KERAJAAN MATARAM
Kota Gede, bekas ibukota Mataram Islam
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya, keturunan dari Ki Ageng Pemanahan yang mendapat hadiah sebidang tanah dari raja Pajang, Hadiwijaya, atas jasanya. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya dapat menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya termasuk Madura serta meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti wilayah Matraman di Jakarta dan sistem persawahan di Karawang
a. Panembahan Senapati
b. Mas Jolang c. Sultan Agung
d. Amangkurat 1
e. Amangkurat 2
KESULTANAN CIREBON
Pintu masuki ke Keraton Cirebon Kanoman
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan “jembatan” antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda..
Sejarah Perkembangan Islam di Sulawesi Agama Islam masuk ke Sulawesi sejak abad ke-16, sejak masa kekuasaan Sombayya Ri Gowa I Mangngarrangi Daeng Mangrabia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin Awalul Islam raja
Gowa ke-14. tetapi baru mengalami perkembangan pesat pada abad ke-17 setelah raja-raja Gowa dan Tallo menyatakan diri masuk Islam. Islam dinyatakan resmi sebagai agama kerajaan Gowa pada tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H / 20 September 1605 M. Raja Gowa yang pertama masuk Islam ialah Daeng Manrabia yang berganti nama
Sultan Alauddin Awwalul Islam, sedang Raja Tallo yang pertama masuk Islam bergelar Sultan Abdullah. Di antara para muballigh yang banyak berjasa dalam menyebarkan dan mengembangkan agama Islam di Sulawesi, antara lain:
Katib Tunggal,
Datuk Ri Bandang,
Datuk Patimang,
Datuk Ri Tiro, dan
Syekh Yusuf Tajul Khalwati Tuanta Samalaka
Dakwah Islamiyah ke Sulawesi berkembang terus sampai ke daerah kerajaan Bugis, Wajo, Sopeng, Sindenreng, dan lain-lain. Suku Bugis yang terkenal berani, jujur dan suka berterus terang, semula sulit menerima agama Islam. Namun berkat kesungguhan dan keuletan para mubaligh, secara berangsur-angsur mereka menjadi penganut Islam yang setia. Pelaut-pelaut Bugis berlayar menjelajah seluruh Indonesia sampai ke Aceh. Di antara mereka adalah pembesar Bugis bernama Daeng mansur yang di Aceh lebih dikenal dengan panggilan Tengku di Bugis. Salah seorang puterinya bernama Puteri Sendi. Ia dikawinkan dengan Sultan Iskandar Muda, raja besar Aceh. Sejak itu hubungan
antara Aceh – Bugis sangat erat, sehingga banyak pengaruh budaya Aceh di Bugis. Tampaknya hubungan perdagangan yang diperkuat dengan hubungan kekerabatan yang berdasarkan agama Islam itu telah memperkokoh hubungan persatuan antara penduduk di seluruh wilayah Indonesia.
Kerajaan Gowa-Tallo Sejarah Kerajaan Gowa-Tallo (Makassar ) - Pada awalnya, Kerajaan Gowa-Tallo yang lebih dikenal sebagai Kerajaan Makassar terdiri dari beberapa kerajaan yang bercorak Hindu, antara lain, Gowa, Tallo, Wajo, Bone, Soppeng, dan Luwu. Dengan adanya dakwah dari Dato'ri Bandang dan Dato' Sulaiman, Sultan Alauddin (Raja Gowa) masuk Islam. Setelah raja memeluk Islam, rakyat pun segera ikut memeluk Islam. Kerajaan Gowa dan Tallo kemudian menjadi satu dan lebih dikenal dengan nama Kerajaan Makassar dengan pemerintahannya yang terkenal adalah Sultan Hasanuddin (1653-1669). Ia berhasil memperluas pengaruh Kerajaan Makassar sampai ke Matos, Bulukamba, Mondar, Sulawesi Utara, Luwu, Butan, Selayar, Sumbawa, dan Lombok. Hasanuddin juga berhasil mengembangkan pelabuhannya dan menjadi bandar transito di Indonesia bagian timur pada waktu itu. Hasanuddin mendapat julukan Ayam Jantan dari Timur. Karena keberaniannya dan semangat perjuanganny a, Makassar menjadi kerajaan besar dan berpengaruh terhadap kerajaan di sekitarnya. Dari sekian banyak kerajaan di Sulawesi Selatan, ada tiga kerajaan besar, yaitu 1. Kerajaan Gowa, rajanya disebut Sombaya ri Gowa (yang disembah di Gowa); 2. Kerajaan Luwu, rajanya disebut Pajunge ri Luwu atau Mapajunge ri Luwu; 3. Kerajaan Bone, rajanya disebut Mangkau'E ri Bone (yang bertakhta di Bone). Setelah raja-raja Makassar masuk Islam, mereka bergelar sultan. Dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh suatu dewan yang disebut Kasuwiyang Salapanga (pangabdi sembilan), kemudian diubah menjadi Bate Salapanga (bendera sembilan). Sebagai pembantu raja yang menjalankan undang-undang pemerintahan, majelis diawasi oleh seorang pemimpin yang disebut Paccalaya (hakim). Setelah raja, jabatan tertinggi di bawahnya adalah Pabbicarabutta yang dibantu oleh Tumailalang Matowa dan Tumailalang Malolo. Tumailalang Matowa bertugas sebagai pegawai tinggi yang menyampaikan perintah raja kepada majelis Bate Salapanga. Adapun Tumailalang Malolo adalah pegawai tinggi urusan istana. Panglima yang memimpin tentara dalam perang disebut Anrong Guru Lompona Tumakjannangang. Mereka bergelar Karaeng atau Gallareng. Ada lagi jabatan yang disebut Opu Bali Ranten, yaitu bendahara kerajaan. Selain sebagai bendahara, ia juga mengurus masalah perdagangan dan hubungan ke luar. Bidang agama diurus oleh seorang kadhi yang dibantu oleh imam, khatib, dan bilal.
PERKEMBANGAN ISLAM DI KALIMANTAN Para ulama awal yang berdakwah di Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus mengalir. Islam masuk ke Kalimantan atau yang
lebih dikenal dengan Borneo kala itu. Di pulau ini, ajaran Islam masuk dari dua pintu. Jalur pertama yang membawa Islam masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan. Jalur lain yang digunakan menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari. Di Kalimantan Selatan terutama sejak abad ke-14 sampai awal abad ke-16 yakni sebelum terbentuknya Kerajaan Banjar yang berorientasikan Islam, telah terjadi proses pembentukan negara dalam dua fase. Fase pertama yang disebut Negara Suku (etnic state) yang diwakili oleh Negara Nan Sarunai milik orang Maanyan. Fase kedua adalah negara awal (early state) yang diwakili oleh Negara Dipa dan Negara Daha. Terbentuknya Negara Dipa dan Negara Daha menandai zaman klasik di Kalimantan Selatan. Negara Daha akhirnya lenyap seiring dengan terjadinya pergolakan istana, sementara lslam mulai masuk dan berkembang disamping kepercayaan lama. Zaman Baru ditandai dengan lenyapnya Kerajaan Negara Daha beralih ke periode negara kerajaan (kingdom state) dengan lahirnya kerajaan baru, yaitu Kerajaan Banjar pada tahun 1526 yang menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi kerajaan. Zaman keemasan Kerajaan Banjar terjadi pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Pada masa itu terjadi puncak perkembangan Islam di Kalimantan Selatan sebagaimana ditandai oleh lahirnya Ulama-ulama Urang Banjar yang terkenal dan hasil karya tulisnya menjadi bahan bacaan dan rujukan di berbagai negara, antara lain Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Berbeda dengan Muhammad Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebar-
luasan Islam di wilayah pedalaman Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas, keluar-masuk hutan me-nyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan. Islam masuk Kalimantan Selatan lebih belakangan ketimbang misalnya, Sumatera Utara dan Aceh. Seperti diungkapkan Azra, diperkirakan pada awal abad ke-16 sudah ada sejumlah muslim di sini, tetapi Islam baru mencapai momentumnya setelah pasukan Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam perjuangannya melawan kalangan elite di Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya, Pangeran Samudra beralih memeluk Islam pada sekitar tahun 936/1526, dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Dia diberi gelar Sultan Suriansyah atau Surian Allah oleh seorang da’i Arab. Dengan ber dirinya Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara. Namun demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orangorang Melayu. Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu, kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar pengucapan dua kalimah syahadat. Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan penduduk Kalimantan. Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua orang ini pula yang memperkenalkan gagasangagasan keagamaan baru di Kalimantan Selatan. Pengembangan Islam di Kutai dilakukan oleh dua orang muslim dari makassar yang bernama Tuan di Bandang dan Tuan Tunggang Parangan, dengan cepat islam berkembang di Kutai, termasuk raja mahkota memeluk islam. Kemudian pengembangan islam dilanjutkan ke daerah-daerah pedalaman pada pemerintahan Aji di Langgar. Pada tahun 1550 M, di Sukadan (Kalimantan
Barat) telah berdiri kerajaan islam. Ini berarti jauh sebelum tahun itu rakyat telah memeluk agama islam, Adapun yang meng-islamkan daerah Sukadana adalah orang Arab islam yang datang dari Sriwijaya. Di Sukadana Sultan yang masuk islam adalah Panembahan Giri Kusuma (1591) dan Sultan Hammad Saifuddin (1677).
Sejarah Perkembangan Islam di Kepulauan Maluku Diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke15. Penduduk lokal Kampung Wawane, Provinsi Maluku, merupakan penganut animisme. Lalu seabad kemudian, hal tersebut mulai berubah seiring dengan kedatangan pedagang Jawa ke provinsi ini. Pedagang-pedagang Jawa ini tidak hanya berdagang, namun juga menyebarkan ajaran Islam. Mereka mencoba mengenalkan Islam kepada masyarakat lokal di Maluku, dan kepercayaan animisme sedikit demi sedikit mulai memudar di Kampung ini. Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Ternate (Kerajaan Gapi) Kedatangan Empat Perdana merupakan awal datangnya manusia di Tanah Hitu sebagai penduduk asli Pulau Ambon. Empat Perdana Hitu juga merupakan bagian dari penyiar Islam di Maluku. Kedatangan Empat Perdana merupakan bukti sejarah syiar Islam di Maluku yang di tulis oleh penulis sejarah pribumi tua maupun Belanda dalam berbagai versi seperti Imam Ridjali, Imam Lamhitu, Imam Kulaba, Holeman, Rumphius dan Valentijn. Raja ternate pertama yang diketahui memeluk agama islam adalah Raja Kolano Marhum dan diikuti oleh seluruh kerabat dan pejabat istana. Sepeninggal beliau, kerajaan ternate dipimpin oleh putranya Zainal Abidin (1486-1500) yang memakai gelar sultan. Sejak kepemimpinan Sultan Zainal Abidin agama i slam diakui sebagai agama resmi kerajaan dan diberlakukannya syariat islam. Kemudian beliau membentuk lembaga kerajaan sesuai hokum islam dengan melibatkan para ul ama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah
yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa, disana beliau dikenal sebagai "Sultan Bualawa" (Sultan Cengkih). Terkenal dengan daerahnya yang subur dan merupakan penghasil rempah-rempah terbesar, kepulauan Maluku banyak di datangi pedagang-pedagang, diantaranya pedagangpedagang islam. Kedatangan para pedagang islam di Maluku, secara tidak langsung membuat agama islam tersebar melalui jalur perdagangan yang selanjutnya disebarkan oleh para mubaligh atau ulama yang salah satunya berasal dari pulau jawa. Perkembangan Islam di Maluku selanjutnya ditandai dengan dibangunnya Masjid Wapaue pada 1414 yang merupakan masjid tertua yang ada di Indonesia. Mesjid tua Wapauwe ini terletak dekat dengan Benteng Amsterdam di desa Kaitetu, Kabupaten Hila, Provinsi Maluku. Terletak di kampung Wawane, dan menurut sejarah setempat mesjid ini dibangun saudagar-saudagar kaya yang bernama Perdana Jamillu dan Alahulu. Masjid ini dinamakan Masjid Wapaue karena terletak di bawah pohon mangga. Dalam bahasa setempat, "wapa" berarti "bawah" dan "uwe" berarti mangga. K eseluruhan bangunan masjid ini terbuat dari kayu sagu yang dilekatkan satu sama lain tanpa menggunakan paku. Sampai saat ini Masjid Wapaue ini masih terawat dan digunakan juga sebagai galeri museum yang berisi koleksi-koleksi antik peninggalan kebudayaan muslim maluku kuno antara lain Bedug yang berumur seratus tahun, Al-Quran antik yang ditulis tangan, sebuah kaligrafi tulisan arab yang ditaruh di sebuah lempengan metal dan sebuah timbangan kayu yang digunakan untuk menimbang zakat.
Berikut Kerajaan-kerajaan Islam yang Terdapat di Maluku a. Kerajaan Gapi (Kesultanan Ternate)
Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate (mengikuti nama ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah
satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di pasifik. Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13, penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing – masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga), merekalah yang pertama – tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru
mencari rempah – rempah. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa momole Guna pemimpin Tobona di adakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja. Tahun 1257 momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). K erajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai “Gam Lamo” atau kampung besar
(belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah pi mpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku. Di masa – masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang di sebut Kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar Kolano dan menggantinya dengan gelar Sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan. Setelah Sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan Jogugu (perdana menteri) dan Fala Raha sebagai para penasihat. Fala Raha atau Empat Rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole di masa lalu, masing – masing dikepalai seorang Kimalaha. Mereka antara lain ; Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat – pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan – klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua
Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji dll. Untuk lebih jelasnya lihat Struktur organisasi kesultanan Ternate. b. Kesultanan Tidore Baca Juga : Sejarah Kerajaan Islam Kesultanan Tidore
Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16 sampai abad ke18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Halmahera selatan, Pulau Buru, Ambon, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat. Pada tahun 1521, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan Portugis. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugis sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah kerajaan paling independen di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18. c. Kesultanan Bacan
Kesultanan Bacan adalah suatu kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin yang bersyahadatpada tahun 1521. Meski berada di Maluku, wilayahnya cukup luas hingga ke wilayah Papua. Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool dan beberapa daerah lain yang berada di bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan. d. Kerajaan Tanah Hitu
Kerajaan Tanah Hitu adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Ambon,Maluku. Kerajaan ini memiliki masa kejayaan antara 1470-1682 dengan raja pertama yang bergelar Upu Latu Sitania (raja tanya) karena Kerajaan ini didirikan ol eh Empat Perdana yang ingin mencari tahu faedah baik dan tidak adanya Raja. Kerajaan Tanah Hitu pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan memainkan peran yang sangat penting di Maluku, disamping melahirkan intelektual dan para pahlawan pada zamannya. Beberapa di antara mereka misalnya adalah Imam Ridjali, Talukabessy, Kakiali dan lainnya yang tidak tertulis di dalam Sejarah Maluku sekarang, yang beribu Kota Negeri Hitu. Kerajaan ini berdiri sebelum kedatangan imprialisme barat ke wilayah Nusantara.
Kerajaan Tidore, Jailolo, Bacan, Obi dan Loloda merupakan saingan Ternate memperebutkan hegemoni di Maluku. Berkat p erdagangan rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan untuk memperkuat hegemoninya di Maluku Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini menimbulkan antipati dan memperbesar kecemburuan kerajaan lain di Maluku, mereka memandang Ternate sebagai musuh bersama hingga memicu terjadinya perang. Demi menghentikan konflik yang berlarut – larut, raja Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (13221331) mengundang raja – raja Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir penting dari pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan adalah penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).
v