Lungsoġ: Terapi Uap Pereda Nyeri Rematik Orang Daya Etnik Daya – Kabupaten OKU Selatan
Titan A Ishartono Lulut Kusumawati
Penerbit
Unesa University Press
189
Titan A, dkk
Lungsoġ : Terapi Uap Pereda Nyeri Rematik Orang Daya Etnik Daya – Kabupaten OKU Selatan Diterbitkan Oleh UNESA UNIVERSITY PRESS Anggota IKAPI No. 060/JTI/97 Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015 Kampus Unesa Ketintang Gedung C-15Surabaya Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109 Fax. 031 – 8288598 Email:
[email protected] [email protected] Bekerja sama dengan: PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176 Tlp. 0313528748 Fax. 0313528749 xv, 199 hal., Illus, 15.5 x 23 ISBN : 978-979-028-959-8 copyright © 2016, Unesa University Press All right reserved Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun baik cetak, fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin tertulis dari penerbit
190
SUSUNAN TIM Buku seri ini merupakan satu dari tiga puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan 2015 pada 30 etnik di Indonesia. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/V.1/221/2015, tanggal 2 Pebruari 2015, dengan susunan tim sebagai berikut: Pembina
: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI
Penanggung Jawab
: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Prof. Dr.dr. Lestari Handayani, M.Med (PH) Ketua Pelaksana
: dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc
Ketua Tim Teknis
: drs. Setia Pranata, M.Si
Anggota Tim Teknis
: Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH drs. Kasno Dihardjo dr. Lulut Kusumawati, Sp.PK
Sekretariat
: Mardiyah, SE. MM Dri Subianto, SE
iii
Koordinator Wilayah: 1. Prof. Dr. dr. Lestari Handayani, M.Med (PH): Kab. Mesuji, Kab. Klaten, Kab. Barito Koala 2. dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc: Kab. Pandeglang, Kab. Gunung Mas, Kab. Ogan Komering Ulu Selatan 3. Dr.drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes: Kab. Luwu, Kab. Timor Tengah Selatan 4. drs. Kasno Dihardjo: Kab. Pasaman Barat, Kab. Kep. Aru 5. Dr. Gurendro Putro, SKM. M.Kes: Kab. Aceh Utara, Kab. Sorong Selatan 6. dra. Suharmiati, M.Si. Apt: Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Sumba Barat 7. drs. Setia Pranata, M.Si: Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Sumenep, Kab. Aceh Timur 8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes: Kab. Mandailing Natal, Kab. Bantaeng 9. dra. Rachmalina Soerachman, M.Sc.PH: Kab. Cianjur, Kab. Miangas Kep.Talaud, Kab. Merauke 10. dr. Wahyu Dwi Astuti, Sp.PK, M.Kes: Kab. Sekadau, Kab. Banjar 11. Agung Dwi Laksono, SKM. M.Kes: Kab. Kayong Utara, Kab. Sabu Raijua, Kab. Tolikara 12. drs. F.X. Sri Sadewo, M.Si: Kab. Halmahera Selatan, Kab. Toli-toli, Kab. Muna
iv
KATA PENGANTAR Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikannya. Untuk itulah maka dilakukan riset etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan. Dengan mempertemukan pandangan rasionalis dan kaum humanis diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di Indonesia. Tulisan dalam Buku Seri ini merupakan bagian dari 30 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2015 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2015, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
v
Surabaya, Nopember 2015 Kepala Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI
Drg. Agus Suprapto, MKes
vi
DAFTAR ISI SUSUNAN TIM................................................................................ KATA PENGANTAR ......................................................................... DAFTAR ISI ..................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................... DAFTAR GAMBAR .......................................................................... BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................. 1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1.2. Tujuan Penelitian ................................................................. 1.2.1. Tujuan umum penelitian ...................................................... 1.2.2. Tujuan khusus penelitian .................................................... 1.3. Metode ................................................................................. 1.3.1. Penentuan lokasi penelitian ................................................. 1.3.2. Pengumpulan data ............................................................... 1.3.3. Analisa data ..........................................................................
iii v vii xi xiii 1 1 6 6 7 7 7 9 12
BAB 2 ETNIK DAYA DESA PADANG BINDU ................................... 2.1. Gambaran umum Kabupaten OKU Selatan ........................ 2.2. Sejarah Jalma Daya Sunur .................................................. 2.3. Cerita asal mula Desa Padang Bindu ................................... 2.4. Desa Padang Bindu dan perkembangannya ....................... 2.5. Gambaran Umum Desa Padang Bindu................................ 2.5.1. Dari Muara Dua ke Desa Padang Bindu .............................. 2.5.2. Desa Padang Bindu di antara dua sungai ............................ 2.5.3. Pemukiman dan rumah adat suku Daya Padang Bindu ...... 2.6. Agama dan Kepercayaan orang suku Daya Desa Padang Bindu.............................................................. 2.6.1. Sedekahan dalam lingkaran hidup Penduduk Desa Padang Bindu............................................................. 2.6.2. Sedekahan ruwahan dan kepercayaanTerhadap
14 14 19 23 28 33 39 41 43 48 50
vii
dunia gaib ............................................................................ 2.6.3. Pesantren, usaha mempertahankan Islam Di Desa Padang Bindu ......................................................... 2.6.4. Mitos Danau Upungan ......................................................... 2.7. Bertahan hidup dengan kopi ................................................ 2.8. Produksi pertanian di Desa Padang Bindu ........................... 2.9. Petani kopi dan kehidupan baru di Sapo ............................. 2.10. Sakai dalam kehidupan petani Desa Padang Bindu ............ 2.11. Organisasi sosial dan sistem kekerabatan ........................... 2.12. Adok dalam budaya suku Daya Desa Padang Bindu .......... 2.13. Adat pernikahan di Desa Padang Bindu ............................... 2.14. Konsep sehat dan sakit ........................................................ 2.15. Ribang bagi kehidupan penduduk Desa Padang Bindu ...... 2.16. Bahasa orang Daya Desa Padang Bindu ...............................
54
BAB III POTRET KESEHATAN JALMA DAYA ................................ 3.1. Status kesehatan .................................................................. 3.1.1 Menyapa pembaruan ............................................... 3.1.1.1. Tiga sumber air…………………………………. ..... . 3.1.1.2. Jamban………………………………………………...... 3.1.1.3. Cuci tangan dalam semangkuk air…… ........ 3.1.2 Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)…………………………. ...... 3.1.2.1 Satu Desa Satu Bidan………………………… ..... 3.1.2.2 Mbay, Dukun Bayi Padang Bindu……… ...... 3.1.2.3 Budaya dan Adat Pada Kehamilan dan Persalinan ........................................... 3.1.2.4 Bayi dan Balita……………………………………..... 3.1.3 Perilaku Merokok……………………………………………....... 3.1.4 Penyakit Menular ..................................................... 3.1.4.1 Penyakit Kusta dan TBC.................................. 3.1.4.2 Wabah Cikungunya ........................................ 3.1.4.3 Penyakit Kulit .................................................
90 90 90 90 94 .95 .97 97 .99
viii
57 59 61 64 69 74 77 80 82 87 88 89
102 109 115 119 119 120 121
3.1.3. Penyakit Tidak Menular (PTM)…………….…………… ...... 3.1.5.1 Rematoid…………………………..…………………… .... 3.1.5.2 Hipertensi dan Stroke…………………………….. .... 3.2 Ketersediaan Pelayanan Kesehatan ..................................... 3.2.1 Ketersediaan dan Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan Formal ....................................................................... 3.2.2 Ketersediaan dan Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan Tradisional .................................................................. 3.3 Pola Pencarian Pengobatan ..................................................
.122 123 124 126 126 134 139
BAB IV Lungsoġ Ramuan Pereda Nyeri ..................................... 142 4.1. Lungsoġ ramuan Pereda Nyeri ............................................... 142 4.1.1. Lungsoġ dan Pembagiannya ........................................ 143 4.1.2. Manfaat Lungsoġ .......................................................... 143 4.1.3. Ramuan Lungsoġ ........................................................... 143 4.2. Lungsoġ Rematik .................................................................... 143 4.2.1. Definisi dan Ciri Rematik ............................................... 143 4.2.2. Causa Rematik, Demi Bulir Kopi .................................... 146 4.2.3. Obat Medis, Pengobatan Praktis Sementara ................ 152 4.2.4. Terapi Lungsoġ Rematik ................................................ 155 4.2.5. Rematik dan Lungsoġ Rematik dalam Pandangan Medi s159 4.3. Lungsoġ Moġian .................................................................... 163 4.3.1. Moġian, Penyakit Misterius .......................................... 163 4.3.2. Penyebab Moġian ......................................................... 166 4.3.3. Moġian Dalam Pandangan Medis ................................. 168 4.3.4. Lungsoġ Mogian Yang Diturunkan ............................... 169 BAB V POTENSI DAN TANTANGAN ........................................... 5.1. Sakai ..................................................................................... 5.2. Talang-Talang ...................................................................... 5.3. Rematik dan Lungsoġ ........................................................... 5.4. Kalangan dan Penjual Obat .................................................
174 174 175 176 177
ix
Daftar Pustaka ............................................................................... Indeks............................................................................................. Glosarium....................................................................................... Ucapan Terima Kasih ..................................................................... Komponen SWOT ..........................................................................
x
180 182 186 192
DAFTAR TABEL Tabel Gambar 3.1. Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 3.4. Gambar 3.5. Gambar 3.6. Gambar 4.1
Halaman Pemakaian Vaksin di Puskesmas Buay Runjung PadaTahun 2014................................................ Kunjungan K1 dan K4 di UPTD Puskesmas Buay RunjungTahun 2014 ................................. Jumlah Kunjungan Pasien TB di UPTD Puskesmas Buay RunjungTahun 2014 ..... Daftar 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Buay Runjung Tahun 2014 .......... Jumlah Pegawai di UPTD Puskesmas Buay Runjung Tahun 2014 ................................ Perbandingan Antara Lungsoġ Moġian dan Lungsoġ Rematik ........................................
98 104 120 123 127 173
xi
xii
DAFTAR GAMBAR Gambar Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 2.6. Gambar 2.7. Gambar 2.8. Gambar 2.9. Gambar 2.10. Gambar 2.11.
Gambar 2.12. Gambar 2.13. Gambar 2.14. Gambar 2.15. Gambar 2.16.
Halaman Travel Kota Palembang – Kota MuaraDua PP ... Peta Kab.OKU Selatan ....................................... Tugu Walet yang Ada di Taman MuaraDua ...... Ciri Fisik Orang Suku Daya, Jari Tangan yang Agak Sedikit Bengkok ................................ Bukti Fisik Cerita tentang Sejarah Desa Padang Bindu ............................................ Silsilah Keturunan Suku Daya Sunur dan Desa Padang Bindu ............................................ Makam Phuyang Patih Mapak .......................... Makam Phuyang Mangkubumi dan Bentuk Makam Jaman Dulu ....................... Benda-Benda Bersejarah Pedang dan Kotak Peninggalan Phuyang ....................... Bekom, Sumber Penerangan Ketika Listrik Padam ...... MCK di Desa Padang Bindu yang Belum Selesai Dibangun MCK di Desa Padang Bindu yang Belum Selesai Dibangun ............................................... Peta Desa Padang Bindu ................................... Contoh Tempat Untuk Mendapatkan Signal dan Alat Penguat Signal..................................... Suasana Hari Kamis Saatnya Belanja Di Kalangan ....................................................... Salah Satu Penjual Obat-obatan yang Ada di Kalangan ........................................ Sungai Kima, Sumber Pengairan
15 17 18 21 22 23 24 26 28 31
33 34 35 37 38
xiii
Gambar 2.17. Gambar 2.18. Gambar 2.19. Gambar 2.20.
Gambar 2.21. Gambar 2.22. Gambar 2.23. Gambar 2.24. Gambar 2.25. Gambar 2.26. Gambar 2.27. Gambar 2.28. Gambar 2.29. Gambar 2.30. Gambar 2.31. Gambar 2.32. Gambar 2.33. Gambar 2.34. Gambar 2.35. Gambar 3.1. Gambar 3.2. Gambar 3.3.
xiv
di Desa Padang Bindu ........................................ Sungai Semingkap, Sarana MCK Masyarakat Suku Daya Desa Padang Bindu .......................... Bentuk Rumah ................................................... Kayu Bulat Sebagai Pengunci Bangunan Rumah...... Penahan Lantai Berupa Kayu Bulat Utuh yang Berfungsi Untuk Menahan Goncangan Gempa Atau Tanah yang Bergerak. Masjid desa....................................................... Musholla yang ada di Dusun 2 .......................... Sedekahan Petunggu ......................................... Tradisi Ruwahan yang Biasa Dilakukan Menjelang Bulan Puasa ..................................... Pemasangan Tulisan Arab di AtasPintu............. Kegiatan Khataman Murid Pesantren ............... Danau Upungan, Tempat yang Dianggap Keramat Oleh Desa Padang Bindu .... Tanjing, Langkah Awal Dalam Proses Penanaman Kopi ............................................... Biji kopi dalam 1 centeng .................................. Sistem Penanaman Padi Jajar Legowo .............. Sapo Panggung .................................................. Sapo Depok ....................................................... Aktivitas Didalam Sapo ...................................... Jalan menuju kebun kopi yang becek pada saat musim hujan ..................................... Pakaian adat pernikahan masyarakat Desa Padang Bindu ............................................ Masyarakat Mencuci Piring di Sungai ............... Bangunan Peninggalan Pamsimas Yang Tidak Digunakan Oleh Masyarakat ........... Peta Santasi yang dimiliki Oleh Desa Padang Bindu.....................................................
42 43 44 45
46 49 50 53 55 57 58 60 64 65 69 70 71 72 73 83 92 93 94
Gambar 3.4. Gambar 3.5. Gambar 3.6. Gambar 3.7. Gambar 3.8. Gambar 3.9. Gambar 3.10. Gambar 3.11. Gambar 3.12. Gambar 3.13. Gambar 3.14. Gambar 3.15. Gambar 3.16. Gambar 3.17. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5. Gambar 4.6. Gambar 4.7. Gambar 4.8. Gambar 4.9. Gambar 4.10. Gambar 4.11.
Bangunan Wastafel yang Tidak Digunakan ....... Tali Pusar Bayi Yuk SR yang diobati dengan Air Garam .......................................................... Mbay D yang Melakukan Urut Pasca Persalinan Proses Cuci Tangan Penolong Persalinan Pasca Melahirkan .............................................. Langkut, Makanan Pelancar ASI ........................ Njami Sampot (bisul) Pada Balita ...................... Dek AU yang Mengenakan Obat Berupa Kalung Ritual Petunggu Dek AU .................................... Kebiasaan Merokok di Sekitar Balita................. Menikmati Rokok di Sapo ................................. Penjual Rokok di Kalangan ................................ Kondisi UPTD Puskesmas Rawat Inap Buay Runjung .................................................... Polindes Desa Padang BIndu yang Hanya digunakan Untuk Posyandu ................... Praktik Bidan UM Pada Hari Kalangan .............. Tingkatan Nyeri Sendi Menurut Masyarakat Etnik Daya .......................................................... Sepatu Karet Untuk Ke Kebun ........................... Jalanan Yang Biasa di Lalui Warga Desa Menuju Kebun ................................................... Penjual Obat yang Berjualan Bebas di Kalangan Obat Rematik yang Dibeli di Kalangan .............. Bahan Bahan Lungsoġ ....................................... Daun Capa ......................................................... Mbay SR dan Mbay ASH belungsoġ Sepulang dari Kebun ......................................... Bahan Lungsoġ milik Mbay SR........................... Lungsoġ Moġian Milik bu ASR ......................... Lungsoġ Moġian Milik Yuk EP ............................
96 101 106 108 110 112 114 115 116 117 118 128 130 133 145 148 149 153 153 157 158 159 170 171 172
xv
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Mari mengenal lebih dalam Bumi Sriwijaya, Sumatera Selatan. Budaya Melayu sangat kental disini. Karamahan khas serta kekayaan alam tropis menjadi identitas khusus yang dapat kita temui di salah satu provinsi wilayah Indonesia ini. Ada beberapa kabupaten yang masuk dalam wilayah provinsi ini, salah satunya adalah Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan atau lebih mudah menyebutnya dengan OKU Selatan. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ulu. OKU Selatan dengan ibukotanya Muara Dua merupakan kabupaten yang baru berdiri selama dua Belas tahun terakhir berdasarkan Undang–undang Nomor 37 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan. Pada awal pembentukannya, Kabupaten OKU Selatan hanya terdiri dari 10 kecamatan. Kemudian kabupaten ini terus berkembang sampai saat ini menjadi 19 kecamatan dengan 7 kelurahan dan 252 desa (BPS, 2012). Secara geografis Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan terletak antara 103 21’ BT dan 04 14’ - 04 55 LS. Wilayah Kabupaten OKU Selatan memiliki luas 549.394 Ha. Batas–batas wilayah administratif Kabupaten OKU selatan adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten OKU, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Selatan (Provinsi Bengkulu) dan Kabupaten Muara Enim (Kecamatan Semendo Barat Ulu) dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten OKU Timur (Kecamatan Martapura) dan Kabupaten Way Kanan (Provinsi Lampung) (BPS, 2012). Penduduk yang tinggal di daerah Kabupaten OKU Selatan ini berasal dari bermacam–macam suku. Ada yang merupakan suku asli Sumatera Selatan dan ada pula yang merupakan suku pendatang
1
namun telah menetap di wilayah OKU Selatan. Salah satu suku yang ada di OKU Selatan adalah suku Daya atau Jalma Daya. Kelompok masyarakat ini hidup dan menyebar di sepanjang aliran sungai yang sekarang dikenal dengan nama sungai Komering. Menjadi tantangan yang cukup besar untuk dapat belajar dan memahami lebih dalam salah satu etnis di wilayah Kabupaten OKU Selatan ini. Masyarakat Etnis Daya tersebar di sebagian besar wilayah di Kabupaten OKU Selatan, termasuk di wilayah Kecamatan Buay Runjung, dan khususnya Etnik Daya di Kampung Sunur. Kampung Sunur terdiri dari Desa Nagar Agung, Desa Saung Naga, Desa Padang Bindu, dan Desa Padang Sari, dimana adat istiadat dan budaya masyarakat Suku Daya masih sangat kental di keempat desa itu. Riset Etnografi Kesehatan dilakukan di Ogan Komering Ulu Selatan atas dasar Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) Kementerian Kesehatan tahun 2013. Ogan Komering Ulu Selatan menduduki peringkat 413. Riset ini secara umum bertujuan mengangkat potensi budaya yang ada pada etnik Daya di Desa Padang Bindu yang berkaitan dengan kesehatan seperti kesehatan ibu dan anak, penyakit menular, penyakit tidak menular, serta gambaran perilaku hidup bersih dan sehat. Di desa ini masyarakat masih menjalankan adat istiadat suku Daya, walaupun beberapa adat istiadat sudah berubah karena kemajuan jaman. Kemajuan jaman yang begitu cepat seringkali memiliki pengaruh negatif bagi masyarakat. Hal ini juga terjadi pada etnik Daya, walaupun tidak semua unsur budaya membawa pengaruh yang negatif bagi masyarakat. Karakter masyarakat yang cenderung mudah menerima kemajuan jaman cenderung tanpa melalui filter tertentu, sehingga dapat dikatakan Etnik Daya mengalami masa transisi yang tidak terkontrol dan tanpa pegangan. Pelayanan tenaga kesehatan pada masyarakat sudah cukup baik. Ketersedian fasilitas kesehatan dan sarana air bersih yang ada di Desa Padang Bindu sudah mencukupi. Namun hal tersebut didasarkan
2
karena alasan kepraktisan semata, bukan serta merta merupakan alasan pandangan masyarakat mengenai penyembuhan medis dan perilaku masyarakat yang hidup bersih dan sehat. Pertama kali peneliti memasuki wilayah Desa Padang Bindu, kekaguman datang dari deretan rumah yang tersusun apik sepanjang jalan Desa Padang Bindu. Rumah-rumah kayu tersebut mayoritas rumah panggung dan kelihatan sangat khas sekali. Namun, kekhasan tersebut disandingkan dengan wujud kemajuan teknologi informasi yang dilihat dari parabola- parabola yang berdiri tegak di depan hampir setiap rumah. Tradisi dan kemajuan jaman yang bersanding bersamaan seringkali mengaburkan identitas asli dan merubah makna serta fungsi yang terkandung dalam adat istiadat itu sendiri dalam suatu masyarakat. Masuknya teknologi informasi yang begitu cepat mempunyai dampak yang begitu besar dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat dengan mudahnya menerima unsur–unsur budaya dari luar, termasuk pula dengan terpengaruhnya pola pikir masyarakat itu sendiri. Walaupun sudah banyak hal–hal baru yang mempengaruhi pola pikir masyarakat, namun ada pula suatu adat istiadat yang masih terpendam dan tersimpan yang bahkan tidak di ketahui dan disadari oleh masyarakat itu sendiri. Begitu pula dengan masyarakat Suku Daya yang ada di Desa Padang Bindu. Masyarakat Suku Daya di Desa padang Bindutidak menyadari bahwa selama ini mereka masih menjalankan adat istiadat mulai dari jaman nenek moyang suku Daya. Akan tetapi mereka beranggapan bahwa adat istidat mereka sudah berkurang dengan alasan bahwa orang–orang tua yang masih menjalankan adat istiadat Suku Daya sudah meninggal dan tidak ada yang mau meneruskannya. Faktor masuknya teknologi dan informasi juga ikut mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat Suku Daya itu sendiri. Transformasi pengetahuan masyarakat itu sendiri tidak akan pernah putus dan dilakukan secara turun temurun walaupun wujud nyata
3
adat istiadat masyarakat sudah berkurang, seperti halnya upacara adat pernikahan, upacara peringatan hari besar keagamaan, pengobatan–pengobatan tradisional dan mata pencaharian masyarakat Desa Padang Bindu. Tanah Desa Padang Bindu yang subur sebagian besar diperuntukkan sebagai kebun tanaman kopi, sehingga mayoritas masyarakatnya juga mempunyai mata pencaharian sebagai petani kopi. Mata pencaharian sebagai petani tanaman kopi sudah dilakukan sejak jaman nenek moyang. Tanaman kopi dan kehidupan masyarakat Suku Daya Desa Padang Bindu tidak dapat di pisahkan. Masyarakat sangat menggantungkan hidupnya dari tanaman kopi yang mereka tanam. Tanah kebun kopi yang ada di Desa Padang Bindu merupakan tanah warisan secara turun temurun sehingga sangat sulit untuk ditinggalkan. Beberapa masyarakat tidak pulang ke rumah dan tidur di pondok pada saat musim panen kopi hanya sekedar menjaga tanaman kopi dari binatang ataupun dari manusia yang akan mencuri buah kopi yang siap panen. Namun setiap paginya, sebagian besar masyarakat rela menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki selama berjam–jam dan pulang ke rumah pada sore harinya hanya untuk melakukan perawatan ataupun memanen tanaman kopi yang ada di kebun. Sumber daya alam yang sesuai untuk tanaman kopi dan terciptanya pekerjaan masyarakat sebagai petani kopi menjadi dua hal yang mendorong munculnya kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat. Kebiasaan yang timbul dari lingkungan alam tanaman kopi dan petani kopi adalah kebiasaan untuk meminum kopi. Kebiasaan yangdilakukan oleh masyarakat adalah menyeruput sedikitnya tiga gelas kopi dalam satu hari. Kebiasaan minum kopi juga berlaku bagi tamu yang datang ke rumah tetangga atau kerabat. minuman yang wajib disuguhkan pada tamu adalah kopi. Kebiasaan minum kopi bagi masyarakat Desa Padang Bindu merupakan kewajiban, karena menurut keyakinan masyarakat bahwa ketika bekerja tidak minum kopi seluruh badan
4
akan terasa lemas dan minum segelas kopi bisa memulihkan badan menjadi sehat dan segar kembali. Masyarakat mempunyai keyakinan bahwa kebiasaan meminum kopi akan dapat menambah semangat kerja, akan tetapi pekerjaan masyarakat sebagai petani kopi tanpa disadari membutuhkan tenaga fisik yang kuat. Bila kondisi tubuh tidak sehat dan minum kopi terlalu banyak yang dilakukan masyarakat dapat merugikan kesehatan maka akan dapat dengan mudah terserang penyakit. Penyakit tersering yang diderita oleh masyarakat di Desa Padang Bindu, menurut keterangan salah satu bidan yang tinggal di Desa Padang Bindu adalah ISPA pada usia anak–anak, sedangkan pada orang dewasa adalah hipertensi, TB dan rematik. Penyakit – penyakit tersebut sesuai dengan data yang ada di Puskesmas Buay Runjung, bahwa penyakit yang paling banyak di derita oleh masyarakat adalah rematik. Gejala utama dari penyakit ini biasanya terjadi nyeri pada sendi terutama ketika di pakai untuk bergerak dan hambatan gerakan sendi. Penyebab penyakit ini belum di ketahui secara pasti, tetapi menurut pendapat masyarakat penyebab timbulnya penyakit rematik ini yaitu karena mengkonsumsi makanan sejenis kacang – kacangan,cuaca dingin di desa serta aktifitas fisik yang tinggi sebagai petani kopi. Beberapa anggota masyarakat membeli obat–obatan sejenis pil yang di jual secara bebas di Kalangan (sebutan untuk pasar tradisional) ataupun menggunakan pengobatan secara tradisional untuk menghilangkan rasa nyeri pada sendi. Masyarakat hanya sekadar membeli dan meminum obat tersebut tanpa mengetahui efek samping dari minum obat tersebut. Cara minum atau aturan minum obat tersebut hanya di dapat sekedarnya dari pedagang obat. Pengobatan secara tradisional yang digunakan masyarakat adalah Lungsoġ ( baca : Lungsorgh ). Lungsoġ adalah semacam pengobatan dengan menggunakan ramuan atau rempah–rempah yang direbus. Rempah-rempah direbus sampai mendidih dan mengeluarkan uap.
5
Uap tersebut kemudian dipakai untuk mengurangi nyeri sendi pada kaki yang terkena rematik. Pengobatan penyakit rematik secara tradisional dengan menggunakan Lungsoġ tersebut sangatlah menarik. Cara penggunaanya sangatlah mirip dengan mandi uap atau Spa yang ada di kota–kota besar. Pengobatan rematik secara tradisional ini yang membuat peneliti ingin mengetahui dan mempelajari secara lebih mendalam tentang Lungsoġ, mulai dari proses peracikan rempah– rempah yang digunakan sampai dengan penggunaannya. Dari hasil rasa ingin tahu tentang pengobatan tradisional penyakit rematik itulah, maka peneliti mempunyai pemikiran bahwa Lungsoġ yang kemudian dijadikan tematik dalam Riset Etnografi Kesehatan 2015 ini. Peneliti menemui kesulitan dalam mengidentifikasi konsep emik tentang Lungsoġ selama melakukan pengumpulan data. Terdapat perbedaan konsep tentang Lungsoġ dari keterangan yang di berikan oleh informan sehingga peneliti sering melakukan triangulasi. Beberapa informan menyebutkan bahwa Lungsoġ adalah pengobatan tradisional untuk mengurangi nyeri sendi dan beberapa informan lain menyebutkan Lungsoġ untuk mengobati penyakit ibu pasca persalinan sampai anak berumur 3 tahun. Dari perbedaan tentang konsep tersebut, maka pada akhirnya peneliti memutuskan bahwa tematik tetap Lungsoġ. Dalam bahasan tentang tematik, akan diberikan gambaran keseluruhan tentang Lungsoġ, baik pengobatan tradisional untuk penyembuhan rematik maupun untuk mengobati ibu pasca persalinan sampai anak berusia 3 tahun. 1.2. Tujuan Penelitian 1.2.1. Tujuan Umum Penelitian Tujuan Riset Etnografi Kesehatan tahun 2015 adalah untuk mengidentifikasi secara holistik mengenai unsur–unsur kebudayaan dalam masyarakat dan termasuk juga identifikasi profil kesehatan masyarakat Suku Daya Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan di
6
Provinsi Sumatera Selatan. Unsur–unsur kebudayaan dalam masyarakat yang terdiri dari sistem religi, mata pencaharian, bahasa, pengetahuan, alat dan teknologi, organisasi sosial dan kemasyarakatan, dan kesenian. Identifikasi profil kesehatan masyarakat berisi tentang konsep sehat dan sakit, Kesehatan Ibu dan Anak, Penyakit Tidak Menular, Penyakit menular dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, serta permasalahan kesehatan dan cara mengatasinya sesuai dengan pemahaman yang di miliki oleh masyarakat Suku Daya. Hal ini diharapkan nantinya dapat menciptakan rekomendasi intervensi dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Suku Daya. 1.2.2. Tujuan Khusus Penelitian Tujuan khusus dari riset ini adalah mengidentifikasi unsurunsur budaya suku Daya di Desa Padang Bindu yangmempengaruhi pengetahuan dan perilaku tentang kesehatan. Peneliti akan menggali lebih dalam tentang pengetahuan dan perilaku masyarakat dalam upaya penyembuhan penyakit secara tradisional atau secara biomedikal, dan keterkaitannya dengan kehidupan sosial budaya msyarakat. Hasil identifikasi ini diharapkan nantinya akan memicu penelitian lain yang berupa suatu intervensi yang dapat merubah pengetahuan dan pola perilaku masyarakat. 1.3. Metode 1.3.1. Penentuan Lokasi Penelitian Riset Etnografi Kesehatan 2015 ini dilakukan di 23 Provinsi dan 30 Kabupaten di Indonesia. Provinsi Sumatera Selatan adalah salah satu tempat yang terpilih dalam Riset Etnografi Kesehatan 2015 ini. Provinsi Sumatera Selatan mempunyai 14 Kabupaten/Kota, tetapi yang terpilih menjadi lokasi penelitian adalah di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan. Pemilihan lokasi penelitian di Kabupaten Ogan
7
Komering Ulu Selatan yaitu berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat ( IPKM ). IPKM di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan yang paling rendah diantara Kabupaten/Kota yang lain di Provinsi Sumatera Selatan___( IPKM Kemenkes, 2013 ). Lokasi penelitian yang terpilih di Kabupaten OKU Selatan berdasarkan data Komunitas Adat Terpencil dari Kementerian Sosial berada di Desa Mehanggin Kecamatan Muara Dua. Namun kepastian lokasi penelitian ditentukan pada saat kegiatan persiapan daerah. Kegiatan persiapan daerah di lakukan sebagai langkah awal untuk melakukan Riset Etnografi Kesehatan. Kegiatan persiapan daerah meliputi yaitu mengumpulkan data awal tentang profil kesehatan, meminta ijin penelitian ke Bakesbang Provinsi dan Bakesbang Kabupaten serta melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten. Peneliti juga mengadakan koordinasi dan berdiskusi dengan Bapak Arson Abadi selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten OKU Selatan. Menurut keterangan Bapak Kepala Dinas Kesehatan, desa-desa di Kabupaten OKU Selatan sudah mempunyai tenaga kesehatan di masing-masing desa, seperti Bidan Desa, dan fasilitas kesehatan sudah cukup memadai walaupun akses menuju ke desa mempunyai faktor kesulitan yang sama. Desa Mehanggin tidak lagi menjadi desa yang terpencil , karena akses menuju ke desa sudah bisa di lalui dengan menggunakan kendaraan roda empat. Selain itu yang tinggal di desa ini bukan masyarakat suku asli OKU Selatan melainkan heterogen dari berbagai suku. Dengan pertimbangan itu maka Bapak Arson Abadi selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten OKU Selatan akhirnya mengarahkan Riset Etnografi Kesehatan ini dilakukan di Kecamatan Buay Runjung, di tempat ini mayoritas masyarakatnya adalah suku asli OKU Selatan yaitu Suku Daya. Namun setelah sampai di Kecamatan Buay Runjung, Kepala Dinas Kesehatan menyarankan Peneliti untuk bertemu dengan Kepala Puskesmas Buay Runjung karena Kecamatan Buay Runjung
8
terbagi menjadi 15 desa dan nantinya Kepala Puskesmas yang akan menentukan desalokasi penelitian. Peneliti menemui Kepala Puskesmas, sesuai dengan petunjuk dari Kepala Dinas Kesehatan, untuk melakukan koordinasi dan berdiskusi tentang pemilihan desa lokasi penelitian dilakukan. Kepala Puskesmas menerangkan bahwa mayoritas penduduk Kecamatan Buay Runjung merupakan etnis Daya. Namun penduduk di beberapa desa sudah campuran antara Etnis pendatang dari Jawa dan Etnis Daya. Pada akhirnya Desa Padang Bindu dipilih menjadi lokasi penelitian. Mayoritas penduduk Desa Padang Bindu adalah masyarakat Suku Daya dan mereka masih memegang teguh adat istiadat dan budaya. 1.3.2. Pengumpulan Data Peneliti Riset Etnografi Kesehatan 2015 terdiri dari dua orang yang memiliki disiplin ilmu yang berbeda. Satu orang dari disiplin ilmu sosial dan satu orang lagi dari disiplin ilmu kesehatan masyarakat. Peneliti dari disiplin ilmu sosial dan ilmu kesehatan masyarakat ini diharapkan memperoleh gambaran budaya kesehatan Suku Daya. Sebelum melakukan pengumpulan data di lokasi penelitian, peneliti melakukan kegiatan persiapan daerah. Persiapan daerah dilakukan untuk melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten serta melakukan koordinasi dengan Bakesbang Provinsi dan Kabupaten, Pengumpulan data Riset Etnografi Kesehatan 2015 di lakukan selama 35 hari. Peneliti tinggal dan menetap di rumah salah satu penduduk untuk mengamati dan berinteraksi dalam kegiatan sehari-hari masyarakat. Selain itu juga melakukan wawancara dengan penduduk. Riset Etnografi Kesehatan ini merupakan kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati dalam kehidupan sehari–hari (Symon dan Cassel,1998). Riset Etnografi ini bertujuan untuk mengamati fenomena yang menjadi kebiasaan
9
sehari–hari masyarakat etnis Daya di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan teknik-teknik pengamatan, wawancara dan analisis dokumen. Penelitian ini juga untuk mendapatkan gambaran secara deskriptif menggunakan istilah– istilah yang di gunakan oleh Suku Daya dan kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa peneliti. Riset Etnografi ini akan menggambarkan bagaimana pola perilaku, adat istiadat dan keseharian yangterjadi dalam masyarakat serta pengetahuan dalam masyarakat etnik Daya, khususnya pengetahuan mengenai kebiasaan terkait kesehatan. Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara In-dept interview atau wawancara mendalam, observasi atau pengamatan, penelusuran dokumen dengan menggunakan foto maupun video. Hal ini dilakukan supaya data yang terkumpul benarbenar akurat dan terpercaya. Beberapa cara pengumpulan data tersebut adalah sebagai berikut ini. a. In-dept Interview Cara pengumpulan data pertama adalah dengan in-dept interview dengan menggunakan pedoman wawancara (Guiden Interview). Pedoman wawancara berguna untuk mengarahkan wawancara agar lebih terfokus dan dibuat sebelum melakukan wawancara sesuai dengan informasi yang di butuhkan. Cara ini dilakukan untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya dari informan dan untuk mendapatkan informasi yang mendalam terkait informasi yang kita butuhkan. In-dept interview dilakukan dengan informan yang dianggap bisa memberikan gambaran yang jelas dan mendalam terkait dengan kebudayaan Suku Daya, perilaku dan kebiasaan yang berkaitan dengan kesehatan yang nantinya dapat dipelajari dari informan. Ini penting dilakukan agar data yang didapatkan lebih valid. Kepala dinas, kepala bidang, kepala seksi, kepala puskesmas, pemegang program kegiatan, tokoh adat, tokoh
10
agama, aparat desa dan tokoh masyarakat serta Bidan Desa menjadi sumber informasi (informan) dalam penelitian ini . Pemilihan informan disesuaikan dengan jenis informasi yang dibutuhkan atau pokok pertanyaan penelitian. Seandainya informasi yang diberikan oleh informan terpilih masih dianggap kurang, maka Peneliti akan mencari informasi yang kurang tersebut dari informan yang lain. Peneliti akan meminta informan pertama untuk memberitahu kepada Peneliti siapa yang dapat memberikan informasi yang kurang tersebut. Cara tersebut dikenal dengan metode snowball sampling. Peneliti akan menulis semua data yang telah diperoleh dari hasil in-dept interview tersebut dalam catatan harian dan melakukan pemeriksaan catatan harian tersebut untuk memastikan tidak ada informasi yang kurang. Apabila ada informasi yang dirasa kurang, Peneliti akan menanyakan pada informan yang sama atau informan lain yang memahami. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Data yang telah diperoleh segera diproses untuk menghindari kesalahan persepsi dari data yang telah diperoleh. Dalam in-dept interview , alat yang digunakan selain panduan wawancara adalah voice recorder digital. b. Observasi Observasi atau pengamatan merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian ini guna mendapatkan gambaran umum penelitian. Observasi dilakukan terhadap masalah-masalah kesehatan sesuai dengan topik penelitian yang akan diambil. Pengamatan dilakukan atas dasar pengalaman langsung, yakni peneliti melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat maupun memotret dan merekam kejadian yang terjadi sebagai keadaan yang sebenarnya di lapangan. Alat yang digunakan dalam observasi ini adalah kamera digital dan handycam untuk mendapatkan gambaran secara visual kegiatan di lokasi penelitian.
11
c. Penelusuran Dokumen Peneliti juga mencari data-data sekunder untuk melengkapi informasi yang diperoleh dari elain pengumpulan data di lokasi penelitian. . Data-data tersebut berupa data statistik yang di dapatkan melalui Biro Pusat Statistik (BPS) OKU Selatan ataupun Profil Desa , data-data kesehatan secara umum yang berupa profil kesehatan, buku, maupun penelusuran informasi melalui internet yang dapat menunjang kelengkapan data yang berkaitan dengan suku Daya di Desa Padang Bindu Kecamatan Buay Runjung Kabupaten OKU Selatan Provinsi Sumatera selatan. d. Foto dan Video Foto dan video merupakan data lain yang juga penting untuk dikumpulkan. Data visual ini diambil untuk memperkuat dan menunjang bagi data-data yang telah dikumpulkan sebelumnya. Data visual ini diharapkan dapat memperjelas gambaran fenomena atau peristiwa yang terjadi, yang tidak cukup hanya digambarkan dalam bentuk tulisan. e. Studi Kepustakaan Teknik pengambilan data terakhir adalah dengan melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan yang dimaksud adalah cara memperoleh informasi atau data mengenai topik permasalahan yang dibahas dari buku-buku maupun dari internet. 1.3.3. Analisa Data Data yang telah terkumpul akan ditelaah pada tahap selanjutnya yaitu melakukan analisa data. Analisa data dilakukan sebagai upaya untuk mencari dan menata secara sistematis catatancatatan hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini.
12
Data yang akan dianalisa adalah data-data yang telah ditriangulasikan, yaitu uji silang terhadap hasil wawancara dan observasi untuk memastikan tidak ada informasi yang bertentangan antara hasil wawancara dengan observasi. Hasil wawancara dengan informan juga perlu diteliti lagi dengan informan-informan sebelumnya. Triangulasi data dilakukan setiap saat, tanpa menunggu data terkumpul. Hal ini penting dilakukan agar data yang didapatkan dapat segera dilakukan cross cek sehingga diharapkan dapat memperoleh data yang benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Tahapan analisis tematik dalam Riset Etnografi kesehatan ini dapat dikemukakan sebagai berikut. Tahap pertama Peneliti membaca dan memahami data yang diperoleh di lapangan, baik melalui kegiatan in-dept interview, observasi, catatan lapangan maupun data visual. Tahap kedua, Peneliti memilah-milah data yang diperoleh dan mengambil hal yang pokok terkait dengan topik penelitian setelah semua data telah dipahami oleh peneliti Tahap ketiga, Peneliti menyusun data yang telah diperoleh dan mengklasifikasikan data tersebut. Beberapa tahapan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menyajikan data secara sistematis dan terstruktur, sehingga memudahkan Peneliti untuk menarik kesimpulan. Penyajian data penelitian ini dilakukan secara naratif yaitu bersifat deskriptif.
13
BAB 2 ETNIK DAYA DESA PADANG BINDU 2.1
Gambaran Umum Kabupaten OKU Selatan Ogan Komering Ulu Selatan, yang disingkat menjadi OKU Selatan, secara resmi menjadi kabupaten baru pada tanggal 16 Januari 2004. Kabupaten OKU Selatan masuk ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Selatan, walaupun sebenarnya secara geografis wilayahnya lebih dekat ke dalam Provinsi Lampung dan Provinsi Bengkulu. Jarak Ibukota Provinsi yaitu Kota Palembang dengan Kota Muara Dua sebagai Ibukota Kabupaten OKU Selatan sekitar 271 km. Pada saat persiapan daerah, Peneliti sangat kesulitan untuk memperoleh informasi tentang transportasi reguler yang melayani rute Kota Palembang ke Kota Muara Dua. Dari informasi yang Peneliti dapatkan dari salah satu Kepala Bidang yang bertugas di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan, transportasi reguler yang melayani rute Kota Palembang ke Kota Muara Dua lebih mudah dengan menggunakan travel. Dan dari informasi itu Peneliti akhirnya memanfaatkan salah satu travel yang melayani rute Kota Palembang ke Kota Muara Dua dan juga rute sebaliknya dari Kota Muara Dua ke Kota Palembang. Namun jasa travel ini tidak bisa menjemput penumpang satu persatu, melainkan penumpang harus datang sendiri ke kantor travel itu dan kemudian berangkat dari kantor tersebut tetapi bisa mengantar penumpang sampai di tempat tujuan. Travel ini melayani rute Kota Palembang ke Kota Muara Dua hanya dua kali dalam satu hari, yaitu pada pagi hari jam 08.00 wib dan sore hari sekitar jam 16.00 Wib. Sedangkan dari Kota Muara Dua ke Kota Palembang juga melayani dua kali dalam satu hari, yaitu pagi jam 08.00 WIB dan siang hari pada pukul 14.00 WIB.
14
Gambar 2.1 Travel Kota Palembang – Kota Muara Dua PP. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Pada saat persiapan daerah, Peneliti melakukan perjalanan pada waktu malam hari dari Kota Palembang. Pada saat pengumpulan data, Peneliti melakukan perjalanan pagi hari dari Kota Palembang agar tidak tertinggal dan dapat menumpang bus yang ke lokasi penelitian di Desa Padang Bindu. Perjalanan pada malam hari membutuhkan tenaga penglihatan ekstra dari sopir, karena ada beberapa ruas jalan yang belum dilengkapi dengan lampu penerangan sehingga hanya mengandalkan penerangan dari mobil. Selain itu akses jalan dari Kota Palembang menuju ke Kota Muara Dua tidak terlalu baik, banyak sekali lubang dan beberapa ruas jalan aspalnya sudah mulai mengelupas. Apalagi kondisi tubuh yang mulai lelah, sehingga sedikit saja lengah dapat menyebabkan kecelakaan. Dan ketika di jalan, sangat jarang sekali bertemu dengan kendaraan yang lain dari satu arah maupun dari arah yang berlawanan. Ada beberapa ruas jalan yang tidak ada pintu perlintasan kereta api, hanya dijaga oleh beberapa orang dengan membawa kaleng untuk meminta bantuan secara sukarela. Perjalanan dari Kota Palembang ke Kota Muara Dua pada saat itu memakan waktu sekitar 7 jam, sedangkan kalau dengan
15
istirahat maka memakan waktu sekitar 8 jam perjalanan. Sedangkan perjalanan dari Kota Muara Dua ke Kota Palembang dilakukan pada pagi hari. Waktu yang di tempuh pada saat perjalanan pagi hari relatif lebih lama sekitar 1 jam, karena di beberapa tempat ada yang macet terutama ketika memasuki Kota Palembang. Di Provinsi Sumatera Selatan ada beberapa suku asli yang menetap di tempat ini. Suku yang mendiami provinsi Sumatera Selatan menurut Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia antara lain Ameng Sewang, Anak Dalam, Bangka, Belitung, Daya, Musi Banyuasin, Ogan, Enim, Kayu Agung, Kikim, Komering, Lahat, Lematang, Lintang, Kisam, Palembang, Pasemah, Padamaran, Pegagan, Rambang Senuling, Lom, Mapur, Meranjat, Musi, Ranau, Rawas, Saling, Sekak, Semendo, Pegagan Ilir, Pegagan Ulu, Penesak dan Pemulutan. Sukusuku itu menyebar di beberapa Kabupaten termasuk di Kabupaten OKU Selatan. Suku yang berdiam di OKU Selatan adalah Suku Daya, Suku Ogan, Suku Komering, Suku Kisam dan Suku Ranau. Suku Daya dan Suku Komering memiliki bahasa yang hampir mirip, sehingga sangat sulit membedakan antara suku Komering dengan Suku Daya. Sumber informasi yang relevan untuk membedakan kedua suku itu sangat sulit didapat oleh Peneliti, begitu pula dengan asal mula sejarah suku Daya di OKU Selatan tidak terlalu banyak didapatkan. Menurut Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, orang Daya adalah salah satu kelompok masyarakat asli di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Provinsi Sumatera Selatan. Wilayah penyebarannya meliputi Kecamatan Baturaja Timur, Baturaja Barat, Simpang, dan Muara Dua. Tidak dapat diketahui secara pasti jumlah orang Daya, tetapi diperkirakan lebih dari 50.000 jiwa. Pembentukan Kabupaten OKU Selatan merupakan salah satu bagian dari perjuangan dan keinginan dari masyarakat OKU bagian selatan. Sesuai dengan aspirasi dan semakin kuatnya kemauan masyarakat untuk membentuk kabupaten yang terpisah dari
16
kabupaten induknya, maka tokoh masyarakat OKU bagian selatan membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (P3KOS) yang diketuai oleh Bapak H. Muhtadi Sera’I (Bapak Bupati yang sekarang).
Gambar 2.2 : Peta Kab.OKU Selatan Sumber : Balitbangnovdasumsel.com Kabupaten OKU Selatan memiliki moto “Serasan Seandanan”. Kata Serasan mempunyai makna seiya sekata setujuan, sedangkan Seandanan mempunyai makna saling asih saling asuh. Berdasarkan arti kata tersebut, moto Serasan Seandanan dapat diartikan bahwa masyarakat Kabupaten OKU Selatan dalam mencapai tujuan untuk menyukseskan pembangunan di berbagai bidang selalu didasari musyawarah dan dilaksanakan secara gotong royong. Kabupaten OKU Selatan memiliki luas wilayah 5.493,34 km2. Wilayahnya sebagian besar merupakan dataran tinggi yang membentuk bukit-bukit dan gunung-gunung. Ketinggian wilayahnya berkisar antara 45 sampai dengan 1.643 mdpl. Wilayah tertinggi di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan adalah Gunung Seminung di
17
Kecamatan Banding Agung, dengan ketinggian 1.888 mdpl (BPS OKU Selatan, 2012).
Gambar 2.3 Tugu walet yang ada di Taman Muara Dua Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan dialiri oleh dua sungai besar yaitu Sungai Selabung dan Sungai Saka yang bermuara ke Sungai Komering. Bertemunya dua sungai yang bermuara di sungai Komering inilah yang menjadi sumber inspirasi masyarakat untuk menjadikan nama kecamatan yaitu Muara Dua. Di Muara Dua ini akhirnya diputuskan sebagai tempat Ibukota Kabupaten. OKU Selatan juga dikenal dengan sebutan Kota Walet karena merupakan salah satu potensi unggulan sehingga menjadikan inspirasi sebagai lambang resmi Kabupaten OKU Selatan. Wilayah di Kabupaten OKU Selatan pada umumnya beriklim tropis dan basah. Kecamatan yang mempunyai temperatur udara rendah umumnya merupakan daerah pegunungan, antara lain Kecamatan Banding Agung, Pulau Beringin, Muara Dua Kisam, dan Kisam Tinggi. Hanya 3 kecamatan, dari 19 Kecamatan yang ada, yang
18
memiliki alat penakar hujan. Ketiga kecamatan tersebut mempunyai curah hujan yang sangat berbeda. Curah hujan tertinggi terdapat di Kecamatan Banding Agung yang mencapai 4.411 mm pada bulan Desember 2004, sedangkan curah hujan terendah terdapat di Kecamatan Muara Dua Kisam yang hanya mencapai 64 mm pada bulan yang sama (BPS OKU Selatan, 2012). 2.2.
Sejarah Jalma Daya Sunur Menurut keterangan tokoh masyarakat dan tokoh agama yang tinggal di Desa Padang Bindu, Sunur merupakan sebutan dari masyarakat Daya untuk 4 desa yang ada di Kecamatan Buay Runjung. Keempat desa itu adalah Nagar Agung, Saung Naga, Padang Bindu dan Padang Sari. Ada cerita yang berkembang di orang Daya tentang istilah Sunur yang dikenal sebagai sebutan untuk 4 desa itu. Sejarah asal mula 4 desa itu diberi nama Sunur yaitu berdasarkan sejarah Kepuhyangan (Kepuyangan) atau keturunan bahwa orang Daya di 4 desa itu berasal dari 1 keturunan yang sama. Asal mula pemberian nama Sunur berawal dari cerita bahwa dulunya wilayah di 4 desa itu padang alang–alang yang pada musim kemarau dibakar oleh Puhyang untuk dijadikan tempat tinggal. Ketika padang rumput itu dibakar memancarkan cahaya yang menyilaukan mata, sehingga disebut dengan istilah Sunor. Asal mula Kepuhyangan (Kepuyangan) atau nenek moyang masyarakat Daya Sunur adalah Pusma yang berasal dari daerah Batanghari Sembilan. Anak Pusma yang paling bungsu inilah yang kemudian menjadi cikal bakal dari orang Jalma Daya di Sunur. Dikisahkan bahwa anak yang paling bungsu, atau orang Daya Sunur menyebutnya dengan Riya Dendam, merasa mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari orang tuanya sehingga pergi dari rumah dan berkelana. Dia berkelana dengan menggunakan perahu menyusuri sungai Komering sampai di Kali Kemung dan menemukan sisa batang pohon (Punghoh) yang habis ditebang. Dia duduk di atas sisa batang
19
pohon yang habis ditebang itu dan bertapa. Proses bertapanya memakan waktu bertahun–tahun, sampai pohon itu tumbuh kembali dan menutupi seluruh tubuh Riya Dendam, kecuali wajahnya saja yang kelihatan. Tidak berapa lama waktupun berlalu, ada seorang pencari kayu dengan ditemani anjing. Anjing pencari kayu itu menggonggong terus menerus kearah pohon yang menutupi tubuh Riya Dendam. Gonggongan anjing yang terus menerus menarik perhatian pencari kayu, sehingga pencari kayu mencari sesuatu yang membuat anjing itu menggonggong terus menerus. Perhatian pencari kayu tertuju pada sebatang pohon yang lebat, namun alangkah kaget dan terkejutnya pencari kayu setelah melihat wujud pohon itu. Ternyata di dalam pohon itu ada sesosok manusia yang seluruh tubuhnya tertutup oleh ranting-ranting, dan yang kelihatan hanya wajahnya saja.Pencari kayu itu memotong ranting-ranting dan batang pohon yang menutup seluruh tubuh manusia tersebut dengan kapak yang dibawanya. Setelah selesai memotong ranting dan batang pohon, maka terbebaslah tubuh Riya Dendam yang ada dalam batang pohon tersebut. Tubuh manusia itu seluruhnya tampak hitam tertutup oleh lali (daki) karena sudah terlalu lama di dalam pohon dan tidak mandi. Tidak berapa lama, Riya Dendam pun mengambil rotan dan menyelam ke dalam air untuk membersihkan daki yang menempel di seluruh tubuhnya. Beberapa saat kemudian Riya Dendam pun keluar dari dalam air. Ada perubahan yang sangat drastis ketika Riya Dendam keluar dari dalam air. Seluruh tubuhnya yang semula hitam dipenuhi oleh daki tampak sudah bersih dari daki dan tubuhnya berubah warna menjadi putih ketika keluar dari dalam air. Begitu pula dengan rotan yang semula masih utuh sebelum masuk ke dalam air, kini berubah menjadi sabut karena untuk membersihkan daki dari tubuhnya.
20
Selain itu jari-jari tangan Riya Dendam yang semula lurus berubah agak bengkok, karena terlalu lamanya jari tangan tersebut memegang rotan untuk menggosok daki di seluruh tubuh.
Gambar 2.4. Ciri fisik orang Suku Daya, jari tangan yang agak sedikit bengkok Sumber : Dokumentasi peneliti
Dari cerita ini, dipercaya oleh masyarakat suku Daya bahwa nantinya seluruh keturunan dari Riya Dendam memiliki ciri fisik bahwa jari tangannya agak sedikit bengkok dibandingkan dengan orang lain yang bukan dari keturunan Riya Dendam. Riya Dendam telah terbebas dari pohon dan tubuhnya menjadi bersih, maka orang lebih mengenalnya dengan nama Semaġno. Si pencari kayu yang membebaskan Riya Dendam merupakan Puhyang dari Desa Nambak, atau yang dikenal dengan Si Berani Sakti. Semaġno kemudian menetap dan membakar hutan untuk dijadikan tempat tinggal, yang kemudian disebut dengan Kampung Sunur. Semaġno mempunyai tiga orang putra di Kampung Sunur ini. Tiga putra Semaġno inilah yang menjadi cikal bakal Kampung Sunur. Anak pertama bernama Patih Gajahmada, yang kemudian menjadi nenek moyang masyarakat di Desa Nagar Agung (Naga Agung). Anak kedua bernama Patih Peneleh, yang menjadi nenek moyang masyarakat di Desa Saung Naga (Sawong Naga/Sangkar Naga). Anak ketiga bernama Patih Mapak, yang menjadi nenek moyang masyarakat di Desa Padang
21
Bindu. Berdasarkan cerita tentang Kepuhyangan tersebut, maka penduduk di Kampung Sunur merupakan satu garis keturunan yang disebut dengan Buay Semaġno.
Gambar 2.5. Bukti fisik cerita tentang sejarah Desa Padang Bindu Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Pada perkembangannya dan semakin banyaknya keturunan dari Buay Semaġno, maka yang awalnya terdiri dari tiga desa yaitu Desa Saung Naga, Desa Nagar Agung dan Desa Padang Bindu berubah menjadi empat desa ditambah dengan Desa Padang Sari. Desa Padang Sari merupakan pemekaran dari Desa Padang Bindu yang semakin banyak penduduknya. Pemekaran Desa Padang Bindu tidak diketahui dengan pasti waktu terjadinya, karena ketika melakukan wawancara dengan informan yang sudah berusia 80 tahun pun tidak ada yang mengetahui secara pasti.
22
Patih Gajahmada ( Phuyang Desa Nagar Agung )
Patih Penilih Semaġno
Ġak Sanga Tahu
( Phuyang Desa Saung Naga ) Patih Penilih Patih Mapak ( Phuyang Desa Padang Bindu dan Desa Padang Sari )
Phuyang Mangkubumi ( Kampung Talang )
Phuyang Umpun Singaji ( Kampung Renog )
Ġadja Penanggungan
Phuyang Umpun Kaġija ( Kampung Ngaġaja Wai/Jalan ke air )
Phuyang Umpun Pati ( Kampung Tengah )
Gambar 2.6 : Silsilah keturunan Suku Daya Sunur dan Desa Padang Bindu Sumber : Ilustrasi Peneliti, 2015.
2.3.
Cerita Asal Mula Desa Padang Bindu Menurut cerita dari tokoh masyarakat dan tokoh agama di Desa Padang Bindu adalah salah satu desa yang penduduknya merupakan keturunan dari Phuyang (Puyang) Buay Semaġno. Dari tiga orang keturunan dari Buay Semaġno, Desa Padang Bindu merupakan garis keturunan yang paling akhir atau paling bungsu yang bernama Patih Mapak. Dikisahkan bahwa pada mulanya sebelum terbentuknya Desa Padang Bindu, wilayahnya merupakan suatu hutan yang ditanami pohon Bendo. Pada saat itu Patih Mapak mempunyai niat untuk menetap dan mendirikan tempat tinggal di hutan tersebut. Pohon–pohon Bendo itu kemudian oleh Patih Mapak ditebangi untuk dijadikan tempat tinggal, karena semakin berkembangnya keturunan dari Patih Mapak maka semakin banyak tempat tinggal yang didirikan di hutan pohon Bendo tersebut. Semakin banyaknya penghuni dan tempat tinggal di hutan Bendo itu, maka tempat itu dinamakan dengan sebutan Desa Padang Bindu.
23
Gambar 2.7 : Makam Phuyang Patih Mapak Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Padang Bindu semakin lama semakin berkembang, dari seorang Patih Mapak memiliki banyak keturunan sampai saat ini. Penyebaran keturunan dari Puhyang Patih Mapak menyebar sampai ke Padang Sari. Dari Puhyang Patih Mapak yang tinggal di Padang Bindu, mempunyai tiga orang putra. Putra yang pertama mempunyai nama Ġak Sanga Tahu, putra yang kedua diberi nama Puhyang Patih Penilih (nama yang sama dengan putra yang kedua dari Semaġno) dan putra yang ketiga atau yang bungsu diberi nama Puhyang Ġadja Penanggungan. Ketiga putra tersebut masing–masing juga mempunyai keturunan. Namun dari ketiga putra Patih Mapak, hanya dari Puhyang Ġadja Penanggungan sebagai putra paling Bungsu yang dapat diketahui cerita sejarah keturunannya. Cerita sejarah garis keturunan Puhyang Ġadja Penanggungan diperoleh dari informan maupun catatan dari para Ketua Adat terdahulu. Berdasarkan catatan dari Ketua adat terdahulu bahwa putra dari Puhyang Ġadja Penanggungan ada tiga yaitu Puhyang Umpun Singaji adalah putra yang tertua, putra yang kedua yaitu Puhyang Umpun Kaġija dan putra yang paling bungsu adalah Puhyang Umpun Pati. Sedangkan putra Patih Mapak yang paling tua yaitu Ġak Sanga Tahu, tidak diketahui secara pasti garis keturunannya. Garis keturunan putra yang kedua yaitu Patih Penilih, informan juga tidak ada yang tahu sampai garis keturunan yang ke berapa putus. Cerita garis keturunan menyambung kembali
24
sampai ke Puhyang Mangkubumi. Puhyang Mangkubumi merupakan cikal bakal adanya penduduk Kampung Talang pada saat ini. Masing–masing putra dari Patih Mapak memiliki satu garis keturunan, kecuali putra yang paling tua tidak diketahui secara pasti cerita garis keturunannya dan putra yang kedua yaitu Patih Penilih yang garis keturunannya sempat terputus dan cerita garis keturunannya tersambung kembali mulai dari Puhyang Mangkubumi sehingga tidak ada yang tahu Puhyang Mangkubumi ini merupakan garis keturunan yang keberapa. Garis keturunan dari masing–masing putra Patih Mapak itu yang kemudian disebut dengan Kampung Adat. Kampung adat di Desa Padang Bindu ada empat, dan masing–masing Kampung Adat terbentuk dari empat garis keturunan. Garis keturunan dari putra Patih Penilih anak kedua dari Patih Mapak yang dimulai dari Puhyang Mangkubumi, merupakan cikal bakal terbentuknya Kampung Talang. Seperti diceritakan oleh Bapak Aliyidin sebagai berikut, “…Phuyang Mangkubumi adalah phuyang kami dari Kampung Talang, Phuyang Mangkubumi namanya Setajim. Gelarnya adalah Mangkubumi. Istrinya ada dua, yang satu dari Desa Air Baru dan yang satunya dari Kota Karang. Setelah itu saya kurang paham, kalau dari situ sampai sini terlalu panjang. Kalau Cik Raden dari Kota Karang, kalau saya dari Air Baru. Salah satu penemuan Phuyang kami adalah sarang walet…”
Makam Phuyang Mangkubumi ada di desa yang lama dan saat ini masih terpelihara dengan baik. Menurut kepercayaan beberapa penduduk Kampung Talang keturunan dari Phuyang Mangkubumi, bila punya keinginan mereka akan datang ke makam Phuyang. Bila keinginannya terkabul maka penduduk itu membeli kelambu dan ditaruh di makam Phuyang Mangkubumi.
25
Gambar 2.8 Makam Phuyang Mangkubumi dan bentuk makam jaman dulu Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Garis keturunan dari Ġadja Penanggungan, putra yang tertua yaitu Puhyang Umpun Singaji adalah merupakan cikal bakal terbentuknya Kampung Renog. Putra yang kedua yaitu Puhyang Umpun Kaġija, merupakan cikal bakal terbentuknya Kampung Ngaġaja Wai yang berarti jalan ke air. Putra yang paling bungsu yaitu Puhyang Umpun Pati, merupakan cikal bakal terbentuknya Kampung Tengah. Masing–masing Kampung Adat itu dipimpin oleh seorang Ketua Adat. Pada awal terbentuknya Kampung Adat, masing–masing Kampung Adat tinggal secara mengelompok yang disebut dengan Way Tupak. Kampung–kampung Adat itu tempatnya berada di dalam hutan, karena pada saat itu di dalam hutan merupakan sumber makanan. Kampung Adat Padang Bindu berada di antara dua aliran sungai, yaitu sungai Kima dan Sungai Semingkap. Untuk bertahan hidup pada saat itu, Puhyang mendirikan tempat tinggal. Tempat tinggal masyarakat suku Daya Desa Padang Bindu pada awalnya terbentuk dari kayu batang pohon dan bambu. Untuk menghindar dari binatang buas, tempat tinggal dibuat di atas dalam bentuk rumah panggung. Semakin berkembangnya waktu, maka semakin padat penghuni di kampung adat itu. Dalam proses kehidupan manusia ada yang lahir dan ada yang meninggal. Di kehidupan masyarakat Suku
26
Daya Padang Bindu, bagi orang yang meninggal akan dimakamkan di sekitar rumah tempat tinggal. Makamnya ditandai dengan nisan dari batu, tanpa ada pemberian nama di nisannya. Seiring dengan perkembangan waktu dan semakin padatnya penduduk di Kampung Way Tupak, maka penduduk bergeser dan mendirikan tempat tinggal yang dekat dengan aliran sungai Semingkap. Pada awalnya hanya sekitar tujuh rumah yang berada di sekitar sungai Semingkap. Namun karena perkembangan waktu, semakin banyak yang mengikuti dan mendirikan tempat tinggal di sepanjang aliran sungai Semingkap. Pada akhirnya, penduduk Kampung Adat Desa Padang Bindu meninggalkan kampung yang lama atau Tiu Taha sampai tidak berpenghuni. Setelah itu mereka mendirikan rumah–rumah baru di sepanjang aliran sungai Semingkap mulai dari hulu sampai hilir, sehingga menjadi Desa Padang Bindu sekarang yang letak rumahnya berada di sepanjang aliran sungai Semingkap. Phuyang Desa Padang Bindu pada jaman dulu tidak meninggalkan bukti-bukti berupa tulisan. Bukti tulisan dibuat oleh Ketua Adat sebelum generasi yang sekarang. Walaupun tidak meninggalkan bukti berupa tulisan, namun Phuyang jaman dulu mempunyai benda-benda atau alat-alat hasil kebudayaan yang dipergunakan pada saat masih hidup. Benda-benda tersebut pada saat ini masih ada yang disimpan oleh para Ketua Adat, dan ada yang sudah tidak ada lagi. Benda-benda yang masih ada dan tersimpan yaitu seperti kotak dari kayu, sebilah pedang, dan beberapa perlengkapan makan. Ada juga sebuah piring besar yang dapat juga menyembuhkan penyakit mata. Namun ada juga yang sudah tidak ada, menurut cerita dari beberapa masyarakat bahwa dulu ada sebuah mangkuk makanan. Bila mangkuk itu diisi makanan, makanan itu tidak akan pernah basi. Namun mangkuk makanan dan alat kesenian tradisional itu sekarang sudah tidak ada lagi. Hampir semua tokoh adat atau tokoh masyarakat tidak ada yang mengetahui di mana keberadaan benda-benda peninggalan Phuyang tersebut. Ada juga
27
alat kesenian tradisional yaitu gong dan gamelan yang biasa dipakai pada saat ada pernikahan. Alat musik tradisional gamelan dan gong pada tahun 1975 masih ada yang menggunakan, tetapi pada tahun 1980 sudah mulai hilang.
Gambar 2.9 Benda-benda bersejarah pedang dan kotak peninggalan phuyang Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
2.4.
Desa Padang Bindu dan Perkembangannya Awal pemerintahan Desa Padang Bindu, pemimpin yang tertinggi dipegang oleh Sirah. Kalau pada saat ini, Sirah adalah setingkat dengan Camat. Untuk pemegang kekuasaan yang tertinggi di tingkat desa bukan Kepala Desa seperti pada saat ini. Pemimpin desa pada awal pemerintahan disebut dengan Kriyo, dan wakilnya adalah Punggawo. Pada saat ini jabatan punggowo sama dengan Kepala Dusun, sedangkan pada jaman Kriyo belum ada Kepala Dusun tetapi Ketua Adat. Pada jaman pemerintahan Kriyo, masa jabatannya tidak dibatasi. Bagi siapa yang ingin menjabat menjadi Kriyo dan kebetulan belum ada yang ingin menggantikan, maka tetap akan menjadi Kriyo. Kriyo yang memimpin Desa Padang Bindu pertama kali adalah Gilang. Kriyo ini tidak diketahui berapa lama masa jabatannya. Kriyo yang kedua adalah Kriyo Tuni. Kriyo ini memegang jabatan selama 10 tahun. Kriyo yang ketiga adalah Kriyo Murot. Kriyo ini memegang jabatannya selama 2 tahun. Yang terakhir adalah Kriyo Anwar, yang
28
memegang masa jabatannya selama 18 tahun. Walaupun dapat diketahui masa jabatan yang dipegang oleh Kriyo di Desa Padang Bindu, akan tetapi tidak diketahui secara pasti pada tahun berapa Kriyo–Kriyo itu memegang pimpinan. Setelah masa jabatan Kriyo berakhir, maka jabatan Kriyo berubah nama menjadi Kepala Desa. Perubahan nama kepemimpinan desa dari Kriyo menjadi Kepala Desa ini merupakan dampak dari pengesahan UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam UU No. 5 tahun 1979 itu di dalam pasalnya berisi tentang pembentukan desa, pemerintahan desa dan juga tentang masa jabatan kepala desa. Dalam Pasal 7 UU No. 5 tahun 1979 itu menerangkan bahwa masa jabatan kepala desa adalah 8 tahun terhitung sejak tanggal pelantikannya dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Adanya UU tentang pemerintahan desa itu juga berlaku bagi pemerintahan di Desa Padang Bindu, kemudian setelahnya Kepala Desa memegang masa jabatannya selama 8 tahun. Kepala Desa yang pertama di Desa Padang Bindu adalah Bapak Cik Mas, beliau memimpin Desa Padang Bindu sekitar tahun 1985 – 1993. Sebelum beliau menjadi Kepala Desa, kondisi desa masih sangat sepi dan akses penghubung antar desa masih sulit. Di desa belum ada listrik dan sebelum tahun 1980 jalan masih setapak, dan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Jalan penghubung antara Desa Padang Bindu dengan Desa Simpang Saga masih dipisahkan oleh sungai, sehingga akses antar desa dengan berjalan kaki. Pada tahun 1981, dibangun jembatan penghubung antara Desa Padang Bindu dengan Desa Simpang Saga. Jembatan pada waktu itu masih berupa kayu, dan sudah bisa dilalui oleh sepeda motor. Pada tahun 1982 jalan di Desa Padang Bindu mulai dilebarkan, mobil sudah bisa masuk tetapi jalan masih berupa tanah. Kemudian jalan tersebut sudah diberi batu dan koral. Setelah Bapak Cik Mas tiga tahun menjadi Kepala Desa, pada tahun 1987 jalan desa mulai diperbaiki dan diaspal. Lima tahun kemudian masa jabatan Bapak Cik Mas berakhir dan digantikan oleh
29
Bapak Cik Raden. Bapak Cik Raden memegang jabatan sebagai Kepala Desa sekitar tahun 1993 sampai dengan 2001. Pembangunan yang telah dicapai pada masa kepimpinan Bapak Cik Raden adalah listrik masuk desa pada tahun 1995, walaupun pada saat itu hanya bisa digunakan pada malam hari. Dua tahun kemudian listrik sudah masuk secara penuh. Dengan sudah adanya listrik di desa, ada salah seorang penduduk yang membeli televisi dan memasang parabola. Bagi yang menonton pada saat itu diwajibkan membayar seharga seratus rupiah. Setelah itu semakin banyak yang mempunyai televisi dan memasang parabola seperti pada saat ini. Namun yang sungguh memprihatinkan adalah kondisi jaringan sumber listrik. Walaupun sejak tahun 1997 jaringan listrik sudah masuk, namun jaringannya tidak terlalu stabil. Pada saat ini, setiap hari jaringan listrik pasti pernah mati. Jaringan listrik dalam satu hari bisa mati dan nyala lagi sampai sembilan kali, dan kadang juga listrik mati sampai dua hari. Untuk menghindari kerusakan pada alat-alat elektronik, biasanya penduduk memasang alat untuk menetralkan jaringan listrik yang biasa disebut dengan stavolt. Untuk membantu penerangan kalau jaringan listrik mati, biasanya penduduk Desa Padang Bindu menyalakan bekom dan setiap rumah sudah menyiapkan bloor. Kondisi itu sempat dirasakan oleh Peneliti ketika tinggal di Desa Padang Bindu. Suatu ketika listrik mati dari jam 21.00 WIB dan baru menyala pada keesokan paginya sekitar jam 10.00 WIB.
30
Gambar 2.10 Bekom. Sumber penerangan ketika listrik padam. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Pada masa era kepimpinan setelah Cik Raden, masa jabatan Kepala Desa hanya 5 tahun dan dibatasi dalam masa dua periode saja sesuai dengan pasal 96 UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Kepala Desa selanjutnya setelah Cik Raden yaitu Bustari, Bapak Bustari memimpin Desa Padang Bindu pada masa periode 2001 sampai dengan 2006. Namun sebelum masa jabatannya berakhir, Bapak Bustari meninggal dunia karena sakit. Untuk menggantikan sisa masa jabatan sebagai Kepala Desa, digantikan oleh Pemegang Jabatan Sementara yaitu Bapak Sayuti. Setelah masa jabatan Bustari benar-benar berakhir, jabatan Kepala Desa sepenuhnya digantikan oleh Bapak Sayuti. Pada masa kepemimpinan Bapak Sayuti, ada berbagai peristiwa yang terjadi di Desa Padang Bindu. Di Desa Padang Bindu ada wabah penyakit kusta yang terjadi tahun 2005, tetapi bisa diberantas oleh Dinkes OKU Selatan. Pada saat itu laporan dari Dinkes Kab. OKU Selatan disampaikan kepada Dinkes Provinsi. Dinkes Provinsi meneruskan laporan kepada WHO. Proses itu terjadi dalam waktu 2 bulan. Setelah selama dua tahun dilakukan rehabilitasi dan pengobatan terhadap penderita kusta, 19 warga yang menderita kusta berhasil disembuhkan. Keberhasilan lain adalah adanya pembangunan infrastruktur yaitu pembangunan 8 jembatan. Jembatan yang paling
31
panjang sekitar 17 meter dan yang lain merupakan jembatan penghubung antar dusun. Pembangunan infrastruktur yang lain yaitu perbaikan pasar kalangan dan jalan–jalan setapak yang dilakukan pada tahun 2009 oleh program PNPM Mandiri. Ada juga pembangunan fasilitas umum di desa yang dananya berasal dari swadaya masyarakat, yaitu pembangunan masjid yang dananya dari patungan warga atau pupuan. Dan setelah pembangunan masjid itu berjalan, ada anggaran dari bagian Kesejahteraan Rakyat Kabupaten senilai sembilan belas juta rupiah untuk memperbaiki fasilitas masjid . Pada pertengahan tahun 2011, masa jabatan Bapak Sayuti telah berakhir. Untuk mengisi kekosongan kepemimpinan Kepala Desa Padang Bindu,maka ditunjuklah Bapak Iskandar Bin Mustopa sebagai pemegang jabatan sementara. Bapak Iskandar menjabat selama 6 bulan, dan setelah itu jabatan Kepala Desa dipegang oleh Bapak Mustakim. Bapak Mustakim menjadi Kepala Desa Padang Bindu sebagai calon tunggal pada saat pemilihan Kepala Desa. Bapak Mustakim masih memegang masa jabatannya sampai saat ini. Pada masa peralihan dari Bapak Iskandar ke Bapak Mustakim yaitu sekitar tahun 2012, ada pembangunan fasilitas sarana air bersih dari program Pamsismas (Program Nasional Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat). Pembangunan itu berupa pemasangan pipa dari mata air yang disalurkan ke rumah–rumah penduduk. Namun setelah tiga tahun, fasilitas sarana air bersih itu sudah jarang dimanfaatkan oleh penduduk karena air yang kadang-kadang tidak keluar. Selain pembangunan pipanisasi, juga ada pembangunan sarana mandi-cucikakus (MCK) umum di Desa Padang Bindu. Ada dua MCK umum yang akan dibangun, satunya dibangun di masjid dan satu lagi dibangun di dekat tempat kalangan. Namun pembangunan MCK umum yang berasal dari program Pamsismas itu sampai saat ini belum selesai.
32
Gambar 2.11 MCK di Desa Padang Bindu yang belum jadi Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
2.5.
Gambaran Umum Desa Padang Bindu Desa Padang Bindu secara administratif dan geografis masuk ke dalam wilayah Kecamatan Buay Runjung. Batas wilayah Desa Padang Bindu di sebelah utara berbatasan dengan Desa Nagar Agung Kecamatan Buay Runjung, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tanjung Menang Ulu Kecamatan Buay Sandang Aji, sebelah timur berbatasan dengan Desa Simpang Saga Kecamatan Buay Runjung dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Padang Sari Kecamatan Buay Runjung.
33
Gambar 2.12 Peta Desa Padang Bindu Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Wilayah pemukiman di Desa Padang Bindu dikelilingi oleh perbukitan, sehingga sarana informasi dan komunikasi sangat sulit di daerah ini. Untuk mendapatkan siaran televisi, hampir semua penduduk menggunakan parabola agar dapat menikmati siaran televisi. Dengan menggunakan parabola, hampir semua stasiun televisi baik dari dalam maupun luar negeri dapat dijangkau. Sebenarnya harga parabola sendiri relatif terbilang mahal, penduduk dengan rela membelinya hanya demi untuk mendapatkan sebuah informasi. Namun tidak semua siaran televisi dapat ditangkap dengan menggunakan parabola, ada beberapa siaran televisi yang tidak dapat dengan menggunakan parabola. Misalnya ada siaran langsung pertandingan sepak bola dari salah satu negara di Eropa yang ditayangkan oleh salah satu televisi swasta di Indonesia, maka dengan sendirinya siaran itu akan hilang dan akan dapat siaran televisi lagi setelah siaran langsung pertandingan sepak bola itu selesai. Akses informasi dengan sarana televisi menjadi suatu kebutuhan yang langka dan mahal.
34
Penduduk Desa Padang Bindu sudah banyak yang memakai alat telekomunikasi telepon genggam sebagai sarana komunikasi. Namun sinyal yang didapatkan sangat sulit dan berlaku untuk semua layanan operator. Sangat sulitnya untuk mendapatkan signal telepon genggam dikarenakan memang tidak adanya tower pemancar BTS (Base Transceiver Station) dari operator-operator telepon genggam. Untuk mendapatkan signal, penduduk harus ada di tempat-tempat tertentu. Tempat untuk mendapatkan sinyal terbaik biasanya ada di jendela atau di dinding rumah. Ada juga penduduk yang memasang alat sebagai penguat sinyal, biasanya alat tersebut dipasang di atap rumah kemudian dipasang kabel dan kabel tersebut di dekatkan pada telepon genggam. Namun apabila di lokasi perkebunan kopi, maka signal telepon genggam akan sangat mudah didapatkan. Hal tersebut merupakan pengalaman yang unik bagi Peneliti. Pada saat di lokasi penelitian, untuk melakukan komunikasi atau pada saat sedang telepon harus dengan menggunakan headset atau suara yang ada di telepon dikeraskan. Pada saat sedang berbicara di telepon, telepon genggam harus ditaruh di jendela atau di dinding rumah yang sudah ada tempat menaruh telepon genggam. Bila telepon genggam di angkat, maka secara langsung telepon akan putus karena tidak mendapatkan sinyal.
Gambar 2.13 Contoh tempat tertentu untuk mendapatkan sinyal harus dan alat untuk penguat sinyal Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Ada dua jenis persawahan yang ada di Desa Padang Bindu, yaitu sawah lebak dan sawah darat. Yang dimaksud dengan sawah
35
lebak adalah sawah yang tidak membutuhkan saluran irigasi, sedangkan sawah darat adalah sawah yang membutuhkan sarana pengaturan pintu-pintu irigasi. Saluran irigasi untuk sawah darat berasal dari sungai Kima dan sungai Semingkap. Selain itu tanah yang paling banyak yaitu tanah perkebunan, terutama untuk perkebunan kopi. Status tanah perkebunan yang ada di Desa Padang Bindu merupakan tanah perkebunan milik perorangan, tetapi ada juga yang merupakan perkebunan rakyat. Desa Padang Bindu dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Untuk menjalankan fungsi administrasinya, seorang Kepala Desa dibantu oleh Kepala Urusan dan Sekretaris Desa. Kepala Urusan yang membantu Kepala Desa antara lain, Kepala Urusan Pemerintahan yang bertugas untuk menjalankan peran kepala desa ketika tidak ada di tempat, Kepala Urusan Pembangunan yang bertugas untuk menjalankan dana desa dan Kepala Urusan Kesejahteraaan Rakyat yang bertugas untuk menyalurkan dana beras miskin (Raskin) dan memimpin upacara hari besar keagamaan Islam. Wilayah Desa Padang Bindu terbagi menjadi empat dusun. Keempat dusun itu tidak memiliki nama khusus, hanya di bagi berdasarkan urutan yaitu Dusun 1, Dusun 2, Dusun 3 dan Dusun 4. Masing–masing dusun dipimpin oleh satu orang Kepala Dusun. Kepala Dusun yang ada di Desa Padang Bindu bertugas untuk membantu kinerja Kepala Desa, dan seorang Kepala Dusun dipilih oleh Kepala Desa. Satu-satunya akses jalan yang menghubungkan ke masing–masing dusun melalui jalan utama desa, karena lokasi masing–masing dusun berbaris sejajar dengan Sungai Semingkap. Letak Dusun 1 dimulai dari hulu, kemudian ke hilir ada Dusun 2, selanjutnya ada Dusun 3 dan yang paling hilir ada Dusun 4. Salah satu tempat yang sangat berharga di Desa Padang Bindu adalah kalangan.
36
Gambar 2. 14 Suasana hari Kamis saat belanja di kalangan Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Kalangan merupakan pasar tradisional yang beroperasi setiap satu minggu satu kali yaitu setiap hari kamis. Pedagang yang ada di sini harus menyewa tempat dan membayar iuran. Setiap tempat disewakan sekitar Rp.180.000,- sampai Rp. 200.000,- untuk setiap tahunnya. Sedangkan setiap berjualan ada iuran sekitar Rp. 2.000,Pada hari kalangan ini seperti layaknya pasar tradisional yang lain, namun yang membedakan adalah ada pedagang yang berjualan obatobatan untuk pertanian dan penjual obat-obatan serta ada jasa tukang potong rambut. Hal tersebut sangat menguntungkan bagi pedagang karena di Desa Padang Bindu tidak ada koperasi yang melayani kebutuhan petani dan apotik atau toko obat. Selain itu setiap hari Kamis, tenaga kesehatan di Desa dan Puskesmas juga membuka praktek di sekitar kalangan.
37
Gambar 2.15 Salah satu penjual obat-obatan yang ada di kalangan Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Penduduk Desa Padang Bindu merupakan keturunan asli dari Suku Daya, namun ada beberapa orang yang berasal dari suku pendatang. Suku pendatang itu menetap di Desa Padang Bindu karena telah menikah dengan masyarakat suku Daya dan diajak untuk tinggal dan menetap di desa. Proses pernikahan itu terjadi pada saat penduduk asli Suku Daya pergi merantau untuk bekerja atau menempuh pendidikan ke tempat lain dan bertemu kemudian menikah. Suku pendatang yang tinggal dan menetap di Desa Padang Bindu yang berasal dari berbagai macam suku. Ada sekitar 7 orang suku Sunda, yang terdiri dari 3 orang laki–laki dan 4 orang perempuan, dan 32 orang suku Jawa, yang terdiri dari 11 orang laki–laki dan 21 orang perempuan. Desa Padang Bindu secara keseluruhan terdiri dari 341 kepala keluarga. Penduduk Desa Padang Bindu ada 1.712 orang, terdiri dari 734 orang laki-laki dan 978 orang perempuan. Tingkat kepadatan di Desa Padang Bindu sekitar 1 orang perkilometer, dan perbedaan jumlah antara laki–laki dan perempuan tidak terlalu mencolok. Penduduk di Desa Padang Bindu mayoritas beragama Islam. Masih ada
38
juga praktek perdukunan, terutama dukun bayi, dukun pengobatan dan dukun untuk upacara inisiasi.
2.5.1. Dari Muara Dua ke Desa Padang Bindu Jarak Desa Padang Bindu dengan ibukota kecamatan dan Puskesmas sekitar 8 km. Tidak ada angkutan reguler untuk menuju ke pusat ibukota kecamatan atau Puskesmas, jadi harus menggunakan angkutan pribadi berupa sepeda motor maupun mobil yang ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam. Jarak ke ibukota kabupaten di Kecamatan Muara Dua sekitar 30 Km dan ada angkutan regular berupa bus kecil yang biasa melakukan perjalanan pulang pergi dari Desa Padang Bindu ke ibukota kabupaten. Biasanya kalau menggunakan angkutan regular yang berupa bus kecil berisikan 8-10 penumpang bisa ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam. Ongkos perjalanan dengan bus kecil dari Desa Padang Bindu ke ibukota kabupaten sebesar Rp. 20.000,-. Dalam perjalanannya, angkutan regular itu sewaktu–waktu bisa mengangkut penumpang yang mempunyai tujuan ke ibukota kabupaten tetapi ongkos yang harus dibayarkan beragam disesuaikan dengan jarak yang ditempuh. Sebenarnya angkutan bus itu bisa untuk mengangkut sampai 15 orang, akan tetapi bagian belakang dalam bus didesain untuk mengangkut barang sehingga hanya bisa memuat 8–10 penumpang saja. Angkutan umum regular biasanya hanya satu kali pulang pergi saja. Jumlah bus angkutan umum itu hanya berjumlah 3 buah; 1 bus berasal dari Desa Saung Naga, 1 bus yang berasal dari Desa Padang Sari dan 1 bus lagi dari Desa Sugih Waras. Ketiga bus tersebut berangkat dari Desa Padang Bindu ke ibukota kabupaten sekitar pukul 06.00 - 06.30 WIB. Setelah jam itu tidak ada angkutan regular yang lain. Angkutan regular itu hanya sampai di terminal Muara Dua, yaitu tempat mangkalnya angkutan umum atau mobil travel antar kota maupun antar provinsi. Di terminal Muara Dua, bus hanya singgah sebentar kemudian berangkat lagi dan menunggu
39
penumpang di pangkalan bus yang disebut dengan Taman di Kecamatan Muara Dua. Taman ini adalah tempat mangkalnya angkutan umum yang melayani rute dalam kota saja. Angkutan regular itu kembali menuju ke Desa Padang Bindu sekitar pukul 13.00 – 14.00 WIB dan sampai di Desa Padang Bindu pukul 16.00 – 17.00 WIB. Bus-bus itu mau menunggu penumpang apabila sudah membuat janji terlebih dulu. Namun ongkos yang dibayar tidak sama dengan ongkos penumpang umumnya. Ongkos yang dibayarkan bisa naik sampai 100%, yaitu mencapai Rp. 40.000,- sampai Rp. 50.000,-. Bus angkutan regular itu juga membantu masyarakat Desa Padang Bindu untuk berbelanja, selain berfungsi sebagai sarana transportasi penghubung dari Desa Padang Bindu ke ibukota kabupaten. Biasanya yang memanfaatkan bus angkutan umum itu adalah warga yang membuka toko kelontong di desa, dan menitipkan catatan daftar belanjaan kepada sopir bus. Daftar belanjaan itu berupa sembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat yang dibeli dalam jumlah besar atau grosiran untuk dijual kembali dalam jumlah kecil. Warga yang menitipkan barang belanjaannya harus membayar ongkos seperti penumpang umumnya. Perjalanan dari Desa Padang Bindu ke ibukota kabupaten dengan menggunakan angkutan pribadi bisa ditempuh dalam waktu yang lebih cepat. Kalau menggunakan angkutan pribadi berupa mobil bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu setengah jam dan bial menggunakan sepeda motor memakan waktu sekitar 1 jam. Kondisi jalan yang dilalui untuk menuju ke ibukota kabupaten cukup sulit karena ada bagian jalan yang menanjak. Jalan yang dilalui memang sudah jalan aspal, meskipun ada beberapa ruas jalan yang berlubang dan aspalnya sudah mengelupas. Lebar jalan sekitar 5 m sehingga bila kendaraan roda empat berpapasan dengan truk atau bus maka salah satu kendaraan terkadang harus keluar dari badan jalan untuk menghindari tabrakan. Kondisi jalan sudah baik ketika memasuki Desa Padang Bindu. Akses jalan yang sempit dan rusak ini yang
40
menghambat perjalanan dari ibukota kabupaten ke Desa Padang Bindu. 2.5.2. Desa Padang Bindu di Antara Dua Sungai Wilayah Desa Padang Bindu merupakan daerah berbukit dan memiliki luas sekitar 1.909 Ha. Luas wilayah itu digunakan untuk pemukiman, perkebunan, persawahan dan pekarangan. Desa Padang Bindu dilalui oleh dua aliran sungai, yaitu sungai Semingkap dan Sungai Kima. Letak pemukiman masyarakat Desa Padang Bindu berjajar-jajar di sepanjang jalan Desa Padang Bindu dan mengikuti arah aliran sungai Semingkap dari hulu sampai hilir. Sungai Kima dan sungai semingkap merupakan salah satu sumber untuk pemenuhan kebutuhan air bersih dan dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Padang Bindu untuk kegiatan MCK air serta juga kadang-kadang untuk pemenuhan kebutuhan air minum. Menurut cerita masyarakat, sungai Kima tidak akan pernah kering walaupun pada musim kemarau. Pada musim kemarau air sungai Kima akan bertambah banyak dibandingkan pada saat musim hujan. Sedangkan sungai Semingkep pada saat musim kemarau airnya akan menyusut. Sungai Kima airnya lebih jernih dibandingkan dengan sungai Semingkap. Air sungai Semingkap berwarna putih kecoklatan. Meskipun begitu masyarakat lebih banyak memanfaatkan air sungai Semingkap untuk kegiatan MCK daripada sungai Kima, karena sungai Semingkap jaraknya lebih dekat dari rumah daripada ke Sungai Kima.
41
Gambar 2.16 Sungai Kima, sumber pengairan di Desa Padang Bindu. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Pemenuhan sumber air di Desa Padang Bindu selain dari sungai Kima dan Sungai Semingkep juga berasal dari air sumur dan sumber mata air. Sumber mata air tersebut dialirkan ke desa melalui pipa-pipa yang kemudian di salurkan ke rumah-rumah penduduk. Biasanya air dari mata air itu dipergunakan oleh masyarakat untuk mandi dan mencuci, karena kualitas air yang keruh dan berwarna kecoklatan. Namun kadang-kadang aliran dari mata air tersebut tidak keluar karena tersumbat oleh kotoran. Untuk pemenuhan kebutuhan air minum sehari-hari, masyarakat memanfaatkan dari sumber air sumur gali yang kedalamannya mencapai 15 meter. Sumur gali itu berada di belakang atau di depan rumah dan hampir semua sumur gali itu tidak ada tutupnya. Jadi ketika hujan turun, air hujan akan masuk ke dalam sumur gali. Tidak setiap rumah punya sumur gali, tetapi masyarakat yang tidak punya sumur gali bisa minta ke tetangga. Air dari sumur gali itu sangat jernih dan tidak pernah kering pada saat musim kemarau. Namun ketersediaan air dari sumur gali itu sangat terbatas, sehingga sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan dalam jumlah yang besar. Apalagi ketika pada saat musim hajatan atau sedekahan, maka kebutuhan untuk air minum sangat banyak. Untuk
42
memenuhi kebutuhan pada saat hajatan atau sedekahan, biasanya masyarakat mengambil air dari sungai Semingkap.
Gambar 2.17 Sungai Semingkap, sarana MCK masyarakat Suku Dayak Desa Padang Bindu Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
2.5.3. Pemukiman dan Rumah Adat Suku Daya Padang Bindu Lokasi pemukiman penduduk suku Daya Desa Padang Bindu dikelilingi oleh lahan pertanian seperti perkebunan tanaman kopi dan persawahan. Jarak lokasi perkebunan dan persawahan dengan pemukiman penduduk relatif cukup jauh. Untuk menuju ke perkebunan atau persawahan, biasanya dapat ditempuh dengan menggunakan sepeda motor maupun dengan berjalan kaki. Mayoritas penduduk Desa Padang Bindu menempuh perjalanan menuju ke perkebunan dengan berjalan kaki karena akan lebih mudah melalui jalan setapak dengan berjalan kaki. Lokasi perkebunan milik penduduk Desa Padang Bindu jarak yang paling jauh diukur dari pemukimam warga yaitu sekitar 2 jam apabila di tempuh dengan berjalan kaki.
43
Gambar 2.18 Sebelah kiri : bentuk rumah lama Sebelah kanan : bentuk rumah baru Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Rumah-rumah penduduk di Desa Padang Bindu berbentuk memanjang dan berjajar di tepi jalan utama desa. Dalam istilah Suku Daya rumah disebut dengan bahan. Ada beberapa bahan yang tidak berjajar melainkan di belakang bahan yang lain, seperti bahan-bahan yang ada di Dusun 1 dan Dusun 2. Jarak antar bahan di Desa Padang Bindu relatif sangat rapat. Bahan di Desa Padang Bindu berbentuk limas, ada 2 jenis yaitu jenis Depok dan jenis Panggung. Bahan limas Panggung yaitu bahan yang mempunyai tiang-tiang penyangga pada bagian bawahnya atau lantai dasarnya dan tiang penyangga itu menembus sampai ke atap. Bahan Depok adalah yang tidak memakai tiang penyangga, lantainya berada di tanah. Mayoritas bahan di Desa Padang Bindu adalah yang limas panggung dan hanya beberapa bahan saja yang berupa Depok.
44
Gambar 2.19 Kayu bulat sebagai pengunci bangunan rumah. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Pada jaman dulu rumah berfungsi untuk menghindar dari serangan binatang buas, sehingga dibuat tinggi. Atap rumah pada jaman dulu harus searah dengan jalannya matahari. Seperti apa yang di ceritakan oleh Bapak Cik Mas, “…atapnya harus ikut arah jalannya matahari timur ke barat, secara kesehatan sinar matahari akan tembus, panas pagi sudah datang panas sore juga suda kena. Rumah pada jaman dulu tidak dibuat melintang, karena bisa menyebabkan sakit. Letak pintu jendela diusahakan untuk menghadap matahari terbit…”
Bahan-bahan biasanya terbentuk dari kayu pohon rimba baik dinding ataupun lantainya.
45
Gambar 2.20 Penahan lantai berupa kayu bulat utuh yang berfungsi untuk menahan goncangan gempa atau tanah yang bergerak. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Kayu pohon rimba yang belum tua tidak akan ditebang. Atapnya terbuat dari bambu atau yang disebut dengan gelumpai. Namun sekitar tahun 1950an, atap-atap rumah sudah ada yang menggunakan atap dari tanah liat atau genteng. Bahan di Desa Padang Bindu memang sangat memungkinkan bila terbuat dari kayu, karena memang wilayahnya dulu berupa hutan dan kayunya juga didapatkan dengan mudah. Untuk merekatkan antar bagian bahan jaman dulu tidak memakai paku melainkan hanya memakai kayu sebagai pengunci. Ada kayu batang pohon yang bulat utuh sebagai penopang lantai dan tidak ada paku atau tali untuk menguncinya. Batang pohon kayu tersebut mempunyai fungsi untuk menggerakkan bahan apabila ada gempa sehingga rumah hanya bergerak-gerak saja tidak sampai ambruk. Tiap-tiap bagian bahan saling berhubungan, mulai dari dinding atap sampai lantainya sehingga apabila penguncinya dilepas maka seluruh bagian lepas dan dapat ambruk. Suatu hal yang unik adalah pada jaman dulu bahan tersebut bisa dilepas dan dipindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cara
46
diangkat secara bergotong royong. Konon menurut cerita dari mulut ke mulut, bahwa barang siapa yang memegang pengunci bahan akan dikenai sanksi. Sanksinya bisa berupa uang, namun denda yang ditetapkan tidak ada yang tahu secara pasti berapa besaran jumlahnya. Tidak ada pembagian ruang di bagian dalam bahan pada jaman dulu, hanya ada pembatas dari kayu yang tingginya sekitar 25 cm. Pembatas ruang itu yang disebut dengan pada. Bagian-bagian dari bahan adalah bagian depan yang disebut dengan lap ulap, bagian tengah yang di sebut dengan peraduan, bagian belakang yang disebut dengan penaksaan, bagian serambi yang berada di kanan kiri bahan disebut dengan ambin. Bahan limas di Desa Padang Bindu memiliki banyak tiang penyangga. Tiang penyangga itu biasanya setinggi dua meter dari tanah sampai lantai. Karena bahan Limas dan lantainya ada di atas, untuk masuk ke dalam bahan diperlukan tangga. Tangga bahan biasanya berada di bagian depan rumah yang berada di samping kanan atau kiri. Di bahan Limas ada ruang kosong antara tanah dan lantai bahan. Pada jaman dulu ruang kosong itu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyimpan barang dan untuk tempat memelihara hewan ternak. Namun pada saat ini ruang yang kosong di bawah bahan dimanfaatkan untuk ruang tamu atau ruang untuk berdagang. Pada saat ini rumah-rumah penduduk disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga bentuk rumahnya mengalami perubahan yang sangat drastis. Rumah sudah tidak lagi menghadap arah sinar matahari. Bagian dalam rumah sudah diberi pembatas dan ada ruangruang khusus untuk tempat tidur, sehingga ruang dalam rumah kurang mendapatkan cahaya matahari. Tempat memasak berada di bagian belakang rumah, dan biasanya bahan bakar untuk memasak dengan menggunakan kayu sehingga asap yang ditimbulkan masuk ke dalam rumah. Rumah penduduk Desa Padang Bindu sangat sedikit sekali memiliki ventilasi. Untuk menyambung kayu atau merekatkan kayu sudah memakai paku, dan tidak ada lagi kayu bulat besar untuk
47
penyangga lantai yang berfungsi untuk meredam gempa. Keadaan rumah jaman sekarang yang masih sama dengan rumah jaman dulu dan tidak mengalami perubahan adalah di bagian dalam rumah tidak ada ruang untuk kamar mandi. Hal ini memang sesuai dengan kebiasaan masyarakat jaman dulu yang masih berlangsung secara turun temurun bahwa untuk mandi, cuci dan buang air besar masih memanfaatkan sungai di desa. 2.6.
Agama dan Kepercayaan Orang Suku Daya Desa Padang Bindu Masyarakat Suku Daya Desa Padang Bindu merupakan pemeluk agama Islam, tetapi masih ada beberapa masyarakat yang mempercayai hal-hal gaib dan roh-roh halus serta masih ada praktek perdukunan. Penduduk di desa ini layaknya pemeluk agama Islam yang lainnya, yakni menjalankan kewajiban melakukan shalat Isya, Subuh, Dhuhur, Ashar, Mahgrib serta shalat Jumat. Namun sebagian penduduk beranggapan bahwa mereka sudah menjadi pemeluk agama Islam walaupun belum pernah melaksanakan shalat. Mereka memeluk agama Islam karena mengikuti orang tua yang menjadi pemeluk agama Islam terlebih dulu. Hal itu seperti yang di jelaskan oleh Bapak Alidin berikut ini : “…Jadi minimal, biar nggak sholat. Dia ikut orang tuanya Islam. Istilahnya macam itu. Biar dia belum pernah sholat, namanya orang tuanya Islam. Ditanya ya Islam juga, pokoknya mayoritas Islam…”. Dengan adanya anggapan seperti itu, membuat kehidupan keagamaan masyarakat di desa kurang taat terhadap ajaran agama Islam. Di Desa Padang Bindu walaupun seluruh penduduknya beragama Islam, akan tetapi belum ada penduduk yang ikut organisasi keagamaan semacam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
48
Gambar 2.21 Masjid desa Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Terdapat tempat ibadah masjid di desa ini, namun masjid hanya dipakai pada saat shalat Jumat saja. Pada saat pelaksanaan shalat lima waktu (Isya, Subuh, Dhuhur, Ashar, Mahgrib), masjid ini tidak dipakai karena banyak warga yang pergi ke kebun dan ada pula yang hanya shalat di rumah. Pada saat Peneliti berada di Desa Padang Bindu, nyaris tidak pernah terdengar adzan ketika sudah masuk pelaksanaan shalat lima waktu. Masjid di Desa Padang Bindu terletak di Dusun 3, sedangkan musholla atau langgar ada di Dusun 1 dan Dusun2. Musholla biasanya digunakan untuk anak-anak belajar mengaji. Namun kondisi musholla di Dusun 1 sangat memprihatinkan. Bila dilihat sekilas dari depan, orang tidak akan mengira bila tempat itu adalah bangunan musholla. Kegiatan keagamaan seperti Yasinan pada saat malam Jumat tetap ada walaupun masih bersifat aksidental. Kegiatan Yasinan biasanya dilakukan oleh bapak-bapak, sedangkan pemudanya jarang ada yang mengikuti. Ada pemandangan yang ironis, ketika bapakbapak melakukan kegiatan Yasinan di salah satu rumah, pemuda desa di sebelah rumah sibuk bermain gap walaupun permainan itu tidak memakai uang. Ada kecenderungan para pemuda desa tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan keagamaan. Kegiatan Yasinan biasanya hanya di lakukan oleh penduduk di masing-masing dusun. Tradisi-
49
tradisi keagamaan Islam dan upacara peringatan hari besar agama Islam juga masih dilakukan oleh sebagian penduduk Desa Padang Bindu walaupun kelompok keagamaan di desa ini tidak ada.
Gambar 2.22 Mushola Dusun 2 Desa Padang Bindu. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Upacara adat keagamaan oleh masyarakat Suku Daya Desa Padang Bindu disebut dengan sedekahan. Sedekahan ini oleh beberapa masyarakat masih ada yang menjalankannya dan ada juga yang sudah tidak menjalankannya. Tradisi sedekahan dilakukan sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing penduduk. Tradisi sedekahan itu berkaitan dengan lingkaran hidup manusia yaitu semenjak dalam masa kehamilan sampai meninggal dunia. 2.6.1. Sedekahan dalam Lingkaran Hidup Penduduk Desa Padang Bindu Pada dasarnya semua manusia mengalami proses kehidupan. Proses-proses itu dilalui dengan beberapa tahapan. Begitu pula dengan penduduk yang ada di Desa Padang Bindu, tiap individu manusia akan mengalami fase perubahan itu. Penduduk Desa Padang Bindu mempunyai adat untuk menghadapi fase-fase dalam hidupnya,
50
yaitu adat sedekahan sebagai upacara yang di lakukan untuk menghadapi fase-fase itu. Pada fase awal sebelum manusia dilahirkan, manusia hidup dalam kandungan atau pada masa kehamilan. Dalam masa kehamilan, ibu-ibu di Desa Padang Bindu biasanya melakukan sedekahan pada masa usia kehamilan 9 bulan atau sebelum melahirkan. Sedekahan disebut dengan Koġoan Limau. Upacara adat ini bertujuan untuk meminta keselamatan kepada Puhyang agar nantinya saat melahirkan tidak ada halangan baik bayi yang dalam kandungan ataupun ibu yang akan melahirkan. Sedekahan dilakukan dengan menyembelih 1 ekor ayam putih pucat, 1 ekor ayam putih kuning, nasi taboh dan 1 ekor ayam hitam. Ayam putih pucat melambangkan permohonan keselamatan kepada kekunduan atau orang tua bayi yang mengasuh selama dalam kandungan, ayam putih kuning adalah bentuk permohonan keselamatan kepada Puhyang dan ayam hitam melambangkan supaya waktu melahirkan tidak mengalami pendarahan. Setelah fase sedekahan pada masa kehamilan yang berusia 9 bulan, tidak ada lagi sedekahan yang dilakukan. Setahun kemudian ada sedekahan lagi yang di lakukan untuk bayi itu. Sedekahan tersebut biasanya dikenal oleh masyarakat Desa Padang Bindu dengan istilah petunggu. Petunggu biasanya dilakukan akibat anak kecil tersebut tidak sembuh-sembuh dari penyakit yang dideritanya. Penyakit yang diderita anak kecil itu disebut njami. Njami mempunyai dua macam bentuk yaitu sampot atau bisul dan njami tangis. Dalam kepercayaan masyarakat setempat bahwa penyakit njami akan sembuh dengan sendirinya bila dilakukan upacara petunggu. Upacara petunggu dilakukan setiap satu tahun sekali layaknya orang berulang tahun. Bila petunggu yang pertama dilakukan pada bulan Juni, maka pada tahun berikutnya petunggu juga di lakukan pada bulan Juni. Upacara petunggu tersebut tidak akan dilakukan lagi bila anak sudah bisa mandi menyelam di sungai. Menurut kepercayaan warga, upacara
51
petunggu adalah proses pelepasan pengasuhan kekunduan dari tubuh anak karena anak dianggap sudah memasuki masa remaja. Persembahan untuk upacara petunggu hampir sama dengan upacara koġoan limau, namun bahan yang digunakan lebih banyak upacara petunggu. Sedekahan untuk upacara petunggu yaitu : 1). Ayam 2 ekor, 1 ekor ayam yang berwarna putih kuning (berbulu putih, kaki kuning dan paruh kuning) dan 1 ekor ayam yang berwarna putih pucat (berbulu putih, kaki putih dan paruh putih). Ayam yang digunakan bisa ayam betina atau ayam jantan. 2). Sirih, kapur, hampelot dan pinang. Ada perbedaan dalam penempatan sirih. Di dekat ayam putih kuning ditaruh 5 sirih, sedangkan di dekat ayam putih pucat ditaruh 7 sirih. 3). Air putih biasa, diberi cendana dan ditaruh di atas sirih. 4). Kan Taboh atau nasi putih yang diberi santan. Masing-masing bahan untuk sedekahan tersebut mempunyai makna. Ayam putih kuning dan ayam putih pucat mempunyai makna yang hampir sama dengan upacara koġoan limau. Ayam putih pucat bermakna sebagai makanan yang diberikan kepada kedua orang tua anak pada waktu dalam kandungan dengan tujuan supaya anak diberi keselamatan. Ayam putih kuning bermakna sebagai pemberian makanan kepada Phuyang dengan maksud supaya anak diberi keselamatan. Sirih, kapur, hampelot dan pinang adalah sebagai persembahan untuk ngasan orang tua yang mengasuh dan roh Phuyang agar damai. Kan Taboh dan air putih adalah sebagai makanan dan minuman roh dari Phuyang. Ada upacara petunggu lain yang juga biasa dilakukan oleh penduduk Desa Padang Bindu. Upacara itu biasa disebut dengan petunggu bujang tua. Walaupun namanya bujang tua, akan tetapi upacara itu dilakukan untuk anak kecil yang sering menangis. Ciri-ciri anak kecil yang minta upacara petunggu bujang tua adalah dadanya kelihatan cekung dan menangis terus menerus. Upacara itu dipercaya oleh penduduk Desa Padang Bindu dapat menyembuhkan penyakit
52
karena ada roh remaja belum menikah pada saat meninggal (masih gadis dan bujang) yang meminta ‘makan’ dan mengganggu anak-anak. Dari kepercayaan tersebut maka dikenal dengan istilah petunggu bujang tua. Upacara ini hampir sama dengan petunggu satunya yaitu menyembelih ayam, namun ayam yang disembelih untuk petunggu Bujang tua adalah ayam besar jantan atau betina dan warnanya tidak ditentukan. Selain ayam besar, bahan-bahan yang digunakan dan cara penyajian untuk petunggu bujang tua tidak mempunyai aturan yang baku.
Gambar 2.23 Sedekahan Petunggu Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Sedekahan pada fase terakhir lingkaran manusia yang ada di Desa Padang Bindu adalah fase kematian. Sedekahan untuk memperingati kematian yang ada di Desa Padang Bindu adalah dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran untuk memperingati orang yang sudah meninggal. Biasanya dengan membacakan surat Yasin pada hari ke-7 setelah hari kematian dan setelah itu hanya setiap malam Jumat membacakan surat Yasin sampai hari kematian yang ke 40. Setelah itu tidak ada lagi sedekahan untuk memperingati upacara kematian. Upacara kematian dianggap sakral oleh penduduk
53
Desa Padang Bindu. Kelompok keagamaan yang ada di Desa Padang Bindu yaitu kelompok kematian Rukun Tetangga. Kelompok kematian ini yang nantinya membantu keluarga yang meninggal untuk mengurus jenazah orang yang meninggal. Kebiasaan masyarakat Desa Padang Bindu bila ada orang yang meninggal, maka para tetangga atau kerabat memberikan bantuan orang yang kesusahan dengan membawa paseh yang berisi 3 canting beras senilai dengan ¾ kg, 1 sabun mandi dan 1 sabun cuci. Hal ini berbeda dengan adat petulong untuk orang yang punya hajat pernikahan, nilai bantuan yang diberikan berbeda. Untuk petulong hajat pernikahan biasanya yang diberikan berupa uang sekitar 25 ribu rupiah jika yang punya hajat pernikahan tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Tetapi kalau yang punya hajat pernikahan masih mempunyai hubungan kekerabatan, petulong itu berupa uang 100 ribu rupiah dan ayam hidup satu ekor ditambah dengan beras. Setelah memberikan petulong ke kerabat yang punya hajat pernikahan, maka kerabat tersebut wajib memberikan nilai petulong yang lebih banyak jika orang tersebut suatu saat mengadakan hajat pernikahan. 2.6.2. Sedekahan Ruwahan dan Kepercayaan Terhadap Dunia Gaib Tradisi lain di Desa Padang Bindu yaitu sedekahan ruwahan yang dilaksanakan pada bulan Sya’ban sebelum Ramadhan. Penduduk Desa Padang Bindu melakukan sedekahan ruwahan setiap hari Kamis malam Jumat selama satu bulan penuh. Acara tersebut berupa pembacaan doa kepada ahli waris atau puhyang yang sudah meninggal, pembacaan ayat suci Al-Quran terutama surat Yasin. Setelah itu ada acara makan dan minum bersama. Pada jaman dulu, sedekahan ruwahan dilakukan tidak dengan membaca ayat suci AlQuran. Upacara dilakukan dengan membaca mantra-mantra yang ditujukan kepada nenek moyang, dan ada juga acara membakar kemenyan. Namun setelah mengalami perkembangan acara
54
membakar kemenyan sudah ditiadakan karena pengaruh banyaknya warga yang sekolah di bidang keagamaan Islam termasuk Kepala Urusan Kesejahteraan Masyarakat yang sekarang.
Gambar 2.24 Tradisi ruwahan, biasa dilakukan menjelang bulan puasa. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Masih ada tradisi lain yang masih dilakukan penduduk Desa Padang Bindu yaitu betegi. Betegi adalah tradisi melakukan sedekahan sebelum membangun rumah. Orang satu dusun diajak untuk gotong royong. Orang-orang yang datang membawa beras, ayam, atau telur untuk di sumbangkan kepada orang yang membangun rumah. Namun pada saat ini sudah jarang orang yang melakukan sedekahan betegi. Tradisi betegi ini sudah jarang dilakukan karena kesibukan dari masing-masing penduduk dengan pekerjaannya sendiri-sendiri, seperti apa yang di ceritakan oleh Bapak Cik Mas berikut ini : ”…upacara sebelum mendirikan rumah di sebut betegi, kadangkadang ada yang satu dusun di ajak semua, nah itu gotong royong juga. Itu yang datang bawa beras, ayam kalau ada telur ya bawa telur untuk disumbangkan kepada orang yang membangun rumah. Itu bukan hajatan
55
istilahnya, tapi untuk makan orang-orang yang ikut membangun rumah. Tidak jarang juga ada yang memohon untuk sedekahan…”
Setelah rumah jadi tetapi belum ditempati, ada orang yang menunggu rumah itu terlebih dulu, yang disebut dengan istilah ngedok. Di bagian dalam rumah yang belum ditempati tersebut akan diberi kertas yang ditulis dengan huruf arab, dikenal dengan nama radja, dan dipaku di atas pintu. Selain radja, ada pula sebuah botol yang di dalamnya diisi air atau kertas yang dipaku di dinding bagian dalam rumah. Hal tersebut dilakukan penduduk dengan tujuan untuk mengusir roh halus di rumah yang bisa mengganggu penghuni rumah. Adat tata cara itu masih ada sampai sekarang dan dapat dilihat di rumah penduduk Desa Padang Bindu dimana hampir di setiap pintu rumah ada botol yang tergantung. Kepercayaan terhadap roh halus masih ada dalam keyakinan penduduk. Ada juga cerita penduduk yang kerasukan mahkluk halus, dimana ada ibu yang tidak bisa jalan tetapi tiba-tiba ada di atas pohon beringin, dan ibu itu tidak sadar bahwa dia memanjat pohon beringin itu. Setelah kejadian itu, ibu tersebut melakukan sedekahan. Dalam melakukan upacara sedekahan, air putih yang telah dipakai untuk upacara dibagi-bagikan kepada seluruh warga. Dengan adanya hal tersebut, menjadi suatu bukti bahwa beberapa warga di Desa Padang Bindu masih ada yang mempercayai sesuatu yang mistis dan roh-roh halus.
56
Gambar 2.25 Pemasangan tulisan huruf Arab di atas pintu. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
2.6.3. Pesantren, Usaha Mempertahankan Islam di Desa Padang Bindu Kegiatan keagamaan yang lain di Desa Padang Bindu adalah pesantren anak. Pesantren ini merupakan pendidikan membaca AlQuran. Pesantren anak itu berada di masing-masing dusun dan setiap pesantren memiliki nama. Pesantren di Dusun 1 bernama Nurul Huda, di Dusun 2 bernama Nurul Islam, sedangkan di Dusun 3 dan Dusun 4 menjadi satu yang bernama pesantren Nurul Falah. Pesantren-pesantren itu mengajari anak-anak membaca Al-Quran sampai khatam. Ada beberapa guru yang mengajari untuk mengaji di pesantern tersebut, namun masing-masing guru mengajarinya dengan cara bergantian. Satu orang guru mengajari beberapa murid sampai tamat, kemudian berganti dengan guru lain yang juga mengajari sampai tamat. Sistem mengajar mengaji itu dilakukan secara terus menerus. Ada acara khusus pada saat khataman mengaji, dan biasanya dilakukan lomba seni membaca Al-Quran bagi anak yang tamat mengaji. Seluruh perangkat desa juga ikut menghadiri acara khataman mengaji itu. Acara itu dilakukan satu hari penuh. Orang tua wali murid yang ikut khataman mengaji membuat makanan bagi murid-murid
57
yang ikut mengaji. Ketika Peneliti ada di lokasi penelitian, ada acara untuk memperingati khataman mengaji. Pesantren Nurul Huda di Dusun 1 mengadakan acara khataman mengaji. Satu hari sebelum acara khataman mengaji dimulai, sudah terlihat ibu-ibu wali murid sibuk memasak serta tenda dan dekorasi panggung sudah dipasang di halaman rumah. Acara khataman mengaji dimulai pada pagi hari. Acara tersebut dihadiri oleh tokoh masyarakat, tokoh agama dan perangkat Desa Padang Bindu serta ada juga penduduk yang menonton kegiatan tersebut. Pada saat Peneliti datang ke acara khataman itu, acara belum dimulai. Bermacam-macam makanan dan minuman sudah disiapkan. Yang hadir di depan seluruhnya adalah laki-laki, tidak ada satupun wanita yang ada di tempat duduk yang telah ada. Wanita yang ikut hadir di tempat itu hanya menonton saja di belakang tenda dan di belakang para santri. Selain itu ada juga santri dari dusun lain yang ikut serta, dan juga ada beberapa tokoh agama dan santri dari desa lain seperti Desa Padang Sari, Desa Saung Naga dan Desa Negeri Batin Baru. Santri yang ikut khataman mengaji itu memakai toga layaknya seorang sarjana yang baru lulus. Pada saat itu ada sekitar 25 orang orang santri yang ikut khataman Al-Quran. Santri-santri tersebut sudah belajar mengaji selama satu tahun. Acara khataman ini merupakan ajang untuk menunjukkan seni baca Al-Quran sebagai hasil yang dipelajari selama 1 tahun itu.
Gambar 2.26 Kegiatan khataman murid pesantren. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
58
Acara khataman itu terkesan dibuat formal, karena diawali dengan acara sambutan dari Kepala Desa, dan beberapa juri yang berasal dari tokoh masyarakat dan tokoh agama. Ada kesenian rebana yang dimainkan oleh santri yang mau khataman. Santri-santri itu diwajibkan untuk membaca ayat suci Al-Quran satu persatu. Banyaknya santri yang tamat mengaji membuat acara itu belum selesai hingga siang hari, sehingga acara khataman mengaji dihentikan untuk istirahat makan dan shalat pada saat siang hari. Pada saat istirahat makan, santri-santri peserta khataman, tokoh masyarakat dan tokoh agama tidak berada dalam satu tempat. Setiap wali murid membuat masakan bagi yang mengikuti acara khataman, jadi santri atau tokoh masyarakat dan tokoh agama boleh memilih tempat yang diinginkan. Wali santri khusus membuat masakan menggunakan biaya sendiri. Wali murid dengan rela mengeluarkan uang demi acara khataman itu. Setelah selesai istirahat shalat dan makan, acara kemudian dilanjutkan lagi sampai diumumkannya pemenang lomba seni baca Al-Quran. Acara tersebut baru selesai pada sore hari dan penduduk secara gotong royong merapikan kursi-kursi dan membersihkan sampah-sampah. 2.6.4. Mitos Danau Upungan Ada suatu mitos yang beredar di masyarakat tentang Danau Upungan. Danau Upungan merupakan suatu wilayah yang masuk Desa Padang Bindu dan letaknya berbatasan dengan Desa Kenali Kecamatan Buay Sandang Aji. Danau ini terletak di antara perkebunan kopi. Untuk menuju ke Danau Upungan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dengan waktu yang ditempuh sekitar dua jam dari pemukiman Desa Padang Bindu.
59
Gambar 2.27 Danau Upungan, tempat yang dianggap keramat. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Desa Padang Bindu, awal mula dari Danau Upungan adalah suatu desa yang makmur dan tentram. Hampir tiap hari diadakan acara makan-makan di desa tersebut. Pada suatu ketika, saat seluruh penduduk desa sedang mengadakan pesta makan berbagai macam daging dan buahbuahan, datanglah seseorang yang sudah tua renta dengan membawa jamur. Orang tua tersebut ingin memakan jamur yang dia bawa dan meminta pada penduduk yang sedang berpesta untuk memasakkan jamur yang dibawanya. Namun penduduk yang sedang berpesta tidak ada yang memperdulikan orang tua tersebut. Penduduk desa mengacuhkannya saja. Penduduk desa itu merasa heran dengan keinginan orang tua tersebut yang ingin makan jamur sedangkan saat itu ada berbagai macam makanan yang lebih enak dari jamur yang dibawanya. Lama kelamaan orang tua itu marah karena tidak ada yang menuruti kemauannya. Dengan kemarahan yang meledak-ledak orang tua itu menghentakan kakinya ke tanah. Tanah yang dihentaknya menjadi retak dan lama kelamaan tanah menjadi amblas beserta seluruh penduduk yang mengadakan pesta. Desa yang semula ramai dengan hiruk pikuk suara penduduk yang mengadakan pesta berubah
60
menjadi sunyi karena sudah menjadi sebuah danau. Kemudian dari cerita itu tempat itu disebut dengan Upungan. Danau Upungan ini banyak dihuni jenis ikan air tawar, sehingga banyak penduduk yang ingin memancing ke tempat itu. Konon pada suatu ketika ada seorang yang pergi memancing di Danau Upungan. Orang tersebut sudah mendapatkan ikan yang banyak sekali, namun orang itu tetap saja memancing untuk mendapatkan ikan yang lebih banyak lagi. Pada saat orang tersebut menarik kail ternyata yang didapatkan bukan ikan melainkan emas. Alangkah kagetnya orang tersebut, sehingga semakin bersemangat untuk memancing. Semakin lama memancing emas yang didapatnya makin lebih besar. Orang itu semakin berambisi untuk mengambil emas itu. Dan karena beban dari emas itu yang berat, tenaga orang itu semakin lama semakin habis dan badannya menjadi lemas. Akhirnya emas itu tidak dapat diambil dan malah orang yang memancing itu ikut tercebur ke dalam Danau Upungan. Cerita rakyat tentang terjadinya Danau Upungan menjadikan tempat tersebut dianggap sebagai tempat yang angker dan keramat. Sampai sekarang warga banyak yang takut dengan cerita tersebut dan jarang yang pergi kesana. Namun pada saat ini ada beberapa warga yang pergi ke danau itu untuk memancing ikan, namun bila beruntung bisa mendapatkan ikan yang banyak dan bila tidak beruntung maka tidak akan mendapatkan ikan sama sekali. Selain itu ada kepercayaan bahwa bila akan memancing ke tempat itu, sebaiknya sambil membawa bekal nasi saja tanpa lauk maupun sayur. Dengan membawa bekal nasi saja, maka roh penunggu danau itu merasa kasihan sehingga memberi banyak ikan. 2.7.
Bertahan Hidup dengan Kopi Lingkungan alam dan manusia tidak dapat dipisahkan. Kondisi alam dan manusia pada dasarnya memiliki hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik tersebut bisa saling menguntungkan atau
61
malah dapat merugikan manusia atau lingkungan alam. Adanya hubungan lingkungan alam dan manusia inilah yang dapat mengakibatkan manusia memiliki karakteristik yang berbeda-beda di setiap wilayah tergantung dengan kondisi alamnya. Kondisi iklim dan kualitas tanah juga dapat mempengaruhi fisik dari manusia, mulai dari dataran yang paling tinggi maupun dataran yang paling rendah. Kondisi lingkungan di Desa Padang Bindu yang dikelilingi dengan perkebunan kopi ini mempengaruhi mata pencaharian dari penduduknya. Mata pencaharian penduduk Desa Padang Bindu tidak terlalu bervariasi, sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Walaupun ada beberapa orang yang menjadi guru dan bidan, tetapi mereka juga bekerja di kebun kopi dan sawah pada waktu musim panen. Semua penduduk di Desa Padang Bindu mempunyai mata pencaharian sebagai petani kopi. Hasil komoditi utama dari penduduk di desa ini adalah kopi. Sebagian besar lahan wilayah desa ini diperuntukkan sebagai perkebunan kopi, dan sisanya ada yang diperuntukkan sebagai persawahan untuk padi, perkebunan karet dan saat ini ada yang dimanfaatkan sebagai perkebunan sawit. Di sekitar tanaman kopi, ada juga yang ditanami pohon durian dan pohon duku. Tanah perkebunan tanaman kopi atau tanah persawahan yang dimiliki oleh penduduk Desa Padang Bindu sebagian besar merupakan tanah warisan dari orang tua. Beberapa tanah sudah dijual pada saat musim paceklik dan dibeli oleh orang lain yang juga penduduk Desa Padang Bindu. Musim panen biasanya pada bulan Januari sampai dengan bulan Juni dan setelah bulan Juni adalah musim paceklik. Pada saat musim paceklik beberapa warga mencari pekerjaan lain. Beberapa warga yang pernah merantau akan kembali lagi merantau, ada warga yang menjadi buruh tani di desa, ada warga yang menanam tanaman yang lain seperti jengkol atau sayuran dan ada warga yang hanya menjadi tukang batu di tempat lain. Hal ini sesuai seperti apa yang telah diceritakan Bapak Mustakim berikut ini,
62
“…Ya hampir dikatakan tidak ada pekerjaan sampingan, ada pekerjaaan sampingan ya ada jengkol yang buah ngambil jengkol kalau menanam jahe waktunya panen jahe ya panen Itu diatur dari musim inilah, musim sampai selesai berapa dapatnya itu diatur supaya sekian bulan bulan 4 bulan 3 kedepan bagaimana caranya sampai musim panen berikutnya itu sesuai masing – masing orang yang sebagiann tidak punya lahan biasanya buruh semprot ngrumput ya apa aja…”
Luas lahan perkebunan yang dimiliki tiap keluarga yang ada di Desa Padang Bindu minimal 2 Ha, dan biasanya dikerjakan bersama oleh masing-masing anggota keluarga. Tanah perkebunan kopi masih dikerjakan dengan cara tradisional dan semata-mata masih menggunakan tenaga manusia, sedangkan tanah persawahan sudah ada yang menggunakan mesin. Penduduk Desa Padang Bindu kebanyakan mempunyai jiwa pekerja keras, namun tidak berani untuk mencoba sesuatu yang baru. Sejak jaman dulu, secara turun temurun, mata pencaharian utama mayoritas penduduknya sebagai petani kopi dan petani padi. Sebagai petani, pengetahuan dalam pengelolaan lahan perkebunan kopi di peroleh secara turun temurun dari orang tuanya. Belum ada sama sekali penyuluhan dari Dinas Perkebunan tentang perawatan tanaman kopi hingga saat ini. Warga setempat perlu mendapatkan pengetahuan tambahan tentang pengelolaan lahan kebun kopi, terutama tentang cara mengobati tanaman kopi yang terserang hama atau semut. Biasanya penduduk lebih memilih membeli obat untuk tanaman kopi di kalangan, sedangkan takaran obat, cara meramu obat dan cara penyemprotannya tidak tahu. Penduduk hanya mendapatkan penjelasan dari penjual obat tentang pembenihan, penanaman, perawatan atau pemutilan. Hal ini berbeda dengan pertanian padi sawah. Sejak lima tahun ini warga sudah mendapatkan penyuluhan dari Dinas Pertanian Kabupaten OKU Selatan.
63
Proses produksi perkebunan kopi dan padi sawah memerlukan proses yang panjang. Penduduk yang mempunyai lahan perkebunan atau sawah dekat dengan rumah tidak terlalu memikirkan mobilitas kerjanya untuk pulang dan pergi ke kebun, apalagi yang mempunyai kendaraan roda dua. Namun bagi penduduk yang lahannya jauh dari rumah, mobilitas pergi dan pulang lahan merupakan suatu hal yang sulit, terutama dari segi tenaga ataupun biaya. Sebagai alternative, penduduk yang lokasi area perkebunannya relatif jauh biasanya membangun sapo di sekitar kebun. 2.8.
Produksi Pertanian di Desa Padang Bindu Tanaman kopi dan masyarakat Desa Padang Bindu tidak dapat dipisahkan Masyarakat sangat menggantungkan kehidupannya dari tanaman kopi. Dari tanaman kopi ini muncul suatu kebiasaankebiasaan yang hadir dalam masyarakat. Proses produksi tanaman kopi di Desa Padang Bindu memerlukan suatu kesabaran karena tanaman kopi ini dapat dipanen setelah usia 3 tahun. Persipan sebelum masa penanaman juga menunggu waktu yang lama. Proses awal atau nebas dimulai pada bulan Juli, yaitu dengan menebang pohon-pohon di hutan.
Gambar 2.28 Tanjing, langkah awal proses tanam kopi. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
64
Proses menebang pohon ini bisa berlangsung selama 3 bulan. Lahan kemudian dibakar untuk membersihkan sisa pohon yang habis ditebang. Proses membersihkan dan membakar ini memakan waktu sekitar 2 bulan. Lahan tersebut kemudian dipasangi tanjing sebagai tanda tempat yang akan ditanami pohon kopi dan lahan tersebut sudah siap untuk ditanami pohon kopi.
Gambar 2.29 Satu centeng biji kopi. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Selain proses penanaman, pohon kopi yang perlu disiapkan adalah benih kopi atau ambangkoh. Biji kopi dipilih yang paling bagus, kemudian dipecah dan dijemur sampai kering. Orang Desa Padang Bindu biasanya menyiapkan sekitar 1 sampai 3 centeng benih kopi, dalam 1 centeng ada sekitar 3.000 benih kopi. Sebelum ditanam pada lahan yang sudah di siapkan, benih ditanam terlebih dulu atau biasa disebut dengan ngambang. Satu benih kopi bisa tumbuh menjadi 2-3 batang pohon kopi. Fase selanjutnya adalah menunggu sampai benih kopi tumbuh berumur sekitar 1 tahun dengan tinggi 30 cm sehingga bisa ditanam. Biasanya yang banyak ditanam di Desa Padang Bindu adalah jenis kopi kecil atau timbay. Kalau menanam benih pohon kopi, bisa dapat segera panen dalam masa usia sekitar 28 bulan sampai 36 bulan.
65
Namun pada saat ini ada penemuan baru untuk penanaman pohon kopi, yaitu dengan cara menyetek pohon kopi. Setekan pohon kopi didapatkan dari orang Lampung dan kemudian disetekkan dengan pohon yang ada di Desa Padang Bindu, sehingga prosesnya tidak menunggu waktu yang lama. Untuk pohon kopi yang pertumbuhannya dengan stek, panen pertama kali bisa pada usia sekitar 1 tahun. Seperti apa yang telah di ceritakan Bapak Muhtadun berikut ini, “…tapi sekarang ada model baru stek. Alhamdulillah sudah ada perubahan sedikit-sedikit. Setekan diambil dari orang Lampung. Jadi kopinya ngambil setekan dari orang Lampung, Kita setekkan ke pohon kopi kita. Jadi kalau setekan dari orang Lampung buahnya besar-besar, kopi kita juga ikut besar-besar, tapi kalau setekan dari orang Lampung buah kecil-kecil kopi kita buahnya juga kecil. Tapi jenis pohonya kita tidak tahu, kita kan tidak ada penyuluh hanya ikut-ikutan saja…”
Setelah proses pembibitan maka benih kopi tersebut sudah bisa ditanam. Ada aturan dalam menanam pohon kopi, terutama jarak antara satu pohon dengan pohon yang lainya. Hal tersebut dilakukan yaitu untuk mencegah jika pada waktu besar nanti ranting pohon tidak saling berkaitan sehingga dapat berbuah lebih banyak. Ukuran luas untuk perkebunan kopi dihitung perseribu pohon, dengan menggunakan ukuran pancang yaitu sekitar 10 x 20 batang pohon. Dengan jarak tanam sekitar 1,8-2 cm, dalam 5 hari bisa menanam sekitar 2.000 batang pohon kopi. Dalam 1 batang pohon kopi bisa keluar 2-3 tunas. Semakin banyak tunas maka semakin sedikit buah kopinya. Setelah itu pohon yang sudah ditanam tinggal dirawat saja sampai berbuah. Satu batang kopi bisa mencapai hasil sekitar ½ - 1 kg buah kopi. Tanaman kopi bisa dipanen sekitar 1 tahun sekali, dan biasanya pada saat musim panen sekitar bulan Januari sampai dengan bulan Juni. Pada saat itu, penduduk sangat sibuk sekali dengan kegiatan
66
mutil kopi dan menjemur kopi. Di halaman depan rumah akan kelihatan semua orang menjemur kopi. Proses selama menjemur kopi bisa berlangsung 4-5 hari kalau sepanjang hari matahari bersinar panas terus. Kalau pada saat musim hujan, proses menjemur bisa memakan waktu sekitar 6-7 hari. Ada juga buah kopi yang dijemur di tengah jalan dan dibiarkan terinjak ketika ada kendaraan roda 4 maupun roda 2 yang melintas untuk mempercepat proses pengeringan. Penduduk Desa Padang Bindu hanya mengandalkan indera pendengaran untuk mengetahui buah kopi itu sudah kering apa belum, yaitu dengan mengambil buah kopi sebanyak sekepalan tangan kemudian diguncang-guncangkan sambil didekatkan ke telinga untuk didengarkan. Bila terdengar suara nyaring dari biji kopi tersebut, maka buah kopi itu sudah kering. Tanaman yang bisa dipanen adalah yang berusia sekitar 28-36 bulan untuk penanaman dengan benih, sedangkan kalau menggunakan setek sekitar umur 12 bulan sudah bisa dipanen. Pada saat mulai panen atau mangkal, biasanya yang didapatkan hanya sekitar 3 pikul atau sama dengan 3 kwintal. Masa panen yang kedua atau yang biasa di sebut dengan ngagung, pada masa ini adalah berkah bagi petani kopi karena yang didapatkan begitu besar mencapai sekitar 1 ½ ton. Pada saat ini 1 kg kopi dihargai sekitar Rp. 18.000 untuk yang sudah dikupas kulitnya. Biaya untuk menggiling kopi seberat 100 kg adalah sekitar 5 kg kopi yang sudah digiling. Setelah itu di jual pada toke yang ada di desa. Selain itu di Desa Padang Bindu ada sistem sewa menyewa tanah. Sewa tanah dihitung berdasarkan jumlah pohon. Untuk 1.000 batang pohon kopi, biaya yang dibayarkan pada pemilik tanah adalah setara dengan kopi seberat 50 -100 kg. Semua biaya perawatan atau upah tenaga buruh menjadi tanggungan dari yang menyewa kebun itu. Menurut keterangan Bapak Mustakim berikut ini,
67
“…lahan sendiri sebagian, sebagian ada yang tidak ada , membuka lahan orang. Biasanya dia rundingan untuk membuka lahan orang. Dikatakan membuka lahan orang pertama membuka itu menanam padi itu sudah sewa. Umpamanya sehektar itu berapa, 2 kwintal beras bagaimana. Kopinya itu biasanya per 1000 batang kopi itu sekian umpamanya 1 kwintal dalam 1000 batang pohon kopi 1 ha 2500 batang kopi artinya mengeluarkan sewanya 2 kwital ½ pertahun itu biasanya bayar mulai Dia sewa kalau kopinya itu ya habis mulai panen pertama, ke-2, ke-3, sudah 4, 5 sudah agak tua kopinya mungkin dikurangi biasanya 2 kwintal ½ dikurangi atau ½ nya 2 kwintal yang mampunya atau yang Agungnya kalau orang sini bilang yang kedua kali mulai panen panen 1 dan panen 2 dia mampu 1 ha bisa 8 ton kalau yg bagus tapi lihat tanahnya juga kalau tanahnya agak kurang juga kalau tanah disini belum seperti di Jawa katakanlah pupuknya sekian 1 ha pupuknya dalam sekian ton belum tapi mulai sekarang ini ya sudah ada yg menggunakan pupuk untuk tanah yang belum subur ya harus di pupuk…”
Tanah sawah di Desa Padang Bindu ada dua jenis yaitu sawah lebak dan sawah darat. Sawah lebak biasanya tidak memakai pengaturan sistem pintu-pintu irigasi, sedangkan sawah darat adalah sawah yang memakai pengaturan pintu-pintu irigasi. Sawah lebak biasanya hanya 1 kali panen, sedangkan sawah darat bisa panen 2 Kali. Sawah di Desa Padang Bindu tidak terlalu luas, paling luas hanya sekitar ¼ - ½ hektar. Penanaman padi biasanya dilakukan pada bulan Desember, setiap pertengahan bulan dan biasanya di lakukan selama 3 hari. Dulu sistem tanamnya masih acak-acakan dan asal-asalan. Sekarang ini ada kelompok tani binaan dari Dinas Pertanian. Di Desa Padang Bindu ada demplot dari Dinas Pertanian yang mengajari untuk melakukan penanaman legowo, yaitu cara menanam padi dengan cara lurus berbaris tidak ada batas.
68
Gambar 2.30 Sistem penanaman padi jajar legowo. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Kelebihan menanam dengan cara ini adalah buahnya besarbesar, hasilnya banyak dan hama tikus berkurang. Pada tahun ini semua petani harus memakai sistem legowo. Pada sistem ini yang ditanam hanya 3 batang bibit padi saja, sedangkan pada acak-acakan bisa menanam bibit sekitar 4-7 batang. Semakin banyak bibit padi yang ditanam, semakin sedikit buah padi yang dihasilkan. Pada saat ini yang memakai cara tanam ini di Desa Padang Bindu masih 2 orang. 2.9.
Petani Kopi dan Kehidupan Baru di Sapo Sapo merupakan tempat tinggal yang dipakai oleh masyarakat Daya sebagai tempat tinggal di sekitar kebun kopi. Sapo dibangun pada awalnya untuk mempunyai tujuan sebagai tempat berteduh ketika musim hujan dan tempat untuk menjaga kebun dari binatang. Sapo juga berguna sebagai tempat mengawasi tanaman dari pencuri terutama pada saat musim panen. Pada saat musim panen, penduduk yang punya sapo tidak akan pulang ke rumah, kecuali pada saat ada kalangan pada hari Kamis. Namun setelah penduduk di Desa Padang Bindu mengalami perkembangan, sapo dipakai sebagai tempat tinggal dan menetap di area sekitar perkebunan kopi. Biasanya yang tinggal dan menetap di sapo adalah penduduk yang telah menikah dan di rumah sudah ada lebih dari satu kepala keluarga. Keuntungan tinggal
69
di sapo adalah tiap hari tidak perlu pulang pergi menempuh perjalanan jauh ke kebun untuk beraktivitas di kebun. Seperti apa yang telah diceritakan oleh Bapak Mustakim berikut ini, “…Belum ada rumah dia buat pondok di kebun memang dari dusun desa kita ini. Biasanya ada juga tapi mereka tinggal di pondok hanya pada waktu musim panen saja nginapnya untuk jaga kopi itu lain. Itu ya tinggal, mereka tinggal di dusun inilah ada 20 KK yang tinggal di sapo. Kadang-kadang dalam 1 rumah ada yang 3-4 KK, anak yang nikah belum bisa berkembang masih ikut orang tua ada yang tinggal di kebun…”
Di setiap perkebunan kopi pasti ada sapo. Sapo di Desa Padang Bindu ada dua jenis yaitu sapo yang berbentuk panggung dengan tiang penyangga dan sapo depok yaitu tanpa tiang penyangga dan lantainya menyatu dengan tanah. Jarak antara sapo yang satu dengan yang lain agak jauh, tergantung dengan luas dari kebun kopi.
Gambar 2.31 Sapo panggung Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Sapo yang saling berdekatan membentuk kelompok sendiri yang disebut dengan talang. Biasanya talang ini terdiri dari 3 sampai 5 sapo, bila semakin banyak sapo yang semakin mengelompok maka disebut dengan umbulan. Penghuni sapo juga merupakan penduduk Desa Padang Bindu, namun mereka membentuk kehidupan sendiri di area perkebunan. Penduduk yang ada di sapo jarang sekali
70
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada di desa, misalnya pelayanan Posyandu untuk balita dan pemeriksaan kesehatan bagi orang yang sakit. Memang jarak dari sapo ke desa lumayan jauh. Penghuni sapo bila sakit akan pergi ke dukun yang ada dan tinggal di sapo juga.
Gambar 2.32 Sapo depok Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015.
Aktivitas penduduk dalam pola produksi tanaman kopi akan sangat padat sekali, terutama pada saat panen. Musim panen kopi di Desa Padang Bindu berlangsung pada bulan Januari sampai dengan bulan Juni. Pada saat-saat itu hampir semua penduduk bekerja di kebun. Pada pagi hari sekitar pukul 6 pagi, baik perempuan dan lakilaki sudah beranjak untuk berangkat ke kebun ataupun sawah. Pada sore hari sekitar pukul 4 sore, penduduk sudah kembali dari kebun. Dapat dipastikan pada saat siang hari, pemukiman di Desa Padang Bindu sepi sekali seperti tidak berpenghuni. Bagi yang mempunyai sapo, biasanya lebih memilih tinggal di sapo dan tidak pulang ke rumah. Ada juga penduduk yang punya sapo, tetapi hanya suaminya yang tinggal di sapo sedangkan istrinya lebih memilih tiap hari pulang ke rumah. Ketika Peneliti ada di Desa Padang Bindu, Peneliti mencoba berinteraksi dengan penduduk Desa Padang Bindu. Usaha berinteraksi dengan penduduk adalah dengan ikut ke kebun salah satu penduduk.
71
Suatu pagi Peneliti akan ikut ke kebun dengan salah satu penduduk desa. Kebetulan memang di pagi hari banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang akan pergi ke kebun. Salah satunya adalah istri Pak Burlian yang akan berangkat ke kebun. Jarak kebun kopi dari rumah Pak Burlian lumayan cukup jauh. Menurut istri Pak Burlian, untuk ke kebun kopi miliknya harus berjalan kaki sekitar 1 jam. Istri Pak Burlian setiap hari pulang ke rumah, akan tetapi Pak Burlian tidak setiap hari pulang. Pak Burlian tidur di pondok yang ada di kebun untuk menjaga tanaman kopi supaya tidak diambil orang atau dimakan binatang. Pak Burlian pulang ke rumah hanya pada waktu ada kalangan di desa yaitu pada hari Kamis untuk membeli persediaan makanan dan rokok sebagai kebutuhan sehari-hari selama 1 minggu tinggal di pondok.
Gambar 2. 33. Aktivitas di dalam Sapo Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Jarak lokasi area perkebunan kopi dan persawahan dari lokasi pemukiman penduduk relatif bervariasi. Jarak area perkebunan yang paling jauh dengan lokasi pemukiman yaitu sekitar satu jam perjalanan bila ditempuh dengan berjalan kaki. Untuk area perkebunan kopi yang paling dekat jaraknya dengan pemukiman sekitar 10 menit perjalanan dengan berjalan kaki. Kalau ditempuh dengan kendaraan roda dua, maka waktu yang di tempuh relatif lebih cepat. Untuk menuju ke area perkebunan kopi dan area persawahan hanya melalui jalan setapak. Untuk menuju ke area lokasi perkebunan
72
kopi dan persawahan, dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kendaraan roda dua. Akan tetapi apabila pada saat musim hujan, jalan setapak itu menjadi licin dan becek sehingga kendaraan roda dua akan sulit melintasinya. Bila tidak biasa naik kendaraan roda dua di jalan setapak itu, bisa menyebabkan kecelakaan. Tidak semua penduduk Desa Padang Bindu yang mempunyai kendaraan roda dua, sehingga lebih banyak penduduk yang memilih berjalan kaki. Aktivitas berjalan kaki maupun dengan mengendarai kendaraan roda dua ke kebun dilakukan setiap hari oleh penduduk, kecuali yang punya sapo.
Gambar 2.34. Jalan menuju kebun kopi yang becek pada saat musim hujan Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Penduduk Desa Padang Bindu tidak akan melakukan aktivitas ke kebun pada hari Kamis, mereka libur bekerja untuk beristirahat. Hari Kamis itu adalah saat pergi ke kalangan untuk berbelanja keperluan sehari-hari atau hanya sekedar berjalan-berjalan. Begitu juga penduduk yang tinggal di sapo, mereka akan pergi ke kalangan dan sekaligus dimanfaatkan untuk pulang ke rumah. Hari libur penduduk Desa Padang Bindu tidak seperti kebanyakan masyarakat pada umumnya. Pada umumnya masyarakat berhenti melakukan
73
aktivitas pekerjaannya atau libur pada Hari Minggu, namun penduduk Desa Padang Bindu akan berhenti melakukan aktivitas pekerjaannya pada hari Kamis di saat ada kalangan. Aktivitas berjalan kaki pergi dan pulang kebun membutuhkan fisik yang sangat berat. Hal ini banyak dikeluhkan oleh warga. Pada saat ini banyak warga yang mengeluhkan nyeri pada persendiannya. Ada yang mengatasi keluhan itu dengan membeli obat di kalangan atau ada pula yang membuat ramuan untuk pengobatan tradisional. Namun nyeri sendi tersebut tidak menyurutkan semangat warga untuk tetap bekerja ke kebun. 2.10. Sakai dalam kehidupan petani Desa Padang Bindu Mata pencaharian penduduk Desa Padang Bindu mayoritas adalah petani. Hampir semua penduduk memiliki lahan perkebunan sendiri, ada yang lahan kebun kopinya luas namun ada pula yang hanya punya lahan yang sempit karena telah dijual. Walaupun luas kepemilikan lahan berbeda, namun hampir semua penduduk Desa Padang Bindu pernah merasakan menjadi buruh tani. Pada jaman dulu untuk mengerjakan kebun atau ladang milik salah satu warga dikerjakan secara gotong royong. Seperti yang diceritakan oleh Bapak Cik Mas berikut ini, “…kalau dulu gotong royong bikin ladang, bikin ladang untuk tanam padi tidak pakai ngupah-ngupah, sakai atau gantian. Hari ini bekerja di kebun orang lain kemudian berikutnya kerja di tempat orang lain lagi berputar jadi sama-sama selesai. Untuk menanam padi atau ndugal kalau dulu bujang gadis dikumpulkan. Malam kumpul besok ndugal. Ada juga yang dari dusun lain…”
Sejak jaman dulu di Desa Padang Bindu sudah ada gotong royong untuk mengerjakan sawah atau kebun, disebut dengan sakai. Sakai ini hanya berlaku pada ibu-ibu saja. Sistem gantian kerja ini semula karena semua ibu-ibu di Padang Bindu sudah punya kebun
74
semua dan kalau kerja sendiri membuat pekerjaan selesai dalam waktu yang relatif lama. Ibu-ibu di Desa Padang Bindu kemudian memiliki ide untuk membuat suatu sistem gantian kerja. Sakai adalah semacam arisan tetapi hanya dalam hal bekerja di kebun. Sebagai contoh kelompok 1 mempunyai anggota 5 orang petani kopi, yang terdiri dari A, B ,C, D dan E. Hari ini dijadwalkan akan mutil kopi di kebun milik A. Ibu B, C, D dan E akan bekerja bersama-sama untuk mutil kopi di kebun A. Pada hari berikutnya akan mutil kopi lagi di kebun milik B, maka anggota kelompok yang lain yaitu A ,C, D dan E akan ikut mutil kopi di kebun milik B. Begitu seterusnya sampai semua anggota mendapatkan giliran kerja. Sistem gantian kerja itu tidak dilakukan tiap hari. Ada jadwal yang telah disepakati oleh semua anggota walaupun tidak secara tertulis. Sistem gantian kerja itu dilakukan dalam waktu seminggu 1-2 kali, dan waktu pelaksanaan gantian kerja biasanya sesuai dengan kesepakatan seluruh anggota. Misalnya sesuai kesepakatan awal, waktu pelaksanaan kerja adalah sekitar 6 jam yaitu jam 08.00 sampai jam 14.00. Namun bila suatu ketika bekerja di kebun atau sawah salah satu anggota dan waktu kerjanya tidak mencukupi 6 jam, maka yang bekerja di kebun itu akan dikenakan sangsi. Bila kebun ibu yang berhalangan ikut bekerja tersebut belum dikerjakan oleh anggota yang lain, maka ibu tersebut tidak akan dikenakan sangsi. Sangsi atau ganti rugi oleh masyarakat Etnis Daya disebut dengan nuġun. Sangsi itu bisa berupa denda uang ataupun penambahan jam kerja di hari yang lain. Kalau sangsinya berupa pembayaran uang, maka dihitung harian sesuai dengan upah buruh tani yang berlaku di desa. Dari upah harian yang dihitung perjamnya, kemudian kekurangan jamnya itu yang harus dibayar. Ada juga suatu kasus sebagai berikut : bila perjanjian kerja adalah jam 08.00-14.00 WIB dan misalnya pada saat jam 13.00 WIB terjadi hujan dan kerja harus di hentikan, maka semua anggota yang bekerja di kebun harus membayar sisa jam kerja kepada orang yang punya kebun. Jadi aturan
75
sangsinya berupa denda untuk menggenapi jam kerja yang telah disepakati walapun ada faktor alam atau cuaca yang mengganggu pekerjaan. Sakai tidak harus mengerjakan pekerjaan yang sama. Bila suatu ketika ada salah satu anggota yang minta untuk membersihkan rumput di kebun, maka anggota yang lain bisa meminta bantuan untuk menanam padi. Seperti apa yang sudah di ceritakan Ibu Ritawati berikut ini, “…kalau sakai nggak dihitung jam, pokoknya kerja sama Aku misalnya sampai jam 2 kalau kerja sama Kamu juga jam 2. Kerjanya juga nggak harus kalau sama. Aku merumput, kamu nggak harus merumput nggak harus gitu. Kalau sama aku merumput nanti kalau aku bisa menanam padi atau memutil kopi. Tapi waktunya sama dan jadwalnya sudah sudah ditentukan, misal pada saat kerja di kebun aku, ketika istirahat ada yang bilang hari Kamis besok atau hari Minggu besok kerja di tempat aku ya…”
Sakai di Desa Padang Bindu bukan saja merupakan suatu system gantian kerja di bidang pertanian, akan tetapi merupakan suatu wujud adanya gotong royong dan rasa kebersamaan dari para perempuan. Selain itu juga dapat membina rasa kekeluargaan dan kepercayaan antar penduduk di Desa Padang Bindu dengan adanya aturan-aturan yang tidak dibuat secara tertulis. Walaupun peraturan dalam kelompok sakai itu hanya disepakati dan disampaikan secara lisan, namun semua anggota kelompok tetap mematuhi peraturan yang sudah disepakati. Adanya sistem sakai ini yang membuat sistem kekerabatan dan kekuargaan penduduk Desa Padang Bindu begitu erat. Walaupun sudah ada sistem sakai, namun tenaga untuk mengelola tanah sawah dan perkebunan tetap membutuhkan banyak orang. Untuk membantu dalam mengelola tanah sawah dan perkebunan, biasanya penduduk Desa Padang Bindu membayar jasa tenaga orang lain. Ngupah adalah istilah masyarakat Suku Daya untuk membayar jasa buruh tani (bedandan) dalam mengerjakan sawah
76
atau kebun kopi. Jam kerja bedandan dalam satu hari bekerja adalah 7 jam. Berdasarkan cerita dari Bapak Muhtadun berikut ini, “…tergantung rupiah, dulu dari Rp. 5.000 pun ada, Rp. 10.000 ada. Sekarang kalau ibu-ibu Rp. 30.000 dan bapak-bapak Rp. 40.000 pas ada musim turun dari musim turun juga makan dikasih. Yang jelas laki-laki dikasih rokok, dikasih makan itu kalau perempuan nggak perempuan yang bawa makan sendiri. Nggak tahu dari dulunya sudah gitu…”
Biasanya pekerjaan dimulai jam 7 sampai jam 12, kemudian istirahat 1 jam dan dilanjutkan lagi mulai jam 13.00 dan selesai sampai jam 15.00. Upah buruh untuk mengerjakan sawah atau di kebun kopi antara laki – laki dan wanita berbeda, untuk upah buruh laki – laki seharga Rp. 40.000 perhari dan untuk buruh wanita seharga Rp.30.000 perhari. Upah tersebut tidak termasuk makan, biasanya untuk makannya membawa sendiri dari rumah dan untuk laki-laki ditambah dengan rokok. Walaupun pekerjaan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan sama. Upah untuk buruh hanya berlaku ketika pada musim panen kopi atau pada waktu penanaman padi, Diluar musim panen kopi dan padi atau biasa di sebut dengan musim ceklik maka upah buruh lebih murah. Upah buruh pada saat musim ceklik untuk yang laki – laki seharga Rp. 100.000 pertigahari, sedangkan yang wanita seharga Rp. 25.000 perhari. 2.11. Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan Dalam sistem kekerabatan di Desa Padang Bindu, susunan masyarakatnya sebenarnya mengikuti garis kekeluargaan secara bilateral. Dimana anak-anak yang dilahirkan dalam pernikahan yang sah adalah anak ibu dan bapak, dalam artian masyarakat Desa Padang Bindu menarik garis keturunan baik melalui garis ibu maupun garis bapak. Namun pada kenyataannya, laki – laki pada masyarakat Suku Daya di Desa Padang Bindu lebih di utamakan daripada perempuan. Misalnya dalam sistem pembagian waris, maka apabila ada keluarga
77
yang memiliki satu anak laki-laki dan satu anak perempuan. Anak yang laki-laki akan mendapatkan harta yang lebih banyak daripada anak yang perempuan, jadi laki – laki mendapatkan haknya sekitar 70% dan anak yang permpuan mendapatkan sekitar 30%. Apabila ada keluarga yang memilik tiga orang anak, satu laki-laki dan dua perempuan, maka perbandingan yang mendapatkan warisan yaitu laki-laki sekitar 50% dan sisanya di bagi oleh dua orang wanita. Begitu pula dalam sistem pembagian kerja di kebun, antara laki-laki dan perempuan melakukan pekerjaan yang sama. Mulai dari berangkat ke kebun, sampai melakukan panen kopi semua pekerjaan yang di lakukan sama. Perempuan ketika pulang dari kebun berjalan dengan membawah beban berat di pundaknya, entah itu kayu bakar atau buah kopi. Sedangkan yang laki-laki berjalan di belakang tidak membawah apa-apa, hanya sebuah landai yang ada di pinggang dan kadangkala sambil merokok. Ada juga apabila ada suami dan Istri yang punya Sapo, yang laki-laki akan lebih memilih untuk menjaga kebun sedangkan yang perempuan rela berjalan kaki selama berjam-jam tiap hari ke kebun. Selain itu, antara yang berusia muda dan yang berusia tua tidak ada pembagian kerja. Pekerjaan yang dilakukan tidak di bedakan , pemuda dan orang tua melakukan pekerjaan yang sama. Selain itu pada masyarakat Suku Daya Padang Bindu, pola pengambilan keputusan antara laki - laki dan perempuan yang paling dominan adalah laki-laki. Dalam hal makan, maka laki-laki akan di dahulukan daripada perempuan. Misalnya dalam acara sedekahan, laki-laki yang makan terlebih dulu kemudian setelahnya yang perempuan. Dominasi laki-laki juga terjadi dalam pola pengasuhan anak, seorang istri akan salalu menurut setiap perintah Suaminya walaupun untuk tujuan kesehatan melarang istrinya untuk membawah anaknya imunisasi karena setelah di imunisasi badan anak akan panas. Seperti yang di jelaskan oleh Ibu Mapy sebagai berikut :
78
“…kalau anaknya panas nggak boleh datang lagi ke Posyandu Kata bapaknya. Karena mereka takut kadang sudah Posyandu Anaknya panas, jadi kata suaminya nggak usah datang lagi ke Posyandu. Kebiasaan makan yang di dahulukan laki-laki, terutama ketika sedekahan laki-laki tidak bekerja keras, ada yang ikut sabung ayam. Mereka menyuruh istrinya bekerja keras. Setiap pagi berangkat pulang sore…”
Penduduk Desa Padang Bindu seperti pada penduduk desa pada umumnya yang bersifat homogen, sehingga masih ada rasa gotong royong atau masyarakat menyebutnya dengan istilah royong. Hal itu sesuai dengan prinsip hidup orang daya yang memiliki sifat gotong royong dan musyawarah. Sifat kegotong royongan ini jelas nampak dalam membuat gorong-gorong, membuat jalan, memperbaiki jalan menuju ke kebun, memperbaiki saluran irigasi sawah, kematian dan sedekahan. Namun ada sifat gotong royong yang agak berkurang, yaitu ketika membangun rumah. Dulu kalau ada orang yang membangun rumah dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat satu dusun, tetapi sekarang kalau membangun rumah dengan memanggil tukang. Seperti apa yang telah di ceritakan oleh Pak Cik Mas berikut ini, “…prinsip hidup orang daya dari dulu semangatnya yang di utamakan bergotong royong sama musyawarah, itu termasuk adat istiadat. Falsafah hidup kekeluargaan, bantu membantu dan gotong royong. Dari dulu membikin rumah nggak pakai tukang tapi gotong royong. Ada 1 atau 2 yang tukang pahat. 1 kampung bikin rame-rame yang kurang kayu segala macam di bantu atap dari bambu. Disini mengutamakan kekeluargaan itu ya keluarga besar. Jadi dalam hubungan 1 keluarga anak-anak itu tidak serta merta setelah nikah pisah, setelah nikah masih berkumpul malahan 2 anak 3 anak sudah nikah masih berkumpul yang disebut dengan seiring semasakan tidak ada yang rebut. Tapi itu dulu sekarang sudah tidak lagi. Itu cerminan tidak mandiri tapi rasa ingin bersama…”
79
2.12. Adok dalam budaya Suku Daya Desa Padang Bindu Seperti di ceritakan tentang asal mula Desa Padang Bindu dan Phuyang dari penduduk Desa Padang Bindu. Bahwa penduduk di Desa Padang Bindu masih dalam satu keturunan Buay Semaġno. Anak-anak dari Buay Semagno itu yang kemudian menjadi cikal bakal kampung adat di Desa Padang Bindu. Kampung adat di Desa Padang Bindu yaitu Kampung Talang, Kampung Tengah, Kampung Renog dan Kampung Ngaġaja Wai. Masing – masing kampung adat mempunyai ketua adat yang berasal dari keturunan Raden. Ketua adat Kampung Talang adalah Cik Raden, Ketua adat Kampung Tengah Pak Asriwie, Ketua adat Kampung Renog PaK Rustam dan Ketua Ngaġaja Wai adalah Bapak Ferdinand Markos. Bila di lihat dari garis keturunan, pernikahan penduduk Di Desa Padang Bindu masih merupakan satu kekerabatan. Walaupun yang menikah itu berasal dari Kampung yang berbeda. Setiap Kampung yang ada di Desa Padang Bindu masing – masing memiliki seorang ketua Adat. Ketua adat itu berasal dari garis keturunan anak yang paling tua atau anak taha. Di Kampung adat ada struktur sosial yang membedakan kedudukan masyarakat, kedudukan struktur itu berdasarkan garis keturunan. Garis keturunan yang paling tua akan mendapatkan kedudukan yang paling tinggi. Struktur sosial yang ada di Kampung adat disebut dengan Adok atau gelar. Adok adalah pemberian gelar kepada laki-laki atau perempuan setelah menikah. Dalam Adok kedudukan yang paling tinggi berdasarkan keturunan adalah Raden Kemala ratu, yang kedua adalah Raden Kemala, yang ketiga Raden Temenggung dan yang terakhir adalah Raden Mas. Setelah itu turun ke Raden yang berikutnya, anak laki-laki Raden yang paling tua otomaotis setelah menikah juga mendapatkan gelar Raden. Adok Ini yang memberikan adalah ketua adat berdasarkan garis keturunan. Pada saat ini keturunan yang paling tua atau anak taha mendapatkan
80
gelar Raden. Raden Adalah gelar yang paling tinggi dan dari keturunan Raden inilah yang bisa menjadi ketua adat. Kalau anak laki – laki yang paling tua mendapatkan gelar Raden, maka anak laki – laki yang kedua, ketiga dan seterusnya juga mempunyai gelar. Untuk gelar anak yang kedua setelah Raden adalah Cahya Raden, yang ketiga adalah Mangku Raden, yang keempat adalah Gimbar Batin. Dari keturunan mulai anak yang kedua sampai anak yang keempat ini di klasifikasikan dalam golongan gelar besar. Selanjutnya anak kelima akan mendapatkan gelar Ranting Mas, anak yang keenam mendapat gelar Dasar. Gelar anak yang kelima dan keenam ini di klasifikasikan ke dalam golongan sedang. Selanjutnya keturunan yang ketujuh mendapatkan gelar Jalang Bibas, keturunan yang kedelapan mendapatkan Cap Raya, keturunan yang ke Sembilan mendapat gelar Alam bibas, keturunan yang kesepuluh mendapat gelar Cinta batih dan keturunan yang kesebelas atau yang terakhir mendapat gelar kunci raya. Dari keturunan yang ketujuh sampai yang kesebelas masuk ke dalam golongan gelar yang kecil. Kalau anak yang paling tua keturunan dari Raden adalah anak wanita, maka wanita itu yang di beri gelar. Namun gelar wanita tidak sama dengan gelar lakilaki. Gelar wanita yang paling tinggi adalah Ini ¸gelar ini di peroleh apabila wanita yang tertua keturunan dari Raden Kemala Ratu. Gelar wanita yang kedua adalah ini Ġajuh¸gelar wanita yang ketiga adalah Ini Luwih. Peran dan fungsi Adok hanya berlaku pada saat ada hajatan nikahan saja. Pada saat tidak ada hajatan atau pada kehidupan sehari – hari atau saat urusan masalah administrasi formal pemerintahan desa, tetap struktur formal yang tertinggi dalam pemerintahan desa dipegang oleh seorang Kepala Desa yang di bantu oleh Kepala Urusan dan Sekretaris Desa serta beberapa Kepala Dusun sehingga peran dan fungsi Adok tidak berlaku. Bila ada hajatan nikahan, segala sesuatu yang mengatur upacara pernikahan adalah yang mempunyai Adok yang paling tinggi.
81
Dan yang memiliki Adok di bawahnya akan menunggu perintah saja. Walaupun dalam pemerintah desa seseorang menjabat sebagai Kepala Dusun atau Kepala Urusan, namun apabila Adok yang di milikinya randah maka orang tersebut tidak dapat memerintah atau menyuruh orang yang mempunyai Adok Yang lebih tinggi. Seperti apa yang di telah di jelaskan oleh Pak Rustam berikut ini : “…yang kecil nggak bisa merintah Raden-Raden. Yang kecil harus nunggu perintah. Makanya nggak bisa Kita beli, Nggak bisa. Adok Raden Mangku harus meneliti jalur keturunan. Walaupun bodoh sekalipun Dia itu harus memakai gelar Itu Adok. Dan juga pada waktu hajatan. Ini berlaku sampai sekarang…”
Pemberian gelar tersebut berlaku kepada semua Kampung adat yang ada di Desa Padang Bindu, akan tetapi pemberian gelar tersebut hanya berlaku sesuai dengan masing-masing garis keturunan dan yang berhak adalah masing-masing ketua adat. Misalnya ada penduduk keturunan dari Kampung Talang yang akan menikah, maka yang berhak memberikan Adok adalah ketua adat dari Kampung Talang. Begitu pula yang berlaku dengan kampung yang lain. Pada saat ini di Desa Padang Bindu untuk mengetahui garis keturunan dalam satu kampung sangat sulit, tidak seperti pada jaman dulu setiap satu garis keturunan kampung akan tinggal bersama-sama dalam satu kelompok. Karena semakin cepatnya pertumbuhan penduduk dan semakin sulitnya lahan untuk pemukiman, maka pada saat ini masing-masing keturunan mendirikan tempat tinggal tidak lagi mengelompok melainkan memilih lahan yang kosong dan sesuai untuk mendirikan rumah sehingga masing–masing garis keturunan satu kampung menyebar dalam satu desa. 2.13. Adat pernikahan di Desa Padang Bindu Adat pernikahan memerlukan suatu proses, yaitu sebelum, pada saat upacara pernikahan dan sesudah upacara pernikahan yang
82
mempunyai proses sendiri-sendiri dan satu sama lainya tidak dapat dipisahkan. Mulai dari pencarian jodoh yang dimulai dari perkenalan ataupun dengan melalui pendekatan antara laki-laki dan perempuan, bisa di katakan masih pacaran atau dalam istilah bahasa Dayanya cewekan. Proses yang selanjutnya yaitu penentuan jodoh. Di Desa Padang Bindu tidak ada larangan dalam menentukan jodoh. Bagi yang sudah siap menikah, maka orang tua akan mengikuti kehendak anak. Usia pernikahan paling muda yaitu umur 14 tahun dan paling dewasa umur 25 tahun. Kalau laki-laki biasanya yang paling muda berumur 18 tahun, sedangkan yang paling tua ada juga yang berumur sekitar 25 tahun. Masyarakat Suku Daya Desa Padang Bindu mengenal 3 adat pernikahan setelah menikah, yaitu bay-bay, semanda dan Ghohasan Phahlujadi. Adat pernikahan bay-bay adalah biasanya perempuan mengikuti laki-laki karena perempuan masih punya adik laki-laki yang belum menikah. Laki-laki boleh membawa Istri ke tempat tinggal orang tua laki-laki jika belum mampu secara ekonomi. Kalau sudah mampu secara ekonomi, maka mereka bisa membangun rumah sendiri dan tidak tinggal bersama orang tua laki-laki maupun orang tua perempuan.
Gambar 2.35 Pakaian adat pernikahan masyarakat Desa Padang Bindu Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
83
Adat yang kedua adalah semanda, yaitu laki-laki yang ikut perempuan dalam waktu tertentu (berjangka) karena di rumah perempuan tidak ada saudara laki-laki atau laki-laki lain. Walaupun masih punya adik laki-laki tetapi masih kecil atau belum menikah, sehingga harus menunggu adik laki-laki perempuan tersebut menikah terlebih dulu dan baru bisa pergi untuk tinggal bersama orang tua yang laki-laki atau bisa tinggal di rumah sendiri kalau sudah mampu secara ekonomi. Adat yang ketiga yaitu Ghohasan Phahlujadi, dimana adat pernikahan yang berlaku bagi anak tengah. Setelah menikah, pihak perempuan bisa ikut laki - laki, atau pihak laki-laki bisa ikut perempuan. Adat pernikahan yang ini pada dasarnya tidak mengikat antara kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan. Adat pernikahan tersebut masih berlaku pada pengantin yang baru menikah pada saat ini, namun ada beberapa penduduk yang ingin hidup secara mandiri sehingga tidak ingin tinggal bersama orang tua. Biasanya bagi pasangan yang baru menikah dan belum memiliki cukup biaya untuk membuat rumah, maka memilih untuk tinggal di kebun dengan mendirikan Sapo. Tinggal di Sapo selain tidak membutuhkan biaya yang besar, juga dapat melakukan pengawasan di kebun kopi. Namun ada juga pasangan baru menikah yang perempuan ikut laki-laki, tetapi karena tempat tinggal antara yang laki-laki dan perempuan cukup dekat sehingga kadangkala setiap satu minggu sekali pulang ke rumah orang tua perempuan untuk tinggal selama 2 sampai 3 hari kemudian balik lagi kerumah orang tua lakilaki. Upacara sebelum pernikahan ada beberapa proses yang harus dilakukan dan beberapa jenjang serta berakhir dengan upacara pernikahan. Proses sebelum pernikahan yaitu masing – masing calon pengantin wanita dan laki – laki di tanyai oleh kedua orang tua mereka, benar apa nggak mereka pacaran dan mau menikah. Kemudian masing – masing menghadap kepala desa atau perangkat
84
desa yang lain bahwa mereka akan menikah, setelah itu Kepada Desa atau perangkat desa membuat pernyataan. Setelah itu keluarga lakilaki datang ke tempat perempuan bahwa sudah ada keterangan dari Kepala Desa atau perangkat desa yang lain dan juga untuk menentukan hari pernikahan. Setelah itu yang wanita di ajak untuk menginap di rumah laki – laki, tetapi tidak tidur dalam satu kamar. Hal ini bertujuan untuk memperkenalkan calon Istri kepada semua kerabat laki – laki ini yang di sebut dengan Batok. Selain itu dalam upacara batok juga ada acara bujang –gadis. Dalam acara ini ada gadis yang membuat pempek dan yang bujang hanya melihat saja, setelah membuat pempek selesai dan kemudian dimakan bersama-sama. Setelah itu pada saat upacara pernikahan keluarga laki-laki berembuk dengan tetangga lain dalam satu kampung adat yang menceritakan kepada seluruh keluarga tentang waktu akad nikah. Kemudian ada acara Mbuġau yang intinya memberitahu bahwa si A dan si B di akad nikahkan pada hari tertentu sekaligus makan bersama. Pada saat ini pula di beritahukan waktu hajatan dan minta tolong pada waktu pelaksanaan upacara nikahan dari awal sampai akhir. Selanjutnya ada acara siuġawan yaitu musyawarah untuk pembentukan panitia dan menyerahkan hajatan kepada orang lain. Kebiasaan yang harus di lakukan calon pengantin sebelum acara prosesi pernikahan adalah Begawang, yaitu berkunjung ke makam phuyang. Hal tersebut di lakukan agar acara hajatan berlangsung dengan meriah tanpa ada gangguan dari roh halus. Namun kebiasaan ini ada yang melakukan dan juga tidak, karena phuyang yang di miliki penduduk Desa Padang Bindu tidak sama sehingga hanya yang memiki kepercayaan terhadap nenek moyang yang melakukan kebiasaan itu. Setelah itu seperti pada upacara pernikahan pada umumnya, yaitu di mulai dengan akad nikah dan kemudian acara pernikahan. Pada upacara pernikahn ini juga di sebutkan adok dari kedua pengantin. Setelah melakukan upacara pernikahan, keesokan harinya
85
pengantin perempuan di ajak ke rumah Raden dengan tujuan untuk mengenalkan pengantin perempuan kepada sesepuh adat. Setelah itu ada upacara pernikahan di rumah mempelai laki – laki yang di kenal dengan istilah Ngemantu oleh masyarakat Suku Daya. Prosesi Ngemantu di lakukan setelah proses upacara pernikahan, biasanya di lakukan setelah 7 hari pernikahan. Ngemantu dilakukan dengan tujuan mengantarkan kedua pengantin untuk pulang ke rumah mempelai laki – laki. Prosesi Ngemantu di mulai dari rumah orang tua mempelai Perempuan. Kedua mempelai sebelum berangkat ke rumah orang tua mempelai laki – laki, terlebih dulu berpamitan dan memohon doa restu kepada Ketua Adat. Setelah berpamitan dan memohon doa restu kepada Ketua Adat, kedua mempelai berangkat menuju ke rumah orang tua laki – laki diantar oleh kerabat mempelai perempuan. Setelah sampai di rumah orang tua mempelai laki – laki, kedua mempelai dan kerabat mempelai perempuan tidak langsung masuk kerumah orang tua mempelai lakilaki tetapi terlebih dulu berkumpul di rumah kerabat mempelai laki – laki. Di rumah itu, kerabat perempuan melakukan musyawarah terlebih dulu. Musyawarah berlangsung sekitar 30 menit, selanjutnya prosesi Ngemantu dilaksanakan. Kedua mempelai berjalan di depan dan kerabat perempuan berjalan di belakangnya. Sesampai di rumah orang tua mempelai laki – laki, sudah di sediakan tempat untuk pengantin. Tempat tersebut berupa 2 bantal besar sebagai tempat duduk kedua mempelai. Kerabat mempelai wanita duduk terpisah antara laki – laki dan perempuan. Dalam upacara ini juga ada acara pemberian Adok untuk kedua pengantin. Ada pula upacara pernikahan ketika ada Adik yang melangkahi Kakak dalam pernikahan, maka Adik yang akan menikah tersebut harus memenuhi permintaan Kakak yang di langkahi. Bentuk dari permintaan Kakak yang di langkahi biasanya berupa pakaian atau uang. Bila ada Adik yang tidak memenuhi permintaan Kakak, maka biasanya Adik yang melangkahi akan di kenai sangsi oleh keluarga.
86
Sangsinya biasanya berupa tidak akan menegur atau mengacuhkan adik yang tidak memenuhi permintaan Kakaknya. 2.14. Konsep sehat dan sakit Kebudayaan masyarakat pada saat ini sudah mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan situasi dan kondisi pada masyarakat. Perubahan dan perkembangan itu terjadi karena di pengaruhi dari dalam lingkungan masyarakat itu sendiri maupun dari luar lingkungan masyarakat. Dari dalam lingkungan masyarakat pada dasarnya karena perkembangan dan perubahan dari cara berpikir masyarakat itu sendiri, dimana masyarakat menilai sesuatu itu selalu ke arah yang lebih praktis, efisien dan ekonomis. Perubahan tersebut cenderung ikut merubah nilai-nilai kebudayaan dan norma-norma yang berlaku. Pengaruh dari lingkungan luar masyarakat itu sendiri, yaitu alat komunikasi pada saat ini yang cukup memadai yaitu adanya telepon genggam walaupun signal yang di dapatkan harus di tempattempat tertentu. Adanya informasi dari televisi walaupun stasiun tv hanya di dapatkan dengan menggunakan parabola justru di terima masyarakat dengan mudah tanpa adanya suatu filter. Seperti adanya perilaku masyarakat di Desa Padang Bindu tentang kondisi tubuhnya ketika merasakan adanya gejala kesakitan. Kalau merasa ketika batuk atau flu, maka tidak akan pergi ke bidan. Yang di lakukan adalah membeli obat yang di jual di kalangan. Kalau memang benar-benar tidak bisa bekerja ke kebun, yang di lakukan adalah pergi ke bidan. Konsep sehat menurut penduduk Desa Padang Bindu adalah ketika masih bisa pergi ke kebun, walaupun batuk-batuk atau flu maupun merasa sakit kepala, nyeri di persendian kaki, sakit perut dan masih bisa mandi. Sedangkan sakit menurut penduduk Desa Padang Bindu adalah ketika memang benar-benar tidak bisa bekerja di kebun. Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang mengaku bahwa kalau makan nasi setiap pagi hari, maka pemuda itu akan muntah. Tetapi ketika ditanya oleh peneliti bahwa apa perutnya sakit , pemuda
87
itu menjawab tidak sakit perut. Jadi setiap pagi, pemuda itu tidak pernah makan. 2.15. Ribang bagi kehidupan Penduduk Desa Padang Bindu Masyarakat Desa Padang Bindu juga mempunyai suatu peninggalan budaya jaman phuyang selain benda – benda yang mempunyai nilai sejarah, peninggalan jaman phuyang yang lain adalah kesenian tradisional. Pada jaman dulu kesenian tradisional di Desa Padang Bindu adalah seni pencak silat dan Ribang. Ribang adalah semacam adi adi atau pantun yang di nyanyikan oleh dua orang secara bersahutan yang di iringi musik petikan gitar tunggal. Pada jaman dulu sebelum upacara pernikahan ada acara khusus untuk remaja yang disebut dengan acara Bujang – Gadis, pada acara itu laki-laki dan perempuan saling duduk berhadapan yang disebut dengan istilah ningkuk dan ada yang menyanyikan lagu Ribang tersebut. Namun pada saat ini, ketika ada acara Bujang – gadis sudah tidak diiringi lagi dengan Ribang melainkan musik-musik disko yang di putar melalui tape recorder. Seperti apa yang telah di ceritakan oleh Bapak Muh. Tadun berikut ini, “…dulu ada gitar-gitaran bujang – gadis ngumpul menyanyikan gitar tunggal sekarang mana ada. Pengaruh budaya disko. Sekarang Kita coba bunyikan mana ada bujang – gadis tahu tapi cobalah nenek-nenek bunyikan petikan gitar lama pasti ada yang nangis. Itukan sebenarnya petikan gitarnya lagu ada makna tidak sembarang lagu namanya adi-adi atau ribang…”
Macam – macam Ribang Sinar Matang, daweh dan daerah. Masing –masing lagu itu memiliki petikan gitar yang berbeda. Kalau sekarang memang hampir tidak ada yang menampilkan Ribang, namun di Desa Padang Bindu masih ada yang bisa memainkan gitar tunggal itu sambil bernyanyi. Suatu kebetulan ketika berada di Desa Padang Bindu ada lomba PHBS untuk seluruh Kabupaten OKU Selatan yang di laksanakan di Desa Peninjauan, dan pada saat itu ada
88
penampilan ribang yang di nyanyikan oleh satu orang laki-laki dan satu orang perempuan. 2.16. Bahasa orang Daya Desa Padang Bindu Suku Daya dan Suku Komering memang sulit di bedakan, karena mereka menggunakan bahasa yang sama. Selain itu adanya referensi tentang Suku Daya sendiri sulit di dapat oleh peneliti, referensi tentang Suku Daya hanya di dapatkan dari ensiklopedia suku bangsa di Indonesia. Ada banyak kesamaan antara bahasa Daya dan Komering. Namun, orang – orang SuKu Daya merasa bahwa bahasa dan identitas mereka berbeda dari Komering. Meski begitu, orang Daya tidak menyangkal bahwa ada banyak kesamaan antara bahasa Daya dan Komering. Dalam bahasa Suku Daya tidak ada yang membedakan antara tulisan dan ejaannya, keistimewaan dari bahasa Daya adalah ada huruf ġ pada beberapa kata dan pengucapannyapun berbeda. Cara membaca huruf ġ ini seperti membaca tiga huruf yang di jadikan satu yaitu rgh. Misalnya dalam kata Lungsoġ ( baca : Lungsorgh ) atau jadi keġasan I ( baca : jadi kerghasan ). Pengucapan kata ini merupakan suatu keistimewaan tersendiri yang di miliki oleh Orang Daya. Ada tingkatan bahasa untuk penyampain dalam bahasa Daya, yaitu ketika berbicara dengan orang tua akan menggunakan kata – kata yang lebih halus. Namun kata – kata halus yang digunakan kepada orang yang lebih tua hanya satu kata saja, sedangkan yang lain selebihnya tidak ada perbedaan ketika berbicara dengan orang tua. Misalnya dalam menyebut istilah Kamu, ketika berbicara dengan orang yang sebaya atau seumuran menggunakan kata Niku. Namun ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, dengan menggunakan kata Gusi. Selain itu ada juga perbedaan penyebutan antara laki-laki dan perempuan ketika menyebut Kakek dan Nenek. Kalau orang laki-laki memanggil Nenek dengan sebutan Ajong, kalau perempuan memanggil Nenek dengan sebutan Mbay. Kalau orang laki-laki memanggil Kakek dengan sebutan Akas, sedangkan kalau perempuan memanggil Kakek dengan sebutan Ajong.
89
BAB 3 POTRET KESEHATAN JALMA DAYA 3.1.
Status Kesehatan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan berada pada peringkat 439 dari sekitar 479 kabupaten di Indonesia berdasarkan penilaian Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) pada tahun 20131. Tentunya sudah banyak dilakukan perbaikan oleh pemerintahan Kabupaten OKU Selatan yang baru memasuki usianya yang kesepuluh tahun pada tahun 2015 ini. Pemekaran Kabupaten OKU Selatan dengan Kabupaten OKU Induk dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten OKU Selatan. 3.1.1 Menyapa Pembaruan Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) menjadi salah satu indikator kesehatan suatu masyarakat. Hal ini karena PHBS mencakup berbagai aspek pencegahan penyakit yang dapat meningkatkan derajat hidup masyarakat. 3.1.1.1 Tiga Sumber Air “Kalau air , idak (tidak) kekurangan”
Begitulah yang sering diungkapkan oleh masyarakat. Bagaimana tidak, masyarakat memiliki 3 sumber air yang dapat digunakan. Bebeapa masyarakat yang cukup mampu akan menyambung pipa-pipa yang disalurkan ke rumah-rumah, sebagian masyarakat yang tidak mampu tidak menggunakan air ini. Hal ini 1
90
Balitbangkes Kemenkes RI. 2014. Indeks Pembangunan Kesehatan RI 2013. Balitbangkes RI
karena untuk menyambung pipa-pipa ini, masyarakat harus membeli sendiri pipa yang menuju rumah masing-masing. Setiap bulan masyarakat juga harus membayar biaya perawatan sebesar lima ribu rupiah. Namun hal ini tidak menjamin air yang mengalir melalui sistem perpipaan itu menjadi lancar terus. Selain air perpipaan, hampir seluruh masyarakat menggunakan air sungai. Sungai Semingkap seolah berjodoh dengan masyarakat Padang Bindu. Pola pemukiman masyarakat Padang Bindu yang mengikuti aliran sungai menjadikan sungai sebagai salah satu nadi kehidupan bagi masyarakat Padang Bindu. Setiap pagi dan sore hari masyarakat akan meramaikan aliran sungai dengan aktifitasnya, baik dengan mencuci, mandi, atau mising (buang air besar atau BAB). Pada siang hari, beberapa remaja akan ngawil (memancing) di sungai tersebut. Tidak semua wilayah dapat dijadikan tempat mandi. Terdapat beberapa pangkalan yang berbeda dan cenderung terdapat di belakang rumah. Biasanya pangkalan yang untuk perempuan dan laki-laki berbeda tempat. Sungai bagi masyarakat Etnik Daya Desa Padang Bindu menjadi bagian dari life cycle masyarakat. Kemampuan menyelam di sungai atau bisa mandi sendiri di sungai menjadi salah satu indikator seorang anak telah melewati masa bayi dan balita. Jika seorang anak telah dapat menyelam atau mandi sendiri ke sungai, maka anak tersebut tidak diharuskan lagi melakukan ritual petunggu setiap tahunnya. Jika anak tersebut terkena njami2 (penyakit yang berulang ulang dan rewel) maka penyakit njami yang dideritanya akan sembuh. Selain itu, ibu yang melahirkan anak tersebut secara otomatis terbebas dari ancaman penyakit morian3.
2 3
Penyakit pada bayi dan balita yang berulang-ulang. Akan dijelaskan dalam bab selanjutnya
91
“Tergantung di anak- anak (kapan selesainya petunggu) apa anaknya kalau sudah nyelam, kalau sudah bisa nyelam di air itu tutup petunggu. Idak lagi.” Ibu ASW
Gambar 3.1 . Masyarakat mencuci piring di sungai Sumber: Dokumentasi Peneliti 2015
Masyarakat menggunakan sumur untuk air yang dikonsumsi. Pembangunan sumur ini sudah dilaksanakan sejak lama. Pembangunan sumur ini dilakukan untuk mengantisipasi jika sungai mengalami kekeringan. Masyarakat jarang menggunakan sumur untuk mandi dan mencuci. Sumur digunakan untuk air minum dan memasak. Tuan rumah juga menggunakan air sungai selain menggunakan air sumur jika ada hajatan. Masa transisi benar-benar dialami oleh masyarakat Desa Padang Bindu. Beberapa program pemerintah yang pernah masuk di desa tersebut tidak serta merta diterima oleh masyarakat setempat. Proyek Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Masyarakat (Pamsimas) yang pernah masuk tahun 2012 hanya
92
meninggalkan monumen-monumen yang tidak dapat mengeluarkan air di beberapa titik di Desa Padang Bindu. Proyek Pamsimas tersebut merupakan salah satu program pemerintah untuk menyediakan sarana sanitasi untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di desa-desa yang membutuhkan. Menurut masyarakat air tidak keluar karena airnya tidak bisa naik. Menurut ibu RTW, awalnya lokasi mandi-cuci-kakus (MCK) yang dibangun oleh proyek Pamsimas tersebut berfungsi dan masyarakat mandi di lokasi tersebut. Namun, saat ini banyak kran air yang dicuri dan hilang sehingga tidak dapat digunakan kembali.
Gambar 3.2 Bangunan peninggalan Pamsimas yang tidak di gunakan oleh masyarakat. Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Dari obrolan ringan dengan beberapa masyarakat, Peneliti mengetahui bahwa ada beberapa alasan masyarakat enggan memanfaatkan sumber air Pamsimas. Air yang tidak naik dan letak sumber air yang berada di pinggir jalan menyebabkan masyarakat enggan mandi di lokasi tersebut karena akan terlihat orang lain. Sedangkan jika mandi di sungai, lokasinya berada tersembunyi di
93
belakang rumah dan ada pemisahan antara lokasi laki-laki dan perempuan. Dari hasil observasi yang Peneliti lakukan di sungai saat masyarakat mandi, penggunaan sabun dan shampoo untuk mandi telah digunakan oleh masyarakat Desa Padang Bindu. Meskipun anakanak yang mandi sendiri sering hanya menggunakan sabun sekadarnya. “Mandi kebo (kerbau) kalau at (tidak) pakai sabun” Yuk DS
Gambar 3.3 Peta sanitasi yang dimiliki oleh desa Padang Bindu Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
3.1.1.2 Jamban Beberapa rumah di Desa Padang Bindu telah memiliki jamban di dalam rumahnya, tetapi masyarakat tetap melakukan aktivitas buang air besar di sungai Semingkap. Menurut masyarakat, air sungai Semingkap merupakan “way balak” atau air besar sehingga jika BAB di sungai tidak akan mencemari sungai tersebut. Seperti rumah Bidan DS yang memiliki jamban leher angsa, namun air yang masuk ke kamar mandi sering tidak mengalir.
94
Menurut Bidan UM, yang lama pernah tinggal di Desa Padang Bindu dan masih sering berinteraksi dengan masyarakat setempat, mengatakan bahwa permasalahan jamban di Desa Padang Bindu bukan karena permasalahan kurangnya uang untuk membangun jamban, namun lebih kepada permasalahan perilaku dan kebiasaan masyarakat sendiri. “Permasalahan di daerah sini lebih cenderung ke masalah perilaku. (pemilik) jamban memang kurang kan, tapi saya lihat orang yang udah punya aja tetep ke Siring. Ini kan perilaku, bukan karena gak punya uang.” Bidan UM
Kebutuhan jamban tidak menjadi prioritas kebutuhan sanitasi bagi masyarakat. Selain sumber air yang dibangun oleh Pamsimas, di Desa Padang Bindu telah dibangun sarana MCK umum di dekat kalangan. Namun, sejak dibangun hingga saat Peneliti tiba di Desa Padang Bindu, sarana MCK tersebut tidak difungsikan. Tidak ada air yang mengisi bak-bak MCK karena alasan kurang dana untuk menyambungkan air perpipaan. Menurut Pak SFR, pembangunan itu tidak perlu dilakukan sebab masyarakat lebih memerlukan pembangunan sumur atau perpipaan yang dapat dialirkan ke rumah. “Itukan mubasir jadinya. Kami idak (tidak) butuh itu. kalau mau mising (BAB) di kali (sungai) kan bisa. dekat kali itu sama kita. itu dananya besak (besar) tapi idak terpakai. Kalau buat air bersih kan bagus” Jelas Pak SFR
3.1.1.3 Cuci Tangan dalam Semangkuk Air Kebiasaan cuci tangan memakai sabun masih tergolong rendah. Kebiasaan makan bersama dengan menyediakan semangkuk air pembasuh tangan di antara hidangan masih sering digunakan baik untuk hidangan sehari-hari, upacara adat maupun ritual ritual penyembuhan. Yuk RN , seorang ibu muda warga Desa padang Bindu, hanya membasuh tangannya dengan air yang tersedia di ember setelah membereskan Dek AU yang selesai BAB dan kemudian mulai
95
melanjutkan menggiling bumbu. Sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat, mereka hanya mencuci tangan di sungai sungai kecil tanpa menggunakan sabun setelah melakukan aktivitas di kebun dan langsung mengkonsumsi makanan di pondok. Proyek Pamsimas yang masuk ke Desa Padang Bindu telah membangun beberapa tempat untuk mencuci tangan di SD Negeri Padang Bindu. Namun Ibu SYT yang merupakan wakil kepala sekolah guru di SD Padang Bindu menilai program ini tidak berhasil. Hal ini disebabkan air tidak bisa keluar dari kran tempat cuci tangan tersebut karena air yang tidak bisa naik ke kran tempat cuci tangan. Kadang kala air keluar dari kran tempat cuci tangan tapi airnya sangat kecil. Peneliti juga melihat bahwa hampir seluruh fasilitas tersebut tidak lagi memiliki kran air. Beberapa tempat cuci tangan hasil program Pamsimas pada tahun 2012 tersebut malah justru menjadi sarang nyamuk. Hal ini dikarenakan pada bagian yang menyerupai wastafel tersumbat sampah atau sejumlah rumput sehingga saat hujan turun air hujan akan menggenang di tempat cuci tangan tersebut.
Gambar 3.4. Bangunan wastafel yang tidak digunakan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
96
3.1.2 Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) 3.1.2.1 Satu Bidan Satu Desa Pemerintah menggalakkan penyebaran satu bidan untuk satu desa. Dinas Kesehatan OKU Selatan melakukan program satu bidan satu desa. Namun belum semua bidan desa tersebut tinggal diwilayah kerjanya. Masyarakat Desa Padang Bindu memiliki 3 orang bidan yang berdomisili di desa tersebut. Dua bidan merupakan bidan muda yang bertugas untuk desa lain dan satu bidan adalah bidan desa penanggung jawab Desa Padang Bindu. Bidan Desa Padang Bindu menetap di Desa Padang Bindu. Dua bidan desa lain yang bertempat tinggal di Desa Padang Bindu yaitu Bidan Mepi dan Bidan Desi, namun Bidan Desi sudah baybay4 ke tempat suaminya. Masyarakat sudah mengenal bidan sebagai salah satu penolong persalinan. Namun masih banyak masyarakat yang melahirkan dengan dibantu oleh dukun. Meskipun Desa Padang Bindu telah memiliki Polindes, persalinan tetap dilakukan di rumah. Polindes tidak digunakan selain untuk pelaksanaan posyandu yang dibantu oleh lima orang kader Posyandu. Selama Peneliti berada di lokasi penelitian, Polindes hanya dibuka pada saat pelaksanaan Posyandu. Padahal selama Peneliti berada di Desa Padang Bindu terdapat empat orang ibu bersalin, dua orang ditolong oleh dukun dan dua orang lainnya ditolong oleh Bidan MP dan Bidan UM. Desa Padang Bindu memiliki satu Polindes. Bangunan Polindes ini seharusnya ditempati oleh Bidan Desa Padang Bindu yaitu Bidan YN. Bidan YN tidak menempati Polindes sebagai tempat tinggalnya karena Bidan YN sudah memiliki suami yang berasal dari Desa Padang Bindu dan telah memiliki rumah sendiri di Desa Padang Bindu. Polindes hanya digunakan sebagai tempat pelaksanaan Posyandu Desa Padang Bindu. Posyandu juga dibantu dengan dana PNPM generasi yang dikelola oleh suami ketua kader. 4
Jenis pernikahan dimana isteri ikut dengan suami
97
Posyandu di Desa Padang Bindu dilaksanakan setiap hari Kamis sesuai dengan hari kalangan Hal ini bertujuan agar masyarakat yang memiliki balita dan tinggal di talangan-talangan dapat hadir di Posyandu. Prinsip lima meja tidak diterapkan di Posyandu Desa Padang Bindu. Peneliti sempat mengikuti pelaksanaan Posyandu pada tanggal 14 Mei 2015. Posyandu hanya melaksanakan pengisian buku KIA, penimbangan dan pemberian suntik imunisasi pada hari itu. Biasanya ibu bayi tersebut tidak akan datang lagi ke Posyandu setelah imunisasi pada bayi usia 5 bulan dan baru datang kembali pada saat bayi berusia 9 bulan untuk imunisasi selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa paradigma masyarakat mengenai Posyandu lebih condong pada pemberian imunisasi. Seperti Ibu HSB yang membawa cucung-nya ke Posyandu5. Setelah empat kali memperoleh imunisasi, Ibu HSB tidak akan datang lagi ke Posyandu hingga bulan ke sembilan baru akan datang lagi ke Posyandu. “Sudah empat kali itu bilangnya ya sudah. Sembilan bulan nanti ya suntik lagi. Kalau sudah empat kali idak lagi posyandu. Sudah sembilan bulan nanti datang lagi posyandu.” Ibu HSB
Tabel 3.1 Pemakaian Vaksin Di Puskesmas Buay Runjung pada Tahun 2014 Jenis Vaksin
Jumlah
BCG Polio 1 Polio 2 Polio 3 Polio 4 DPT HB 1 DPT HB 2 DPT HB 3 Campak TT 1 TT 2
248 235 240 220 200 260 265 200 110 90 95
Sumber: Profil Puskesmas Buay Runjung 2014
5
98
Anak perempuan ibu HSB, ibu dari cucung-nya, meninggal saat bayi tersebut baru berusia 2 bulan.
3.1.2.2 Mbay, Dukun Bayi Padang Bindu Peran dukun bayi masih cukup besar terasa di masyarakat meskipun sudah ada 3 orang bidan yang berdomisili di desa tersebut. Masyarakat pergi berkunjung ke dukun bayi untuk pijit atau urut kehamilan maupun penolong persalinan. Pemilihan penolong persalinan di Desa Padang Bindu masih sangat dipengaruhi oleh mertua. Hal ini karena adanya budaya Etnik Daya yaitu pasca menikah isteri akan ikut dengan suami (baybay6). Hal inilah yang menyebabkan dukun beranak masih diminati untuk menolong persalinan. “Kalau melahirkan memang kita anjurkan ke tenaga kesehatan. Banyak kan disini bidan. Tapi balik balik ke masalah perilaku kan. Kayak tadi kan padahal ANC nya rajin sama saya. Dia maunya lahiran sama saya tapi akhirnya kan…. Saya saja baru tahu (Yuk Sari yang melahirkan dengan Dukun) . Sudah banyak bidan. Tinggal pola pikir mertuanya kayaknya (sambil tertawa). Ibu ibu kan biasanya ikut suami (baybay) yang tau kan biasanya kan mertua.” Bidan UM
Salah satu contohnya adalah Yuk S. Yuk S yang baru saja melahirkan anaknya dengan dibantu oleh Mbay D, salah satu dukun bayi di Desa Padang Bindu. Yuk S melahirkan hari Selasa pagi. Yuk S telah merasakan sakit pada kehamilannya sejak pukul 5 pagi. Kemudian, suami Yuk S memanggil Mbay D di rumahnya untuk datang ke rumah Yuk S. Mbay D tidak akan pergi ke kebun pada hari tersebut jika Mbay D diminta untuk membantu menolong persalinan. Sebelum menolong persalinan, perempuan berusia 60 tahun tersebut dapat memperkirakan waktu lahirnya bayi tersebut dengan cara dijajak (memeriksa posisi ketuban melalui jalan lahir bayi) menggunakan tangan.
6
Jenis pernikahan dimana isteri ikut dengan suami
99
“Itukan nentukan jamnya mau turun di jajak itu kalau bahasa sini. Kalau lagi begini (mau melahirkan) jam sepuluh siang itu masih segini (sepanjang jari telunjuk dan jari tengah) bisa-bisa kalau sudah jam satu jam dua nanti (lahirannya). Kalau cuma segini nah (satu ruas jari) paling satu jam dua jam. Yang dulu-dulu dilihat itu ketubannya itu. Kena raba ini jari dua ini (jari telunjuk dan jari tengah). Kalau satu senti dua senti itu hampir.” Mbay D
Mbay D menggunakan sarung tangan dalam proses menolong persalinan. Sarung tangan karet tersebut diberi oleh Bidan MP, karena Mbay D pernah bekerja sama dengan Bidan MP. Menurut Mbay D, sarung tangan tersebut adalah pemberian bidan yang pernah bekerja sama dengannya. Sarung tangan tersebut merupakan sarung tangan disposable yang dipakai Mbay D berulang-ulang. Sarung tangan milik Mbay D dicuci bersama dengan mencuci kain kain kotor yang digunakan membantu persalinan. “Itu pengenjuknya (pemberian) bidan. Itulah masih. Dikasi 2 biji. Anaknya Pak NP itu yang ngenjuk (ngasi) aku. Dulunya itu Bidan UM itu lah, Siapa yang kerjasama dengan bidan aku yang ngenjuknya (ngasinya).” Mbay D
Untuk memotong tali pusar bayi, dukun biasanya menggunakan bambu yang telah di runcingkan dan diberi alas dengan biji kemiri. “Kan kalau bidan pakai gunting, kalau aku idak (tidak) pakai gunting. Diambilkan buluh (bamboo) ditetak diambilkan kemiring (kemiri), sudah diikat dua (talipusarnya) maka ditetak (dipotong) dimandikan di tidurkan sama ibuknya.”
Sementara untuk mengeringkan tali pusar bayi, Mbay D hanya menggunakan air garam. Bayi Yuk SR yang ditolong Mbay D juga diberi air garam untuk menyembuhkan tali pusarnya. Meskipun Mbay D mengetahui bidan menggunakan obat untuk mengeringkan tali pusar bayi, namun menurut Mbay D air garam lebih cepat mengeringkan tali pusar bayi.
100
“Tu lah tali pusarnya itu, cuman garam tulah obatnya, tiga malam kalau rajin ngobatnya itu sudah itu. Dibanyakkan garamnya itu. Tu lah yang cepat obatnya tu.” Mbay D
Gambar 3.5 Tali pusar bayi Yuk SR yang diobati dengan air garam. Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Puskesmas Buay Runjung belum memiliki program kemitraan dengan dukun, namun telah ditanamkan pada seluruh bidan untuk dapat bekerja sama dengan dukun. Jika dukun merasa kesulitan dalam menolong persalinan, dukun bayi yang berada di Desa Padang Bindu tidak segan untuk memanggil bidan. “Kalau kerjasama aku terus teranglah sering juga misalnya orang mau melahirkan jemput aku. Misalnya orang yang mau melahirkan itu kurang tenaga itu aku suruh manggil bidan, jemput bidan .kalau dia sehat ya akulah sendiri. Sudah banyak itu, ada yang pantatnya duluan masih aku sendirian.ada yang kakinya duluan, macam macam kan . Kalau idak sukar nian nolongnya ya aku sendirian. Kalo udah ada kemajuan tenaga yang mau melahirkan itu kurang, manggil bidan kataku.”Mbay D
101
Persalinan oleh bidan membayar sebesar 700-800 ribu rupiah. Persalinan yang ditolong oleh dukun hanya membayar sebesar 300400 ribu rupiah ditambah dengan beberapa bahan makanan serta sepotong kain. Menurut masyarakat hal tersebut lebih murah dibandingkan dengan bidan. Selain itu, masyarakat yang tinggal di sapo7 atau talang-talang8 akan lebih memilih memanggil dukun karena dukun dapat dipanggil kapan saja. Di salah satu talang juga terdapat seorang dukun beranak. 3.1.2.3 Budaya dan Adat pada Kehamilan dan Persalinan Pengaruh budaya dan adat masih kental dalam proses kehamilan dan persalinan. Keluarga ibu hamil biasanya akan melakukan sedekah Koan Limau9menjelang persalinan dengan tujuan untuk mengurangi resiko terjadi penyakit saat persalinan. Hal ini dipercaya dapat mencegah datangnya mahluk dari neġeri tua yang dapat mengganggu poses persalinan. “Tanyo dia bagaimana aku ini mau ngerjakan
sedekah, iya baguslah sedekahlah dengan ayam tiga macam itu. Yo dengan jeruk itu jeruk nipis katanya ya. Dengan jeruk nipis itu tiga, alatnya sedekah tu. Ada yang telok (Telur).Ada yang ayam itu.Tapinya harusnya ayam tiga macam.Ayam putih, ayam kakinya itu kuning paguhnya itu kuning juga, kakinya itu putih paguhnya itu putih juga.Itu.
7
8
9
Rumah kecil di tengah kebun. Tidak ada jaringan listrik serta sangat mengandalkan sungai sebagai sumber air. Biasanya masyarakat yang tinggal di sapo adalah keluarga kelurga kecil yang baru menikah dan belum mampu membangun rumah di desa. Talang-talang adalah kumpulan beberapa sapo yang berdekatan. Biasanya karena letak kebun juga berdekatan. Talang-talang ini memiliki ketua. Telah diterangkan pada Bab Life Cycle
102
Kalo sudah masak itukan namanya dikendurenkan aku inilah yang ucapkan yang manggil itu kan. Kan ada ayam itamnya, ayam itam itu manggil dari neġeri tua itu kalau bahasa sini. Misalnya orang ini mau melahirkan idak sedekah dengan itu, sedekah Koan limau itu namanya. Waktu lahiran nanti, Galak-galak dia datang nanti yang dari neġeri tua itu. Iyo mau menggigit itu ya seperti kesurupan itu lah.Maka itu sedekahnya itu ayam hitam, ketan hitam. Pekunduhan itu kalau bahasa sininya, yang ayam putih kaki putih paguh putih , kalau ayam putih kuning” Mbay D
Ibu hamil yang melahirkan dengan ditolong oleh tenaga kesehatan dianggap mampu menekan angka kematian ibu secara signifikan dibandingkan dengan melakukan persalinan oleh dukun. Namun, pemilihan penolong persalinan di Desa Padang Bindu masih sangat dipengaruhi oleh mertua. Dalam budaya Etnik Daya, pasca menikah isteri akan ikut dengan suami (baybay). “Kalau melahirkan memang kita anjurkan ke tenaga kesehatan. Banyak kan disini bidan. Tapi balik balik ke masalah perilaku kan. Kayak tadi kan padahal ANC nya rajin sama saya. Dia maunya lahiran sama saya tapi akhirnya kan…. Saya saja baru tahu (Yuk Sari yang melahirkan dengan Dukun).Sudah banyak bidan.Tinggal pola pikir mertuanya kayaknya (sambil tertawa).Ibu-ibu kan biasanya ikut suami (baybay) yang tau kan biasanya kan mertua.” Bidan UM
Hal ini sesuai dengan informasi dari Puskesmas Buay Runjung bahwa kunjungan K1 selalu lebih besar dari K4 perbulan. Hal ini karena pada akhir masa kehamilannya ibu hamil cenderung tidak ke periksa ke tenaga kesehatan lagi tapi lebih memilih dukun, seperti tampak pada tabel 3.2
103
Tabel 3.2. Kunjungan K1 dan K4 di UPTD Puskesmas Buay Runjung Tahun 2014
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
K1 Jumlah 33 30 28 36 42 38 44 33 41 49 43 44
K4 Jumlah 30 28 20 34 38 35 42 31 38 47 40 43
Sumber : Profil UPTD Puskesmas Rawat Inap Buay Runjung Tahun 2014
Menurut Ajong CM, yang pernah menjabat menjadi kepala desa selama delapan tahun, menyatakan bahwa dukun dan bidan masing-masing memiliki kelebihan. Dukun mengerti mengenai lokasi bayi dan memiliki kemampuan untuk membenarkan letak bayi yang sungsang dangan cara diurut, sementara bidan mengetahui obatobatan medis. “Jadi ada istilahnya kalau secara mediskan Cuma menunggau waktunya kan. Kalo dukun itu dia misalnya kurang benar, masih kejepit atau msih salah belok itu bisa melalui urut dia bisa luruskan sehingga tidak ada halangan si bayi ini dia dak sampai tebalik. Alhamdulillah berkat adanya dukun bayi ini jarang sekali yang sampai dioperasi.” Ajong CM.
104
Mbay SR, salah satu dukun urut di Desa Padang Bindu juga dapat menolong persalinan. Yuk ASH yang tinggal di salah satu sapo kebun melahirkan anaknya yang ketiga di sapo yang berada di tengah kebuh kopi dengan dibantu oleh Mbay SR. Bayi perempuan yang dilahirkannya bernama MLY. Yuk ASH mengatakan bahwa Mbay SR menggunakan batang durian yang dibakar untuk mengeringkan tali pusar dek MLY. Arang dari hasil pembakaran tersebut ditaburkan di atas tali pusar. Kepercayaan mayarakat pada keberhasilan dukun dalam melakukan proses penyembuhan akan menyebabkan masyarakat mengulangi kembali metode pengobatan yang sama. Seperti ibu SHN yang menaburkan arang batang durian ke tali pusar anaknya, meskipun proses persalinan anaknya dibantu oleh bidan dan telah diberikan obat berupa betadine oleh bidan. “Saya ingat yang MR ini yang sudah sama bidan (persalinannya). Tapi saya masih ingat, walaupun dikasih bidan betadin itu, obat merah. Ya masih saya ingat yang ajaran dukun yang sama MLI itu yang nyari batang duren itu. Diarangkan, udah diarangkan diinikan (dihaluskan) dipiring itu. Nah dikasi minyak. Cept kering. Udah dua malam udah lepas.”Ibu SHN
Pasca melahirkan, baik Mbay D maupun Mbay SR akan melakukan urut pada ibu yang baru saja bersalin. Urut pasca persalinan yang dilakukan Mbay D biasanya dilakukan selama 3 hari pasca persalinan. Namun, hal ini tergantung dengan kekuatan ibunya. Jika ibu yang baru bersalin sehat, urut hanya dilakukan sekali saja untuk membetulkan posisi tempat anak yang berada di dalam perut si ibu.
105
Gambar 3.6 Mbay D yang Melakukan Urut Pasca Persalinan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Uniknya, meskipun Mbay D cukup dikenal hingga ke desa tetangga dan sering di panggil untuk menolong persalinan di desa tetangga, namun persalinan menantu Mbay D sendiri ditolong oleh tenaga kesehatan. Mbay D enggan menjelaskan mengenai hal ini kepada Peneliti. Mbay D hanya mengangkat bahu ketika ditanya mengapa Mbay D tidak menolong persalinan menantunya tersebut. Pasca persalinan, biasanya ibu akan diobati dengan kunyit yang diparut kemudian dibakar dengan dibungkus oleh daun pisang. Setelah panas, kunyit tersebut didekatkan dengan jalan lahir bayi. Uap hangat dari kunyit yang dibakar ini dipercaya dapat menyembuhkan jalan lahir bayi. Parutan kunyit ini dipakai selama tiga hari berturut-
106
turut dengan pemakaian sekali pakai setiap hari. Menurut Mbay D, penggunaan parutan kunyit ini akan lebih baik bila diiringi dengan membasuh jalan lahir dengan rebusan air sirih. Ibu yang persalinannya ditolong dengan bidan juga tetap menggunakan obat ini. Peneliti melihat pada saat Yuk MR pasca bersalin, ibu dan mertua Yuk SR menyiapkan parutan kunyit tersebut. ibu bersalin akan meminum air rebusan kabing salak. Kabing salak adalah sejenis rebung yang berasal dari tumbuhan salak. Minuman ini diminum selama tiga hari pasca melahirkan. “Abis ngelahirkan itu kan ada minuman yang dikasih tau dukun itu di suruh dia nyari batang salak itu untuk minuman kan. Malam ini ngelahir nah besok pagi dia cari batang salak. Itu direbus. Cuma itu, direbus, diminum. Rasanya kayak apa, pait. Obat orang kampong. Udah puas tiga hari udah.” Ibu SHN
Pasca menolong persalinan, keluarga ibu bersalin menyiapkan satu buah kelapa muda yang digunakan untuk mencuci tangan dukun. Mencuci tangan dengan air kelapa muda ini dianggap sebagai tanda terima kasih kepada dukun yang telah membantu persalinan. Menurut masyarakat hal ini harus dilakukan untuk membersihkan tangan dukun setelah membantu proses persalinan sebab dukun yang membantu menolong persalinan telah terkena darah persalinan yang dianggap kotor oleh masyarakat. Jika ritual ini tidak dilakukan akan menyebabkan dukun tersebut sakit. Namun ritual ini tidak hanya dilakukan jika penolong persalinan seorang dukun. Ketika Peneliti mengamati proses persalinan Yuk MR yang dibantu bidan UM, ritual ini juga dilaksanakan. Setelah bayi dan Yuk MR dibersihkan, keluarga mengupas sebuah kelapa muda yang masih berwarna hijau. Kemudian, Yuk MR menuangkan air kelapa muda tersebut dan Bidan UM mencuci tangannya dengan air kelapa yang dituang Yuk MR tersebut.
107
Gambar 3.7 Proses cuci tangan pasca melahirkan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Perawatan masa nifas pada Etnik Daya tidak terlalu banyak. Selain parutan kunyit dan basuhan air sirih, perawatan nifas hanya berupa urut selama tiga hari. Selain itu, untuk pencegahan morian biasanya dilakukan dengan diurut pasca persalinan dengan tujuan membersihkan darah di dalam perut yang dapat menyebabkan morian. Menurut Ibu BDR, sebenarnya sebelum 1 bulan pasca persalinan seorang ibu bersalin tidak diijinkan untuk keluar rumah meskipun hanya ke lantai bawah10. “di pucuk (di lantas atas) ini ajalah.” kata Ibu BDR. Namun karena kebiasaan masyarakat yang memiliki aktifitas yang tinggi, maka banyak ibu bersalin yang langsung
10
Rata-rata rumah masyarakat adalah rumah panggung
108
beraktifitas seperti biasa setelah dua atau tiga hari pasca melahirkan dan merasa tubuhnya sudah sehat. 3.1.2.4 Bayi dan Balita ASI adalah makanan terbaik bagi bayi. Berdasarkan pengamatan Peneliti banyak bayi yang mulai mengkonsumsi makanan pendampig ASI (MP-ASI) sebelum usia 6 bulan. Ibu sudah memberikan MP-ASI sebelum bayi berusia 6 bulan. Di Desa Padang Bindu masih terdapat tradisi memberikan pisang kepada bayi. Masyarakat telah menyadari pentingnya ASI bagi bayi namun pemberian pisang yang telah dibakar sudah menjadi suatu kebiasaan di Etnik Daya. “Asi eksklusif ndak jalan. Dari keturunan. Dikiranya itu kalau bayi itu kalau ndak dikasi pisang itu kan bayi itu nangis terus kan. Dikiranya masih lapar. Dikasi pisang di panggang terus dikeruk. Padahal sudah saya tekankan kalau anak anak itu ususnya masih tipis. Jadi anak-anak disini itu saya pikir karna itu, baru umur empat bulan nanti ada yang panas kena tipus. Soalnya kita kasi obat tipus itu sembuh kan.” Bidan UM
Pemberian makanan pisang kepada bayi pertama kali biasanya dilakukan setelah bayi berusia 40 hari ( ± usia 2 bulan). Jenis pisang yang biasanya diberikan adalah pisang jantan (punti jantan) dan pisang ambon. Pemberian pisang ambon kepada bayi dimaksudkan agar pertumbuhan bayi tersebut tidak ketinggalan dengan temantemannya yang lain.“biar tidak ketinggalan dengan teman temannya” begitu kata salah satu ibu yang mempunyai balita. Ibu akan memberi makanan nasi yang dihaluskankepada bayi setelah bayi berusia sekitar 3-4 bulan Beberapa masyarakat memberikan makanan berupa nasi yang dihaluskan menggunakan saringan tanpa tambahan sayur dan hanya diberi tambahan garam, yang biasa di sebut nasi tim.
109
“Kalo pertama Dikasi pisang, pisang bakar. Satu minggu dikasi lagi ganti tapi. Roti. Umur 3 bulan 4 bulan baru makan dia. Keliatan kalau dia mau makan itu.kalau dia ngelihat orang makan mulutnya begini (gerak-gerak) udah mau makan ” Ibu ASH
Pada saat anak berusia sekitar dua tahun Ibu akan memulai proses penyapihan. Ibu akan membalurkan sesuatu yang pahit ke puting susunya pada saat proses penyapihan. Hal ini dimaksudkan supaya bayi tidak mau lagi menyusu karena puting susu ibu terasa pahit. Anak akan mengkonsumsi makanan sehari-hari seperti orang tuanya setelah disapih dari ibu.
Gambar 3.8 Langkut, makanan pelancar ASI Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Namun bagaimana jika ASI tidak keluar ketika bayi baru saja dilahirkan? Keluarga ibu akan segera mencari langkut, yaitu sisa nasi yang masih menempel di panci setelah memasak nasi pada ibu yang ASI-nya tidak keluar. Panci dengan sisa nasi tersebut kemudian ditambah dengan air hangat dan dimakan oleh ibu. Biasanya tidak berapa lama kemudian ASI ibu akan keluar. “Keraknyo nasi dikasi air dengan garam, terus di-inumkan ibuknya itu. Maka keluar” ujar Mbay D. Seperti yang dialami oleh Yuk SR, pasca persalinan ASI-nya tidak
110
keluar sehingga Mbay D menyarankan untuk mengkonsumsi langkut. Beberapa jam setelah mengkonsumsi langkut, ASI Yuk SR mulai keluar. Masyarakat Desa Padang Bindu mengenal istilah njami pada balita. Balita yang rewel biasanya disebut njami. Gejala rewel pada balita sering kali mengindikasikan suatu masalah kesehatan pada balita11. Njami sendiri mengacu pada penyakit yang berulang-ulang dan tidak kunjung sembuh seperti batuk, demam atau sampot (bisul) . Menurut masyarakat Daya, kata njami artinya berulang ulang dan merunut pada istilah menanami kembali sawah setelah dipanen. Selain rewel, balita njami dapat dikenali dengan tanda-tanda lainnya seperti dadanya cekung. “Ciri-ciri budak itu, budak yang nangis itu, sininya (dadanya) cekung. Agak kurus.” ujar Ibu SHN. Ibu SHN Juga menambahkan bahwa anak yang menderita njami sering menggigil serta kuping balita tersebut lebih tipis daripada biasanya. “Ada yang penyakit namanya budak kecil itu njami yang masih umuran empat tahun, tiga tahun itu kan sering nggigil, kedinginan dia, kupingnya agak tipis. Seringnya wajahnya pucat itu njami namanya penyakitnya.
Ibu SHN Menurut masyarakat, njami sangat sulit disembuhkan. “Njami itu susah, di suntik dak sembuh” ujar ibu SHN. Njami hanya dapat dikurangi frekuensi rewel dengan cara melakukan ritual petunggu.
11
Menurut dunia medis barat, tangisan dan rengekan pada anak-anak dikarenakan kekurangan protein terutama pada saat anak tersebut dilepaskan dari susu ibunya di sapih. (Foster dan Anderson, Antropologi Kesehatan)
111
Gambar 3.9 Njami sampot (bisul) pada balita Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Petunggu merupakan ritual yang dilakukan setiap tahun sebelum seorang anak dapat menyelam sendiri, biasanya pada saat anak berusia sekitar 3- 5 tahun. Petunggu dilakukan pada tanggal yang sama setiap tahunnya. Ritual ini merupakan sebuah penebusan bagi orang tua gaib anak. Menurut kepercayaan Etnik Daya, yang menyebabkan balita rewel adalah adanya gangguan dari orang tua gaib balita tersebut yang belum rela melepaskan anak kepada orang tua yang ada di dunia. Petunggu dilakukan dengan cara menyembelih dua ekor ayam putih dengan paruh putih pucat dan seekor ayam putih dengan paruh putih kuning. Kedua ayam tersebut kemudian dibakar dan disajikan bersama dengan dua gelas air cendana dan sirih. Seorang dukun akan dipanggil untuk melakukan doa yang dipanjatkan kepada Tuhan melalui puyang dengan diiringi membakar kemenyan. “Namanya kan petunggu tu setahun sekali dibayarkan sampai dia bisa mandi sendiri itu. Taroklah kira kira umur empat tahun lah itu.” Pak ALDN.
Jika petunggu sudah rutin diakukan dan anak tersebut masih rewel, maka akan dilakukan sedekah besak (besar) dengan menyembelih ayam hitam. Sedekah besak ini untuk menghilangkan
112
gangguan bujang taha yang mengganggu anak tersebut. Bujang Taha adalah arwah manusia yang mninggal ketikan belum menikah namun usianya sudah lanjut. Bujang taha dipercaya sering mengganggu balita sehingga menyebabkan rewel. “Kala petunggu sudah di tutup tapi masih sering nangis nangis itu nah ke dukun itu, masih belum sehat taunya ada dukun lagi. Ini mau mintak sedekahan ayam besar, bilagnya. Ayam besar itu kan ngidangnya dak diwadahi piring dak. Langsung nasinya masih di periuk. Yang sayurnya masih di ajan itulah.” Ibu SHN
Salah satu jenis njami adalah rewel yang disertai dengan batuk. Masyarakat setempat biasa menyebut penyakit batuk menahun yang biasa di derita oleh anak-anak dengan istilah hiyog megah. Mereka biasanya mengobati hiyog megah dengan kayu mahang yang di dalamnya ada semut hitam kecil. Semut hitam kecil biasanya sulit diperoleh jika tidak di dalam kayu mahang. Batang kayu mahang kemudian disumpal di kedua ujungnya dan kemudian dipanaskan hingga semutnya mati. Semut yang mati di dalam kayu mahang diambil dan di-oseng hingga menjadi arang. Setelah itu semut dicampur dengan minyak dan diusapkan di leher penderita pada pagi dan sore hari. Salah satu balita yang mengalami njami ketika Peneliti berada di lokasi penelitian adalah Dek AU. Sejak kembali dari pasar (Muaradua) Dek AU menangis terus menerus sepanjang malam. Dek AU yang biasanya terlihat ceria, selalu minta digendong oleh ibunya atau ayahnya. Dek AU terlihat menderita flu, namun ibunya membawanya ke Mbay D untuk diurut. Malam setelah Dek AU diurut, Dek AU masih tetap rewel. Keesokan harinya ibunya meminta oat kepada Bidan MP. Setelah mengkonsumsi obat yang berasal dari Bidan MP, flu yang dialami Dek AU sudah mulai berkurang. Namun, Dek AU masih rewel. Akhirnya Pak AD membawa Dek AU ke Desa
113
Sugih Waras untuk menemui salah satu tokoh agama yang dianggap dapat mengobati Dek AU. Dek AU diharuskan mengenakan semacam obat berupa kalung yang terbuat dari kain berwarna putih yang ditulisi dengan bacaan Arab. Peneliti tidak dapat melihat dengan jelas bacaan tersebut. Kalung tersebut dipakai Dek Au hingga Peneliti selesai melakukan penelitian.
Gambar 3.10 Obat berupa kalung yang dipakai Dek Au. Sumber: Dokumentasi Peneliti 2015
Malam harinya Yuk RN mengundang Peneliti untuk datang ke rumahnya untuk melihat ritual petunggu yang rutin dilakukan untuk Dek AU setiap tahunnya. Di rumah Yuk RN telah ada Pak ALDN yang biasa memimpin acara ritual. Yuk RN telah mempersiapkan dua ekor ayam panggang serta dua piring kan taboh (nasi uduk) dan dua piring cambay (sirih) dengan segelas air cendana di masing-masing piringnya. Pak ALDN membacakan doa yang cukup cepat. Peneliti beberapa kali mendengar Pak ALDN mengucapkan kata puyang.
114
Gambar 3.11 Ritual petunggu Dek AU Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Kondisi njami perlu menjadi perhatian khusus bagi tenaga kesehatan. Balita njami sering rewel dan sering kali disertai dengan penyakit infeksi seperti demam, flu, dan batuk. Hal ini tentunya akan mengganggu perkembangan balita pada masa emas pertumbuhannya yaitu 1000 hari pertama. Tidak ada data balita gizi buruk atau gizi kurang di Desa Padang Bindu sehingga perlu dilakukan pendataan balita dan pengukuran antropometri yang baik pada saat pelaksanaan posyandu. Sebab, menurut Ajong CM, mantan kepala Desa Padang Bindu, njami pada balita termasuk dalam kondisi kurang gizi. Pertumbuhan balita njami agak kurang normal karena sering sakit 3.1.3 Perilaku Merokok Kebiasaan merokok berkontribusi besar pada peningkatan penyakit tidak menular. Rokok masuk ke Desa Padang Bindu dan dikenal oleh masyarakat masih belum terlalu lama. Hal ini terlihat pada ritual-ritual seperti ruwahan, sedekahan, serta petunggu yang menyajikan hidangan bagi yang ‘gaib’. Rokok jarang diikutsertakan
115
dalam hidangan tersebut. Masyarakat biasanya menyediakan sirih sebagai hidangan penutup. Menurut penjelasan masyarakat hal ini karena dulu sirih merupakan hal yang sering dikonsumsi oleh Jalma Daya sebelum ada rokok. Selain itu, rokok yang dikonsumsi bukan merupakan rokok di daerah sekitar OKU Selatan, namun masyarakat cenderung mengkonsumsi rokok yang berasal dari Jawa bagian timur.
Gambar 3.12 Kebiasaan merokok di sekitar balita Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Masyarakat biasanya merokok dimana saja, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, sekalipun diruangan tersebut dipenuhi oleh para tamu. Seperti pada saat Yuk DS ngemantu, ruangan yang dipenuhi oleh tamu terlihat semakin temaram karena dipenuhi oleh asap rokok. Tidak hanya pada saat acara acara sosial, merokok juga dilakukan di rumah bersama keluarga. Remaja Desa Padang Bindu sebagian besar adalah perokok. Kebiasaan merokok mereka telah dilakukan sejak mereka masih kecil. Seperti JN, anak lakilaki berusia sekitar 9 tahun tersebut sudah mulai merokok. Kedua orang tua JN, Pak BRL dan Ibu MN adalah perokok. Kebiasaan orang tua mereka yang merokok di depan anaknya kemudian dilihat dan ditiru oleh anaknya. Rokok dapat diperoleh di kalangan dengan harga
116
yang cukup murah. Para remaja tersebut dapat membeli rokok dengan uang yang didapat dari membantu beberapa kebun milik warga setempat.
Gambar 3.13 Menikmati rokok di sapo Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Rokok yang dijual sebagian besar merupakan rokok yang berasal dari Jawa, rokok linting serta rokok nipah yang berasal dari daerah Ranau. Ibu-ibu di desa tersebut telah terbiasa menyisihkan sebagian uang belanjanya untuk membeli rokok untuk suaminya. Karena kalangan hanya dilaksanakan sekali seminggu, ibu-ibu biasanya berbelanja di kalangan membeli rokok dalam jumlah banyak. Masyarakat juga merokok sambil bekerja dikebun dengan alasan asap rokok dapat mengusir nyamuk sehingga nyamuk tidak menggangu pada saat bekerja. “ Nah, disamping dia kecanduan juga. Kalau saya ke kebun itu nyamuk. Mengusir nyamuk. Kalau kia idam merokok itu jong banyak. Dengan adanya asap rokok, nyamuk itu kan idak berani. Sama dengan obat nyamuk itu saya kira. “ Ajong CM.
117
Gambar 3.14 Penjual rokok di kalangan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Kebiasaan merokok pada remaja di Desa Padang Bindu juga merupakan hasil dari interaksi teman sebaya. Kita dapat melihat kebiasaan tersebut pada acara muli-meranai atau biasa disebut acara bujang-gadis di desa tersebut. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian budaya pernikahan Etnik Daya. Peneliti ikut serta pada sebuah acara muli-meranai di dekat rumah tinggal. Menurut pengalaman masyarakat Desa Padang Bindu, biasanya acara mulimeranai dimulai sehabis Magrib dan selesai pada pukul 2 pagi jika acara muli meranai hanya berupa kegiatan masak-memasak saja. Namun, jika kegiatan tersebut dilengkapi dengan hiburan musik tunggal, maka acara tersebut dapat dilaksanakan hingga pukul 3 pagi. Pada acara tersebut para muli (perempuan) akan berdandan cukup menarik, sehingga Peneliti berasumsi bahwa acara muli-meranai merupakan sebuah momen bagi pemuda dan pemudi untuk dapat saling mengenal. Acara muli-meranai sudah banyak mengalami perubahan. Pada jaman dahulu acara muli-meranai memang merupakan tempat bertemunya para gadis dan bujang. Kegiatan yang dilakukan pada
118
saat itu adalah memainkan musik ribang12 dan tidak sampai larut malam seperti saat ini. Pada acara tersebut, meranai (remaja laki-laki) yang akan mengajak mengobrol seorang muli (perempuan) harus mengenakan sarung dan kopiah terlebih dahulu. Menurut ibu AC yang membuka kedai kecil di Desa Padang Bindu, ia akan menjual beberapa jenis minuman keras yang cukup mahal seperti whisky jika ada kegiatan muli-meranai. Namun untuk acara muli-meranai yang dilakukan pada saat itu, ibu AC hanya menjual rokok dan bir biasa. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok pada saat acara muli meranai menjadi sebuah identitas sosial bagi para remaja. 3.1.4 Penyakit Menular 3.1.4.1 Penyakit Kusta dan TBC OKU Selatan masih memegang status dengan kondisi penyakit menular yang cukup tinggi pada laporan IPKM tahun 2013 lalu. Namun pemerintah cepat tanggap mengantisipasi hal ini.Rumah sakit kusta di provinsi langsung turun tangan untuk menyembuhkan penyakit kusta di desa ini. Sekarang hanya tertinggal 2 orang penderita kusta dari sekitar 20 penderita kusta. Menurut Ibu UM yang merupakan kepala Puskesmas Buay Runjung, pertama kali diketahui ada kasus kusta di desa ini dikarenakan salah satu penderita memiliki kusta yang meradang dan berobat di pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan yang mengetahui adanya penderita kusta langsung turun ke lapangan untuk mencari penderita kusta lainnya. Dari hasil pelacakan petugas, diketahui bahwa penderita kusta ini merupakan masyarakat yang tinggal di talang-talang yang menggunakan sumber mata air yang sama sebagai pemenuhan kebutuhan sehari hari. “Penyakit TB banyak di wilayah Buay Runjung. Khusus untuk Desa Padang Bindu banyak kusta, tapi sekarang sudah menurun hanya tinggal sekitar satu 12
Jenis musik tradisional berupa nyanyian yang diiringi petikan gitar tunggal.
119
dan dua orang. Dulu sempat terjadi kejadian luar biasa sampai orang dari rumah sakit kustanya (RS Sungai Kundur di Palembang) sendiri turun ke desa ini. Selebihnya hanya penyakit biasa seperti ISPA dan diare.” Bu UM
Kejadian penyakit TB di Kecamatan Buay Runjung lebih banyak berada di Desa Blambangan. Kasus TB sudah dipahami oleh masyarakat. Seperti saat Peneliti melihat Ajong SHR yang mengeluhkan batuknya tak kunjung sembuh. Ajong mengatakan bahwa itu batuk biasa dan bukan TB. Tabel 3.3 Jumlah kunjungan pasien TB di UPTD Puskesmas Buay Runjung tahun 2014 Jenis Penderita Jumlah Suspek BTA (+) BTA (-) BTA (-) Rontgen (+) Jumlah Penderita Kategori I Kategori II Sembuh Dalam Pengobatan Pengobatan Lengkap
Jumlah 65 10 50 5 15 12 3 10 5 10
Sumber :Profil Puskesmas Buay Runjung, 2014
3.1.4.2 Wabah Chikungunya Wabah cikungunya pernah melanda Desa Padang Bindu pada tahun 2012. Hampir semua masyarakat menderita cikungunya. Bidan Desa sering dipanggil ke talang-talang atau sapo untuk mengobati seluruh anggota keluarga yang terkena cikungunya.Tidak ada anggota keluarga yang dapat menjemput bidan. Menurut penuturan ibu RTW yang juga menderita cikungunya pada saat itu, kejadian wabah saat itu sangat mengerikan. Belum satu pun anggota keluarga yang
120
sembuh dari penyakit tersebut, sudah berpindah ke keluarga lainnnya. Awalnya masyarakat hanya mengira sakit biasa. Namun ketika salah satu masyarakat memeriksakan diri ke bidan, akhirnya masyarakat mengetahui bahwa penyakit yang dideritanya disebut chikungunya. Masyarakat langsung mencari tenaga kesehatan. Selain itu, dinas kesehatan OKU Selatan juga turun tangan memberi pengobatan gratis pada saat terjadinya wabah. Masyarakat tidak mengetahui bagaimana datangnya penyakit tersebut ke Desa Padang Bindu. “Cikungunya kemarin itu seluruh disini pernah .Gimana ya rasaknya badan ini pegel semua, lemes, gitu ya.Gak tau gimana ceritaknya saya juga pernah kenak itu kenak jugak saya. Gak taulah pokoknya gak enak gitu rasanya, semuanya kek rasanya penyakit itu kumpul semua kebadan ini. Dari dusun mana itu kedusun kami ini kenak semua.Bareng-bareng.Yang kekebun masih tetap ke kekebun. Bu Umu ini sering dipanggil ke kebun orang ini sekeluarga sakit, terus buk YN juga yakan. Orang mau pulang juga gimana orang bapaknya juga sakit, ibunya juga sakit gak bisa pulang.Jadi buk bidan yang ke kebun kemaren itu.Jauh-jauh lagi kebunnya kalau hujan becek (sekitar 5 tahun lalu).Kemarin itu pernah ada pengobatan gratis sejak kena cikungunya itu.Di datengin gitu.Bareng-bareng sekeluarga gitu. Kalo satu aja yang sehat kan bisa gerak kemana mana. Pertamanya satu dua ada yang kenak langsung ke bidan gitu ya, terus bidan ngomong bilangnya penyakit cikungunya. Makanya tau namanya cikungunya. Waktu penyakit cikungunya masuk disini ini kek nular-nular gitu rasanya ya, soalnya bareng-bareng, sekeluarga itu kenak, pindak kekeluarga lain, pindah lagi. Belum sembuh betul di keluarga itu, pindah lagi. Cepet gitu (penularannya).“ Ibu RTW
3.1.4.3 Penyakit Kulit Penyakit kulit menempati urutan keenam dalam daftar sepuluh penyakit terbanyak di Puskesmas Buay Runjung. Hal ini menjadi wajar jika penyakit kulit bukan merupakan penyakit tertinggi di wilayah kerja Puskesmas Buay Runjung jika melihat kebiasaan masyarakat yang memiliki jadwal mandi rutin pagi dan sore setiap
121
hari. Namun demikian, kualitas air di Desa Padang Bindu yang belum memenuhi syarat kesehatan yang menyebabkan penularan penyakit kulit cukup banyak. Dari hasi observasi Peneliti, penyakit kulit seperti panu biasanya diabaikan oleh penduduk. Terlihat ketika ibu MTNR mandi di Siring, dengan mengenakan sarung sebagai basahan, beberapa bercak putih terlihat ditubuhnya dan ibu-ibu lain yang mandi bersama pada saat itu tetap mandi seperti biasa. Ibu MJ (yang menderita stroke) ketika diurut oleh salah satu dukun, terlihat bercak putih hampir di seluruh tubuhnya, dan Mbay D tetap mengurut ibu tersebut seperti biasa. Masyarakat tidak menganggap penyakit kulit merupakan penyakit yang berbahaya sehingga penularan penyakit kulit tidak menjadi perhatian masyarakat. 3.1.5 Penyakit Tidak Menular (PTM) Penyakit tidak menular, atau biasa disebut penyakit degeneratif, biasanya diderita oleh masyarakat sedentarian yang tingkat konsumsi lemak tinggi dan tingkat aktiftas fisik rendah. Tidak demikian dengan keadaan
Jalma
Daya. Masyarakat Etnik Daya
mempunyai aktifitas fisik yang tinggi mengingat hampir setiap hari mereka pergi ke kebun yang cukup jauh jaraknya sambil membawa keranjang yag cukup berat. Konsumsi makanan tinggi lemak oleh masyarakat Etnik Daya dapat dikatakan rendah. Namun pada indikator IPKM 2013 kondisi PTM di OKU selatan tidak terlalu baik, cenderung memburuk. Permasalahan PTM juga terlihat di Desa Padang Bindu. Hasil diskusi Peneliti dengan tenaga kesehatan dan masyarakat setempat menunjukkan bahwa ternyata angka kejadian hipertensi dan rematik cukup tinggi di Desa Padang Bindu. Berdasarkan laporan daftar 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Buay Runjung pada tahun 2014, peringkat pertama sampai ketiga didominasi oleh penyakit tidak menular yaitu rematoid, gastritis dan hipertensi.
122
Tabel 3.4 Daftar 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Buay Runjung Tahun 2014 Nama Penyakit
Jumlah
Rematoid Gastritis Hipertensi Febris ISPA Penyakit Kulit Penyakit Telinga Diare Suspek Malaria Suspek Tifoid
250 145 140 105 100 98 75 70 38 30
Sumber :Profil Puskesmas Buay Runjung Tahun 2014
Perilaku konsumsi kopi dan merokok (ngudut) sangat tinggi pada masyarakat Desa Padang Bindu. Konsumsi kopi serta ngudut menjadi salah satu kebiasaan yang menyebabkan tingginya angka kejadian penyakit tidak menular. Seperti berbagai ungkapan masyarakat Daya saat menjelaskan betapa tingginya konsumsi kopi dalam keseharian mereka. “Lemak ngopi daripada mengan” yang berarti lebih baik minum kopi daripada makan. 3.1.5.1 Rematoid Rematoid merupakan salah satu penyakit tertinggi di kecamatan Buay Runjung. Berdasarkan hasil IPKM tahun 2013 prevalensi nyeri sendi untuk Kabupaten OKU Selatan sebesar 14,55. Nilai tersebut menobatkan OKU Selatan menjadi kabupaten dengan prevalensi nyeri sendi tertinggi di Provinsi Sumatera Selatan. Masyarakat Daya mengobati penyakit nyeri sendi dengan menggunakan pengobatan medis dan terapi tradisional etnik Daya13. 13
Lebih lengkapnya akan dibahas di Bab Selanjutnya
123
3.1.5.2 Hipertensi dan Stroke Angka kejadian darah tinggi atau hipertensi sangat tinggi di Desa Padang Bindu. Pola konsumsi masyarakat Etnik Daya di Desa Padang Bindu mempengaruhi tingginya penderita hipertensi. Kebiasaan merokok dan minum kopi menjadi faktor pendukung tingginya angka penyakit ini. Tidak hanya merokok dan minum kopi, konsumsi durian pada masyarakat Desa Padang Bindu cukup tinggi. Durian dapat diperoleh denngan mudah di kebun-kebun milik masyarakat. Jika musim durian tiba masyarakat akan mengonsumsi durian dalam jumlah banyak. Salah satu cara mengonsumsi durian adalah dengan mencampurkan daging durian ke dalam kopi yang masih panas. Selain dikonsumsi langsung, karena musim durian hanya berlangsung setahun sekali, masyarakat akan menyimpan durian dan mengawetkannya ke dalam toples-toples kecil yang disebut tempoyak. Selanjutnya, tempoyak akan dijadikan salah satu bahan dasar masakan baik untuk sambal, maupun gibor-gibor14 sehingga durian tetap dapat dinikmati sepanjang tahun. Hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya stroke. Tingginya angka kejadian hipertensi memungkinkan terjadinya peningkatan angka kejadian stroke. Stroke ditandai degan kelumpuhan anggota badan, bicara yang tidak dapat diungkapkan dengan mudah dan gangguan proses berpikir seseorang. Stroke tentunya akan mengurangi produktivitas seseorang. Berkurangnya kemampuan anggota gerak ini juga akan menjadi beban bagi anggota keluarga lainnya. Salah satu penderita stroke di Desa Padang Bindu adalah Ibu JZ, isteri Pak MJ. Menurut penuturan Ayuk J, anak bapak MJ, Ibu JZ awalnya memang menderita tekanan darah tinggi. Bahkan tekanan darah ibu JZ pernah cukup tinggi hingga mencapai 200/100, 14
Salah satu makanan khas Etnik Daya Padang bindu yang berupa tumisan ikan dicampur dengan tempoyak. Ikan yang biasa digunakan adalah ikan Bawong.
124
sedangkan tekanan darah orang normal adalah 120/80. Namun hal yang lebih parah lagi ketika tekanan darah ibu JZ tidak kunjung turun selama hampir satu bulan. Keluarga ibu JZ terlebih dahulu menempuh pengobatan medis. Ibu JZ sudah dibawa berobat ke Muara Dua hingga ke Palembang. “Hampir sebuan kami di Palembang, sudah di-scan juga” kata Ayuk J. Hingga sekitar setahun lalu15, pada bulan Ramadhan, anak-anak ibu JZ hendak membangunkan beliau untuk sahur. Ketika bangun, tiba-tiba ibu JZ tidak bisa berbicara dan tangan kiri serta kaki kanannya sulit untuk digerakkan. Kelumpuhan ibu JZ tidak didahului oleh jatuh, yang biasa menyebabkan kejadian stroke pada penderita darah tinggi. Hingga saat ini, Ibu JZ hanya bisa duduk di kursi roda. Ibu JZ masih mampu untuk menyalami tamu dan berbicara sepatah dua patah kata ketika Peneliti datang, namun ibu JZ sudah tidak mampu lagi untuk berjalan. Terapi tradisional yang digunakan oleh Ibu JZ adalah urut. Menurut Yuk J, Ibu JZ hanya cocok diurut oleh Mbay D dan salah satu tukang urut yang berasal dari Kecamatan Kisam Ilir. “Cuma sama bibik (panggilan Yuk J pada Mbay D) sama uwong (orang) dari Kisam itulah dia cocok. Lebih lemak (enak pijitannya) katanya” kata Yuk J. Menurut Yuk J, badan ibu JZ terasa lebih ringan dan segar serta tidurnya pun lebih lemak jika sudah diurut oleh Mbay D atau tukang urut dari Kecamatan Kisam. Proses urut yang diberikan oleh Mbay D dilakukan dengan cara Ibu JZ disuruh berbaring telungkup di atas kasur tipis, kemudian Mbay D mengurut Ibu JZ dimulai dari bagian punggungnya dengan menggunakan minyak kelapa yang dibuat sendiri oleh Yuk J. “Kalau stroke itu tegang-tegang uratnya. Ha… disini (sambil mencubit besarbesar di pinggiran tulang belakang ibu JZ). Kalau stroke itu di sininya (pantat) dan sini kakinya (bagian belakang lutut) yang perlu di urut.”Mbay D.
15
Peneliti mengunjungi ibu JZ pada Mei 2015
125
Menurut Mbay D, bagian tersebut adalah bagian yang paling penting untuk di urut. Selain itu ibu JZ terlihat kesakitan ketika Mbay D mengurut bagian tersebut. Mbay D juga terlihat melemaskan beberapa bagian urat lainnya, seperti tangan dan kaki. 3.2
Sistem Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan merupakan salah satu kebutuhan masyarakat. Ketersediaan dan akses pelayanan kesehatan akan mempengaruhi pola pencarian pengobatan yang dilakukan oleh masyarakat. Banyak hal yang mempengaruhi pola pencarian pengobatan oleh suatu masyarakat. Menurut Wilkinson16 beberapa hal yang akan mempengaruhi pola health seeking behavior antara lain 1) akses terhadap sarana kesehatan tersebut baik dari segi pengetahuan maupun kemampuan mencapai sarana dan prasarana tersebut, 2) utilisasi pelayanan kesehatan tersebut, 3) ketertarikan pada suatu pelayanan kesehatan, 4) persepsi masyarakat terhadap kualitas pelayanan kesehatan, 5) kepercayaan masyarakat. 3.2.1. Ketersediaan dan Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan Formal Puskesmas Buay Runjung memiliki 33 tenaga kesehatan yang terdiri dari 2 orang dokter umum, 2 orang sarjana kesehatan masyarakat, 4 orang perawat, 22 orang tenaga bidan, serta 3 orang lulusan SMA.
16
Wilkinson, 2001.
126
Tabel 3.5 Jumlah pegawai di Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Puskesmas Buay Runjung Tahun 2014 Status CPNS PNS PTT ST
Jumlah 2 14 11 6
Sumber : Profil Puskesmas Buay Runjung tahun 2014,
Puskesmas Buay Runjung melakukan kegiatan pelayanan kesehatan dalam gedung seperti pengobatan, pemeriksaan kehamilan, dan imunisasi. Puskesmas Buay Runjung merupakan puskesmas rawat inap, namun fasilitas rawat inap di puskesmas tersebut masih belum memadai. Berdasarkan penjelasan kepala dinas kesehatan Kabupaten OKU Selatan, seluruh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Puskesmas di Kabupaten OKU Selatan memang sudah memiliki payung hukum untuk melakukan pelayanan kesehatan rawat inap. Hal ini ditujukan agar masyarakat dapat memperoleh pelayaan kesehatan yang dekat dan memadai. Namun sebagian besar UPTD puskesmas belum memiliki sarana rawat inap yang layak.
127
Gambar 3.15 Kondisi UPTD Puskesmas rawat inap Buay Runjung Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
UPTD Puskesmas Buay Runjung sudah memiliki status rawat inap namun Puskesmas Buay Runjung belum memiliki fasilitas Pelayanan Neonatal dan Obstetri Dasar (PONED). Padahal dengan adanya fasilitas PONED di puskesmas, rujukan komplikasi dapat ditangani dengan segera di puskesmas. Hal ini perlu mendapat perhatian dari Dinas Kesehatan Kabupaten OKU Selatan. Melihat jarak antara kecamatan dan Muara Dua cukup jauh dengan kondisi jalan yang buruk maka pelayanan PONED pada Puskesmas Buay Runjung perlu difasilitasi. Puskesmas Buay Runjung juga melakukan kegiatan secara aktif dengan mendatangi masyarakat secara langsung. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah pemantauan pertolongan persalinan bagi pasien yang tidak mampu ke puskesmas dan pertolongan persalinan ke rumah untuk ibu bersalin yang berada di talang. Potensi besar yang dimiliki oleh fasilitas kesehatan di Provinsi Sumatera Selatan adalah adanya Jaminan Kesehatan Semesta yang
128
menjadi program Gubernur Sumatera Selatan. Jaminan kesehatan ini memiliki administrasi sederhana yaitu dapat diperoleh hanya dengan menyerahkan fotokopi KTP atau kartu keluarga kepada pihak puskesmas untuk memperoleh pelayanan kesehatan gratis. Admnistrasi yang tidak sulit ini sangat menguntungkan masyarakat sehingga masyarakat tidak perlu takut jika akan berobat ke pelayanan kesehatan. Untuk BPJS sendiri masih belum banyak diketahui oleh masyarakat. Selain itu sistem pendaftaran secara online dan pembayaran secara online menyulitkan masyarakat. Salah satu yang menjadi tantangan dalam program BPJS adalah akses msyarakat ke Muara Dua untuk mendaftar BPJS serta kurangnya informasi yang dimiliki masyarakat untuk ikut serta dalam program ini. Pengobatan sendiri (self medication) juga dilakukan oleh masyarakat. Pengobatan sendiri menjadi salah satu alternatif jika rasa sakit yang dirasakan masih dapat dibawa bekerja. Masyarakat dapat membeli obat di kalangan atau di warung kecil sekitar desa. Masyarakat biasanya juga dapat menitipkan obat dari Muara Dua kepada supir bus kecil yang lewat di desa tersebut. “Kalau sakit perut paling maag, tifus udah makanya saya nggak maulah kalau sakit perut (ke bidan) mending beli sendiri obatnya, kalau beli sendiri kan murah. Kita ke bidan masa dia nanya dulu sakit apa.” Pak MT, Ketua Kelompok Tani.
Di Desa Padang Bindu disediakan Polindes untuk membantu pelayanan puskesmas. Namun Polindes hanya buka pada saat Posyandu, yang seharusnya buka setiap hari. Menurut Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten OKU Selatan, bidan desa seharusnya berada di Polindes selama 24 jam. Namun, jika tidak bisa, setidaknya bidan desa berada di Polindes pada saat jam kerja. Hal ini bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada
129
masyarakat. Ketersediaan Polindes serta beberapa bidan termasuk bidan desa di Desa Padang Bindu merupakan sebuah potensi di masyarakat desa untuk dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai.
Gambar 3.16 Polindes Desa Padang Bindu yang hanya digunakan untuk Posyandu Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Kalangan dan Pelayanan Kesehatan Desa Padang Bindu Kec.Buay Runjung memiliki keunikan tersendiri. Pada hari-hari biasa kita akan melihat desa ini cukup sepi pada siang hari. Hanya ada beberapa anak sekolah, pemuda yang sedang merapikan jemuran kopinya dan beberapa anjing penjaga rumah yang sedang berjemur di jalan raya. Bus dan mobil yang lewat hanya beberapa saja. Kita dapat merasakan denyut aktifitas di desa ini pada pagi dan sore hari. Pagi hari para muli (gadis) dan ibu-ibu akan keluar rumah satu persatu. Pada pukul 5 pagi hari sungai, atau biasa disebut siring,akan disibukkan oleh ibu-ibu yang mencuci dan mandi. Beberapa diantaranya menjauh dari kelompok untuk missing (BAB). Sepulang dari siring dan selesai menyiapkan bekal, perempuan-
130
perempuan itu akan keluar dengan sab atau keranjang bulat bertali satu yang ditahan dengan menggunakan kepala. Beberapa masyarakat yang memiliki kebun yang dekat dengan desa akan menggunakan sandal jepit biasa saat pergi ke kebun. Namun masyarakat yang memiliki kebun yang cukup jauh dari desa akan menggunakan sepatu karet untuk berjalan kaki ke kebunnya. Sepatu karet lengkap dengan kaus kakinya dapat diperoleh di kalangan. Pada saat pagi hari jalanjalan desa akan ramai oleh orang-orang yang pergi ke kebun. Hal ini terulang lagi di saat sore hari. Pukul 3 atau 4 sore jalan-jalan desa akan kembali diramaikan oleh sapa riang mereka setelah seharian bekerja di kebun. Mereka berjalan pulang dari kebun ke rumah dengan wajah kelelahan. Gelapnya malam di Desa Padang Bindu akan melelapkan mereka untuk melenyapkan kelelahan hari itu. Aktivitas rutin sehari-hari ini akan berbeda pada hari kalangan. Hari kalangan atau hari pasar di Desa Padang Bindu jatuh pada hari Kamis. Jika kita ingin tahu alasan mengapa kalangan di desa ini pada hari Kamis, masyarakat akan menjawabnya dengan sederhana. “Karena hari lain sudah diambil oleh desa lain” begitu kata seorang Ajong (panggilan seorang perempuan kepada seorang kakek). Pada hari kalangan hampir semua warga ada dirumah. Para pria yang biasanya menginap di sapo untuk menjaga kebun akan pulang ke rumah. Keluarga-keluarga kecil yang tinggal di sapo atau talangan– talangan akan datang ke Desa Padang Bindu atau menginap di rumah saudara mereka di desa. Hari kalangan merupakan hari libur di Desa Padang Bindu, meskipun itu merupakan hari Kamis. Anak-anak sekolah tetap datang ke kalangan pada saat jam istirahat. Sedangkan pada hari Minggu masyarakat akan bekerja seperti biasanya. Pada hari kalangan masyarakat pergi ke kalangan dan kerap meluangkan waktu untuk bertegur sapa. Mereka juga mempersiapkan kebutuhan sehari-hari untuk seminggu kedepan hingga hari kalangan berikutnya.
131
Petugas kesehatan di Kecamatan Buay Runjung tidak akan menyia-siakan kesempatan pada hari kalangan ini. Bidan biasanya membuka praktik di masing-masing desa pada hari kalangan atau melaksanakan pelayanan posyandu. Ditengah tawar menawar penjual dan pembeli, di tengah tegur sapa masyarakat Padang Bindu dan Padang Sari, Bidan Desa Padang Bindu Ibu YN bergegas menuju rumahnya membawa belanjaan sambil sesekali menjawab pertanyaan ibu-ibu lainnya yang menanyakan pelaksanaan posyandu. Bidan YN akan membuka praktik di dekat kalangan pada hari Kamis. Ada 2 orang bidan yang membuka praktik pada saat kalangan berlangsung di Desa Padang Bindu, yaitu Bidan UM dan Bidan YN. Masyarakat yang ingin memperoleh pelayanan kesehatan dapat memilih tempat pengobatan dimana mereka merasa cocok dengan pelayanan kesehatan yang diberikan bidan tersebut. Pengobatan yang dilakukan pun bervarisi. Ada masyarakat yang ingin memeriksakan tekanan darah, mempunyai keluhan badan lemah pusing, atau sekedar suntik KB, bahkan tindakan operasi kecil seperti pengobatan bisul pada balita. Bidan membawa obat-obatan dan perlengkapan masing-masing. Bidan membuka praktiknya di bagian bawah rumah (lantai dasar rumah masyarakat) yang berada dekat dengan kalangan. Tempat praktik pun seadanya, hanya ada meja untuk tempat obatobatan, dipan dengan alas beberapa lembar selimut serta kursi tempat tunggu. Posyandu juga dilaksanakan pada hari kalangan dengan alasan masyarakat lebih banyak berada dirumah pada saat kalangan, begitu ungkapan Bidan YN. Posyandu dilakukan di Polindes Padang Bindu yang terletak dekat dengan kalangan, sehingga ibu-ibu yang memiliki balita dapat singgah sepulang dari kalangan. Posyandu sengaja dilaksanakan sekitar pukul 12 siang untuk menunggu setelah kalangan selesai.
132
Gambar 3.17 Praktik Bidan UM pada hari kalangan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Jika pada hari kalangan minggu tersebut tidak bersamaan dengan jadwal pelaksanaan posyandu, ibu-ibu di kalangan sering sekali menanyakan kapan jadwal posyandu dan siapa yang mengurus program pemberian makanan tambahan (PMT). Ibu-ibu yang memiliki balita, atau mbay yang memiliki cucu balita dapat bertanya pada Bidan YN (Bidan Desa Padang Bindu) atau Bidan DS (Bidan Desa Padang Sari) yang memegang tanggung jawab Posyandu. Desa Padang Sari dan Desa Padang Bindu memiliki jadwal posyandu yang sama. Bidan UM juga membuka praktik di Desa Padang Bindu pada hari kalangan. Lokasi praktik Bidan UM dan Bidan YN berdekatan. Kedua lokasi tersebut dekat dengan kalangan. Sebagian besar masyarakat Padang Bindu dan Padang Sari lebih banyak berobat ke Bidan UM. Bidan UM merupakan salah satu bidan senior di desa tersebut karena Bidan UM pernah tinggal di desa tersebut selama 8 tahun sebelum pindah ke desa tetangga. Oleh karena itu, masyarakat yang sebelumnya pernah berobat ke Bidan UM dan merasa cocok
133
akan kembali mengunjungi Bidan UM untuk memperoleh pelayanan kesehatan. “Banyak yang cocok soalnya sama dia itu. Karena kalo ada yang sakit apa mau suntik KB misalnya ya kalo dia (Bidan UM) nggak datang ditunda sama orang. Nunggu dia datang. Kamis besok apa gitu. “ Ibu RTW
Setelah selesai praktek Bidan UM biasanya tidak langsung pulang ke rumah. Masyarakat biasanya meminta kepada Bidan UM untuk datang kerumahnya setelah kalangan selesai. Alasan mereka mengundang Bidan UM datang ke rumah mungkin karena malu jika diperiksa di tempat praktik Bidan UM atau karena merasa lebih nyaman di rumah. Setelah kalangan selesai, sekitar pukul 12 siang Bidan UM mulai menyusuri rumah-rumah warga yang memintanya datang berkunjung. Rutinitas Bidan UM mengunjungi rumah-rumah pasien ini biasanya berlangsung hingga malam hari. Seperti pada hari Kamis kali itu17, Peneliti ikut melihat proses persalinan yang ditolong oleh Bidan UM. Proses persalinan Yuk MR berlangsung cukup lama. Hingga menjelang adzan Maghrib barulah Bidan UM bersiap untuk pulang ke rumahnya. 3.2.2. Ketersediaan dan Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan Tradisional Etnik Daya Desa Padang Bindu mengenal beberapa jenis penyembuh tradisional dengan sebutan yang sama yaitu dukun. Dukun tersebut dibedakan menjadi 2, dukun beranak dan dukun urut. Meskipun di Desa Padang Bindu terdapat 3 orang bidan, namun masyarakat tetap memilih ke dukun baik itu sakit ringan maupun sakit berat seperti sulit punya anak. Kuantitas bidan di desa ternyata tidak
17
Kamis kedua bulan Mei 2015
134
terlalu mempengaruhi masyarakat terhadap pencarian pengobatan, bahkan dikalangan keluarga bidan tersebut. Hal ini terlihat ketika Dek AU terkena demam dan flu di suatu 18 sore . Dek AU adalah kerabat dekat salah satu bidan dimana Peneliti tinggal. Ibu Dek AU membawa Dek AU ke dukun Mbay D untuk mencari pengobatan meskipun ibu tersebut mempunyai kerabat tenaga kesehatan. Sebenarnya masih ada Bidan YN yang rumahnya lebih dekat dengan rumah Dek AU dibandingkan jarak rumah Dek AU dengan rumah dukun Mbay D. Sore itu hujan cukup deras mengguyur Desa Padang Bindu disertai dengan angina yang cukup kencang. Dek AU mulai rewel. Sebenarnya sejak malam sebelumnya Dek AU sudah rewel, menangis sepanjang malam hingga membuat ibunya dan Mak Woh-nya tidak bisa tidur. Kerewelan Dek AU berlanjut hingga selesai kalangan19. Siang itu Dek AU meminta es, dan orang tuanya menuruti. Akhirnya Mak-nya memutuskan membawa Dek AU ke Mbay D. Peneliti sempat mengikuti ke rumah Mbay D. Di rumah Mbay D, Dek AU ditidurkan dan diurut di perut, dada hingga punggung oleh Mbay D. Proses urut tersebut tidak terlalu lama, hanya sekitar 5 menit. Setelah diurut, Mbay D memberikan Dek AU sebungkus kecil air putih yang telah dijampi dan sebutir bawang putih. Air putih itu untuk diminum oleh Dek AU dan bawang putih untuk dioleskan ke kepala Dek AU. Baru keesokan harinya, ibu Dek AU berobat ke Bidan MP karena Bidan DS (kerabat ibu Dek AU) tidak berada di rumah. Peneliti sempat terkejut melihat ibu Dek AU yang masih sepupu dekat dengan Bidan DS memilih pergi ke dukun Mbay D ketika Dek AU sakit. Masyarakat menggunakan pelayanan kesehatan tradisional menurut kepercayaan bahwa suatu penyakit disebabkan oleh mahluk halus. Selain itu, keputusan berobat ke pengobat tradisional ini juga 18 19
Sekitar akhir April 2015 Hari Pasaran
135
didasari apabila telah melakukan pencarian pengobatan medis namun penyakit tidak kunjung sembuh. “Apalagi penyakitnya kan kita enggak tahu. Gak jelas kan penyaktnya, nggak kejang-kejang kayak gitu kan istilahnya. Kalo dibawa ke dokter kan bisa dikatakan percuma. Misalnya kemasukan setan, apa kena guna-guna itukan masih makai sedekahan.” Pak ALDN
Selain itu beberapa penyakit seperti mual muntah, pasangan yang sulit punya anak masih dapat diobati oleh pengobat tradisional. Masyarakat akan mencoba pengobatan dengan dukun, jika dirasakan penyakit yang dideritanya membaik maka pengobatan akan dilanjutkan. Faktor kepercayaan pasien sangat berperan dalam pencarian pengobatan. Masyarakat akan merekomendasikan dukun tersebut kepada orang lain apabila dirasakan gejala yang mirip dengan yang pernah disembuhkan oleh dukun tersebut. Permasalahan akses masih menjadi salah satu alasan mengapa peran dukun cukup penting bagi Etnik Daya di Desa Padang Bindu. Menurut Ajong CM, karena kondisi desa yang cukup jauh serta pelayanan kesehatan yang masih terbatas sehingga peran dukun cukup penting bagi masyarakat. “Istilahnya kalau di kampong ini jauh dari jangkauan yang memadai itu kan. Rumah sakit masih jauh, adapun juga puskesmas pembantu pelayanannya juga masih terbatas. Jadi kalau tidak ada jasa-jasa orang pintar itu (dukun) mungkin masih banyak kesulitan-kesulitan.” Ajong CM. Mbay D
Perempuan berusia sekitar 60 tahunan itu sedikit menatap awas pada kedua tamu yang baru ditemuinya malam itu. Tujuan Peneliti mengunjunginya adalah untuk mencari tahu sistem pengobatan yang dilakukannya. Perempuan tua itu bernama D. Sesuai dengan kebiasaan masyarakat Etnik Daya yang menyebut seorang perempuan tua dengan sebutan Mbay (nenek), maka
136
perempuan itu dipanggil Mbay D. Mbay D bukan merupakan keturunan asli salah satu puyang Etnik Daya. Mbay D merupakan Etnik Jawa kelahiran Lampung yang besar di Desa Padang Bindu dan menikah dengan masyarakat asli Daya. Mbay D sudah tinggal di desa tersebut hampir selama hidupnya sehingga Mbay D sangat fasih menggunakan bahasa Daya sebagai bahasa sehari-hari. Mbay D menjadi kerabat dekat masyarakat Desa Padang Bindu karena suami Mbay D merupakan keturunan salah satu puyang Desa Padang Bindu Pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki Mbay D sangat dikenal oleh masyarakat Desa Padang Bindu. Mbay Dtidak hanya menolong persalinan tapi juga melakukan pengobatan lain untuk sakit rematik, mual, muntah , batuk, anak yang rewel (njami), pasangan yang belum memiliki anak dan masih banyak lagi. Mbay D akan meminta keluarga pasien untuk memanggil bidan jika Mbay D merasa tidak mampu dalam proses menolong persalinan Mbay SR Mbay SR juga merupakan dukun urut yang juga dapat menolong persalinan selain Mbay D. Perempuan tua yang selalu tersenyum dan menyelipkan beberapa tawanya disetiap percakapan masih rajin ke kebun. Jika malam tiba, pasien yang akan diurut datang kerumahnya, biasanya Mbay SR tidak mengurut pada saat sore hari. Pada saat sore hari Mbay SR mengaku masih merasa capek. Mbay SR biasanya melakukan urut pada beberapa penyakit yang berhubungan dengan salah urat seperti plintut dan kaki yang keseleo. Seperti yang dialami oleh Kak DR yang mengalami sakit di kakinya pasca kecelakaan. Mbay SR juga dapat membantu persalinan. Persalinan Bu ASH dibantu oleh Mbay SR. Mbay SR dijemput dan diajakk ke kebun, ke sapo ibu ASH. Pengobatan yang biasa dilakukan Mbay SR biasanya hanya menggunakan tumbuh-tumbuhan herbal seperti daun pegagan, lungsoġ serta urut. Mbay SR tidak memberikan
137
air putih dan bawang putih yang telah di jampi seperti pengobatan yang biasa dilakukan Mbay D. Mbay SR merupakan kerabat dekat masyarakat Desa Padang Bindu. Mbay SR adalah dukun asli yang merupakan keturunan langsung salah satu puyang di Desa Padang Bindu. Mbay SR memiliki banyak pengetahuan mengenai tumbuh-tumbuhan yang dapat digunakan sebagai ramuan obat. Sebagai seorang dukun atau tokoh penyembuh, Mbay SR memiliki ramuan lungsoġ, yang dipercaya masyarakat dapat mengobati penyakit morian20. Ajong IS Lelaki tua itu banyak dikenal masyarakat karena kemampuannya menyembuhkan beberapa penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan urut. Meskipun saat ini pendengaran Ajong IS sangat buruk, namun kepercayaan masyarakat terhadap kemampuannya tidak berkurang. Penyakit yang biasa disembuhkan oleh Ajong IS seperti sakit pada mata yang berupa bintik putih pada mata. Penyakit kulit sejenis herpes dan njami sampot. Biasanya Ajong IS menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut dengan cara dijilat. Selain Ajong IS, isterinya juga dapat mengobati beberapa jenis penyakit. Pengobatan tradisional yang digunakan oleh masyarakat tidak hanya berupa urut, namun juga berupa sedekahan. Sedekahan yang dilakukan adalah memasak satu atau dua ekor ayam, baik dibakar atau disayur. Sedekahan ini biasanya atas perintah dukun yang mengganggap perlu melaksanakan sedekah untuk menghilangakan gangguan makhluk gaib yang mengganggu dan menyebabkan sakit. “Disini kan ada yang ke tempatya dukun. Kan disuruh sama dukun itu sedekah katanya. Itukan makai itu disini. Ibaratnya kamu ada anak kamu
20
Tentang morian akan dibahas pada bab selanjutnya.
138
sakit kan ke saya, ibaratnya saya dukun. Umpama ya saya suruhkan sedekah ayam ini, ayam ini, ayam ini. Ya kebanyakanlah yang makai (sedekah) itu kalau dia ke dukun itu.” Pak ALDN
3.3
Pola Pencarian Pengobatan Pola pencarian pengobatan masayarakat Desa Padang Bindu tentunya dipengaruhi oleh faktor tingkat pengetahuan masyarakat tesebut. Tak jarang meskipun masyarakat tersebut memiliki akses yang cukup baik dalam memperoleh pelayanan kesehatan namun pengobatan tradisional masih menjadi pilihan utama dalam suatu kelompok masyarakat. Masyarakat Etnik Daya tidak bisa dikatakan baru dalam mengenal pelayanan kesehatan modern. Bidan telah ada di Desa Padang Bindu lebih dari sepuluh tahun. Namun saat ini masih banyak masyarakat yang menggunakan pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional yang dilakukan oleh dukun biasanya berupa urut atau ritual-ritual yang berkaitan dengan makhluk halus. Dukun dan tukang urut di Desa Padang Bindu cenderung mengacu pada pengobat tradisional. Meskipun sebutan dukun pada masyarakat tradisional biasanya digambarkan dengan sosok yang memiliki ilmu gaib dan dapat berhubungan dengan dunia gaib. Namun menurut Koncaraningrat21, meskipun banyak menggunakan ilmu gaib namun dukun sering kali memiliki pengetahuan yang luas mengenai ciri-ciri tubuh manusia serta posisi sistem urat dan sebagainya. Keputusan melakukan pencarian pengobatan tentunya dipengaruhi oleh konsep sehat dan sakit yang ada di masyarakat. Menurut masyarakat Desa Padang Bindu, meskipun kondisi tubuh kurang baik tetapi masih mampu ke kebun, maka masih belum dikatakan sakit. Kondisi sakit adalah ketika kegiatan ke kebun masyarakat mulai terganggu. Jika rasa sakit masih ringan biasanya 21
139
masyarakat masih mengupayakan pengobatan sendiri dengan membeli obat di warung sekitar desa atau di kalangan. Jika sudah mulai berat, seperti tidak dapat berjalan lagi, masyarakat akan mendatangi bidan untuk berobat. Seperti yang di ungkapkan oleh Bidan MP. “Masalahnya kalau disini kan orang ini sibuk ya kan, jadi kalo masih cuma meriang-meriang biasa kalau belum parah dibiarin dulu. Gak papa dibawa kerja kata mereka kan, biar sehat. Tapi kalau udah parah nggak bisa jalan baru (dibawa ke bidan), udah tekapar keknya istilahnya itu kan.” Bidan MP
Kondisi desa dan jenis penyakit menentukan pola pencarian pengobatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Padang Bindu. Masyarakat yang tinggal di talang-talang biasanya akan mencari pengobatan tradisional seperti Mbay D atau Mbay SR. Hal ini disebabkan masyarakat yang tinggal di talang biasanya merupakan masyarakat menengah kebawah yang belum mampu membangun rumah di desa, sehingga jika mereka sakit mereka lebih memilih berobat ke dukun. Peneliti sempat mengunjungi rumah Mbay D. Mbay D baru saja kedatangan tamu yang berasal dari sapo di dekat kebun milik Pak BR. Seorang ibu muda mengeluh sakit perut dan muntahmuntah setiap makan atau minum, biasa disebut kelimpuh. Mbay D mengajak si ibu masuk ke ruang tengah rumahnya dan mengurut badan ibu tersebut di bagian belakang tubuhnya, tujuannya untuk menata urat-uratnya terlebih dahulu. Menurut Mbay D, jika akan mengurut perut harus dimulai dari bagian belakang tubuh pasien. Ibu muda tersebut merasa lebih enak setelah pertama kali diurut oleh Mbay D. Kondisi ibu tersebut mulai membaik setelah diurut oleh Mbay D dan sudah dapat menelan air, pisang goreng dan bubur. Si Ibu tersebut datang kembali untuk diurut lagi oleh Mbay D setelah
140
beberapa hari karena merasa keadaannya membaik setelah diurut Mbay D. Menurut Mbay D, ibu muda tersebut galak muntah dan sakit perut disebabkan oleh tray panas. Proses pengurutan yang dilakukan oleh Mbay D bertujuan supaya diperoleh pasirnya dapat pada saat diurut. “Kalau abis kena hujan panas itu, pasirnya dapat keluar dia. Pasirnya tu pasir hitam dari badan tu lah” ujar Mbay D sambil menunjukkan kotoran berwarna hitam yang diperoleh dari tubuh ibu muda tersebut. Menurut Peneliti kotoran itu adalah kotoran tubuh biasa. “Nah kalau kantong nasinya itu naik ke sini kan mau muntah makan ndak enak. Sering dia naik ke sini, kalau sudah bawak berat kan galak naik. Diturunkan supaya ada nafsu makan.” Mbay D.
Kantong nasi yang ditunjuk oleh Mbay D berada tepat di antara perut dan dada. Menurut Mbay D, jika pasien memiliki maag tidak boleh diurut hingga ke bagian kantong nasi tersebut. Jika masyarakat yang tinggal di sapo sakit atau membutuhkan sesuatu yang harus diperoleh di desa, dapat meminta tolong pada pemilik kebun tetangganya atau pada masyarakat yang lewat agar membawakan kebutuhan pada keesokan harinya. Seperti yang dilakukan oleh Pak SBR yang meminta tolong pada ibu MM untuk membelikan obat di desa dan Ibu MM membawakannya pada keesokan harinya.
141
BAB 4 Lungsoġ Ramuan Pereda Nyeri 4.1. Lungsoġ Ramuan Pereda Nyeri 4.1.1 Lungsoġ dan Pembagiannya Akses pelayanan kesehatan sudah cukup baik di Desa Padang Bindu, namun penggunaan obat tradisional masih banyak digunakan oleh masyarakat. Pengobatan tradisional menjadi salah satu bagian dari kebudayaan yang tidak terpisahkan dari suatu masyarakat, termasuk masyarakat Etnik Daya di Desa Padang Bindu. Biasanya pengetahuan mengenai pengobatan tradisional diperoleh secara turun temurun. Masyarakat Desa Padang Bindu juga memperoleh pengetahuan tentang pengobatan tradisional dari nenek moyangnya secara turun temurun. Beberapa ramuan obat tradisional yang dipakai oleh pengobat tradisional juga didapat dari leluhurnya yang juga berprofesi sebagai pengobat tradisional. Salah satu obat tradisional yang masih sering digunakan oleh masyarakat Etnik Daya di Desa Padang Bindu adalah lungsoġ. Istilah lungsoġ digunakan untuk menyebut dua jenis pengobatan tradisional yang berbeda, yaitu nyeri sendi dan penyakit ibu dengan anak balita. Masyarakat Desa Padang Bindu menambahkan jenis peyakitnya pada akhir kata lungsoġ, yaitu lungsoġ rematik atau lungsoġ moġian. Tidak diketahui bagaimana silsilah dari istilah lungsoġ tersebut bisa dikaitkan dengan dua penyakit yang sangat berbeda. Peneliti belum bisa menemukan keterkaitan antara lungsoġ dengan kedua penyakit itu meskipun sudah melakukan wawancara dengan beberapa pengobat tradisional dan sesepuh desa. Pengobatan dengan lungsoġ menggunakan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan dasar ramuan. Terdapat dua jenis ramuan lungsoġ yang masing-masing ramuan berbeda komposisi penyusunnya, yaitu lungsoġ rematik dan lungsoġ moġian. Lungsoġ
142
rematik lebih cenderung menggunakan daun-daunan yang masih segar sedangkan lungsoġ moġian cenderung menggunakan tumbuhan yang sudah dikeringkan dan telah lama disimpan. 4.1.2 Manfaat Lungsoġ Menurut beberapa pengobat tradisional yang menggunakan pengobatan dengan lungsoġ, kedua jenis lungsoġ ini merupakan terapi penyembuhan. Efek pengobatan yang dihasilkan oleh dua ramuan lungsoġ ini berbeda. Lungsoġ rematik memiliki manfaat untuk meredakan nyeri sendi yang biasa disebut rematik. Uap panas yang dihasilkan dari rebusan ramuan lungsoġ rematik akan mengurangi rasa sakit dan bengkak pada bagian tubuh manusia yang terkena uap tersebut. Sedangkan lungsoġ moġian bermanfaat untuk mencegah dan mengobati penyakit moġian. Khusus untuk lungsoġ moġian ini, Peneliti belum bisa menjelaskan secara lebih detil tentang penyakit moġian dan efek lungsoġ moġian terhadap penyakit moġian. 4.1.3 Ramuan Lungsoġ Perbedaan sasaran penyakit yang diobati tentunya menjadikan lungsoġ yang digunakan juga berbeda. Meskipun memiliki sebutan yang sama, namun lungsoġ rematik dan lungsoġ moġian mempunyai bahan dasar, pengolahan dan metode pengobatan yang jauh berbeda. Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai terapi lungsoġ yang dikenal di masyarakat Etnik Daya Desa Padang Bindu.
4.2. Lungsoġ Rematik 4.2.1 Definisi dan Ciri Reumatik Ogan Komering Ulu Selatan atau biasa disebut OKUS menempati urutan ke 439 dari 497 kabupaten dari hasil IPKM 2013 di Indonesia. Meskipun baru saja melepaskan status wilayah tertinggal pada tahun 201422, namun kabupaten tersebut masih berbenah dalah 22
http://okes.co.id/?p=341 diakses pada tanggal 21 Juni 2015 pukul 13.59
143
meningkatkan derajat kesehatannya. Salah satu permasalahan kesehatan yang masih tinggi di OKU Selatan adalah penyakit sendi. Jika dilihat berdasarkan hasil IPKM 2013, OKU Selatan memiliki angka prevalensi nyeri sendi tertinggi di Provinsi Sumatera Selatan dengan prevalensi 14,55, dibandingkan dengan nilai rata-rata provinsi 8,37. Angka yang dimiliki oleh OKU Selatan ini juga lebih tinggi dari rata-rata angka nasional yaitu 11,88. Dalam penilaian IPKM 2007, penyakit sendi sendiri didefinisikan dengan penduduk umur 15 tahun ke atas yang didiagnosa menderita penyakit sendi/rematik /encok oleh tenaga kesehatan atau pernah mengalami gejala sakit sendi/rematik/ encok. Meskipun tidak menyebabkan kematian, namun nyeri sendi dapat minimbulkan penderitaan yang berat, cacat permanen serta kematian prematur23. Sakit akibat nyeri sendi juga dapat menurunkan produktivitas masyarakat sebab penderita nyeri sendi akan sulit beraktivitas. Hal ini menjadi menarik adalah ketika Peneliti melihat sendiri kondisi di lapangan terutama di Desa Padang Bindu Kecamatan Buay Runjung. Bidan UM adalah kepala puskesmas Buay Runjung dan membuka praktek di Desa Padang Bindu pada hari kalangan. Menurut Bidan UM rematik atau nyeri sendi merupakan salah satu penyakit terbanyak di Desa Padang Bindu. “Rematik lah istilahnya, asam urat. Rematik itu hampir seluruh orang kayaknya ya. Iya.. tua muda yang datang kesini, yang datang ke kita gitu kan itu hampir semua mengeluh rematik. Belum ke ini itu tukang obat (tukang obat di kalangan) itu,” Bidan UM adalah tenaga pengobatan
tradisional masyarakat Desa Padang Bindu, membenarkan bahwa penyakit yang paling sering diderita oleh masyarakat Desa Padang Bindu adalah penyakit nyeri sendi 23
Joewono Soeroso dan Yuliasih. Artritis Reumatoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Airlangga. 2007. Airlangga University Press.
144
yang biasa disebut rematik. ”Tapi yang banyak itu sakit ini lah (nunjuk kaki) maka duduk itu sulit. Gak tau lah kenapa. Rematik katanya bidan tu” ujar Mbay D. Populasi Etnis Daya tidak terlalu banyak, dan sebagian besar menempati wilayah Kecamatan Buay Runjung. Keterkaitan antara sistem mata pencaharian dengan angka penderita nyeri sendi yang cukup tinggi ini akan dibahas lebih dalam. Tak hanya itu, masyarakat Etik Daya memiliki cara tersendiri untuk mengurangi risiko akibat penyakit tersebut. Menurut masyarakat Etnik Daya Desa Padang Bindu terdapat perbedaan antara rematik dengan asam urat. Rematik mengacu pada nyeri sendi yang biasa. Sementara asam urat merupakan tingkatan lebih tinggi dari penyakit rematik itu sendiri. Nyeri sendi yang lebih ringan biasa disebut dengan jaġe, yaitu suatu kondisi dimana bagian bawah tubuh terasa dingin sementara bagian atas tubuh terasa panas24.
Rematik Jaġe
•Nyeri Sendi yang belum parah
Asam Urat •Rematik yang lebih parah.
•Rematik ringan
Gam bar 4.1 Tingkatan nyeri sendi menurut masyarakat Etnik Daya Sumber: Visualisasi Peneliti, 2015
24
Jaġe mirip dengan kepercayaan humoral Amerika- Spanyol yang menyatakan bahwa masuknya udara dingin yang disebut aire ke tubuh melalui kaki yang dingin dan basah sehingga menyebabkan panas tubuh di tekan oleh udara dingin tersebut ke bagian atas. (Foster, Anderson. Antropologi Kesehatan)
145
4.2.2 Causa Reumatik, Demi Bulir Kopi Beberapa orang menyebut kopi sebagai bahasa universal. Bahkan kopi tak lagi sekedar minuman dan rasa namun sudah menjadi sebuah paham atau aliran serta pembagian kelompok, pecinta kopi atau bukan, penikmat atau maniak. Bahkan beberapa oang tidak bisa hidup tanpa kopi, atau mungkin bahkan mereka hidup dari kopi. Jalma Daya, sebutan untuk orang Etnik Daya yang diberikan oleh salah satu peneliti. Dalam bahasa Daya kata “Jalma” sendiri berarti orang- orang. Istilah Jalma Daya berarti orang Daya25. Jalma Daya di Desa Padang Bindu ini tidak hanya memiliki mata pencaharian dari kopi, namun juga hidup dari kopi. Bagaimana tidak, kehidupan mereka dari awal bangun tidur hingga tidur lagi, tidak lepas dari kopi. Selain karena desa ini dikelilingi oleh ladang kopi yang berhektar-hektar luasnya, obrolan sehari-hari pun tidak lepas dari kopi. Siapa saja yang mencoba menanam kopi dengan cara baru, siapa yang butuh bantuan di ladang kopinya, siapa yang akan mengantar kopi pada tengkulak, berapa kisaran harga kopi panen kali ini atau sekedar menanyakan adakah air panas untk membuat kopi. Peneliti merasakan kopi dalam kehidupan mereka. Untuk mulai masuk mengenal masyarakat sendiri, mulailah dengan membicarakan kebun kopi, mereka akan menyukainya karena itu hidup mereka. Percaya atau tidak hampir seluruh Jalma Daya di desa ini pecinta kopi. Tidak ada rasa bosan pada kamus mereka terhadap kopi meskipun setiap hari setiap malam dipertemukan dengan biji kopi atau cairan hitam pekat yang terasa nikmat tersebut. Bahkan ada seloroh di kalangan Jalma Daya yang mengatakan “Lebih baik idak mengan daripada idak nginum kopi”. Bulir-bulir biji kopi inilah yang membawa kaki kaki para Jalma Daya untuk menapaki jalan setapak yang berlumpur dan becek saat 25
Pada Penelitian ini lebih spesifik Jalma Daya yang berada di desa padang bindu Kec. Buay Runjung
146
pagi masih berselimut kabut. Dengan keranjang yang biasa disebut sab yang dikaitkan di kepalanya atau ditarik talinya hingga ke dada, pemilik kaki tersebut memberi senyum pada sesama masyarakat yang hendak pergi ke kebun kopi. Terlebih lagi musim panen kopi yang terjadi sekitar bulan 4 hingga bulan 6 setiap tahunnya. Mata pencaharian sebagai petani kopi26 oleh sebagian besar masyarakat Desa Padang Bindu dilakukan turun temurun dan sudah sejak lama. Hari pertama Peneliti menikmati pagi di Desa Padang Bindu, semangat menyambut bulir-bulir kopi telah terasa. Ya, waktu itu memang sedang musim panen kopi. Senyum sumringah ibu-ibu yang berjalan kaki menuju kebun, sekumpulan pemuda yang di‘kontrak’ untuk memanen padi sudah bersiap-siap. Setiap pagi, saat matahari masih enggan bersinar dan sisa dingin malam tadi masih menyisakan kabut dapat dikalahkan dengan langkah kaki mereka. Bukan jalan beraspal yang akan dilalui kaki-kaki itu, sebagian besar merupakan jalan setapak di antara semak-semak pada lahan yang belum diolah. Jalan setapak itu lebih sering becek, beberapa kali melalui tanjakan dan turunan licin sehingga menggunakan sepatu karet yang dapat dibeli di kalangan menjadi salah satu pilihan tepat bagi masyarakat. Tidak semua masyarakat menggunakan sepatu karet tersebut.
26
Telah dibahas di bab Unsur Budaya pada poin mata pencaharian.
147
Gambar 4.2 Sepatu karet untuk ke kebun Sumber: Dokumentsi Peneliti, 2015
Waktu yang terpakai untuk menempuh perjalanan menuju kebun bervariasi sekitar 20 menit hingga 2 jam. Pada masa panen, seperti saat penelitian dilakukan27, sebagian besar pria Daya akan tinggal di sapo dan kebun karena jarak antara kebun dan rumah cukup jauh. Isteri atau anak-anak memilih untuk pulang pergi antara kebun dan rumah, seperti ibu MM yang setiap hari pulang pergi ke kebun yang berjarak 1 jam 30 menit dengan berjalan kaki. Sementara Pak B memilih tinggal di sapo menunggui kopi agar tidak hilang. Tinggal di sapo juga dinilai masyarakat untuk menghemat energi28. Aktivitas inilah yang dinilai masyarakat sebagi penyebab nyeri sendi atau biasa di sebut sakik cukut (sakit kaki). Menurut masyarakat 27
Penelitian dilakukan pada pertengahan April hingga Mei 2015.
28
Menurut Koncaraningrat, kebanyakan suku bangsa yang hidup berladang biasanya tinggal dan menetap di suatu desa. Biasanya masyarakat tersebut membangun rumah kecil yang sederhana di tengah kebun sebagai tempat tinggal sementara selama masa sibuk seperti masa panen jika kebun dirasa cukup jauh. Hal ini membuat mereka tidak perlu jauh untuk kembali ke rumah di desa yang memakan banyak waktu dan jarak.
148
Desa Padang Bindu sakik cukut, atau biasa disebut Bidan dengan rematik, disebabkan oleh udara dingin. Perjalanan jauh yang dilakukan pagi hari saat embun dan kabut masih terasa di jalan setapak menyebabkan udara dingin masuk ke dalam kaki hingga ke tulang. “penyebab rematik yang pertama saya kira pengaruh cuaca. Sebab cuaca di sini kan dingin jadi orang mau kerja itu pagipagi kan. Nah, mungkin dari embun segala macam yang dari rumput-rumputan itu kan. Masuk pagi-pagi itu.” Ajong CM.
Gambar 4.3 . Jalanan yang biasa dilalui warga desa menuju kebun Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Hal ini dibenarkan oleh petugas kesehatan Ibu UM dan Bidan MP. “Kalo rematik itu aku kira dingin mungkin ya, cuaca dingin. Terus rata rata orang sini kan ke kebunnya jalan kaki. Jauh….satu jam, ada yang dua jam” ujar Bidan UM. Selain petani kopi, sebagian masyarakat juga memiliki mata pencaharian sebagai petani padi29. Biasanya lokasi sawah tidak terlalu 29
Telah di bahas dalam bab Unsur kebudayaan
149
jauh dari desa. Namun bukan berarti bersawah tidak berisiko menyebabkan nyeri sendi. Udara dingin yang berasal dari air dan lumpur di sawah dapat masuk dan menguap hingga ke dalam kaki. Meskipun biasanya masyarakat bersawah menggunakan sepatu boot justru sepatu tersebut menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya nyeri sendi. Hal ini karena udara dingin yang masuk ke dalam kaki tidak dapat di keluarkan dengan baik sehingga mengendap di kaki tersebut. “Idak tau aku apakah makanan, apakah agak dingin. Tapi kata kawan sering makai sepatu boot katanya. Jadi idak nian aku makai sepatu boot lagi sekarang. Karena walaupun makai kaus katanya dinginnya itu idak keluar, jadi ngendap di dalam ini, masuklah katanya. Waktu nyawah-nyawah itu sepatu boot segini itu (selutut) bisa kita merumput di dalam sawah, jadi kering. Tapi katanya sebab itu ngadakan uapan dari dalam sepatu itu. Air itu ndak keluar jadi masuk lagi, kan sakit.” Ajong MJ
Penyakit sendi menurut definisi Riskesdas 201330 adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik pada sendi-sendi tubuh. Gejala klinik penyakit sendi/rematik berupa gangguan nyeri pada persendian yang disertai kekakuan, merah dan pembengkakan yang bukan disebabkan karena benturan/kecelakaan dan berlangsung kronis. Gangguan tersebut terutama muncul pada saat pagi hari. Tingginya angka penderita nyeri sendi di Kecamatan Buay Runjung, khususnya Desa Padang Bindu diakui oleh tenaga kesehatan yang bekerja di wilayah desa tersebut. Meskipun nyeri sendi tidak menyebabkan kematian namun nyeri sendi dapat menurunkan produktivitas masyarakat. Masyarakat Etnik Daya hanya mengandalkan hasil kebun kopinya yang hanya di panen setahun sekali. Diluar masa panen masyarakat biasanya bekerja di kebun milik 30
Acuan ini dipakai untuk menyelaraskan antara nilai IPKM dengan definisi yang digunakan pada saat Riskesdas.
150
orang lain untuk merumput. Oleh karena itu, nyeri sendi yang menyebabkan masyarakat tidak dapat ke kebun dapat menyebabkan kebun menjadi tidak terurus dan menghasilkan hanya sedikit biji kopi. Selain itu, pada masa paceklik, nyeri sendi mengakibatkan masyarakat tidak dapat bekerja di kebun orang lain untuk mendapatkan uang harian. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ajong MJ, “Apalagi kalau orang miskin ini, idak makan kalau idak merayap dulu. Ndak bisa cari nafkah itu”. Nyeri sendi atau rematik menganggu aktifitas fisik penderita sebab ketika nyeri sendi tersebut datang, penderita tidak dapat melakukan aktifitas ringan seperti berjalan. Seperti yang dikemukakan oleh Ajong MJ yang mengalami sakit rematik atau asam urat selama setahun terakhir bahwa jika sakit tersebut kambuh, Ajong MJ tidak dapat berjalan. “Kalau sakit itu idak bisa jalan, iya idak bisa jalan” jelas Ajong MJ. Masyarakat akan berusaha melakukan aktifitasnya seperti biasa, baik aktifitas rumah tangga maupun aktifitas ke kebun, jika mereka dalam keadaan sakit tetapi masih bisa beraktifitas. Namun hasil yang diperoleh tidak akan maksimal. Menurut Ajong MJ, meskipun sakit tetap harus menghirup udara segar diluar, tidur sebaiknya dikurangi. “Ya kerja kerja sekedar kerja. Kalau badan ndak sehat masakan sama kerjanya sehat sama ndak sehat . Tapi mau dibaringkan nambah sakit. Walaupun sakit sakit kalau masih bisa kita jalan jalan kita hindarkan mau tidur. Bukan ndak boleh tidur karna hawa itu harus nyerap walaupun ndak sehat” Ajong MJ.
Nyeri sendi yang dirasakan oleh Ibu BDR beberapa bulan lalu juga mengganggu aktifitasnya sebab Ibu BDR harus menggunakan tongkat untuk berjalan. “Jalannya pakai tongkat. Idak (tidak) ada bengkak, ada yang nyut-nyut itu di dalam kakinya ini.” ujar ibu BDR menjelaskan sakitnya. Tidak hanya mengganggu aktifitas berkebun, nyeri sendi juga mengganggu aktifitas ibadah yang dilakukan oleh
151
Ajong MJ. “Maunya lagi kalau mau sembahyang itu udah ada sekali dua sembahyang duduk itu. Idak (tidak) bisa bergerak” Ajong MJ. Tidak ada istilah khusus Etnik Daya untuk menyebut penyakit nyeri sendi sejenis rematik. Istilah rematik dan asam urat dikenal masyarakat melalui bidan yang masuk ke desa tersebut. Masyarakat mengenal istilah rematik untuk nyeri sendi biasa dan asam urat untuk nyeri sendi yang lebih parah. “Ditanyakan, taruklah bidan-bidan ah. Katanya rematik. Ada rematik katanya kalau sederhana rematik. Kalau sudah agak kuat katanya asam urat. Aku tau asam urat dengan rematik itulah.” Ajong MJ
4.2.3 Obat Medis, Pengobatan Praktis Sementara. Pengobatan rematik sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan menggunakan obat medis maupun obat tradisional. Penggunaan obat medis dapat diperoleh di pelayanan kesehatan. Biasanya Bidan akan memberikan obat injeksi kepada pasien. Masyarakat biasanya berobat ke Bidan jika dirasa penyakit yang dideritanya sudah parah. “Kalau udah parah baru mereka ke Bidan. Kalau mereka kayaknya sehari-hari kan masih bisa jalan, masih mereka ke kebon kan. Tapi kalau udah berat kaki mau jalan baru mereka berobat (ke bidan)” Bidan MP
Selain ke bidan, orang yang sakit nyeri sendi juga dapat memperoleh obat berupa bayer di penjual obat pada saat kalangan. Hal ini biasanya dikarenakan alasan kepraktisan. Pemilihan obat berupa pil atau bayer bisa langsung diminum dan keesokan harinya nyeri tersebut sudah hilang sehingga dapat kembali bekerja di kebun. Namun masyarakat menyadari bahwa obat praktis tersebut hanya mengobati secara sementara. “Tukang obat (tukang obat di kalangan) itu, lebih laris dari kita itu. Dia kan murah lima ribu untuk sepasang jenis obat bisa
152
sampai satu bulan kan orang makannya. Disini paling laris itu obat rematik.” Bidan UM
Gambar 4.4. Penjual obat bebas di kalangan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Obat rematik atau asam urat yang dapat dibeli di kalangan dengan harga cukup murah yaitu lima belas ribu rupiah. Dengan harga yang cukup murah tersebut, penjual obat akan memberikan 2 jenis obat. Obat rematik atau asam urat dengan pil pereda rasa nyeri. Berbagai merk akan ditawarkan oleh penjual dan selalu dikombinasikan dengan pil pereda rasa nyeri.
Gambar 4.5 Obat rematik yang dibeli di kalangan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
153
Masyarakat cenderung menganggap pengobatan medis sebagai pengobatan praktis. Dibandingkan dengan obat tradisional, obat medis lebih cenderung menimbulkan efek yang cepat. Hal ini pula yang mengurangi penggunan obat-obat tradisional pada generasi tahun 90-an di desa ini. Namun menurut Mbay SR menggunakan obat medis hanya memberikan kesembuhan sementara namun rasa sakit dapat muncul lagi keesokan harinya. Pengalaman serupa juga dialami oleh Ajong MJ, salah satu tokoh masyarakat yang cukup disegani oleh masyarakat Desa Padang Bindu31. Ajong MJ mengeluhkan nyeri pada kakinya setahun belakangan. Nyeri tersebut dirasakan di sekitar tumit kaki hingga telapak kakinya. Ajong MJ telah beberapa kali berobat ke dokter. Diberi obat berupa pil dan salep yang sering dibelinya lagi tanpa resep atau petunjuk dokter jika sakit kakinya mulai kambuh. Ajong MJ mengeluhkan bahwa setiap kali sakit, obat yang harus dimakannya sebanyak empat sampai lima butir. Namun penyakit di kakinya tidak kunjung sembuh, selang dua minggu nyeri di kakinya akan datang lagi. “Bukan idak (tidak) mempan (berkhasiat). Idak lama mempannya itu. Dua minggu satu bulan timbul lagi.” Ajong MJ. Berdasarkan observasi Peneliti mengenai obat yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Desa Padang Bindu, jenis obat yang biasa disarankan oleh penjal obat di kalangan dan dipakai oleh masyarakat adalah obat pereda nyeri (analgesik) dan beberapa jenis obat yag termasuk dalam obat NSAID (Non Steroid Anti Inflamation Drug). Obat obatan tersebut memiliki efek sistemik dalam tubuh. Jika obat tersebut dikonsumsi secara terus menerus akan menimbulkan efek samping seperti iritasi lambung atau biasa disebut maag. Konsumsi obat-obat tersebut tanpa aturan dosis yang jelas dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan komplikasi parah, misalnya perforasi lambung.
31
Ajong MJ tidak tinggal di wilayah administratif Desa Padang Bindu, namun secara kependudukan Ajong MJ masih merupakan salah satu masyarakat Desa Padang Bindu.
154
Meskipun belum dapat dipastikan apakah terdapat keterkaitan antara penyakit maag dan rematik di Desa Padang Bindu, namun berdasarkan keterangan tenaga kesehatan dan masyarakat diketahui bahwa penyakit maag juga menjadi salah satu penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat Desa Padang Bindu. 4.2.4 Terapi Lungsoġ Rematik Masyarakat Desa Padang Bindu sudah cukup mengenal obat medis modern, namun penggunaan obat tradisional untuk meredakan nyeri sendi masih sering digunakan. Pengobatan yang biasa digunakan adalah terapi Lungsoġ. Menurut Mbay D, sakit rematik atau asam urat tidak boleh diurut sehingga penggunaan lungsoġ menjadi salah satu alternatif pengobatan tradisional yang baik. “Kalo di pijit itu kan ndak bagus dia. Paling-paling itu carikan itu kata orang sini be-Lungsoġ itu. Kan merebus itu ada ramuan direbus. Kalo udah mendidih diambil itu dengan baskom ya ditarokkan sini maka dibeginikan (diuapkan). Maka keluar kan airnya dari badan tu. Abis itu enak lagi. Itulah ramuan itu. Daun serai itu yang enak baunya itu seperti sabun itu serai lawok, daun jahe, daun lengkuas itulah direbus. Air masih panas, uap masih banyak. Keluaran itu dia itu dinginnya itu.” Mbay D
Istilah lungsoġ pada pengobatan tradisional mengacu pada ramuan dari tumbuh-tumbuhan yang direbus, sedangkan proses pemanfaatan lungsoġ untuk tujuan pengobatan secara keseluruhan disebut be-lungsoġ. Jadi yang biasa disebut lungsoġ oleh masyarakat Desa Padang Bindu adalah jenis ramuan tumbuh-tumbuhan dan prosesnya disebut be-lungsoġ. Prinsip dari penggunaan terapi lungsoġ adalah untuk mengeluarkan udara dingin yang mengendap di dalam kaki, yang sering disebut keringat buntu dan menyebabkan rematik, dengan menggunakan uap panas yang mengandung ramuan-ramuan yang dipercaya dapat menghangatkan tubuh. Hal ini dibenarkan oleh
155
bapak MTD “ itu (Lungsoġ) mengeluarkan keringat buntu. Karena kepuasan dari sawah, hujan, kan dingin.” Metode pengobatan lungsoġ adalah dengan cara menguapi bagian yang sakit dengan uap air dari rebusan rempah-rempah sehingga bagian yang sakit tersebut akan mengeluarkan keringat. Proses mengeluarkan keringat ini biasa disebut betangus oleh masyarakat Daya. Pemilihan pengobatan lungsoġ sebagai obat untuk meredakan nyeri sendi cenderung dipakai oleh masyarakat Etnik Daya yang asli keturunan Padang Bindu. Peneliti menemukan bahwa warga pendatang yang berasal dari daerah lain jarang menggunakan lungsoġ sebagai pereda nyeri sendi meskipun mereka mengetahui istilah lungsoġ rematik32. Rempah yang digunakan untuk lungsoġ berupa daun-daunan yang dipercaya dapat menimbulkan rasa hangat sehingga uap hangatnya dapat mengeluarkan udara dingin yang mengendap di kaki yang dipercaya sebagai penyebab rematik. Dedaunan yang dapat menghasilkan rasa hangat itu antara lain adalah bulung kunyet (daun kunyit), bulung lada (daun lada), bulung seġai (daun serai) serta ditambahkan sedikit bubuk kopi pada saat proses perebusan. Terdapat beberapa variasi jenis daun yang digunakan oleh masingmasing dukun/pengobat tradisional lungsoġ. Banyaknya daun-daun tersebut juga berbeda-beda sesuai selera dan ketersediaan pada saat proses be-lungsoġ. Penambahan bubuk kopi pada ramuan tersebut bertujuan agar hangat yang dihasilkan dapat lebih cepat meresap ke dalam kaki. Proses pembuatan lungsoġ cukup sederhana. Bahan-bahan yang diperlukan dikumpulkan dulu, seperti daun lada, daun serai, daun kunyit, daun laos dan daun jahe merah. Semua daun-daun tersebut dimasukkan dalam panci, ditambah air secukupnya dan direbus hingga mendidih. Setelah mendidih, rebusan tersebut 32
Pengetahuan mengenai Lungsoġ untuk rematik ini menurut peneliti diperoleh setelah pendatang berinteraksi lama dengan masyarakat Desa Padang Bindu. Namun pendatang sering kali tidak digunakan sebagai terapi pada rematik.
156
ditambah dengan sekitar dua sendok kopi bubuk dan diaduk rata. Rebusan dibiarkan mendidih lagi selama beberapa saat. Setelah itu ramuan lungsoġ dapat diangkat dan didinginkan sebentar untuk mengurangi tingkat kepanasan uap lungsoġ. Kemudian di atas panci yang masih panas tersebut diberi alas bambu sebagai tempat pijakan kaki. Kaki yang sakit diletakkan di atas bambu tersebut agar uap dari ramuan lungsoġ dapat menyerap ke dalam kaki. Di sekeliling kaki dan panci ditutupi dengan kain dengan tujuan agar uap panas ramuan lungsoġ tidak menguap dengan sia-sia.
Gambar 4.6 Bahan-bahan Lungsoġ a) Bulung lada, b) Bulung lawos, c) Bulung serai, d) Bulung kunyet Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Tidak semua pengobat tradisional lungsoġ menggunakan dedaunan. Mbay ASH melakukan lungsoġ dengan menggunakan bubuk kopi saja sebagai bahan ramuannya. Bubuk kopi dididihkan dan diuapkan ke kaki, kemudian bubuk kopi tersebut dibalurkan ke kaki sambil dipijat pada bagian yang sakit. Menurut Mbay ASH,
157
penggunaan bubuk kopi ini lebih mudah dan hangatnya lebih mudah diserap. Selain jenis dedaunan diatas, beberapa masyarakat juga menggunakan lungsoġ dengan bahan dasar daun capa. Metode yang digunakan tetap sama yaitu dengan cara menghangatkan kaki dengan uap panas yang dihasilkan dari rebusan daun capa tersebut. Menurut Ajong CM, daun capa dapat digunakan untuk lungsoġ baik dalam kondisi daun segar maupun setelah dikeringkan “Lungsoġ itu termasuklah untuk penghangat kan. Biasanya banyak itu lungsoġ bilang kita kan. Ada namanya capa kan, ada juga dari jahe, jahe merah itu. Jadi dia itu direbus, kalau malam itu digosokkan masih hangat-hangat itu. Ada juga itu kan kayak terapi. Ini kan rebusan itu masih hangat-hangat, ditumpangkan ditutupi kaki ini. Nah itu bisa menghilangkan rematik itu.” Ajong CM.
Gambar 4.7 Daun Capa Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Secara umum rematik bagi masyarakat Etnik Daya di Sumatera Selatan termasuk dalam medis Naturalistik33. Berdasarkan definisi 33
Foter/Anderson, Antropologi Kesehatan.
158
penyebab yang dikemukakan oleh masyarakat bahwa rematik yang terjadi adalah karena terjadinya ketidakseimbangan panas dan dingin pada individu tersebut. Pada konsep medis Naturalistik mengenai ketidakseimbangan panas-dingin, biasanya pengobatan yang dilakukan adalah dengan menyeimbangkan kembali kondisi tersebut34. Salah satu cara menyeimbangkan kondisi panas-dingin tersebut adalah dengan menggunakan ramuan tumbuh-tumbuhan yang sifatnya melawan penyakit tersebut. Ramuan yang digunakan pada lungsoġ rematik merupakan daun-daunan yang dipercaya dapat menghangatkan dan mengeluarkan keringat sehingga dapat mengurangi dingin yang berada di dalam kaki
Gambar 4.8. Mbay SR dan Mbay ASH belungsoġ sepulang dari kebun Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
4.2.5 Rematik dan Lungsoġ Rematik dalam Pandangan Medis Rematik menurut pandangan medis adalah penyakit yang mengakibatkan nyeri atau radang di otot, persendian atau jaringan lain di tubuh. Rematik sebagian besar diakibatkan oleh kelainan 34
Foter/Anderson, Antropologi Kesehatan.
159
autoimun. Terdapat banyak variasi klasifikasi spektrum penyakit rematik. Secara garis besar pembagian penyakit rematik berdasarkan gejala klinis yang tampak adalah osteoartritis (OA), artritis rematoid (RA), lupus dan spondiloartropati. Pembagian ini ditentukan berdasarkan lokasi sendi yang sakit, bentuk kelainan anatomis yang ditemukan, waktu timbulnya gejala dan lamnya keluhan itu timbul. Tingkat keparahan masing-masing penyakit bergradasi dari yang paling ringan, berupa keluhan linu di anggota gerak, sampai yang paling berat yaitu kelumpuhan2. Terapi rematik terbagi menjadi dua, yaitu terapi simptomatis dan terapi kausatif. Terapi simptomatis rematik adalah terapi yang bertujuan untuk mengurangi keluhan dan gejala rematik, biasanya dengan pemberian obat-obatan anti nyeri dan non steroid anti inflammation drugs (NSAID). Sedangkan terapi kausatif rematik bertujuan untuk menghilangkan penyebab rematik, misalnya dengan obat-obatan penekan sistem kekebalan tubuh dan bahkan tindakan operasi2. Penggunaan obat-obatan anti nyeri dan NSAID bukannya tidak mempunyai efek samping. Efek samping akan timbul jika konsumsi obat-obatan tersebut tidak sesuai dengan anjuran dokter. Efek samping yang sering timbul akibat konsumsi yang salah dari obat anti nyeri dan NSAID adalah iritasi lambung (biasa disebut maag) atau gastritis, perforasi lambung, gagal ginjal dan banyak lagi2. Gastritis merupakan salah satu dari sepuluh penyakit terbanyak berdasarkan data dari Puskesmas Buay Runjung. Hal ini juga diperkuat oleh uraian Bidan MP. Menurut Bidan MP penyakit gastritis disebabkan oleh konsumsi kopi dan tidak sarapan pagi. Namun menurut Peneliti salah satu yang menyebabkan tingginya kejadian gastritis di Desa Padang Bindu salah satunya adalah tingginya angka konsumsi obat-obatan pereda nyeri. “Dulu itu banyak penyakit itu dak (gak) ada itu. Darah tinggi itu seingat saya ndak ada, maag itu ndak ada ginjal itu. Sering
160
aku dak (gak) ingat, kalau idak (tidak) sekarang. Selama sepuluh tahun terakhir ini lah” Ajong MJ.
Lungsoġ sebagai salah satu bentuk pengobatan tradisional cenderung memiliki efek samping yang lebih sedikit. Lungsoġ yang digunakan terdiri dari berbagai jenis daun-daunan yang sudah tidak asing lagi. Jenis daun-daunan tersebut dipercaya oleh beberapa etnik memiliki khasiat untuk menghangatkan dan meredakan rasa nyeri, misalnya seperti tanaman serai. Tanaman serai menghasilkan citronella oil yang mengandung senyawa geraniol dan citronella. Minyak tersebut berfungsi menghangatkan badan dan menghilangkan pegal linu pada otot. Selain itu, serai memiliki khasiat untuk menghangatkan badan serta mengeluarkan keringat. Efek farmakologis lainnya dari serai adalah sebagai anti radang dan menghilangkan rasa sakit (analgesik). Penggunaan air rebusan serai dapat meredakan pegal-pegal di tubuh. Menggosok minyak serai atau sereh pada bagian tubuh yang sakit juga diyakini dapat meredakan nyeri sendi35. Tanaman kunyit secara umum mengandung saponin, flavonoida, polifenol dan minyak atsiri pada semua bagian tanamannya. Bagian yang paling sering dimanfaatkankan untuk pengobatan tradisional adalah bagian rimpang kunyit. Untuk pengobatan lungsoġ, bagian tanaman kunyit yang digunakan adalah daun. Tetap saja daun kunyit mengandung bahan-bahan tersebut tetapi dalam kadar yang berbeda dibandingkan bagian tanaman yang lain. Bagian tanaman jahe yang paling sering dimanfaatkan adalah juga bagian rimpang. Dalam terapi lungsoġ, bagian tanaman jahe yang digunakan adalah daunnya. Jahe telah dikenal oleh masyarakat Indonesia untuk menghangatkan tubuh. Rimpang laos sendiri memiliki
35
Wjayakusuma, Hembing dkk. 1993. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia Jilid II. Pustaka Kartini. Jakarta
161
kandungan saponin, flavonoida, polifenol dan minyak atsiri36. Daun laos juga mengandung bahan tersebut meskipun kadarnya berbeda. Demikian halnya dengan lada, tumbuhan lada yang biasanya digunakan adalah bijinya namun secara umum kandungan lada sama dengan dengan kandungan kunyit yaitu saponin dan flavonoida. Buah lada dipercaya dapat digunakan sebagai obat rematik (digunakan sebagai obat luar)37. Beberapa referensi menyebutkan bahwa terapi uap dapat meredakan berbagai nyeri sendi akibat artritis, rematik, kejang otot dan sebagainya. Hal ini dikarenakan uap yang diterima oleh tubuh dapat melebarkan otot dan meningkatkan sirkulasi darah sehingga aliran oksigen dapat sampai ke bagian tubuh yang sakit. Diharapkan dengan lancarnya peredaran dan oksigenasi ke bagian tubuh yang sakit, maka akan mempercepat proses penyembuhan. Pada penggunaan lungsoġ yang menggunakan air rebusan serai, manfaat pengobatan ini dapat lebih optimal karena serai memiliki efek farmakologis sebagai anti radang, analgetik serta melancarkan sirkulasi meridian dan darah38. Lungsoġ untuk rematik sendiri mirip dengan terapi Oukup pada masyarakat Karo yang juga menggunakan terapi penguapan. Teknik penguapan ini sendiri merupakan salah satu cara untuk memperoleh minyak esensial dari tumbuhan dengan cara pemanasan39. Jika dilihat dari tingkat aktivitas fisik masyarakat Desa Padang Bindu yang cukup tinggi, terdapat kaitan antara nyeri sendi dengan kelelahan yang dirasakan oleh kaki. Menurut Jaelani (2009)40, minyak 36
37
38
39 40
Inventaris Tanaman Obat Indonesia I, Dra. Sri Sugiati Syamsuhidayat, Dr. Jhonny Ria Hutapea. Depkes RI 1991. Sastroamidjojo, A Seno Dr,. 2001. Obat Asli Indonesia. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta. Wjayakusuma, Hembing dkk. 1993. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia Jilid II. Pustaka Kartini. Jakarta Jaelani, Aroma Terapi, Pustaka Populer Obor Jakata 2009 Jaelani, Aroma Terapi, Pustaka Populer Obor Jakata 2009
162
esensial yang terkandung dalam rempah-rempah yang digunakan dalam terapi lungsoġ akan memilii butiran molekul yang sangat kecil sehingga dapat diserap oleh tubuh dan dialirkan menuju bagian tubuh yang sakit. Selain itu minyak esensial yang keluar dari rempahrempah, seperti serai dan daun jahe, dapat meredakan kelelahan otot akibat bekerja dan berjalan jauh. Tidak ada penyebab pasti serta cara pencegahan yang pasti pada kasus rematoid. Penderita harus menjaga kesehatannya serta mengurangi beban kerja bagi sendi kakinya. Istirahat yang cukup dan aktivitas yang tidak berlebihan akan membantu mengurangi gejala nyeri sendi. Penanganan yang lebih tepat pada penderita rematik adalah dengan mengurangi gejala yang dirasakan. Namun pemberian obat-obatan yang terus menerus memiliki efek samping. Mengurangi gejala nyeri sendi dengan ‘mengeluarkan penyebab penyakit’ itu sendiri, yaitu udara dingin, telah banyak dilakukan berbagai terapis di dunia41. Penggunaan lungsoġ sebagai pereda nyeri memiliki risiko yang rendah. Hal ini dikarenakan daun-daunan dalam ramuan lungsoġ memiliki kandungan yang dapat meredakan rasa nyeri secara lokal sehingga tidak mengganggu sistem tubuh lainnya. 4.3 Lungsoġ Moġian 4.3.1 Moġian, Penyakit misterius Masyarakat Desa Padang Bindu telah mengenal pengobatan medis modern, namun masih banyak masyarakat yang menggunakan pengobatan tradisional seperti lungsoġ. Lungsoġ tidak hanya digunakan sebagai pereda nyeri sendi. Beberapa masyarakat yang tinggal di Desa Padang Bindu menjelaskan arti yang berbeda tentang lungsoġ saat Peneliti menanyakan mengenai penggunaan lungsoġ. Beberapa warga desa menjawab bahwa lungsoġ hanya digunakan untuk pengobatan penyakit moġian dan tidak dapat digunakan 41
Ed. Simon Mills MA, MNIMH, Pengobatan Alternatif. Dian Rakyat. 1996
163
sebagai obat rematik. Namun masyarakat lainnnya mengatakan bahwa lungsoġ hanya dapat mengobati jaġe tapi tidak dapat mengobati rematik. Definisi baru ini menjadikan istilah lungsoġ semakin menarik untuk dipelajari. Pertama kali Peneliti mendengar istilah moġian saat mengamati proses persalinan Yuk MR yang ditolong oleh Ibu UM. Mbay dari Yuk MR mengingatkan kepada Ibu UM mengenai moġian saat Ibu UM menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan Peneliti melihat proses persalinan Yuk MR. Saat itu Ibu UM hanya mengatakan bahwa moġian adalah penyakit yang sering diderita oleh ibu pasca persalinan. Awalnya, Peneliti tidak melihat hubungan antara moġian dengan lungsoġ. Hingga pada suatu hari saat Peneliti menanyakan pengobatan lungsoġ sebagai terapi rematik pada seorang warga, orang tersebut spontan menjawab bahwa lungsoġ adalah obat untuk moġian, bukan untuk rematik. Ternyata hal ini dibenarkan oleh Mbay SR selaku dukun asli Etnik Daya. Mbay SR mengatakan bahwa ada jenis lungsoġ lain yang dapat digunakan untuk penyakit moġian. Berdasarkan persamaan istilah untuk obat tersebut, Peneliti berusaha mencari titik temu yang menjadikan hal tersebut memiliki kesamaan istilah tersebut. Namun hampir tidak ada yang sama pada jenis penyakit maupun metode penyembuhannya. Moġian adalah jenis penyakit yang hanya bisa dialami oleh ibu pasca persalinan, baik persalinan dengan kondisi bayi hidup maupun mati. Jika ibu yang mengalami persalinan dan bayinya kemudian meninggal, maka disebut dengan moġian tinggal. “Maafnya ya misalnya bayinya ninggal, masih bisa kena kita namaknya itu moġian ketinggalan. Kalo bayinya ninggal, soalnya ditinggalin penyakit gitu maksudnya. Tandanya samak kayak moġian kering. Cumak makanya dibilang ketinggalan karna ditinggalin gitu.” Ibu RTW.
Pada umumnya moġian sendiri terbagi atas 2 jenis yaitu moġian basah dan moġian kering. Ciri-ciri ibu dengan moġian basah
164
adalah fisik ibu menjadi semakin gemuk namun ibu merasa badannya tidak enak. Ibu dengan moġian kering ditandai dengan tubuh ibu yang semakin kurus serta rambut yang semakin rontok sekalipun ibu merasa baik-baik saja serta tidak kehilangan nafsu makan. “Moġian kering kalok bahasa kami ini pacak (bisa) meninggal. Sakit ini badannya ya kecil, makannya kuat, tidurnya kuat. Tapi badannya ini agak kurus kering. Sampai Meninggal.” Bu BDR.
Karena ciri-ciri tersebut, moġian hanya dapat diketahui oleh orang lain karena orang lain yang mengamati ibu paska melahirkan, sementara ibu tersebut merasakan baik-baik saja. Moġian dapat sewaktu-waktu menyerang ibu hingga usia anak ibu tersebut mencapai 5 tahun atau hingga anak tersebut sudah dapat menyelam (mandi di sungai sendiri). Terdapat ciri lain penderita moġian yang diungkapkan oleh Mbay D, yaitu adanya kelainan pada mata penderita moġian. Menurut Mbay D, bagian putih mata penderita moġian berwarna kuning dan dapat menyebabkan rabun. Penderita moġian juga akan merasakan dingin, namun jika tubuhnya dipegang terasa panas. “Sakit kepala, matanya itu kuning juga. Masih idak bersih darah putihnya itu. Naik lagi ke kepala, kemata. Perasaan itu lah ingin selalu kalo darah putihnya belum bersih. Janganjangan kena rabun itu mata itu kurang penglihatan kalau darah putihnya dak bersih. Perasaan itu lah yang dingin. Takut ma mandi. Sungkan dia itu mau mandi tapi kalau diinikan (dipegang) panas.” Mbay D
Masyarakat Desa Padang Bindu menilai moġian sebagai salah satu penyakit yang berbahaya sebab jika tidak segera disembuhkan moġian dapat menyebabkan seorang ibu meninggal. “Jangan-jangan kena moġian kering tu bawak nafas ibu kayak itu, matek” Mbay D.
165
Permasalahan tidak berhenti sampai saat itu saja. Jika ibunya menderita moġian, anak yang dilahirkan tidak terurus. 4.3.2 Penyebab Moġian Untuk melakukan suatu pencegahan penyakit, penyebab penyakit tersebut harus lebih dulu diketahui. Beberapa masyarakat yang Peneliti jumpai tidak mengetahui secara pasti mengenai penyebab moġian tersebut sehingga cukup sulit untuk mengidentifikasi jenis penyakit moġian. Beberapa masyarakat mengatakan bahwa moġian disebabkan oleh darah yang membeku yang tidak dikeluarkan paska melahirkan. Darah membeku tersebut disebabkan karena ibu paska melahirkan tidak menjalani terapi ‘urut’. Ada pula masyarakat yang mengatakan bahwa moġian disebabkan karena ibu paska melahirkan kurang istirahat dan langsung mengerjakan hal-hal yang berat. Hal ini dibenarkan oleh beberapa masyarakat yang mengatakan bahwa pasca melahirkan, kalau badannya terasa kuat dapat langsung bekerja. Kebiasaan untuk ibu paska melahirkan yang berkembang di masyarakat Etnik Daya adalah meskipun ada pantangan bagi ibu paska melahirkan untuk keluar rumah namun biasanya ibu paska persalinan akan beraktifitas seperti biasa dan mengerjakan hal-hal berat. Hal ini dikarenakan si ibu telah terbiasa beraktifitas serta merasa tubuhnya sehat dan baik-baik saja. Jika si ibu tersebut merasa tubuhnya tidak sehat, maka dia diharuskan beristirahat di rumah saja. Menurut Mbay D, salah satu dukun bayi di Desa Padang Bindu menyatakan bahwa penyebab moġian dikarenakan adanya darah putih yang naik ke kepala ibu pasca melahirkan. “Disebut moġian itu kan darah putihnya orang baru melahirkan itu kuat cekak di kepala ini. Sering sering galak sakit kepala itu. Itulah jagalah supaya idak kena itu.” Mbay D
166
Salah satu warga yang pernah mengalami moġian adalah ibu RTW. Pengalaman moġian pernah dialami oleh ibu RTW sebanyak 2 kali yaitu pada pasca persalinan anak pertama dan anak ke dua. Moġian pertama diketahuinya setelah anak pertamanya berusia sekitar satu tahun. Ibu RTW tidak merasakan keluhan apapun. Pusing yang dirasakannya sering dianggap hanya pusing biasa. Namun akhirnya salah satu tetangga ibu RTW menanyakan kepada ibu RTW apakah ia menderita moġian karena menurut tetangga tersebut Ibu RTW menjadi semakin kering (kurus). Setelah itu barulah Ibu RTW berinisiatif mencari pengobatan dengan berbagai cara. Menurut Ibu RTW obat yang digunakan untuk moġian itu bermacam-macam. Berdasarkan penuturan Ibu RTW, moġian tidak tentu obatnya. Pada beberapa ibu yang terkena moġian, penggunaan lungsoġ milik orang tertentu bisa jadi cocok sehingga moġian yang dideritanya sembuh, jika penderita moġian tidak cocok dengan satu jenis Lungsog dapat mencoba lungsoġ milik orang lain. Namun tidak semua ibu yang menderita moġian bisa sembuh dengan pengobatan lungsoġ moġian. Ibu RTW sendiri mengaku sembuh dari moġian setelah mencoba berbagai jenis lungsoġ moġian dan terapi urut. Hingga akhirnya, moġian yang dideritanya sembuh setelah memakan Kabing Ǵisi42. “Tauknya kenak moġian kan kita ini nggak ngerasa soalnya perasaan kita ini sehat ya. Makan enak, tidur enak, kan perasaan sehat. Tapi orng lain yang lihat kita. Kau ini kok kurus betul. Kalau kamu ini kena moġian. Gak tau, bilang ku. Coba kamu ini, berobat dulu ke mbay itu. Periksa ke dukun. Tauknya bener kenak moġian gitu. Langsung kita mintak diobatin. Nantik dia bilang, kamu ini cobak kamu suruh lakik kamu atau kakek kamu ambil dulu kabing gisi, atau ya 42
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa Kabing Gisi adalah sejenis rebung yang berasal dari pohon salak. Namun menurut penuturan ibu RTW Kabing Gisi yang dimakannya mirip dengan pohon aren. “Gisi itu batangnya kayak batag aren tapi kecil daunnya juga kayak daun aren buahnya kayak buah aren tapi kecil.” Ujar ibu RTW
167
misalnya kalau cocok cobak aku pakai lungsoġ dulu. Diperiksa perutnya (kayak diurut).” Jelas Ibu RTW
Meskipun saat ini jumlah kematian ibu paska persalinan yang diakibatkan oleh moġian sedikit, namun masih terdapat beberapa masyarakat yang menderita moġian. Hari-hari terakhir Peneliti berada di lokasi Desa Padang Bindu, lungsoġ moġian milik salah satu pengobat tradisional di Desa Padang Bindu dipinjam oleh salah satu mbay karena akan digunakan untuk mengobati saudaranya yang terkena moġian di desa tetangga. Belum ditemukan padanan penyakit moġian dalam istilah kedokteran medis. Gejala dan keluhan dari beberapa ibu yang dikatakan menderita moġian sangat banyak dan tidak spesifik. Moġian lebih mengarah ke sekumpulan gejala, atau yang biasa dikenal dengan istilah sindroma, yang tidak spesifik yang dialami oleh ibu setelah melahirkan. Dari sudut pandang medis, penampakan ibu paska melahirkan dengan moġian mengarah ke keadaan kurang gizi atau kakeksia yang mungkin disebabkan karena asupan makanan ibu yang tidak adekuat. Asupan makanan ibu paska melahirkan dan menyusui haruslah lebih banyak porsinya dan mengandung zat gizi yang cukup untuk kebutuhan ibu dan bayi. Hal ini masih belum bisa diterangkan secara detil oleh Peneliti karena keterbatasan waktu dan sarana. 4.3.3 Moġian dalam Pandangan Medis Peneliti belum dapat menemukan padanan penyakit yang tepat untuk moġian berdasarkan gejala yang diungkapkan oleh masyarakat mengenai moġian,. Moġian tidak dapat dimasukkan dalam kategori permasalahan kesehatan ibu karena beberapa kejadian moġian terjadi saat masa persalinan telah berlalu hampir satu tahun hingga lima tahun. Bagian dari penyakit moġian yang termasuk dalam permasalahan kesehatan ibu hanya mencakup permasalahan yang terjadi akibat proses kehamilan hingga berakhirnya masa nifas. Meskipun demikian, menurut masyarakat
168
penyakit moġian termasuk dalam pernyakit ibu paska melahirkan karena penyakit ini disebabkan oleh proses kehamilan meskipun dampak yang terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama. Saat ini penyakit moġian tidak banyak ditemui. Masyarakat mulai melakukan tindakan pencegahan supaya penyakit moġian tidak sampai terjadi. Tindakan masyarakat untuk mencegah terjadinya penyakit moġian dengan mandi menggunakan air rebusan lungsoġ moġian. Namun perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai penyakit moġian. 4.3.4 Lungsoġ Moġian yang Diturunkan Komposisi penyusun lungsoġ moġian terdiri dari beberapa bagian tumbuhan yang dikeringkan. Tumbuhan yang digunakan untuk lungsoġ moġian cenderung sulit ditemukan sehingga biasanya lungsoġ moġian diwariskan turun temurun dari orang tua, terutama ibu. Keluarga yang tidak memiliki warisan lungsoġ moġian dapat meminjam lungsoġ moġian pada keluarga yang memilikinya. Mbay SR adalah dukun di Desa Padang Bindu memiliki ramuan lungsoġ moġian. Ramuan lungsoġ moġian milik Mbay SR terdiri dari batang tumbuh-tumbuhan yang sudah mongering. Lungsoġ moġian milik Mbay SR terdiri dari kulak, yaitu jamur yang berdiameter sejengkal tangan dan telah mengeras; batang jeruk kerokan, yaitu batang dari pohon jeruk yang buahnya kecil serta batangnya memiliki duri; kayu singgah di batang bambu, yaitu tumbuhan seperti benalu yang memiliki batang seperti kayu dan menempel di batang bamboo; kayu singgah di batang kopi serta kayu cambay (batang sirih). Kayu singgah yang dimaksud disini merupakan tumbuhan yang menempel seperti benalu namun memiliki batang kayu dan berdaun seperti daun lada tetapi lebih kecil. Menurut Mbay SR, ramuan lungsoġ moġian ini tidak dapat dimiliki semua orang karena bahan-bahannya yang sulit diperoleh. Salah satu tumbuhan yang sulit diperoleh adalah kayu singgah di batang bambu.
169
Lungsoġ moġian yang dimiliki oleh Ibu ASW berbeda dengan yang dimiliki oleh Mbay SR. Ibu ASW bukan penduduk asli Desa Padang Bindu. Ibu ASW berasal dari Desa Madura namun telah tinggal di Desa Padang Bindu selama sekitar tiga belas tahun karena mengikuti suaminya yang merupakan seorang Raden di Desa Padang Bindu. Ibu ASW memiliki penjelasan yang sedikit berbeda mengenai moġian. Menurut ibu ASW, moġian terdiri dari 44 jenis. Pada saat Peneliti bertanya pada Ibu ASW, hanya beberapa jenis yang diingat oleh ibu ASW antara lain moġian kering, moġian tawa dan moġian gila. Karena jenisnya yang terdiri dari 44 macam, maka lungsoġ moġian yang terdiri dari ‘bait seribu macam’, yang artinya yaitu berbagai tumbuhan berduri.
Gambar 4.9 Bahan lungsoġ a) Kulak ; b) Kayu singgah di batang kopi ; c) Batang jeruk kerokan; d) Kayu singgah di batang bambu; d) Kayu cambay Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
170
Gambar 4.10 Lungsoġ moġian milik Ibu Asr Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Selain Mbay SR dan Ibu ASW, Yuk Erpi juga memiliki lungsoġ moġian. Berdasarkan penjelasan Yuk Erpi, lungsoġ moġian yang dimilikinya didapatkan dari ibunya sejak Yuk Erpi menikah. Lungsoġ moġian milik Yuk Erpi sering dipinjam oleh warga lainnya. Lungsoġ moġian milik Yuk Erpi terdiri dari sebuah bungkusan kain putih dan beberapa ranting kayu yang diikat diluarnya. Menurut penuturan beberapa warga, lungsoġ moġian milik Yuk Erpi terdiri dari beberapa jenis tulang yang telah dikeringkan. Secara kasat mata, jenis ranting yang diikat pada bagian luar bungkusan kain mirip dengan ranting kayu singgah pada lungsoġ moġian milik Mbay SR. Yuk Erpi sendiri tidak mengetahui apa saja bahan-bahan lungsoġ moġian tersebut.
171
Gambar 4.11 Lungsoġ moġian milik Yuk EP Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2015
Terdapat beberapa jenis lungsoġ moġian, namun tujuan penggunaan lungsoġ moġian tersebut sama. Lungsoġ moġian digunakan untuk mengobati penyakit moġian pada ibu paska persalinan. Lungsoġ moġian tersebut akan direbus terlebih dahulu pada sore hari, kemudian didinginkan semalam. Keesokan harinya air rebusan lungsoġ moġian yang sudah dingin diminum sedikit (beberapa teguk) oleh penderita moġian, kemudian selebihnya digunakan untuk mandi. Pengobatan moġian dengan menggunakan lungsoġ jenis ini dilakukan hingga moġian dinilai sembuh. Pengobatan ini juga diiringi dengan urut oleh dukun untuk menghancurkan darah yang membeku di dalam perut yang menyebabkan moġian. Jika pengobatan dengan menggunakan salah satu jenis lungsog moġian tidak kunjung membaik, maka akan dicari lungsoġ moġian jenis lain atau pengobatan lain.
172
Beberapa masyarakat percaya bahwa moġian tidak dapat disembuhkan oleh bidan atau dokter. Jika ibu yang menderita moġian mencoba mencari upaya pengobatan ke tenaga kesehatan, moġian akan semakin parah. Menurut Ibu BDR, salah satu penyebab moġian adalah darah beku dikarenakan obat-obatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Secara umum perbedaan antara lungsoġ moġian dan lungsoġ rematik dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4.1 Perbandingan antara Lungsoġ Moġian dan Lungsoġ Rematik Pembeda Penyebab
Lungsoġ Rematik Udara dingin dan lembab yang masuk ke dalam kaki
Penderita
Penderita yang mengeluh rematik
Tujuan pengobatan Rempah yang digunakan
Kuratif
Bahan rempah yang digunakan Metode pengobatan
Daun-daunan dan bubuk kopi Rempah direbus kemudian selagi hangat diuapkan di kaki (dibetangaskan)
Daun serai, daun laos, daun lada, daun kunyit
Lungsoġ Moġian - Sebagian tidak diketahui penyebabnya. - Beberapa menyebutkan bahwa penyebabnya darah paska persalinan yang membeku di dalam perut Ibu paska persalinan baik lahir hidup atau lahir mati. Preventif dan kuratif Kayu singgah di batang kopi, kayu singgah di batang bambu, kayu jeruk kerokan, kayu cambay, sejenis jamur kering, ‘bait seribu macam dll. Jamur dan ranting kayu yang sudah dikeringkan Rempah direbus, kemudian didinginkan semalam, keesokan paginya diminum sedikit dan dipakai untuk mandi.
173
BAB 5 POTENSI DAN TANTANGAN 5.1.
Sakai
“Itu arisan, tapi idak setiap hari. Ada hari-harinya. Dua hari dalam satu minggu”. Begitu penjelasan para ibu-ibu maupun mbaymbay mengenai sakai. Budaya sakai dipakai para perempuan Daya. Budaya sakai pada Etnik Daya Desa Padang Bindu menjadi sebuah potensi sekaligus tantangan. Budaya sakai adalah suatu kebiasaan masyarakat melakukan arisan kerja dimana anggotanya harus datang pagi-pagi sekali ke kebun milik anggota sakai lainnya untuk menolong pekerjaannya. Kegiatan sakai ini dilakukan dua hari dalam satu minggu sehingga pada hari lainnya mereka dapat mengerjakan lahan miliknya sendiri. Sakai menggunakan sistem kerja yang dihitung berdasarkan jam kerja setiap harinya. Letak kebun yang berbeda dan berjauhan seringkali memaksa masyarakat untuk berjalan jauh ke kebun sebelum pukul setengah delapan pagi. Dalam peningkatan kesehatan, organisasi kemasyarakatan seperti sakai sangat berpotensi untuk memberdayakan masyarakat. Anggota kelompok kecil ini biasanya merupakan teman dekat sehingga untuk memberikan intervensi dan pendidikan kesehatan dapat lebih efektif jika bisa mendekati beberapa kelompok sakai. Selain itu budaya arisan dapat diterapkan pada pemberdayaan masyarakat oleh tenaga kesehatan seperti upaya perbaikan gizi balita atau pembangunan sarana MCK bersama. Anggota kelompok sakai ini adalah perempuan, terutama ibuibu yang sudah menikah dan mempunyai anak. Perempuanperempuan anggota sakai adalah teman dekat sehingga hubungan antar anggota sakai cukup dekat. Diharapkan dengan kedekatan antar anggota sakai bisa menjadi modal untuk mempermudah kerjasama
174
dan masuknya pesan-pesan di bidang kesehatan dari tenaga kesehatan. 5.2. Talang-talang Kondisi geografis di Kecamatan Buay Runjung menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi UPTD Puskesmas Buay Runjung. Hal ini berkaitan dengan mata pencaharian sebagian besar masyarakat yaitu petani, baik petani kopi maupun petani lainnya. Luasnya lahan yang digunakan untuk lahan pertanian menyebabkan jarak yang cukup jauh antara lahan pertanian dengan rumah penduduk di desa. Selain itu, beberapa masyarakat yang belum dapat membangun rumah di lingkungan desa akan tinggal di sapo yang dekat dengan kebun milik mereka. Pada masa panen sebagian warga juga menjaga kebunnya dengan tinggal di sapo juga. Talangan merupakan ‘desa-desa’ kecil di sekitar lahan perkebunan milik masyarakat. Seringkali jarak ke talangan cukup jauh dari desa dengan kondisi jalan yang tidak mulus. Hal ini menyulitkan masyarakat yang tinggal di sapo untuk mengakses pelayanan kesehatan baik polindes mupun puskesmas. Seluruh bidan yang berada di Desa Padang Bindu bertempat tinggal di desa, sehingga belum terdapat bidan yang bisa melakukan pelayanan pengobatan di talangan. Hal ini tidak aneh, melihat masyarakat yang tinggal di kebun atau talangan merupakan pendatang maupun keluargakeluarga muda yang belum memiliki kemampuan ekonomi yang baik. Penyediaan pos kesehatan di dekat talangan akan menjadi salah satu solusi yang baik. Hal ini mengingat pandangan masyarakat sudah cukup terbuka pada pengobatan medis. Cukup banyak warga desa yang tinggal di talangan, baik untuk sementara maupun permanen. Sebaiknya ada seorang bidan yang tinggal di os kesehatan di sekitar talangan di tempati oleh seorang bidan sehingga jika masyarakat yang tinggal di talangan sedang sakit atau akan melahirkan akan segera mendapat pertolongan. Meskipun proses persalinan masih lebih sering dilakukan di rumah dan ditolong oleh
175
mbay, keberadaan pos kesehatan akan meningkatkan kecenderungan persalinan dengan penolong tenaga kesehatan. Selain menyediakan pos kesehatan di dekat talangan, membangun kemitraan tenaga kesehatan tradisional, seperti dukun atau mbay, dalam hal menolong persalinan merupakan salah satu peluang besar. 5.3. Rematik dan Lungsoġ Mata pencarian utama penduduk adalah petani kopi. Kebun kopi milik masyarakat hanya dapat dipanen satu tahun sekali. Masyarakat sering mengalami masa paceklik pada bulan September hingga Desember. Masyarakat petani perlu mengenal tentang manajemen keuangan untuk mengantisipasi masa paceklik. Mata pencarian sebagai petani kopi menjadi penyebab utama nyeri sendi masyarakat Desa Padang Bindu. Hubungan antara mata pencarian dengan penyakit rematik saling mempengaruhi. Jika bekerja setiap hari dengan beban kaki yang cukup berat, maka risiko kambuhnya nyeri sendi akan meningkat. Semakin sering terjadi nyeri sendi, produktivitas kerja akan menurun dan kebun kopi tidak terurus yang nantinya berakibat hasil panen akan menurun. Rematik merupakan penyakit yang salah satu penyebabnya bisa karena kegagalan sistem imun dalam mengidentifikasi self dan non-self sehingga sistem imun berbalik menyerang tubuh sendiri. Penelusuran riwayat penyakit dalam silsilah keluarga perlu dilakukan untuk memastikan adanya kegagalan sistem imun. Penyebab lain rematik antara lain adalah karena aktivitas fisik yang berlebihan sehingga membebani sendi, cuaca dingin dan sebagainya. Istilah lungsoġ untuk pengobatan nyeri sendi itu sendiri merupakan istilah asli Etnik Daya dan telah lama diketahui oleh masyarakat setempat. Hal ini berbeda dengan istilah rematik dan asam urat yang baru dikenal oleh masyarakat sejak kedatangan bidan di desa tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa pengobatan dengan terapi lungsoġ telah dikenal oleh masyarakat sejak dulu untuk mengobati penyakit sejenis nyeri sendi.
176
5.4 Kalangan dan Penjual Obat Kalangan menjadi sarana pemenuhan kebutuhan di Desa Padang Bindu. Tak hanya sebagai tempat berjual beli, kalangan juga menjadi sarana hiburan masyarakat. Sudah sejak lama keberadaan kalangan menjadi tempat untuk bertukar informasi dan berkumpul43. Kalangan menjadi tempat pertemuan bagi warga yang tinggal di desa dan yang tinggal di sapo atau talang-talang. Keberadaan kalangan menjadi suatu potensi yang dapat digunakan untuk menghadapi kondisi penyebaran penduduk yang tidak merata. Beberapa bidan telah memanfaatkan kondisi ini untuk membuka praktek dan melaksanakan posyandu. Selain itu, kalangan dapat difungsikan lebih maksimal lagi untuk melakukan pemeriksaan ibu hamil. Selain itu penyampaian informasi kesehatan akan efektif dilakukan pada hari kalangan. Manfaat lainnya yang bisa diambil adalah pelaksanaan pertemuan dengan masyarakat dapat dilakukan pada hari kalangan. Sistem kekerabatan yang dikenal dengan pembagian kampong adat membagi Desa Padang Bindu menjadi beberapa kampong. Hal ini dapat dimanfaatkan dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat. Kekerabatan yang kuat ini dipimpin oleh seorang kepala adat yang disebut Raden. Pendekatan advokasi dapat dilakukan melalui para raden dan kepala desa. Beberapa tokoh masyarakat serta raden pada hari-hari biasa biasanya sibuk dan tinggal di sapo. Mereka hanya kembali ke desa pada hari kalangan. Program kemitraan dengan dukun juga dapat dibantu dengan adanya kalangan. Dukun-dukun yang biasanya pergi ke kebun jika tidak sedang menolong persalinan, akan berada di rumah pada hari kalangan. Puskesmas dapat memanfaatkan hal ini untuk melakukan
43
Makmoen, Abdullah dk. 1986. Sistem Ekonomi Tradisional Daerah Sumater Selatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta
177
pendekatan atau pembinaan pada dukun. Salah satu contohnya adalah mengadakan pertemuan rutin antara dukun dan tenaga kesehatan untuk melakukan program pembinaan terhadap dukun. Keberadaan kalangan diawali karena keterbatasan sarana pasar dalam arti sebenarnya pada tingkatan desa. Kebutuhan akan tempat jual beli serta pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang dekat dengan masyarakat menyebabkan keberadaan kalangan sangat dibutuhkan. Dengan adanya kalangan, kebutuhan sandang-pangan serta kebutuhan berkebun dapat diperoleh. Tak hanya itu, kebutuhan kesehatan juga dapat diperoleh di kalangan. Keberadaan penjual obat-obatan di kalangan tidak dapat dipungkiri pengaruhnya. Seperti penjual lainnya, penjual obat di kalangan menyediakan obat-obat bebas yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tak hanya menjual obat, jamu juga disediakan di lapak penjual obat. Dengan adanya penjual obat di kalangan, masyarakat dapat dengan mudah membeli obat-obatan di kalangan. Hal ini menyebabkan masyarakat dapat mengkonsumsi obat tanpa batas pemakaian wajar dan tentunya dapat menimbulkan efek samping. Penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit rematik, sehingga penjual obat sudah menjual memberikan obat rematik tanpa memberikan penjelasan dan dosis yang benar. Obat-obatan pereda nyeri selalu diberikan pada pembeli apabila meminta obat untuk rematik tanpa menghiraukan efek samping yang bisa timbul akibat pemakaian yang tidak sesuai petunjuk tenaga kesehatan. Pemberian obat tanpa pengawasan tenaga kesehatan akan menimbulkan efek samping sehingga hal ini perlu ditanggulangi dengan segera. Sulit untuk melarang para penjual tersebut menjual obat-obatan bebas karena penjual obat sudah merupakan bagian dari kalangan. Tindakan pengawasan terhadap penjual obat juga cenderung sulit untuk dilakukan karena terdapat tiga orang penjual obat di kalangan.
178
Keberadaan polindes menjadi salah satu solusi. Mengaktifkan polindes sebagai salah satu pusat pelayanan kesehatan desa akan mengurangi kemungkinan masyarakat untuk memperoleh obat obatan tanpa pengawasan tenaga kesehatan. Selain itu jaminan kesehatan sosial semesta yang ada di Sumatera Selatan akan meningkatkan pemilihan polindes sebagai tempat memperoleh pelayanan kesehatan, sebab dengan adanya jaminan kesehatan tersebut masyarakat akan memperoleh pengobatan gratis.
179
Daftar Pustaka Anderson, Foster. (1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Universitas. Indonesia.. Balitbangkes Kemenkes RI. 2014. Indeks Pembangunan Kesehatan RI 2013. Balitbangkes RI BPS Kabupaten OKU Selatan. 2012. OKU Selatan Dalam Angka. OKU Selatan Dinas Kesehatan OKU Selatan. 2014. Profil Dinkes OKU Selatan tahun 2014. Sumatera Selatan Dirjen Kebudayaan. 1990. Perubahan Pola Kehidupan Masyarakat Akibat Pertumbuhan Industry di Daerah Sumatera Selatan.. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya 1989/1990 Depdikbud Dirjen Kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional . 1997. Perubahan Lingkungan di Daerah Transmigrasi di Sumatera Selatan. Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Kebudayaan Masa Kini. Jakarta 1996-1997. Depdikbud Ed. Simon Mills MA, MNIMH. 1996. Pengobatan Alternatif. Dian Rakyat. http://okes.co.id/?p=341 diakses pada tanggal 21 Juni 2015 pukul 13.59 Inventaris Tanaman Obat Indonesia I, Dra. Sri Sugiati Syamsuhidayat, Dr. Jhonny Ria Hutapea. Depkes RI 1991. Jaelani. 2009. Aroma Terapi. Pustaka Populer Obor Jakata Joewono Soeroso dan Yuliasih. Artritis Reumatoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Airlangga. 2007. Airlangga University Press. Kontjaraningrat, 2010. Sejarah Teori Antropologi I, Penerbit Universitas Indosia (UI-Press): Jakarta
180
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek IDKD . 1981. Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sumatera Selatan. Depdikbud 1980/1981 Sastroamidjojo, A Seno Dr,. 2001. Obat Asli Indonesia. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta. Spradley. James. P, 2006. Metode Etnografi. Diterjemahkan dari The Ethnographic Interview. Penerbit: Tiara Wacana: Yogyakarta Wjayakusuma, Hembing dkk. 1993. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia Jilid II. Pustaka Kartini. Jakarta
181
Indeks
182
F A adat · 15, 16, 17, 23, 24, 25, 41, 43, 45, 69, 70, 73, 105, 106, 108, 109, 111, 112, 113, 126, 134 Adok · 106, 108, 109, 114 arisan · 100, 254 ASI · 141, 143
B Bahasa · 118 Balita · 141, 143, 145, 148, 150 bidan · 19, 83, 116, 127, 129, 130, 131, 132, 133, 135, 136, 137, 139, 140, 155, 162, 166, 169, 171, 172, 175, 178 buang air besar · 66, 120, 124 Buay Runjung · 15, 23, 27, 35, 50, 129, 133, 135, 136, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 162, 163, 164, 165, 167, 169
C Cik Raden · 42, 47, 48, 106 cikungunya · 155, 156
D dukun · 56, 95, 128, 129, 130, 131, 133, 135, 136, 137, 139, 145, 146, 157, 172, 173, 174, 175, 177, 179
E Etnis Daya · 15, 23, 101
183
fasilitas kesehatan · 16, 22, 165
G Ġadja Penanggungan · 40, 43 gelar · 106, 107, 108
H hipertensi · 19, 157, 159
K kabing salak · 139 kalangan · 50, 54, 55, 85, 93, 97, 98, 99, 116, 125, 128, 150, 151, 166, 168, 169, 170, 171, 172, 178 Kalangan · 19, 54, 152, 167, 170 kehamilan · 69, 70, 130, 134, 163 Kepercayaan · 66, 74, 76, 137 Kepuyangan kepuhyangan · 35 kopi · 17, 18, 19, 52, 53, 61, 80, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 102, 103, 104, 111, 137, 158, 159 Kriyo · 46 kurang gizi · 149
L Lungsoġ · 19, 20, 118 lungsoġ moġian · 181, 182, 209, 210, 211, 212, 214, 215, 217, 218, 219, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252
M mandi · 20, 36, 50, 60, 66, 71, 73, 116, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 145, 156, 167 Mangkubumi · 41, 42, 43 mata pencaharian · 17, 21, 83, 85 Merokok · 149, 150 minuman keras · 153 mising · 120, 125 moġian · 121, 182, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 214, 215, 218, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 250, 251, 252 Muara Dua · 14, 22, 29, 30, 32, 34, 56, 160, 165, 166
N njami · 70, 121, 143, 144, 146, 147, 148, 174, 176 nyeri sendi · 19
O obat anti rematik · 257 Ogan Komering Ulu Selatan · xii, 14, 15, 21, 22, 24, 29, 32, 33, 34, 119 OKU Selatan · 14, 15, 22, 26, 29, 31, 32, 33, 34, 49, 86, 117, 119, 127, 149, 153, 155, 158, 163, 165, 166
P Pamsismas · 49 Patih Mapak · 37, 39, 40, 41 Penyakit · 19, 21, 70, 121, 153, 154, 156, 157, 158, 176 penyakit kulit · 156 Penyakit menular · 21
184
perilaku · 15, 16, 17, 21, 24, 25, 116, 125, 130, 135 pernikahan · 17, 45, 55, 73, 103, 106, 108, 109, 111, 112, 113, 114, 117, 127, 130, 152 perpipaan · 120, 125 persalinan · 20, 127, 130, 131, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 141, 143, 165, 171, 174, 175 petulong · 73 petunggu · 70, 72, 121, 144, 145, 146, 148, 149 pondok · 18, 94, 97, 126 Puhyang Puyang · 35, 37, 40, 41, 43, 70 pupuan · 49 Puskesmas · xii, 19, 23, 55, 56, 129, 133, 135, 136, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 162, 163, 164, 165, 201, 238, 255, 258
R Raden · 47, 48, 106, 107, 108, 113 Remathoid · 158 rematik · 19, 20, 157, 174 Ribang · 116, 117 Riya Dendam · 35, 36, 37 Ruwahan · 74, 75
S Sakai · 99, 100, 101, 102 sapo · 86, 93, 94, 95, 96, 98, 133, 134, 137, 155, 168, 175, 179, 180 Sedekahan · 69, 70, 71, 73, 74, 177 sehat · 15, 16, 18, 21, 115, 116, 120, 133, 137, 141, 146, 156, 178 Semingkap · 43, 44, 53, 54, 58, 60, 120, 124 Stroke · 159 suku · 15, 16, 17, 21, 23, 27, 31, 37, 43, 55, 61, 118
Sunor sunur · 35
T talang · 95, 133, 134, 154, 155, 165, 179 tali pusar · 131, 132, 137 TB · 19, 154 tenaga kesehatan · 16, 22, 55, 130, 135, 138, 148, 155, 157, 162, 172 Tiu Taha · 44
U uap · 19, 20 Upungan · 80, 81, 82
185
Glosarium Ajong Abang Anak kampuk At pandai Ali bangbang Ayuk Bahan Bangik Banguh Basoh Baybay taha Begawe Beguġau Belajaġ Besi Bilah Bintuk Bloor Buluh Bungkang Buwok Cambay Cik ricik Cing cing pay Cirik Cukut Culuk
186
Sebutan Nenek, bila yang memanggil laki – laki. Sebutan Kakek, bila yang memanggil perempuan. Merah Anak bayi Tidak tahu Anak ayam Kakak Perempuan Rumah Senang Mulut Basah Ibu tua Kerja Bercanda Belajar Pisau Setelah bambu di belah jadi dua Pilek Senter Bambu Perut Rambut Sirih Hujan agak besar Bawa dulu Ceret Kaki Tangan
Cuping Di dipa
Telinga Kemana
Di japai Dipa Dugan Gadu Gahru Gak gak Galak mising Gegoġ Ġehang ġenang Gelaġ Gelumpai Gibor-gibor
Sini dulu Mana Kelapa muda Sudah Alat untuk mengaduk nasi Bebek Mencret Geluduk Bagus Nama Atap dari bambu Makanan khas Orang Daya yang bahannya dari Ikan patin dengan kuah tempoyak Dahak Tempat untuk memasak nasi Untuk apa Untuk apa Lauk ayam Keruh Dua Hitam Hampelot Bagus Aren Bagusnya gigimu Tahi lalat Kami Kami dari daya Batuk Kepala Tidak
Ġak Gringsing Gua pi Guay gapi Gulai sisui Ġuruk Ġuwah Halom Hapoy Helau Hanau Helau nipon mu Hidong Hikam Hikam jak daya Hiyok Hulu Idak
187
Igung Ijan Ilir Ipon Iwa Jahat Jak Jak dipa Jalma Jalma daya Jalma lawangan Jeramban Jerangau
Jelajah Jerih Jo ipa cagane Kampuk Kantik Kantikku Kanyap Karaw Kebayan Kedok Kelabay Kelom Kilap Kok kudo uni Kudo uni Kung Lagak lagak
188
Hidung Tangga Hilir Gigi Ikan Jelek Sudah Darimana Orang Orang daya Orang gila Jembatan Tumbuhan yang di bentuk sebagai gelang Atau kalung yang di pakai oleh bayi dan Anak – anak untuk melindungi dari Gangguan roh halus Ayam Jantan masih kecil Sedih Bagaimana caranya Bayi Teman Temanku Tidur Garpu Mempelai Hujan deras Ayam betina Gelap Petir Sudah berapa lama Berapa lama Belum Ganteng2 atau cantik2
Lalak Lalang Lambung Landai Lang baling Langok Langui Lani Lani gawoh Lani kabaġmu Lijung Limuli Mag Maho Maring tegak Mengan Menghili Meranai Muli Muli Kemġanjak Nasak Nasak nggulai Ngajong Ngapi Ngapi niku Ngawil Nginum Nginum pai Ngisom Ngiwi Ngraga Niku Niku haġak
Pedas Tertawa Atas Parang Entok laki – laki Kering Mandi Apa Apa saja Apa kabarmu Pergi Ayam betina masih kecil Lidah Haus Sakit parah Makan Mengalir Bujang Gadis Remaja Perempuan Masak Masak sayur Menikah Kenapa Kenapa kamu Memancing Minum Minum dulu Dingin Kelapa Jari Kamu Kamu mau
189
Niku halom Kamu hitam Niku handak Kamu putih Niku inguan Kamu ingusan Niku kamak Kamu kotor Niwang Nangis Nyanglai kawah Menggoreng kopi Nyarenyai Gerimis Pagri Padi Pan Panci Pengerit Alat untuk mengatur kopi Penyungkan Malas Panas kena apoy Panas kena api Pira Berapa Punti Pisang Qag ngobrol Pingin ngobrol Sab Keranjang Sabah Sawah Sabungan Ayam jago Sakik bungkang Sakit perut Sanak Anak kecil yang berumur 1 tahun ke atas Sanak renik Anak kecil Sapa Siapa Sapo Pondok Say Satu Serati Bebek kecil Siring Sungai Sisui Ayam Sudu Sendok Tanggui Kuku Teġai Hujan Telu Tiga Tiung Terong Ulu Unggak/ hulu
190
Usung pay Wawa Way Way yos
Bawa dulu Terang Air Air putih
191
UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur Alhamdulillah, Peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan perlindungan-Nya sehingga Peneliti dapat menyelesaikan riset etnografi kesehatan. Kami menyadari tidak akan dapat berbuat banyak tanpa bantuan, dukungan, dan masukan dari berbagai pihak mulai dari proposal penelitian sampai dengan penyelesaian penyusunan naskah buku ini. Untuk itu, kami sampaikan secara tulus ucapan terima kasih dan penghargaan kepada yang terhormat : 1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI beserta jajarannya. 2. Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk melaksanakan penelitian sampai penyusunan naskah buku ini. 3. Penanggung jawab, Ketua Pelaksana, beserta Tim Teknis. 4. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Selatan, beserta jajarannya 5. Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Bapak Arson Abadi selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Komering Ulu Selatan beserta jajarannya, Kepala Badan Kesbangpol Komering Ulu Selatan yang telah mengizikan kami untuk melakukan kegiatan penelitian di Kabupaten Komering Ulu Selatan. 6. Kepala Puskesmas Ibu Ummu Manazilawati beserta staf puskesmas yang telah banyak membantu kami selama dilapangan. 7. Kepala Desa Padang Bindu Bapak Mustakim beserta seluruh masyarakat Kampung Desa Padang Bindu yang terlibat dalam penelitian ini.
192
8.
Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persattu yang telah memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung selama penelitian ini dilaksanakan. Kami senantiasa memanjatkan doa, semoga Allah SWT berkenan membalas dengan pahala yang sebesar-besarnya. Akhirnya, kami berharap semoga buku ini dapat menambah khasanah ilmu yang bermanfaat. Amin. Penulis
193
Komponen Sakai
Mata pencaharian
194
Strength Budaya arisan dapat diterapkan pada pemberdayaan masyarakat oleh tenaga kesehatan, seperti perbaikan gizi balita atau pembangunan sarana MCK bersama
Weakness Kebiasaan ini menyebabkan rutinitas ke kebun menjadi lebih padat karena ada tanggug jawab sebagai anggota kelompok untuk bekerja sejak pagi hingga sore. Mata pencaharian utama penduduk adalah petani kopi. Kebun kopi milik masyarakat hanya dapat dipanen satu tahun sekali. Masyarakat sering mengalami masa
Opputunity
Threatening
paceklik pada bulan 9 hingga bulan 12. Perlu manajemen keuangan untuk mengantisipasi masa paceklik. Mata pencaharian menjadi penyebab utama nyeri sendi di Desa Padang Bindu. Hal ini merupakan hubungan yang saling mempengaruhi antara mata pencaharian dngan penyakit rematik itu sendiri. Jika bekerja setiap hari dengan 195
beban kaki yang cukup berat, risiko kambuhnya nyeri sendi akan meningkat. Semakin sering terjadi nyeri sendi, produktivitas menurun dan kebun tidak dapat diurus sehingga hasil panen menurun. Sistem kekerabatan
196
Sistem kekerabatan yang dikenal dengan pembagian kampung adat membagi Desa Padang Bindu menjadi kampung. Hal ini dapat dimanfaatkan dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat. Kekerabatan yang kuat ini dipimpin oleh
seorang kepala adat yang disebut raden. Pendekatan advokasi dapat dilakukan melalui para raden daan kepala desa. Pelayanan kesehatan
Kalangan
Jaminan kesehatan sosial semesta yang digagas oleh Gubernur Sumatera dapat dinikmati dengan mudah oleh masyarakat hanya dengan menunjukkan fotokopi KTP atau KK. Hari Penjual obat kalangan di kalangan merupakan hari menjadi tantangan libur yang tenaga kesehatan 197
dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan, baik untuk Posyandu maupun untuk pengobatan. Kalangan dapat juga dimanfaatkan oleh para bidan untuk melakukan pemeriksaan ibu hamil. Talangtalang
198
Kondisi talang yang cukup berjauhan dari desa menyebabkan suitnya penduduk yang tinggal di talangtalang untuk dapat memperoleh pelayanan kesehatan
tersendiri. Pemberian obatobat tanpa pengawasan tenaga kesehatan menjadi suatu hal yang biasa di kalangan.
Tenaga kesehatan tradisional
Dukun bayi sudah mulai terbuka dengan kehadiran bidan desa. Saling memahami keberadaan masingmasing menjadi suatu kekuatan untuk menjalin kemitraan dengan tenaga kesehatan tradisonal. Tidak dapat dipungkiri bahwa dukun masih diminati di desa ini.
199