ISLAM DAN PANCASILA
1
MENEGASKAN KEMBALI PERAN ISLAM DI NEGARA PANCASILA OlehSuratno
2
OBSESI MENGGANTI PANCASILA
Pasca tumbangnya Orde Baru tahun 1998 dan dilanj utkan dengan era reformasi yang ditandai dengan kebebasan disegala bidang, kebebasan tersebut juga turut dinikmati beberapa kelompok Islam yang konservat if dan at au radikal. Mereka sekarang bebas unt uk secara lant ang dan nyaring ( pot en) dan bahkan secara sembunyi-sembunyi ( l at en) memperj uangkan (kembali) kepent ingan polit is dan ideologis mereka. Ironisnya, perj uangan besar it u bermuara pada obsesi menggant i Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, meski melalui banyak varian bent uk, ide, gagasan dan cit a-cit a yang dikembangkan dari obsesi tersebut . Varian tersebut antara lain pendirian khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya. Apalagi, t umbangnya Orde Baru j uga dibarengi dengan problem berupa meluasnya krisis multi-dimensi, baik sosial, politik, ekonomi dan sebagainya, sehingga kondisi tersebut semakin melegit imasi obsesi menggant i Pancasila, karena dianggap t elah gagal membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Selanjutnya, mereka menganggap bahwa Islam dalam segala varian bentuknya merupakan solusi at as segala problem yang ada. Oleh karena it u slogan perj uangan mereka j elas, misalnya al-Islamu huwa al-halu (Islam adalah solusi), al-Islamu huwa al-dinu wa al-dawlah (Islam adalah agama dan sekaligus negara) dsb. Salah satu kelompok Islam tersebut, misalnya, secara lantang menyatakan bahwa tuj uan dan cita-cita akhir mereka adalah mendirikan khilaf ah Islamiyah di bumi Indonesia. Saya beberapa kali bert emu dengan anggota kelompok tersebut, dan mereka tanpa ragu menyebut bahwa khilafah Islamiyah adalah sistim terbaik yang bisa menj adi solusi bagi segala problem yang melanda Indonesia. Para anggota kelompok t ersebut j uga dengan sabar membangun agenda polit ik mereka, lewat kampanye dan penggalangan massa dikampus-kampus dan masj id-masj id. Secara umum mereka menolak cara-cara kekerasan, meskipun j uga menolak demokrasi yang mereka anggap sebagai sistim t haghut (tiran) yang tidak sesuai dengan Islam. Bagi mereka, khilaf ah (dan bukan negara Pancasila) adalah suat u keniscayaan. Ada juga satu kelompok Islam yang sering ditunjuk memiliki hubungan \u201ctak langsung\u201d dengan kelompoknya para teroris. Mereka secara nyaring menyatakan bahwa Indonesia haruslah berlandaskan syariat Islam (dan atau menjadi negara Islam). Jika Indonesia menolak dilaksanakannya syariat Islam, sebaiknya NKRI bubar saja. Obsesi mereka jelas, yakni mengubah platform negara yang pluralis berdasarkan Pancasila ini dengan syariat Islam. Pent olan kelompok Islam ini bahkan di masa Orde Baru, t erkenal dengan amat sangat gigih menent ang Pancasila, bahkan sampai melarikan diri ke Malaysia. Di luar kelompok di atas, ada j uga kelompok yang berusaha mengganti dasar negara Pancasila, tetapi secara sembunyi-sembunyi. Kelompok ini memang tak pernah mengeluarkan suaranya untuk menggulingkan Pancasila. Yang pertama-tama mereka lakukan adalah menjadi mayoritas, meski harus mengikuti cara-cara yang demokratis seperti pembentukan partai politik, menggalang massa melalui pengaj ian-pengaj ian dan pert emuan-pert emuan ( liqo\u2019). Sebelum menj adi mayorit as, mereka merasa perlu untuk \u201c menyembunyikan\u201d ( t aqiyah) cita-cita dan tujuan akhir mereka. Mereka menganggap bahwa ide negara Islam hanya akan dapat direalisasikan jikalau masyarakat secara mayoritas telah siap untuk menggant i dasar negara mereka. Apapun varian bentuk, ide, gagasan, dan cita-cita kelompok-kelompok di atas, menurut saya, satu hal yang bisa dikat akan adalah bahwa mereka sebenarnya t elah dan akan merongrong sendi-sendi yang paling f undament al/ asasi dari negara ini, dan it u art inya mereka sedang dan akan menggerogot i NKRI.
INDONESIA ADALAH NEGARA PANCASILA
Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, j adi bukan negara Islam, meski bukan negara sekuler. Kalimat ini, bagi kelompok Islam sepert i di at as, mungkin masih dirasa ambigu dan memang bagi mereka yang tidak familiar dengan problem ideologi suatu bangsa, kalimat diatas akan terdengar absurd. Akan Makalah untuk Nurcholish Madjid Memorial Lectures dengan tema \u201c Menggagas Islam Peradaban\u201d di UNTIRTA, Serang, 27 November 2006, kerj a sama UNTIRTA Serang dengan PSIK Universit as Paramadina, Jakart a. 2 Suratno, selain menj adi pengaj ar Pancasila, j uga mengaj ar beberapa mata kuliah Filsafat di Departemen Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina dan di STAI-NU, Jakarta. Alumni beberapa pesantren NU ini lahir di Cilacap, 13 Januari 1977. Memperoleh gelar sarj ana dari Fakult as Filsafat UGM (2000), dan gelar mast er dari Jurusan Perbandingan Agama, CRCS-UGM (2002). 1
1
tetapi, fakta historis telah membuktikan bahwa itulah cara terbaik ( the right way) bagi masyarakat Indonesia unt uk mendiskripsikan ideologi negara mereka. Sebab, kalimat di at as merupakan ringkasan dari kompromi dan persetuj uan (yang sebelumnya amat sulit dicapai) diantara para founding fat hers pendiri negara ini. Kesulitan ini mengingatkan kita pada beberapa bulan sebelum dan sesudah kemerdekaan negara dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, dan itu bermula ketika para anggota Dokurist u Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, disingkat BPUPKI), yang disponsori pemerint ah kolonial Jepang berdebat t ent ang dasar ideologi-filosofis yang akan digunakan negara kit a. Pada 9 April 1945 BPUPKI resmi dibent uk sebagai realisasi j anj i Jepang unt uk memberi kemerdekaan pada Indonesia sesuai pengumuman Perdana Menteri Koiso pada 9 September 1944. Anggota BPUPKI dilantik pada 28 Mei, diket uai Radj iman Wedyodiningrat , dan ant ara 29 Mei sampai 1 Juni 1945 mengadakan sidang pert amanya. 3 Hal-hal yang dibicarakan pada sidang tersebut berkisar pada persoalan tentang bentuk negara, bat as negara, dasar negara dan hal lain t erkait pembent ukan konst it usi bagi sebuah negara baru. Pembicaraan tentang hal-hal itu berj alan lancar, kecuali tentang dasar negara yang berlangsung tegang dan panas. Ada dua aliran yang muncul yakni golongan Islamis yang ingin menj adikan Indonesia sebagai negara Islam dan golongan nasionalis (yang kebanyakan anggotanya juga beragama Islam), yang menginginkan pemisahan urusan negara dan urusan Islam, pendek kata, tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Golongan nasionalis menolak menj adikan Indonesia sebagai negara Islam karena melihat kenyat aan bahwa non-Muslim j uga ikut berj uang melawan penj aj ah unt uk mencapai kemerdekaan. Golongan ini j uga menegaskan bahwa unt uk menj adikan Indonesia sebagai negara Islam akan secara t idak adil memposisikan penganut agama lain (non-Muslim) sebagai warga negara kelas dua. Bagi t okoh golongan nasionalis sepert i Sukarno, ia berpendirian bahwa Islam t idak relevan sebagai dasar negara karena rasa persat uan yang mengikat bangsa dan melahirkan negara ini adalah spirit kebangsaan (yang tercetus pada 1928). Dasar kebangsaan bukan dalam pengertian yang sempit sehingga mengarah kepada chauvinisme, melainkan dalam pengert ian yang mengint ernasionalisme. Tanpa pelembagaan Islampun, dalam negara sebenarnya aspirasi umat Islam bisa t erwadahi melalui forum demokrasi. Di sana ada asas musyawarah unt uk mufakat . Dalam forum inilah, segala aspirasi rakyat dapat disalurkan. Adapun dua azaz lagi yang terakhir menurut Sukarno yakni kesej ahteraan sosial dan ketuhanan. Kesej ahteraan sosial dimaksudkan agar demokrasi yang dibangun bukanlah demokrasi politik semata, melainkan juga juga demokrasi yang menyangkut kesejahteraan sosial. Sedang ketuhanan merupakan upaya untuk tetap memelihara nilai luhur dan keyakinan spiritual yang dimiliki warga negara. Ini adalah bagian dari usul Sukarno tentang Pancasila sebagai dasar ideologi negara dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Urutannya yakni: kebangsaan, perikemanusiaan, permufakatan, kesej ahteraan sosial dan ketuhanan. Bagi Sukarno, Pancasila ini dapat disarikan menj adi trisila yakni: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan, yang t risila ini bahkan bisa diperas lagi menj adi ekasila yakni: got ong-royong. Tokoh nasionalis lainnya seperti Supomo, Muhamad Yamin dan Muhamad Hatta, mereka berpendirian sama, bahwa negara ini didirikan atas dasar kebangsaan (integral), perikemanusiaan, peri ketuhanan, perikerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Menurut Supomo, (yang banyak di ilhami filsafat Hegel dan Spinoza ini), negara ialah suat u susunan masyarakat yang int egral, segala golongan, segala bagian, segala anggot anya berhubungan erat sat u sama lain dan merupakan persat uan masyarakat yang organis. Int inya bahwa negara harus mengabst raksikan pengayoman seluruh golongan masyarakat ( manunggal ). 4 Isu tentang dasar negara telah memaksa para founding fathers mengalami masa-masa sulit. Kuatnya argumen kedua golongan diat as t elah mempersulit kat a mufakat pada sidang pertama mereka pada 29 Mei \u2013 1 Juni 1945. Walhasil, dalam sidang itu dasar negara belum berhasil diputuskan. Pembahasan dilanj ut kan dalam panit ia kecil yang t erdiri dari 9 orang. 5 Set elah melewat i perdebat an panj ang akhirnya 3
Anggota BPUPKI pada mulanya berj umlah 62 orang, tapi kemudian ditambah 6 lagi menj adi 68 orang. Menurut Prawoto Mangkusasmito, dari 68 orang tersebut 15 merupakan tokoh-tokoh Islam. Diantara mereka antara lain yakni: A Sanusi (PUI), Bagus Hadikusumo, Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakir (Muhammadiyah), Wachid Hasj im, Masj kur (NU), Sukiman Wirosandj oj o (PII sebelum perang), Abikusno Tj okrosuj oso (PSII), Agus Salim (Penyadar sebelum perang), Abdul Halim (PUI). Sementara, tokoh-tokoh nasionalis antara lain: Radj iman Wedyodiningrat, Sukarno, M Hatta, Supomo, Muhamad Yamin, Wongsonegoro, Sartono, Suroso, Buntaran Martoatmodj o dll. Lihat A Syafii Maarif, 2002, Islam dan Pancasila Dasar negara, Jakart a: LP3ES, hal. 102-110. 4 Nurainun Mangunsong, 2006, Urgensi RUU APP dan Sej arah Pendirian Negara, dalam Kedaulatan Rakyat Online, edisi 24 Maret 2006. Lihat www.kedaulat an-rakyat .com 5 Ke-9 orang dalam Panit ia Kecil t ersebut yakni mewakili golongan nasionalis adalah Sukarno, M. Hat t a, AA Maramis, Ahmad Subardjo dan Muhamad Yamin. Sementara yang mewakili golongan Islamis adalah Abikusno
2
sebuah kompromi polit ik sebagai modus vivendi (kesepakat an luhur) dalam bent uk Piagam Jakart a dapat dicapai pada 22 Juni 1945. Dalam modus vivendi itu, disepakati bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Hal ini merupakan j alan t engah ant ara konsep negara sekuler dan negara Islam. Jika mencermat i isi Piagam Jakart a maka negara Indonesia akan dibent uk sesuai isi pancasila sepert i yang ada sekarang, hanya sila kesatu berbunyi: Ketuhanan dengan kewaj iban menj alankan syariat Islam bagi para pemeluknya (7 kata sila 1). Dalam sidang kedua BPUPKI pada 10-16 Juli 1945, isi Piagam Jakarta t ernyat a masih mengundang prot es, t erut ama dari Lat uharhay, Wongsonegoro, dan Hussein Dj aj aningrat . Mereka menilai bahwa tambahan 7 kata dalam sila 1 (Ketuhanan) akan berpotensi melahirkan tirani mayoritas dan fanatisme. Akan tetapi, protes tersebut bisa diredakan oleh Sukarno dan para anggota sidang sepakat unt uk kembali kepada kesepakat an bersama sesuai hasil sidang pert ama pada 22 Juni 1945. Selanj ut nya pada 17 Agust us 1945, seluruh rakyat Indonesia berada dalam perasaan suka cit a menyambut penuh antusias Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun demikian, \u201c duri dalam daging\u201d dalam UUD 1945 dengan Piagam Jakarta sebagai preambule-nya masih tetap dirasakan sebagai sesuatu yang mengganggu sebagian anggota BPUPKI, terutama mereka yang berasal dari kelompok agama minoritas. Duri yang dimaksud adalah t ambahan 7 kat a dalam sila 1 (ket uhanan). Sehari sesudahnya, yakni pada 18 Agustus 1945, alasan dibalik kenyataan di atas menj adi j elas. Ketika ada pertemuan panitia penyusun draft UUD, informasi datang dari Tokoh Krist en asal Sulawesi Ut ara yakni AA Maramis yang menyatakan bahwa ia secara serius t elah memprot es kalimat tambahan 7 kat a sila 1 Pancasila dalam Piagam Jakart a. Muhammad Hatta, ketua pertemuan rapat, setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan dan Kasman Singodimedj o, 2 Tokoh Muslim yang menonj ol, menghapus 7 kat a it u. Dalam hal it u, sebagai hasil usulan yang dibuat oleh Ki Bagus Hadikusumo (yang kemudian menj adi ketua Muhammadiyah), sebuah kalimat dit ambahkan dalam sila 1 dari kat a Ket uhanan, menj adi kalimat Ket uhanan Yang Maha Esa. 6 Dalam pandangan Ki Bagus Hadikusumo, kalimat diatas menegaskan aspek monoteisme dalam prinsip kepercayaan kepada Tuhan dan hal itu sesuai dengan aj aran Islam tentang t awhid. Akan tetapi untuk kebanyakan orang Indonesia, UUD dengan sila 1 Pancasila sepert i it u dianggap net ral, karena meski t elah menghilangkan aspek eksklusivisme Islam seperti pada Piagam Jakarta, juga tidak sepenuhnya bisa dianggap mendukung sekulerisme. Dalam pada itu, sebenarnya makna perubahan konstitusi pada saatsaat krit is sepert i diat as cukup j elas, yakni bahwa set iap usaha unt uk mengubah Indonesia menj adi negara Islam menj adi t idak mungkin, karena hal it u berlawanan dengan konst it usi dasar yang t elah disepakat i. CAK NUR: PANCASILA SUDAH ISLAMI
Ada sebagian kecil kaum Muslim, yang memandang bahwa perubahan Pancasila dari Piagam Jakarta dengan eksklusivitas Islamnya, menjadi seperti yang ada sekarang, secara khusus, sebagai wujud kekalahan politik wakil-wakil Muslim, dan secara umum, sebagai simbol kekalahan kaum Muslim di Indonesia. Akan tetapi, tidaklah demikian dengan pandangan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Ia justru memandang bahwa Pancasila versi yang ada sekarang, adalah wujud kemenangan politik wakil-wakil Muslim, dan bahkan kemenangan kaum Muslim di Indonesia. Menurut Cak Nur, dari pandangan bahwa Islam menghendaki para pengikutnya untuk berjuang bagi kebaikan universal ( rahmatan li al-alamin), dan kembali ke keadaan nyata Indonesia, maka sudah jelas bahwa sistim yang menjamin kebaikan konst it usional bagi keseluruhan bangsa ialah sist im yang t elah kit a sepakat i bersama, yakni pokok-pokok yang terkenal dengan Pancasila menurut semangat UUD 1945. Cak Nur menegaskan bahwa hal stereotipikal ini penting dan terpaksa harus sering dikemukakan, terutama karena hal itu menyangkut persoalan pokok yang unt uk sebagian masyarakat Muslim dianggap belum selesai benar. Padahal menurut Cak Nur, kaum Muslim di Indonesia seharusnya t idak perlu menolak Pancasila (dan UUD 1945) karena ia sudah sangat Islami. Sifat Islami keduanya didasarkan pada 2 pert imbangan yakni: Pert ama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam, dan Kedua, fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan antar berbagai golongan unt uk mewuj udkan kesat uan sosial-polit ik bersama. Kedudukan sert a fungsi Pancasila dan UUD 1945 bagi umat Islam Indonesia menurut Cak Nur, sekalipun tidak dapat disamakan, sebenarnya dapat dianalogkan dengan kedudukan serta fungsi dokumen politik pert ama dalam sej arah Islam (yang kini dikenal sebagai Piagam Madinah/ mitsaq al-madinah) pada masaTj okrosuj oso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, dan Wahid Hasj im. Dengan demikian komposisi kekuatan antara golongan nasionalis dan Islamis dalam panit ia ini adalah 5:4 6 Lihat Nurcholish Madj id, 2003, Islam and t he St at e in Indonesia, dalam Ihsan Ali Fauzi (ed), 2003, The True Face of Islam, 2003, Jakart a: Voice Cent er Indonesia
3
masa awal set elah hij rah Nabi Muhammad SAW. 7 Jadi, segera set elah Nabi SAW t iba di Yast rib (Madinah) pada 622, beliau membuat perj anj ian ant ara orang-orang Muhaj irin (orang Islam Mekkah yang ikut hij rah bersama Nabi), Ansar (penduduk Muslim Madinah) dan orang-orang Yahudi. Perj anj ian inilah yang disebut sebagai Piagam Madinah. 8 Pancasila melalui slogannya Bhineka Tuggal Ika (berbeda-beda t et api t et ap sat u j ua), mengandung makna bahwa meskipun masyarakat Indonesia sangatlah plural baik dari segi agama, suku bangsa, bahasa dan sebagainya t et api mereka diikat dan disat ukan oleh sebuah landasan hidup bersama ( common plat form) yakni Pancasila. 9 Secara serupa, Piagam Madinah juga merupakan rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakat an ant ara kaum Muslim Madinah dibawah pimpinan Nabi SAW dengan berbagai kelompok nonMuslim di kot a it u unt uk membangun t at anan sosial-polit ik bersama. Di dalam Piagam Madinah, salah sat unya, dinyat akan t ent ang hak kewarganegaraan dan part isipiasi kaum non-Muslim di kota Madinah yang dipimpin Nabi SAW. Kaum Yahudi yang semula merupakan himpunan suku-suku j uga diangkat st at usnya oleh Piagam it u menj adi warga negara yang sah. Jadi, dengan Piagam it u Nabi ingin memproklamirkan bahwa semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, adalah sat u bangsa at au umma wahida dan bahwa mereka semua memiliki hak dan kewaj iban yang sama. 10 Memang, set elah t erj adinya perist iwa-perist iwa pengkhianat an Yahudi t ersebut , resminya Piagam Madinah it u sudah tidak berlaku lagi, namun prinsip-prinsipnya sebenarnya tetap sah dan diikuti ditempat lain. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa ketika orang-oran Arab melakukan gerakan-gerakan pembebasan ke daerahdaerah luar Arabia, dan mendapat kan masyarakat yang plural/ maj emuk, maka yang pert ama kali mereka lakukan adalah mengatur hubungan antar kelompok itu dengan mencontoh praktek dan kebjiaksanaan Nabi sewakt u di Madinah dahulu. Bunyi dan spirit Piagam Madinah itu, yang menurut Cak Nur merupakan salah satu sumber etika politik Islam, sangat lah menarik unt uk dikaj i kembali dalam kont eks pandangan et ika polit ik modern. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut t inj auan kenegaraan modernpun mengagumkan. Dalam Piagam it ulah dirumuskan ide-ide yang kini menj adi pandangan hidup modern di dunia, sepert i kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan dan sebagainya. Akan tetapi, j uga ditegaskan suatu kewaj iban umum, yakni partisipasi dalam upaya pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar. Menurut Cak Nur, gagasan pokok eksperimen politik di Madinah ini ialah, adanya suatu tatanan sosial-politik yang diperintah, bukan oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama, Jadi, bukan oleh prinsip-prinsip yang dapat berubahubah sej alan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip yang t elah dilembagakan didalam
7
Piagam Madinah ini t elah didokument asikan para ahli sej arah klasik Islam sepert i Ibn Ishaq (w. 152H), dan Muhammad Ibn Hisyam (w. 218H). Lihat Nurcholish Madj id, 1991, Agama dan Negara dalam Islam, seri KKA No. 55/ Tahun V/ 1991, hal. 11-15 8 Para sarj ana Barat dan Muslim sepakat bahwa piagam ini adalah ot ent ik. Menurut Julius Wellhausen, ada 4 alasan yang mendasari ot ent isit as piagam it u yakni: (1) Grammar dan kosa kat a yang dipakai sangat archaic, (2) Teks perjanjian itu penuh dengan alusi yang hanya bisa dipahami oleh orang yang sezaman, (3) Teks perjanjian itu merefleksikan hukum suku-suku kuno, j auh sebelum Islam hadir, dan (4) Jika ada pemalsuan t erhadap perj anj ian it u, t ent u ia akan merefleksikan fenomena masa Islam, misal, non-Muslim past i t idak masuk dalam kat egori umma wahida. Selain ot ent ik, ada 3 hal yang perlu dicermat i dari Piagam t ersebut yakni: (1) Dalam piagam it u t idak ada kat a-kat a nat ion of Islam at au negara Islam. Ini adalah perj anj ian ant ara orang Islam dan non-Muslim unt uk membangun suat u t at anan hidup bersama. (2) Dalam piagam it u, kaum non-Muslim masuk dalam kat egori umma wahida. Anehnya, dalam perkembangan selanj ut nya Piagam ini kemudian semat a-mat a dianggap sebagai dasar pembent ukan negara Islam dan terjadi penyempitan makna umma wahida menjadi hanya mencakup umat Islam artinya makna kata itu menjadi eksklusif dan mengeluarkan umat agama lain dari kandungan makna katanya. (3) Para sejarahwan tidak pernah sepakat, apakah Piagam Madinah merupakan perjanjian sepihak yang dibuat Nabi SAW dan orang lain diminta menyet uj uinya ( a unilateral edict) at au piagam it u mengalami proses perdebat an dan diskusi dengan pihak-pihak yang terlibat (a negot iat ed set t lement). Untuk masalah ini, j ika proses t erj adinya piagam it u hanya hasil dari penyodoran Nabi kepada umat lain unt uk diset uj ui, sebet ulnya t idak ada equalit y dari pihak-pihak yang t erlibat dan ini kont radiksi dengan isi piagam itu sendiri. Sementara, jika Nabi membuat piagam itu dengan melakukan perbincangan dan perdebatan dengan berbagai pihak yang terlibat, apa yang sekarang disebut sebagai demokrasi sebenarnya telah dijalankan Nabi. Lihat Najib Burhani, 2004, Piagam Jakart a dan Piagam Madinah, dalam harian KOMPAS, edisi 30 November 2004. 9 Bila kit a memahami Piagam Madinah sebagai a negot iat ed set t lement , maka kont eks yang sama bisa kit a lihat dari penghilangan 7 kat a sila 1 Piagam Jakart a menj adi Pancasila versi yang ada sekarang, dan penghilangan it u adalah bagian dari demokrasi. 10 Suratno, 2006, Kompat ibilit as Islam dan Modernit as dalam Neo-Modernisme Nurcholish Madj id, dalam Jurnal Universitas Paramadina , Vol 4, No. 3, Agust us 2006, hal. 332
4
dokumen kesepakat an dari semua anggot a masyarakat , yang dalam zaman modern ini disebut konstit usi kenegaraan sepert i Undang-Undang dasar (UUD). 11 Sebanding dengan kaum Muslim Indonesia dalam menerima Pancasila dan UUD 1945, menurut Cak Nur, orang-orang Muslim pimpinan Nabi SAW it u menerima Konstit usi Madinah adalah j uga at as pert imbangan nilai-nilainya yang dibenarkan oleh aj aran Islam dan fungsinya sebagai kesepakat an ant ar golongan unt uk membangun tatanan kehidupan sosial-politik bersama. Demikian pula, sama halnya dengan umat Islam Indonesia yang t idak memandang Pancasila dan UUD 1945 it u sebagai alt ernat if t erhadap agama Islam, Nabi SAW dan pengikut beliau itupun tidak pernah terbetik dalam pikiran mereka bahwa konstitusi Madinah it u menj adi alt ernat if bagi agama baru mereka. Berdasarkan penj elasan di at as, Cak Nur sampai pada kesimpulan bahwa, sikap umat Islam Indonesia yang menerima dan menyet uj ui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipert anggung j awabkan sepenuhnya dari segala segi pert imbangan. Dari sudut pandang it u pula kit a harus menilai kesungguhan para f ounding f at hers dan para t okoh Islam yang selalu menegaskan bahwa ant ara Islam sert a kaum Muslim Indonesia dan Pancasila serta UUD 1945 tidak ada masalah. Kesulitan-kesulitan sosial-politik yang datang dari kalangan Muslim, menurut Cak Nur, t idak harus selalu dilihat dalam kerangka hubungannya dengan Pancasila dan UUD 1945, melainkan sebaiknya juga dilihat kaitan-kaitan nisbinya saja serta dicarikan pemecahannya secara pragmat is. Mi salnya, dipert imbangkan bahwa kesulit an serius dat ang dari kalangan Islam karena memang sebagian besar rakyat beragama Islam, dan kesulit an yang sama at au sebanding j uga dat ang dari kalangan non-Muslim. Menurut Cak Nur, kecenderungan untuk secara gampang mencari keterangan atas suatu kesulit an sosial-polit ik yang dat ang dari suat u kelompok dengan st ereot ipikal mengkait kannya kepada halhal yang prinsipiil seperti Pancasila dan UUD 1945 adalah satu petunjuk kemampuan berpikir yang sederhana dan ketidakberanian menghadapi kenyataan persoalan. Atau, mungkin j uga hal itu dilakukan karena mengharap keunt ungan sosial-polit ik dengan mudah, akan t et api, dengan akibat bahwa kerusakan negara menj adi semakin parah dan persoalan yang sebenarnya t idak t erselesaikan. 12 PROBLEM MORAL/ ETIKA
Dari uraian diat as, Cak Nur dalam kont eks Indonesia mencoba menganalogkan Pancasila dengan Piagam Madinah. Keduanya, oleh Cak Nur, dianggap sama-sama sebagai suatu common plat form antar berbagai macam kelompok masyarakat dan agama. Meskipun Pancasila itu sebagai common platform negara ini mungkin baru mantap pada tingkat formal-konstitusional, tetapi peragian yang diperoleh dari beberapa sumber, t ermasuk sumber Islam, akan memperkaya proses pengisian Pancasila t ersebut , t erut ama t erkait prinsip moral/ et ikanya. Ada sumber-sumber pandangan et is yang meluas dan dominan, yang secara sangat pot ensial bisa menj adi ragi bagi pandangan etis bangsa secara keseluruhan dan yang bisa dijadikan bahan pengisian wadah moral/ etika Pancasila. Pert ama, etika kebangsaan Indonesia yang perwujudan paling baiknya dan penampakan paling dinamisnya ialah bangsa Indonesia, Kedua, et ika kemodernan yang merupakan akibat langsung dari keberadaan kita diabad modern, dan Ket i ga, etika Islam yang sebagai anutan rakyat Indonesia merupakan agama paling luas menyebar diseluruh t anah air, dan yang peranannya diakui para ahli sebagai perat a j alan unt uk t umbuhnya paham-paham maj u dan modern dikalangan rakyat Indonesia, khususnya dalam bent uk paham persamaan manusia (egalit arianisme) dan pengakuan sert a penghargaan kepada adanya hak-hak pribadi, selain paham hidup menurut aturan atau hukum dan wel t anschauungnya. 13 Moral/ etika sosial-politik yang terdapat didalam Pancasila, secara teoritis, sesungguhnya sudah benarbenar menj adi hasil peragian dari ketiga et ika yang dimaksud diat as. Sila kesat u: Ket uhanan Yang Maha Esa, jelas memberi landasan kuat bagi kehidupan beragama secara tulus dan otentik. Sila k edua: Kemanusiaan Yang Adil dan beradab, mengandung makna bahwa bangsa Indonesia harus menegakkan keadilan dan keadaban dalam berperilaku, baik perorangan maupun dalam kehidupan kolektif dalam polit ik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Sila ketiga: Persat uan Indonesia, bisa dij adikan sebagai pembimbing bangsa Indonesia dalam kebhinekaan (pluralitas) yang kaya dalam mozaik budaya yang beragam. Sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebij aksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, tegas sekali memerintahkan bahwa demokrasi harus ditegakkan secara bijak melalui 11
Budhy Munawar-Rahman, 1999, Kat a pengant ar , dalam Nurcholish Madj id, 1999, Cita-Cita Politik Islam Era Ref ormasi , Jakart a: Paramadina,. hal xxi-xxii 12 Nurcholish Madj id, 1999, op.cit . 13 Nurcholish Madj id, Mohamad Roem, 1997, Tidak Ada Negara Islam, Surat -surat polit ik Nurcholish Madj idMuhamad Roem, Jakarta: Penerbit Dj ambatan, hal.75
5
musyawarah yang bertanggung jawab dan dengan lapang dada. Dan sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menj adi ancangan yang akan dit uj u bangsa ini dengan pengamalan keempat sila sebelumnya. Namun demikian, ditingkat praktis, realitas perj alanan bangsa menunj ukkan bahwa yang terj adi j ustru kebalikan dari apa yang telah digariskan Pancasila. Beragam tragedi muncul bukan hanya dalam bentuk pengkhianatan sebagian orang yang ingin mengganti Pancasila dengan dasar lain, tetapi hal lain seperti KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), juga laku yang beringas, tindak kekerasan, pelanggaran HAM, merusak milik negara sekalipun dengan meneriakkan Allah Akbar semuanya bertentangan dengan sila kesatu dan kedua. Adalagi tragedi yang terjadi selama sekian dasawarsa, berupa politik negara yang sent ralist ik dan penyeragaman t at a sist im sosial budaya local secara paksa melalui undang-undang, dan ini merupakan bentuk pengkhiatan konstitusional yang bertentangan dengan sila ketiga. Sementara itu perkembangan t erakhir dalam cara kit a berdemokrasi j uga t ampaknya semakin j auh dari roh Pancasila sila keempat Sementara prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa dikatakan telah menjadi yatim piatu sejak kita merdeka. Rakyat dari masa ke masa justru semakin tidak merasakan keadilan, tetapi penindasan. 14 Hal di at as secara langsung sebenarnya mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia menghadapi persoalan serius, yang salah satunya adalah dalam hal penegakkan moral/ etika/ akhlak. Disinilah sebenarnya umat Islam seharusnya dapat memberikan sumbangannya secara maksimal. Mi salnya, kaum Muslim perlu menyadari bet ul bahwa kesalehan seseorang t idak hanya dalam bent uk kesalehan rit ual saj a, t et api j uga kesalehan sosial. Tent u saj a adalah ironi besar, bahwa bangsa yang mayorit as Muslim ini sering disinyalir sebagai bangsa yang berbudaya korupsi, kolusi dan nepotisme tingkat tinggi, dan juga bangsa yang masyarakat nya anarkhis karena mengedepankan cara-cara kekerasan dalam set iap penyelesaian masalah dan konflik. Oleh karena itu, masalah sesungguhnya dalam implementasi nilai-nilai luhur Pancasila, salah satunya, adalah masalah moralit as/ et ika/ akhlak t erut ama yang menyangkut ket ulusan, dan it u t erj adi ket ika nilainilai dasar Pancasila hanya dij adikan retorika sosial-politik yang kosong dan menipu saj a oleh sebagian masyarakat Indonesia. Jadi yang kit a perlukan sesunguhnya adalah fokus t erhadap hal t ersebut , dan bukan malah memperdebat kannya secara t eoret ikal at au bahkan menggant inya dengan meng-impor ideologi baru dari negara lain. Perj alanan sej arah telah membuktikan bahwa proses untuk memutuskan Pancasila sebagai dasar negara bukan main sulit perjuangannya. Hal itu juga menunjukkan betapa para founding fathers kita telah berkorban dan secara bijaksana mencari titik temu ( kalimatun sawa) tentang ideologi yang disepakati bersama. Sebagai eklekt isit as negara sekuler dan negara Islam, Pancasila t idak hanya menonj olkan spirit demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang memberi ruang kepada kebebasan individu dan menarik peran negara unt uk mengat urnya, t et api j uga melet akkan bingkai Ket uhanan Yang Maha Esa, yang sesuai prinsip ke-t awhid-an dalam Islam dan kemanusiaan yang bermartabat dan berkeadilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan t ent u saj a nilai-nilai dasar Pancasila yang sepert i di at as t idak bert ent angan dan dibenarkan di dalam aj aran Islam yang rahmatan lil-alamin (rahmat seluruh alam), dan bukan rahmatan lil-muslimin (rahmat kaum Muslim saj a) saj a yang eksklusif atau bahkan Cuma rahmatan lil-madzhabiyyin (rahmat pengikut madzhab t ert ent u dalam Islam) yang lebih eksklusif lagi.
14
A Syafii Maarif , 2006, Tragedi Pancasila, dalam harian Republika, Edisi Selasa, 30 Mei 2006.
6