BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari hari, kita sering sekali menjumpai berbagai
macam orang dan tentu saja kesukaan setiap orang sangat berbeda. Begitu
pula hasrat seksual seseorang, setiap seseorang tentu saja memiliki hasrat
seksual yang berbeda – beda. Oleh sebab itu, tidak jarang sekali seseorang
mengalami gangguan seksual.
Selain gangguan seksual, ada juga yang disebut dengan gangguan
preferensi seksual dimana orang itu akan mencapai kepuasan seksual dengan
melampiaskan hasrat seksualnya kesesuatu yang ia sukai. Ada beberapa
gangguan preferensi seksual seperti fetishisme, trasvestisme fetishistik,
ekshibisionisme, veyeurisme, pedofilia dan sadomasokisme.
Dalam hal ini kita akan membahas apa itu fetishisme dan apa saja
diagnosisnya, tingkatan-tingkatannya dan juga kita akan menyediakan kasus
serta pendiagnosisannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu fetisisme?
2. Apa saja tingkatannya?
3. Bagaimana cara mendiagnosa seseorang mengalami fetisisme?
4. Bagaimana cara penanganannya?
5. Sebutkan contoh kasus serta analisis kasus tersebut berpedoman
pada PPDGJ-III?
BAB II
FETISISME
A. PENGERTIAN
Terdapat beberapa gangguan seksual, salah satunya ialah parafilia.
Parafilia berasal dari bahasa Yunani, para artinya "sisi lain" dan philos
artinya "mencinta". Parafilia bias diartikan keterangsangan seksual
(mencintai) terhadap stimulus yang tidak biasa (sisi lain). Jadi parafilia
adalah gangguan seksual yang ditandai oleh khayalan seksual yang kuat yang
biasanya berulang kali dan menakutkan bagi seseorang.
Kategori parafilia utama dalam Diagnostic and Statistical Manual
Disorders edisi keempat (DSM-IV) adalah ekshibisionisme, fetishisme,
frotteurisme, pedofilia, masokisme seksual, sadism seksual, veyourisme,
fetihisme transvestik, dan suatu kategori terpisah untuk parafilia lain
yang tidak ditentukan (NOS ; not otherwise spefied)- sebagai contoh,
zoofilia.
Pada pembahasan ini, kita akan focus pada salah satu ketegori
parafilia yaitu fetisisme. Kata fetish berasal dari fétiche Perancis, yang
berasal dari feitiço Portugis ("mantra"), yang pada gilirannya berasal dari
bahasa Latin facticius ("buatan") dan facere ("untuk membuat"). Fetish
adalah sebuah objek diyakini memiliki kekuatan supranatural, atau khusus,
benda buatan manusia yang memiliki kekuasaan atas orang lain. Pada
dasarnya, fetisisme adalah atribusi dari nilai yang melekat atau kekuatan
suatu benda. Istilah "fetish erotis" dan "fetish seksual" pertama kali
diperkenalkan oleh Alfred Binet . Kadang-kadang, kata fetish dapat dianggap
sinonim untuk "fetish seksual" (misalnya, bila digunakan dalam pornografi
berdasarkan fetishes seksual).
Secara umum, fetishisme adalah ketertarikan seksual yang kuat dan
berulang terhadap objek yang tidak hidup. Dalam fetishisme fokus seksual
adalah benda-benda ( seperti sepatu, sarung tangan, pakaian dalam, dan
stocking ) yang berhubungan erat dengan tubuh manusia. Objek disebut fetish
sedangkan penderitanya disebut fetishis.
Gangguan ini hampir selalu ditemukan kepada laki-laki. Objek
fetisisme meliputi rambut, telingan, tangan, pakaian dalam, sepatu, parfum,
dan objek sama yang diasosiasikan lawan jenis. Beberapa fetishis memegang
atau memakai objek fetishisme, beberapa yang lain terangsang dengan membaui
objek, menggosok-gosoknya, atau melihat orang lain memakainya saat
melakukan hubungan seksual. Pada beberapa kasus, fetishis bahkan tidak
memiliki hasrat untuk berhubungan seksual dengan pasangannya, malah lebih
memilih melakukan masturbasi dengan objek fetishismenya.
Fetisisme melibatkan jenis perilaku kompulsif yang tampaknya diluar
kendali individu serta dapat menjadi sumber distress yang hebat dan masalah
pribadi. Meskipun beberapa fetishis menggabungkan perilaku fetishisme
mereka kedalam hubungan seksual dengan pasangan mereka yang menerima
perilaku tersebut, perilaku fetishme lebih sering mengganggu fungsi seksual
yang normal.
Biasanya, gangguan ini dimulai pada masa remaja, walaupun pemujaan
mungkin telah diderita pada masa anak-anak. Jika telah diderita, gangguan
cenderung menjadi kronik. Aktivitas seksual mungkin diarahkan kepada
pemujaan itu sendiri (sebagai contohnya, masturbasi dengan atau kedalam
sepatu), atau pemujaan dapat digabungkan kedalam hubungan seksual (sebagai
contohnya, mengharuskan menggunaan sepatu bertumit tinggi).
Pengidap fetisisme mungkin akan melakukan pencurian, bahkan sampai
penyerangan untuk mendapatkan barang atau benda yang diinginkan. Barang
yang dicuri tidak begitu penting, biasanya pakaian dalam wanita. Umpamanya
seorang pemuda mengakui telah memasuki beberapa rumah dimana memasuki rumah
itu sendiri cukup untuk mendapatkan orgasme.
Pola pemuasan fetisisme biasanya menjadi pola yang dipilih hanya jika
seseorang mengalami maladjustment, misalnya maladjustment yang berhubungan
dengan perasaan keraguan akan potensi dan kemaskulinitas seseorang,
perasaan takut ditolak, dan perasaan terhina. Dengan praktek dan penguasaan
fetisitis terhadap benda-benda mati yang melambangkan objek seksual yang
diinginkan - seseorang pria merasa bisa melindungi dan menutupi kekurangan
dirinya.
Menurut Freud, pemujaan berperan sebagai simbul falus karena orang
memiliki ketakutan kastrasi yang tidak disadari. Behaviorisme fetishisme
ditelusuri kembali kepengkondisian klasik dan muncul dengan banyak teori
teori khusus. Tema umum adalah bahwa ransangan sexual dan objek fetish
disajikan secara bersamaan, menyebabkan mereka harus terhubung dalam proses
pembelajaran. Karna pengkondisisan klasik tampaknya tidak mampu menjelaskan
bagaimana perilaku ac tanpa pengulangan apapun. Beberapa behavioris
mengatakan bahwa fetishisme merupakan hasil dari bentuk khusus dari
pengkondisian, yang disebut imprinting pengkondisian seperti ini terjadi
selama waktu tertentu pada anak usia dini, dimana orientasi sexual
dicantumkan pada pikiran anak dan tinggal disana selama sisa hidupnya.
Beberapa ahli saraf menunjukan fetishisme merupakan hasil dari lintas
saraf antara daerah tetangga di otak manusia. Sebagai contoh, pada tahun
2002 villa Yanus S. Ramacandran menyatakan pemrosesan input sensoris
wilayah dari kaki terletak tepat disamping kawasan pengelolahan rangsangan
seksual.
B. TINGKATAN PADA FETISISME
Seperti yang telah disampaikan, fetishisme merupakan salah satu
kelainan seksual, dimana individu dalam melakukan aktifitas seksual
melibatkan barang-barang tertentu. Bila benda-benda yang menyertai
aktifitas tersebut tidak ada, maka individu tidak bergairah atau kehilangan
libido seksualnya.
Fetishisme pada umumnya dapat diterima pada masyarakat selama tidak
terjadinya kekerasan akibat pemaksaan salah satu pasangan. Pria akan
memberi objek-objek yang menjadi fantasinya untuk digunakan kepada
pasangannya, wanita kebanyakan tidak keberatan dengan aksesoris tersebut
selama tidak membuatnya tersiksa, hal lain juga dianggap sebagai variasi
sex. Namun fetishisme bisa menjadi suatu kelaian yang berbahaya bila
perilakunya mulai ekstrim, berikut ini ada beberapa tingkatan fetishisme
menurut keparahan penyimpangannya:
1. Tingkat pertama: Pemuja (Desires)
Ini adalah tahap awal, tidak terlalu berpengaruh atau tidak menganggu
pikiran. Contohnya adalah saat seorang pria mengidamkan wanita dengan
payudara yang besar, rambut pirang, atau berbibir tipis. Namun bila pria
ini tidak mendapatkan wanita yang diimpikan, dia tidak akan terlalu
mempermasalahkannya dan hubungan sexual dengan wanita tetap berjalan dengan
normal.
2. Tingkat kedua: Pecandu (Cravers)
Ini adalah tingkatan lanjutan dari tingkatan awal. Pada tingkatan ini
psikologis orang ini membuat dirinya "amat membutuhkan" pasangan dengan
fetish tertentu yang didambakannya. Bila hal itu tidak terpenuhi, akan
mengganggu hubungan sexual dengan wanita, misalnya bila hasrat sexual atau
tidak tercapainya orgasme/klimaks.
3. Tingkatan tiga: Fetish tingkat menengah
Ini termasuk tingkat yang berbahaya, Fetishis akan melakukan apapun
demi mendapakan fetish yg dia inginkan dengan menculik, menyiksa, atau hal-
hal sadis lainnya. Hasrat seksual Fetishis ini hanya akan terlampiaskan
dengan seseorang yg memiliki bagian yg dia inginkan tidak peduli itu lawan
jenis atau sejenis.
4. Tingkatan empat: Fetisis tingkat tinggi
Lebih sadis dari tingkat ketiga, pada tingkat ini seseorang tidak
akan peduli dengan hal lain di luar fetish-nya. Misal Fetish seseorang
adalah stocking wanita, maka dia tidak membutuhkan wanita itu, hanya
stockingnya saja. Dan yang lebih parah adalah bila Fetish seseorang adalah
bagian tubuh, dia hanya membutuhkan bagian tubuh orang itu saja dan tidak
peduli dengan orang yg memiliki bagian tubuh itu sendiri.
5. Tingkatan lima: Fetisis Murderer
Pada tingkat ini memang sudah parah sekali. Seorang fetishisme rela
membunuh, memutilasi, demi mendapatkan fetish yang dia inginkan. Penyakit
psikologis ini bisa sembuh dengan terapi psikologis dan pengobatan kejiwaan
lainnya. Tergantung dari tingkat Fetishis itu sendiri.
C. PEDOMAN DIAGNOSTIK
"DSM-IV "PPDGJ-III & DSM-V "
"1. Selang waktu sekurangnya 6 "1. Mengandalkan pada beberapa "
"bulan, terdapat hayalan yang "benda mati (non-living object) "
"merangsang secara seksual, "sebagai rangsangan untuk "
"dorongan seksual, atau perilaku "membangkitkan keinginan seksual "
"yang berulang dan kuat berupa "dan memberikan kepuasan seksual. "
"pemakaian benda-benda mati "Kebanyakan benda tersebut (objek "
"(misalnya, pakaian dalam wanita) "fetish) adalah ekstensi dari "
" "tubuh manusia, seperti pakaian "
" "atau sepatu. "
"2. Khayalan, dorongan seksual, "2. Diagnosis ditegakkan apabila "
"atau perilaku menyebabkan "objek fetish fetish benar-benar "
"penderitaan yang bermakna secara "merupakan sumber yang utama dari "
"klinis atau gangguan dalam fungsi"ransangan seksual atau penting "
"sosial, pekerjaan, atau fungsi "sekali untuk respons seksual yang"
"penting lainnya. "memuaskan. "
"3. Objek fetish bukan pakaian "3. Fantasi fetishistik adalah "
"wanita yang digunakan dalam "lazim, tidak menjadi suatu "
""cross-dressing" (berpakaian "gangguan kecuali apabila menjurus"
"lawan jenis) (seperti pada "kepada suatu ritual yang begitu "
"fetisisme transvestik) atau "memaksa dan tidak semestinya "
"lat-alat yang dirancang untuk "sampai mengganggu hubungan "
"stimulasi taktil pada genital "seksual dan menyebabkan "
"(misalnya sebuat vibrator) "penderitaan bagi individu "
" "4. Fetishisme terbatas hampir "
" "pada pria saja "
D. PENANGANAN
Secara umum, penangana seseorang yang mengalami gangguan parafilia
adalah dengan terapi. Psikoterapi berorientasi tilikan adalah pendekatan
yang paling sering digunakan untuk mengobati parafilia. Pasien diberi
kesempatan untuk mengerti dinamikanya sendiri dan peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan perkembangan parafilia. Psikoterapi juga memungkinkan pasien
kembali meraih harga dirinya dan memperbaiki kemampuan interpersonal dan
menemukan metoda yang dapat diterima untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Terapi kelompok juga beguna.
1. Terapi Seks
Terapi seks adalah pelengkap yang tepat untuk pengobatan pasien yang
menderita disfungsi seksual tertentu dimana mereka mencoba melakukan
aktivitas seksual yang tidak mentimpang dengan pasangannya.
2. Terapi Perilaku
Digunakan untuk memutuskan pola parafilia apa yang dipelajari. Stimuli yang
menakutkan, seperti kejutan listrik atau bau menyengat, telah dipasangkan
dengan implus tersebut, yang selanjutnya menghilang. Stimuli dapat
diberikan oleh diri sendiri dan digunakan oleh pasien bilamana mereka akan
bertindak atas dasar implusnya.
3. Terapi Obat
Antiandrogen, seperti cyproterone acetate di Eropa dan Medroxyprogesterone
acetate (Depo-Provera) di Amerika Serikat, telah digunakan secara
eksperimental pada parafilia hiperseksual. Beberapa kasus telah melaporkan
penurunan perilaku.
Sedangkan untuk fetisisme sendiri, telah ada eksperimen untuk menguji
hipotesis dari fetisisme. Untuk menguji hipotesis pembelajaran ini (dalam
eksperimen yang akan dianggap tidak etis dengan standar saat ini), salah
satu kelompok peneliti melaporkan bahwa mereka dapat mengondisikan subjek
laki-laki untuk menjadi fetis (Rachman, 1966; Rachman & Hodgson, 1968).
Dalam salah satu penelitian tersebut, peneliti memperlihatkan kepada subjek
laki-laki gambar telanjang dari wanita yang hamper tak berbusana (stimulus
tak terkondisikan) dipasangkan dengan bot berbalut bulu (stimulus yang
dikondisikan) dan menggunakan suatu apparatus untuk mengukur respons ereksi
subjek laki-laki. Setelah mengulang-ulang pemasangan gambar wanita dan
sepatu bot (dan aksesoris kaki lainnya), subjek laki-laki menjadi
terangsang hanya dengan melihat aksesoris kaki (stimulus terkondisikan).
Menghilangkan perilaku ini kemudian dicapai dengan secara berulang
memperlihatkan sepatu dan bot tanpa gambar wanita. Setelah itu, subjek
kehilangan ketertarikan terhadap objek tersebut yang tidak lagi memiliki
asosiasi seksual.
Hal yang sama kontroversialnya dengan penelitian ini adalah
memberikan seorang model untuk melakukan treatmen terhadap fetisis dan
peneliti menyatakan bahwa extinction dan metode perilaku lainnya adalah
strategi treatmen yang efektif. Salah satu teknik tersebut adlah terapi
aversif yang dilakukan dengan member hukuman kepada fetisis, seperti
memakan obat penyebab muntah atau dihipnotis agar merasa muak saat
melakukan mastrubasi dengan objek fetisismenya.
Pengkondisian kembali orgasmik (orgasmic reconditioning) adalah
metode perilaku lainnya yang didasarkan pada proses belajar kembali. Dalam
prosedur untuk menangani parafilia ini, individu dipaksa untuk merangsang
dirinya dengan suatu fantasi terhadap objek yang tidak dapat diterima,
kemudian melakukan mastrubasi sambil melihat stimulus seksual yang tepat
seperti gambar pasangan dewasa. Jika rasangannya menurun, maka ia boleh
difantasi lagi dengan objek yang tidak dapat diterima, namun ia hanya boleh
mencapai orgasme saat focus pada stimulus yang dapat diterima. Pada saat
itu, individu diharapkan semakin berkurang ketergantungannya pada objek
yang tidak dapat diterima dan semakin meningkat kepuasan seksualnya saat
distimulasi dengan objek yang dapat diterima.
E. KASUS
Pria Ini Tepergok Masturbasi di Balik Jemuran Pakaian Dalam
Liputan6.com, Jakarta. Jemuran pakaian dalam wanita bisa menarik perhatian
pria. Itulah yang terjadi di Kampung Kenangan Batu, Subang Jaya, Malaysia.
Seorang pria asing malah bermasturbasi dan ejakulasi di jemuran pakaian
dalam wanita.
Keluarga yang mengalaminya tentu terkejut. Bahkan, para tetangga membantu
keluarga tersebut dan menangkap pria yang tertangkap basah sedang beraksi
di sore hari. Keluarga yang tak disebutkan identitasnya itu tidak menyangka
ada alasan di balik sulit keringnya jemuran pakaian mereka.
Subang Jaya OCPD Asst Comm Yahaya Ramli mengatakan pelapor, yang
identitasnya dirahasiakan, mendengar sepeda motor berhenti di depan
rumahnya sore hari. Pelapor yang berjenis kelamin pria itu mengintip dan
melihat sepasang kaki menuju ke tempat jemuran pakaian.
"Korban keluar untuk memeriksa dan melihat seorang pria gemuk melakukan
sesuatu di balik pakaian yang tergantung. Dia melihat apa yang dia lakukan,
"kata ACP Yahaya seperti dilansir TheStar.
Pelapor terkejut kemudian meminta bantuan sehingga tetangga berdatangan
mengelilingi pelaku. Pria pelaku yang merupakan sopir truk berusia 55 tahun
itu berlutut dan memohon dibebaskan. Namun, pelaku akhirnya diserahkan
kepada polisi. Si pelaku pun mengaku kepada polisi bahwa ia sudah datang
tiga kali ke rumah tersebut dan melakukan masturbasi di pakaian dalam
wanita. Polisi kemudian menjadikan beberapa pakaian dalam wanita itu
sebagai bukti dan menemukan noda air mani.
Pada kasus ini tak disebutkan alasan pria melakukan aksinya. Namun, ada
beberapa kelainan seksual aneh yang bisa orang lakukan.
Istilah itu sering dikenal dengan fetish. Fetish merupakan bentuk kelainan
seksual ketika orang-orang yang mendapatkan kepuasan seksual dari hal-hal
seperti benda, pakaian khusus, atau bagian tubuh tertentu.
F. ANALISIS KASUS
Aksis I F65.0 Fetisisme
Menggunakan benda mati sebagai objek fetish untuk
mastrubasi yanki celana dalam wanita
Aksis II F60.1 Gangguan kepribadian schizoid
Kurang tertarik mengalami pengalaman seksual dengan orang
lain
Aksis III Tidak ada (none)
Aksis IV Ancaman kehilangan pekerjaan, berurusan dengan hukum, serta
akan mendapatkan sangsi sosial
Aksis V GAF = 44 Gejala berat sehingga perlu di laukakan penangan
seperti psikoterapi
DAFTAR PUSTAKA
Halgin R.P. and Whitbourne, S.K. 1994. Abnormal Psychology.
Philadelpia : Harcourt Brace.
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., Greb, J.A. 1997. Sinopsis Psikiatri. Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Ahli Bahasa Wijaya
Kususma. Jakarta : Bina Rupa Aksara.
Liftiah. 2009. Psikologi Abnormal. Semarang : Widya Karya.
Maslim, R. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa. PPDGJ-III.