Gia Biang :
Merawat Bayi di Pulau Obi Etnik Tobela – Kabupaten Halmahera Selatan
Sipin Putra Siti Rahmawati FX Sri Sadewo
Penerbit
Unesa University Press
SIPIN PUTRA, dkk
Gia Biang : Merawat Bayi di Pulau Obi Etnik Tobela – Kabupaten Halmahera Selatan
Diterbitkan Oleh UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI No. 060/JTI/97 Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015 Kampus Unesa Ketintang Gedung C-15Surabaya Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031 – 8288598 Email:
[email protected] [email protected] Bekerja sama dengan: PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749 xv, 140 hal., Illus, 15.5 x 23 ISBN : 978-979-028-950-5
copyright © 2016, Unesa University Press All right reserved Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit
ii
SUSUNAN TIM Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015, dengan susunan tim sebagai berikut: Pembina
: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI
Penanggung Jawab
: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH) Ketua Pelaksana
: dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc
Ketua Tim Teknis
: drs. Setia Pranata, M.Si
Anggota Tim Teknis
: Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH drs. Kasno Dihardjo dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK
Sekretariat
: Mardiyah, SE. MM Dri Subianto, SE
iii
Koordinator Wilayah: 1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab. Klaten, Kab. Barito Koala 2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan 3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah Selatan 4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru 5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong Selatan 6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba Barat 7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Sumenep, Kab. Aceh Timur 8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab. Bantaeng 9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab. Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke 10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar 11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu Raijua, Kab. Tolikara 12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Tolitoli, Kab. Muna
iv
KATA PENGANTAR Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan. Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia. Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
v
Surabaya, Nopember 2015 Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI
Drg. Agus Suprapto, MKes
vi
DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM ............................................................................... KATA PENGANTAR......................................................................... DAFTAR ISI ..................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................... DAFTAR GAMBAR .......................................................................... DAFTAR PETA.................................................................................
iii v vii xi xiii xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1.1 Latar Belakang Masalah ............................................. 1.2 Permasalahan Penelitian ............................................ 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................ 1.4 Metode Penelitian ......................................................
1 1 3 4 4
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH ......................................... 2.1 Kabupaten Kepulauan itu bernama Halsel ................. 2.1.1 Geografiis dan Administratif ........................... 2.1.2 Kondisi iklim dan topografi wilayah ................ 2.2.3 Kependudukan ................................................ 2.2 Pulau Obi .................................................................... Arena perebutan SDA oleh Elit Politik Lokal .............. 2.3 Puskesmas Laiwui ....................................................... 2.4 RSUD Kecamatan Obi .................................................. 2.5. Sejarah Masyarakat Tobelo ........................................ 2.6 Sistem Mata Pencaharian .......................................... 2.7 Bahasa Tobelo ............................................................ 2.8 Kepercayaan Masyarakat Tobelo ............................... 2.9 Sistem Kekerabatan Masyarakat Tobelo .................... 2.9.1 Adat Perkawinan suku Tobelo Galela ............ 2.9.2 Ritual Perkawinan .......................................... 2.10 Pola Pemukiman Dusun IV (Tabuji) ...........................
8 8 8 11 14 15 15 23 27 30 32 35 36 40 40 41 43
vii
2.11 Aktivitas Sehari-hari Masyarakat Tabuji .................. 47 2.12 Kesenian Masyarakat Tobelo desa Baru .................. 49 2.13 Sistem Teknologi Masyarakat Tobelo desa Baru ..... 51 BAB III POTRET KESEHATAN MASYARAKAT TOBELO DESA BARU 52 3.1 Kesehatan Ibu dan Anak ............................................. 52 3.1.1 Pengetahuan Remaja mengenai Kesehatan Reproduksi .................................... 52 3.1.2 Pantangan Selama Kehamilan ........................ 55 3.1.3 Alat yang digunakan pada proses Melahirkan Bayi ................................. 56 3.1.4 Perlakuan Dodomo (Plasenta) Bayi baru lahir 57 3.1.5 Cara Memandikan Bayi .................................. 58 3.1.6 Cara Merawat Bayi ........................................ 59 3.1.7 Pantangan setelah Melahirkan Bayi ............... 60 3.1.8 Persalinan dibantu oleh Biang (Dukun Bersalin) ............................................. 61 3.1.9 Persalinan dibantu oleh Orang Terdekat ....... 62 3.1.10 Berahu ........................................................... 64 3.1.11 Upaya memberi Jeda pada kelahiran anak ... 66 1. Sebelum ada KB ......................................... 66 2. Sesudah ada KB ......................................... 67 3.1.12 Ramuan Tradisional yang digunakan Ibu Nifas 69 3.1.13 Pola Asuh Bayi ................................................ 71 3.1.14 Pola Asuh Anak ................................................ 71 3.2 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ............................... 72 3.2.1 Persalinan oleh tenaga kesehatan ................ 72 3.2.2 Penimbangan bayi dan balita ........................ 74 3.2.3 Pemberian ASI Ekslusif .................................. 77 3.2.4 Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun 79 3.2.5 Pemanfaatan Jamban Sehat .......................... 80 3.2.6 Aktifitas Fisik .................................................. 81 3.2.7 Kebiasaan Merokok ....................................... 83
viii
3.2.8 Pemanfaatan Air Bersih .................................. 3.2.9 Memberantas Jentik Nyamuk ........................ 3.2.10 Makan Sayur dan Buah .................................. 3.3 Penyakit yang diderita oleh Masyarakat desa Baru ... 3.3.1 ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) .......... 3.3.2 Sakit Maag ....................................................... 3.3.3 Hipertensi ....................................................... 3.3.4 Diabetes Melitus .............................................
84 85 86 88 88 91 93 95
BAB IV GIA BIANG : MERAWAT BAYI DI PULAU OBI .................... 97 4.1 Awal mula mendapat ilmu persalinan ........................ 97 4.1.1 Praktik Persalinan ............................................ 98 4.1.2 Kepercayaan Swanggi yang mengganggu Ibu Hamil .........................................................100 4.1.3 Jimat yang dipakai Ibu Hamil ..........................105 4.1.4 Proses Membantu Persalinan .........................106 4.1.5 Tradisi Tiup-Tiup .............................................107 4.1.6 Obat Tradisional Ibu Nifas ...............................109 4.1.7 Promosi KB ......................................................110 4.1.8 Keterlibatan Biang dalam Posyandu ..............111 4.1.9 Persalinan yang dilakukan di Rumah ..............112 4.1.10 Jumlah anak yang dimiliki etnis Orang Tobelo .........................................114 4.2 Rumah Tunggu Kelahiran ...........................................116 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ..................................119 5.1 Kesimpulan .................................................................119 5.2 Rekomendasi ...............................................................124 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................129 INDEKS ...........................................................................................132 GLOSARIUM ..................................................................................137 UCAPAN TERIMA KASIH ...............................................................139
ix
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Wilayah Administratif Kab. Halsel ................................. 11 Tabel 2.2. Jumlah Penduduk Halsel 2009-2011 ............................. 14 Tabel 2.3. Jumlah Penduduk Halsel 2013-2015 ............................. 20 Tabel 2.4. Jumlah Fasilitas dan Nakes di Kec. Obi ......................... 22 Tabel 3.1 Sepuluh Penyakit terbanyak Puskesmas Laiwui ............ 93 Tabel 3.2 Sepuluh Penyakit terbanyak Halsel 2012 ....................... 94
xi
xii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Tugu Selamat Datang Pulau Obi ............................. 17 Gambar 2.2. Puskesmas Laiwui ................................................... 24 Gambar 2.3. Jalan Aspal tergenang air ...................................... 26 Gambar 2.4. Kondisi RSUD Kec.OBI ............................................ 29 Gambar 2.5. Bapak Yeldo Pulang dari Kebun.............................. 33 Gambar 2.6. Pohon Kelapa terkena Sasi Gereja ........................ 34 Gambar 2.7. Bapak Hans Labage (Kepala Dusun III) ................... 36 Gambar 2.8. Bapak Laban Hohe (Ketua Adat Tobelo) ................ 38 Gambar 2.9. Papan Keterangan Dusun I .................................... 43 Gambar 2.10. Pemandanagn di Pesisir Tabuji .............................. 45 Gambar 2.11. Pemandangan Indah Dusun Tabuji ....................... 46 Gambar 2.12. Buah Kelapa siap dibawa ke para-para ................. 47 Gambar 2.13. Seorang Bapak membelah buah kelapa ................ 48 Gambar 2.14. Para Bapak-bapak mencungkil Kelapa ................... 48 Gambar 2.15. Seorang anak membawa hasil tangkapan ikan ..... 49 Gambar 2.16. Ibu-ibu dan Bapak berjoged ronggeng .................. 50 Gambar 3.1. Bulu untuk memotong tali pusar bayi .................... 57 Gambar 3.2. Bayi sedang dimandikan oleh neneknya ................ 59 Gambar 3.3. Bayi diberi bedak setelah dimandikan ................... 60 Gambar 3.4. Seorang bayi sedang diberahu oleh Biang ............ 66 Gambar 3.5. Daun Mayana ......................................................... 67 Gambar 3.6. Kulit Kayu Kokulemana .......................................... 70 Gambar 3.7. Campuran kulit kayu yang direbus untuk mandi ibu nifas............................................. 70
xiii
Gambar 3.8. Buku KMS untuk bayi ............................................ 76 Gambar 3.9. Jamban milik salah satu warga ............................. 80 Gambar 3.10. Ibu dan keluarga pergi ke kebun .......................... 82 Gambar 3.11. Sumur tampung air hujan milik warga ................. 84 Gambar 3.12. Sayur Terong ......................................................... 87 Gambar 3.13. Tomat sayur berbentuk Labu ............................... 87 Gambar 4.1. Biang Rizki tinggal di Desa Baru ............................ 97 Gambar 4.2. Seorang gadis mencari kutu dengan Sembilu ...... 98 Gambar 4.3. Tim Peneliti mewawancari Biang Neli ................... 100 Gambar 4.4. Daun Beluntas ....................................................... 109 Gambar 4.5. Daun Solasi ............................................................ 110 Gambar 4.6. Kartu KB ................................................................ 111 Gambar 4.7. Biang sedang menimbang bayi di Posyandu ......... 112 Gambar 4.8. Ayunan tradisional di Pos Depan Rumah .............. 115
xiv
DAFTAR PETA
Peta 2.1.
Peta Kabupaten Halmahera Selatan ...................... 10
Peta 2.2.
Peta Administratif Halsel dan Cakupan ................. 11
xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kesehatan ibu dan anak menjadi salah satu kata kunci dalam pembangunan kesehatan. Status kesehatan ibu yang berkualitas akan menghasilkan anak yang berkualitas pula. Anak yang dihasilkan pada gilirannya menjadi sumber daya manusia suatu bangsa. Oleh karena itu, pernyataan ini membenarkan kesepakatan para negara anggota PBB untuk memperhatikan kesehatan ibu dan anak. Hal itu tertuang dalam Milleneum Development Goals (MDGs) yang berakhir pada tahun 2015 ini. Dalam MDGs, kesehatan ibu dan anak dituangkan dalam point 3 dan 4. Point 3 MDGs menyatakan bahwa setiap Negara harus berjuang untuk mengurangi angka kematian bayi, sedangkan point 4 berisi tentang kesehatan ibu yang diukur oleh angka kematian ibu pada saat melahirkan. Target MDGs Angka Kematian Bayi tahun 2015 sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan untuk Angka kematian ibu sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut laporan GOI-Unicef yang termuat dalam Bappenas tahun 2008 menyatakan bahwa diantara negara-negara ASEAN, Indonesia masih memiliki Angka Kematian Bayi (AKB) tinggi. AKB Indonesia mencapai 4,6 kali lebih tinggi dibandingkan Malaysia. Pernyataan ini didukung data dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 yang menunjukkan bahwa AKB sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup. Usia bayi yang meninggal kebanyakan pada umur di bawah satu bulan, sedangkan Angka Kematian Ibu sebesar 359 jiwa. Angka ini telah mengalami peningkatan dari 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih jauh yang ditetapkan oleh MDGs untuk target AKI tahun 2015 yaitu sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ini antara lain karena pendarahan, hipertensi (tekanan darah tinggi), infeksi, partus lama, dan abortus.
1
Salah satu kabupaten/kota di Indonesia bagian Timur yang memiliki masalah kesehatan ibu dan anak adalah Kabupaten Halmahera Selatan. Hal itu diketahui dari IPKM (Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat). Kabupaten Halmahera Selatan menempati peringkat Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) peringkat ke 420 untuk kabupaten atau kota dalam nasional tahun 2013. Indikator yang terbilang rendah adalah kesehatan balita (0,50) dan kesehatan reproduksi (0,30). Hal itu berarti bahwa KIA menjadi kata kunci dari pembangunan kesehatannya. Kenyataan ini didukung pada data dalam profil kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan yang mengarahkan ke permasalahan kesehatan ibu dan anak. Jika melihat kondisi geografis Kabupaten Halmahera Selatan yang tersebar menjadi pulau-pulau kecil yang jaraknya saling berjauhan, maka akses menuju satu tempat ke tempat lain harus menggunakan jalur laut. Seperti rujukan rumah sakit yang ditujukan ke Rumah Sakit Umum Daerah di Labuha. Mereka yang tinggal di luar Pulau Bacan, harus menggunakan kapal atau speed untuk menuju Rumah Sakit Umum Daerah di Labuha. Pemakaian jalur laut ini harus memperhatikan kondisi alam, seperti ombak dan angin. Untuk itu pemantauan kesehatan dari dinas kesehatan harus ekstra karena mengingat kondisi geografisnya dan akses menuju tempat pelayanan kesehatan yang sulit. Masalah KIA memang selalu hangat diperbincangkan dan masih menjadi target penurunan kasusnya setiap tahun. Begitu pula kasus Ibu maternal yang meninggal dunia masih di bawah target. Seperti dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan tahun 2013 sebanyak 18 kasus ibu maternal meninggal dunia. Jumlah ini mengalami penurunan dari pada tahun 2012 yaitu 26 kasus dengan komposisi 11 ibu meninggal dunia karena bersalin, 8 ibu hamil meninggal dunia dan 7 ibu meninggal dunia waktu nifas. Upaya Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan untuk menurunkan angka kematian ibu dilakukan secara kontinyu. Salah satu program yang dibuat oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
2
Halmahera Selatan adalah rumah tunggu kelahiran. Hampir semua wilayah kerja puskesmas di Kabupaten Halmahera Selatan memiliki fasilitas ini. Tujuan pembuatan rumah tunggu kelahiran adalah agar ibu hamil bersalin di fasilitas kesehatan dan dibantu oleh tenaga kesehatan. Hasil dari usaha ini nampaknya masih jauh dari harapan. Dalam laporan pencapaian program berdasarkan indikator SPM Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan tahun 2013 menunjukkan bahwa persalinan oleh nakes sebesar 73 % dan masih kurang dari target 90 %. Sisanya adalah persalinan dibantu oleh dukun bayi dan orang terdekat ibu hamil. Salah satu kecamatan yang menunjukkan kenyataan tersebut adalah Kecamatan Obi. Kecamatan ini terletak di Pulau Obi. Pulau ini terpisah dari pulau pusat pemerintaan, yaitu Pulau Bacan. Kecamatan Obi memiliki satu puskesmas (Puskesmas Laiwui) dan satu rumah sakit (RSUD Kecamatan Obi). Puskesmas Laiwui merupakan gugus PKM Laiwui yang membawahi puskesmas satelit di sekitar wilayah Obi kecuali kecamatan Obi Selatan. Di tahun 2013 dilaporkan kasus kematian ibu di Kecamatan Obi terdapat 1 kasus. Ibu meninggal dunia dalam keadaan melahirkan. Usia ibu yang meninggal adalah 35 tahun. Usia itu tersebut terlalu tua untuk melahirkan. Fenomena ibu hamil yang beresiko ini semakin banyak di Pulau Obi. Dari catatan dinas kesehatan, jumlah kelahiran bayi tinggi di Kecamatan Obi dibandingkan wilayah lain di Kabupaten Halmahera Selatan. Peristiwa ini menimbulkan ledakan penduduk setiap tahunnya. Hal itu diperparah dengan keterbatasan tenaga kesehatan. Kondisi ini semakin kurang menguntungkan karena sangat sedikit orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian untuk menangani kesehatan ibu dan anak. 1.2. Permasalahan Penelitian Permasalahan penelitian yang kami angkat dalam buku ini adalah kami membahas tentang kesehatan ibu dan anak yang ternyata cukup buruk di Kabupaten Halmahera Selatan. Berikut ini permasalahan penelitian yang ada dalam tulisan buku ini:
3
1. Bagaimana budaya kesehatan masyarakat Etnis Tobelo di pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan? 2. Bagaimana kemampuan akses kesehatannya, khususnya terkait kesehatan ibu dan anak, serta akses fasilitas dan tenaga kesehatan? 3. Bagaimana peran Biang (dukun bersalin) dalam membantu proses persalinan bayi? 1.3.Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran secara mendalam dan holistik mengenai kajian budaya masyarakat Tobelo yang terkait dengan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Kehidupan sehari-hari menjadi bahan analisa utama, sehingga nantinya dapat terlihat hubungan terkait mengenai budaya masyarakat Tobelo sehingga menjadi acuan mereka dalam berperilaku terutama dalam bidang kesehatan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan: a. Mengidentifikasi secara mendalam mengenai unsur budaya yang menjadi acuan masyarakat Tobelo dalam berperilaku sehat. b. Mendapatkan gambaran mengenai kehidupan masyarakat secara detail dari sejarah, geografis hingga fenomena yang muncul di kehidupan sekarang terutama di Desa Baru, Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan c. Memahami pola kehidupan masyarakat Tobelo sehingga dapat memberikan analisis dalam membantu upaya pemerintah untuk mengurangi angka Kematian ibu dan anak sehingga terwujud masyarakat Indonesia yang sehat. 1.4. Metode Penelitian Buku ini menjelaskan hubungan antara problematika kesehatan, budaya dan lingkungan. Buku ini produk dari tim kecil yang terdiri dari keahlian dalam bidang antropologi dan kesehatan masyarakat. Lokasi yang dipilih adalah Dusun 3 dan Dusun IV (Dusun Tabuji) di Desa Baru. Pilihan ini berdasarkan dari masalah-masalah
4
kesehatan yang bervarian, mulai dari sekedar penyakit kulit, TBC, Kusta, ISPA hingga etnis mayoritas yang tinggal di dua dusun tersebut. Alasan kedua, dengan kondisi geografis yang sulit, menjadi pertanyaan besar dalam penelitian ini bagaimana masyarakat ini memiliki kemampuan mengatasi masalah-masalah kesehatan. Bila mengikuti pendapat Kluckhon dan Kluckhon (Koentjaraningrat, 1990), ada dua hal yang terjadi. Pertama, mereka tunduk dan tergantung dengan alam. Masalah kesehatan sebagai bagian dari proses alami yang harus diterima (takdir). Kedua, mereka berjuang dengan pengetahuan lokalnya untuk menyelesaikan masalah kesehatan tersebut, meskipun hasil akhir diterima sebagai takdir. Alasan-alasan ini yang mendasari pemilihan lokasi tersebut. Intinya, melalui buku ini, pembaca memahami rasionalitas masyarakat pedalaman tentang masalah-masalah kesehatan dan pemecahannya sesuai dengan pengetahuan lokal yang ada. Untuk memahami hal-hal tersebut, tim penulis buku ini melakukan penelitian etnografi selama 40 hari, mulai dari bulan April hingga Mei 2015. Tim tinggal bersama dengan masyarakat etnis Tobelo di Dusun III dan Dusun IV. Penerimaan masyarakat terhadap kedatangan kami cukup positif. Kami membuat hubungan yang baik dengan Kepala Desa Baru, Bapak Hamid Buton dan Kepala Dusun IV (Tabuji), Bapak Jemi Pape. Selain itu kami juga diterima dengan baik oleh tokoh adat Tobelo yaitu Bapak Laban Hohe sehingga masyarakat menjadi terbuka ketika kami melakukan observasi dan wawancara mendalam. Penerimaan dan ikatan emosi menjadi semakin kuat ketika tim tinggal bersama masyarakat dan bahkan mengikuti aktivitas seharihari masyarakat. Kegiatan ikut serta dalam aktivitas sehari-hari masyarakat ini juga sebagai pintu masuk tim untuk memetakan penyakit dan masalah kesehatan lainnya di Dusun IV (Tabuji). Tim peneliti juga melakukan kunjungan dari rumah ke rumah untuk mengamati kesehatan lingkungan dan perilaku bersih dan sehat penghuninya. Kunjungan ini sekaligus mempererat hubungan antara
5
tim peneliti dan warga. Dukungan pun juga mengalir dari bapak pendeta setelah tim menyampaikan tujuan dari kegiatan ini. Pengalaman tinggal bersama dilakukan untuk memahami pola kehidupan keseharian masyarakat Obi, khususnya suku Tobelo. Di dalam kehidupan bersama tersebut, tim peneliti melakukan wawancara tentang problematika kesehatan, khususnya terkait dengan ibu dan anak. Temuan yang diperoleh juga dikonfirmasi pada puskesmas dan Dinas Kesehatan Halsel. Dari Puskesmas Laiwui dan Dinas Kesehatan Halsel, tim juga memperoleh data statistik kesehatan. Hasil wawancara dan pengamatan ini dihimpun dalam catatan lapangan. Catatan lapangan ini diberi koding dan selanjutnya diolah dengan membandingkan kata kunci lainnya. Dengan demikian, hubungan antar kata kunci ini dapat mencerminkan keterkaitan antar fenomena sosial tentang perilaku dan nilai kesehatan. Akhirnya, dapat disimpulkan polanya. Hal itu menggunakan teknik analisis yang oleh Spradley sebagai analisis komponesial dan perbandingan konstan. Lebih lanjut, buku ini terbagi menjadi 5 (lima) bab. Bab pertama merupakan paparan tentang masalah-masalah kesehatan di Kabupaten Halmahera Selatan dan alasan-alasan penelitian ini dilakukan. Bab ini mengulas secara ringkas pemilihan lokasi dan metode penelitian. Bab kedua merupakan paparan tentang deskripsi daerah penelitian. Paparan ini disampaikan dengan secara mengalir seperti catatan perjalanan ke lokasi, keadaan masyarakat dan kehidupan sosial budayanya. Deskripsi ini tetap ditulis secara analitis dalam mengulasnya. Bab tiga menjelaskan tentang problematika kesehatan yang dialami oleh masyarakat di Desa Baru. bab ini akan mengulas tentang Pola Hidup Bersih dan sehat. Kemudian tim peneliti juga akan memaparkan tentang Penyakit Menular (PM) dan Penyakit Tidak Menular (PTM). Selain itu dalam bab tiga kami juga membahas tentang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
6
Bab empat memaparkan tentang Mama Biang (Dukun Bayi) yang berperan penting dalam proses persalinan bayi dan perawatan para ibu selama kehamilan dan melahirkan. Selain itu, tim menggambarkan tentang tenaga kesehatan di Desa Baru,terutama di Dusun III dan Dusun IV (Tabuji). Analisis kritis dilakukan untuk mengulas problematika kesehatan dan strategi pengetahuan lokal masyarakat Tobelo dalam mengatasi kesehatan. Lebih dari itu, bab ini mengulas dinamika interaksi dan dukungan pemerintah lokal, dalam hal ini kepala desa, tokoh adat terhadap pelayanan kesehatan modern. Pada bab terakhir yaitu bab lima, tim peneliti memberikan kesimpulan dan rekomendasi dari hasil penelitian yang telah kami lakukan.
7
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH 2.1. Kabupaten Kepulauan itu bernama Halmahera Selatan 2.1.1. Geografis dan Administratif Secara geografis Kabupaten Halmahera Selatan termasuk kabupaten kepulauan karena wilayahnya didominasi lautan. Wilayah daratan tersebar di pulau-pulau yang tergolong pulau kecil. Ada tujuh kepulauan utama dengan luas masing-masing Pulau Obi (3.111 km²), Pulau Bacan (2.053 km²), Pulau Makian (113,12 km²), Pulau Kayoa (1142 km²), Pulau Kasiruta (708 km²), Pulau Mandioli (260 km²) dan semenanjung Pulau Halmahera yang masuk wilayah Kabupaten Halmahera Selatan seluas kurang lebih 2.615 km². Permukiman di Kabupaten Halmahera Selatan hampir semua terletak di wilayah pesisir. Dari 249 desa yang ada, hanya 4% desa yang tidak dikategorikan sebagai desa pantai, sedangkan 96% lainnya merupakan desa pantai. Keseluruhan desa tersebut berada pada lahan dengan ketinggian kurang dari 500 meter dpl. Kondisi ini menjadikan Halmahera Selatan rawan akan abrasi, intrusi air laut dan kekurangan air bersih. Selain itu, Halmahera Selatan juga mempunyai banyak pulau-pulau kecil menjadilan siklus air yang terjadi cukup pendek. Kerusakan hutan di wilayah resapan air dan daerah aliran sungai (DAS) akan menjadi ancaman serius pula bagi ketersediaan air tanah.1
1
Sumber www.halselkab.go.id, dan halselkab dalam angka tahun 2013
8
Peta 2.1 Kabupaten Halmahera Selatan
Sumber: RDTR Kota Labuha (2008)
Kabupaten Halmahera Selatan sebagai daerah otonom yang baru dimekarkan dari Kabupaten Maluku Utara (sekarang Halmahera Barat), sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003, terletak antara 126° 45’ bujur timur dan 129° 30’ bujur timur dan 0° 30’ lintang utara dan 2° 00’ lintang selatan. Luas wilayah Kabupaten Halmahera Selatan adalah 40.263,72 km2, yang terdiri dari daratan seluas 8779,32 km2 (22%) dan luas lautan sebesar 31.484,40 km2 (78%), dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah utara Kota Tidore Kepulauan dan Kota Ternate; b. Sebelah selatan dibatasi oleh Laut Seram; c. Sebelah timur dibatasi oleh Laut Halmahera; d. Sebelah barat dibatasi Laut Maluku. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 kecamatan dalam wilayah administrasi Kabupaten Halmahera Selatan
9
menjadi 30 kecamatan dimana semula berdasarkan UU No. 1 Tahun 2003 terdiri atas 9 kecamatan. Peta 2.2. Peta Administratif Kabupaten Halmahera Selatan dan Cakupan Wilayah Kajian
Perkotaan LABUHA
10
Tabel 2.1. Wilayah Administratif Kabupaten Halmahera Selatan NO 1
KECAMATAN Kec. Obi Selatan
2
LUAS (km ) 1.000,59
Desa 8
2 3
Kec. Obi Kec. Obi Barat
991,05 87,30
9 6
4 5 6
Kec. Obi Timur Kec. Obi Utara Kec. Bacan
587,56 148,40 281,38
4 7 14
7 8
Kec. Mandioli Selatan Kec. Mandioli Utara
128,19 89,39
6 6
9 10
Kec. Bacan Selatan Kec. Kep Batanglomang
156,27 51,54
10 8
11 12 13
Kec. Bacan Timur Kec. Bacan Timur Selatan Kec. Bacan Timur Tengah
428,04 296,56 255,14
10 7 7
14 15
Kec. Bacan Barat Kec. Kasiruta Barat
166,95 252,10
7 10
16 17
Kec. Kasiruta Timur Kec. Bacan Barat Utara
228,96 244,67
8 8
18 19 20
Kec. Kayoa Kec. Kayoa Barat Kec. Kayoa Selatan
80,92 25,00 24,07
14 4 6
21 22
Kec. Kayoa Utara Kec. Makian
36,22 51,25
6 15
23 24
Kec. Makian Barat Kec. Gane Barat
32,82 455,90
7 10
25 26 27
Kec. Gane Barat Selatan Kec. Gane Barat Utara Kec. Kep Joronga
233,23 463,31 137,54
8 12 7
28 29
Kec. Gane Timur Kec. Gane Timur Tengah
606,48 285,98
18 8
30
Kec. Gane Timur Selatan
280,89
5
Sumber: PERDA Halmahera Selatan No. 8 Tahun 2007
2.1.2. Kondisi Iklim dan Topografi Wilayah Wilayah Kabupaten Halmahera Selatan mempunyai topografi wilayah seluas 61,1 persen tergolong lahan agak curam (derajat
11
kemiringan 15-40%) dan lahan curam (derajat kemiringan >40%). Hanya 38,9 % saja tergolong datar dan landai yang banyak terdapat di wilayah pesisir. Semakin ke dalam dan jauh dari pantai, maka lahan berbukit-bukit. Wilayah kecamatan yang memiliki mayoritas daerah dengan jenis kelerengan datar-landai (0-200) antara lain kecamatan Kayoa, Kayoa Utara, Kayoa Selatan, Gane Timur, Gane Timur Tengah, Gane Timur Selatan, Kepulauan Joronga, Kepulauan Botanglomang, Mandioli Utara, Mandioli Selatan, Obi Utara dan Obi Timur. Sedangkan wilayah kecamatan yang memiliki kondisi kelerengan curam-sangat curam (15->40 0) adalah kecamatan Makian, Makian Barat, Gane Barat Utara, Gane Barat, Gane Barat Selatan, Bacan, Bacan Timur, Bacan Selatan, Bacan Timur Selatan, Bacan Timur Tengah, Obi dan Obi Selatan. Berdasarkan data topografi/kemiringan lereng, dapat diidentifikasi bahwa pada umumnya Kawasan Perkotaan Labuha berada pada lahan yang cukup terjal dengan kemiringan lereng 1540%, yang banyak terdapat di bagian selatan dan utara Kota Labuha Lama. Beberapa sub kawasan berada pada kemiringan lereng > 40% (curam), seperti di Desa Gandasuli, Tuakona dan Sawadai. Namun demikian masih terdapat beberapa kawasan yang berada pada lahan yang landai dan cenderung datar, seperti yang ditemui di utara dan timur Kawasan Perkotaan Labuha. Karakteristik iklim wilayah Kabupaten Halmahera Selatan, beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata antara 1.000 mm sampai dengan 2.000 mm. Curah hujan ini hampir merata di Pulau Bacan dan sekitarnya, Pulau Obi dan sekitarnya serta semenanjung Halmahera bagian Selatan. Selain itu Kabupaten Halmahera Selatan juga dipengaruhi oleh dua musim yaitu: a. Musim Utara pada bulan Oktober-Maret yang diselingi angin Barat dan Pancaroba pada bulan April. b. Musim Selatan pada bulan September diselingi angin Timur dan Pancaroba pada bulan Oktober.
12
Menurut klasifikasi Schmidt F.H dan J.H.A Ferguson (1951), secara umum Kabupaten Halmahera Selatan beriklim Tipe A dan Tipe B, kecuali Saketa yang bertipe C. Menurut Klasifikasi Koppen (1960) Kabupaten Halmahera Selatan bertipe A kecuali Laiwui yang bertipe Am. Kategorisasi ini ditandai dengan tingkat curah hujan 1.250-3.250 mm/tahun dengan sebaran curah hujan di mayoritas wilayah Kabupaten Halmahera Selatan adalah 2.250 mm/tahun. Curah hujan tertinggi yaitu 3.250 mm/tahun terjadi di dataran tinggi di Kec. Obi, Kec. Obi Timur dan Kec. Obi Selatan dan curah hujan terendah yaitu 1.250 mm/tahun terjadi di Kec. Bacan, Kec. Bacan Timur dan Kec. Gane Barat. Kondisi hidrologi (kondisi air permukaan dan air tanah) Kabupaten Halmahera Selatan dipengaruhi oleh iklim, curah hujan serta keberadaan sungai dan danau. Berdasarkan keberadaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang telah teridentifikasi, Kabupaten Halmahera Selatan memiliki 151 DAS dan 5 buah danau (dengan 4 danau besar yang terdapat di Kec. Gane Timur, Kec. Bacan Timur dan Kec. Obi). Sementara itu, kondisi hidrogeologi di Kabupaten Halmahera Selatan dibagi atas beberapa tipologi kondisi hidrogeologi yaitu berdasarkan tipologi produktifitas aquifernya yang terdiri atas : a. Produktif setempat; akuifer produktif berarti akuifer dengan keterusan beragam, umumnya air tanah tidak dimanfaatkan karena dalamnya muka air tanah serta debit mata air umumnya < 10 l/det). b. Produktif rendah setempat; Akuifer dengan produktivitas rendah setempat berarti umumnya keterusan sangat rendah, air tanah dangkal dalam jumlah yg terbatas dapat diperoleh di lembahlembah atau pada zona pelapukan. c. Produktif sedang; Akuifer produksi sedang berarti aliran air tanah terbatas pada zona celahan, rekahan, dan saluran pelarutan. Debit sumur dan mata air beragam dalam kisaran besar. Debit mata air terbesar mencapai 100 l/det. d. Setempat produktif sedang; Setempat akuifer dengan produktivitas sedang berarti akuifer tidak menerus, tipis, dan rendah
13
keterusannya, muka air tanah umumnya dangkal, debit sumur umumnya < 5 l/det. e. Tidak produktif dangkal; Daerah air tanah langka atau tak berarti Berdasarkan kondisi produktifitas aquifer-nya, Kabupaten Halmahera Selatan sebagian besar wilayahnya memiliki produktifitas aquifer rendah setempat. Wilayah Kabupaten Halmahera Selatan yang memiliki produktifitas aquifer tinggi terdapat di Pulau Makian. 2.1.3. Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Halmahera Selatan tahun 2011 sebanyak 203.707 jiwa. Luas wilayah daratan Halmahera Selatan adalah 8.779,32 km2 sehingga kepadatan penduduk rata-rata hanya 23 jiwa per kilometer persegi. Angka itu sangat kecil bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk di kabupaten lain se- Indonesia. Kepadatan penduduk di Halmahera Selatan tersebar tidak merata. Hal ini terlihat dari rentang kepadatan penduduk yang sangat jauh antar kecamatan. Kepadatan terendah yaitu 5 jiwa per kilometer persegi terdapat di Kecamatan Obi Timur dan kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Kayoa Selatan yaitu 227 jiwa per kilometer persegi. Tabel 2.2. Jumlah Penduduk Kabupaten Halmahera Selatan Tahun 2009-2011 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
14
Nama Kecamatan
Bacan Bacan Selatan Bacan Timur Bacan Timur Tengah Bacan Timur Selatan Obi Selatan Obi Obi Barat Obi Timur Obi Utara Mandioli Selatan Mandioli Utara Kep. Botanglomang Bacan Barat
Jumlah Penduduk 2009 14.825 9.214 5.855 5.828 6.406 13.983 11.815 4.379 2.396 7.293 3.871 3.040 6.754 6.286
2010 19.092 13.265 9.051 5.229 6.460 12.128 14.125 3.586 3.389 8.227 5.798 2.990 6.177 3.549
2011 19.991 13.896 9.572 5.381 6.591 12.243 14.540 3.637 3.424 8.340 5.899 3.068 6.265 3.609
Jumlah KK 2010 4.776 2.735 1.722 983 1.203 2.474 2.424 1.072 666 1.341 1.031 515 1.133 618
2011 5.190 2.652 2.208 1.371 1.518 2.820 2.896 826 931 1.631 1.356 910 1.629 876
Kepadatan Tahun 2011 66 82 21 19 21 11 14 38 5 52 42 32 112 20
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kasiruta Barat Kasiruta Timur Bacan Barat Utara Kayoa Kayoa Barat Kayoa Selatan Kayoa Utara Makian Makian Barat Gane Barat Gane Barat Selatan Gane Barat Utara Kep. Joronga Gane Timur Gane Timur Tengah Gane Timur Selatan TOTAL
5.126 2.568 4.581 9.806 3.815 6.234 3.075 11.083 3.957 7.672 5.559 6.595 4.453 9.631 4.604 4.008 194.71
4.521 3.847 4.096 8.180 3.469 5.856 2.671 8.977 3.417 7.972 5.545 6.027 5.264 8.729 3.796 3.478 198.911
4.603 3.936 4.196 8.302 3.518 5.905 2.727 9.121 3.484 8.070 5.630 6.110 5.334 8.899 3.882 3.534 203.707
641 532 724 1.664 592 893 565 1.656 719 1.578 868 1.268 767 1.234 600 665 37.659
1.194 851 1.102 2.157 816 1.451 662 2.306 935 2.021 1.250 1.684 1.137 2.362 834 874 48.450
17 16 16 95 130 227 70 164 98 16 22 12 36 14 13 12 23
Sumber : Halmahera Selatan Dalam Angka (BPS)
Kecamatan Bacan merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk paling banyak, yaitu 19.991 jiwa pada tahun 2011. Struktur umur penduduknya juga tergolong penduduk usia muda. Jumlah penduduk usia muda lebih banyak daripada penduduk usia tua. Sementara itu, kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah kecamatan Kayoa Utara, dengan jumlah penduduk 2.727 jiwa. Struktur umur penduduk di wilayah ini cenderung proporsional. Jumlah penduduk usia muda dengan jumlah penduduk usia tua tidak terlalu jauh berbeda.Rasio jenis kelamin menunjukan jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Pada tahun 2011 data menunjukan jumlah laki-laki mencapai 104.240 jiwa dan perempuan mencapai 99.467 jiwa. Namun demikian, secara keseluruhan struktur penduduk Kabupaten Halmahera Selatan tergolong strata muda. Hal itu memberikan konsekuensi penyediaan lapangan kerja, akses kesehatan dan akses pendidikan yang mencukupi. 2.2. Pulau Obi: Arena Perebutan Sumber Daya Alam oleh Elit Politik Lokal Wilayah Kepulauan Obi terletak di bagian selatan dari Kabupaten Halmahera Selatan. Kepulauan Obi mempunyai luas
15
wilayah yang mencapai 3.111 km persegi. Pulau Obi sebagai pulau yang terluas dari pulau lain yang ada di Kabupaten Halmahera Selatan. Jumlah penduduknya mencapai 52.321 jiwa yang tersebar di 5 (lima) kecamatan yang ada di Kepulauan Obi. Data statistik menunjukkan pada tahun 2012, jumlah penduduk di Kecamatan Obi 14.850 jiwa, yang terdiri dari 7.579 jiwa laki-laki dan 7.271 jiwa perempuan2. Sebagai wilayah kepulauan, pulau Obi adalah salah satu wilayah paling jauh dari Ibukota Kabupaten Induk Halmahera Selatan. Dari 5 (lima) kecamatan di Kepulauan Obi, Obi Selatan merupakan kecamatan yang sangat jauh (jarak tempuh 145 km) dari Ibu Kota Kabupaten yaitu kota Labuha. Selain dari kondisi wilayah kepulauan, Pulau Obi juga memiliki berbagai sumber daya alam yang sangat memadai dan mendukung perekonomian masyarakat Obi itu sendiri. Oleh karena itu, para pemimpin pemerintahan lokal di Obi yang terdiri dari berbagai etnis melakukan konsolidasi dalam rangka menuntut pemekaran daerah menjadi sebuah kabupaten baru. Isu pemekaran Kabupaten Kepulauan Obi muncul sejak awal tahun 2015. Dua tahun sebelumnya, yaitu tahun 2013, Obi sudah masuk dalam usulan daerah otonomi baru (DOB), dan telah mendapat dukungan Pemkab Halmahera Selatan dan juga Pemprov Maluku Utara. Dukungan semakin menguat tatkala tim dari Komisi II DPR RI datang berkunjung. Akibatnya, keadaan politik lokal di kawasan Obi menjadi sensitif. Banyak kepentingan yang muncul di antara para elit politik yang memimpin di kecamatan-kecamatan di Pulau Obi. Hal ini memunculkan persaingan kepentingan kelompok pro dan kontra pemekaran Kepulauan Obi. Kepentingan ekonomi juga dimiliki oleh elit pro pemekaran (seperti Abu Karim La Tara, S.IP dan Haji Subur). Polarisasi elit ini juga terkait dengan masalah etnisitas dan agama. Polarisasi tidak saja terjadi di pulau Obi, tetapi juga orang-orang Obi di luar pulau. Kelompok kontra adalah elit birokrasi dari pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan. Pemerintah Kabupaten Halmahera 2
Sumber: bps halselkab dalam angka tahun 2013
16
Selatan sebenarnya belum sepenuh hati merespon tuntutan pemekaran yang kini diperjuangkan masyarakat Kepulauan Obi. Hal ini tampak pada pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2009. Di dalam APBD 2009, tidak ada dana dana pemekaran. Pulau Obi ingin tetap dipertahankan karena mempunyai potensi sumber daya alam (SDA) yang kaya. Potensi sumber daya alam yang kaya ini memungkinkan Pulau Obi membiayai anggaran belanjanya bila menjadi kabupaten sendiri. Menurut data dijelaskan dana APBD Kabupaten Halmahera Selatan yang kurang lebih Rp. 47 milyar, 60 persen berasal dari Kepulauan Obi. “Itu baru sebagian kecil potensi yang bisa dimanfaatkan, masih banyak sumber daya alam yang belum dieksploitasi di Pulau Obi ini” ungkap salah satu perangkat Desa Baru ketika menjelaskan prospek Pulau Obi ke depannya.
Gambar 2.1 Tugu selamat datang di Pulau Obi Sumber : Dokumentasi Peneliti.
Ada sejumlah perusahaan tambang yangmengeksplorasi kekayaan kepulauan Obi. Pertama, PT. Gane Permai Sentosa (GPS) yang merupakan anggota dari Harita Group. Perusahaan ini bergerak di bidang nikel. Selain nikel, perusahaan juga menghasilkan bauksit, emas, batu bara dan lain lain. Di Pulau Obi, tambang seperti nikel berada di Desa Kawasi yang semula berada di bawah pengeloaan PT
17
Antam, kini telah diambil alih oleh PT. Trimegah Bangun Persada. Di daerah Loji dan Jikodolong yang masuk dalam perbatasan kecamatan Obi dan Obi Selatan yang beroperasi adalah PT. Gane Permai Sentosa. Di daerah Flux, Obi Selatan beroperasi yaitu PT. Gane Tambang Sentosa, selain itu juga terdapat PT. Kemakmuran Pertiwi Tambang. Semua perusahaan tambang tersebut merupakan anak perusahaan dari Harita Group. Kehadiran perusahaan-perusahaan itu merupakan usaha pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan menarik investasi, di luar PT Aneka Tambang. Melalui investasi, perusahaan-perusahaan berdiri di Pulau Obi. Perusahaan-perusahaan itu memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Obi. Memang benar, Pulau Obi menjadi primadona bagi para investor. Dari keseluruhan wilayah Halmahera Selatan, data menunjukkan telah terdapat 20 Ijin usaha pertambangan yang beroperasi di Pulau Obi. Dari jumlah itu, beberapa di antaranya telah memasuki tahapan eksploitasi dan tahap produksi,lainnya masih berkisar pada eksplorasi dan penelitian umum mengenai lingkungannya. Rancangan investasi ini ternyata tidak sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat lokal Pulau Obi. Perusahaan-perusahaan tambang ternyata justru memberikan dampak negatif. Dari segi lingkungan, banyaknya perusahaan tambang mengakibatkan alam Pulau Obi menjadi rusak. Dari sisi ekonomi, adanya perusahaan tambang ternyata tidak memberikan kesejahteraan dan kemajuan ekonomi bagi penduduk lokal. Karena latar belakang pendidikannya, masyarakat lokal bekerja tidak terlalu besar jumlahnya. Kehidupan masyarakat Obi masih miskin dan cukup memprihatinkan.3 Mereka masih tergantung dengan alam. Setiap hari mereka mengambil hasil 3
Hal yang serupa dikeluhkan oleh Muh.Guntur Gunawan tentang investasi yang tidak menguntungkan di Pulau Obi. Baca http://www.kompasiana. com/guntur_budiawan/pembodohan-masyarakat-awam-di-pulau-obi-malut 5500698f813311cb60fa7a0a. Diakses tanggal 4 September 2015.
18
alam seperti ikan dan hasil kebun. Kondisi lebih terpuruk lagi ketika harga hasil perkebunan turun, seperti harga jual kopra. Akibatnya, masyarakat juga mengalami masalah dalam mengakses fasilitas kesehatan dan pendidikan. Meskipun demikian, Pulau Obi tetap menjadi daya tarik. Ada empat kecamatan di Pulau Obi. Bila dibandingkan kecamatan lain di Kabupaten Halmahera Selatan, maka jumlah penduduknya lebih besar. Kecamatannya lebih ramai di antara kecamatan lainnya di Kepulauan Obi. Kecamatan Obi misalnya, nampak menjadi ibukota dari pusat pemerintahan dan politik di Kepulauan Obi. Namun demikian, penduduk di kecamatan Obi Utara justru lebih padat di antara kecamatan lainnya. Hal itu disebabkan oleh luas wilayah yang terbilang sempit. Data statistik daerah Kecamatan Obi Utara pada tahun 2013 menunjukkan bahwa luas wilayah kecamatan Obi 12,2% dari luas keseluruhan kabupaten halmahera selatan, yakni 1.073,2 km persegi. Luas wilayah kecamatan Obi sekitar 1.027,7 km persegi. Kecamatan Obi merupakan salah satu kecamatan tertua di kabupaten Halmahera Selatan. Secara geografis, kecamatan Obi diapit oleh seluruh kecamatan yang ada di kepulauan Obi, yaitu sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Obi utara, sebelah barat dengan kecamatan Obi barat, sebelah selatan dengan Obi selatan dan sebelah timur dengan kecamatan Obi timur. Tahun 2012 data menunjukkan hanya 0,3 % wilayah kecamatan Obi yang telah menjadi pemukiman warga. Desa dan pemukiman warga sebagian besar desa di kecamatan Obi berada di daerah pesisir.
19
20
Pemerintahan di kecamatan Obi pada tahun 2012 mempunyai lebih dari 50% PNS laki-laki. Jumlah pegawai negeri sipil yang bertugas di kecamatan Obi berjumlah 142 orang. Komposisi PNS terlihat seperti golongan 3 sebanyak 74 orang, kemudian golongan II sebanyak 57 orang, golongan IV sebanyak 11 orang. Sejarah awalnya kecamatan Obi terdiri dari 20 desa dan 12 dusun, kemudian pada tahun 2003 terjadi pemekaran wilayah kecamatan, dan terbentuk satu kecamatan baru yaitu Obi selatan. Jumlah desa maupun dusun di kecamatan Obi berubah menjadi 13 desa dan 9 dusun. Pada tahun 2007 kembali terjadi pemekaran kecamatan yaitu kecamatan Obi Utara, Obi timur dan Obi barat sehingga kini kecamatan Obi menjadi terdiri dari 9 desa dan 3 dusun. Pada tahun 2012 tingkat kepadatan penduduk di kecamatan Obi tergolong rendah yaitu 14 jiwa per km persegi. Tingkat kepadatan ini tergolong rendah dikarenakan kurang lebih 99,7 persen wilayah kecamatan Obi masih berupa kawasan hutan. Data kesehatan menunjukkan pada tahun 2012 jumlah bayi lahir hidup di kecamatan Obi, sebanyak 338 jiwa. Angka pertumbuhan penduduk mencapai 2.86. Komposisi penduduk menggambarkan kelompok umur berdasarkan jenis kelamin tampak pada kelompok usia 0-4 tahun ternyata lebih tinggi dibanding kelompok usia 5-9 tahun. Data ini saja menunjukkan bahwa jumlah bayi sangat tinggi di desa-desa kecamatan Obi. Selain itu, data itu juga memperlihatkan angka kelahiran di kecamatan Obi cukup tinggi. Data awal menunjukkan jumlah penduduk Obi pada tahun 2010 adalah 14.125 jiwa. Kemudian pada tahun 2011 naik menjadi 14.540 jiwa. Pada tahun 2012 naik mencapai 14.850. Data fasilitas pendidikan di kecamatan Obi dapat dibilang cukup terbatas. Akhir tahun 2011, terdapat 15 sekolah tingkat sekolah dasar, 4 sekolah menengah pertama (SMP) dan 2 sekolah menengah umum (SMU)/sederajat. Data untuk tenaga guru, sebagian besar guru yang mengajar di kecamatan Obi masih berstatus pegawai tidak tetap maupun honorer lepas. Jumlah guru berstatus pns masih kurang.
21
Angka partisipasi sekolah (APS) menunjukkan tingkat pendidikan sekolah dasar mencapai angka 2.919 murid lalu disusul tingkat SMP 1.138 murid dan SMA 963 murid. Data di atas menggambarkan masyarakat di kecamatan Obi sudah mulai menyadari akan pentingnya pendidikan dasar 9 tahun untuk anak-anak mereka sebagai tonggak perkembangan dan kemajuan daerah Obi di masa yang akan datang.1 Fasilitas kesehatan yang masih mengakibatkan sebagian besar proses kelahiran bayi di Kecamatan Obi lebih sering ditangani dukun bersalin (Mama Biang). Secara medis, proses kelahiran yang ditolong dukun bersalin atau Mama Biang memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap keselamatan ibu dan bayi. Jumlah bayi/balita yang menerima imunisasi setiap bulan meningkat sehingga hal ini menandakan masyarakat sudah mulai mempunyai kesadaran untuk berperilaku untuk hidup sehat dan merawat bayinya. Data kesehatan tahun 2013 juga menunjukkan bahwa angka bayi/balita yang menerima imunisasi juga meningkat. Hal ini didukung oleh fasilitas dan tenaga kesehatan kecamatan Obi seperti pada tabel berikut ini: Tabel 2.4 Jumlah fasilitas dan Tenaga Kesehatan di Kec. Obi No
1
Keterangan
1
Rumah sakit
1
2
Puskesmas
1
3
Pustu
0
4
Polindes
4
5
Posyandu
12
6
Dokter
3
7
Bidan
11
8
Mantri Kesehatan
10
9
Farmasi
1
10
Tenaga kes. lainnya
8
Sumber: diknas kab. halmahera selatan, 2013
22
Jumlah
Pembangunan dan infrastruktur daerah di kecamatan Obi terlihat seperti jalan darat yang dibangun di kecamatan Obi baru mencapai 50,8 Km. Jalan ini pun kondisinya tidak begitu bagus. Setiap hari dilewati oleh moda transportasi yang besar dan berat. Sarana perhubungan darat merupakan sarana transportasi utama di kecamatan Obi, sedangkan perhubungan laut hanya digunakan oleh sebagian kecil masyarakat yang ingin mengakses perusahaan tambang nikel di desa Kawasi dan ke Dusun Tabuji. Namun kenyataannya, sarana jalan darat yang dibangun di kecamatan Obi tidak mendapat perhatian dari pemerintah setempat. kondisi jalan darat ini hanya 8 persen saja yang dalam keadaan baik. sedangkan 47 persen dalam kondisi rusak dan rusak berat, 45 persen kondisi rusak ringan. Hal ini tampak dalam data sampai akhir tahun 2012, di kecamatan Obi telah dibangun sarana jalan darat sepanjang 50,8 Km. Bangunan jalan darat ini terbagi dalam beberapa jenis permukaan, yang terpanjang dibangun adalah jenis permukaan yang diaspal, sepanjang 22 Km. Jenis permukaan jalan berupa tanah saja sepanjang 12,6 Km dan jalan yang berupa sirtu (pasir dan batu) atau kerikil sepanjang 16,5 Km. 2.3. Puskesmas Laiwui Puskesmas Laiwui merupakan salah satu gugus puskesmas yang memiliki satelit-satelit puskesmas di Pulau Obi. Satelit-satelit puskesmas terdiri dari puskesmas Jikohai, puskesmas Sum, puskesmas Madapolo. Gugus Puskesmas Obi berfungsi sebagai sarana pusat rujukan dari puskakes mas dan rujukan ke rumah sakit Labuha. Puskesmas ini membawahi sembilan desa di kecamatan Obi, yaitu Desa Jikotamo, Akegula, Laiwui, Baru, Sambiki, Air Mangga, Anggai, Kawasi, dan Buton. Puskesmas Laiwui terletak di Desa Laiwui. Desa Laiwui merupakan pusat kantor-kantor untuk kecamatan Obi, seperti kantor kecamatan, polsek, kantor pos, dan sebagainya. Letak puskesmas Laiwui memang strategis karena orang selalu melewati jalan di depan
23
puskesmas. Selain itu, puskesmas juga berdekatan dengan perempatan jalan menuju desa-desa atau akses menuju layanan publik. Jika dilihat dari puskesmas, perempatan sebelah utara menuju desa Jikotamo, sebelah selatan menuju SMAN 1 Obi atau Laiwui, sebelah barat menuju pasar Laiwui dan desa-desa lain, dan sebelah timur menuju ke RSUD Kecamatan Obi. Tatanan ruang dan halaman puskesmas terlihat rapi dan bersih. Hampir semua ruangan dan pagar dominan bercat hijau dan putih. Semua data puskesmas terbaru terpampang rapi di dinding informasi puskesmas. Karena penataan ini, Puskesmas Laiwui memberanikan diri menjadi peserta lomba Hari Kesehatan Nasional (HKN) perwakilan dari Kabupaten Halmahera Selatan.
Gambar 2.2 Puskesmas Laiwui Sumber : dokumentasi peneliti
Fasilitas yang dimiliki oleh puskesmas tidak jauh beda dengan puskesmas lain. Khusus untuk puskesmas di Kabupaten Halmahera Selatan terdapat Rumah Tunggu Kelahiran (RTK). RTK ini merupakan salah satu program dari Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan. RTK Puskesmas Laiwui didirikan pada tahun 2012 dan sudah
24
mendapatkan penghargaan dari pemerintah pusat. RTK ini difungsikan jika ada persalinan dengan riwayat komplikasi. Dari semua fasilitas yang ada, tidak semua berjalan sesuai fungainya, misal ambulans. Mobil ini sudah lama parkir di depan rumah dinas dokter. Kondisi fisiknya masih bagus, tetapi tidak bisa dipakai karena salah satu bagian mesinnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Salah satu staf puskesmas sudah pernah membelikan bagian mesin yang rusak tersebut, tetapi hanya bertahan satu minggu pemakaian. Sesudah itu, mesin kembali rusak. Bantuan dari pemerintah sebenarnya sudah ada, namun dialihkan ke RSUD. Ambulans di RSUD sudah tidak bisa digunakan sama sekali. Jumlah pegawai yang ada di puskemas adalah lima puluh orang yang yang terdiri dari sembilan belas PNS, delapan belas PTT (Pegawai Tidak Tetap), dan lainnya adalah honorer. Tidak semua lima puluh orang ini berada di puskesmas. Tiga orang perugas memegang polindes, sedangkan satu orang petugas memegang pustu. Akses menuju puskesmas bisa menggunakan jalur darat maupun jalur laut. Jalur darat biasanya digunakan oleh masyarakat di sekitar kecamatan Obi, terkecuali untuk Desa Kawasi dan Dusun Tabuji. Mereka harus menggunakan jalur laut jika ingin pergi ke puskesmas. Mereka menggunakan perahu kecil atau speed boat menuju pelabuhan speed boat Laiwui. Setelah merapat, orang harus naik ojek darat menuju ke puskesmas. Di Desa Kawasi, Dinkes sudah mengembangkan polindes (poliklinik desa). Di polindes, ada seorang bidan atau perawat yang bertugas, sehingga penduduk yang membutuhkan dapat datang berobat. Hal itu berbeda dengan Dusun Tabuji. Dusun Tabuji belum memiliki polindes. Jika warga Tabuji sakit, harus berobat ke puskesmas. Biaya yang dikeluarkan akan lebih besar dibandingkan warga yang tinggal di Kawasi. Mereka harus menggunakan jalur laut dan jalur darat. Biasanya mereka langsung pulang ke rumah. Meski mereka sedang sakit dan ada saudara di Desa Baru.
25
Jika orang sakit datang dari luar Desa Laiwui maupun Kecamatan Obi dan harus dirujuk ke puskesmas Laiwui menggunakan dua jalur, yaitu 1. Desa-desa yang terletak di Kecamatan Obi menggunakan jalur darat. Mereka menempuh perjalananan ke puskesmas maksimal dua jam. Transportasi yang mereka gunakan adalah kendaraan bermotor, baik milik pribadi maupun umum. Akses menuju puskesmas sudah lancar karena sebagian jalan sudah menggunakan aspal. Untuk daerah di di sebelah timur Desa Jikotamo, mereka harus melewati jalan perbukitan dengan pepohonan besar di samping. Bila malam hari, mereka kesulitan karena tidak ada penerangan sepanjang jalan. Menurut seorang informan mengatakan bahwa tidak jarang ada sedikit longsoran di sekitar jalan tersebut. Hal ini selalu diwaspadai oleh masyarakat yang melalui jalan tersebut. Keadaan hampir juga terjadi Desa Laiwui. Akses menuju puskesmas agak terhambat karena terdapat aspal yang sudah cekung dan selalu tergenang air. Jika tidak hujan, genangan air tidak terlalu tinggi dan banyak. Jika hujan turun, masyarakat tidak melalui jalan tersebut dan harus berbalik arah lebih jauh menuju akses yang lebih mudah. Kondisi banjir ini dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk mencuci motor.
Gambar 2.3 Jalan aspal yang tergenang air Sumber : dokumentasi peneliti
26
2. Wilayah yang harus menggunakan jalur laut adalah wilayah kerja puskesmas Jikohai, Sum, Madapolo dan dua wilayah yang merupakan bagian dari wilayah kerja puskesmas Laiwui. Mereka biasanya menggunakan speed boat atau kapal jhonson (kapal berukuran sedang dan bisa memuat sekitar 20 orang). Biaya yang mereka keluarkan untuk naik speed atau kapal jonson sekali perjalanan adalah seratus ribu dengan waktu perjalanan yang berbeda. Biaya dan waktu perjalanan tersebut belum termasuk perjalanan di darat. Sebagai contoh, perjalanan yang dilakukan dari Sum ke puskesmas Laiwui. Ia menggunakan speed selama sekitar 3 jam. Kalau ada ombak besar, perjalanannya bisa dilakukan selama 4 jam. Oleh karena itu, speed boat yang tersedia tidak selalu beroperasi setiap jam atau setiap hari karena tergantung kondisi ombak. ia kemudian meneruskan perjalanan dengan ojek menuju puskesmas. Penggunaan jalur laut tidak saja berhenti hingga di Puskesmas. Jalur laut dilakukan juga bila mengharuskan untuk merujuk ke rumah sakit Labuha atau rumah sakit Ternate. Penggunaan jalur laut untuk rujukan sama seperti bepergian ke Labuha atau Ternate. Mereka menggunakan kapal penumpang. Untuk itu, tidak ada perlakuan istimewa dari puskesmas. Dalam keadaan darurat, maka pihak puskesmas mengusahakan speed boat. Apabila mengandalkan kapal menuju Labuha atau Ternate, maka pasien dapat terlambat mendapatkan pertolongan. 2.4. RSUD Kecamatan Obi Fasilitas kesehatan ini didirikan pada tahun 2010 dan diresmikan pada tahun 2012. Letaknya tidak jauh dari puskesmas Laiwui. Rumah sakit ini masih dalam kategori rumah sakit kelas D dan masih di bawah naungan Puskesmas Laiwui. Masyarakat tidak jarang mendapatkan rujukan dari puskesmas ke rumah sakit ini. Jika rumah
27
sakit tidak sanggup menangani pasien, maka rujukan akan dialihkan ke rumah sakit Labuha. Pembangunan rumah sakit ini di atas tanah seluas sekitar satu hektar. Namun demikian, pemanfaatan lahan ini belum dilakukan secara maksimal. Lahan kosong masih banyak dan hanya ditumbuhi rumput liar. Jika dilihat dari halaman rumah sakit, terlihat gedung instalasi gawat darurat, instalasi rawat jalan, rumah dinas dokter dan satu gedung tanpa keterangan nama. Pagar yang membatasi antara jalan yang dilalui warga dan rumah sakit terlihat tidak terawat terutama keterangan nama rumah sakit yang tidak begitu terlihat karena cat mengelupas dan banyak rumput yang tumbuh di sekitarnya. Warna cat putih yang menempel sepanjang pagar juga sudah pudar. Pagar hanya terbuat dari bahan batako dan semen. Sedangkan pagar terbuat dari besi tidak ada. Pos pengamanan atau pos satpam juga tidak ada. Siapa pun dapat masuk dan keluar secara bebas. Hewan pun bisa masuk bebas ke dalamnya. Hal ini terlihat adanya kotoran hewan di halaman rumah sakit yang terbuat dari paving blok. Menurut salah satu staf RSU Obi, sebenarnya ada anggaran untuk perawatan gedung termasuk pagar rumah sakit, akan tetapi tidak jelas penggunaan atau pemanfaatan dana, apakah untuk perawatan atau tidak. Untuk kelengkapan peralatan, pihak manajemen rumah sakit sedang mengajukan proposal untuk membeli peralatan kesehatan yang akan diletakkan di ruang ICU, IGD dan laboratorium ke dinas kesehatan kabupaten dan dinas kesehatan provinsi.
28
Gambar 2.4 Kondisi Rumah Sakit Kecamatan Obi Sumber : dokumentasi peneliti
Listrik yang digunakan hanya berdurasi 12 jam dalam satu hari. Kebutuhan listrik sebenarnya tergantung dari kebutuhan pasien. Jika ada pasien yang membutuhkan oksigen saat listrik belum menyala, maka rumah sakit akan menyalakan listrik dengan menggunakan genset. Ukuran genset yang dipakai lebih besar daripada milik puskesmas. Letak rumah sakit tidak strategis. Letaknya jauh dari jalan utama yang dilalui warga, baik warga setempat maupun pendatang. Akses menuju rumah sakit cenderung sepi dan sekitar 200 m terdapat perkebunan kelapa yang luas dan rumah warga. Ketika peneliti berkunjung ke rumah sakit pada sore hari, lalu lintas warga di depan jalan rumah sakit cenderung sedikit. Pasien cenderung lebih meminta rujukan ke Rumah Sakit Labuha karena peralatan dan tenaga medisnya lebih lengkap. Pasien yang dirujuk ke RSUD Kecamatan Obi biasanya bersifat tidak terlalu berat. Pasien yang dirujuk ke RSUD Labuha antara lain bila menderita kecelakaan motor dengan luka cukup parah dan tidak sadarkan diri, persalinan dengan komplikasi, pasien yang memiliki gangguan jiwa, pasien yang mengalami luka dan bisa akibat gigitan ular berbisa.
29
Rumah sakit ini memiliki dua ambulans yang diberikan oleh pemerintah. Satu mobil berbentuk tipe colt dan mobil lain berbentuk tipe APV. Masing-masing ambulans memiliki kondisi yang berbeda. Ambulans tipe colt memiliki kondisi tidak terawat seperti atap mobil sudah berkarat, cat mobil sudah kusam dan ban bagian belakang kempes. Ambulans tipe APV memiliki kondisi yang masih bagus dan terawat. Ambulans ini diberikan oleh pemerintah pusat pada tahun 2009 dan biasa digunakan untuk berbagai keperluan rumah sakit terutama untuk membantu membawa pasien. 2.5 Sejarah Masyarakat Tobelo Menurut ketua Adat di Dusun Tabuji, Bapak Laban Hohe, etnis Tobelo merupakan etnis yang pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Obi. Etnis Tobelo merupakan etnis yang suka melaut dan merompak kapal-kapal dagang etnis lainnya. Oleh karena itu, etnis Tobelo dahulu dianggap sebagai etnis yang jahat, suka membunuh dan menguasai wilayah lain. Menurut cerita, orang Tobelo Galela, dulunya amat menguasai kawasan Bacan. Sultan Bacan mengembalikan mereka ke Halmahera. Mereka dicarikan belo untuk perahu-perahu mereka, dan dari peristiwa ini muncul kata Tobelo yang berarti sepotong kayu untuk membelo atau menjangkar perahu mereka setibanya perahu di tempat pemukiman baru mereka. Oleh karena itu, kata Tobelo berasal dari dua suku kata, yaitu to yang berarti orang dan belo yang berarti sepotong kayu yang ditancapkan ke pasir (atau dijangkarkan). Kata Tobelo, selain menjadi nama etnis, juga menjadi nama tempat di Halmahera Utara. Tempat itu diduga asal dari etnis Tobelo. Meskipun demikian, kisah lain menyebutkan bahwa Tobelo berasal dari tambelo, sejenis rayap laut yang memakan papan perahu atau belo yang ditanamkan untuk perahu mereka agar tidak oleng dan berdiam di tempat. Pemukiman pertama orang-orang Tobelo adalah sekitar Talaga Lina (Telaga Lina), kemudian dari pemukiman itu mereka berpencar
30
dan mengambil tempat kediaman di tempat-tempat yang tidak jauh dari pantai. Sub-klan pertama yang keluar dari Talaga Lina adalah orang-orang Boenge, kemudian menyusul sub-sub suku lain. Kemudian beberapa titik pesisir pulau Obi pun akhirnya ditempati oleh etnis Tobelo. Setelah etnis Tobelo bermukim dan hidup menetap kemudian datang etnis Buton yang akhirnya hidup berdampingan dengan etnis Tobelo. Masyarakat Tobelo adalah penduduk asli dari semenanjung Halmahera. Mereka bermigrasi ke pantai timur Halmahera Utara setelah mereka mengusir suku Moro dari daerah tersebut. Masyarakat Tobelo juga sering disebut “bajak laut Tobelo” sebenarnya mengacu pada kelompok perompak Tobelo dan Galela. Keterlibatan orang Tobelo dan Galela dalam pembajakan di laut bisa ditelusuri hingga akhir abad ke-18. Ketika pangeran Nuku dari Tidore mencetuskan pemberontakan, ia berhasil mempersatukan berbagai kekuatan maritim di bagian timur Indonesia. Kawasan tersebut meliputi Maba, Patani, Weda, Gebe, Raja Ampat, Biak dan orang-orang Tobelo-Galela yang bermukim di wilayah kesultanan Tidore. Sebagai bahan untuk membiayai pemberontakan, mereka melakukan pembajakan dan penangkapan budak serta menyerang kapal dagang dan berbagai kepentingan Ternate dan Belanda yang berada berbagai tempat. Kelompok ini dalam catatan Belanda disebut “Papua Zeerover” atau lebih sering disebut bajak laut Papua. Aktifitas kelompok ini mencakup daerah Ambon, Buru, Seram, kepulauan Aru-Kei, Tanimbar, Sula, Banggai dan Sulawesi Utara. Kehidupan masyarakat Tobelo tidak dapat dipisahkan dengan laut. Tampak dalam kehidupan sehari-hari, jika waktu senggang mereka memancing ikan di laut. Setiap hari pun, mereka makan harus ada ikan. Orang Tobelo lebih menyukai ikan segar daripada ikan yang sudah mengalami proses pendinginan dari es batu. Jadi mereka lebih baik pergi melaut dengan katingting daripada membeli ikan di pasar yang sudah diawetkan.
31
2. 6. Sistem Mata Pencaharian Masyarakat dari etnis Tobelo yang ada di Pulau Obi bermatapencaharian sebagai pekebun kopra, cengkeh, pala dan sayuran. Selain itu, dalam waktu luangnya mereka juga bekerja sebagai nelayan. Data BPS menunjukkan sekitar 55% atau 1.552 KK di kecamatan Obi bekerja sebagai petani atau pekebun. Sektor pertanian dan perkebunan masih menjadi sektor andalan sebagian besar masyarakat di kecamatan Obi. Pada tahun 2012, dari total 2.776 KK, 10% bekerja sebagai nelayan, 8 % bekerja sebagai pedagang, 5 % bekerja di jasa angkutan dan sisanya sekitar 23 % bekerja sebagai buruh kehutanan, penambang, pegawai negeri/ swasta, dsb. Dari jumlah 270 KK sebagai nelayan terkadang juga bekerja sebagai pekebun atau petani. Hal itu juga berlaku pada 1.552 KK yang merupakan pekebun atau petani. Meskipun berkebun atau bertani, mereka terkadang juga pergi melaut. Hanya 3 KK yang bekerja di sektor kehutanan. Penduduk yang bekerja sebagai pedagang sebanyak 212 KK, sedangkan jumlah penduduk yang bekerja di sektor jasa dan angkutan sebanyak 142 KK. Pola mata pencaharian dalam dua tiga tahun terakhi rmengalami perubahan. Hasil tambang di Kecamatan Obi seperti emas sekarang ini telah menurun. Ada perubahan mata pencaharian yang sebelumnya menjadi penambang emas di desa Anggai, kini sebagian besar telah beralih menjadi nelayan, petani (pekebun), pedagang dan lain sebagainya. Produktivitas hasil perkebunan ubi kayu (kasbi) dan ubi jalar (petatas) merupakan hasil terbesar para petani di Kecamatan Obi pada tahun 2012. Kondisi ini tidak diikuti oleh produktivitas tanaman jagung dan kacang tanah. Jumlah kedua produk tidak terlalu besar. Selain tanaman pangan, produktivitas tanaman perkebunan juga tidak kalah baiknya dan sangat menunjang perekonomian di kecamatan Obi. Tahun 2012, produksi tanaman perkebunan seperti Kelapa (kopra) mencapai 653 ton, Cengkeh 113 ton, Pala 23,3 ton dan Kakao 111 ton. Tanaman cengkeh mengalami peningkatan jumlah produksi.
32
jika pada tahun 2011 produksi tanaman cengkeh adalah 94 ton, maka pada tahun 2012 meningkat menjadi 113 ton atau terjadi peningkatan produksi sebesar 19 ton dari tahun sebelumnya. Hal ini terjadi dikarenakan pada tahun 2012 harga cengkeh melambung hingga di atas Rp.100.000,-/kg cengkeh. Tidak salah jika kemudian cengkeh merupakan primadona atau menjadi sumber penghasilan terbesar masyarakat di Pulau Obi. Hasil perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat Tobelo sebenarnya bersifat homogen. Hasil panen relatif sama yaitu jenis tanaman tahunan, seperti; coklat, kelapa, pala, dan cengkeh. Kegiatan pertanian terutama berpusat pada perladangan. Tidak ada yang salah dengan pola berpikir dan bertanam yang cenderung homogen demikian. Masalahnya jenis tanaman palawija seperti sayuran, bumbu dapur seperti tomat, cabe dan sebagainya yang dibutuhkan sehariharinya cenderung diabaikan atau sedikit dari warga masyarakat yang mau menanam. Itu pun hanya untuk dikonsumsi sendiri. Hasil sayuran dan bumbu seperti Labu atau Sambiki, Sawi, Wortel, bawang merah dan putih, nyaris semuanya didatangkan dari Sulawesi Utara. Sejak adanya para transmigran Jawa yang memproduksi padi, tetapi hanya sedikit masyarakat Tobelo yang mengusahakan padi sawah seperti di dekat Tabuji. Hal ini berkaitan dengan keadaan tanah, iklim, pengetahuan dari masyarakat Tobelo dan ketrampilan masyarakat serta kebijakan pertanian dari pemerintah setempat.
Gambar 2.5 Bapak Yeldo baru pulang dari kebun Sumber : Dokumentasi Peneliti
33
Di ibu kota kecamatan Obi yaitu Desa Laiwui terlihat warga etnis Tionghoa mendominasi aktivitas ekonomi diikuti oleh Minangkabau. Etnis Tionghoa memegang peranan penting dalam hal perdagangan dan perindustrian. Sedangkan penduduk lokal termasuk etnis Tobelo hanya berfokus nelayan dan berkebun. Uniknya, dalam mengolah dan mengambil hasil alam sekitarnya, masyarakat Tobelo masih menggunakan hukum adat. Hukum Sasi masih berlaku pada masyarakat Tobelo di Desa Baru, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan. Hukum sasi ini untuk tanaman Kelapa dan tanaman kebun yang produktif lainnya. Sasi Adat ini juga kadang dibarengi dengan Sasi Gereja. Seperti ketika kami melakukan penelitian di sana, di kebun-kebun milik warga Tobelo sedang berlaku Sasi Gereja terhadap pohon kelapa. Sasi Gereja ini sangat ditakuti oleh anak-anak muda. Mereka tidak berani untuk mengambil buah kelapa sampai Sasi Gereja ini dicabut. Proses pencabutan sasi gereja ini dilakukan dengan upacara yang dipimpin oleh bapak pendeta. Hal ini sangat berbeda dengan etnis Buton yang juga berada di Desa Baru. Mereka tidak mempercayai adanya Sasi Gereja maupun Sasi Adat.
Gambar 2. 6 pohon kelapa yang terkena Sasi Gereja Desa Baru Sumber : Dokumentasi Peneliti
34
2.7. Bahasa Tobelo Bahasa Tobelo adalah satu dari kelompok bahasa Halmahera Utara yang kemudian ditutur oleh masyarakat etnis Tobelo di pulau Halmahera dan beberapa pulau di sekitarnya. Pusat penuturan bahasa Tobelo adalah di kecamatan Tobelo dan Tobelo Selatan, Halmahera Utara yang terletak di pantai barat Teluk Kao. Dialek dari bahasa Tobelo yang dipergunakan oleh masyarakat termasuk di Desa Baru, tepatnya Dusun Tabuji termasuk salah satu dari enam dialek utama2. Bahasa Tobelo merupakan bahasa daerah yang dipergunakan oleh masyarakat Desa Baru setiap harinya. Masyarakat etnis Tobelo berada di Dusun 3 dan Dusun IV (Dusun Tabuji). Di Dusun I dan Dusun II dihuni oleh mayoritas etnis Buton. Masyarakat di Desa Baru sangat jarang menggunakan bahasa Indonesia untuk percakapan sehari-hari. Namun demikian, jika mereka bertemu dengan pendatang atau pergi ke instansi pemerintahan maka mereka berusaha untuk menggunakan bahasa Indonesia. Logat Bahasa Tobelo hampir sama dengan logat bahasa Galela. Sayangnya, di lembaga pendidikan seperti sekolah (SD dan SMP) bahasa daerah ini tidak diajarkan dalam mata pelajaran muatan lokal. Hal ini juga patut disayangkan oleh tokoh adat Dusun 3, Desa Baru, yang sekaligus menjabat sebagai Kepala Dusun yaitu Bapak Hans Labage. ia menuturkan seperti ini: “iya, sayang sekali, bahasa asli kami, bahasa tobelo tidak diajarkan di sekolah-sekolah, bahkan di gereja pun kami menggunakan bahasa Indonesia. Kami hanya menggunakan bahasa Tobelo ketika mengobrol dengan tetangga kami, atau orang-orang Tobelo yang seumuran dengan kami, sedangkan anak kecil dan para pemuda hanya menirukan beberapa katakata yang sering kami ucapkan..memang dahulu kami tidak belajar secara tertulis dari nenek moyang kami, kami pun dulu waktu kecil juga hanya mendengar dan menghafal dari orang tua kami, sehingga yang kami ingat saja, yang kami ucapkan dalam hidup sehari-hari di keluarga. Nantinya, ya kami tidak
2
Menurut Voorhoeve (1988), ada enam dialek Tobelo, yaitu (1) Heleworuru, (2) Boeng, (3) Dodinga, (4) Danau Paca, (5) Kukumutuk, (6) Popon.
35
tahu..bagaimana anak cucu kami bisa mengerti menggunakan bahasa Tobelo sebagai bahasa asli mereka”
dan
Gambar 2. 7. Bapak Hans Labage (Kepala Dusun III dan ketua adat Tobelo) Sumber : Dokumentasi Peneliti
2. 8. Kepercayaan Masyarakat Tobelo Pada masa dahulu masyarakat Tobelo masih mempunyai kepercayaan menyembah berhala. Kepercayaan berhala ini membuat mereka sangat ditakuti oleh suku-suku lainnya. Mereka mempercayai arwah nenek moyang yang selalu ada dan membantu mereka ketika mereka membutuhkan. Mereka membaca doa pada malam-malam tertentu untuk mengingat nenek moyangnya. Bacaan doa ini juga bisa untuk membuat lawan menjadi lemah dan linglung. Dengan baca doadoa ini mereka bisa membuat kapal-kapal dagang atau kapal nelayan yang berada di tengah laut akan tiba-tiba menepi di pantai dekat kita. Menurut Bapak Laban Hohe mengatakan
36
“kami dulu, sebagai orang Tobelo yang dikenal pemalas, kasar dan kejam dan jahat kepada semua orang. Kami juga dikenal suka membunuh lawan kami. Dulu orang Tobelo itu suka merampok kapal-kapal dagang dan kapal nelayan yang lewat, setelah dirampok biasanya kemudian kapal kami bakar, kayukayu kapal kadang kala kami pakai untuk rumah, sedangkan anak buah kapal kami bunuh semua, oleh karena itu kami dikenal sebagai suku yang kejam dan biadab”
Sejarah kepercayaan masyarakat ini juga pernah ditulis oleh Tome Pires yang menjelaskan mengenai perdagangan cengkeh yang cukup signifikan. Kepercayaan masyarakat Tobelo ini menjadikan stereotype melekat kepada etnis Tobelo sampai sekarang ini. Orang Tobelo identik dengan ilmu magic dan ilmu pelet serta pemberian racun pada makanan yang diberikan kepada orang yang baru datang. Kini, lambat laun stereotype ini sudah mulai memudar karena masyarakat Tobelo sudah mulai menerima perubahan dan kemajuan. Kini, sebagian besar beragama Kristen. Peristiwa orang Tobel beragama Kristen diawali dengan pertobatan dan pengakuan seorang Tobelo. Waktu itu, seorang Tobelo sakit dan meminta kesembuhan pada seorang anggota missi. Oleh anggota missi, ia diminta untuk bertobat dan mengakui dosa yang pernah dilakukannya. Setelah itu, orang tua tersebut langsung menjadi sehat. Cara ini kini menjadi satu kebiasaan bila menderita sakit. Pada saat sakit, orang atau keluarga memanggil pastor untuk mengikat pengakuannya kepada Iman Kristen, membacakan kitab suci atau berdoa kepada Tuhan. Cara ini digunakan sebagai perilaku untuk mempertebal iman. Orang-orang Kristen di Pulau Bacan dan sekitarnya percaya, bahwa agama Kristen sangat efektif melawan Swanggi, yakni roh jahat yang paling ditakuti karena dapat “memakan” jantung anak-anak atau dapat membuat orang jadi sakit hingga meninggal dunia. Swanggi juga ditakuti karena dapat “mencabut” nyawa orang. Swanggi akan meminum darahnya. Ada keyakinan bahwa Swanggi tidak mampu menyerang orang Portugis karena telah lama menjadi Kristen. Oleh karena itu,
37
masyarakat Tobelo di Pulau Bacan, Pulau Obi dan sekitarnya menganut agama Kristen. Keyakinan untuk melawan swanggi dengan menjadi Kristen inilah diduga melatarbelakangi konversi agama dari Islam ke Kristen 800 orang Tobel sekitar tahun 1562 dI Bacan, termasuk kalangan keluarga Sultan Bacan (Don Joao) dan para bobato-nya. Hal itu telah menimbulkan kemarahan Sultan Khairun di Ternate. Sultan Ternate ini meminta agar Don Joao kembali lagi ke agama Islam. Untuk mengatasi tuntutan Khairun, Don Joao buru-buru membuat persetujuan dengan Sultan Tidore dan orang-orang Portugis di Ambon. Don Joao meminta perlindungan dengan Sultan Tidore dan orang-orang Portugis. Menurut sebuah sumber, Don Joao mati diracun oleh Babullah pada tahun 1577, sebelum ia bertobat dan kembali ke Islam. Namun, sumber lain menyatakan, karena diultimatum oleh Babullah, Don Joao kembali ke Islam berikut sebagian dari bobato-nya.
Gambar 2. 8. Bapak Laban Hohe (Tokoh Adat Tobelo) Sumber : Dokumentasi Peneliti
Anggota keluarga dari kerajaan Bacan diangkut dan diungsikan ke Ternate. Kesultanan Ternate kemudian mengembalikan adik Don Joao yang bernama Baptis Don Henrique untuk naik takhta setelah
38
Don Joao wafat. Don Henrique yang ikut mengonversi agama bersama kakak dan keluarganya, tidak mau kembali ke agama asalnya, yakni Islam. ia meminta bantuan komandan benteng Portugis di Tidore. Hal itu menyebabkan Ternate menyatakan perang terhadap Bacan kala itu.3 Dari sejarah tersebut, persoalan agama sebenarnya tidak masalah pada masyarakat Tobelo. Hal itu menjadi masalah bagi etnis di sekitarnya. Oleh karena itu, masyarakat Tobelo yang berbeda agama baik Kristen maupun Islam tidak mempermasalahkan perbedaan. Dalam satu keluarga besar dari etnis Tobelo bisa menganut agama yang berbeda. Perbedaan agama Kristen dan Islam dalam sebuah klan keluarga Tobelo tidak menjadi masalah bagi mereka. Mereka masih saling menghormati satu sama lainnya. Selain itu, etnis Tobelo ini juga ternyata menghargai perbedaan. Mereka menghargai keberadaan kepercayaan-kepercayaan baru yang dianut oleh anggota keluarga mereka. Walaupun mereka sudah menganut agama Islam dan Kristen, namun beberapa keluarga masih mempercayai tentang keberadaan nenek moyang dan tempat-tempat berhala di sekitar lingkungannya. Beberapa tempat seperti kuburan, pohon besar, mata air dan Batu besar biasanya diberi tanda seperti bunga dan bendabenda. Tanda-tanda itu menunjukkan bahwa tempat tersebut masih bersifat keramat dan ada penghuninya. Keyakinan lain adalah keberadaan orang Moro. Masyarakat etnis Tobelo sangat meyakini keberadaan suku Moro. Suku Moro dianggap tinggal di hutan-hutan. Dalam pandangan masyarakat Tobelo (dan Buton), suku itu tidak nampak seperti manusia biasa. Tidak semua orang bisa melihatnya. Mereka dipandang merupakan sisa-sisa orang-orang Moro pada masa lalu. Dalam sejarahnya, suku tersebut pernah ada dan tinggal di Pulau Morotai hingga di 3
Sumber : Kesultanan Ternate; Sejarah Sosial Ekonomi dan Politik, Syahril Muhammad, Ombak: Yogyakarta, 2012
39
Halmahera. Meskipun menjalin hubungan dengan Ternate, mereka pada akhirnya ditundukkan oleh perserikatan Tidore dengan kelompok suku lainnya.4 Beberapa kisah tentang keberadaan suku Moro diceritarakan oleh warga masyarakat. Ada yang mengisahkan bahwa pernah seorang warga diculik, diajak menikah dengan orang Moro dan kemudian dilepaskan. Dalam pengakuan orang yang diculik, gadis Moro itu cantik, putih dan tidak memiliki cekungan di atas bibir. Ketika dilepaskan, orang itu tidak sadar sudah menghilang selama beberapa minggu. Orang-orang Moro dikaterogikan sebagai makhluk yang tidak kasat mata. 2. 9. Sistem Kekerabatan Masyarakat Tobelo 2.9.1. Adat Perkawinan Masyarakat Tobelo Galela Masyarakat Tobelo masih memegang adat mereka dalam kegiatan sehari-hari. Salah satunya tampak dalam proses perkawinan orang Tobelo. Biasanya proses perkawinan diawali dengan ritual-ritual berikut pada kesepakatan antara dua kelompok orang, masing-masing berasal dari rumah yang berbeda, untuk mendirikan affinal hubungan di antara mereka. Sebuah kelompok keluarga idealnya menikah dengan kerabat patrilineal. Oleh karena itu, dua rumah yang datang menikah akan terkait affinally yang mempunyai leluhur yang sama atau merupakan kekerabatan bilateral umum. Ketika perkawinan terjadi, pasangan pengantin akan tinggal dan mengontrak rumah mempelai pria disebut 'manusia sisi' (nonau). Umumnya masyarakat Tobelo lebih suka melakukan Kawin lari (siloda). Kawin lari dianggap bertentangan dengan tradisi leluhur (o adati). Oleh karena itu kawin lari kadang akan 4
Dalam sejarahnya, sekitar abad 15 dan 16, suku Moro terdiri dari beberapa puluh kampung. Meskipun menjalin hubungan dengan Ternate, suku akhir ditaklukan oleh beberapa kerajaan, termasuk Tidore, sehingga mengalami kepunahan. (dikutip dari berbagai sumber dan hasil wawancara kepada Informan)
40
menyebabkan konflik antara keluarga pengantin. Perkawinan harus didukung oleh kerabat-kerabat dari pengantin terutama pengantin perempuan. Dukungan ini nantinya menghasilkan solidaritas kekerabatan yang permanen. Para anggota kerabat dari kedua pengantin biasanya ambil bagian dalam kegiatan ritual sesuai dengan hak dan tanggung jawab. Hal ini termasuk kontribusi terhadap beban pengantin pria dan wanita dalam mempersiapkan pesta pernikahan. 2.9.2. Ritual perkawinan Ritual perkawinan adat masyarakat Tobelo yang lengkap terdiri dari lima tahap, yaitu: a) 0 suku, persiapan pernikahan ini menyangkut persiapan kerabat calon laki-laki. Mereka mendatangi keluarga calon pengantin perempuan untuk menyampaikan kesediaan meminang. Dalam persiapan ini, Persiapan ini diikuti oleh suatu keputusan (o demo ma butu, “kesimpulan dari pembicaraan”). Kesimpulan ini biasanya berisi kelanjutan untuk ke pesta perkawinan atau tidak dilanjutkan. b) 0 loss ya tota (mereka membawa mas kawin). Pada tahap ini biasanya keluarga mempelai pria memberikan mas kawin untuk pengantin perempuan. c) 0 kawe ma wange (hari perkawinan) pada tahap ini adalah merupakan acara inti yaitu perayaan pernikahan. d) Geri-doroa (di-hukum). Tahap ini merupakan tahap dimana mempelai pria melakukan kunjungan ke keluarga pengantin perempuan. e) Modoka O yo sitota (mereka mendampingi pengantin). Di tahap terakhir ini pengantin perempuan meninggalkan rumahnya untuk tinggal bersama suaminya di rumah mertuanya. Singkat kata, ketika melamar, pihak keluarga laki-laki melakukan negosiasi dengan pihak perempuan. Biasanya proses lamaran dan persiapan ini berisi negosiasi pernikahan. Untuk itu, pihak keluarga calon pengantin laki-laki mengirim utusan. Rombongan 41
yang dipilih itu terlebih dahulu mendatangi rumah keluarga calon pengantin laki-laki. Dari rumah tersebut, mereka membawa daun sirih, kacang dan tembakau dalam kayu besar atau kotak sirih yang terbuat dari kuningan (o lasinari, o salopa). Mereka juga mengambil uang sebanyak dua real (sama dengan empat ribu rupiah). Uang tersebut kemudian ditaruh di piring dan ditutup dengan sepotong kain. Ini hadiah uang yang disebut o ma ngoi (membuka dari rumah). Uang itu berfungsi untuk mendapatkan izin untuk mendapatkan akses ke rumah calon pengantin wanita. Ketika sampai di rumah pihak perempuan, rombongan keluarga laki-laki mendatangi keluarga perempuan. Mereka tidak langsung diterima, tetapi diminta menunngu. Bila sudah diijinkan masuk, mereka diminta masuk. Keluarga perempuan sengaja membuat keluarga laki-laki menunggu. Menurut informan, hal itu dilakukan untuk menguji kesabaran dan keseriusan pihak laki-laki. Di depan rumah, juru bicara pria dan juru bicara gadis itu akan berbicara bersahutan. Isi pembicaraannya adalah tentang tujuan kunjungan kerabat tersebut. Acara itu disebut dola-bololo. Di dalam, rumah kedua kelompok duduk saling berhadapan. Pemimpin kelompok laki-laki kemudian akan menyerahkan kotak sirih dan uang untuk pemimpin kelompok wanita. Benda-benda tersebut diletakkan pada meja yang telah disiapkan. Sebelum dialog lain dapat dimulai, pihak keluarga wanita harus membuka betelnut (kacang) dan daun sirih dan kemudian dipersiapkan dan dimasukkan ke dalam kotak sirih kecil (kabilano) yang terbuat dari daun pandan berwarna hijau (isirota). Hal ini menunjukkan bahwa keluarga wanita dengan senang hati menerima pengunjung. Kotak sirih besar (lasinari) dan kotak kecil (kabilano) adalah simbol seorang putra dan seorang putri. Mereka dipertukarkan antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Juru bicara pihak laki-laki menyampaikan maksud kedatangan. Pihak perempuan tidak langsung memutuskan karena harus berunding dengan kerabat lainya terkait apakah mereka harus menerima
42
lamaran pernikahan, berapa banyak mas kawinnya, tanggal pernikahan dan lain sebagainya. Setelah itu, beberapa hari laki-laki datang kembali dengan menanyakan hasil keputusannya. Di saat itu pihak perempuan akan menyampaikan sikap atas lamaran dan besaran mas kawin. Apabila pihak laki-laki setuju, maka mereka kemudian menetapkan hari perkawinan. Selanjutnya, proses perkawinan mengikuti apa yang disampaikan proses dari o soku hingga modoka o ya sitota. 2.10. Pola Pemukiman Dusun Tabuji (Dusun IV) Desa Baru Desa Baru merupakan desa pesisir di Kecamatan Obi. Desa ini terdiri dari 4 dusun yaitu Dusun I, Dusun II, Dusun 3 dan Dusun IV atau sering disebut Dusun Tabuji. Dusun 3 dan Dusun IV merupakan lokasi dimana kami lebih banyak tinggal dan berinteraksi dengan warganya.
Gambar 2.9 Papan keterangan Dusun I Desa Baru Sumber : Dokumentasi Peneliti
Kami pun akan berfokus pada Dusun IV atau Dusun Tabuji karena di Dusun ini warganya semuanya berasal dari etnis Tobelo. Mereka awalnya merupakan warga dusun 3 nsmun karena ada kerusuhan SARA, mereka mengungsi ke sebuah teluk yang kemudian berubah menjadi nama Dusun Tabuji. Di Dusun ini semua warganya beragama kristen protestan. 43
Di balik ketertinggalannya, masyarakat Dusun Tabuji tidak sepenuhnya menikmati hasil pembangunan dari pemerintah. Aliran listrik tidak ada, sehingga masyarakat menggunakan poci (lampu teplek) untuk penerangan pada malam hari. Bila ingin menyala, maka mereka menggunakan genset pribadi. Untuk itu, mereka harus harus menyediakan minyak solar atau bensin setidak-tidaknya 5 liter sehari. Harga bensin atau solar adalah Rp 13.000,00. Kondisi ini bisa lebih parah jika bensin langka dan harganya dapat naik menjadi Rp. 22.000,00. Bisa dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan dalam sebulan bila menggunakan listrik dari genset. Oleh karena itu, mereka menerima tidak mempermasalahkan. Mereka sudah terbiasa dengan keadaan tanpa listrik. Aktivitas sehari-hari masyarakat Tabuji berkebun dan melaut. Hasil kebun biasanya berupa kelapa, pisang, kasbi dan sayuran. Kebun kelapa merupakan aset ekonomi yang penting bagi mayoritas penduduk Tabuji. Lahan kebun mereka berada di belakang pemukiman penduduk. Bila mencermati Dusun Tabuji, sebenarnya letaknya menyusuri pantai di teluk Tabuji. Dari Tabuji ke Dusun III, jaraknya kurang lebih 8,5 km. Mulanya, Tabuji merupakan tempat untuk pengungsian saat pecah kerusuhan SARA yang diawali dari Ambon. Awalnya hanya beberapa keluarga saja. Setelah itu mereka mengajak beberapa anggota keluarga lain dari Desa Baru tepatnya Dusun 3 untuk pindah ke Tabuji. Akhirnya mereka membentuk kampung. Untuk aktivitas sehari-hari mereka akhirnya berkebun di sekitar kawasan pemukiman mereka. Orang Tobelo menurutnya adat dan budaya menganggap lahan yang diolah itu sudah dinyatakan sebagai hak miliknya. Masyarakat Dusun Tabuji dipimpin oleh seorang kepala dusu yang bernama Pak Jemi. ia sudah menjadi selama 2 tahun. Usia pak Jemi Pape sekarang 35 Tahun. Sebelum menjadi kepala dusun, ia sempat menjadi karyawan perusahaan tambang di Kawasi. Namun kemudian mengalami PHK pada tahun 2011. Setelah itu ia berkebun kelapa dan pisang. Pak Jemi mempunyai banyak waktu di rumah
44
sehingga kemudian dipilih warga menjadi kepala dusun pada awal tahun 2013. Jumlah KK sebanyak 86 KK dengan 350 Jiwa pada tahun 2015. Masyarakat di Tabuji semuanya menganut kristen Protestan. Akses ke Dusun Tabuji sebenarnya dapat dilalui dengan jalur darat dan laut. Perjalanan darat biasanya dilakukan oleh para warga dengan berjalan kaki. Hal ini dikarenakan tidak ada akses jalan sehingga mereka melewati lahan perkebunan dan bibir pantai. Mereka biasanya mengikuti arah menuju pegunungan sehingga memakan waktu tempuh lama dan jarak yang jauh. Namun demikian, setelah melalui kawasan perkebunan yang lebat, kita akan bertemu dengan bibir pantai dengan pemandangan indah tersaji, seperti pada gambar 10.
Gambar II.10. Wajah wilayah Dusun Tabuji dari pantai Sumber : Dokumentasi Peneliti
Setelah melewati pemandangan itu, tidak lama kita sudah dapat melihat Dusun III di depan mata. Dusun III merupakan kawasan Desa Baru yang paling ujung. Setelah sampai Dusun III, kira-kira 8,5 km jarak yang dilewati. Jalur yang kedua sebenarnya lebih praktis, yaitu menggunakan sarana transportasi laut. Dari Dusun III ke Dusun Tabuji, melalui dermaga yang ada persis ujung Dusun III. Dermaga ini berjarak 150 meter dari tempat tinggal sementara tim peneliti. Dari dermaga itu,
45
orang dapat menggunakan body atau Katingting ke Tabuji. Lama perjalanan laut ini kurang lebih 1 jam.
Gambar II. 11 Pemandangan indah Dusun Tabuji. Sumber : Dokumentasi Peneliti
Persoalannya, saat ini tidak ada penyeberangan laut yang rutin setiap hari dengan rute Desa Baru-Tabuji. Oleh karena itu, biasanya orang mengumpulkan uang untuk membiayai solar dan digunakan untuk menyewa kendaraan ke “atas.” Bila dibagi dengan jumlah penumpang, maka biayanya bisa mencapai kurang dari Rp 50.000,00 per orang. Bila membawa barang dalam jumlah relatif besar, maka dikenakan biaya Rp. 100.000,00. Bila hanya seorang diri, maka orang harus sewa longboat sebesar Rp. 400.000,00. Sementara itu, menurut Bapak Ganes, selaku salah satu pengelola salah satu Katingting, selain membayar per orang Rp 50.000,00 penumpang diminta beli bbm sebenyak 5 liter seharga Rp 100.000,00. Lebih dari itu, anggota keluarga atau kerabat pemilik ikut menumpang tanpa membayar sekalipun. Ukuran Body (Katingting) itu tidak panjang, kurang lebih 10 meter dengan lebar kurang dari 1 meter. Selain itu, beberapa body itu bercadik dua. Kalau di Jawa, body dikenal dengan istilah perahu motor.
46
2.11. Aktivitas sehari-hari masyarakat Dusun Tabuji Kegiatan panen kopra dilakukan secara bersama-sama. Ada beberapa tahap dalam memanen buah kelapa kemudian menjadi kopra. 1. Kelapa dipanen dari pohonnya. Pada tahap ini biasanya dilakukan oleh bapak-bapak yang sudah ahli dalam memanjat pohon kelapa. Mereka biasanya tergolong bapak-bapak yang berumur di bawah 45 tahun. 2. Setelah buah kelapa jatuh berserakan, ada beberapa bapak-bapak yang bertugas untuk mengumpulkan buah kelapa di suatu tempat. Buah kelapa biasanya dikumpulkan dalam beberapa tempat yang dekat dengan para-para. Setelah itu kelapa dijadikan satu tempat yaitu berada di para-para. Para-para merupakan bangunan seperti gubuk yang dipergunakan untuk memanggang atau mengasap buah kelapa. 3. Setelah buah kelapa dikumpulkan, barulah kemudian biasanya para bapak-bapak melakukan proses pembelahan buah kelapa.
Gambar 2. 12 buah kelapa yang siap dibawa ke para para Sumber : Dokumentasi peneliti.
4. Setelah buah kelapa dibelah jadi 2 bagian. Biasanya beberapa hari kemudian bapak-bapak melakukan proses pencungkilan buah kelapa dari batoknya. Proses ini juga dilakukan oleh beberapa bapak-bapak. 47
Gambar 2. 13 Seorang bapak sedang membelah kelapa Sumber : Dokumentasi peneliti
5. Selang beberapa hari kemudian, sambil menunggu sisa batok kelapa kering. Biasanya kemudian bapak-bapak bersiap untuk mengasap buah kelapa di atas para-para. Proses pengasapan ini harus dijaga karena dikhawatirkan api bisa membesar tibatiba. Jika api membesar maka buah kelapa dan para-para bisa terbakar habis.
Gambar 2.14 Para bapak-bapak yang mencungkil kelapa Sumber : Dokumentasi peneliti
6.
Setelah selesai diasap, buah kelapa yang sudah kering ini biasanya disebut dengan kopra. Kopra yang sudah kering ini kemudian dimasukkan dalam karung dan siap untuk dijual ke pengepul kopra di Laiwui
Waktu luang dipergunakan oleh para ibu-ibu dengan bersantai di depan rumah. Mereka sengaja membuat tempat duduk yang terbuat dari batang-batang kayu. Tempat duduk ini biasanya 48
diletakkan tepat berada di bawah pohon yang rindang. Hal ini sengaja agar tempat duduk ini terasa sejuk sehingga dapat dipergunakan pada siang hari yang terik.Beberapa diantaranya bermain kartu sedangkan para bapak-bapak juga demikian. Mereka biasanya beristirahat di kursi depan rumah atau di pinggir pantai.
Gambar 2.15 seorang anak membawa hasil tangkapan ikan Sumber : Dokumentasi Peneliti
Menurut Bapak Nixon Puasa (43 Tahun) mengatakan bahwa masyarakat Tobelo di Dusun Tabuji siang hari lebih banyak beristirahat di rumah. Mereka bersantai di pos depan rumah yang dibangun tepat di bawah pohon rindang. Siang hari memang kondisi cuaca di Dusun Tabuji panas terik. Mereka bersantai di bawah pohon sambil bermain kartu atau merokok serta mengawasi anak-anak mereka yang sedang bermain. Selain itu biasanya ada anak-anak pada siang hari yang menjual kue-kue semacam pisang molen, panada (pastel kering) dan donat. Bahkan ada juga anak-anak yang menjual ikan hasil tangkapan orang tuanya di laut. 2.12. Kesenian Masyarakat Tobelo di Desa Baru Masyarakat etnis Tobelo di Desa Baru sudah berbaur dengan etnis Bugis dan Buton. Ketiga etnis ini sangat menyukai aktivitas kesenian seperti tarian cakalele, soya soya dan lain sebagainya. Selain itu sebagai bentuk hiburan mereka sangat menyukai hiburan musik seperti remix dan dangdut. Bagi orang Tobelo mereka menyebutnya
49
dengan nama berdansa atau dansa-dansa, namun etnis Buton dan Bugis lebih suka menyebutnya dengan joged ronggeng. Joged ronggeng ini sangat diminati oleh hampir semua kalangan baik anakanak, pemuda-pemudi, ibu-ibu dan bapak-bapak. Mereka menyukai acara dansa-dansa ata joged ronggeng ini karena bentuk tarian dan mengakrabkan dengan warga yang lainnya. Para anak muda malah lebih menyukai acara joged ronggeng ini selain diadakan pada malam hari, mereka akan mencari gadis-gadis pujaannya untuk menemani menghabiskan malam. Akibat negatif dari acara joged ronggeng ini adalah banyak pemuda yang suka minum-minuman keras dan berkelahi dengan sesama anak muda. Perkelahian ini menjadi semakin keruh jika yang berkelahi berasal dari etnis Buton dengan Etnis Tobelo. Kedua etnis ini memang rawan untuk berkelahi. Jika yang berkelahi hanya seorang anak muda maka satu kampung bisa menyerang kampung lainnya sebagai akibat perkelahian tersebut. Aparat desa dan kepolisian tidak dapat menghentikan perkelahian ini.
Gambar 2.16 para ibu-ibu dan bapak sedang joged ronggeng ketika ada hajatan pernikahan salah seorang warga Sumber : Dokumentasi Peneliti
Pengaruh alkohol juga menyebabkan mereka melakukan seks pranikah. Dampaknya banyak siswi yang putus sekolah karena sedang 50
mengandung bayi. Tokoh adat pun berkomentar sedih dengan fenomena banyaknya anak putus sekolah karena hamil di luar nikah. Menurut tokoh adat, aturan adat serta aturan gereja maupun agama lainnya yang ada di Desa Baru sudah tidak efektif dalam mengatur kehidupan sosial budaya masyarakatnya terutama anak-anak muda. Selain itu pengaruh kemajuan teknologi seperti handphone mengakibatkan terjadinya perselingkuhan dan kenakalan remaja. 2.13 Sistem Teknologi Masyarakat Tobelo Desa Baru Masyarakat etnis Tobelo di Desa Baru cukup mudah dalam menerima pengetahuan dan teknologi dari luar pulau Obi. Sebagai contoh mereka sudah mampu untuk membeli kendaraan seperti sepeda motor dan mobil. Di desa Baru sehari-hari tampak masyarakat berlalu lalang menggunakan sepeda motor untuk berangkat kerja atau ke kebun. Beberapa warga juga sudah menggunakan mobil untuk bepergian di daerah-daerah sekitar desa Baru. Masyarakat Tobelo Desa Baru tergolong komsumtif dalam menerima barang-barang dari luar Obi. Toko pakaian dan toko elektronik tampak ramai di kecamatan Laiwui. Jika mereka sedang panen cengkeh mereka biasanya akan membeli pakaian, barangbarang elektronik dan lain sebagainya. Sinyal komunikasi hanya operator telkomsel dan Indosat, namun operator Indosat hanya jam-jam tertentu dan di daerah dataran saja. Sinyal kurang begitu kuat karena listrik di Pulau Obi hanya berlaku malam hari atau sekitar 12 jam saja. Namun warga Desa Baru sangat adaptif dan menyukai handphone keluaran terbaru. Oleh karena itu, toko handphone dan elektronik di Laiwui sangat ramai oleh warga.
51
BAB 3 POTRET KESEHATAN MASYARAKAT TOBELO DESA BARU 3. 1. Kesehatan Ibu dan Anak
3.1.1. Pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi Remaja merupakan proses perkembangan dari anak-anak ke dewasa. Perubahan fisik seperti proposi badan, perilaku dan hubungan social terhadap lingkungan serta kematangan seksual. Perubahan ini akan berlangsung dengan cepat. Anak laki-laki akan bertambah tingginya sekitar 10 cm/tahun dan perempuan akan bertambah tingginya sekitar 9 cm/tahun. Tinggi badan perempuan dua kali lebih cepat dibandingkan dengan laki-laki. Pertumbuhan tulang dipengaruhi juga oleh hormon steroid seks. Akhirnya pertumbuhan tinggi sudah berakhir. Awal masuk remaja pada perempuan ditandai dengan menstruasi. Menstruasi merupakan keluarnya darah dari alat reproduksi. Biasanya menstruasi terjadi selama lima sampai tujuh hari. Terkadang diiringi rasa sakit perut (dismenore) pada hari awal menstruasi. Menstruasi terjadi rutin setiap bulan sekali. Remaja putri di Desa Baru rata- rata sudah mengerti bahwa menstruasi merupakan tanda awal memasuki remaja. Mereka ratarata mendapatkan menstruasi pada usia 11 tahun. Rasa keterbukaan remaja terhadap menstruasi sudah bagus. Mereka memberitahu ibunya bahwa mereka mengeluarkan darah dari alat reproduksinya dan ibunya memberi tahu bahwa itu adalah menstruasi. Kemudian ibunya mengajari cara memakai pembalut, cara membersihkan darah menstruasi dan cara membuang pembalut. Sedangkan awal masuk remaja pada laki-laki yaitu ditandai dengan adanya mimpi basah. Mimpi basah merupakan keluarnya air mani saat mereka tidur. Pertama kali mereka sangka bahwa air yang keluar adalah air pipis tapi mereka merasa aneh karena cairannya lengket dan cenderung berwarna putih. Mereka mengetahui bahwa
52
itu adalah mimpi basah didapatkan dari cerita teman- temannya. Rata-rata remaja putra di Desa Baru mendapatkan mimpi basah pada usia 14 tahun. Untuk menjaga kebersihan alat reproduksi pada perempuan dan laki-laki, maka diadakanlah sunat. Biasanya sunat laki-laki di Desa Baru dilaksanakan pada usia 5 tahun ke atas. Sunat yang dilakukan paling banyak diadakan di rumah karena merasa nyaman dan enak di rumah. Sebagian lagi mereka melaksanakan sunat di puskesmas. Biaya yang mereka tanggung untuk melakukan sunat adalah 100 ribu. Biaya ini berlaku untuk pelaksanaan suant di rumah maupun di puskesmas. Sesudah sunat, mereka diberikan obat untuk memper-cepat proses pengeringan luka. Perayaan sunat tidak wajib dilaksanakan karena tergantung faktor ekonomi masing-masing keluarga. Jika keluarga yang memiliki ekonomi lebih, maka mereka akan mengadakan perayaan yang besar seperti menyewakan tenda dan prasmanan. Sedangkan sunat perempuannya juga wajib hukumnya karena menyangkut kebersihan, agar menjadi anak sholeha serta bukan anak sembarang dan sesuai ajaran agama Islam. Sunat perempuan dilakukan oleh perempuan tua (mama, biang, nenek dan bibi) yang mengerti baca doa. Biasanya yang melakukannya adalah biang. Lain halnya dengan sunat laki-laki, sunat perempuan dilaksanakan saat bayi baru lahir atau bayi kurang dari satu tahun. Kalau sunat perempuan juga ada perayaannya. Namun tergantung faktor ekonomi keluarga juga. Kebanyakan orang nasrani di Desa Baru tidak melakukan sunat kecuali mereka masuk Islam atau sunat sendiri secara pribadi. Tidak ada jarang juga acara perayaan sunat menggunakan acara pesta dansa sampai malam. Remaja masyarakat Desa Baru sudah mengetahui tanda perubahan dari anak-anak menuju dewasa karena mereka telah mendapatkan pelajaran biologi di sekolah. Selain itu, mereka juga mendapatkan pengetahuan tambahan mengenai kesehatan reproduksi oleh puskesmas. Kegiatan ini merupakan salah satu
53
program promosi kesehatan bagian PHBS puskesmas Laiwui dilakukan setiap bulan dalam satu tahun. Materi Kesehatan reproduksi yang diberikan oleh remaja di sekolah antara lain materi perbedaan laki-laki dengan perempuan dengan ditunjukkan berupa gambar, penyakit yang diakibatkan oleh hubungan seksual bebas beserta gambarnya, dan diberi video bertemunya sel sperma dan sel telur. Tanggapan mereka mengenai materi kesehatan reproduksi berbeda- beda. Bagi salah satu siswa perempuan, tidak penting dan materinya belum pantas dikasih karena menurutnya masih kecil. Namun bagi salah satu siswa laki-laki, materi ini menarik dan menimbulkan rasa penasaran lebih. Untuk menjawab rasa penasaran tersebut, dia pergi ke perpustakaan untuk membaca salah satu buku yang berjudul "Merancang Kelahiran Bayi Sesuai Jenis Kelamin". Dia pinjam dan dibawa pulang ke rumah. Kemudian dibaca selama satu minggu. Selain itu, fasilitas yang diberikan oleh puskesmas mengenai kesehatan reproduksi adalah PKPR (Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja). PKPR ini merupakan program unggulan untuk remaja Maluku Utara. Bentuk program ini adalah sosialisasi dan konseling kesehatan reproduksi. Beberapa remaja mengunjungi puskesmas untuk konsultasi mengenai kesehatan reproduksi hingga mereka bercerita bahwa mereka sedang hamil dan ada juga yang minta tolong untuk dilakukan aborsi. Menurut salah satu staf dari puskesmas, PKPR ini belum begitu aktif. Sehingga sedikit remaja yang mengetahui apalagi berkonsultasi. Minimnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi membuat sejumlah remaja terlibat dalam pergaulan bebas termasuk di dalamnya adalah perilaku hubungan seksual yang bebas. Menurut informasi yang disebutkan oleh informan bahwa sebanyak 97% pelajar tingkat menengah ke atas sudah pernah melakukan hubungan seksual dan 3 pelajar tingkat menegah pertama (kelas 3) telah hamil di luar
54
nikah. Jadi nasib ke-3 pelajar tersebut rusak dan mereka keluar sekolah menjelang ujian nasional. Selain hubungan seksual bebas pada kalangan pelajar, ada satu kasus yang berdampak dari hubungan seksual tersebut. Sebut saja inisialnya N berumur 20 tahun. Awalnya berkenalan dengan perempuan dari wilayah Indonesia Timur. Setelah dua hari kenal, mereka berpacaran. Dua hari kemudian mereka berhubungan seksual. Padahal perempuannya dalam kondisi menstruasi. Tetapi mereka tetap melakukannya. Setelah hari ketujuh, perempuan kembali ke daerah asal. Beberapa hari kemudian, saat pipis N merasakan sakit dan mengeluarkan nanah. Dia juga sering mengalami demam selama 1 minggu. Orang tuanya tidak curiga sama sekali. Dia mengucilkan diri dari pergaulan. Dia juga malu untuk memeriksakan sakitnya ke puskesmas. 3.1.2. Pantangan makanan selama kehamilan Selama hamil, biasanya seseorang mempunyai pantangan makanan tertentu yang ditentukan oleh orang tua atau orang sekitar lingkungan. Pantangan makanan tersebut harus dilaksanakan dan dipatuhi oleh ibu hamil dan memang sebagian besar ibu hamil melakukannya. Sebab akan menyangkut kesehatan ibu dan bayi yang sedang dikandungnya. Makanan yang tidak boleh makan adalah 1. Makanan yang pedas. Dalam kehidupan sehari-hari, orang etnis Tobelo tidak pernah lepas dari makanan pedas. Meski mereka tidak menghidangkan dabu-dabu sebagai pelengkap makan siang atau sore, mereka akan memasak makanan yang dicampur lada atau rica jawa (cabai). Namun kebiasaan ini tidak bisa dilakukan oleh ibu hamil. Alasannya adalah agar pinggang tidak sakit dan tidak susah saat melahirkan. 2. Es baik yang mengandung gula, misal es cukur dan es teh maupun es yang tidak mengandung gula. Karena menurut orang tua, es
55
dapat mengancam bayi di dalam janin, yaitu bayi bisa membesar dan saat persalinan, bayi tidak mudah keluar dari rahim. 3. Terong, biasanya diolah menjadi sayur terong dicampur dengan santan agak kental dan ditambah rasa pedas yang bisa menggugah selera makan masyarakat Desa Baru. Bagian terong yang tidak dimakan hanya kulitnya saja. Sedangkan bijinya dibiarkan begitu saja dan dimakan seperti biasanya. Sayangnya, bagi ibu hamil makan terong merupakan hal yang tidak diperkenankan. Jika makan terong, maka dipercaya bayi yang dilahirkan memiliki bintikbintik merah kecil di seluruh tubuh akibat dari biji terong. 4. Rica jawa. Bahan yang satu ini tidak akan jauh-jauh dari masakan masyarakat Tobelo. Rica jawa mudah dijumpai di setiap kios. Menurut mereka, rica jawa dapat menambah nafsu makan. Tetapi untuk ibu hamil, makan rica jawa tidak diperbolehkan karena saat melahirkan, dikhawatirkan bayi yang lahir akan berwarna merah dan bayi yang akan keluar mengalami kesulitan. 3.1.3. Alat yang digunakan pada proses melahirkan Sebelum membantu persalinan, Mama Biang akan menyiapkan sejumlah peralatan. Untuk Mama Biang yang terlatih biasanya mempunyai peralatan yang lengkap, mulai dari gunting, hingga pemotong kuku. Mama Biang yang tidak terlatih dan tidak ada kerja sama dengan bidan tidak memiliki alat-alat khusus untuk membantu persalinan. Mereka hanya menggunakan peralatan seadanya. Salah satu alat yang digunakan oleh biang adalah bulu bambu. Alat ini digunakan untuk memotong tali pusar bayi. Biang yang menggunakan bulu bambu biasanya berumur di atas 55 tahun atau tidak ada kerja sama dengan bidan. Ketika biang akan memotong tali pusar menggunakan bulu, maka bulu harus ditajamkan dengan pisau. Tujuan dari penajaman bulu adalah agar memudahkan pemotongan tali pusar. Mereka memilih menggunakan bulu dari pada pisau karena pisau selalu digunakan untuk memotong berbagai macam benda.
56
Dengan demikian, menurut mereka, jika memotongnya menggunakan pisau, maka tidak steril dan bayi dapat terkena penyakit. Setelah mereka selesai memotong, bulu bambu dibersihkan. Kemudian bulu bambu disimpan di sela-sela langit atap yang terbuat dari daun rumbia. Jika mereka akan menggunakannya, baru bulu diambil. Mereka menyimpan di sela-sela langit atap agar tidak dipakai mainan oleh anak-anak. Ternyata bulu tidak hanya berfungsi sebagai alat pemotong tali pusar, tetapi untuk mencari kutu. Aktifitas ini terlihat ketika peneliti tidak sengaja mengobrol dengan ibu-ibu yang sedang mencari kutu di depan kios. Mereka tidak merasa risih atau takut menggunakannya. Mereka terlihat sangat menikmati aktifitas ini.
Gambar 3.1 Bulu untuk memotong tali pusar Sumber : dokumentasi peneliti
3.1.4. Perlakuan Dodomo (plasenta) bayi baru lahir Plasenta bayi atau biasanya dikenal oleh masyarakat Desa Baru dengan sebutan dodomi. Setelah pemotongan tali pusar selesai, biasanya akan membersihkan dodomi sampai bersih. Kemudian warga Desa Baru biasanya mengubur dodomi bayi baru lahir. Tata cara memendamnya adalah 1. Menyiapkan kelapa muda yang dagingnya belum banyak. Kelapa yang dipilih tidak boleh terlalu muda atau sudah agak tebal daging kelapa di dalamnya. Sehingga dodomi mempunyai ruang untuk memuatnya. Lalu bagian atas kelapa muda dilubangi agar dodomi
57
2.
3.
bisa masuk ke dalam tempurung kelapa muda. Bagian ini akan menjadi penutup atau pintu masuk kelapa muda. Sebelum dimasukkan ke dalam tempurung kelapa muda, dodomi dibungkus dengan kain. Kain yang digunakan tidak selalu berwarna putih, bisa menggunakan kain lain dengan syarat kain tersebut bersih dan tidak digunakan untuk suatu kepentingan. Setelah dodomi selesai dibungkus, kemudian dodomi dimasukkan ke tempurung kelapa. Menutup pintu masuk kelapa muda dan tanam kelapa muda dalam tanah di dekat rumah atau di dapur. Ada juga yang menambahkan poci atau lampu di atas gundukan dodomi yang dikuburkan. Peneliti juga pernah mendapati daun lemon diletakkan di atas gundukan dodomi yang diberi atas seng berukuran sekitar 25 cm.
3.1.5. Cara memandikan bayi Saat menjelang bayi mandi, bapak berperan untuk merebus air panas dalam kuali. Air yang dipakai adalah air ledeng.Jika air ledeng sedang mati, biasanya menggunakan air hujan yang direbus. Air rebusan ini bisa dicampur dengan akar pohon maupun daun-daun. Jika menggunakan campuran, biasanya air rebusan tersebut sekaligus digunakan untuk mandi ibu nifas. Waktu memandikan bayi biasanya dilakukan ketika matahari terbit atau tenggelam. Setelah melahirkan, biasanya bayi dimandikan oleh Mama Biang atau neneknya karena kondisi ibu yang belum pulih. Bayi yang akan mandi biasanya sudah terlepas dari bajunya dan diletakkan di pangkuan ia. Air hangat dari baskom diambil dengan menggunakan tangan kanan ia. Air tersebut diusap- usapkan ke seluruh bagian badan, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Badan bayi dibalik dan diusapkan air secara perlahan- lahan. Bayi diberi sabun dari ujung kepala sampai ujung kaki pada bagian depan badan. Setelah itu, bayi diposisikan tengkurap dan diberi sabun. Usap kembali badan bayi
58
bagian depan dan belakang hingga tidak ada sisa sabun yang menempel badan. Handuk yang sudah dipersiapkan kemudian ditempelkan dan diusapkan ke seluruh bagian hingga agak kering. Bayi dibalutkan dengan handuk agar tidak kedinginan sebelum menuju kamar dan menggunakan baju.
Gambar 3.2 Bayi sedang dimandikan oleh neneknya Sumber : dokumentasi peneliti
3.1.6. Cara merawat bayi Selesai bayi dimandikan oleh biang, bayi diletakkan di atas kasur. Kemudian bayi diolesi kunyit dicampur minyak kelapa untuk mempercepat proses pengeringan pusarnya. Bayi diolehkan minyak tawon ke seluruh tubuh, baik bagian depan maupun belakang. Bedak bayi tidak lupa untuk ditaburkan ke seluruh tubuh. Setelah itu, bayi dipakaikan gurita dan popok bayi. Terakhir adalah bayi dipakaikan baju dan celana. Sebenarnya tidak ada perawatan khusus yang diterapkan oleh etnis Tobelo. Perbedaannya hanya terletak pada berahu. Setelah bayi dimandikan, bayi diberi perawatan berahu. Manfaat dari berahu untuk bayi adalah mengenalkan panas pada bayi. Hal ini dipercaya dan dilaksanakan dari turun-menurun.
59
Gambar 3.3 Bayi diberi bedak setelah mandi sebagai salah satu bagian dari perawatan Sumber : dokumentasi peneliti
3.1.7. Pantangan makanan setelah melahirkan Makanan yang dikonsumsi oleh ibu nifas biasanya sama seperti biasa dimakan sehari-hari. Namun ada beberapa makanan atau bahan makanan yang harus dikurangi karena berdampak pada kesehatan ibu dan bayinya. Beberapa ibu nifas masih percaya dan mematuhi pantangan makanan tersebut. Informasi mengenai makanan apa saja yang harus dikurangi bahkan tidak boleh dimakan didapatkan dari orang tua. Berikut ini adalah pernyataan dari salah satu informan : “Nggak bisa makan pedes nanti anak kita tu merah-merah. Biasanya kan habis menyusui kepedesannya itu to di anak kecil. Jadi sering merah-merah. Sehabis melahirkan ga bisa makan rica sama kuning nanti katanya kuning-kuning. Kuningnya tu di kulit, pas buang air, berak juga kuning, kencing juga kuning. Karena orang kulitnya masih halus, masih mudah begitu. Cuma bisa makan kuah. Kalo makan kuah, kuah bening saja tidak dikasih rica, Cuma bawang digoreng, minyak kelapa. Minyak juga tidak bisa terlalu banyak karena nanti bisa kena penyakit kuning.”
60
Meski demikian, ada juga yang tidak melaksanakan pantangan makanan apapun. Mereka dapat makan apapun seperti biasanya. Karena menurut mereka tidak ada dampak pada kesehatan mereka. Pengecualian untuk mereka yang memiliki riwayat penyakit. 3.1.8. Persalinan dibantu oleh Biang (Dukun Bersalin) Sebagian besar masyarakat Desa Baru menggunakan jasa biang untuk membantu persalinan. Selain karena tradisi yang ada dalam masyarakat, ada alasan lain untuk tetap memilih biang daripada bidan. Alasan ini memang atas dasar pertimbangan ibu dan suami. Suatu ketika peneliti berkunjung ke rumah salah satu bidan yang ada di puskesmas. Peneliti berbincang-bincang mengenai masalah KIA. Terutama membahas persalinan yang dilakukan oleh orang Tobelo. Menurut ia berpendapat bahwa : “Orang Tobelo dikenal sebagai orang yang malas, termasuk tidak menyiapkan uang untuk biaya melahirkan. Dulu puskesmas pernah mempunyai program tabungan ibu hamil tapi tidak berhasil. Alasannya mereka rata-rata adalah biar kita melahirkan di sini bisa siap, jadi tidak usah menyiapkan biaya. Akhirnya mereka terkendala dengan anggaran. Mungkin jadi tidak jalan, putus. Separuh masyarakat belum memahami kesadaran untuk persiapan anggaran ketika melahirkan.”
Kenyataan ini memang terlihat ketika mereka selesai menggunakan jasa biang. Mereka memberikan uang seikhlasnya dan tidak jarang mereka tidak memberikan imbalannya. Kalau mereka tidak bisa memberikan uang, biasanya mereka menggunakan kain atau baju kepada biang sebagai tanda ucapan terima kasih. Salah satu informan memberikan komentar bahwa kartu jaminan kesehatan penyebarannya tidak merata. Orang yang mendapatkan kartu jaminan kesehatan merupakan orang yang dekat dengan perangkat desa. Meskipun mereka seharusnya mendapatkan 61
kartu tersebut. Selain itu sosialisasi mengenai kartu jaminan kesehatan juga masih kurang. Apalagi sekarang semua jaminan kesehatan dijadikan satu. Mereka hanya mengenal jamkesmas dan jamkesda. Dengan biaya persalinan yang cukup tinggi. Mereka akhirnya memilih biang dan persalinan dilakukan di rumah saja. Selain menghemat biaya, mereka juga merasa nyaman dan tidak mempermasalahkannya selama persalinan berjalan normal. Jika persalinan komplikasi, mereka baru memilih puskesmas sebagai tempat bersalin. 3.1.9. Persalinan dibantu oleh orang terdekat Selain biang, orang yang dapat membantu persalinan secara dadakan adalah suami atau mamanya. Ketika mereka tidak siap untuk memanggil biang atau bidan, mereka terpaksa menggunakan orang terdekat. Kasus ini ditemukan ada dua orang yang mengalaminya pada bulan Mei tahun 2015. Awalnya ia tidak menyangka akan melahirkan pada pagi hari. ia mulai merasakan sakit perut dari semalam. Namun ia tidak menceritakan kepada suaminya. Saat jam 5, ia tidak dapat menahan rasa sakit perutnya lagi dan akhirnya suami yang membantu mengeluarkan bayinya. Meskipun hanya menggunakan penerangan berupa poci dan tidak memiliki pengetahuan maupun keahlian dalam menangani persalinan, suami tetap berusah menolong istrinya. Satu jam kemudian, suami baru memanggil biang untuk ke rumahnya. Menurut pengakuan, ia tidak sempat memanggil biang atau bidan karena bayi yang ada dalam kandungan istrinya sudah mau keluar. Ketika peneliti mengobrol dengan salah satu biang mengenai persalinan yang dibantu oleh suami, ia membenarkan hal ini. berikut adalah pernyataan ia :
62
“Kalo suami dan istri sama-sama mengerti. Biasanya tidak usah memanggil biang. Cukup mereka aja yang tahu. Ini juga terjadi di desa Kawasi. Suami punya prinsip begini “aku yang bikin, aku pasti tau caranya”. Kenapa aku yang bikin, kenapa kasih keluar masa susah. Harus senang juga. Tradisi orang sini begitu. Makanya kalo kita sakit, misal ke dokter ternyata ga da penyakit, kalo orang tua-tua di sini menyuruh pulang dan berobat sama suami sendiri. Anggapan si istri, “mungkin aku ada kesalahan sama suami atau suami ada kesalahan sama aku. Saling minta maaf satu sama lain. Terus si suami kasih maaf, ikhlaskan apa perbuatan kita jahat kepada suami atau sang suami juga begitu. Sama-sama kasih ikhlas.”
Kasus pertolongan persalinan oleh suami tidak hanya terjadi di Desa Baru, melainkan Desa Kawasi juga ada. Kasus juga sering terjadi dan menjadi hal yang biasa dalam masyarakat. Mereka tidak takut akan risiko yang bisa menimpa pada ibu atau bayinya. Kasus selanjutnya adalah persalinan yang dilakukan mama sungguh (mama kandung). ia melahirkan bayinya pada pukul 07:30 WIT yang dibantu oleh mamanya sendiri. Awalnya seorang ibu hamil masih melakukan aktivitas seperti biasa. Tiba -tiba perut ibu itu sakit saat berada di toilet. Ibu meminta tolong kepada mamanya untuk melihat apakah bayinya sudah ada di pintu lahir. Ternyata dugaan ia benar dan ia langsung ditangani oleh mamanya untuk mengeluarkan bayinya. ia sempat mengalami pendarahan yang hebat. Mamanya panik dan langsung menelpon ambulans untuk dibawa ke rumah sakit. ia dibawa ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan dan bayinya ditinggal di rumah bersama mamanya. Suaminya sudah ditelpon agar segera pulang dari perusahaan mutiara untuk menengok istrinya di rumah sakit. Sore hari ia dibawa pulang ke rumah dan berbaring di dekat bayinya. Iabercerita bahwa memang malam hari ia sudah merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Itidak enak membangunkan tidur mamanya. Akhirnya, iamenahan rasa sakitnya sampai pagi.
63
3.1.10. Berahu Tradisi ibu setelah melahirkan yang wajib dilakukan adalah berahu. Tradisi ini sudah berlangsung turun-menurun dari nenek moyang. Berahu merupakan perapian yang digunakan untuk ibu nifas yang diletakkan di bawah kolong tempat tidur. Perapian ini tidak boleh mati selama ibu nifas ada di kamar terkecuali ia pergi keluar rumah. Berahu tidak hanya digunakan oleh ibu nifas tetapi untuk si bayi juga. Ibu dan bayi akan melakukan semua aktifitas di atas tempat tidur. Termasuk buang air kecil juga dilakukan di tempat tidur. Kemudian tempat tidur akan dibersihkan dengan sabun atau deterjen agar tempat tidur tidak bau. Karena air yang keluar bercampur darah, sehingga untuk menetralkan tempat tidur, diberi wewangian. Salah satu tujuan berahu adalah selalu menghangatkan badan ibu nifas dan bayinya. Untuk itu, peran bapak dan keluarga sangat penting di sini karena mereka harus membantu agar api tetap menyala. Salah satu caranya adalah menambah jumlah kayu atau tempurung kelapa. Tempat untuk berahu tidak selalu di kamar yang biasa dipakai sehari-hari. Ada juga yang membuat kamar dadakan di belakang rumah (di dekat dapur) dan sifatnya tidak permanen. Sebelum melahirkan, suami harus mengumpulkan banyak kayu yang diletakkan di samping rumah. Kayu ini akan digunakan untuk bahan bakar pembuatan berahu. ia bisa membeli kayu atau mengambil dari hutan. Kemudian dibawa pulang ke rumah. Biasanya kayu akan dipotong seukuran sekepal tangan manusia. Tujuan lain berahu menurut mereka adalah agar darah putih tidak naik ke atas (otak). Mereka percaya bahwa darah putih keluar banyak dan memang tidak boleh mengalir sampai naik ke otak karena ibu biasanya mengeluhkan sakit, seperti pusing. Untuk mencegah kejadian itu, para ibu diwajibkan memakai berahu. Meskipun tidak tahan panas dan asap yang dikeluarkan, mereka tetap mempertahankan tradisi ini.
64
Asap yang keluar dari berahu akan menyebar dalam kamar tersebut. Sehingga diperlukan jendela sebagai sarana sirkulasi udara di kamar. Memang biasanya sudah ada jendela dalam kamar tersebut. Namun fungsinya masih kurang dipakai oleh pemilik rumah. Sehingga asap mengumpul dalam kamar dan dihirup oleh ibu dan bayi. Ketika peneliti berbincang-bincang kepada ibu yang menjalani berahu, baru beberapa menit saja peneliti batuk-batuk dan cukup lama untuk menghentikan batuk tersebut. Apalagi ibu dan bayi yang menggunakannya setiap hari di kamar tersebut. Bagi ibu yang melahirkan lebih dari dua kali, hal ini sudah biasa dan menurut ia tidak mengganggu. Setelah ibu mandi, ia akan memulai proses berahu. ia akan naik ke atas tempat tidur. Kemudian ia berbaring dan mulai merasakan panas dari bawah kolong tempat tidur. Setelah itu membalikkan badan, sehingga posisi ia menjadi tengkurap. Kegiatan ini dilakukan selama beberapa menit sampai ia merasa cukup panas. Biasanya ibu yang melakukan berahu setelah mandi, badan mereka hanya terbalut dengan kain, misalnya kain sarung. Tujuannya adalah panas dari api tersebut dapat terserap dalam tubuh dengan cepat. Namun perlakuan berahu ini berbeda untuk bayi. Bayi yang sudah mandi akan dipangku oleh ibunya. Kemudian telapak tangan ia mendekat ke api selama sekitar setengah menit kemudian menempelkan telapak tangan ia ke kepala bayi. Selanjutnya telapak tangan ia didekatkan kembali ke api selama sekitar setengah menit. Lalu telapak tangan ia menempel pada bagian tangan bayi. Aktifitas ini dilakukan secara kontinyu hingga semua bagian tubuh bayi terkena hangatnya telapak tangan ibunya. Jika bayi belum berumur tiga hari, maka bagian pertama yang diberahu adalah tali pusar. Ibu atau nenek bayi akan mengambil sedikit minyak kelapa yang dicampur kuning. Kemudian jari telunjuk dan jempol didekatkan ke api selama beberapa detik dan dilanjutkan untuk menempelkan jari telunjuk dan jempol tangan ke tali pusar
65
sekitar satu menit. Perlakuan ini dilakukan berulang-ulang secara kontinyu.
Gambar 3.4 Bayi baru mandi sedang diberahu Sumber : dokumentasi peneliti
3.1.11 Upaya memberi jeda antar kelahiran anak 1. Sebelum ada KB Jeda antara satu anak dengan anak lain perlu dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk memulihkan kondisi kandungan ibu, memelihara bayi, menyiapkan biaya dan menyiapkan mental. Jeda ideal antara satu anak dengan anak lain adalah dua tahun. Namun pada kenyataannya, ada ibu yang hamil sebelum usia anaknya kurang dari satu tahun. Bahkan usia anaknya baru delapan bulan, ibu sudah hamil lagi. Informasi ini peneliti dapat dari salah satu biang. Pemberi jeda anak tentunya ada beda antara sekarang dan dahulu. Cara yang dilakukan ibu-ibu pun jelas beda. Dahulu, ibu-ibu memanfaatkan berahu dan minum obat tradisional untuk pemberi jeda. Saat mereka sedang menggunakan berahu, biasanya mereka juga menyempatkan diri untuk memanaskan kelapa muda atau batu kecil sebagai media pengobatan. Selain berfungsi sebagai mengeringkan darah yang ada di dalam kandungan, kelapa muda atau
66
kecil digunakan untuk alat kontrasepsi. Mereka percaya dengan menempelkan kelapa muda atau batu kecil yang telah diberahu akan membantu memberi jeda anak. Cara menggunakannya yaitu dekatkan kelapa muda atau batu kecil ke perut bagian bawah pelan-pelan. Ulangi gerakan ini selama beberapa kali. Jika mereka tidak ingin menggunakan kelapa muda atau batu kecil, mereka bisa minum obat tradisional. Daun mayana merupakan salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Menurut salah satu informan, daun mayana efektif untuk memberi jeda anak. Tanaman ini tumbuh di sekitar rumah dan hampir semua orang mengenalnya. Daun mayana biasanya ditumbuk dan diperas untuk kemudian diminum. Meski kedua cara ini kini telah mengalami pergeseran karena sudah ada alat kontrasepsi (KB) yang lebih praktis dan higienis. Namun masih ada beberapa ibu yang masih menggunakan salah satu cara ini.
Gambar 3.5 Daun mayana Sumber : Dokumentasi peneliti
2. Sesudah ada KB Bagi ibu-ibu yang sudah melahirkan lebih dari satu kali, mereka tidak akan bingung dalam menentukan jenis alat kontrasepsi apa yang dipakai. Mereka akan pergi ke rumah bidan atau puskesmas. Biasanya
67
mereka akan menetap pada satu alat kontrasepsi. Namun bila mereka pertama kali menggunakan alat kontrasepsi, mereka akan meminta pendapat orang tua atau terdekat untuk memberikan saran. Menurut survei data puskesmas dan ibu- ibu di Desa Baru didapatkan hasil bahwa alat kontrasepsi paling banyak digunakan adalah pil dan suntik. Sedangkan sebagian kecil menggunakan alat kontrasepsi jenis implant. Alasan penggunaan pil dan suntik adalah praktis dan harganya terjangkau. Jika mereka memakai alat kontrasepsi di rumah bidan, maka harus membayar sejumlah uang sesuai jenis alat kontrasepsi yang diambil. Jika mereka mengambil alat kontrasepsi bentuk pil, mereka harus membayar lima ribu. Sedangkan alat kontrasepsi suntik dihargai 20.000-30.000. Tidak jarang mereka lebih memilih alat kontrasepsi suntik daripada pil karena mereka mengakui sering lupa minum pil dan tidak memerhatikan tanggal minum pil tersebut. Jika memakai suntik, mereka tidakan akan lupa karena suntik dilakukan tiga bulan sekali. Pemakai alat kontrasepsi implant cenderung sedikit disebabkan oleh rumor yang beredar di masyarakat sangat kental. Sehingga mereka enggan memakai implant. Rumor yang beredar seperti jarum yang dipasang di lengan atas selama bertahun-tahun dan dikhawatirkan saat pengambilan jarum tidak ada. Selain itu mereka takut tidak cocok, sehingga tidak dapat melepasnya sewaktuwaktu. Karena melepas jarum yang ada di lengan atas hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan. Sejauh ini puskesmas juga selalu mengadakan promosi alat-alat kontrasepsi yang biasanya dilaksanakan bersamaan dengan posyandu. Petugas yang turun tangan ada 2-3 orang. Berikut adalah pernyataan dari salah satu staf puskesmas :
68
“kalo kita dari puskesmas itu sudah banyak sekali,mbak. Dikasih tau sama ibu-ibu bahwa ndak baik anak lebih dari dua dengan risiko, riwayat begini. nanti persalinannya begini. Trus tapi orang-orang tua ya pemahamannya begitu, mbak. Kalo cuma dua anak katanya rezeki ini. jadi kalo banyak anak, rezeki lebih bagus katanya begitu. Jadi kalo dari puskesmas sudah banyak,mbak. Baik dari penyuluhan, pemeriksaan ibu hamil pun, kita kasih tau tentang KB. Tetap dikasih tau.”
Sambutan ibu-ibu dengan adanya kegiatan ini direspon dengan baik. Mereka cukup antusias dalam acara ini. Namun kegiatan ini tidak dilakukan setiap bulan. Hanya waktu tertentu saja dan bagi mereka yang tidak hadir dalam posyandu menjadi kurang informasi mengenai KB. 3.1.12 Ramuan tradisional yang digunakan ibu nifas Selama masa nifas, ibu memiliki perawatan tertentu untuk mengembalikan kondisinya, misal untuk mengeringkan luka dalam kandungan dan menghentikan pendarahan. Perawatan ini bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti minum rorano yang dibuat oleh biang. Salah satu perawatan yang dilakukan oleh ibu nifas adalah mandi dengan campuran kulit kayu yang diambil dari hutan. Air rebusan kulit kayu ini berwarna merah seperti darah. Warna merah ini menempel pada belanga yang biasa digunakan untuk masak air. Kulit kayu tersebut terdiri dari kulit kayu posi-posi, hekiri, honiara, dan kokulemena. Setelah mandi dengan air rebusan ini, ia melakukan berahu. Tradisi yang biasa dilakukan oleh ibu nifas di Desa Baru. Pengambilan kulit kayu menggunakan syarat khusus, yaitu matahari harus naik serta menyinari kulit pohon yang akan diambil dan air laut dalam kondisi surut. Jika orang yang tinggal jauh dari laut dan tidak mengetahui kondisi air laut sedang pasang atau surut, maka
69
tidak masalah dalam pengambilan kulit kayu tersebut. Khasiat dari kulit kayu tersebut menjadi berkurang.
Gambar 3.6 Kulit kayu kokulemana Sumber : dokumentasi peneliti
Air rebusan kulit kayu ini tidak hanya digunakan untuk mandi ibu nifas. Tetapi dapat dimanfaatkan untuk pengobatan liver. Hal ini pernah dibuktikan oleh seorang nenek yang pernah terkena penyakit liver. Jika orang yang terkena penyakit liver ingin menggunakan air rebusan kulit kayu ini, maka ia harus mandi dengan air rebusan kulit kayu ini. Pemakaian air rebusan kulit ini dilakukan selama 3 hari.
Gambar 3.7 Campuran kulit kayu yang direbus untuk mandi ibu nifas Sumber : dokumentasi peneliti
70
3.1.13 Pola asuh bayi Pola asuh bayi yang dilakukan oleh orang Tobelo tidak jauh beda dengan pola asuh bayi biasa. Orang Tobelo dikenal sebagai etnis yang sangat peduli akan kesehatan. Sehingga bayi dalam pengasuhannya pun, mereka perhatikan betul. Bayi mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan kakaknya. Karena perlu perawatan dan perhatian khusus. Terkadang kakak juga ikut mengasuh adiknya. Untuk perawatan bayi seperti memandikan, menyuapi makanan, mengganti popok, memberi ASI, mengganti baju, dan mengayunkan bayi sampai tertidur merupakan tugas bersama. Selama masa nifas, porsi pembagian tugas dibagi dua bersama suami. Kadang kala masih ada campur tangan orang tua dalam perawatannya. Jika masa nifas selesai, maka pengasuhan bayi lebih banyak dilakukan oleh ibu. Mulai dari bangun tidur hingga bayi menjelang tidur. Namun tanggung jawab ayah tidak lepas dari pengasuhan bayi. 3.1.14 Pola asuh anak Anak-anak merupakan aset berharga dalam keluarga. Peran orang tua sangat menentukan perkembangan anaknya. Hal ini terkait pola asuh yang diterapkan oleh keluarga. Ibu dan bapak memiliki peran masing- masing dalam mengasuh anaknya. Namun tanggung jawab ibu lebih banyak daripada bapak. Meski ibu dan bapak memiliki tugas masing- masing, namun ada perbedaan dalam memberikan kasih saying kepada anak-anaknya. Pemberian kasih sayang tersebut berdasarkan pertimbangan suatu hal. Misalkan bapak lebih menyayangi anak-anak terakhir karena anak-anak terakhir belum bisa melakukan segala sesuatu sendiri dan dianggap anak yang paling kecil. Sedangkan ibu akan lebih menyayangi anak yang patuh dan taat kepada ia. ia tidak memandang anak nomor berapa. Kebiasaan itu akan dibawa sampai dewasa dan bisa jadi sampai dibawa ke keturunannya. Informasi yang peneliti dapatkan bahwa jika
71
ibu menyukai anak nomor dua. ia akan menyayanginya sampai keturunannya. Apapun yang diminta akan terpenuhi. Kebalikannya bahwa jika ibu tidak menyukai anak nomor empat karena tidak patuh kepada ibunya. Maka sampai keturunannya juga tidak akan menyukainya. 3.2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 3.2.1. Persalinan oleh tenaga kesehatan Era modern ini masyarakat sudah banyak menggunakan fasilitas dan pelayanan kesehatan. Akses menuju pelayanan kesehatan bisa menggunakan berbagai alat transportasi sesuai kondisi alam. Kesadaran masyarakat akan kesehatan terlihat sudah baik. Jika sakit, mereka akan pergi ke dokter atau puskesmas untuk berobat. Namun jika mereka tidak memiliki cukup biaya untuk pergi berobat, mereka akan membeli obat di kios-kios terdekat. Pelayanan kesehatan tidak hanya digunakan oleh orang sakit melainkan ibu hamil dan ibu nifas. Ibu hamil yang berkunjung ke puskesmas biasanya pada usia kandungan triwulan pertama, kedua, ketiga dan keempat. Intensitas kunjungan ibu hamil menjelang persalinan akan lebih sering. Sedangkan kunjungan ibu nifas biasanya dilakukan satu minggu setelah melahirkan atau ibu sudah dapat beraktifitas seperti biasa. Meskipun banyak ibu hamil yang memeriksakan kesehatan ibu dan bayinya minimal satu kali kunjungan ke puskesmas. Hal ini tidak menjamin mereka akan bersalin ke puskesmas atau memakai jasa bidan. Keputusan akan melahirkan di mana dan siapa yang menangani, biasanya dipengaruhi oleh orang-orang terdekat, misal suami, orang tua atau tetangga. Sebab keputusan ini sangat penting, makanya harus memiliki pertimbangan dari orang-orang sekitar. Sebagian besar ibu hamil melahirkan menggunakan jasa biang (dukun bayi) karena sudah merupakan tradisi turun-menurun dari nenek moyang. Biang memang sudah mendapatkan hati para ibu.
72
Mereka merasa tenang dan nyaman ketika melahirkan menggunakan biang. Penggunaan jasa biang tidak hanya pada proses melahirkan namun dari awal proses kehamilan hingga perawatan bayi lahir. Meski tidak hanya satu biang yang menangani dalam satu pasien. Masalah finansial juga menjadi salah satu faktor pendukung untuk menggunakan jasa seorang biang. Jika mereka menggunakan jasa bidan atau tenaga kesehatan lain, mereka harus menyiapkan sejumlah uang untuk membayarnya. Sedangkan bagi mereka yang menggunakan jasa biang, mereka memberikan uang hanya semampunya. Biang tidak jarang mendapatkan imbalan hanya berupa kain atau baju. Bahkan ada yang tidak memberikan uang atau benda karena alasan masalah ekonomi. Menurut informasi yang didapat dari informan, jika bidan dipanggil ke rumah setelah melahirkan, tugas bidan hanya menyuntik ibu nifas dan memberi obat. Setelah itu bidan pulang dan tidak ada kunjungan lagi ke ibu tersebut. Ibu nifas juga jarang pergi mengunjungi puskesmas atau bidan. Pendapat mereka kalau tidak terjadi masalah dengan kesehatannya, mereka tidak akan pergi ke pelayanan kesehatan atau bidan. Berdasarkan indikator SPM Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan tahun 2013, persalinan tenaga kesehatan sebesar 73 % dan belum menyentuh target 90 %. Sisanya persalinan menggunakan dukun bayi dan orang terdekat ibu hamil. Biasanya pendatang lebih banyak menggunakan tenaga kesehatan saat melahirkan dibandingkan dengan warga yang sudah lama menetap di tempat tersebut. Karena kesadaran akan pentingnya persalinan menggunakan tenaga kesehatan sudah bagus. Perhatian dari bidan dirasa kurang terhadap ibu hamil atau ibu nifas karena mereka harus proaktif untuk memeriksakan dirinya sendiri. Sedangkan kondisi fisik maupun akses menuju rumah bidan tidak selalu berjalan lancar. Meskipun mereka mampu, terkadang mereka enggan rutin pergi ke bidan karena mereka sibuk melakukan
73
aktifitasnya atau hanya rasa malas saja. Motivasi memang perlu diberikan oleh bidan dengan cara bidan aktif berkomunikasi dan memantau perkembangan kesehatan ibu dan bayi. Sehingga mereka ada rasa diperhatikan oleh bidan dan akan sayang terhadapa diri sendiri. 3.2.2. Penimbangan bayi dan balita Posyandu dilakukan setiap bulan di Desa Baru yang jatuh pada tanggal delapan. Ibu beserta bayi atau balitanya rame-rame datang ke posyandu untuk melakukan penimbangan. Kesadaran untuk menimbang berat badan bayi maupun balita mereka sudah tinggi. Mereka rajin menimbang setiap bulan untuk mengetahui bagaimana perkembangannya. Jarak tempat untuk posyandu cukup dekat dan terjangkau oleh ibu-ibu dari dusun lain. Keadaan seperti ini tidak dapat dirasakan oleh ibu-ibu yang tinggal di dusun empat yang masih menjadi bagian dari Desa Baru. Petugas dari puskesmas datang ke dusun empat biasanya dibarengi dengan posyandu ke Desa Kawasi. Mereka biasanya mendahulukan posyandu di Desa Kawasi daripada dusun empat. Alasannya adalah ombak dan cuaca yang tidak menentu membuat mereka harus mengantipasi agar mereka dapat melaksanakan posyandu. Jika dirasa kondisi alam mendukung, mereka akan mengadakan posyandu ke dusun empat. Menurut informasi yang didapat dari ibu-ibu di dusun empat, petugas puskesmas terakhir mengadakan posyandu pada bulan Agustus 2014. Setelah itu mereka tidak pernah berkunjung ke sana lagi. Ibu-ibu tidak mengetahui alasan mereka tidak datang kembali. Meskipun kondisinya demikian, ibu- ibu yang memiliki bayi maupun balita masih bisa melakukan penimbangan berat badan. Kegiatan penimbangan berat badan ini dicetus oleh para kader dusun empat. Mereka menggunakan peralatan seadanya untuk melakukannya dan
74
tempat berkumpulnya di kantor dusun empat yang terletak di depan gereja. Hasil penimbangan berat badan dicatat dalam buku KMS dan buku register. Buku KMS diberikan kepada ibu untuk mengetahui perkembangan bayi atau balitanya. Sedangkan buku register diberikan kepada puskesmas untuk dipindah ke buku register per desa. Orang yang melakukan penyerahan buku register tersebut adalah ketua kader. ia menyerahkan sendiri buku register tersebut tanpa didampingi kader lain menuju puskesmas. Kader-kader mendapatkan buku panduan posyandu, buku register dan uang intensif sebesar 50.000 per bulan. Uang tersebut sebenarnya tidak mencukupi biaya perjalanan dari dusun empat ke puskesmas karena akses perjalanan yang dituntut menggunakan jalur laut dan darat. Jika posyandu yang diadakan di Desa Baru dapat dipantau langsung oleh petugas dari puskesmas dan biasanya buku register langsung diambil setelah posyandu selesai. Jadi kader tidak memegang buku tersebut. Sehingga ketika peneliti menanyakan kondisi perkembangan bayi maupun balita, kader hanya mengingat saja posyandu yang belum lama dilaksanakan. Sedangkan buku register bulan-bulan lalu bahkan tahun lalu dipegang oleh ketua kader yang berstatus tidak aktif. Penimbangan berat badan bayi mapun balita dilakukan menetap di salah satu rumah warga (kader). Menurut keterangan salah satu kader, tempat penimbangan itu hanya bersifat darurat karena pemanfaatan balai desa untuk posyandu belum bisa dilakukan. ia sudah pernah mengajukan pendapat ini kepada kepala desa. Namun kepala desa belum ada kata mufakat dan konfirmasi ke kader. Balai desa tidak dapat dimanfaatkan sebagai tempat posyandu karena tidak disediakan tiang untuk menggantungkan ayunan penimbangan berat badan dan belum ada tempat untuk meletakkan lima meja posyandu. Alasan ini bisa masuk akal karena balai desa baru selesai direnovasi oleh kepala desa. Bahkan papan nama keterangan
75
kantor balai desa juga belum dipasang. Teras balai desa juga belum dibentuk. Jadi masih berbentuk halaman balai desa saja. “Meskipun sudah ada perintah dari kecamatan untuk menggunakan balai desa sebagai posyandu. Tetapi pada kenyataannya, belum dilaksanakan” tutur salah satu kader. Jumlah pengunjung posyandu yang akan menimbangkan berat badan bayinya dari bulan ke bulan semakin banyak. Menurut pengakuan dari salah satu kader dan staf bagian gizi puskesmas, biasanya jumlah pengunjung bayi dan balita yang ikut serta dalam posyandu untuk satu bulan bisa mencapai 100. Angka ini belum termasuk jumlah bayi dan balita yang menimbang di dusun empat. Setiap bulan selalu ada penambahan bayi maupun balita yang datang ke posyandu. Hal ini disebabkan oleh jumlah ibu hamil di desa Baru setiap bulan bisa mencapai 10 orang.
Gambar 3.8 Buku KMS warna merah muda untuk bayi perempuan, warna biru untuk bayi laki-laki Sumber : Dokumentasi peneliti
Buku KMS sebagai sarana untuk mengetahui perkembangan bayi hingga balita dibedakan menjadi dua, yaitu warna pink untuk bayi perempuan dan warna biru untuk bayi laki-laki. Pembagian ini dilakukan untuk memudahkan perbedaan dan pencatatan bayi maupun balita. Sedangkan untuk desain sampul buku dibuat oleh
76
Puskesmas Laiwui dan terdapat lambang atau stempel Puskesmas Laiwui tertera di sampul. Pembuatan buku ini disebabkan oleh persediaan buku KMS yang tidak mencukupi dan keterlambatan pengiriman buku KMS dari Labuha. Sedangkan ibu yang memiliki bayi atau balita harus memiliki buku KMS. Berikut ini adalah contoh buku KMS yang dibuat oleh Puskesmas Laiwui 3.2.3. Pemberian ASI Eksklusif Sebagian besar ibu-ibu di Desa Baru menggunakan ASI eksklusif. Meski minim pengetahuan pentingnya ASI eksklusif. Namun mereka sudah sadar bahwa bayi mereka harus diberikan ASI dari sejak lahir hingga bayi berajak jalan. Penghentian ASI ini untuk setiap ibu bervariasi. Ada ibu yang memberikan ASI sampe 6 bulan, 1 tahun dan 2 tahun. Ibu yang berprofesi sebagai petani kebun, biasanya akan membawa bayinya ikut serta di kebun. Karena mereka tidak dapat meninggalkan bayinya sendiri di rumah dan tidak dapat memberi susu. Akhirnya ibu membawa ke kebun. Sesampainya di kebun, bayi diletakkan di gubuk milik ibu. Jika bayi menangis atau saat istirahat, ia dapat dengan mudah melihat kondisi bayinya. Hingga ia dapat memberikan ASI kapanpun. Menurut salah satu informan menyebutkan bahwa ia suka mengkonsumsi sayur daun katuk. Tujuan makan daun katuk adalah melancarkan ASI. Daun katuk memang terkenal dengan khasiatnya untuk memperlancar ASI. Meski demikian, tidak semua ibu mengkonsumsi daun ini. Hal ini disebabkan oleh kurangnya variasi sayur yang dikonsumsi dan pengetahuan mengenai manfaat daun katuk. Meski sebagian besar ibu sudah menggunakan ASI, namun tidak memungkiri masih ada ibu yang menggunakan susu formula untuk bayinya. Alasan pemberian susu formula kepada bayinya mereka bervariasi, seperti sejak lahir memang langsung dikasih susu
77
formula, air susu yang dikeluarkan terlalu sedikit, sudah tua tapi masih memelihara bayi, dan adanya dorongan perekonomian yang lebih daripada ibu lainnya. Sebenarnya, mereka yang menggunakan susu formula untuk bayinya adalah tidak mau repot dan menjaga penampilan mereka agar bentuk payudara tidak rusak atau menurun karena menyusui. Untuk itu mereka mau membeli susu formula yang mahal demi bayinya. Contohnya, Ibu R yang telah memberikan anaknya sejak dari lahir dengan susu formulasi L. Anaknya dapat menghabiskan susu formula L berukuran 750 mg dalam waktu satu minggu, kadang tidak sampai satu minggu. Harga susu formula L dengan berat bersih demikian bisa mencapai seratus ribu. Dia juga tidak menolak dan memang menyukai pemberian susu formula L oleh ibunya. Kalau sudah minum susu formula, kadang anak tidak mau makan karena dirasa sudah kenyang. Tiga di antara beberapa ibu yang berkunjung ke posyandu juga memberikan susu formula kepada bayi atau balitanya. Ketika ditanya alasan pemberian susu formula, jawaban mereka bervariasi. Secara fisik. memang ada perbedaan yang jelas antara bayi atau balita yang diberi ASI dengan susu formula. Tubuh bayi atau balita yang diberi susu formula terlihat lebih besar daripada mereka yang diberi ASI. Mereka terlihat lebih besar dengan usia demikian. Pemberian ASI ini tidak semua dilakukan setelah bayi lahir. Ada dua kejadian bayi setelah lahir tidak langsung diberikan ASI di Desa Baru. Pertama, bayi yang baru lahir dengan usia 12 jam diberi air yang dicampur gula merah dengan perantara selimut ibunya sebagai penghantar ke mulut bayinya. Orang yang melakukan hal ini tidak lain adalah nenek dari bayi tersebut. Alasan pemberian air campuran gula adalah ASI ibu belum bisa keluar. Sedangkan bayi memerlukan cairan yang masuk ke dalam tubuhnya. Sehingga cara singkatnya adalah pemberian air dicampur gula merah. Kedua, kejadiannya hampir sama dengan kejadian di atas. Selain ASI belum keluar, alasannya sedikit
78
berbeda, yaitu secara fisik ia masih lemah karena mengalami pendarahan hebat saat melahirkan. Setelah masa pemberian ASI atau susu formula berhenti, ibuibu biasanya memberikan pengenalan makanan untuk bayinya. Makanan yang diberikan berupa pisang, bubur instan, bubur beras dan telur rebus. Pisang merupakan bahan makanan yang sangat mudah didapat karena mereka dapat mengambil dari kebun atau membelinya di teras rumah warga. Bubur instan juga mudah ditemukan di kios-kios pasar. 3.2.4 Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun Promosi gerakan cuci tangan menggunakan air bersih dan sabun biasanya dilaksanakan untuk anak-anak sekolah (SD-SMA). Program ini dilaksanakan oleh staf puskesmas bagian PHBS. Menurut keterangannya, cakupannya sudah memenuhi target, yaitu seratus persen. Sekolah mendukung program ini dengan cara memfasilitasi wastafel dan sabun untuk mencuci tangan siswa. Keberhasilan pencapaian target ini menggunakan trik dengan cara melampirkan nama dokter dalam surat pemberitahuan pelaksanaan program ini. Jadi, para siswa antusias ketika mendengar akan hadir dokter ke sekolah berkunjung ke sekolah. Pada kenyataannya, dokter berhalangan hadir karena ada kegiatan yang harus dilakukan. Kegiatan ini hanya terjangkau di lingkungan sekolah saja dan belum tentu para siswa mempraktikkannya di rumah sama halnya di sekolah. Ada beberapa siswa yang mempraktikkannya di rumah karena dorongan dari ibu. Biasanya melakukan cuci tangan setelah melakukan buang air besar. Untuk aktifitas lainnya, mereka belum melaksanakannya. Aktifitas cuci tangan menggunakan air bersih dan sabun belum dimaksimalkan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya nenek yang akan menggendong cucunya (bayi) tidak mencuci tangannya terlebih dahulu, padahal memiliki kuku panjang dan kotor. Kondisi ini tidak
79
dihiraukan. Ia langsung menggendong dan memegang cucunya. Ia juga tidak jarang memegang hidung atau mulut cucunya. 3.2.5 Pemanfaatan jamban sehat Menurut hasil survei, warga sudah banyak yang memiliki dan menggunakan jamban di rumah. Namun tidak semua warga membuat jamban dari semen. Ada juga yang menggunakan papan kayu yang terletak di tepi pantai. Bagi warga yang memiliki rumah dari papan kayu, mereka cenderung memiliki kamar mandi atau toilet terpisah dari rumah. Kamar mandi atau toilet yang dibuat tidak begitu besar, hanya cukup untuk meletakkan ember, bak mandi atau ember besar dan jamban.
Gambar 3.9 Jamban milik salah satu warga Sumber : dokumentasi peneliti
Jika rumah mereka sudah menggunakan batako dan semen, kamar mandi terletak di dalam rumah. Jamban yang dimiliki cenderung terawat dan bersih dibandingkan dengan jamban yang terpisah dari rumahnya. Warga yang memiliki rumah di tepi pantai, masih banyak memilih buang air besar di tepi pantai daripada di rumah. Meskipun mereka memiliki jamban di rumah. Mereka lebih menyukai buang air besar di tepi pantai karena praktis. Selain itu buang air besar di tepi
80
pantai merupakan kebiasaan mereka sebelum adanya jamban di rumah. Namun tidak jarang juga ditemui terdapat kotoran manusia di belakang rumah mereka. Biasanya tertutup oleh tanaman yang merambat atau sampah yang dibuang warga di belakang rumah. Jadi kita tidak dapat melihat sekilas dan jarak jauh. 3.2.6 Aktifitas fisik Sebagian besar warga menghabiskan waktu mereka untuk bercocok tanam, merawat tanaman, dan memanen hasil tanaman di kebun dan mencari ikan. Mereka akan pergi ke kebun selama kurang dari 12 jam atau 24 jam. Bahkan ada yang pergi ke kebun selama berhari-hari karena mereka biasanya memiliki rumah kecil di sana dengan penerangannya menggunakan poci. Jika masa panen tiba, mereka akan mengambil hasilnya dan pergi ke rumah untuk menjualnya. Hasil tanaman bisa dijual keliling desa atau dijual ke pasar pada esok harinya. Perjalanan menuju kebun biasanya ditempuh dengan menggunakan motor atau jalan kaki. Jika mereka memilih jalan kaki, mereka biasanya mengajak tetangga atau saudara untuk pergi bersama ke kebun. Setelah mereka sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah, mereka akan bersiap-siap menuju kebun dengan peralatan yang disiapkan semalam. Waktu yang ditempuh dari desa menuju kebun adalah sekitar satu jam. Kemudian sekitar jam empat sore, mereka kembali ke rumah masing-masing. Mereka yang menggunakan motor menuju kebun biasanya sepasang suami istri atau kerabat dekat. Ada yang menggunakan mobil pick up bagi mereka yang akan menebang kayu di hutan tapi kayunya ditinggal di kebun. Namun bagi mereka yang ingin berkelompok dan tidak mempunyai kendaraan roda empat, mereka biasanya jalan kaki dari rumah ke rumah tetangga atau teman yang sama-sama akan berjalan menuju kebun.
81
Aktifitas bapak-bapak yang tidak berkebun biasanya adalah mencari ikan di laut, membuat katintin (perahu kecil) di tepi pantai dan duduk-duduk di depan rumah. Bapak yang mencari ikan biasanya berangkat pagi hari menggunakan katintin. Kemudian ia akan berlayar menuju tanjung dekat dusun empat (masih wilayah Desa Baru) dan akan pulang ke rumah pada sore hari. Sedangkan bapak yang membuat katintin biasanya dilakukan pada pagi hari hingga siang hari di tepi pantai. ia biasanya membuat untuk dipakai pribadi. Namun ia juga menerima pesanan dan satu katintin dihargai empat juta. Meskipun ada ada bapak-bapak yang duduk di depan rumah tidak tentu mereka tidak melakukan aktifitas apapun. Terkadang mereka menggosok batu yang didapatkan dari orang atau ada orang yang minta bantuan memotong dan batu tersebut. Aktifitas olahraga memang tidak terlihat dilakukan oleh orang dewasa. Olahraga biasanya dilakukan oleh anak-anak dan remaja. Olahraga rutin yang mereka lakukan adalah sepak bola di tanah lapang depan gereja pantekosta atau halaman SMPN 2 Obi dan jogging setiap minggu pagi dari Desa Baru menuju Pelabuhan Jikotamo. Ada juga yang berolahraga voli yang bertempat di polsek Laiwui.
Gambar 3.10 Ibu yang akan pergi ke kebun dan seorang anak mengambil air dari sungai Sumber : dokumentasi peneliti
82
3.2.7 Kebiasaan merokok Merokok merupakan aktifitas yang dominan dilakukan oleh para lelaki. Merokok menimbulkan ketergantungan bagi penggunanya. Bagi mereka yang suka sekali merokok dalam sehari bisa menghabiskan dua sampe tiga bungkus. Menurut pengakuan salah satu informan, jika ia sedang mengobrol atau hanya sekedar nongkrong bersama teman-teman, ia bisa menghabiskan empat bungkus rokok. Aktifitas merokok tidak hanya dilakukan di luar rumah tetapi di dalam rumah juga. Sebagai contoh ketika peneliti mengunjungi rumah salah satu ibu nifas, ada dua bapak dan satu ibu beserta anaknya. Dalam ruangan tersebut, kedua bapak tadi merokok secara berdampingan. Rokok yang digunakan rokok tradisional yang dibuat sendiri menggunakan kertas khusus yang diisi tembakau secukupnya lalu digulung menjadi rokok. Asap rokok menyebar ke seluruh ruangan tersebut dan terhirup oleh orang- orang yang ada dalam ruangan tersebut. Sebenarnya ada bayi yang sedang diberi makan bubur yang kebetulan sedang berdekatan pada salah satu bapak yang merokok. Bapakbapak tersbut tidak menyadari perbuatannya hingga rokok mereka habis dan mereka menyalakan api untuk merokok lagi. Keadaan ini diperparah dengan adanya perapian yang ada di ruangan tersebut. Api tidak menyala namun asap dari perapian tersebut juga mengarah ke ibu yang sedang menyuapi bayinya dan salah satu bapak yang merokok. Menurut pengakuan salah satu bapak, ia merokok 1 bungkus untuk 1 hari atau lebih. Itu pun dicampur dengan rokok tradisional yang diracik sendiri. Ia sering merokok di dalam ruang tersebut sambil menjaga bayinya. Padahal di ruangan tersebut terdapat perapian yang hampir setiap hari dinyalakan. Jika ia tidak merokok, ia akan stres. Sebaliknya, ketika ia merokok akan merasakan semangat luar bisa, kerja pun menjadi kuat dan pikiran menjadi tenang. ia merokok sejak
83
usia 11 tahun. Efek dari merokok pun mulai ia rasakan, yaitu sering batuk-batuk berdahak. Ia belum sempat memeriksakan diri ke puskesmas. ia hanya mengobatinya dengan cara minum air mentah (air ledeng) setiap jam 6 pagi. Pengobatan ini dilakukan rutin setiap hari. 3.2.8 Pemanfaatan air bersih Air merupakan kebutuhan manusia yang harus dipenuhi setiap hari. Karena tanpa air, manusia tidak akan bertahan lama hidup. Sumber air yang dimanfaatkan oleh masyarakat didapatkan dari air ledeng, air hujan, dan air sungai. Air ledeng dapat warga nikmati hanya dusun 1, 2, dan 3. Mereka harus membayar sejumlah setiap bulannya. Jika penggunaannya tidak terlalu banyak, biasanya mereka cukup membayar sepuluh ribu. Air ledeng dimanfaatkan untuk segala macam keperluan. Air ledeng juga disediakan di luar rumah. Sehingga apabila ada orang yang membutuhkan air, dapat mengambilnya kapan pun. Air hujan merupakan alternatif lain jika air ledeng mati berharihari. Sedangkan warga harus memenuhi kebutuhannya, jadi mereka memanfaatkan air hujan sebagai penggantinya. Mereka membuat tempat penampungan air hujan dengan menggunakan papan-papan yang ditancapkan ke tanah kemudian disambung sampai di atas tanah hingga sekitar tingginya setengah meter. Untuk mengambilnya, mereka menggunakan ember kecil yang diberi tali tambang. Air hujan juga dipakai oleh warga dusun 4 untuk memenuhi kebutuhannya kecuali untuk air minum.
Gambar 3.11 Penampung air hujan milik salah satu warga Sumber : dokumentasi peneliti
84
Air sungai sangat erat kaitannya di kehidupan warga dusun 4. Jika persediaan air di rumah habis, mereka akan segera pergi ke sungai dengan membawa dua dirigen atau satu gallon untuk mengisi air. Mereka memanfaatkan air sungai ini hanya untuk air minum. Jarak sungai ke rumah warga sekitar 1 kilometer. Biasanya mereka mengambil air bersama tetangga berjalan menyusuri kebun dengan jalanan setapak. Air sungai ini bersih dan mengarah langsung ke laut. Fungsi air sungai di dusun 3 berbeda dengan dusun 4. Warga dusun 3 memanfaatkan air sungai untuk mandi dan mencuci. Aktifitas ini tidak dilakukan setiap hari, hanya saat tertentu saja, misal saat air ledeng tidak menyala. Jika hujan berhari-hari, air ledeng suka tidak menyala disebabkan dari pihak PDAM tidak menyalurkan air ke rumah-rumah. 3.2.9 Memberantas jentik nyamuk Lima rumah yang peneliti kunjungi menggunakan ember kecil dan ember besar untuk penampung air mandi atau keperluan buang air. Setelah air habis, mereka akan mengisinya kembali. Kegiatan tersebut dilakukan secara kontinyu setiap hari. Alasan mereka menggunakan ember adalah praktik dan belum ada biaya untuk membuat bak mandi permanen. Sebenarnya ada manfaat lain yang mereka belum perhatikan, yaitu masuknya jentik nyamuk ke dalam penampungan air menjadi berkurang. Terlebih lagi sebagian dari mereka menggunakan tutup ember. Sejauh ini gerakan untuk membersihkan jentik nyamuk belum banyak dilakukan oleh warga. Karena mereka merasa tidak ada kasus malaria dan nyamuk yang sangat mengganggu aktifitas mereka. Saat terjadi wabah malaria, gerakan memberantas jentik nyamuk langsung dikerahkan ke rumah warga. Puskesmas melakukan fogging dari rumah ke rumah dan mewaspadai adanya wabah malaria. Salah satu cara untuk mewaspadai adanya wabah malaria adalah sosialisasi pengenalan dan cara menghindari malaria di posyandu.
85
Menurut pengakuan salah satu staf puskesmas bahwa memang tidak pemberantasan jentik nyamuk secara kontinyu. Puskesmas akan melakukan gerakan tersebut jika ada kasus yang timbul di masyarakat. Antisipasi yang diberikan oleh puskesmas adalah pemberian kelambu gratis bagi siapa saja yang rajin pergi ke posyandu. 3.2.10 Makan sayur dan buah Empat sehat lima sempurna merupakan semboyan yang biasa kita dengar dalam pemenuhan gizi seimbang. Masyarakat dianjurkan makan-makanan yang sehat dan bergizi. Karena nantinya akan berpengaruh terhadap kesehatan kita terutama daya tahan tubuh. Sebenarnya tidak semua unsur gizi harus dipenuhi. Tetapi bisa diganti dengan unsur gizi lain, misal tidak makan protein hewani, maka bisa digantikan dengan protein nabati. Sayur merupakan salah satu bahan makanan yang mengandung vitamin dan mineral. Sayur yang ditanam di kebun adalah bayam merah, bayam hijau, daun pepaya, buah pepaya muda, bunga pepaya, labu sayur, daun pakis, daun kasbih (singkong) dan kangkung. Biasanya mereka distribusikan ke pasar jam 7.30 dan pulang ke rumah sekitar jam 9 pagi. Sayur yang dijual masih segar dan tanpa pestisida maupun pupuk. Sayangnya daya beli masyarakat terhadap sayur tidak begitu besar. Karena sayur hanya dijual ke pasar dan tidak ada pedagang keliling mengitari desa. Hidangan yang wajib disajikan adalah ikan. Tiada hari tanpa ikan. Meski hanya digoreng dan jumlahnya tidak banyak, mereka akan tetap mengkonsumsinya. Ikan yang mereka konsumsi sehari-hari adalah ikan dasar yang memeliki ukuran tubuh tidak lebih besar dari ikan bandeng. Mereka jarang mengkonsumsi ikan besar seperti ikan cakalang. Hanya saat tertentu saja mereka akan mengkonsumsinya.
86
Gambar 3.12 Sayur terong Sumber : dokumentasi peneliti
Lain halnya dengan sayuran, mereka mengkonsumsi sayur tidak setiap hari. Terkadang mereka mengkonsumsi sayur tiga kali dalam satu minggu. Kebiasaan ini turun-menurun diwariskan oleh keluarga. Sayur yang mudah terjangkau oleh warga adalah kangkung dan daun kasbih karena letaknya di dekat rumah. Jadi mereka bisa ambil kapan pun.
Gambar 3.13 Tomat sayur berbentuk labu Sumber : Dokumentasi peneliti
Kangkung biasanya dimasak tumis dengan sedikit kuah di dalamnya. Sedangkan daun kasbih dimasak santan yang dicampur dengan rica jawa merah (cabai merah). Ada juga sayur daun kasbih yang tidak diberi rica jawa merah.
87
Buah yang ditanam di kebun adalah pisang, langsa (jarang), coklat, betatas (talas), kelapa, dan pepaya. Semua tanaman ini dimakan sendiri, kecuali kelapa. Bagi warga yang memiliki kebun kelapa yang luas, mereka perbadayakan untuk menghasilkan kopra dan dijual ke Laiwui. Buah-buahan yang mudah dijumpai dan sering dikonsumsi adalah pisang. Jika tidak memiliki pohon pisang, mereka dapat membelinya di depan rumah yang digantungkan atau diletakkan suatu tempat mirip tempat meletakkan bensin eceran. Sayangnya, warga kurang menyukai adanya buah baru yang belum pernah konsumsi sebelumnya. Sebagai contoh, ada orang yang menjual melon dengan berat 2-3 kilogram dengan harga yang terjangkau. Masyarakat tidak mau membelinya, meskipun si penjual memberi gratis melon. Respon mereka tidak berubah! 3.3. Penyakit yang diderita oleh Masyarakat Desa Baru 3.3.1 Ispa (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) Ispa (infeksi saluran pernafasan atas) atau orang biasa menyebutnya dengan istilah hosa. Infeksi ini menyerang bagian sinus, tenggorokan, saluran udara, dan paru-paru. Penyakit ini menempati urutan pertama yang diderita oleh masyarakat desa Baru dibandingkan dengan penyakit-penyakit lainnya. Penyakit ini juga dapat menyerang siapa saja dan tidak memandang umur. Menurut informasi dari ibu anak A, ia berpendapat bahwa anaknya sakit ispa didapat sejak lahir. Batuk dan ingusan sering dialaminya dan masih dianggap hal yang biasa seperti penyakit musiman pada anak-anak. Hal ini menyebabkan anak rewel dan tidak bisa jauh dari ibunya. Saat ini usianya dua tahun dan sangat perlu pengawasan dari orang tuanya. Ketika sakitnya kambuh, anaknya merasakan sakit kepala dan rewel. Dengan usia yang sekarang, tentunya sudah dapat mengeluhkan apa yang dia rasakan ke ibunya. Ingus yang keluar dari hidung hanya diusap menggunakan baju
88
anaknya tanpa mengganti baju anaknya atau cuci tangan setelah menyentuh ingusnya. Selain itu, dokter puskesmas memberi saran bahwa dia tidak boleh mandi air hujan. Tapi suatu waktu ibunya lupa saran tersebut, maka anak mengalami sakit kepala, batuk dan ingusan. Kemudian ibu segera memeriksakan keesokan hari. Hal-hal tersebut menggambarkan bahwa perilaku preventif dan personal higiene masih kurang diperhatikan oleh ibunya. Pengobatan tidak hanya dilakukan dengan cara modern tetapi pengobatan tradisional juga seringkali dilakukan ketika anak sakit. Pengobatan tersebut biasa dikenal dengan nama tiup-tiup. Pengobatan ini dinamakan dengan tiup-tiup karena metode pengobatannya menggunakan air yang disemburkan ke beberapa titik tubuh anak. Tujuannya adalah mengusir roh jahat yang masuk dalam tubuh anak dan sakitnya bisa sembuh. Biasanya ibu anak A menggunakan jasa tiup-tiup oleh kakak iparnya (Om J). Biaya pengobatan dinyatakan gratis karena masih ada hubungan keluarga. Informan bapak L menyatakan bahwa sudah cukup lama menderita dari muda. Sakit ini ia dapat dari kebiasaan merokok bapak sejak muda yang susah dihentikan. ia biasa merokok biasa merokok tiga bungkus dalam sehari. Jika ada yang menemani merokok, ia bisa merokok satu bungkus. Kebiasaan ini menimbulkan efek batuk dalamngka waktu yang panjang. Batuk ini dimulai pada usia 55 tahun. Pada tahun 2014, ia diperiksa di salah satu rumah sakit Ternate ditemani anaknya. ia sempat dirontgen tapi hasilnya tidak ada indikasi mengalami TBC. Petugas kesehatan menyarankan ia dirujuk ke salah satu rumah sakit Manado. Ia tidak mau melakukan tindakan lanjut tersebut. Akhirnya ia memutuskan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ia melakukan instropeksi diri apa penyebab sakit yang dialami dan bagaimana mengobatinya. ia berpikir bahwa ia banyak melakukan kesalahan atau kurang beramal. Dengan seiring waktu berjalan, ia sering beramal (berbagi) ke gereja dan
89
orang-orang sekitar lingkungannya. ia juga minum air sembahyang agar sakitnya bisa berkurang. Awal bulan Mei 2015, ia merasakan hasilnya, yaitu ia mengalami kesembuhan dari sakitnya. Kabar ini disambut bahagia oleh keluarganya. Untuk itu, keluarga mengadakan syukuran atas kesembuhan ia. Acara ini dihadiri oleh tetangga sekitar rumah dengan rangkaian acara doa dan dilanjut makan bersama. Tuan rumah menyediakan berbagai hidangan yang diletakkan dalam meja di halaman rumah. Usaha kesembuhan ini juga didukung oleh kemauan ia untuk berhenti merokok sejak usia 55 tahun. Ketika dokter menyatakan ia sakit ispa dan harus menghentikan kebiasaan merokok. ia berpikir bahwa memang baiknya menghentikan kebiasaan tersebut dengan kondisi kesehatan dan umur. Menurut tenaga medis puskesmas, faktor yang menyebabkan ispa adalah kondisi jalan yang biasa dilalui oleh kendaraan bermotor bercampur tanah dan pasir. Banyak aktifitas warga yang menggunakan kendaraan beroda dua maupun roda empat, misalnya truk atau mobil pick up yang setiap hari mengangkut pasir dari tepi pantai hingga menuju lokasi tujuan pengumpulan pasir. Jalan yang dilalui menuju tempat lokasi, sangat berpenduduk padat. Sehingga ketika mobil itu lewat, debu dan asap kendaraan beterbangan ke pemukiman warga atau tidak jarak langsung terhirup oleh warga. Perubahan cuaca yang tidak menentu dan ditambah kondisi lingkungan yang kering dapat mempermudah terkena penyakit ispa. Hal ini juga menurunkan daya imunitas dalam tubuh seseorang. Apalagi anak-anak dan manula yang daya imunitasnya kurang. Sehingga mereka rentrga setempatan terhadap suatu penyakit. Penggunaan tungku yang menggunakan bahan bakar kayu adalah suatu indikasi terjadinya ispa. Rata-rata warga menggunakan tungku untuk memasak. Meskipun mereka memiliki kompor yang berbahan bakar minyak tanah. Alasan mereka menggunakan tungku
90
daripada kompor adalah ketersediaan kayu bakar yang banyak dan mereka hanya mengambil di kebun saja. Dapur yang mereka gunakan sehari-hari tidak memiliki jendela atau ruang untuksirkulasi udara ketika memasak. Asap yang keluar dari tungku akan terhirup oleh orang yang sedang measak karena tidak ada sirkulasi udara. Dampak singkat dari kejadian tersebut adalah batuk dan mata sakit. Kesadaran akan pembuatan sirkulasi udara belum muncul. Sehingga kejadian tersebut berulang-ulang. Menurut warga setempat, Pembuatan kopra juga mempengaruhi munculnya penyakit ispa dalam masyarakat. Mereka membakar kopra setiap hari di dekat kebun. Meskipun mereka membakar kopra di ruangan terbuka, asapnya masih bisa terhirup bebas oleh mereka. Pembakaran tersebut mengharuskan api tetap nyala hingga kopra benar-benar matang. Oleh sebab itu, mmuntahereka tidak bisa jauh dari pembakaran tersebut. 3.3.2 Sakit Maag Maag merupakan salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat dan termasuk salah satu penyakit dalam sepuluh besar penyakit di puskesmas Laiwui. Penyakit ini banyak diderita masyarakat, sebagai contoh para petani kebun. Informan bapak L menyatakan bahwa sejak tahun 1993 ia mulai sakit maag. Pada tahun 1994 ia sempat dibawa ke puskesmas dengan berjalan kaki dari rumah. ia merasakan asam lambung naik dan sesak nafas. Setelah sampai di puskesmas, ia diperiksa dan diberi obat oleh dokter. Kejadian ini hanya terjadi satu kali dari awal ia sakit hingga saat ini. ia mengakui bahwa dulu tidak terbiasa sarapan pagi. ia hanya minum teh dan mengawali aktifitas seperti biasa. Siang hari, ia baru makan. Selama sakit maag, ia tidak pernah rawat inap di rumah sakit. ia rajin ke puskesmas dan mengkonsumsi obat yang diberi dokter. ia
91
juga menyempatkan untuk makan meski sedikit agar ada makanan yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini juga terjadi pada informan tante N yang sempat kambuh sakit maagnya pada tahun 1994. Awalnya, tante N mengkolak mual-mual dan muntah-muntah. Karena sakit yang diatas sudah tidak tertahankan, kemudian ia dibawa ke puskesmas dan diberi obat. Sakit ini ia dapat setelah almarhum ibu yang telah meninggal tepatnya satu bulan.Semenjak ibu dari tante N sakit, ia tidak memperhatikan makannya. ia sering terlambat makan karena terlalu sering berpikir tentang sakit yang ibunya alami. Seyelah ibunya mrninggal, pikiran ia bertambah. Maka dari itu, asam lambung ia jadi naik. Penyebab lain hingga saat ini tante N masih merasakan sakit maag, yaitu kebiasaan makan yang tidak teratur saat aktif berkebun. Biasanya ia berangkat ke kebun pada pagi hari. Sesampai di kebun,ia langsung bekerja. Siang hari, ia mulai masak untuk makan siang. Pulang dari kebun, biasanya jam 16.00 dan ia masak untuk makan malam sekiatr jam 17.00. ia akan makan malam pada jam 20.00. Kadang jam 21.00 ia baru makan malam rasa perih Tahun 2012, ia sempat demam dua hari terbaring di atas kasur dan asam lambung ia naik. Ia tidak langsung memanggil dokter atau bidan. Setelah suhu tubuh menurun, ia pergi ke puskesmas untuk berobat. Kadang sakit ini dirasakan sampe nyeri pada ginjal sebelah kiri. Tapi kalau tidak pergi berobat ke puskesmas, ia hanya makan teratur saja. Selain faktor ketidakteraturan makan, faktor lain yang menyebabkan sakit maag adalah kebiasan makanan apapun yang dicampur dengan air lemon (jeruk nipis). Air lemon yang berasa asam ini dapat memicu asam lambung naik dan menyebabkan rasa perih. Belum lagi kalau orang yang mendapati sakit maag yang tidak bisa lepas dari dabu-dabu (irisan tomat, cabai dan perasan air lemon) akan menambah pemicu naiknya asam lambung.
92
Faktor psikologi (stress) seseorang juga mempengaruhi bertambahnya sakit maag. Ketika seseorang terlalu memikirkan suatu permasalahan yang besar, maka hormon stres akan memicu asam lambung. Kemudian asam lambung akan naik dan mengakibatkan rasa muntal bahkan muntah. Tabel 3.1 sepuluh penyakit terbanyak di Puskesmas Laiwui
Sumber : Puskesmas Laiwui
3.3.3 Hipertensi Hipertensi atau biasa orang kenal dengan sebutan darah tinggi. Penyakit ini biasanya menyerang orang yang memiliki umur di atas 35 tahun. Sebagian besar orang yang sudah tahu gejala ini. Namun demikian, tidak semua orang tahu penyebabnya. Informan nenek N mengungkapkan bahwa ia mulai sakit darah tinggi sejak 2010. ia terlahir memeriksakan diri dengan tensi 140/110 pada bulan April
93
tahun ini. ia rajin ke puskesmas dengan atau tanpa suami yang mendampingi. Pada tahun 2013, tensi nenek N naik menjadi 180 dan gula darah 225. Saat itu juga ia dirawat di rumah sakit dalam waktu 2 hari. Salah satu penyebab ia terkena penyakit hipertensi adalh kebiasaan mengkonsumsi ikan asin. Ia mengaku bahwa jika tidak ada ikan segar yang dikonsumsi, maka sebagai penggantinya adalah ikan asin. Selama masih ada ikan asin, ia akan mengkonsumsinya setiap hari sampai habis. Tabel 3.2 10 penyakit terbanyak berdasarkan kunjungan Puskesmas di Kabupaten Halmahera Selatan tahun 2012 NO
KODE
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1804 4001 105 1801 701 1805 1605 1500 1004 2003
PENYAKIT ISPA HIPERTENSI GANGGUAN NEUROTIK REMATOID NASOPHARINGITIS P.K. AKIBAT JAMUR HIPOTENSI INFEKSI VIRUS DIARE CARIES GIGI
JUMLAH 44,084 9,516 8,758 7,344 6,794 6,155 4,937 3,681 1,130 1,108
Sumber : Bidang Pelayanan Kesehatan Dinkes Kab. Halsel Tahun 2012
Faktor penyebab hipertensi dilihat dari gaya hidup adalah makanan yang dikonsumsi sehari-hari (makanan yang banyak mengandung garam, minyak, santan) , kurangnya aktifitas fisik seperti olahraga dan pola istirahat kurang cukup. Kemudian dilihat dari faktor psikologi, seperti adanya masalah ekonomi keluarga yang belum tercukupi dan orang tersebut terlalu memikirkan masalah tersebut hingga mempengaruhi hormon adrenalinnya dan menyebabkan
94
tekanan darahnya naik. Faktor penyebab lainnya adalah faktor keturunan. Warga gemar sekali makan ikan, baik segar maupun asin. Ikan yang mereka dapatkan biasanya diambil dari orang yang menangkap ikan di laut dan ada ikan yang lebih, jadi dibagikan ke tetangga yang menginginkan ikan. Kalau ikan yang mereka dapatkan kecil-kecil biasanya diawetkan dengan air lemon dan garam kemudian dijemur sampai kerig. Ikan ini merupakan salah satu contoh makanan yang dapat menyebabkan hipertensi jika dikonsumsi berlebihan. 3.3.4 Diabetes Melitus Penyakit lainnya yang sering menyerang warga adalah diabetes mellitus atau lebih dikenal dengan sebutan penyakit gula. Penyakit dapat timbul karena kebiasaan mereka sehari-hari ataupun faktor keturunan dari orang tua atau nenek-kakek. Penyakit gula yang dialami oleh seorang informan merupakan penyakit gula tipe dua. Penyebabnya adalah makanan dan aktifitas sehari-hari yang kurang sehat. Makanan yang dikonsumsi lebih banyak mengandung gula, seperti makan nasi banyak dan kebiasaan minum teh dua kali dalam satu hari dengan takaran gula 1,5 sendok makan. ia juga menyatakan bahwa jika tidak kasbih (singkong), ia akan mengkonsumsi nasi dan pisang. Aktifitas yang dimaksud adalah kurangnya kesadaran akan berolahraga minimal satu kali dalam satu minggu. Sebelum terkena penyakit gula ia memang tidak pernah olahraga. Kemudian ia mendapati penyakit gula, maka dokter memberi anjuran untuk berolahraga seperti jalan pagi setiap hari keliling rumah. Usia merupakan salah satu faktor penyebab timbul penyakit gula. Usia di atas 35 hingga 40 tahun merupakan pintu masuk gejalagejala penyakit gula. Semakin bertambahnya usia, semakin rentan tubuh seseorang terhadap penyakit terutama penyakit gula
95
Tingkat stres seseorang juga mempengaruhi hormon insulin yang ada di tubuh. Pengaruh hormon akan mempengaruhi pola makan dan perilaku orang tersebut yang condong ke arah penyakit gula. Stres ini bisa didapat dari masalah pribadi yang dianggap sangat serius, misal tingkat selingkuh yang tinggi hingga yang menyebabkan perceraian. Menurut dokter puskesmas, masyarakat desa Baru yang memiliki penyakit gula merupakan bertipe II. Penyebab tipe ini adalah gaya hidup yang kurang sehat yang bisa dilihat dari makanan yang mereka konsumsi setiap hari. Makanan yang mudah ditemui adalah kue-kue basah yang dijual di depan rumah atau berkeliling desa yang sebagian besar rasanya manis. Sedangkan kue yang dijual rasa gurih hanya ada satu macam. Sebenarnya mereka bisa membuat variasi rasa makanan dengan bahan yang ada.
96
BAB IV GIA BIANG: MERAWAT BAYI DI PULAU OBI 4.1. Awal mula mendapatkan ilmu persalinan Para Biang (dukun bersalin atau dukun bayi) biasanya mewarisi ilmu persalinan dan perawatan ibu dan anak dari keluarganya, misal ibu atau ibu mertua. Awalnya mereka mengantarkan ibu atau ibu mertua saja, jika ada orang yang memanggil Biang untuk membantu persalinan. Kemudian mereka melihat proses mengeluarkan bayi dan merawat ibu nifas serta bayinya. Proses ini berlangsung secara kontinyu hingga mereka hafal cara-cara penanganannya. Mereka juga sering bertanya-tanya ke ibu atau ibu mertua. Ada satu Biang yang mendapatkan ilmu persalinan bukan dari keluarga tetapi dari dokter (tenaga kesehatan) di Desa Baru. Dulu ia bekerja sebagai pengasuh anak seorang dokter Belanda di Ambon. Sambil mengasuh anak, ia melihat dan mengamati cara persalinan yang dilakukan oleh dokter. ia juga dikasih tahu oleh si dokter tentang cara persalinan dan merawat bayi. Namun suatu ketika ia maen ke rumah suster Belanda. Rumahnya juga tidak jauh dari dokter Belanda. Sesampai di rumah suster, dia bercerita-cerita dan bertanya bagaimana cara membantu persalinan. Akhirnya saat ada pasien, ia disuruh membantu suster tersebut dengan cara mengambil alat-alat yang dibutuhkan untuk persalinan. Dari situ ia mulai belajar dan praktik. Meskipun ilmu yang didapat hanya sedikit saat itu. Kemudian ia bertanya-tanya kepada suster mengenai bagaimana cara asuh, bagaimana cara gendong, dan Gambar 4. 1 Biang Rizki tinggal di Desa Baru Sumber : Dokumentasi Peneliti
97
bagaimana cara memberi makan bayi. Selain itu ia juga mengantar temannya aborsi di suatu tempat. Dari situ juga ia mengetahui bagaimana cara melakukan aborsi. Beberapa Biang yang menjadi informan peneliti masuk kategori Biang terlatih. Meskipun yang memberi pelatihan berbeda orangnya. Jika Biang yang sudah tua, mereka pertama kali diberi pelatihan mengenai persalinan dan perawatan bayi oleh dokter B. ia sempat bertugas sebagai dokter di puskesmas. Para Biang dikasih pelatihan sebanyak dua kali di puskesmas. Sedangkan selanjutnya dikasih pelatihan oleh bidan. Informasi yang diberikan saat pelatihan adalah cara memijit ibu hamil, cara mengatasi bayi saat lahir yang keluar kaki terlebih dahulu daripada kepala, dan cara memandikan bayi. Saat diberikan pelatihan oleh bidan, biasanya diadakan setai bulan di balai kecamatan. 4.1.1 Praktik Persalinan Para biang ini di Desa Baru dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu, Pertama, Biang dari umat Nasrani. Biang Nasrani ini berasal dari etnis Tobelo. Biang ini biasanya dan bahkan hanya melayani warga di Desa Baru yang beragama Nasrani. Kedua, Biang dari umat Islam. Biang ini dapat berasal dari etnis Tobelo dan juga etnis Buton. Biang muslim ini melayani masyarakat Tobelo dan Buton muslim yang berada di Desa Baru dan sekitarnya. Pembedaan berdasarkan agama ini sangat terasa sebagai dampak dari kerusuhan SARA yang bermula terjadi di Ambon kemudian merembet ke wilayah Maluku Utara. Gambar 4. 2 Seorang gadis sedang mencari kutu rambut di kepala saudaranya dengan menggunakan sembilu Sumber : Dokumentasi Peneliti
98
Para Biang ini sebelum diberikan pelatihan oleh tenaga kesehatan, sebenarnya sudah mulai membantu persalinan para ibuibu di Desa Baru. Mereka mengandalkan pengetahuan dan pengamatan oleh orang tua mereka yang dahulu juga menjadi Biang. selebihnya, mereka hanya mengandalkan insting saja. Alat-alat yang digunakan dalam membantu proses persalinan pun sederhana. Alat yang selalu dibawa Biang adalah bulu (bambu) atau gunting. Ada juga Biang di Desa Baru yang mempunyai peralatan lengkap. Sembilu yang ada pun selalu dirawat dengan bersih. Peralatan ini diwariskan oleh orang tuanya dahulu. Sayangnya, seperangkat alat tersebut sekarang tidak diketahui keberadaannya. Biang Nasrani atau Biang Neli juga merasa sedih karena peralatan untuk membantu persalinan hilang dan terbakar ketika ada kerusuhan SARA akhir tahun 2001 dulu. Seperangkat alat yang terbakar itu masih dalam kondisi bagus dan bisa digunakan dengan baik. Sekarang ini Biang Neli menggunakan peralatan seadanya. Persalinan dibantu oleh Biang merupakan sebuah tradisi yang sudah dilakukan sejak lama oleh masyarakat secara umum di Kecamatan Obi. Mama/Gia Biang dianggap mengetahui dan berpengalaman dalam menangani ibu yang akan melahirkan dan memberikan perawatan pada bayi. Karena setiap orang tidak selalu mengetahui bagaimana cara penanganan yang benar dalam membantu persalinan dan perawatan bayi. Menurut data dan hasil wawancara kami, setiap desa hanya ada 2 atau 3 Gia Biang yang bertempat tinggal menetap di desa tersebut. Mereka merupakan gia biang yang mempunyai ilmu dan pengetahuan diwariskan oleh orang tua terdahulu. Biasanya saat mendekati persalinan, ibu hamil dan Biang terus berkomunikasi secara intens. Jika sewaktu-waktu akan melahirkan, maka Biang akan siap membantunya. Kadang-kadang ia akan menunggui si ibu selama berjam-jam untuk menunggu kelahiran bayi. Kesiapsiagaan ini yang menjadi salah satu andalan Biang dan
99
merupakan suat hal yang diharapkan selalu oleh para ibu yang akan melahirkan.
Gambar 4. 3 Tim peneliti sedang mewawancarai biang Neli Sumber: dokumentasi peneliti
Saat proses persalinan berlangsung, Biang berusaha menolong ibu dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah didapatnya selama ini. Proses persalinan pun tidak selalu berjalan dengan mulus. Terkadang ada kendala teknis yang menyebabkan kesalahan dan akhirnya harus dibawa ke puskesmas atau rumah sakit agar mendapatkan penanganan lebih lanjut. Jika ada ibu yang sedang berjuang dalam proses melahirkan bayi. Keadaan bayi susah keluar, maka ia akan segera menanganinya. Awalnya ia akan melihat bagaimana posisi bayi dengan memegang perut ibu sambil memprediksi keadaan di dalam kandungan. Namun jika dirasa hal tersebut tidak berpengaruh, tidak jarang Biang akan melakukan aktivitas tiup-tiup ke ibu tersebut. Tujuannya tiup-tiup di sini adalah agar proses persalinan dipermudah dan tidak ada gangguan dari makhluk halus atau apapun. 4.1.2 Kepercayaan Swanggi yang mengganggu ibu hamil Ibu hamil memang harus menjaga kondisi kesehatan, baik kesehatan ibu maupun janinnya. Banyak pantangan dan aturan adat yang harus mereka patuhi. Pantangan berbuat suatu hal atau tidak 100
mengunjungi suatu tempat juga masih berlaku dalam masyarakat etnis Tobelo. Salah satu contohnya adalah ibu hamil tidak boleh mengintip di jendela atau jika mau keluar rumah tidak boleh keluar masuk pintu. Kalau jadi keluar rumah, seharusnya harus langsung saja keluar melalui pintu dengan pasti. Tidak keluar masuk seperti raguragu. Hal ini menurut budaya mereka mengatakan jika suka mengintip atau melihat sesuatu secara sembunyi-sembunyi di jendela atau keluar masuk pintu dengan ragu-ragu maka akan menyusahkan bayinya nanti. Bayi akan susah untuk keluar dari perut si Ibu. Namun tidak semua ibu melakukan pantangan tersebut. Mereka menjalani kegiatan sehari-hari tanpa adanya kekhawatiran akibat melanggar pantangan. Kebudayaan masyarakat Tobelo mengenal adanya gangguan ibu hamil yang disebabkan oleh setan atau lebih sering disebut Swanggi. Biasanya setan yang mengganggu berada di tempat-tempat tertentu, misalnya kebun dan laut. Ibu hamil yang berjalan sendiri menuju tempat yang jauh dari rumah merupakan salah satu sasaran dari gangguan setan. Jadi, orang-orang terdekatnya melarang ibu hamil untuk berjalan sendirian. Setidaknya jika ingin bepergian harus ada yang menemani. Jika ibu hamil berjalan sendiri ke hutan atau kebun, maka setan dapat menempel ke tubuh ibu tersebut. Biasanya mereka akan mengalami demam dan ada kalanya mereka selalu ada keinginan untuk kembali ke kebun. Karena pengaruh gangguan-gangguan dari setan tadi. Setan tidak hanya mengganggu ibu hamil. Namun bayi di dalam kandungan juga bisa diganggu. Bayi bisa bergerak-gerak diluar kendali bahkan bisa kontraksi sebelum waktunya. Mereka mempunyai sebutan tersendiri atau istilah local untuk masing-masing setan di suatu tempat. Setan yang bertempat tinggal di hutan dinamakan kuku panjang atau meki. Meki berbentuk seperti manusia yang memiliki badan besar dan tinggi. Seluruh tubuhnya berwarna hitam. Jika dia masuk dalam tubuh manusia, wajah orang tersebut akan berubah menjadi hitam dan seluruh badannya menjadi
101
pucat. Selama ada dalam tubuh manusia, dia akan mengusik kehidupan manusia. Setan kampung biasa dikenal dengan istilah fiu-fiu atau keka. Bentuknya seperti pocong dan suka menjelma menjadi manusia. Keka hanya ada di sekitar pemukiman masyarakat saja atau bisa jadi di dekat pohon kelapa. Karena sebagian besar rumah mereka dikelilingi pohon kelapa. Mereka sering pergi ke sekitar wilayah banyak tumbuh pohon kelapa dengan tujuan hanya mengambil kayu bakar atau kelapa. Jarak dari rumah ke wilayah tersebut tidak lebih dari 1 kilometer. Saat mereka tidak ingin mengambil kayu bakar untuk memasak di kebun atau hutan, mereka hanya mengambilnya di wilayah tersebut. Hal ini menjadi kesempatan keka untuk mendekati ibu hamil yang biasanya pergi sendirian karena jaraknya dirasa tidak begitu jauh dari rumah mereka. Mereka akan mengganggu ibu hamil sampai menjelang masa kelahiran. ibu hamil akan bermimpi tentang setan yang mengganggunya. Seolah-olah dalam mimpi tersebut, ibu hamil dikejar oleh setan. Kadang kala setan itu muncul di dalam atau samping rumah sehingga ibu hamil merasa kaget dan ketakutan. Kadang kala dia juga mengintip di dekat rumah mereka. Jika mereka hanya berdiam diri dan tidak bercerita kepada bapak pendeta, dia akan terus mengganggu. Bapak pendeta di sini berfungsi sembahyang agar dia tidak akan mengganggu dan tidak ada datang kembali. Laut juga merupakan daerah yang dijangkau oleh setan. Bentuk dari setan laut ini adalah gurita raksasa. Ketika dia muncul, maka laut akan terang. Kapal yang melintas terkadang dijerat oleh kaki gurita dan membuat seluruh isi kapal hancur termasuk manusia di dalamnya. Dia juga kadang kala mendekat ke tepi pantai. Untuk itu bagi ibu hamil tidak boleh sering dan dalam kondisi sendirian pergi ke pantai. Harus ada seorang yang menemani dan menjaganya dari ancaman gurita raksasa. Hal ini juga menghambat proses persalinan yang harus dilakukan di puskesmas. Sebab mereka harus melewati jalur laut
102
untuk menuju ke sana. Mereka menjadi khawatir akan terjadi sesuatu pada ibu hamil. Terutama ibu hamil yang sedang mengalami penyakit lever atau masyarakat biasa mengenalnya dengan istilah penyakit kuning. Penderita penyakit ini tidak bisa terkena air asin. Solusinya adalah mereka harus minum obat puskesmas yang dijual di kios dan berdoa sejenak. Kemudian mereka bisa dibawa ke puskesmas menggunakan katintin. Saat melahirkan tiba, ibu akan mengalami kesusahan dalam mengeluarkan bayi di perutnya. Biasanya suaminya akan memanggil pendeta untuk meminta bantuan dan doa-doa. Kemudian Pendeta akan melakukan sembahyang dan membaca doa-doa. Kemudian bapak pendeta membisikkan kata-kata dan mengoleskan bawang putih ke kepala, siku tangan dan kaki. Maka setan akan keluar dan persalinan dapat berjalan dengan lancar. Kasus ini juga pernah terjadi di Dusun Tabuji (Dusun IV) Desa Baru. Satu hari sebelum melahirkan, ibu A sempat kejang-kejang dan mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. Peristiwa ini terjadi sekitar pukul 13:00 WIT dan membuat orang-orang yang ada di kamar tersebut takut dan pergi semua kecuali Biang yang menemani si Ibu. Satu jam kemudian, tetangganya memanggil majelis gereja dan Pendeta untuk dikasih sembahyang. Saat majelis datang, ia langsung melaksanakan sembahyang. Akhirnya pada pukul 15:00 WIT Si Ibu A akhirnya dapat sadarkan diri. Kemudian Si Ibu A dapat menceritakan apa yang baru terjadi dalam dirinya. Ibu A mengaku bahwa dia melihat almarhum ayahnya yang sudah meninggal lama datang ke rumahnya dan berdiri di dekat pintu. Keesokan harinya, ia melahirkan bayinya dengan lancar. Menurut salah satu informan mengatakan bahwa ibu A sebelumnya juga pernah mengalami kejadian yang sama pada tahun 2013. Sekarang peristiwa itu terjadi lagi dan membuat orang-orang sekitar menjadi takut. Kasus lain yang menyangkut hilangnya nyawa bayi terjadi di Dusun Tabuji. Seorang ibu hamil hampir setiap hari pergi ke kebun karena memang pekerjaan utamanya adalah petani kebun. Tanpa
103
disadari, ada meki yang menempel ke badan ia dan sepanjang perjalanan menuju rumah, ia juga diikuti oleh keka. Selama hamil, ia tidak merasakan ada yang aneh dengan badan ia maupun bayinya. Saat melahirkan, bayi yang keluar aneh. Wajahnya menghitam dan tangannya berwarna biru. Bayinya pun dibawa ke puskesmas, namun sesampai di puskesmas bayinya meninggal dunia. Menurut petugas kesehatan di puskesmas, penyebab bayi tersebut meninggal dunia adalah keracunan. Namun menurut sejumlah orang di sekitar rumah ia, penyebabnya adalah setan yang memakan bayi tersebut dalam kandungan. Jadi, saat keluar sudah tidak berbentuk anak. Peneliti sempat mengkonfirmasi kejadian ini kepada ibu yang bersangkutan. Berikut pernyataan dari ia : “bayi ngohi su meninggal ee itu hitam. Kayak ada bekasnya di seluruh tubuh begitu. Baru bekas cakar-cakaran karena campuran setan hutan dan setan kampung to. Jadi bekas cekaran ee di badannya. Tangannya diangkat begini su lemah. Su tra da to. Depe leher patah. Sampai lahir. Saya bilang adek su meninggal, so bawa trus kasih keluar. Kalo dokter bilang bayi ngohi ada keracunan. Tapi saya tra makan apa-apa sebelumnya.”
Artinya bayi meninggal dunia sudah berwarna hitam. Kayak ada bekas cakaran dari setan hutan dan setan kampung. Bekasnya itu ada di badan si bayi. Ketika tangan si bayi diangkat sudah lemas. Jadi ia berpikir kalau anaknya sudah meninggal dunia. ia bilang ke adiknya bahwa bayinya meninggal dunia. Kemudian dibawa keluar dan dibawa ke puskesmas. Menurut dokter di puskesmas penyebab kematian bayinya adalah keracunan, padahal sebelumnya tidak makan apa-apa. Untuk mengenang bayinya, ia mendokumentasikan di telpon selulernya. Sekarang foto tersebut sudah tidak ada. Menurut adiknya, foto itu dihapus karena takut trauma melihat foto tersebut. Jika bayinya hidup, umurnya sekarang adalah empat tahun dan berjenis kelamin perempuan.
104
Ibarat manusia yang akan makan makanan, setan juga sudah mengincar korbannya. Misalnya, ibu D sedang berbaring sendirian di kamar tidur. Kemudian setan datang mendekat ke ibu D karena mencium darah segarnya. Saat sudah dekat dengan ibu D, datanglah ibu H untuk menengok keadaannya. Namun apa daya, saat di depan pintu kamar ibu H, ia dibuat tidak bisa mengeluarkan suara dan hanya bisa diam di tempat. Aksi setan berjalan lancar dan ibu H hanya bisa menyaksikannya. Setelah aksinya selesai dan setan kabur dari kamar tersebut. Ibu H baru bisa bicara dan langsung menghampiri ibu D. Setan tidak hanya suka dengan darah segar ibu hamil atau bayi, namun jantung dan hati juga bisa menjadi sasarannya. Setan juga tidak menghampiri ibu yang sedang mengandung, namun ibu nifas bisa menjadi korbannya. Biasanya ibu nifas dengan keadaan kotor akan menjadi korbannya. Untuk itu, orang tua biasanya memberi mandi dan doa untuk anaknya agar terhindar dari gangguan setan. Sebenarnya hal ini bisa diantisipasi jauh-jauh hari yaitu dengan sering membuat perapian dan menghamburkan garam ke sekitar rumah. 4.1.3 Jimat yang digunakan ibu hamil Alternatif lain untuk menghindari adanya gangguan setan yang ada di hutan, di kampung maupun di laut selain meminta tolong bapak pendeta atau majelis untuk sembahyang, biasanya ibu hamil memakai jimat sebagai penangkalnya. Jimat ini menggunakan bahan-bahan yang ada di dapur berupa bawang putih dan kuning. Pemakaian jimat dilakukan saat ibu hamil berjalan keluar rumah. Sedangkan jimat tidak wajib digunakan di dalam rumah. Karena mereka merasa aman dan tidak ada setan yang akan mengganggunya. Mereka biasanya memakai jimat tersebut di pinggang. Contoh jimat yang dipakai adalah bawang putih. Ambil bawang putih satu siung dan bungkus dalam kain. Kemudian dipasangkan memakai peniti pada bagian pinggang. Untuk menghindari adanya gangguan setan yang ada dihutan maupun di laut, biasanya ibu hamil memakai jimat sebagai penangkalnya. Bahan yang dipakai berupa bawang putih dan kuning. Pemakaian
105
jimat dilakukan saat ibu hamil berjalan keluar rumah. Mereka biasanya memang jimat tersebut di pinggang. Contoh jimat yang dipakai adalah bawang putih. Ambil bawang putih satu siung dan bungkus dalam kain. Kemudian dipasangkan memakai peniti pada bagian pinggang. Setelah itu baru ibu hamil boleh keluar rumah. Bawang putih dijadikan jimat karena setan tidak suka dengan bau yang dikeluarkan oleh bawang putih. Jadi setan akan menghindari ibu hamil yang memakai bawang putih. 4.1.4 Proses membantu persalinan Persalinan dapat terjadi kapan saja dan di mana pun, baik pagi, siang , sore maupun malam. Bagi seorang Biang melakukan persalinan kapan pun, ia selalu siap. Biasanya dua hari atau satu hari sebelum persalinan, ia memantau perkembangan ibu hamil. Bahkan jika sudah mulai menandakan bayi akan keluar, ia akan menunggu hingga mulut rahim sudah mulai terbuka. Menurut penguturan dua Biang bahwa melahirkan pagi, siang, sore dan malam tidak ada masalah. Mereka merasa tidak ada beda melakukan persalinan terkait waktunya. Tapi menurut salah satu Biang, waktu lahir bayi yang bagus adalah sore hari. Jika bayi yang lahir sore hari artinya dia pemberani dan bagus. Sebenarnya ada perbedaan waktu dalam bantu persalinan. Jika bantu persalinan pada pagi, siang dan sore dapat terbantu oleh sinar matahari yang masuk ke rumah atau adanya pantulan sinar matahari dari lingkungan sekitar rumah. Perrsalinan lebih mudah dilakukan meski penglihatan Biang sudah tidak begitu jelas. Sinar matahari sudah cukup membantunya. Apabila persalinan saat malam hari, maka keluarga memerlukan tenaga dan biaya ekstra. Hal itu disebabkan karena keterbatasan listrik yang ada di tempat tersebut. Tabuji merupakan salah satu dusun di Desa Baru. Letaknya terpisah sendiri dari dusun-dusun lain. Dusun ini tidak memiliki kebutuhan listrik yang mencukupi. Jika ingin menggunakan listrik,
106
maka warga harus memiliki genset atau nebeng listrik ke rumah tetangga yang memiliki genset. Mereka yang memiliki genset hanya sedikit orang dan hanya dipakai malam hari. Listrik yang menyala pun tidak bertahan lama. Biasanya listrik menyala dari jam 18:00 sampai jam 22:00. Sebagian besar dari mereka menggunakan poci (lampu sumbu minyak). Jika ada persalinan pada malam hari di dusun Tabuji dan pemilik rumah tidak menggunakan listrik, maka si Biang menggunakan alat penerangan seadanya. Tetapi biasanya ia sudah membawa alat penerangan sendiri, seperti senter, lampu gas (petromas), dan poci. Dengan kondisi penglihatan yang sudah tidak begitu jelas, ia berusaha melakukan persalinan. Ada satu peristiwa di Dusun Tabuji saat menjelang kelahiran bayinya. Pemilik rumah tidak memiliki alat penerangan apapun. Sedangkan istrinya sedang dalam proses persalinan. Suami akhirnya meminjam poci dari tetangga untuk mempermudah penerangan istrinya yang sedang melahirkan. Tetapi beruntung si Biang sudah membawa senter untuk cadangan jika tidak ada penerangan di rumah tersebut. Sesampai suami berhasil mendapatkan poci, ternyata bayi berhasil keluar dari rahim ibu. Menurut cerita Biang, keluarga tersebut memang tidak memiliki alat penerangan dan belum ada persiapan untuk persalinan. 4.1.5 Tradisi tiup-tiup Penyembuhan penyakit bisa dilakukan dengan cara modern maupun tradisional. Cara modern akan mengarah ke obat-obat kimia serta tenaga kesehatan beserta alat -alat berteknologi canggih. Sedangkan cara tradisional akan merujuk pada tanaman yang tumbuh di sekitar atau menggunakan media, baik benda alam atau baca-baca doa. Metode tiup-tiup merupakan salah media untuk menyembuhkan suatu penyakit atau mengusir roh yang ada dalam tubuh manusia. Metode ini sudah dilakukan dari nenek moyang dan
107
diwariskan ke keturunan-keturunannya. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melakukannya karena terkait doa yang dibacakan. Doa yang dibacakan menggunakan bahasa Tobelo atau bahasa lokal. Tiup-tiup dikenal ampuh menyembuhkan segala penyakit, terutama anak kecil. Kalau ada anak kecil atau bayi menangis tanpa sebab. Kemudian menunjukkan tidak gejala-gejala sakit, biasanya anak tersebut dibawa ke Biang. Menurut salah satu Biang yang memberikan informasi bahwa ia pernah memberikan pengobatan tiup- tiup ke anak. Berikut adalah pernyataan dari ia: “Ada orang dari kapal sabuk nusantara akan datang ke dusun 1. Kemudian Biang disuruh jemput di pelabuhan. Padahal ada mama dan bapaknya. Tapi Biang Min yang disuruh jemput. Katanya di kampungnya tu nangis sampe di kapal juga menangis. Terus bapaknya telepon saya untuk minta jemput anaknya karena anaknya menangis terus. Terus saya yang ambil di kamar. Neneknya juga ga berani. Saya yang naik dan ambil. Nenek ga berani ambil karena cucunya menangis terus. Terus saya ambil anak itu dan tiup-tiup dulu di kepalanya, hindari angin-angin yang lewat. Terus saya ambil anak itu lama di kamar kapal. Saya bersama anak itu lama sekali. Anak itu akhirnya berhenti menangis dan mereka turun dari kapal. Terus mau dikasih ke neneknya tapi neneknya melarang dan menyuruh saya untuk membawa cucunya sampai rumah. Sesampai di rumah, saya memasang ayunan dan anaknya dimasukkan ke ayunan tersebut sampai tertidur sampe mandi kemarin dan saya baru pulang. Dan rewel lagi tadi pagi terus bapaknya lewat. saya bertanya kepada bapaknya, “bagaimana dedek?” bapak menjawab bahwa anaknya sudah tidak menangis. Anaknya tidak sakit. Kalo orang disini masih ada tradisimya atau bagaimana itu yang suka lewat godain-godain”. “Terus dia tu suka menangis. Dikasih ayunan juga menangis terus matanya kayak mata tinggi gitu (mata tiba -tiba melihat ke atas dengan kaget). Itu sering ada kayak ada yang gangguin gitu. Kita harus kasih antinya tho. Misal kayak sakit, kita kasih obat dulu”.
108
4.1.6 Obat tradisional yang digunakan ibu nifas Selama masa nifas, ibu melakukan perawatan untuk memulihkan kesehatannya. Perawatan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah minum ramuan tradisional yan g dibuat oleh Biang. Ramuan tradisional oleh masyarakat Tobelo dikenal dengan nama rorano. Ramuan ini terdiri dari tanaman yang ditumbuh di pekarangan. Tanaman yang digunakan antara lain : 1) Daun turi. Cara pengolahannya adalah campuran daun turi ditumbuk, diperas, kemudian diminum. Minum air sari daun turi ini setelah satu minggu melahirkan. 2) Jika masa nifas telah masuk bulan kedua atau ketiga, ibu dianjurkan untuk minum kuning (kunyit) dan daun mayana yang ditumbuk. Kemudian diperas dan diminum sebanyak 3 kali. Misalnya minggu pertama, minum rorano ini sebanyak 2 kali. Setelah itu pada minggu kedua, minum rorano sebanyak satu kali. Minum perasan daun mayana terlalus sering tidak boleh karena menurut mitos yang beredar daun mayana dapat menghambat seorang wanita untuk hamil atau tidak bisa hamil. 3) Daun solasi dicampur dengan daun belantas lalu ditumbuk dan diperas. Setelah itu, mengambil air sarinya untuk diminum. Campuran kedua daun ini dipercaya dapat mempercepat pengeringan luka di dalam kandungan.
Gambar 4.4 Daun beluntas Sumber: dokumentasi peneliti
109
Gambar 4.5: Daun solasi Sumber : www.stuartxchange.com/Balanoy/.html
4.1.7 Promosi KB (Keluarga Berencana) KB merupakan istilah yang sudah tidak asing untuk ibu-ibu maupun bapak-bapak di Desa Baru. Mereka mendapatkan informasi mengenai KB dari keluarga maupun orang-orang sekitar. Ketika ibu memeriksakan kehamilannya, kadang kala diberikan informasi mengenai KB. Kesadaran akan menggunakan KB setelah melahirkan sudah cukup tinggi. Biang kadang-kadang memberi nasihat kepada ibu yang baru melahirkan untuk memakai KB. Namun sayangnya, gerakan ini tidak didukung oleh para bidan. Menurut pengakuan salah satu bidan puskesmas bahwa memang tidak ada kerja sama antara bidan dan Biang. Jadi mereka memakai KB atas kemauan diri sendiri. Padahal potensi Biang sebagai perantara promosi KB sangat tinggi. Mengingat kedekatan yang dimiliki oleh ibu-ibu dengan Biang. Biang sudah melekat dan mendapatkan kepercayaan dari mereka. Sehingga apabila Biang ikut serta dalam mempromosikan KB, niscaya mereka akan mendapatkan informasi cukup tentang KB. Promosi KB yang dilaksanakan terutama KB implant karena masih sedikit penggunanya. Tujuan promosi ini juga agar mematahkan pendapat yang selama ini didengar oleh masyarakat. Jika mereka menggunakan KB implant, jarum yang tertanam di lengan atas bisa lari ke bagian tubuh lain dalam pemakaian bertahun-tahun. Jadi mereka takut kalau
110
jarum tidak ditemukan dalam tubuh mereka atau tidak tetap menempel di lengan atas. Jika Biang diajak kerja sama dengan bidan dengan cara memberikan pengetahuan mengenai KB implant. Ia juga sesekali waktu ikut terjun langsung dalam mempromosikan KB implant misal acara posyandu. Dengan demikian, tidak hanya ibu-ibu saja yang proaktif dalam menggunakan KB, tetapi juga Mama Biang yang menjadi panutannya. Hal yang lebih penting adalah perhatian dari bidan juga menjadi satu salah tolak ukur penilaian tenaga kesehatan di desa Desa. Salah satu Biang pernah memakai KB implant dapat menjadi salah satu contoh untuk ibu-ibu bisa memakai KB implant. Hingga sampai sekarang pun kondisi ia baik. Karena KB implant cukup efektif memberi jarak atau mengurangi jumlah anak dalam keluarga. Karena faktor usia atau terlalu lama menunggu masa aktif KB habis, jadi mereka enggan menambah anak lagi.
Gambar 4.6: Kartu KB Sumber : dokumentasi peneliti
4.1.8 Keterlibatan Biang dalam posyandu Biang sudah lama dijadikan sebagai salah satu anggota kader posyandu. Peristiwa ini memang hanya terjadi di Obi saja. Aturan ini berlaku sejak tahun 2008. Tujuan Biang menjadi salah satu anggota kader adalah agar masyarakat terutama ibu-ibu termotivasi untuk datang ke posyandu. Dulu ibu-ibu jarang yang mau pergi ke posyandu karena takut anaknya demam. Kini pendapat tersebut sudah hilang di
111
kalangan ibu-ibu. Mereka sudah aktif membawa balitanya pergi ke posyandu. Menurut penuturan salah satu Biang yang menjadi anggota kader, ia menjadi kader selama 10 tahun. ia direkomendasikan oleh ketua kader kepada puskesmas untuk menjadi salah satu kader posyandu. ia juga memenuhi syarat untuk menjadi seorang kader. Dalam posyandu terdapat pergantian tugas masing-masing meja. Tujuannya adalah setiap kader mengetahui tugas masingmasing meja. Pergantian tugas ini dilaksanakan sejak tahun tahun 2008. Jadi semua kader pernah merasakan tugas masing-masing meja kecuali ia. ia mendapatkan tugas bagian penimbangan bayi dan balita.Alasan ia bertahan menjadi kader posyandu adalah ia ingin melihat perkembangan ibu dan balita. Meski tidak selalu membantu persalinan atau merawat bayi, ia masih dapat memantaunya melalui posyandu. Perhatiannya tidak lain ia mengingat pada cucu dulu. Cucunya sekarang sudah berumur 8 tahun.
Gambar 4. 7. Biang sedang menimbang berat badan balita Sumber : dokumentasi peneliti
4.1.9 Persalinan yang dilakukan di rumah Para ibu dari etnis Tobelo yang ada di Desa Baru Kecamatan Obi ini lebih memilih untuk melahirkan bayinya di rumah. Dari segi geografis sebenarnya letak Desa Baru masih bisa dan mudah untuk mengakses fasilitas dan tenaga kesehatan. Akses jalan darat sudah bagus dan sarana komunikasi pun sudah menjangkau daerah ini. Namun yang unik dan perlu dikaji adalah, Dusun IV (Dusun Tabuji) yang secara geografis terpisah dengan Desa Baru. Jarak 8,5 Km dan
112
dibatasi dengan hutan dan kebun sehingga akses ke Dusun Tabuji sangat susah. Warga hanya mengandalkan jalur laut dengan kating ting. Jika warga Tobelo di Dusun Tabuji ini tidak mempunyai uang untuk membeli bahan bakar (bensin) maka biasanya mereka berjalan kaki menuju Desa Baru. Banyak faktor yang menyebabkan para ibu ini lebih memilih melahirkan di rumah daripada di puskesmas atau rumah sakit. Berikut ini beberapa alasan mereka : a. Rasa nyaman jika melahirkan di rumah sendiri. Para ibu-ibu etnis Tobelo masyarakat Desa Baru ini merasa lebih nyaman jika dapat melahirkan di rumahnya. Mereka sudah beranggapan bahwa rumah mereka adalah kawasan privacy mereka. Hal ini belum mereka temukan jika mereka berada di ruangan atau kamarkamar di Puskesmas atau Rumah Sakit. b. Keterlibatan orang-orang terdekat. Jika melahirkan di rumah maka suami atau orang tua dari si Ibu dapat menemani dan berada di sisi ibu dalam proses kelahiran. Bahkan kita dapat merasa aman jika orang-orang yang sudah dikenal dekat ini berada di samping kita. Sedangkan jika melahirkan di rumah sakit, terdapat aturan dan pembatasan orang-orang yang dapat masuk ruang bersalin untuk menemani proses kelahiran. c. Percaya diri dan merasa dihargai. Jika ibu melahirkan di rumahnya sendiri otomatis akan memunculkan rasa percaya diri. Si ibu merupakan tuan rumah dari lingkungan rumah yang telah dia tinggali lama. Rasa percaya diri ini mampu mendorong kesiapan dia untuk melahirkan. Selain itu, jika di rumah tenaga kesehatan atau Biang (dukun bersalin) yang membantu proses persalinan mempunyai hubungan dan ikatan emosional yang terbangun secara seimbang. Namun jika melahirkan di ruangan Puskesmas kadang para ibu suka diomeli oleh bidan dan tenaga kesehatan lainnya. Sikap cerewet bidan dapat mengganggu mood si ibu, sehingga si ibu tidak merasa dapat berteriak atau melahirkan dengan nyaman dan percaya diri.
113
d.
e.
Jika melahirkan di rumah, maka kemungkinan besar ditemani oleh Biang dalam proses kelahiran. Proses melahirkan serasa lebih mudah karena Biang membantu dengan sepenuh hati. Selain itu Biang juga memberikan doa-doa dengan tiup-tiup yang mampu menenangkan si Ibu. Jika bidan belum datang maka Biang sudah siap berada di samping ibu. Biang menjadi orang yang penting dalam proses kelahiran bayi ini. Melahirkan di rumah dengan bantuan Biang menjadi cara yang dipilih para Ibu ini karena jasa Biang ini bisa dibayar dengan bayaran seadanya. Bahkan bayaran untuk Biang dapat dicicil. Selain itu Biang juga telah merawat dari proses kehamilan, kelahiran dan pasca melahirkan. Biang bisa merawat si Ibu dan bayi sampai dengan hari ke 40 usia bayi. Jadi jika si Ibu dan keluarganya tidak mempunyai tabungan dan uang maka mereka memilih melahirkan dengan dibantu oleh Biang yang selama ini telah merawat dan memijitnya. Sekedar informasi, masyarakat Tobelo mempunyai stereotype sulit untuk mengatur keuangan. Mereka belum terbiasa untuk menabung. Jika hari ini mendapatkan uang lebih maka hari itu pula mereka habiskan uang tersebut. Oleh karena itu mereka lebih suka menggunakan jasa Biang karena pembayarannya dapat dicicil di kemudian hari. Bahkan yang sering terjadi, jika ada anggota keluarga ada yang akan melahirkan atau tiba-tiba dirawat maka yang mereka melakukan adalah menjual barang-barang berharga yang saat itu mereka punya. Tidak jarang mereka membayar jasa kesehatan kepada bidan atau mantri dengan hasil kebun atau batu bacan karena mereka tidak mempunyai uang.
4.1.10 Jumlah anak yang dimiliki oleh keluarga etnis Tobelo Selain itu, pertumbuhan anak-anak di sini juga tergolong cukup buruk. Hampir setiap kepala keluarga mempunyai riwayat anak atau bayi mereka yang meninggal selama masa pertumbuhan hidupnya. Ajaran agama mereka juga menganjurkan untuk mempunyai anak yang banyak. Masyarakat Tobelo baik yang beragama Nasrani maupun 114
Islam menikah dengan usia pengantin relatif di bawah 20 tahun sehingga pasangan keluarga ini masa yang cukup lama (sekitar 25 tahun) untuk masih hamil. Fakta di lapangan, banyak rumah etnis Tobelo ini yang unik dimana menantu dalam kondisi hamil dan si Ibu mertua juga dalam kondisi hamil. Bahkan kami juga menemui keluarga yang terdiri dari cucu, menantu dan ibu mertua dalam kondisi hamil yang berbarengan. Mayoritas setiap rumah mempunyai ayunan yang terbuat dari kain. Ayunan ini dililitkan pada kayu atap. Ayunan untuk bayi atau balita ini biasanya dipasang di ruang tamu atau di dapur.
Gambar 4. 8 ayunan tradisional untuk bayi yang ditaruh di ruang keluarga atau di teras rumah Sumber : Dokumentasi Peneliti
Pengetahuan masyarakat Desa baru mengenai alat kontrasepsi sebenarnya sudah mereka pahami. Mereka juga sudah memakai KB Implan namun pihak keluarga mereka masih menghendaki jumlah anak yang banyak. Mereka masih beranggapan anak membawa rezeki dan mempunyai garis kehidupan sendiri. Mereka berharap jika anak mereka banyak maka mereka tidak merasa kesepian. Hal ini mereka rasakan karena sepanjang hari mereka mempunyai banyak waktu luang. Listrik baru ada ketika menjelang malam sampai pagi hari. Siang hari, di tengah terik suasana desa pesisir mereka biasanya bersantai di pos depan rumah sambil mengawasi anak-anak mereka bermain. Selain itu jika, beberapa anak yang sudah dewasa pergi ke kebun,
115
maka masih adan anak yang lain dapat menemani tinggal di rumah. Keputusan untuk menambah jumlah anak sebenarnya tergantung dari keputusan dari pihak suami, sedangkan pihak istri hanya mengikuti dan setuju dengan kehendak para suami. 4.2. Rumah Tunggu Kelahiran Rumah tunggu kelahiran juga ada di Kecamatan Obi. Rumah Tunggu Kelahiran ini berada di Puskesmas Gugus Obi tepatnya di desa Laiwu. Rumah Tunggu Kelahiran adalah suatu tempat atau ruangan yang berada dekat fasilitas kesehatan (RS, Puskesmas), yang dapat digunakan sebagai tempat tinggal sementara ibu hamil dan pendampingnya (suami/kader/dukun atau keluarga) selama beberapa hari, saat menunggu persalinan tiba dan beberapa hari setelah bersalin. Kriteria Sasaran yang berhak berada di Rumah Tunggu Kelahiran yaitu Ibu hamil, bersalin dan nifas (dengan atau tanpa faktor resiko) yang sulit mendapatkan akses ke fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan status kesehatannya (mis: daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan) Berikut ini beberapa manfaat adanya Rumah Tunggu Kelahiran yang ada di Kecamatan Obi,antara lain: 1. Meningkatkan cakupan program kesehatan ibu 2. Meningkatkan akses masyarakat Obi kepada pelayanan kesehatan ibu oleh tenaga kesehatan 3. Memudahkan deteksi dan tata laksana dini komplikasi maternalneonatal 4. Mendukung sistem dan pelayanan rujukan maternal-neonatal di kecamatan Obi 5. Mendorong kemitraan dengan lintas sektor di Pulau Obi 6. Mendorong keswadayaan masyarakat dan dukungan Pemda untuk program kesehatan ibu
116
Berikut ini kriteria tempat untuk dijadikan sebagai rumah tunggu kelahiran termasuk di Desa Laiwui, Kecamatan Obi: 1. Rumah tunggu kelahiran dapat merupakan sebuah rumah atau suatu ruangan yang merupakan bagian dari rumah dan bangunan lain 2. Rumah tunggu kelahiran dapat juga dipilih dari rumah keluarga atau rumah kerabat ibu hamil, asalkan jaraknya dekat dengan fasilitas kesehatan serta transportasinya mudah. 3. Untuk pemilihan rumah tunggu kelahiran ini, perlu diperhatikan kelayakan huni bagi ibu hamil dan pendampingnya, dimana terdapat ruangan untuk tidur dan kamar mandi serta air bersih.
117
118
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola berperilaku masyarakat Tobelo dapat diketahui bagaimana mereka masih mempergunakan adat dan mempercayai tokoh adat yang ada. Tokoh adat masih berperan kuat dalam memberikan informasi dan pengetahuan terkait tentang hal-hal budaya kesehatan. Sebagai contoh, pengetahuan tentang pola perkawinan dan kekerabatan yang ideal dalam Masyarakat Tobelo, seperti kriteria perkawinan lari, lamaran perkawinan dan besaran mas kawin. Pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tobelo di Desa Baru dapat diketahui dengan melakukan pengamatan. Pengamatan ini kemudian dilanjutkan dengan wawancara mendalam tentang apa yang menjadi alasan hal itu boleh dan tidak boleh dilakukan dan apa yang menjadi konsekuensi adatnya. Salah satu contoh, penghargaan terhadap diri orang secara sosial ditandai dengan larangan menyebut atau memanggil nama aslinya tatkala sudah dewasa. Masyarakat Tobelo ternyata lebih hafal dengan meamnggil seseorang dengan nama panggilan atau nama dari anak pertama yang dilahirkan. Jika memanggil dengan nama asli maka akan terkesan kurang menghormati orang tersebut. Kemampuan peneliti dalam memahami bahasa daerah menjadi kekuatan penting dalam menggali informasi tentang budaya masyarakat Tobelo. Perjumpaan selama 40 hari tentu bukanlah hal yang cukup. Namun demikian, hal itu sangat terbantu dengan kehadiran bapak tokoh adat, perangkat desa, asisten peneliti dan beberapa warga yang dapat memahami bahasa Indonesia. Kebiasaan ini juga menjadi langkah untuk menggali pengetahuan tentang nilai dan norma sosial masyarakat, terutama terkait dengan budaya dan perilaku kesehatan. Kebiasaan untuk
119
menggunakan air tawar untuk memasak bagi masyarakat Tobelo di Dusun Tabuji, Desa Baru menjadi sebuah pemahaman lokal. Sebagai pengetahuan untuk hidup sehat, dimana air di sumur sampir rumah kurang jernih, payau dan sedikit berbau sehingga hanya cocok untuk mandi saja. Kebiasaan minum teh dari air tawar yang mendidih telah dibangun dan dikonsepsikan dari pengetahuan bahwa air sungai adalah bersih dan hidup. Secara kasat mata, mereka membangun pengetahuan atas dasar tanda-tanda kejernihan dan tidak berbau. Kebiasaan-kebiasaan positif ini yang pada akhirnya yang membentuk sebuah pengetahuan lokal dalam memahami kesehatannya. Temuan di lapangan, dimana di Desa Baru terdapat banyak bayi dan anak-anak sebagai wujud bahwa angka kelahiran sangat tinggi. Dari perspektif budaya, terdapat hubungan dimana angka perkawinan juga tinggi. Banyak hal yang menjadi pemicu diantaranya adalah angka kehamilan di luar nikah yang tinggi. Kehamilan di luar nikah menjadi hal yang biasa ketika aturan adat sudah mulai lemah. Pergaulan anak-anak muda yang terlampau bebas dan melanggar norma agama dan norma adat sebenarnya juga dapat dianalisa sebagai sebuah bentuk pemberontakan terhadap aturan adat pernikahan yang rumit dan mahal. Mereka menjadi berpacaran tanpa restu dari kedua orang tua, dan pada akhirnya lebih memilih kawin lari atau kehamilan di luar nikah. Dengan jumlah anak yang tidak direncanakan, keluarga memiliki tanggung jawab yang besar. Jenis kelamin yang ideal secara budaya, yaitu sepasang anak laki-laki dan anak perempuan, dapat juga menjadi motivasi mereka untuk kemudian hamil lagi. Hal itu terkait dengan konsep budaya dan di dalam ajaran agama mereka bahwa anak adalah pemberian dari Tuhan. Perempuan Tobelo pun sebenarnya tidak sependapat dengan jumlah anak yang tidak dibatasi. Mereka pun mempunyai pengetahuan lokal yaitu menggunakan ramuan tradisional untuk membatasi kehamilan. Namun, keberhasilannya perlu diuji secara ilmiah di laboratorium. Jumlah anak juga terkait dengan pengetahuan
120
budaya dan lingkungan sekitarnya. Bahwa mereka memiliki tanah yang luas. Masyarakat Tobelo akan merasa bangga jika mempunyai kebun dan tanah yang luas. Selain itu, mereka juga mengikuti ajaran dalam kitab suci Injil yang menyatakan agar berkembang biak (berketurunan) serta penuhi seluruh muka bumi. Pola pikir yang masih berpikir dengan keadaan masa sekarang juga menjadi pandangan hidup masyarakat Tobelo. Pandangan hidup seperti ini membuat mereka tidak merasa khawatir terhadap kehidupan di masa depan. Kondisi obyektif dari budaya lokal dan nilainilai agama ini berakibat pada tidak ada pembatasan jumlah anak. Sebagai konsekuensinya, jumlah anak yang berlebih dalam satu keluarga berakibat pada dua hal. Pertama, asupan gizi menjadi terbatas. Kedua, perhatian terhadap anak terkait dengan masalahmasalah kesehatan dan sosialisasi budaya juga terbatas. Kematangan berpikir pasangan suami istri pun juga masih kurang sehingga sangat berhubungan dengan fenomena akibat dari perkawinan usia dini, bukan karena secara adat, tetapi akibat perilaku seks pra nikah. Pasangan suami istri yang menikah di usia dini ternyata tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kesehatan terutama kesehatan ibu dan anak. Selain dirinya, bayi dirawat oleh nenek atau anggota kerabat lainnya. Nenek atau anggota kerabat lain juga memiliki pendidikan yang rendah dan pengetahuan kesehatan yang terbatas dalam merawat bayi. Selain itu keberadaan Biang (dukun bersalin) hanya mampu merawat pada saat kehamilan dan kelahiran bayi saja. Begitu pun juga jika kondisi bayi susah dan mengalami masalah dalam kelahiran maka tindakan selanjutnya diserahkan kepada tenaga kesehatan di desa setempat. Selain itu transfer knowledge dari Biang ke Biang yang merupakan generasi penerusnya pun tidak selalu berjalan mulus. Ada beberapa aturan adat, dimana seorang biang masih menyimpan rahasia ilmu-nya dan tidak berkenan untuk diwariskan kepada anak-cucunya sebagai pewaris biang selanjutnya. Akibatnya, beberapa Ibu-Ibu etnis Tobelo yang kemudian
121
mendapatkan gelar sebagai Biang, umumnya mendapatkan keahlian dan pengetahuan berdasarkan pengalaman saja (learning by doing). Kondisi kesehatan ibu dan bayi ini semakin memprihatinkan tatkala lembaga pendidikan formal pada kenyataannya diselenggarakan dengan secara minimalis. Kualitas pendidikan dasar dan menengah masih rendah. Anak-anak lebih suka diajak orang tuanya ke kebun daripada bersekolah. Demikian juga dengan yang masih bayi, bila tidak ada yang membantu merawat, bayi itu diajak ke ladang selama berminggu-minggu. Anak-anak usia sekolah menjadi bersekolah dan tinggal di gubuk yang memprihatinkan dan sangat sederhana. Kebudayaan tidak saja terdiri dari pola untuk berperilaku (pattern for), tetapi juga pola perilaku (pattern of). Sebagai pola untuk berperilaku, kebudayaan berisi nilai dan norma sosial yang mengikat seluruh anggota menjadi satu komunitas. Nilai dan norma sosial itu diwariskan dari satu generasi ke generasi melalui proses pembudayaan (enculturation), yaitu sosialisasi dari usia sejak dini hingga akhir hayatnya. Sementara itu, kebudayaan sebagai pola perilaku berisi tentang kebiasaan yang dilakukan dalam keseharian warga masyarakat tersebut. Kebiasaan-kebiasaan itu bersifat fluktuatif bergantung pada konteks dan masyarakatnya. Pengetahuan kesehatan yang tidak memadai juga menjadi salah satu faktor penting dari berbagai penyebaran penyakit di masyarakat Tobelo. Beberapa tahun yang lalu, beberapa masyarakat Tobelo melakukan migrasi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi, yaitu mencari dan menjual kayu gaharu. Migrasi ini telah menyebabkan institusi pernikahan sempat hancur dan anak-anak mereka terabaikan. Dengan pengetahuan yang terbatas, ditambah pengaruh dari luar yang kuat, maka mereka melakukan aktivitas yang beresiko secara kesehatan, termasuk di antaranya perilaku seks bebas. Kebiasaan selingkuh tipis-tipis yang dilakukan ketika musim panen cengkeh mengakibatkan kegiatan ini menjadi sebuah hal yang biasa. Awalnya pihak istri memandang kegiatan suami yang selingkuh ketika panen
122
cengkeh menjadi hal biasa. Maka akibatnya si pihak istri pun , juga berani berselingkuh dengan laki-laki lain yang bukan suaminya. Realita lainnya, sekarang ini ketika musim panen cengkeh tiba, maka banyak wanita-wanita yang lebih diidentikkan dengan wanita penghibur kemudian berpura-pura ikut bergabung dalam pesta panen cengkeh tersebut. Akibatnya, diketahui telah terjadi penularan penyakit seksual, meski perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut. Uniknya, masyarakat Tobelo di Desa Baru tidak berserah pada kondisi kesehatan yang kurang menguntungkan. Mereka menggali kembali dan menggunakan pengobatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit. Pengobatan tradisional yang berupa produk tanaman hutan ini dihasilkan melalui proses yang panjang dari generasi ke generasi. Namun sejak pembangunan dan kemajuan di Pulau Obi, masyarakat Tobelo juga tumbuh kesadaran untuk menggunakan jasa tenaga kesehatan modern. Namun efeknya beberapa ibu muda dari desa Baru yang mulai meninggalkan dan kurang mengetahui pengobatan tradisional. Mereka telah merasakan dan memiliki ikatan terhadap pengobatan dari para tenaga kesehatan. Ketika sakit di tengah-tengah ketidakhadiran tenaga kesehatan, mereka mengalami kegagapan dalam mempraktekan pengetahuan kesehatan lokal dan pengobatan tradisional. Hasil penelitian tentang kehidupan budaya dan kesehatan masyarakat Tobelo setidaknya dapat digambarkan bahwa ada bagian budaya dan pengetahuan lokal yang menguntungkan dan tidak menguntungkan baik disadari atau tidak terhadap status kesehatan. Kemudian, pengobatan tradisional yang bersumber dari hutan dan dilakukan oleh Biang terhadap perawatan dan kesehatan bayi merupakan strategi kebudayaan masyarakat Tobelo dalam mempertahankan kehidupan dan eksistensinya. Masyarakat Tobelo di Desa Baru juga responsif dan memiliki kesediaan untuk meyakini pengobatan dari para tenaga kesehatan modern. Ada dorongan elit lokal (tokoh adat, tokoh agama dan perangkat desa) yang mendahulukan pengobatan dari tenaga kesehatan dan menempatkan
123
pengobatan tradisional sebagai alternatif solusi pengganti. Terakhir, ketidakhadiran dan ketidaksiapsiagaan sarana dan tenaga kesehatan modern memperkuat dorongan untuk kembali menggunakan pengobatan tradisional ke dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam merawat bayi. Pernyataan dari kepala Puskesmas Gugus Obi, yaitu Bapak Juanda cukup menggembirakan. Dinas kesehatan dan Puskesmas gugus Obi telah mengirimkan tenaga kesehatan ke seluruh wilayah desa dan dusun yang ada di kecamatan Obi. Selain itu pembentukan kerjasama antara Biang dengan bidan dalam membantu persalinan dan merawat bayi akan memberikan dampak positif bagi masyarakat. Biang (dukun bersalin) tidak akan membantu proses persalinan jika tidak ditemani atau menghubungi bidan terlebih dahulu. Persoalan kesehatan pada masyarakat Tobelo di desa baru dapat teratasi. 5.2 Rekomendasi Beberapa strategi sebagai rekomendasi untuk pembangunan kesehatan pada masyarakat Tobelo diantaranya, pertama adalah kembali mengaktifkan untuk melakukan penanaman terhadap tanaman obat keluarga (toga). Setelah itu, juga perlu untuk melakukan kodifikasi dan verifikasi terhadap khasiat tanamantanaman tradisional. Pengobatan alternatif yang dilakukan oleh Biang ini tetap dilakukan dan dikembangkan mengingat sarana dan tenaga kesehatan terbatas. Penanaman obat tradisional ini juga mendekatkan ketersediaan obat dari hutan ke keluarga. Namun demikian, harus diikuti sosialisasi pengetahuan pengolahan tanaman tersebut. Pengetahuan tersebut hanya dimiliki oleh Biang dan Tokoh Adat. Tokoh Adat, bapak Hans Labage telah menyatakan keinginan untuk berbagi kepada anak cucunya. Oleh karena itu, instrumen pendidikan menjadi jendela untuk berbagi pada generasi selanjutnya. Tokoh adat dan para orang tua juga seharusnya tidak segan untuk memberikan pengetahuan seputar bahasa lokal Tobelo dan pengetahuan seputar obat-obat
124
tradisional. Bahasa lokal Tobelo dan pengetahuan obat tradisional hanya diwariskan secara lisan saja sehingga hal ini mudah untuk dilupakan dan tidak sampai ke generasi berikutnya. Kedua adalah adanya pendekatan dan kerjasama antara Biang dengan tenaga kesehatan terutama Bidan. Hal ini bertujuan agar masyarakat Desa Baru dapat terbiasa dengan tenaga kesehatan modern. Fasilitas kesehatan seperti puskesmas/pustu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara maksimal. Dalam proses ini, Tokoh adat dan perangkat desa dapat memberikan pengarahan kepada masyarakat dan dapat dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan baik antara tenaga kesehatan, tokoh adat, perangkat desa dapat menjadi faktor pendorong masyarakat Tobelo menerima keberadaan tenaga kesehatan dalam lingkungan sekitarnya. Hal ini berbeda dengan saran yang dilakukan oleh Prof. James Danandjaja ketika melakukan penelitian pada masyarakat adat bali, 1987. Ketiga, peran kepala desa dan kepala dusun, seperti bapak Jemi Pape, yang memaksimalkan fungsi guru jemaat dan pendeta dalam promosi dan pelayanan kesehatan. Meskipun pernah dilakukan dan tidak berlangsung lama, ide itu perlu dilakukan kembali. Salah satu alasannya, guru jemaat dan pendeta merupakan salah satu dan beberapa kampung satu-satunya orang terpelajar yang tidak buta huruf. Ada yang mendasar dari strategi ini, yaitu: pengetahuan guru jemaat tentang adat masyarakat Tobelo. Akar pengetahuan mereka berawal dari nilai-nilai adat dan agama (Kristen) terutama untuk etnis Tobelo. Oleh karena itu, penggunaan guru jemaat dan pendeta dalam promosi kesehatan menjadi sangat tepat. Guru Jemaat dan pendeta harus melakukaan telaah teologis terhadap ajaran yang disampaikan pada kebaktian hari minggu atau kegiatan keagamaan lainnya. Dari data di kampung Tabuji, Desa Baru, pendeta lebih memberikan penafsiran secara tekstual pada bacaan kita suci daripada membawa ke dalam realitas kehidupan yang lebih kontekstual.
125
Oleh karena itu, menjadi semakin jelas bahwa konsep satu tungku tiga batu sebenarnya sudah sangat tepat dalam proses pembangunan masyarakat di Pulau Obi. Ada tiga batu yang berperan dalam pembangunan, yaitu: birokrasi, adat dan gereja. Menjadi persoalan sesungguhnya adalah implementasi dari konsep ini. Penelitian ini telah menunjukkan pada pembaca tentang apa yang direncanakan, khususnya di bidang kesehatan tidak berjalan dengan mulus karena kurang koordinasi dari tiga unsur di atas. Di luar tiga batu itu, sebagai strategi keempat, ada pihak lain yang harus memiliki kewajiban untuk mengatasi persoalan kesejahteraan masyarakat dalam hal ini kesehatan. Pihak itu adalah peran swasta. Kekayaan alam tanah Obi sangat berlimpah. Sebagai konsekuensinya, ada kehadiran pihak-pihak swasta untuk mengelola kekayaan alam tersebut. Masyarakat lokal terutama etnis Tobelo dapat memperoleh keuntungan dari pengelolaan tersebut sebagaimana diatur oleh perundang-undangan. Namun demikian, perhatian terhadap masyarakat lokal jauh lebih berguna melalui aktivitas corporation social responsibility (CSR) yang intensif. Hal itu harus dilakukan tidak saja pada saat eksploitasi, tetapi pada saat eksplorasi, bahkan pada tahap awal pendekatan pada masyarakat sekitarnya. Kesungguhan memperhatikan masyarakat lokal, dimulai dari pelibatan hingga membantu pelayanan publik menjadi titik awal dari relasi yang baik antara masyarakat lokal, pemerintah dan pihak swasta. Di Kecamatan Obi terdapat perusahaan Tambang nickel dan emas berskala nasional yang seharusnya dapat dilibatkan secara lebih intensif untuk membangun kesehatan dan pendidikan bersama dengan pemerintah setempat. Hal itu sebenarnya dicontohkan dengan baik oleh perusahaan PT Aneka Tambang, meski harus berakhir dan diganti pengelolaanya oleh PT Harita Group. Namun setidaknya perusahaan multinasional tersebut telah memberikan bantuan dan perhatian dalam pembangunan masyarakat dan infrastruktur di desa-desa dekat lokasi tambang, termasuk Desa Baru.
126
Strategi Kelima, yaitu membantu dan mengusulkan segera dibuatnya polindes di Dusun Tabuji. Informasi yang didapat bahwa polindesa akan dibangun untuk membantu masyarakat agar dapat menikmati pelayanan kesehatan terutama ibu hamil yang akan melakukan persalinan. Mengingat akses ke puskesmas harus menggunakan laut dan harus memiliki biaya yang cukup. Satu tenaga kesehatan sudah diletakkan di Tabuji dan hanya menunggu kapan dilaksanakan pembangunan polindes. Karena sementara waktu ia tinggal di rumah kepala desa. Ketika ditanyakan ke salah satu stake holder, ia juga belum bisa memastikannya. Sebenarnya satu tenaga kesehatan saja tidak cukup karena sewaktu-waktu ia tidak ada di tempat, tidak ada yang menggantikan atau membantunya. Kesulitan untuk mencarikan tenaga kesehatan yang beragama nasrani merupakan satu kendala yang dihadapi oleh puskesmas Laiwui. Sebab tenaga kesehatan yang bertempat tinggal di sini harus mempunyai agama yang sama. Strategi yang keenam, yaitu Sosialisasi mengenai jaminan kesehatan juga belum merata. Hal ini terbukti dengan adanya orang yang menggunakan BPJS. Menurut salah satu warga, BPJS hanya dibagikan kepada orang-orang yang dekat dengan perangkat desa. Pembaharuan dari jasmkesmas, jamkesda, askes, dan jamsostek menjadi BPJS juga belum banyak orang yang tahu. Kebanyakan biaya persalinan memang menjadi kendala para ibu. Jadi mereka memilih melahirkan di rumah saja. Mereka belum bisa memanfaatkan jaminan kesehatan yang diadakan oleh pemerintah.
127
128
Daftar Pustaka
Andrain, Charles F. 1992. Kehidupan politik dan perubahan sosial. Johnson, Allan G. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Kementerian Kesehatan. 2012. Survei Demografi Infonesisa dan Kesehatan Indonesia, Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. 2014. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Jakarta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2008. "Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs)", Bapenas, Jakarta. Bappeda dan BPS Kabupaten Halmahera Selatan, 2013a Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Halmahera Selatan Tahun 2013. Halmahera Selatan: BPS Kab. Halsel. 2013b Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Halmahera Selatan Tahun 2013. Halmahera Selatan: BPS Kab. Halsel. 2013c Halmahera Selatan dalam Angka 2013. Halmahera Selatan: BPS Kab. Halsel. Batubara, RL Jose. 2010. Adolescent Development (Perkembangan Remaja). Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta
129
Danandjaja, James. 1987 Manfaat Media Tradisional untuk Pembangunan. Dalam Nat J. Colleta dan Umar Kayam. Kebudayaan dan Pembangunan. Sebuah Pendekatan terhadap Antropologi Terapan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Departemen Kesehatan. 2014. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta Kalangie, Nico S. 1994 Kebudayaan dan Kesehatan. Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: Kesaint Blanc. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. 2008. Millennium Development Goals. Jakarta Mudafar, sjah. 2005. Tobelo, moro, ternate: the cosmological valorization of historical events. Platenkamp Muzakkiroh, Umi, Pramono, Setyo, Mochamad. 2010. pola kejadian bayi berat lahir di indonesia dan faktor yang mempengaruhinya, laporan penelitian analisis lanjut riskesdas 2010,Badan penelitian dan pengembangan kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Surabaya Piet, David L., dan Lukas Hendrata. 1987 Karet KB dan Jamu: Suatu Pendekatan Terpadu terhadap Pemasaran Kondom. Dalam Nat J. Colleta dan Umar Kayam. Kebudayaan dan Pembangunan. Sebuah Pendekatan terhadap Antropologi Terapan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
130
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. 2014. Ringkasan Eksekutif Data dan Informasi Kesehatan Provinsi Maluku Utara. Jakarta
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2011. Indikator Kesejahteraan Daerah Provinsi Maluku Utara. Jakarta Pusat Usman Thalib, Tontje Soumokil, J. Pattiasina, Rabiyatul Uzda. 2012. HIBUA LAMO DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT ADAT TOBELO DI HALMAHERA UTARA. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pelestarian Budaya Ambon.
131
INDEKS
A Adat ...................................... 5, 7, 30, 34, 35, 36, 38, 40, 41, 44, 51, 100, 119, 120, 121, 123, 124, 125, 126 Akses ..................................... 2, 4, 15, 25, 26, 29, 42, 45, 72, 73, 75, 112, 113, 116, 127 Aktifitas ................................ 31, 57, 64, 65, 79, 81, 82, 83, 85, 90, 91, 94 Aktivitas ................................ 5, 34, 44, 47, 49, 63, 100, 122, 126 Alat kontrasepsi .................... 67, 68, 115 Angka kematian ibu .............. 1, 2, 4
B Bahasa .................................. 35, 36, 108, 119, 124, 125 Berahu .................................. 59, 64, 65, 66, 67, 69 Biang ..................................... 4, 7, 22, 53, 56, 58, 59, 61, 62, 63, 66, 69, 72, 73, 97, 98, 99, 100, 103, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 121, 122, 123, 124, 125 Budaya .................................. 4, 44, 51, 101, 119, 120, 121, 123 Bulu ....................................... 56, 57, 99
D Dodomi ................................. 57, 58
E Etnis ...................................... 4, 5, 16, 30, 31, 32, 33, 35, 37, 39, 43, 49, 50, 51, 55, 59, 71, 98, 101, 112, 113, 114, 115, 121, 125, 126
132
F Fasilitas kesehatan ............... 3, 19, 22, 27, 116, 117, 125
G Geografis .............................. 2, 4, 5, 8, 19, 112
H Hamil ..................................... 2, 3, 7, 51, 54, 55, 56, 61, 63, 66, 69, 72, 73, 76, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 109, 110, 114, 115, 116, 117, 120, 121, 127 Hubungan seksual ................ 54, 55
I Ibu hamil .............................. 2, 3, 55, 56, 61, 63, 69, 72, 73, 76, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 105, 106, 116, 117, 127 Ibu nifas ............................... 58, 60, 64, 69, 70, 72, 73, 83, 97, 105, 109
J Jamban ................................. 80, 81 Jaminan ................................. 61, 62, 127 Jimat .................................... 105, 106
K Kandungan ........................... Katingting ............................. Keka ..................................... Kekerabatan ......................... Kelahiran ..............................
62, 66, 69, 72, 100, 101, 104, 109 31, 46 17, 102, 104, 126 40, 41, 119 1, 3, 21, 22, 24, 54, 66, 99, 102, 107, 113, 114, 116, 117, 120, 121 Kepercayaan ........................ 36, 37, 39, 100, 110
133
Kesehatan ibu dan anak ....... 1, 2, 3, 4, 6, 52, 121 Khasiat .................................. 70, 77, 124
M Makanan ............................... 37, 55, 60, 61, 71 79, 86, 92, 94, 95, 96 105 Masyarakat ........................... 2, 4, 5, 6, 7, 16, 17, 18, 19, 22, 23, 25, 26, 27, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 44, 45, 47, 49, 51, 52, 53, 56, 57, 61, 63, 68, 72, 84, 86, 88, 91, 96, 98, 99, 101, 102, 103, 109, 110, 111, 113, 114, 115, 116, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127 Mata pencaharian ................ 32 Meki ...................................... 101, 104 Melahirkan ........................... 1, 3, 7, 55, 56, 58, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 67, 72, 73, 79, 99, 100, 103, 104, 106, 107, 109, 110, 112, 113, 114, 127 Menstruasi ............................ 52, 55
N Nenek moyang ..................... 35, 36, 39, 64, 72, 107
P Pantangan ............................ 55, 60, 61, 100, 101 Patrilineal .............................. 40 Pekerjaan .............................. 18, 81, 103 Pelayanan kesehatan ............ 2, 7, 54, 72, 73, 94, 116, 125, 127 Pemekaran ........................... 16, 17, 21 Pemukiman ........................... 19, 30, 43, 44, 90, 102 Penduduk ............................. 3, 14, 15, 16, 18, 19, 21, 25, 31, 32, 34, 44, 90
134
Pengetahuan ........................ 3, 5, 7, 33, 51, 52, 53, 54, 62, 77, 99, 100, 111, 115, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125 Pengobatan .......................... 63, 66, 70, 84, 89, 108, 123, 124 Penyakit ............................... 5, 6, 54, 57, 60, 61, 63, 70, 88, 90, 91, 93, 94, 95, 96, 103, 107, 108, 122, 123 Perawatan ............................ 7, 28, 59, 60, 69, 71, 73, 97, 98, 99, 109, 123 Perempuan .......................... 15, 16, 41, 42, 43, 52, 53, 54, 55, 76, 104, 120 Perilaku Perkawinan ............ Pernikahan ........................... 41, 43, 50, 120, 122 Persalinan ............................ 3, 4, 7, 25, 29, 56, 61, 62, 63, 69, 72, 73, 97, 98, 99, 100, 102, 103, 106, 107, 112, 113, 116, 124, 127 Petugas kesehatan ............... 89, 104 Puskesmas ............................ 3, 6, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 53, 54, 55, 61, 62, 67, 68, 69, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 79, 84, 85, 86, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 96, 98, 100, 102, 103, 104, 110, 112, 113, 116, 124, 125, 127 Pembangunan ...................... 1, 2, 23, 28, 44, 123, 124, 126, 127
R Rekomendasi ....................... Remaja ................................. Rorano .................................. Rumah sakit .........................
7, 112, 119, 124 51, 52, 53, 54, 82 69, 109 2, 3, 22, 23, 27, 28, 29, 30, 63, 89, 94, 100, 113 Rumah tunggu kelahiran ...... 3, 24, 116, 117
135
S Sakit ...................................... 2, 3, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 37, 52, 55, 62, 63, 64, 72, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 100, 108, 113, 123 T Tanaman ................................ 32, 33, 34, 67, 81, 88, 107, 109, 123, 124 Tenaga kesehatan ................. 3, 4, 7, 22, 68, 72, 73, 97, 99, 107, 111, 112, 113, 116, 121, 123, 124, 125, 127 Tobelo.................................... 4, 5, 6, 7, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 49, 50, 51, 52, 55, 56, 59, 61, 71, 98, 101, 108, 109, 112, 113, 114, 115, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126 Tradisi ................................... 40, 61, 63, 64, 67, 72, 99, 107, 136 Tradisional ............................. 66, 67, 69, 83, 89, 107, 109, 115, 120,123, 124, 125
136
GLOSARIUM Alo Awana Babaronda Baku cuki Bekka Berahu Beseso Biang Biawas Bulu Dahako Da Putu Dasawala Data Taro Dohu Doi Dumule Gia Hahini Hange Hauku Hinoto Hosa Hoyomo Hutu Igo Kadu- Kadu Kahi Ki-Iki Kintal Kuning Kurihi
: Dingin : Hujan (Mu-ura-Galela) : jalan-jalan : berhubungan badan : Perempuan : perapian yang digunakan setelah ibu melahirkan dan biasanya diletakkan dibawa tempat tidur : Pesan : Dukun bayi atau Dukun bersalin : Jambu : Bambu : Gatal-gatal : Gelap (sudah malam) : Merah : Hitam : Kaki : Uang (Pipi-Galela) : Kebun : tangan : Lapar :3 : Panas :2 : Asma : makan : Rambut : Kelapa : Ngantuk (Tokiolo-Galela) : Kulit : Batuk : Pekarangan kosong : Kunyit : Kursi
137
Lako Lako Dasawala Lata Madasahu Maosi Mooi Motoa Nauru Ngihia Ngohi Ngona Ngorana Ngotiri Nguihi Ngunu O kere Paro Poci Poko Popoje Rica jawa Sampah Tau Tigi Toma idusi Wohu
138
: Mata : Mata merah :4 : Panas (cuaca ) : Mandi :1 :5 : Laki laki : Ular : Saya : Kamu : Pintu : Perahu (body-Galela) : Banjir (Ngu-uhi-Galela) : Hidung : Minum : Angin : Lampu minyak tanah : Perut : Kantong : Cabe kecil : Rumput : Rumah : Pendek : saya mau tidur : Vagina
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian etnografi yang dilakukan untuk mengetahui kebudayaan masyarakat dalam berperilaku sehari-hari tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Dari rangkaian kehidupan suku bangsa, tinggal selama 40 hari setidaknya harus mampu menyerap pengetahuan lokal. Namun demikian, pertukaran pengetahuan bisa terjadi apabila masyarakat lokal membuka diri dan mengajarkan kepada peneliti apa yang mereka ketahui. Tim penulis memperoleh keberuntungan tatkala berjumpa dengan masyarakat suku Tobelo. Dari mereka, tim penulis memahami proses interaksi antara sistem kesehatan modern dan tradisional yang dinamis dalam kehidupan sehari-hari. Di pihak lain, dari masyarakat Tobelo, tim penulis belajar bagaimana menghargai kehidupan. Usaha untuk sehat terutama para Ibu dan bayi merupakan perwujudan penghargaan terhadap hak hidup seseorang. Kematian seseorang memang harus disesali, tetapi menjaga seseorang yang masih hidup jauh lebih utama. Oleh karena itu, tim mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hamid Buton (Kepala Desa Baru), Bapak Ahmad Siombiwi (Sekretaris Desa Baru) Bapak Juanda dan Ibu Sumarni Malang (Puskesmas Gugus Obi) Bapak Juri (Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan), Bapak Hans Labage (tokoh adat Tobelo) Bapak Jemi Pape (Kepala Dusun Tabuji) Bapak Laban Hohe, Bapak Nifsu Kamhois (Tokoh Adat) beserta para ibu-ibu yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Mereka semua telah memberikan informasi dan pengetahuan mengenai kebudayaan lokal yang ada pada masyarakat Tobelo di Desa Baru, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan. Semua ini terlaksana atas program dari Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat dan Badan
139
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan. Tim penulis memahami tujuan dari penelitian etnografi ini yaitu membedah persoalan kesehatan dengan pendekatan budaya lokal. Oleh karena itu, tim penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat dan Bapak Kepala Balitbangkes Kementerian Kesehatan. Akhirnya kami juga minta maaf jika isi tulisan di buku ini masih ada kekurangan. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi banyak orang yang membacanya.
140