REFERAT GANGGUAN SOMATOFORM
Oleh : Elvin Bizaliel
(0810710042)
Seravina Adila I
(0810713037)
Ardine Cahya P.
(0910710038)
Nisak Humairok S. (0910713057)
Pembimbing : dr. Happy Indah Hapsari., Sp.KJ LAB/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian menemukan bahwa sekitar 20% pasien yang datang ke klinik dokter mengeluhkan keluhan fisik yang tidak dapat dibuktikan secara medis, dan 80% diantaranya merupakan gangguan somatoform. Somatoform, dengan prevalensi sebesar 16,1% di seluruh dunia, adalah kumpulan gejala fisik yang mengacu pada kondisi medis tertentu dan tidak dapat diterangkan secara jelas dalam kondisi medis umum atau dengan gangguan mental yang lain. Menurut DSM –V, terminologi somatoform dikenal dengan somatic symptom disorder, di mana terdiri atas berbagai penyakit somatoform yaitu 1) Somatization disorder (gangguan somatisasi), 2) Hipokondriasis,
3)
Pain
disorder
(kelainan
nyeri),
dan
4)
Somatoform
tak
terdiferensiasi. Gejala khas dari gangguan-gangguan mental tersebut adalah adanya keluhan nyeri atau gejala fisik lain yang berat, dan dengan tidak ditemukannya kondisi patologis yang mendasari setelah dilakukan pemeriksaan. Gangguan-gangguan tersebut yang kini menjadi satu jenis diagnosis somatic symptom disorder,memiliki kriteria diagnosis yang sama yaitu gejala menetap yang dikeluhkan pasien tentang fokus berlebihan terhadap kondisi medisnya sekurang-kurangnya selama 6 bulan, bahkan meskipun pasien tersebut memang sudah dikonfirmasi menderita penyakit tersebut. Dengan kata lain, ketakutan/kekhawatiran yang berlebihan terhadap penyakitnya adalah menjadi perhatian utama psikiater. Referat ini disusun untuk mengetahui info-info terbaru tentang somatoform/somatic symptom disorder dari berbagai sumber.
. B. Tujuan 1. Mengetahui jenis-jenis gangguan somatoform 2. Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, diagnosis, dan penatalaksaan pada gangguan somatoform
BAB II ISI 2.1 GANGGUAN SOMATISASI Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laoratorium. Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 30 tahun, dapat berlanjut hingga tahunan, dan dikenali menurut DSM-IV-TR sebagai “kombinasigejala nyeri, gastrointestinal, seksual, serta
pseudoneurologis”.
Gangguan
somatisasi
berbeda
dengan
gangguan
somatoform lainnya karena banyak keluhan dan banyaknya sistem organ yang terlibat (contohnya gastrointestinal dan neurologis). 1
2.1.1 EPIDEMIOLOGI Somatisasi adalah gangguan yang kerap ditemukan. Prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria, yaitu diperkirakan sebanyak 0,2 sampai 2 persen pada wanita, dan <0,2 persen pada pria, dengan perbandingan 5:1.Prevalensi somatisasi subklinis mencapai 100 kali lebih besar. 2
2.1.2 ETIOLOGI Faktor etiologi dari gangguan somatisasi masih belum diketahui. Tidak terdapat penyebab tunggal dari gangguan somatisasi, sebagaimana sebagian besar kasus psikiatri lainnya, gangguan ini merupakan hasil akhir dari interaksi faktor genetik dengan berbagai peristiwa di kehidupan individu. Teori terkini mengenai etiologi gangguan somatisasi dibagi 3, yaitu psikososial, organic, dan genetik.3 1. Faktor Psikososial Gejala somatik merupakan bentuk pertahanan psikologi terhadap instabilitas mental. Pada somatisasi, serangan terhadap mental seseorang menghasilkan kecemasan yang memobilisasi pertahanan somatik, di mana terdapat perubahan dari “sakit psikologis” menjadi “sakit fisik”.4 Gejala somatik yang timbul merupakan komunikasi sosial seseorang untuk menghindari kewajiban (cnt : melakukan pekerjaan yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (cnt: kemarahan terhadap saudara), atau untuk simbolisasi perasaan atau kepercayaan (cnt : nyeri perut).1
Pengalaman “sakit” merupakan faktor penting dari somatisasi. Anak yang menjumpai orang tua atau saudara yang sakit (terutama penyakit kronis atau berat) dapat mengalami gangguan somatoform ketika dewasa. Etnik, pendidikan, dan gender juga merupakan faktor sosial yang relevan terhadap somatisasi. Terdapat korelasi tinggi antara somatisasi dan etnik, kelas sosial rendah dengan tingkat edukasi minimal, dan jenis kelamin wanita.Selain itu, jenis kepribadian juga diduga mempengaruhi gangguan somatisasi. Pasien gangguan somatisasi yang memiliki ciri kepribadian kelompok B (dependen, histrionic, agresif-sensitif) tampak sejumlah 2 kali lipat dari pasien dengan anxietas atau depresi. 3 2. Faktor Organik Beberapa penelitian menunjukkan dasar neuropsikologi pada gangguan somatisasi. Beberapa studi mengaitkan antara gangguan somatisasi dengan patologi otak, seperti epilepsy dan multiple sclerosis, namun asosiasi ini ditemukan hanya pada 3% pasien.6 Diduga juga bahwa disfungsi atensi dan kognitif yang berhubungan dengan inhibisi stimulasi aferen terdapat pada pasien (terutama pada lobus frontalis dan hemisphere yang tidak dominan), menghasilkan persepsi yang tidak tepat dan kesalahan penilaian input somatosensoris .1 Ditemukan hubungan antara somatisasi dan peningkatan level kortisol 24 jam (rangsangan psikologis),sebagaimana juga ditemukan terdapat asosiasi antara tekanan darah sistolik dengan somatisasi. 3 3. Faktor Genetik. Terdapat pola keturunan yaitu sebesar 10-20% insidens terjadi pada saudara perempuan derajat pertama dari penderita gangguan somatisasi.
2
Ditemukan bahwa
saudara lelaki pasien gangguan somatisai memiliki peningkatan prevalensi alkoholisme dan kepribadian antisosial.7 Beberapa penelitian pada populasi kembar menemukan bukti komponen genetik, namun lainnya menghasilkan kesimpulan sebaliknya. Mai (2004) menyimpulkan bahwa terdapat peran faktor genetik dalam gangguan somatisasi, namun efeknya terbatas. 3
2.1.3 DIAGNOSIS dan GEJALA KLINIS Untuk diagnosis gangguan somatisasi, DSM-IV-TR mengharuskan permulaan gejala terjadi sebelum usia pasien 30 tahun, dan berlangsung selama beberapa tahun. Selama perjalanan gangguan, pasien harus memiliki keluhan sedikitnya empat gejala nyeri,
dua
gejala
gastrointestinal,
satu
gejala
seksual,
dan
satu
gejala
pseudoneurologis, yang seluruhnya tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan fisik
atau laboratorium. Kriteria DSM-IV mengenai gangguan somatisasi terdapat pada halaman berikut.
Kriteria Diagnostik DSM IV-TR
: GANGGUAN SOMATISASI
A. Riwayat banyak keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama suatu periode beberapa tahun dan menyebabkan pencarian terapi atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lain yang signifikan. B. Masing-masing criteria berikut ini harus dipenuhi, dengan setiap gejala terjadi pada waktu kapanpun selama perjalanan gangguan : (1) empat gejala nyeri : riwayat nyeri yang berkaitan dengan sedikitnya empat tempat atau fungsi yag berbeda (cnt : kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada, rectum, selama menstruasi, selama hubungan sekdual, atau selama berkemih) (2) dua gejala gastrointestinal : riwayat sedikitnya dua gejala gastrointestinal selain nyeri (cnt: mual, kembung, muntah selain selama hamil, diare, atau intoleransi terhadap beberapa makanan yang berbeda) (3) satu gejala seksual : riwayat sedikitnya satu gejala seksual atau reproduksi selain nyeri(cnt: ketidakpedulian terhadap seks, disfungsiereksi atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah sepanjang hamil) (4) satu gejala pseudoneurologis : riwayat sedikitnya satu gejala atau deficit yang mengesankan keadaan neurologis tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis, atau kelemahan lokal, kesulitan menela, atau benjolan di tenggorok, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli, kejang, gejala disosiatif seperti amnesia, atau hilang kesadaran selain pingsan) C. Baik (1) atau (2) : (1) Setelah penelitian yang sesuai, setiap gejala Kriteria B tidak dapat dijelaskan secara utuh dengan keadaan medis umum yang diketahui atau efek langsung suatu zat (cnt : penyalahgunaan obat, pengobatan) (2) Jika terdapat keadaan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya sosial atau pekerjaan yang diakibatkan jauh melebihi yang diperkirakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium D. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat seperti pada gangguan buatan atau malingering
Pasien dengan gangguan somatisasi umumnya telah mengunjungi banyak praktik dokter, mlakukan banyak tes imaging dan laboratorium, yang seluruhnya tidak memberikan hasil yang bermakna mengenai penyakit yang ia rasakan. Sebagai
contoh, seorang pasien mungkin memiliki keluhan abdominal kronis (nyeri perut, diare) yang telah dievaluasi secara tuntas namun tidak ditemukan penyebabnya. Hal ini biasanya didahului dengan riwayat gejala lain yang tidak dapat dijelaskan, seperti anorgasmia, tinnitus telinga, dan nyeri kronis pada bahu, leher, punggung, dan kaki.5
2.1.4 DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding somatisasi antara lain adalah gangguan somatoform lain,yaitu reaksi konversi, hipokondriasis, dan nyeri dismorfik. Gangguan somatoform sendiri
juga harus dibedakan dengan gangguan psikiatri lain, seperti facticious
disorders dan malingering, sebagaimana ditunjukkan oleh tabel berikut.4
Gambar 1. Diagnosis Banding Gangguan Somatoform
2.1.5 PENATALAKSANAAN Secara umum, penatalaksanaan pasien dengan gangguan somatisasi meliputi 2 hal, yaitu Cognitive and Behavioral Therapy (CBT) dan Farmakoterapi. Langkah pertama terapi adalah untuk memberi feedback diagnostik pada pasien. Penjelasan dikategorikan menjadi 3 bagian : rejection, conclusion, dan empowerment. Dengan rejection, dokter menyangkal kenyataan terdapat gejala atau mengimplikasikan bahwa pasien memiliki sumber rasa sakit yang imajiner. Pendekatan ini dapat diawali dengan kalimat “Tenang, tidak ada yang salah dengan Anda.” Conclusion terjadi ketika dokter secara eksplisit atau implicit menyetujui penjelasan pasien. Pada akhirnya, dengan empowerment, dokter memberikan penjelasan yang nyatadan rasional untuk gejala somatik, bersamaan dengan peluang untuk memanajemen diri. Dokter mengetahui penderitaan pasien, tanpa rasa menuduh, dan membuat kesepakatan terapeutik. Dengan demikian gejala dan emosi dapat dihubungkan dengan baik. Manajemen gangguan somatoform dapat diringkas pada gambar berikut. 3
Gambar 2. Langkah-langkah Manajemen Gangguan Somatisasi
2.2
HIPOKONDRIASIS
2.2.1 DEFINISI Hipokondriasis adalah gangguan mental dimana pasien meyakini bahwa dirinya sedang mengalami penyakit yang serius, mungkin suatu penyakit yang mengancam jiwanya. Kriteria diagnosisnya ialah sekurang-kurangnya 6 bulan pasien mengalami preokupasi pikiran berupa ketakutan akan memiliki penyakit akibat dari interpretasi yang salah terhadap gejala penyakit yang dialaminya. Istilah hipokondriasis mengacu pada hipokondrium, dimana kebanyakan pasien mengeluh nyeri pada daerah hipokondrium. 7
2.2.2 ETIOLOGI Menurut Klein, perkembangan di masa-masa awal kehidupan diyakini merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya hipokondriasis atau jenis somatoform lain di kemudian hari. Kegagalan proses splitting atau kemampuan untuk membedakan objek baik dan buruk menyebabkan ketidakmampuan otak untuk merepresi
kecemasan yang dirasakan, sehingga kelak timbul abnormal splitting mechanism yang membantu anak untuk mengatasi confusional anxiety.7 Menurut Schilder, terjadi fiksasi hypochondriacal state pada fase narsistik pada perkembangan anak, dimana pada masa itu terjadi perkembangan awal pemikiran tentang tubuh. Fase oral, sadistic, dan sadomasokistik juga turut mempengaruhi terjadinya hipokondriasis di kemudian hari karena seluruh proses ini melibatkan sensasi nyeri dalam perkembangannya.10 Proteksi yang berlebihan dari orang tua pada masa anak-anak juga menjadi pencetus hipokondriasis. Di samping itu, penyakit yang pernah diderita juga memunculkan
kecemasan
yang
berlebihan
terhadap
kekambuhan
sehingga
memunculkan gejala hipokondriasis.8
2.2.3 KLASIFIKASI DSM-V
mengkategorikan
hipokondriasis
sebagai
bagian
dari
kelainan
somatoform. Hipokondriasis, kelainan somatisasi (somatization disorder), kelainan somatoform tak terdiferensiasi (undifferentiated somatoform), dan kelainan nyeri (pain disorder) adalah termasuk ke dalam Somplex Somatic Symptom Disorder/ CSSD. Sedangkan reaksi konversi diklasifikasikan menjadi kelainan somatoform lain, BDD dklasifikasikan menjadi new anxiety and obsessive-compulsive spectrum disorders.9
2.2.4 GEJALA KLINIS Pasien hipokondriasis meyakini bahwa mereka memiliki penyakitserius yang masih belum terdeteksi meskipun telah dilakukan hasil lab dengan hasil yang negatif. Pada permulaan mungkin diawali dengan satu penyakit, namun seiring berjalannya waktu, kayakinan ini dapat ditransfer ke penyakit yang lain. Namun demikian, keyakinan mereka tidak seperti pada waham. Pada umumnya ditemukan pula gangguan kecemasan dan depresi.9 Meskipun kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah sekurangkurangnya 6 bulan, namun “hypochondriacal-states” juga dapat terjadi setelah terjadi stress mayor, misalnya kematian orang terdekat pasien akibat penyakit tertentu. Pada umumnya kondisi ini akan sembuh dengan sendirinya, namun dapat pula menjadi kronis. 8
2.2.5 DIAGNOSIS Kriteria diagnosis hipokondriasis menurut DSM-IV adalah sebagai berikut A. Preokupasi pikiran ketakutan akan memiliki, atau munculnya ide bahwa dirinya memiliki penyakit yang serius akibat dari kesalahan interpretasi gejala tubuhnya. B. Keluhan tidak kunjung membaik meskipun sudah mendapatkan pertolongan medis. C. Keyakinan pada kriteria A adalah bukan merupakan suatu waham seperti yang ditemukan pada gangguan waham, atau masalah dengan penampilan seperti yang ditemukan pada BDD/ Body Dysmorphic Disorder. D. Preokupasi pikiran akan penyakitnya membuat pasien mengalami gangguan dalam kehidupan sehari-hari, pekerjaan, dan perilaku bermasyarakat. E. Gangguan berdurasi sekurang-kurangnya selama 6 bulan. F. Preokupasi pikiran ini tidak ditemukan pada gangguan kecemasan, kelainan obsesif-kompulsif, gangguan panic, episode depresif mayor, kecemasan akibat perpisahan, atau kelainan somatoform yang lain. Spesifik bila: Dengan daya tilik buruk: apabila dalam tiap episodenya, pasien tidak menyadari bahwa penyakit serius yang diyakini dia miliki adalah suatu ketakutan yang tidak beralasan. (From American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association; copyright 2000, with permission.)
2.2.6 DIAGNOSIS BANDING 1. Penyakit-penyakit non-psikiatri yang menunjukkan gejala yang tidak spesifik sehingga sulit terdiagnosis (misalnya pada penyakit AIDS, endokrinopathy, myasthenia gravis, sklerosis multiple, penyakit saraf degenerative, SLE, dan lain-lain.) 2. Somatization disorder (somatization disorder lebih menekankan pada banyaknya gejala yang dikeluhkan pasien jika dibandingkan dengan hipokondriasis, somatization terjadi mayoritas pada wanita sedangkan hipokondriasis seimbang antara pria dan wanita, onset hipokondriasis umumnya <30 tahun). 3. Reaksi konversi (akut, sementara, lebih menekankan pada gejala daripada penyakitnya).
4. Pain disorder (gejala terbatas pada keluhan nyeri). 5. Body Dismorphic Disorder/BDD (pasien ingin terlihat normal namun merasa orang di sekitarnya berpikir buruk). 6. Episode depresi dan gangguan kecemasan (pada depresi dengan gejala hypochondriacal umumnya tidak dapat diredam perasaannya meskipun sudah dibantu untuk menenangkan). 7. Skizofrenia (pada waham somatik
lebih
kacau,
idiosinkratik
jika
dibandingkan dengan hipokondriasis). 8. Factitious illness dan malingering (perlu dilakukan tes untuk membedakan
pasien sebenarnya, malingering, dan hipokondriasis, umumnya penawaran untuk dilakukan intervensi medis dihadapi oleh pasien hipokondriasis dengan kecemasan, sedangkan pada pasien yang benar-benar sakit akan menghadapinya
dengan
perhatian
terhadap
kondisinya.
Malingering
umumnya dilakukan untuk kepentingan financial atau meninggalkan tanggung jawab tertentu).
2.2.7 PENATALAKSANAAN 1. Pemeriksaan fisik secara komprehensif Perlu dilakukan pemeriksaan fisik berkala untuk mengetahui diagnosis lain yang menjadi perancu hipokondriasis. Informasi kesehatan yang normal dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis hipokondriasis.9 2. Pendekatan fungsional: Bertujuan untuk mengumpulkan data-data tentang penyakit yang menjadi sumber kecemasan dan untuk mengetahui respon pasien terhadap penyakitnya. Melalui cara ini, dokter dapat mengetahui apa yang membuat pasien menganggap penyakitnya sangat serius. Karena belum adanya skala khusus untuk pengukuran derajat keparahan penyakit yang dirasakan, pasien dapat menggunakan skala 0 (rendah) sampai 10 (ekstrim) untuk menggambarkannya.8 3. Terapi farmakologis : a. Anti-depresan (trisiklik, SSRI): dapat menstabilkan mood, mengatasi kecemasan pada hipokondriasis b. Plasebo: beberapa penelitian membandingkan efek placebo dan pemberian obat-obatan anti-depresan dimana perbedaan respon pasien terhadap kedua obat tidak signifikan. Hal ini menunjukkan keberhasilan penggunaan placebo.8 4. Psikoterapi:
a. Cognitive-Behavioral
Therapy/CBT
menggunakan
model
terapi
tertentu untuk membantu pasien mengenali dan merubah kepercayaan yang salah pada kesehatan dirinya. b. Formulation of an Idiosyncratic Model patient-spesific “blue-print” ialah suatu bentuk diagram yang dikerjakan bersama-sama dengan pasien berkaitan dengan mekanisme penyakit dan kecemasan yang timbul. Dengan metode ini, pasien merasa dokter memahami perasaan sehingga meningkatkan penerimaan pasien terhadap pengobatan. c. Psikoedukasimemberikan pemahaman pasien terhadap mekanisme fisiologis tubuh manusia yaitu fight or flight dan ansietas. Pasien juga diberikan pemahaman tentang sensasi tubuh sekaligus dengan mekanisme fisiologisnya jika memungkinkan. d. Modifying erroneous belief membantu pasien untuk mengadopsi kepercayaan yang rasional berdasarkan mekanisme fisiologis tubuh.8
2.2.8 PROGNOSIS Hipokondriasis cenderung menjadi suatu penyakit kronis yang berlangsung mungkin sepanjang hidup dengan gejala yang hilang timbul selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Pasien mungkin akan mengalami remisi parsial namun demikian masih membuat pasien mencari bantuan dokter. Remisi total sangat jarang terjadi. Faktor sosial-ekonomi, tidak adanya kelainan perilaku lain, dan tidak adanya kondisi medis lain yang menyertai dapat memungkinkan hipokondriasis remisi total.7
2.2.9 KOMPLIKASI Hipokondriasis seringkali menyebabkan pasien enggan melakukan aktivitas atau bepergian jauh. Dokter yang tidak mengenali gejala hipokondriasis sejak awal akan menyarankan apsien untuk melakukan berbagai macam tes laboratorium untuk membantu penegakan diagnosis.10
2.3 REAKSI KONVERSI Gangguan konversi ditandai dengan perubahan bermakna atau hilangnya fungsi fisiologis, meskipun tidak ada temuan secara medis yang menyebabkan gejala atau defisit.
2.3.1 EPIDEMIOLOGI
Insiden gangguan konversi mencapai 11-48 setiap 100.000 jiwa. Gangguan konversi tidak berkaitan denga usia, ras, etnis, atau latar belakang sosial. Akan tetapi, beberapa penelitian melaporkan adanya angka kejadian yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan laki-laki. Ada kecenderungan insiden yang lebih tinggi pada pasien yang memiliki first-degree relative dengan gangguan psikiatri. Telah ditemukan juga asosiasi antara gangguan konversi dengan riwayat sexual abuse dan physical abuse.
2.3.2 ETIOLOGI Etologi dari reaksi konversi melibatkan faktor-faktor psikologis, biologis dan neurologis. Patofisiologi gejala dari gangguan konversi dimulai dengan adanya gangguan psikiatri—paling sering diseabkan oleh depresi—yang menyebabkan ketidak stabilan dari fungsi mental. Pertahanan somatic, kepercayaan menetap bahwa “Saya sakit secara fisik” terbentuk secara tidak sadar dan muncul sebagai adanya malfungsi neurologis tertentu.
Kepercayaan ini secara sadar mengatur tingkah laku,
mengakibatkan temuan nonorganic yang aneh dan tidak lazim pada pemeriksaan neurologis. Menurut pandangan psikodinamika, gangguan konversi merepresentasikan konversi dari energy seksual atau agresi yang terrepresi menjadi gejala fisik. Secara klasik, gejala tersebut dianggap sebagai akibat dari konflik tak sadar antara keinginan terlarang dari seseorang dengan hati nuraninya. Gejala konversi secara simbolis merepresen pemenuhan keinginan secara parsial tanpa kesadaran penuh individu terhadap hasrat yang tidak dapat diterima. Menurut Freud, pengalaman yang tidak dapat diterima direpresikan kedalam unconscious, akan tetapi represi tersebut menyebabkan adanya konversi kepada gejala fisik. Meskipun represi tersebut dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan distress (disebut juga ‘primary gain’),
konversi tersebut tidak dilakukan secara
sengaja. Gejala fisik tersebut dapat juga bertujuan menghindarkan pasien dari konflik atau hasil akhir yang tidak diinginkan (secondary gain). Misalnya seseorang yang tibatiba mengalami parese pada tangannya karena adanya keinginan unconscious untuk memukul istrinya. Kondisi tersebut mencegah dirinya bertindak sesuai keinginannya. Pada gangguan konversi, tidak selalu ditemukan adanya stressor spesifik tidak lama sebelum munculnya gejala. Penelitian menunjukkan adanya stressor tertentu pada sebagian kasus, seperti masalah pekerjaan dan relasi, yang berkorelasi dengan beratnya keluhan.
Penelitian menggunakan imaging menunjukkan adanya peran dari conscious active inhibition pada defisit psikogenik. Contohnya, jika pasien yang mengalami parese ekstremitas bawah kiri mencoba menggerakkan ekstremitas tersebut, hasil imaging menunjukkan adanya bagian tertentu dari otak yang aktif dan menyebabkan inhibisi dari korteks motorik sehingga pasien mengalami parese. Sedangkan pada saat istirahat , aktivitas pada kedua sisi korteks motorik tidak berbeda secara signifikan. Temuan ini menjelaskan mengapa defisit neurologis psikogenik lebih ringan jika pasien mengalami distraksi dan memberat jika pasien memikirkan masalah yang mereka alami. Temuan dari pemeriksaan neurologis juga konsisten dengan adanya inhibisi kortikal dan subkortikal yang dikontrol oleh higher-order brain centres. Misalnya, defisit neurologis yang disebabkan gangguan dari korteks menyebabkan pola tipikal, seperti distribusi pyramidal pada pasien dengan parese. Akan tetapi, temuan fisiknya tidak mengikuti pola organik tipikal tersebut. Sebaliknya, secara psikologis dan anatomically naive beliefs yang diaplikasikan secara sadar dan dimediasi oleh higher-order brain centres menginhibisi jalur kortikal dan subkortikal, yang menyebabkan pola neurologis nonorganic yang atipikal.
2.3.3 GAMBARAN KLINIS Defisit yang paling sering muncul adalah kelumpuhan, kebutaan, dan mutisme. Gejala lainnya antara lain anesthesia, paresthesia (terutama pada ekstremitas), tuli, abnormalitas
motoris,
gangguan
gait,
tremor,
dan
kejang
(disebut
juga
pseudoseizures). Presentation dan hasil pemeriksaan fisik tidak konsisten dengan patologi neurologis, anatomis, maupun fisiologis yang diketahui. Hal ini menunjukkan bahwa manifestasi neurologis bersifat idiopatik dan berasal dari kepercayaan pasien bagaimana gejala neurologis seharusnya terjadi. Dapat ditemukan adanya La belle indifference (pasien tidak peduli meskipun defisit yang muncul tampak sangat berat). Pada umumnya, tanda yang muncul—seperti hemiparese ataupun kebutaanmenjadi jauh lebih buruk jika dievaluasi secara formal atau ketika pasien berada dalam keadaan tertentu yang menyebabkan pasien memperhatikan defisit tersebut. Akan tetapi, meskipun sedang diobservasi maupun tidak, gejala neurologis tetap ada dan mengganggu fungsi pasien: gejala tersebut konsisten dengan kepercayaan pasien. Berikut beberapa gejala dan hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan pada penderita: Gejala
Pemeriksaan Fisik
Hasil
Anesthesia Afonia
Pemeriksaan dermatome
Gangguan
sensoris
Minta pasien untuk batuk
sesuai dermatom Suara batuk
tidak normal
(menunjukkan tidak adanya parese korda vokalis) Koma
Pemeriksa
Tunnel vision
membuka mata pasien Visual fields
Perubahan hasil pemeriksaan
Margus Gunn pupil Sudden flash of bright light Perintahkan pasien
pada pemeriksaan multiple Tidak ditemukan defek aferen Pasien berkedip Pasien tidak bisa menyentuh
menyentuh jari telunjuknya Jatuhkan tangan yang lumpuh
jari telunjuknya. Tangan jatuh
ke ke wajah pasien
wajah, tidak jatuh pada wajah
Kebutaan monookular Kebutaan bilateral berat
Parese atau plegi
mencoba
Ditemukan tahanan tahanan
di
2.3.4 DIAGNOSIS Penelitian menunjukkan bahwa 25-50 persen pasien dengan gangguan konversi pada akhirnya ditemukan memiliki kondisi medis yang menyebabkan gejala tersebut. Oleh karena itu pemeriksaan medis dan neurologis menyeluruh harus dilakukan. Kondisi patologis yang menyerupai konversi antara lain tumor otak, multiple sclerosis, myasthenia gravis, basal ganglia disease, optic neuritis, Guillain-Barre, dan AIDS. Bedakan juga gangguan konversi dengan factitious disorder dan malingering. Pada factitious disorder, seseorang secara sadar membuat penyakit yang bertujuan untuk berperan sebagai orang sakit. Malingerers secara sadar berpura-pura untuk mencapai secondary gain (misalnya untuk menghindari kerja , penjara, wajib militer, atau mendapat kompensasi). Kriteria Diagnosis menurut DSM IV: A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mempengaruhi sistem motorik volunter atau fungsi sensorik yang merujuk pada kondisi neurologis atau medis umum lainnya . B. Faktor psikologis dinilai terkait dengan gejala atau defisit karena konflik atau stres lainnya mendahului inisiasi atau eksaserbasi dari gejala atau defisit. C. Pasien tidak pura-pura atau sengaja memproduksi gejala atau defisitnya. D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penyelidikan yang tepat, sepenuhnya dijelaskan oleh kondisi medis umum, dengan efek langsung dari zat, atau sebagai perilaku atau pengalaman yang dilarang oleh budaya.
sebelah
E. Gejala atau defisit menyebabkan distress atau gangguan yang signifikan secara klinis pada fungsi social atau okupasional, atau area penting lainnya atau yang memerlukan evaluasi medis. F. Gejala ini tidak terbatas pada rasa sakit atau adanya gangguan pada fungsi seksual dan tidak dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.
2.3.5 PENATALAKSANAAN Pada dasarnya, tatalaksana dari gangguan konversi adalah menggunakan penjelasan
dan
sugesti.
Setelah
dilakukan
diagnosis,
dokter
sebaiknya
menginformasikan kepada pasien, secara lembut dan tidak menghakimi, tetapi cukup tegas, bahwa pemeriksaan atau tes diagnostic tidak menunjukkan adanya kelainan. Lalu dokter dapat menjelaskan bahwa meskipun ilmu medis tidak dapat menjelaskan penyebab gejala tersebut, biasanya pasien akan pulih dalam beberapa minggu. Dengan dukungan dan keyakinan tersebut, mayoritas pasien akan mengalami remisi selama berada di rumah sakit, dan remisi ini lebih mungkin terjadi jika onset gejala bersifat akut dan durasinya singkat, diikuti oleh pencetus yang jelas. Pada berapa kasus, beberapa sesi bersama terapis fisik dapat membantu perbaikan gejala. Terapis harus menghindari pernyataan seperti “Tidak ada yang salah dengan diri anda”, karena dapat merusak hubungan dokter-pasien. Jika langkahlangkah
tersebut
gagal,
teknik
alternatif
dapat
digunakan.
Hipnosis
dapat
menyebabkan remisi, akan tetapi cenderung terjadi relaps. Dapat juga dilakukan cognitive-behavioral therapy untuk meningkatkan cara adaptif pasien untuk menghadapi stress dan kecemasan. Dapat juga dilakukan terapi psikodinamik untuk mendapatkan insight dari konflik unconscious yang mendasari keluhannya.
2.4 GANGGUAN DISMORFIK TUBUH Body
Dysmorphic
Disorder
(BDD)
awalnya
dikategorikan
sebagai
dysmorphophobia. Istilah tersebut untuk pertama kalinya dimunculkan oleh seorang doktor Italia yang bernama Morselli pada tahun 1886. Dysmorphophobia berasal dari bahasa Yunani, “dysmorph” yang berarti misshapen dalam bahasa Inggris. Kemudian namanya
diresmikan oleh
Dysmorphic Disorder (BDD).
American Psychiatric Classification
menjadi Body
Sebenarnya, sejak Freud praktek sudah disinyalir
mengenai gejala ini yang oleh Freud sendiri dinamakan sebagai ‘wolf man’. Karena gejala Body Dysmorphic Disorder (BDD) tersebut terjadi pada seorang pria bernama Sergei Pankejeff yang mempunyai masalah dengan kecemasan terhadap bentuk hidungnya. Pasien dengan gangguan dismorfik tubuh memiliki perasan subjektif yang pervasif mengenai keburukan beberapa aspek penampilan walaupun penamilan mereka normal atau hampir normal. Inti gangguan ini adalah keyakinan atau ketakutan seseorang yang kuat bahwa ia tidak menarik atau bahkan menjijikan. Rasa takut ini jarang bisa dikurangi dengan pujian atau penentraman meskipun pasien yang khas dengan gangguan ini cukup normal penampilannya.
2.4.1 EPIDEMIOLOGI Gangguan dismorfik tubuh adalah keadaan yang sediki dipelajari sebagian karena pasien lebih cenderung pegi ke dermatologis, interni, atau ahli bedah plastik daripada pergi ke psikiater. Satu studi pada satu kelompok mahasiswa perguruan tinggi menemukan bahwa lebih dari 50% mahasiswa sedikitnya memiliki beberapa preokupasi terhadap aspek tertentu penampilan mereka dan pada 25% mahasiswa, permasalahan tersebut memiliki sekurangnya mempengaruhi secara bermakna pada perasaan dan fungsi mereka. Walaupun 25% jelas merupakan suatu perkiraan yang berlebihan (overestimate), gangguan dismorfik tubuh atau suatu varian subsindromal mungkin sering ditemukan. Penelitian lain pada pasien yang datang ke klinik bedah plastik menemukan bahwa hanya 2% pasien tersebut memenuhi kriteria diagnostik, jadi yang menyatakan bahwa pasien dengan kriteria diagnostik lengkap mungkin sangat jarang ditemukan. Data yang ada menyatakan bahwa usia yangpaling sering untuk onset terjadinya gangguan dismorfik tubuh adalah antara 15 dan 20 tahun, dan wanita agak lebih sering terkena dibandingkan laki-laki. Pasien yang terkena juga kemungkinan tidak menikah. Gangguan dismorfik tubuh sering kali ditemukan bersama-sama dengan gangguan mental lainnya. Satu penelitian menemukan bahwa lebih dari 90% pasien dengan gangguan dismorfik tubuh pernah mengalami depresif berat didalam hidupnya; kira-kira 70% pernah mengalami suatu gangguan kecemasan dan kira-kira 30% pernah menderita suatu gangguan psikotik.
2.4.2 ETIOLOGI
Penyebab gangguan dismorfik tubuh saat ini masih tidak diketahui. Komoriditas yang tinggi dengan gangguan depresif, riwayat keluarga adanya gangguan mood dan gangguan obsesif-komplusif yang lebih tinggi daripada yang diharapkan, dan responsivitas gangguan yang dilaporkan terhadap obat spesifik serotonin menyatakan bahwa, sekurangnya pada beberapa pasien, patofisiologi gangguan yang terjadi mungkin melibatkan serotonin dan mungkin berhbungan dengan gangguan mental lainnya. Mungkin juga dapat terpengaruh kultural atau sosial yang bermakna pada pasien dengan gangguan dismorfik tubuh karena penekanan konsep tentang kecantikan yang sterotipik yang mungkin ditekankan pada keluarga tertentu dan didalam sebagian besar kultur. Didalam odel psikodinamika, gangguan dismorfik tubuh dipandang sebagai pengalihan konflik seksual atau emosional ke dalam bagian tubuh yang tidak berhubungan. Asosiasi tersebut terjai melalui mekanisme pertahanan represi, disosiasi, distorsi, simbolisasi dan proyeksi.
2.4.3 DIAGNOSIS Kriteria diagnostik DSM-IV
untuk gangguan dismorfik tubuh mengharuskan
suatu preokupasi dengan kecacatan dalam penampilan yang tidak nyata (dikhayalkan) atau penekanan yang berlebihan (overemphasis) terhadap kecacatan ringan. Preokupasi menyebabkan penderitaan emosional pada pasien atau jelas mengganggu kemampuan pasien untuk berfungsi dalam bidang yang penting.
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh 1
Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali tubuh, kekhawatiran orang tersebut adalah berlebihan dengan nyat. 2 Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. 3 Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya, ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa). *Tabel dari DSM IV. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders ed 4. Hak Cipta American Psychiatric Association, Washington 1994
2.4.4 GAMBARAN KLINIS Permasalahan yang paling sering melibatkan kerusakan tubuh, khususnya yang berhubungan dengan bagian spesifik (sebagai contoh hidung). Suatu penelitian menemukan bahwa pada umumnya, pasien memiliki permasalahan tentang empat bagian tubuh selama perjalanan gangguan. Bagian tubuh yang menjadi permasalahan spesifik dapat berubah-ubah selama pasien terkena gangguan.
Lokasi Defek yang Dibayangkan pada 30 Pasien dengan Gangguan Dismorfik Tubuh Lokasi N % Rambut 19 63 Hidung 15 50 Kulit 15 50 Mata 8 27 Kepala,wajah 6 20 Seluruh bentuk tubuh, struktur 6 20 tulang Bibir 5 17 Dagu 5 17 Lambung, pinggang 5 17 Gigi 4 13 Tungkai, Lutut 4 13 Payudara, Otot pektoralis 3 10 Wajah buruk (umum) 3 10 Telinga 2 7 Pipi 2 7 Bokong 2 7 Penis 2 7 Lengan,pergelangan tangan 2 7 Leher 1 3 Dahi 1 3 Otot-otot wajah 1 3 Bahu 1 3 Pinggul 1 3
*aTotal adalah lebih dari 100%karena sebagaian pasien memiliki "defek" pada lebih dari satu tempat b * Termasuk rambut kepala pada 15 kasus, pertumbuhan jenggot pada dua kasus, dan rambut tubuh laim pada tiga kasus *cTermasuk Jerawat pada tujuh kasus, garis wajah pada tiga kasus, dan termasuk masalah kulit lain pada tujuh kasus * dTermasuk masalah bentuk pada lima kasus dan ukursn pada satu kasus (K.A. Phillips,S.L. McElroy,P.E.Keck Jr., H.G.Pope, J.I. Hudson : Body Dysmorphic Disorder:30 Cases of Imagined Ugliness. Am J Psychiatry 150:303,1993)
Adapun bentuk-bentuk perilaku yang mengindikasikan Body Dysmorphic Disorder (BDD) (menurut Watkins, 2006; Thompson, 2002; Wikipedia, 2006; Weinshenker, 2001; dan David Veale) adalah sebagai berikut: Secara berkala mengamati bentuk penampilan lebih dari satu jam per hari atau menghindari sesuatu yang dapat memperlihatkan penampilan, seperti melalui cermin atau kamera. Mengukur atau menyentuh kekurangan yang dirasakannya secara berulang-ulang. Meminta pendapat yang dapat mengukuhkan penampilan setiap saat. Mengkamuflasekan kekurangan fisik yang dirasakannya. Menghindari situasi dan hubungan sosial. Mempunyai sikap obsesi terhadap selebritis atau model yang mempengaruhi idealitas penampilan fisiknya. Berpikir untuk melakukan operasi plastik. Selalu tidak puas dengan diagnosis dermatologist atau ahli bedah plastik. Mengubah-ubah gaya dan model rambut untuk menutupi kekurangan yang dirasakannya. Mengubah warna kulit yang diharapkan memberi kepuasan pada penampilan. Berdiet secara ketat dengan kepuasan tanpa akhir. Weinshenker (2001) menyatakan bahwa diagnosis gangguan kecemasan, rasa malu dan juga depresi seringkali merupakan suatu konsekuensi dari gangguan ini dan pasien mungkin juga memiliki sifat gangguan kepribadian obsesif-komplusif, skizoid dan narsistik
2.4.5 PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS Onset gangguan dismorfik tubuh biasanya bertahap. Orang yang terkena mungkin akan mengalami peningkatan permasalahan tentang bagian tubuh tertentu sampai orang mengetahui bahawa fungsinya terpengaruh oleh permesalahan. Pada
saat itu orang mungkin akan mencari bantuan medis atau bedah plastik untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Tingkat keprihatinan tentang masalah mungkin hilang dan timbul dengan berjalannya waktu, walaupun gangguan dismorfik tubuh biasanya merupakan suatu gangguan kronis jika dibiarkan tidak diobati.
2.4.6 PENATALAKSANAAN Pengobatan pasien gangguan dismorfik tubuh dengan prosedur bedah, dermatologis, dental dan prosedur medis lainnya untuk menyelesaikan defek yang dideritanya hampir selalu tidak mendapatkan hasil. Adapun obat tetrasiklik, inhibitor monamin oksidase, dan pimozide telah dilaporkan berguna pada kasus individual, dan semakin banyak data yang menyatakan bahwa obat spesifik serotonin sebagai contoh : clomipramine (Anafranil) dan fluoxetine (Prozac) dapat efektif dalam menurunkan gejala sekurang-kurangnya 50% pasien. Pada tiap pasien dengan gangguan mental penyerta, seperti gangguan depresif atau ganggauan kecemasan, maka gangguan penyerta harus diobati dengan farmakoterapi dan psikoterapi yang sesuai. Berapa lamanya pengobatan harus dilanjutkan jika gejala gangguan dismorfik tubuh telah menghilang masih belum diketahui.
Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan Gangguan Dismorfik Tubuh
2.5 GANGGUAN NYERI Pada gangguan nyeri, penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan, faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat. Diagnosis akurat mengenai gangguan nyeri terbilang sulit karena pengalaman subjektif dari rasa nyeri selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis, dimana rasa nyeri itu sendiri bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana, seperti penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, memutuskan apakah rasa
nyeri yang dirasakan merupakan gangguan nyeri yang tergolong gangguan somatoform, amatlah sulit. Akan tetapi dalam beberapa kasus dapat dibedakan dengan jelas bagaimana rasa nyeri yang dialami oleh individu dengan gangguan somatoform dengan rasa nyeri dari individu yang mengalami nyeri akibat masalah fisik. Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris dari rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang dirasakan menjadi lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
2.5.1 EPIDEMIOLOGI Nyeri mungkin merupakan keluhan tersering didalam praktik medis dan sndrom nyeri yang sulit dikendalikan lazim ditemukan. Nyeri punggung bawah menyebabkan 7 juta orang di Amerika serikat mengalami hendaya dan bertanggung jawab untuk lebih dari 8juta kunjungan ke ruang praktik dokter setiap tahun. Gangguan nyeri didiagnosis dua kali lebih sering
pada perempuan dibandingkan laki-laki. Usia puncak awitan
adalah dekade keemapat dan kelima, mungkin karena toleransi terhadap nyeri berkurang seiring dengan pertambahan usia. Gangguan nyeri paling lazim ditemukan pada orang dengan pekerjaan industri, mungkin karena kecenderungan mendapatkan cedera terkait pekerjaan meningkat. Kerabat derajat pertama pasien dengan gangguan nyeri memiliki gangguan yang sama; oleh sebab itu, penurunan genetik atau mekanisme perilaku mungkin terlibat didalam transmisinya. Gangguan depresif, gangguan ansietas, dan penyalahgunaan zat juga lebih lazim ditemukan didalam keluarga pasien dngan gangguan nyeri dibandingkan populasi umum.
2.5.2 ETIOLOGI 1. Faktor Psikodinamika. Pasien yang mengalami sakit dan nyeri pada tubuhnya tanpa penyebab fisik yang dapat diidentifikasi secara adekuat mungkin merupakan ekspresi simbolik dari konflik intrapsikis melalui tubuh. Bbeberapa pasien menderita alekstimia, dimana mereka tidak mampu mengartikulasikan kata-kata, sehingga tubuh mengekspresikan perasaanny. Pasien lain mungkin secara tidak disadari memangdang nyeri emosional sebagai kelemahan dan bagaimanapun tidak ada dalam kekuasaan. Dengan mengalihkan masalah ke tubuh, mereka merasa bahwa mereka memiliki kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan mereka. Arti simbolik dari ganggguan
tubuh mungkin juga berhubungan dengan penebusan ata dosa yang dirasakan, penebusan kesalahan, atau agresi yang ditekan. Banyak pasien mengalami nyeri yang sukar disembuhkan dan tidak responsif karena mereka berkeyakinan bahwa mereka pantas untuk menderita. Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk mendapatkan cinta, suatu hukuman karena kesalahan, dan cara untuk menebus kesalahn dan baertobat akan keburukan. Mekanisme pertahanan yang digunakan oleh pasien dengan gangguan nyeri adalah pengalihan, substitusi, dan represi. Identifikasi memainkan peranan jika pasien mengambil peranan objek cinta yang ambivalen yang juga mengalami nyeri seperti orang tua. 2. Faktor Perilaku. Perilaku sakit adalah didorong jika disenangi dan dihambat jika diabaikan atau dihukum. Sebagai contoh, gejala nyeri sedang mungkin menjadi kuat jika diikuti oleh perlakuan cemas dan penuh perhatian dari orang lain, oleh tujuan keuangan, atau oleh kebehasilan dalam menghindari aktivitas yang tidak disenangi. 3. Faktor Interpersonal Nyeri yang sukar disembuhkan telah dipandang sebagai cara untuk memanipulasi dan mendapatkan keuntungan dalam hubungan interpersonal, sebagai contoh, untuk menjadi kesayangan anggota keluarga atau untuk menstabilkan perkawinan yang rapuh,. Tujuansekunder tersebut adalah paling penting bagi pasien dengan gangguan nyeri. 4. Faktor biologis Korteks serebaral dapat menghampat pemicuan serabut nyeri aferen. Serotonin kemungkinan merupakan suatu neurotransmiter utama didalam jalur inhibitor desenden, dan endorfin juga berperan dalam modulasi nyeri oleh sistem saraf pusat.. Defisiensi endorfin tampaknya berhubungan dengan penguatan stimuli sensorik yang datang. Beberapa pasien mungkin memiliki gangguan nyeri, bukannya gangguan mental lain, karena struktural sensorik dan limbik atau
kelaian kimiawi yang
mepredisposisiskan mereka mengalami nyeri.
2.5.3 DIAGNOSIS Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan nyeri mengahruskan adanya keluhan nyeri yang bermakna secara klinis. Keluhan nyeri harus diaanggap secar bermakna dipengaruhi oleh faktor psikologis, dan gejala harus menyebabkan
penderitaan emosional yang bermakna atau gangguan fungsional (sebagai contoh, sosial atau pekerjaan) bagi pasien. DSM-IV mengahruskan bahwa gangguan nyeri didefinisikan lebih jauh sebagai berhubungan terutama dengan faktor psikologis atau sebagai hubungandari faktor psikologis dan suatu kondisi medis umum. DSM-IV lebih lanjut menyebutkan bahwa gangguan nyeri semata-mata berhubungan dengan kondisi medis umum didiagnosis sebagai kondisi Aksis III. DSM-IV juga memungkinkan klinisi menyebutkan apakah gangguan nyeri adalah akut atau kronis, tergantung pada apakah gejala telah berlangsung enam bulan atau lebih lama.
2.5.4 PENATALAKSANAAN Pengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut:
Memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam
pikiran penderita.
Relaxation training
Memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang
mengalami rasa nyeri Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita rasakan.
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA 1. Sadock BJ and Sadock VA. 2010. Kaplan & Sadock’s Concise Textbook of Clinical Psychiatry. New York, Lippincott Williams & Wilkins Inc 2. American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed. rev. Washington D.C, American Psychiatric Association 3. Mai F. 2004. Somatization Disorder : A Practical Review. Canadian Journal of Psychiatry Vol. 49 (10) : 652 – 662 4. Huwitz T. 2004. Somatization and Conversion Disorder. Canadian Journal of Psychiatry Vol. 49 (3) : 172 – 178 5. Oyama O, Paltoo C, Greengold J. 2007. American Family Physician Vol. 76 (9) : 1333 – 1338 6. Roy A. Hysteria : A case Note Study. 1979. Canadian Journal of Psychiatry Vol 24 : 157 – 160 7. Abrahamowitz,
J.,
&
Braddock,
A.
E.
(2010).
Hypochondriasis:
Conceptualization, Treatment, and Relationship due to Obsessive-Compulsive Disorder. Psychiatrics Clinics of North America . 8. Christogiorgos, S., Stzikas, D., Widershoven-Zervaki, M.-A., Dimitripoulou, P., Athanassiadou, E., & Giannakoupulou, G. (2013). Hypochondrial Anxiety in Adolescence. The Open Mysiology Journal , 3-4. 9. Kupfer, D. J. (2013). Somatic Symptoms Criteria in DSM-V Improve Diagnosis, Care. American Psychiatric Association . 10. Rosenfelt, H. (2008). Psychotic States. New York: Elsevier. 11. Ness, Debra. 2007. Physical Therapy Management for Conversion Disorder: Case Series . JNPT • Volume 31, March 2007 12. Blitzstein, Sean. 2008. Recognizing and Treating Conversion Disorder. American Medical Association Journal of Ethics. March 2008, Volume 10, Number 3: 158-160. 13. Maqsood et al. 20 10. Patients with Conversion Disorder; Psychosocial Stressor and Life Events. Professional Med J Dec 2010;17(4): 715-720 14. Hurwitz, Trevor. 2003. Somatization and Conversion Disorder. Can J Psychiatry 2003;49:172–178 15. Cognitive Behavioral Therapy for Woolfolk, R dan Lesley A. Allen. 2012. Somatoform Disorders. Standard and Innovative Strategies in Cognitive Behavior Therapy. 2012. 16.