BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Belakang Pada masa reformasi, isu tentang golput mulai disoroti kembali, ancaman golput
kini semakin meluas tidak hanya ditingkat nasinal (pemilu), akan tetapi hingga ditingkat pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dan kini, pada awal Desember 2008 atau menjelang memasuki tahun pemilu 2009, golput dinilai dengan menambahkan ide tentang fatwa haram. Pemilihan umum di negara yang demokrastis dan berdasarkan pada Pancasila menjadi sebuah kebutuhan yang perlu diwujudkan dalam penyelenggaraan negara. Melalui pemilihan pemilihan umum, rakyat yang berdaulat memilih memilih wakil-wakilnya wakil-wakilnya yang diharapkan dihara pkan dapat memperjuangkan aspisari dan kepentinganya dalam suatu pemerintahan yang berkuasa. Oleh karena itu setiap warga negara sebaiknya ikut berpartisipasi dalam pelaksaan pemilihan umum dengan menyalurkan hak pilihya atau dengan kata lain tidak melakukan tindakan golput (Golongan Putih) yang juga merupakan suatu cara dalam mengamalkan nilai-nila nilai-nilaii Pancasila khususnya sila keempat yang merupakan cita-cita cit a-cita bangsa dapat terwujud dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Pemerintahan yang berkuasa sendiri merupakan hasil dari pilihan maupun bentukan para wakil rakyat tadi untuk menjalankan kekuasaan negara. Tugas para wakil pemerintahan yang berkuasa adalah melakukan melakukan kontrol atau pengawasan pengawasan terhadap pemerintah pemerintah tersebut. Dengan demikian, melalui pemilihan umum rakyat akan selalu dapat terlibat dalam proses politik dan secara langsung maupun tidak langsung menyatakan kedaulatan atas kekuasaan negara dan pemerintahan melalui wakil-wakilnya. Dalam tatanan demokrasi, pemilu juga menjadi mekanisme/cara untuk memindahkan konflik kepentingan dari tataran masyarakat ke tataran badan perwakilan agar dapat diselesaikan secara damai dan adil sehingga kesatuan masyarakat tetap terjamin. Hal ini didasarkan pada prisip bahwa dalam sistem demokrasi dan berdasarkan nilai dasar dari pancasila terutama sila keempat yaitu nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, segala perbedaan atau
1
pertentangan kepentingan di masyarakat tidak boleh diselesaikan dengan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan, melainkan melalui musyawarah.
1.2
Perumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini
memperoleh hasil yang diinginkan, diinginkan, maka penulis mengemukakan beberapa bebera pa rumusan masalah. Perumusan masalah itu adalah: 1. Sejauh manakah manakah pengama pengamalan lan pancasila pancasila yang yang telah direalisa direalisasikan sikan dalam dalam kehidupan kehidupan berbangsa dan bernegara? 2. Sejauh manakah manakah pengetahuan pengetahuan mengen mengenai ai pemili pemilihan han umum umum dalam dalam sistem sistem demokrasi? 3. Apakah faktor-faktor penyebab penyebab terjadinya terjadinya tindakan golput (Golongan (Golongan Putih)?
1.3
Tujuan Tujuan dari penyususnan makalah ini antara lain: 1. Untuk mendapatkan mendapatkan pengetahuan, pengetahuan, kesadaran, kesadaran, ketaatan, kemampua kemampuan, n, kebiasaan, kebiasaan, mentalitas, watak dan hati nurani yang dijiwai oleh pancasila. 2. Meningkatkan Meningkatkan kesadaran kesadaran berpartisipasi berpartisipasi dalam pemil pemilihan ihan umum umum (Pemilu). (Pemilu). 3. Untuk lebih lebih mensosia mensosialisa lisasika sikan n hak pilih pilih sebagai sebagai warga negara dalam pemi pemilu lu yang yang yang demokratis dalam pancasila.
1.4
Manfaat Manfaat yang didapat dari makalah ini adalah: 1. Agar warga negara negara dapat mengamal mengamalkan kan pancasi pancasila la pada pelaksanaan pelaksanaan pemili pemilihan han umum (pemilu). 2. Agar terciptan terciptanya ya siste sistem m pemeri pemerintah ntahan an demokrat demokratis. is.
BAB II PEMBAHASAN
2
2.1
Pengamalan Pancasila Sebagai pandangan hidup bangsa, pancasila diharapkan menjadi pedoman bangsa
Indonesia dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Didalam pancasila terdapat pedoman tingkah laku yang berintikan pada prinsip keselarasan dan keseimbangan dalam kehidupan. Oleh karena itu, manusia harus mampu menjaga keseimbangan dan keselarasan dalam kedudukannya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Mewujudkan pengamalan pancasila oleh warga negara yang baik dalam penyelenggaraan negara dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu: 1. Pengamalan Pengamalan secara subkjetif, subkjetif, artinya artinya pelaksan pelaksanaan aan dalam dalam pribad pribadii setiap warga warga negara, setiap individu, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. 2. Pengamalan Pengamalan secara objektif, objektif, artinya artinya pelaksanaan pelaksanaan dalam bentuk realisasi realisasi nila nilai-ni i-nilai lai pancasila pada setiap aspek penyelengaraan negara, baik dibidang legislatif, eksekutif maupun yudikatif dan semua bidang kenegaraan terutama realisasinya dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia. Pelaksanaan pancasila secara subjektif membawa implikasi wajib moral, artinya sanksi yang muncul lebih sebagai sanksi dari hati nurani atau masyarakat, sedangkan pelaksanaan pancasila secara objektif sebagai dasar negara membawa implikasi wajib hukum, artinya ketidaktaaan pada pancasila dapat dikenai sanksi yang tegas secara hukum. Perilaku yang sesuai dalam melaksanakan nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijkasanaan dalam permusyawaratan perwakilan diwujudkan dalam bentuk antara lain sebagai berikut: a.
Menerima dan memperlakukan setiap orang Indonesia dengan persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia.
b.
Menghormati perbedaan keyakinan dan pendapat sesama.
c.
Mengikuti kegiatan dalam kehidupan berpolitik dan pemerintahan negara baik secara langsung maupun tidak langsung atas dasar persamaan hak dan kewajiban terhadap kesejahteraan umum.
d.
Mengikuti pemilihan umum.
3
e.
Mengutamakan musyawarah dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama serta melaksanakannya.
2.2
Pemilihan Umum (Pemilu) Dari berbagai sudut pandang, banyak pengertian mengenai pemilihan umum. Tetapi intinya adalah pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan ditangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dan ini adalah inti kehidupan demokrasi. Pemilu juga dapat dipahami sebagai berikut:
1.
Dalam UU No.3 tahun 1999 tentang pemilihan umum: a.
Bahwa berdasarkan UUD 1945, negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan berkedaulatan rakyat.
b.
Bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
c.
Bahwa pemilihan umu umum m bukan hanya bertujuan bert ujuan untuk memilih memilih wakil-wakil wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Lembaga Permusyawaratan/Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penyusunan tata kehidupan negara yang dijiwai semangat Pancasila dan UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.
Dalam BAB I ketentuan umum pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa:”Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2.
Dalam pernyataan umum hak asasi manusia PBB pasal 21 ayat 1 dinyatakan bahwa “Setiap orang mempunyai hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara bebas”. Selanjutnya untuk mendukung ayat-ayat tersebut, dalam ayat 3 ditegaskan asas untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang melandasi kewenangan dan tindakan pemeritah suatu negara, yaitu “Kehendak rakyat hendaknya menjadi dasar kewenangan pemerintah, kehendak ini hendaknya hendaknya dinyatakan dalam pemilihan-pemil pemilihan-pemilihan ihan sejati (periodik) yang bersifat umum dengan hak pilih yang sama dan hendaknya diadakan
4
denagan pemungutan suara rahasia atau melalui prosedur pemungutan suara bebas. Dan juga merupakan penegasan asas demokrasi yaitu bahwa kedaulatan rakyat harus menjadi dasar bagi kewenangan pemerintah dan kedaulatan rakyat melalui suatu pemilihan pemilihan umum yang langsung, langsung, umum, bebas dan rahasia. 3.
Pemilihan umum merupakan perwujudan nyata demokrasi dalam praktek bernegara masa kini (modern) karena menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas negara dan pemerintah. Pernyataan kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan dalam proses pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa saja yang harus menjalankan dan disisi lain mengawasi pemerintahan negara. Karena itu, fungsi utama bagi rakyat adalah”Untuk memilih dan melakukan pengawasan wakil-wakil mereka”.
4.
Pemilihan umum merupakan manifestasi konkret dari kedaulatan rakyat. Dalam pemilihan pemilihan umum rakyat memilih memilih wakil-wakil dalam parlemen untuk kemudian diharapkan dapat memperjuangkan aspirasinya. Pada pemerintahan kota Yunani kuno pernah dilakukan demokrasi langsung, artinya hak untuk membuat keputusankeputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung ini dapat terselenggara karena bersifat sederhana. Pasca perang dunia II atau dalam negara modern sekarang ini akan sulit jika dilakukan pemilihan secara langsung karena masalah ruang, waktu dan biaya. Maka banyak negara yang menganut paham demokrasi dalam plaksanaan pemilu memilih menggunakan sistem perwakilan. Setiap sistem efektif dan demokratis jika diselengggarakan secara Luber dan Jurdil.
Pemilu sering dikatakan sebagai ujung tombak pelaksanaan sistem demokrasi. Hal ini karena dalam pemilu setiap warga negara dapat mengapresiasikan hak suaranya untuk memilih wakil yang dipercayai mewakili lembaga legislatif. Dalam ilmu politik ada 2 prinsip utama pelaksanaaan sistem pemilihan pemilihan umum, yakni pemilihan pemilihan umum menggunakan sistem distrik dan proporsional atau sistem perwakilan berimbang. Pada sistem distrik jumlah wakil rakyat dalam DPR ditentukan berdasarkan jumlah distrik. Setiap distrik mempunyai satu wakil dari masing-masing parpol kontestan pemilu.
5
Sedangkan pada sistem perwakilan berimbang suatu negara dipecah-pecah ke dalam daerah pemilihan. pemilihan. Setiap daerah memilih memilih sejumlah sejumlah wakil sesuai dengan jumlah penduduk yang ada dalam daerah pemilihan tersebut. Jumlah wakil yang duduk di DPR tergantung dari perolehan suara hasil pemilu. Baik sistem distrik maupun proporsional keduanya mempunyai mempunyai kelebihan dan kekur kekurangan. angan.
2.3
Golongan Putih (Golput) Istilah golongan putih atau golput pertama kali muncul menjelang pemilu 1971. Istilah ini sengaja dimunculkan dimunculkan oleh Arief Budiman dan kawan-kawannya kawan-ka wannya sebagai bentuk
perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI (sekarang TNI) yang sepenuhnya memberikan dukungan politis kepada Golkar. Arogansi ini ditunjukan dengan memaksakan dalam bentuk ancaman seluruh jajaran aparatur pemerintahan termasuk keluarga untuk sepenuhnya memberikan pilihan kepada Golkar. Arogansi seperti ini dianggap menyimpang menyimpang dari nilai dan kaidah demokrasi di mana kekuasaan kekuasaa n sepenuhnya ada ditangan rakyat yang memilih. Ketika itu, Arief Budiman mengajak masyarakat untuk menjadi menjadi golput dengan cara tetap te tap mendatangi tempat Pemungutan suara (TPS). Ketika melakukan pencoblosan , bagian yang dicoblos bukan pada tanda gamabar partai politik akan tetapi pada bagian yang berwarna putih. Maksudnya tidak mencoblos tepat pada tanda gambar yang dipilih, artinya jika coblosan tidak tepat pada tanda gambar, maka kertas suara tersebut dianggap tidak sah. Ada perbedaan fenomena golput pada masa politik di orde baru dan masa politi di era reformasi. Dimasa orde baru, ajakan golput dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan politik terhadap arogansi pemerintah/ABRI yang dianggap tidak menunjang asas demokrasi. Sedangkan pada masa reformasi yang lebih demokratis, pengertian golput merupakan bentuk dari fenomena dalam demokrasi. Di negara manapun yang menjalankan sistem demokrasi, bahkan di negara yang sudah maju demokrsinya, golput adalah fenomena dalam demokrasi. Golongan Putih (Golput) selalu ada pada setiap pesta demokrasi dimanapun terutama yang menggunakan sistem pemilihan langsung. Para pemilih dikatakan golput apabila keputusan untuk tidak memilih salah satu dari kontestan yang tersedia pada kertas suara ketika dilakukan
6
pemungutan suara. Apabila cara untuk memilih dilakukan dengan mencoblos logo/foto, maka pemilih tidak mencoblos pada tempat yang disediakan sehinggga kartu suara dinyatakan tidak sah. Jika untuk memilih digunakan dengan memberikan coretan atau tanda centang, maka pemilih tidak memberikan tanda centang atau memberikan tanda cenntang bukan pada tempat yang disediakan sehingga kartu suara menjadi tidak sah. Dari pengertian ini, Para pemilih dikatakan mengambil sikap golput tetap hadir dan melakukan proses pemilihan sesuai dengan tata cara yang berlaku. Dalam perkembanganya, keputusan untuk tidak memilih (golput) ternyata semakin rumit. Seorang pemilih bersikap tidak memilih dengan cara tidak menghadiri bilik suara atau TPS pada waktu yang telah ditentukan (jadwal pencoblosan) walaupun telah terdaftar sebagai pemilih. Sehingga mengakibatkan kertas suara yang tidak digunakan tadi dianggap tidak sah. Dan juga dengan cara menolak untuk didaftarkan namanya sebagai calon pemilih, dengan menolak untuk dilakukan pendataan ulang atau tidak mengisi formulir calon pemilih. Sehinggga namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih resmi.
2.4
Golput Pemilu Terhadap Pancasila Pancasila dengan lima silanya, silanya, merupakan nilai luhur bangsa Indonesia, Ind onesia, menjadi milik dan berkembang bersama dengan bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Pengalaman sejarah telah membuktikan bahwa sebagai nilai bangsa, Pancasila mampu bertahan dari berbagai ujian yang datang dari negara lain. Pancasila merupakan nilai luhur bangsa Indonesia, yang bersifat tetap. Hal itu disebabkan karena nilai Pancasila sudah menjadi kepribadian bangsa Indonesia sehingga menjiwai dan mewarnai segi peri kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila yang merupakan nilai luhur bangsa Indonesia yang bersifat tetap itu mengoperasionalkan bentuk norma, ukuran petunjuk, standar, atau tuntunan yang nyata bagi tingkah laku para pendukungnya, yaitu seluruh warga negara Indonesia. Artinya bahwa tingkah laku yang sesuai dengan ukuran itu berarti baik dan tingkah laku yang tidak sesuai berarti tidak baik. Berdasarkan ketetapan MPR No.XVIII/MPR/1998, kita harus melaksanaka melaksanakan n pancasila secara konsisten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasal 1 Ketetapan
7
MPR No.XVIII/MPR/1998 tersebut berbunyi “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republlik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Nilai-nilai pancasila memang merupakan cita-cita bangsa yaitu kita meginginkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur yang selaras dan berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Pancasila Panca sila berisi lima lima sila yang pada hakikatnya berisi lima nilai nilai dasar yang fundamental. Nilai dasar tersebut khususnya nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan. Berdasar nilai ini maka diakui paham demokrasi yang lebih mengutamakan pengambilan keputusan keputus an melalui musyawarah musyawarah mufakat. Berdasarkan nilai-nilai Pancasila tersebut, setiap warga negara yang melakukan tindakan golput (Golongan Putih) dalam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) berarti tindakannya tidak sesuai dengan nilai kerakyatan kerakyat an yang dipimpin oleh hikmat hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan tidak mengamalkan pancasila secara subjektif yaitu tidak melaksanakan norma-norma moral yang bersumberkan pada nilai-nilai nilai-nilai Pancasila. Dimana setiap warga w arga negara nega ra seharusnya seha rusnya mengikuti pemilihan pemilihan umum dengan menyalurkan hak pilihnya guna mencapai tujuan bersama yang berasaskan demokrasi dan terciptanya pengamalan penyelenggaraan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila sebagai cita-cita luhur bangsa Indonesia yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
8
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan Pancasila yang merupakan cita-cita luhur bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Sebagai cita-cita luhur bangsa, maka sudah sewajarnya cita-cita itu diwujudkan dalam pengamalan penyelengggaran bernegara. Pancasila sebagai cita-cita bangsa perlu diamalkan dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Pancasila mengandung nilai-nilai moral yang pada hakikatnya merupakan kesatuan moral bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar falsafah negara berarti bahwa moral bangsa telah menjadi moral negara yaitu mengikat negara sekaligus mengandung arti telah menjadi sumber tertib negara dan sumber tertib hukum serta jiwa seluruh kegiatan negara dalam aspek kehidupan negara. Pancasila merupakan moral individu bangsa Indonesia dan karena telah ditetapkan sebagai dasar negara maka Pancasila sekaligus menjadi moral negara. Sebagai moral individu mengatur sikap dan tingkah laku orang perorang, begitu pula dalam sila keempat yang mewajibkan untuk ikut serta dalam kehidupan politik serta pemerintahan negara. Dalam pelaksanaan pemilihan umum yang merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, maka sebagai warga negara Indonesia yang taat pada Pancasila dapat ikut serta dalam pemilihan umum dan tidak melakukan tindakan goput (golongan putih). Sehingga terciptanya Pancasila yang kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
3.2
Saran
9
Dalam pemilu 2009 diharapkan semua warga negara ikut berpartisipasi memberikan hak pilihnya, pilihnya, sehinggga dapat dapa t mewujudkan pengamalan pancasila yang berbunyi kerakyatan yang dipimpin dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dimana kerakyatan mengandung arti sistem demokrasi. Dalam Pelaksanaan pemerintahan yang demokratis harus bermusyawarah untuk mencapai mufakat.
10