara-negara untuk mengadopsi model pembangunan berkelanjutan. UNCED untuk pertama kalinya memobilisasi Kelompok-kelompok Utama (Major Groups) dan melegitimasi partisipasi mereka dalam proses pembangunan berkelanjutan. Para pemimpin negara di dunia kemudian secara tegas dan luas mengakui pentingnya perubahan mendasar dalam pola-pola konsumsi dan produksi dalam upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan. Agenda 21 lebih lanjut menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan melingkupi integrasi pilar-pilar ekonomi, sosial dan lingkungan (Gambar 1). Sepuluh tahun setelah Deklarasi Rio, the World Summit on Sustainable Development (WSSD) diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan untuk memperbaharui komitmen global terhadap pembangunan berkelanjutan. Kesepakatan konferensi dituangkan dalam Johannesburg Plan of Implementation (JPOI), serta menugaskan Commission on Sustainable Development (CSD) untuk menindaklanjuti penerapan pembangunan berkelanjutan.
Gambar 1. Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan dalam Agenda 21
Perkembangan pembangunan berkelanjutan kontemporer ditandai oleh pelaksanaan United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) atau yang dikenal dengan Rio+20 sebagai konferensi internasional ketiga. Sesuai namanya, Rio+20 dilaksanakan di Rio de Janeiro pada tahun 2012, dan memiliki tiga tujuan yaitu mengamankan pembaruan komitmen politik untuk pembangunan berkelanjutan, menilai kemajuan dan kesenjangan implementasi dalam memehuni komitmen sebelumnya, serta membahas tantangan-tantangan baru yang muncul dalam implementasi pembangunan berkelanjutan. Secara umum, hasil-hasil pertemuan Rio+20 dituangkan dalam sebuah dokumen yang diberi judul "The Future We Want" yang diantaranya berisi tentang pengakuan bahwa perubahan mendasar terhadap pola konsumsi dan produksi masyarakat sangat diperlukan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan global.
KONSEP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PADA INDUSTRI PERTAMBANGAN
Ada dua masalah yang paling umum ditanyakan dalam diskusi mengenai konsep berkelanjutan pada sektor pertambangan. Pertanyaan pertama adalah Bagaimana menerapkan konsep berkelanjutan pada kegiatan pertambangan yang pasti suatu saat akan berhenti karena sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui? Adalah hal yang sudah umum diketahui bahwa cadangan, baik mineral dan batubara, betapapun banyaknya, suatu saat akan habis ditambang mengingat sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Bahkan umur proyek yang tidak lebih dari 10 tahun sering ditemui pada tambang-tambang skala menengah dan kecil dengan volume cadangan yang sangat terbatas.
Pertanyaan kedua adalah bagaimana menerapkan konsep berkelanjutan pada kegiatan yang sifatnya melawan ciri pembangunan berkelanjutan? Dalam prakteknya, kegiatan pertambangan secara alami berlawanan dengan apa yang diperjuangkan oleh praktisi pembangunan berkelanjutan di mana kegiatan utamanya adalah memindahkan dan mengambil tanpa mengganti, dan aktivitasnya berdampak besar pada lingkungan setempat, belum lagi dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan terhadap masyarakat di sekitar tambang (The Guardian, 2012).
Tema berkelanjutan dalam industri pertambangan merupakan turunan dari konsep pembangunan berkelanjutan yang secara kontemporer terus dikampanyekan di berbagai sektor. Khusus pada bidang pertambangan, konsep berkelanjutan memiliki posisi yang unik karena barang tambang bukanlah sumberdaya yang dapat diperbaharui. Sekali cadangan habis ditambang, maka selesailah kegiatan pertambangan tersebut. Tidak peduli betapa menguntungkan pada awalnya dan betapa banyak orang yang menggantungkan hidup darinya, tambang harus tetap ditutup. Sekali berarti, sesudah itu mati.
Belajar dari pengalaman, industri pertambangan menyadari sepenuhnya bahwa masa depan sektor ini sangat ditentukan oleh pencapaian pembangunan berkelanjutan mereka sendiri. Oleh karena itu, setiap aktifitas pertambangan harus memenuhi harapan sosial dan harus berbagi tanggung jawab dengan pemerintah dan para pemangku kepentingan. Hal yang sangat penting adalah proses ini harus mulai dilakukan sejak masa-masa awal kegiatan pertambangan, bahkan sejak pembangunan tambang mulai direncanakan. Dengan cara ini, pihak perusahaan akan memenangkan izin sosial untuk beroperasi dari masyarakat.
International Institute for Sustainable Development (IISD) dan World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), melalui laporan final proyek Mining, Mineral and Sustainable Development (MMSD) yang dirilis tahun 2002, merancang sebuah kerangka kerja pembangunan berkelanjutan pada sektor mineral. Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud penerapan konsep pembangunan berkelanjutan pada industri pertambangan bukanlah upaya membuat satu tambang baru untuk mengganti tambang lain yang sudah ditutup, tetapi melihat sektor pertambangan secara keseluruhan dalam memberikan kontribusi pada kesejahteraan manusia saat ini tanpa mengurangi potensi bagi generasi mendatang untuk melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, pendekatan pertambangan berkelanjutan harus komperhensif dan berwawasan ke depan. Komperhensif yang dimaksud adalah menimbang secara keseluruhan sistem pertambangan mulai dari tahap eksplorasi hingga penutupan tambang, termasuk distribusi produk dan hasil-hasil tambang, sedangkan berwawasan ke depan adalah menetapkan tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang secara konsisten dan bersama-sama.
Selanjutnya, JPOI mengindentifikasi tiga bidang prioritas untuk memaksimalkan potensi keberlanjutan di sektor pertambangan, yaitu:
Menganalisa dampak dan keuntungan sosial, kesehatan, ekonomi dan lin gkungan sepanjang siklus kegiatan pertambangan, termasuk kesehatan dan keselamatan pekerja;
Meningkatkan partisipasi para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat dan lokal serta kaum perempuan;
Menumbuhkan praktek-praktek pertambangan berkelanjutan melalui penyediaan dukungan teknis, pembangunan kapasitas dan keuangan, kepada negara berkembang dan miskin.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsep keberlanjutan dalam pertambangan tidak berarti kegiatan tersebut harus dilakukan terus menerus, begitu pula jika diasumsikan secara sederhana dengan membuat tambang baru untuk melanjutkan tambang lain yang sudah ditutup. Konsep keberlanjutan dalam industri ini diarahkan pada upaya untuk memaksimalkan manfaat pembangunan pertambangan dan pada saat yang sama mampu meningkatkan keberlanjutan lingkungan dan sosial. Artinya, konsep keberlanjutan pada sektor ekstraksi mineral dan batubara ditekankan pada optimalisasi dampak-dampak positif yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut dengan menitikberatkan pada akulturasi pilar-pilar ekonomi, sosial dan lingkungan (the triple bottom-line).
Meski begitu, dalam kenyataannya implementasi praktek-praktek pertambangan berkelanjutan tetap harus dilihat secara utuh dan terintegrasi. Australian Centre for Sustainable Mining Practices berpendapat bahwa konsep the triple bottom-line gagal mempertimbangkan dua unsur teknis yang sangat penting dan tidak terpisahkan dalam operasi pertambangan berkelanjutan, yang pertama keselamatan (safety) dan yang kedua efisiensi sumberdaya (efficiency resources). Integrasi dua area penting ini merupakan masukan berharga dan dapat dianggap sebagai pengembangan dari konsep yang telah dibangun oleh MMSD.
Gambar 2. Praktek-praktek Pertambangan Berkelanjutan (Laurence, 2011, dalam ACSMP, 2011)
Demikianlah, selain berkewajiban mengamankan pasokan material dalam rangka pemenuhan kebutuhan pertumbuhan di masa depan, kegiatan pertambangan juga harus dilakukan secara ekonomis, ramah lingkungan, bertanggung jawab secara sosial dan dengan cara-cara yang aman dan efisien. Oleh karena itu, pengembangan prinsip pengelolaan pertambangan yang berkelanjutan adalah misi yang sangat penting, saat ini dan di masa yang akan datang.
GOOD MINING PRACTISE
Berkembangnya konsep pembangunan berkelanjutan pada industri pertambangan dunia dan nasional, turut membawa perubahan dalam Undang-Undang No.11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang sudah tidak lagi relevan. Pada tanggal 12 Januari 2009 disahkanlah Undang-Undang No.4 Tahun 2009 menggantikan Undang-Undang sebelumnya dengan pertimbangan perubahan sebagai berikut:
Bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan;
Bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara merupakan kegiatan usaha di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan;
Bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan;
Undang-Undang No.4 Tahun 2009 ini menjadi landasan bagi seluruh aktivitas pertambangan untuk dioperasionalkan dengan baik dan benar sesuai hukum yang berlaku. Baik dan benar dari dua persfektif yakni dari Pelaku Bisnis dan Pemerintah. Dalam praktik pertambangan yang baik harus sinkron antara kepentingan pembuat regulasi dan kepentingan pemegang izin usaha pertambangan (IUP). Pemerintah harus mampu memberikan kepastian dan kejelasan mengenai peraturan dan kebijakan pertambangan pada satu sisi, sementara pemegang izin usaha pertambangan (IUP) harus mentaati peraturan dan kebijakan yang berlaku di tempat tersebut pada sisi yang lain. Dalam rangka pengelolaan pertambangan yang baik dan benar ini, maka terdapat dua unsur utama yang melaksanakannya, yaitu pelaku bisnis dan pembuat kebijakan. Agar tercapai maksud pengelolaan tersebut diatas, maka pelaku bisnis dalam mengelola pertambangan haruslah melaksanakannya dengan baik dengan selalu memperhatikan beberapa hal antara lain: efisiensi, keuntungan yang wajar, resiko yang rendah, kepedulian terhadap lingkungan dan kepedulian terhadap masyarakat.
Sedangkan bagi pembuat kebijakan beberapa hal yang wajib menjadi perhatiannya antara lain adalah pembangunan masyarakat dan daerah dapat berjalan baik, pembangunan dapat berkelanjutan, menekan agar pelaku bisnis taat terhadap aturan, melaksanakan kegiatan berpedoman pada azas konservasi bahan galian agar dapat meningkatkan nilai tambah dan menekan terjadinya kecelakaan serta pentingnya melaksanakan perlindungan terhadap lingkungan. Peran birokrat (pembuat kebijakan) pada hakekatnya adalah membuat kebijakan yang tepat dan kondusif, menjamin keamanan, menjamin kepastian hukum menjadi fasilitator yang baik serta membuat pedoman terhadap pelaksanaan kegiatan. Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Pasal 95 (a) menyebutkan bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib menerapkan kaidah pertambangan yang baik.
Gambar 3. Jembatan Dua Persfektif Untuk Menciptakan Good Mining Practices (Suryantoro, 2002)
Kaidah pertambangan yang baik ini dikenal dengan istilah Good Mining Practices. Pengertian Good Mining Practices adalah suatu kegiatan pertambangan yang:
Membangun peradaban sebagai suatu kegiatan usaha pertambangan yang memenuhi ketentuan–ketentuan, kriteria, kaidah dan norma-norma yang tepat sehingga pemanfaatan sumberdaya mineral memberikan hasil yang optimal dan dampak buruk yang minimal.
Dilaksanakan dengan megikuti aturan perizinan, teknis pertambangan, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), lingkungan, keterkaitan hulu hilir, konservasi, nilai tambah dan pengembangan masyarakat disekitar lokasi tambang dan mempersiapkan penutupan dan pascatambang dalam bingkai peraturan perundangan dan standar yang berlaku.
Gambar 4. Pola Pikir Pengelolaan Pertambangan Yang Baik dan Benar (Good Mining Practices)
ASPEK-ASPEK GOOD MINING PRACTICES
Beberapa aspek penerapan Good Mining Practice sebagai berikut:
Perizinan dan Aspek Legalitas
Pertambangan yang baik adalah kegiatan pertambangan yang mematuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di daerah atau negara tempat aktivitas pertambangan tersebut dilaksanakan.. Dalam praktik pertambangan yang baik harus sinkron antara kepentingan pembuat regulasi dan kepentingan pemegang izin usaha pertambangan (IUP). Pemerintah harus mampu memberikan kepastian dan kejelasan mengenai peraturan dan kebijakan pertambangan pada satu sisi, sementara pemegang izin usaha pertambangan (IUP) harus mentaati peraturan dan kebijakan yang berlaku di tempat tersebut pada sisi yang lain.
Gambar 5. Diagram Alur Proses Perijinan Tambang dari IUP Eksplorasi hingga IUP Operasi Produksi
Jenis-jenis Perizinan Pertambangan adalah sebagai berikut:
IUP
Izin Usaha Pertambangan adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.
IUP Eksplorasi
Izin Usaha Pertambangan yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan unium, eksplorasi, dan studi kelayakan.
IUP Operasi Produksi
IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.
IPR
Izin Pertambangan Rakyat adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
IUPK
Izin Usaha Pertambangan Khusus adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
IUPK Eksplorasi
Izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.Izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
IUPK Operasi Produksi
Izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
IUJP
Izin Usaha Jasa Pertambangan adalah izin usaha yang diberikan kepada pelaku usaha jasa penunjang kegiatan usaha pertambangan :
Kegiatan Inti :
Konsultasi, perencanaan, pelaksanaan dan pengujian peralatan di bidang:
1. Penyelidikan Umum;
2. Eksplorasi;
3. Studi kelayakan;
4. Konstruksi Pertambangan;
5. Pengangkutan;
6. Lingkungan Pertambangan;
7. Pascatambang dan Reklamasi; dan/atau
8. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Penambangan
Pengolahan dan pemurnian.
Kegiatan Non Inti :
Jenis kegiatan selain kegiatan terbsebut diatas.
Kontrak Karya
Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.1409.K/201/M.PE/1996 Pasal 1
Kontrak Karya adalah suatu perjanjian antara pemerintah RI dengan perusahaan swasta asing atau patungan antara asing dengan nasional (dalam rangka PMA) untuk pengusahaan mineral dengan berpedoman kepada UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing serta UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Pertambangan Umum.
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1614 tahun 2004, Pasal 1 ayat 1
Kontrak Karya adalah perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi,gas alam, panas bumi, radio aktif, dan batu bara.
PKP2B
Keputusan Nomor 49 Tahun 1981, Pasal 1
Perjanjian kerja sama adalah perjanjian antara perusahaan negara tambang batubara sebagai pemegang kuasa pertambangan dan pihak swasta sebagai kontraktor untuk pengusahaan tambang batu bara untuk jangka waktu 30 tahun berdasarkan ketentuanketentuan tersebut dalam Keppres ini.
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996, Pasal 1
Perjanjian karya adalah perjanjian antara pemerintah dan perusahaan kontraktor swasta untuk melaksanakan pengusahaan pertambangan bahan galian batu bara.
Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.1409.K/201/M.PE/1996, Pasal 1
PKP2B adalah suatu perjanjian antara pemerintah RI dengan perusahaan swasta asing atau patungan antara asing dengan nasional (dalam rangka PMA) untuk pengusahaanbatu bara dengan berpedoman kepada UU No. 1/1967 tentang PMA serta UU No.11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Umum.
Salim (2005) mengutip Abrar Saleng (2004: 162-163) bahwa PKP2B merupakan perjanjian pola campuran antara pola kontrak karya dengan kontrak production sharing. Dikatakan campuran atau gabungan karena untuk ketentuan perpajakannya mengikuti pola kontrak karya, sedangkan pembagian hasil produksinya mengikuti pola kontrak production sharing. Sementara itu, prinsip-prinsip PKP2B adalah :
perusahaan kontraktor swasta bertanggung jawab atas pengelolaan pengusahaan pertambangan batu bara yang dilaksanakan berdasarkan perjanjian.
perusahaan kontraktor swasta menanggung semua risiko dan semua biaya berdasarkan perjanjian dalam melaksanakan perusahaan pertambangan batu bara.
Teknik Penambangan
Pada prinsipnya, teknik pertambangan yang baik dapat dilakukan apabila didalam aktifitas pertambangan tersebut dilakukan hal-hal sebagai berikut :
Eksplorasi harus dilaksanakan secara baik, benar dan memadai.
Perhitungan cadangan layak tambang harus ditetapkan dengan baik (tingkat akurasi tinggi).
Studi geohidrologi, geoteknik dan metalurgi harus dilakukan secara baik dan benar.
Studi kelayakan (feasibility study) yang komprehensif dengan didukung data yang cukup, perlu disusun dengan baik, termasuk studi lingkungannya (AMDAL atau UKL/UPL).
Teknik dan sistem tambang serta proses pengolahan/pemurnian harus direncanakan dan dilaksanakan secara baik (sistem tambang pada material lepas dan padu sangat berbeda, demikian pula proses pengolahannya)
Teknik konstruksi dan pemilihan peralatan harus tepat guna.
Sistem pengangkutan bahan tambang harus terencana baik, termasuk pemilihan alat angkut dan alat berat lainnya.
Produksi hendaknya disesuaikan dengan jumlah ketersediaan cadangan dan spesifikasi.
Program pasca tambang harus terencana dengan baik sebelum seluruh aktifitas dihentikan. Pada pasca tambang harus segera dilakukan kegiatan penataan dan reklamasi pada lahan bekas tambang yang disesuaikan dengan perencanaannya. Pelaksanaan penataan dan reklamasi sebaiknya mengacu pada rencana tata ruang daerah yang bersangkutan dan disesuaikan dengan kondisi lahan.
Gambar 6. Tahapan Pertambangan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Praktik pertambangan yang baik sangat memperhatikan keselamatan dan kesehatan pekerjanya. Dalam hal ini, perusahaan berkewajiban melaksanakan pembinaan, pelatihan atau pendidikan dan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan yang berkaitan dengan upaya meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja. Hal yang dilakukan adalah dengan membuat regulasi dan penggunaan alat-alat perlindungan diri (APD), agar terhindar dari kecelakaan yang sering terjadi pada saat kerja
Lingkungan
Aktivitas pertambangan yang selalu menunjukkan kepedulian terhadap dampak lingkungan. Tidak bisa seratus persen dihindari, tetapi manfaatnya harus dioptimalisasi. Dalam eksplorasi, perencanaan dan design produksi, pemilihan metode dan teknologi, penempatan-penempatan bangunan pendukung, pengelolaan tailing, reklamasi dan pasca eksploitasi hendaknya benar-benar memperhatikan aspek lingkungan.
Hak-hak Masyarakat
Kegiatan pertambangan diharapkan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, memacu pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar aktivitas pertambangan dilakukan. Dengan program Corporate Social Resposibility (CSR), perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dapat mewujudkan hak-hak masyarakat tersebut.
Penutupan Tambang dan Pascatambang
Kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. Kegiatan pertambangan bersifat proyek, jadi ada jangka waktu perhitungan yang jelas, maka pasca tambang diharapkan mampu memberikan manfaat berkelanjutan bagi social dan lingkungan sekitar tambang.
MANFAAT PENERAPAN GOOD MINING PRACTICES
Penerapan good mining practices akan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat, perusahaan, pemerintah, dan lingkungan. Perusahaan mendapatkan keuntungan yang maksimal secara aman, masyarakat merasakan peningkatan kesejateraannya, pemerintah tidak kesulitan dalam pengawasan dan penerapan peraturan, dan lingkungan masih produktif.
Sebaliknya jika pertambangan tidak dilakukan dengan baik dan benar, maka akan berakibat pada :
Kesulitan dalam pelaksanaan kegiatan.
Hasil tambang tidak akan efisien dan ekonomis.
Produksi akan tersendat / tidak lancar.
Kemungkinan terjadinya kecelakaan tambang akan tinggi.
Pengrusakan dan gangguan terhadap lingkungan akan timbul.
Terjadinya "pemborosan" bahan galian.
Pasca tambang akan mengalami kesulitan dan sulit penanganannya.
Semua pihak akan mendapat rugi (pemerintah, perusahaan dan masyarakat).
Kegiatan pertambangan akan "dituding" sebagai suatu kegiatan yang merusak lingkungan