I.
PENDAHULUAN
Trauma dapat menyebabkan cedera fasial yang kompleks disertai dengan hilangnya suatu jaringan. Sebagian besar dari cedera tersebut melibatkan jaringan keras dan jaringan lunak. Rehabilitasi dini pada sebagian besar defek yang direkonstruksi dengan segera akan menghasilkan pengembalian bentuk dan fungsi yang maksimal (Balaji, 2007). Trauma yang melibatkan jaringan keras dapat menimbulkan fraktur. Fraktur merupakan hilangnya kontinuitas dari tulang. Penegakan diagnosis fraktur didasarkan pada adanya tanda-tanda sebagai berikut: dislokasi, pergerakan yang tidak normal dari tulang, krepitasi, tampak fragmen patahan dari tulang. Selain itu, terdapat tanda-tanda yang tidak pasti yaitu sakit, pembengkakan dan hematoma, functio lesa seperti trismus, gangguan bicara atau menelan, maloklusi, dan parastesi. Pemeriksaan radiografi juga diperlukan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat sehingga dapat ditentukan terapi yang tepat pula. Fraktur oromaksilofasial adalah terputusnya kontinuitas tulang-tulang pembentuk wajah seperti mandibula, maksila, tulang nasal, zygoma, palatum, tulang frontal, dan tulang orbita. Fraktur mandibula mempunyai frekuensi yang lebih besar jika dibandingkan dengan fraktur maksila. Perawatan fraktur oromaksilofasial dapat dilakukan dengan reduksi tertutup atau reduksi terbuka tergantung pada kasus yang dihadapi.
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Fraktur Maksila
Fraktur pada sentral wajah seringkali terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, kekerasan, dan d an akibat a kibat trauma benda tumpul lainnya. Pada anakanak, prevalensi fraktur tulang wajah secara keseluruhan jauh lebih rendah dibandingkan pada dewasa (Suardi dkk, 2011). 1.
Klasifikasi Fraktur Maksila
Menurut Budihardja dan Rahmat (2010), berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Rene Le Fort, pola fraktur maksila terbagi menjadi 3, yaitu: a.
Le Fort I (Fraktur Guerin) Garis fraktur berjalan dari apertura piriformis di bagian atas spina nasalis, kemudian berjalan ke dinding sinus maksilaris, krista zigomatikoalveolaris, tuber maksila, bagian ujung kaudal prosesus pterigoideus, dinding posterior sinus maksilaris, hingga kembali ke apertura piriformis.
b.
Le Fort II Maksila terpisah dari wajah bagian tengah dengan bentuk menyerupai piramida. Garis fraktur berjalan dari sutura frontonasalis atau sutura frontomaksilaris ke bagian anteromedial dan dinding inferior orbita terus ke bagian tengah cincin infraorbital, dinding fasial sinus maksilaris, krista zigomatikoalveolaris,
bagian
posterior
sinus
maksilaris,
prosesus
pteriqoideus, fisura orbitalis inferior, hingga sampai samp ai ke garis fraktur pada bagian orbita. Terjadi juga fraktur fraktur di vomer dan lamina perpendikularis. perpendikularis.
2
c.
Le Fort III Fraktur memisahkan viserokranium dan neurokranium. Garis fraktur berjalan dari sutura frontonasalis atau sutura frontomaksilaris lewat os. Lacrimale, dinding medial orbita, foramen optikum. Dari sini garis fraktur berjalan terus ke sutura zigomatikofrontalis. Terjadi juga fraktur arkus zigomatikus.
Gambar 1. Garis Fraktur Tipe Le Fort I – III.
2.
Tanda dan Gejala
Tanda-tanda klinis fraktur yang pasti adalah displacement , pergerakan rahang yang abnormal, dan krepitasi. Terasa juga diastase tulang setelah dipalpasi pada bagian vestibulum maksila khususnya di apertura piriformis dan krista zigomatikoalveolaris. Sementara itu, tanda-tanda fraktur yang tidak pasti antara lain: bengkak, hematoma, perdarahan, protusio bulbi, gangguan sensibilitas pada daerah persarafan infraorbitalis, gangguan penglihatan, rhinoliquorrho, dan suara ‘nyaring’ pada saat gigi diketuk.
3
a.
Le Fort I Pada trauma yang masih baru dijumpai sedikit pembengkakan pada bibir atas. Terjadi floating jaw atau maksila yang terasa bergerak bebas setelah dilakukan perabaan pada ketinggian di daerah apertura piriformis (Budihardja dan Rahmat, 2010). Pada tipe ini juga mungkin terjadi kerusakan pada tonjoltonjol gigi, biasanya pada daerah gigi p remolar (Banks, 1992). Meskipun dalam banyak kasus kedua fraktur ini dapat dibedakan secara klinis, namun tanda dan gejala antara fraktur Le Fort II dan Le Fort III kebanyakan sangat mirip, seperti yang disebutkan di bawah ini (Banks, 1992; Budihardja dan Rahmat, 2010). - Pasien dengan fraktur ini memiliki penampakan moon face yang khas diakibatkan oleh edema jaringan lunak yang menutupi sepertiga tengah skeleton fasial. - Wajah bagian tengah terasa goyang atau lepas dan terpisah dari daerah zigoma dan orbita - Deformitas hidung yang nyata (hematom dan dislokasi sep tum hidung) - Retroposisi maksila sehingga gigi geligi tidak saling bertemu - Kesulitan membuka mulut.
b.
Le Fort II Tanda dan gejala khasnya berupa: - Seluruh bagian hidung dan maksila akan terasa bergerak - Deformitas step pada tepi orbital - Anestesia atau parestesia pipi
4
- Diplopia - Tidak ada kelunakan atau disorganisasi dan mobilitas tulang zigomatik dan lengkung zigomatik. c.
Le Fort III (Banks, 1992; Budihardja dan Rahmat, 2010) Tanda dan gejala khasnya berupa: - Terasa adanya pemisahan bagian kranio-fasial atau seluruh bagian sepertiga tengah tulang muka - Sutura frontozigomatik melunak dan terpisah - Deformitas lengkung zigomatik - Pemanjangan wajah - Penurunan permukaan mata - Enoftalmos - Hooding mata - Pemanjangan dan kadang-kadang disorganisasi hidung yang ekstrim - Bidang oklusi miring - Garis tengah maksila berpindah ke lateral.
3.
Pemeriksaan Fraktur Maksila (Budihardja dan Rahmat, 2010; Suardi,
2011) a.
Anamnesis Pengetahuan tentang mekanisme cedera memungkinkan dokter untuk mencurigai cedera yang terkait selain cedera primer. Waktu di antara cedera atau penemuan korban dengan inisiasi treatment merupakan informasi yang sangat berharga dan dapat mempengaruhi resusitasi pasien.
5
b.
Inspeksi Perhatikan keberadaan epitaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema, dan hematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan belakang yang mengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada gigi posterior. Perhatikan pula adanya deformitas atau asimetri muka dan laserasi jaringan lunak. Penderita dengan wajah bengkak, edema kelopak mata, sirkum orbital ekimosis, dan subkonjungtival ekimosis merupakan tanda-tanda adanya fraktur Le Fort II/III. Perbedaan kontur atau asimetri wajah dapat lebih jelas diteliti dengan berdiri dibelakang penderita dan memandang kepala dari atas ke bawah. Hal ini sangat membantu dalam mendeteksi adanya fraktur zigomatikus.
c.
Palpasi Palpasi
bilateral
dapat
menunjukkan step
deformity pada
sutura
zigomatikomaksilari, mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior. Pemeriksaan palpasi secara bimanual pada daerah kompleks zigomatikus, pinggir orbita, kompleks nasalis dan bagian muka lain yang dicurigai terjadi fraktur. Diperiksa apakah ada gerakan abnormal atau nyeri tekan. Juga diperiksa apakah ada anesthesia atau paresthesia daerah infraorbital. d.
Mobilitas Maksila Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara memegang dengan kuat bagian anterior maksila di antara ibu jari dengan keempat jari lainnya, sedangkan tangan yang satunya menjaga agar kepala pasien tidak bergerak.
6
Jika saat maksila digerakkan terdengar suara krepitasi, artinya terdapat fraktur. e.
Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea Cairan serebrospinal dapat mengalami kebocoran dari fossa kranial tengah atau anterior yang dapat dilihat pada kanal hidung ataupun telinga. Fraktur pada fossa kranial tengah atau anterior biasanya terjadi pada cedera yang parah.
f.
Maloklusi Gigi Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan kuat ke arah fraktur maksila. Penegakan diagnosis dapat dibantu dengan informasi mengenai kondisi gigi terutama pola oklusal gigi sebelumnya.
g.
Radiografis Pemeriksaan standar menggunakan radiograf Waters dan radiograf lateral. Jika terjadi fraktur maksila, maka ada beberapa penampakan yang mungkin terlihat, diantaranya: hematosinus, displacement tulang, opasitas pada sinus maksila, pemisahan pada rimaorbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan daerah nasofrontal. Jika diduga ada fraktur sagital maksila, perlu dilakukan pengambilan foto oklusal rahang atas. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan detail perlu dilakukan pengambilan CT Scan dengan rekonstruksi 3D. Diantara pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untuk menilai fraktur maksila adalah dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun dapat digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup baik. Pada keadaan yang khusus dapat pula dilakukan MRI.
7
4.
Terapi (Budihardja dan Rahmat, 2010; Pedersen, 1996)
Prinsip
terapi
adalah
mengembalikan
oklusi
ke
keadaan
normal,
mengembalikan posisi tulang wajah terutama pilar utama wajah ke posisi normal, kemudian memfiksasi tulang yang telah direposisi tersebut. a.
Terapi yang dapat dilakukan untuk fraktur Le Fort I adalah: 1)
Terapi Konservatif Diindikasikan pada fraktur tanpa displacement atau fraktur dengan displacement yang minimal sekali tanpa ada gangguan oklusi, gangguan penglihatan, dan gangguan pada mata.
Pada terapi ini pasien
diinstruksikan untuk diet makanan lunak selama 3-4 minggu dan menghindari aktivitas fisik yang berat, termasuk olahraga. Pasien juga dianjurkan untuk kontrol secara berkala. 2)
Terapi Kombinasi Konservatif-Operatif Pertama dilakukan reposisi fraktur dan oklusi dengan menggunakan arch bar dan MMF dengan kawat. Kemudian dilakukan suspensi dengan menggunakan kawat.
3)
Terapi Operatif Terapi ini menggunakan miniplat dan mikroplat yang saat ini dianggap sebagai state of the art dalam penatalaksanaan fraktur wajah. Setelah melakukan reposisi fraktur menggunakan reduksi terbuka yaitu dengan jalan mendorong mandibula ke arah superior (tekanan balik akan terjadi di daerah dahi), kemudian dilakukan fiksasi menggunakan miniplat atau mikroplat. Apabila tidak berhasil mendapatkan suspensi pada fraktur Le
8
Fort I, maka bisa terjadi hilangnya free way space atau cacat kosmetik yaitu wajah panjang atau keduanya. Seringkali perlu dilakukan pemasangan MMF selama proses reposisi dan fiksasi agar didapatkan oklusi yang baik. Apabila fraktur wajah ini terjadi dengan kombinasi fraktur rahang bawah dan fraktur kondilus, MMF dapat dibiarkan selama beberapa hari sesuai indikasi yang diperlukan. Akses operasi harus dipilih sedemikian rupa sehingga walaupun diperlukan pemasangan miniplat dalam jumlah yang cukup banyak, namun nantinya bekas akses operasi itu tidak mengganggu estetik pasien. Umumnya insisi dapat dilakukan dari intraoral secara paramarginal ataupun marginal, lateroorbital, infraorbital, subsiliar, maupun bikoronal. b.
Terapi yang dapat dilakukan untuk fraktur Le Fort II adalah: Perawatan fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort I, namun dibedakan dengan perlunya perawatan pada fraktur nasal dan dasar orbita. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan teknik tertutup menggunakan molding digital dan splinting .
c.
Terapi yang dapat dilakukan untuk fraktur Le Fort III adalah: Indikasi untuk terapi dengan operasi pada fraktur Le Fort III sama dengan indikasi terapi pada fraktur Le Fort I dan Le Fort II. Pada fraktur Le Fort III dengan displacement yang minimal, akses untuk reduksi terbuka bisa didapatkan dari insisi lateroorbital bilateral dan insisi pada daerah kulit lokal. Sedangkan pada fraktur yang parah dengan derajat displacement yang parah, perlu dilakukan pembukaan akses dari bikoronal. Keuntungan dari akses ini
9
adalah jaringan parut pasca-operasi berada pada daerah yang tidak begitu mengganggu secara estetik. Setelah dilakukan reposisi, fiksasi fragmen tulang dapat dilakukan dengan menggunakan miniplat dan mikroplat. Terapi yang dilakukan tentu saja harus memperhatikan aspek oklusi pasien. Jika diduga ada kerusakan dan trauma dari n. optikus, maka ada 2 alternatif perawatan yang dapat dilakukan. Pertama adalah terapi konservatif dengan memberikan obat-obatan antiinflamasi (misalnya metilprednisolon, dosis awal 30 mg/kg berat badan dilanjutkan dengan 5,4 mg/kg berat badan setiap jam berikutnya selama 48 jam). Jika terdapat hematoma retroorbital dan jika terlihat adanya fragmen tulang yang menyebabkan trauma pada n. optikus, perlu dilakukan revisi dengan intervensi bedah yaitu dekompresi dari n. optikus. Terapi ini semua harus dilakukan secepat mungkin dalam kurun waktu 12 jam. Jangka waktu untuk imobilisasi fraktur Le Fort bervariasi 4-8 minggu, tergantung sifat fraktur dan kondisi pasien. Rontgen pasca reduksi dan pasca imobilisasi diperlukan untuk semua fraktur wajah bagian tengah seperti halnya pada fraktur mandibula.
B. Fraktur Mandibula 1.
Klasifikasi Fraktur Mandibula (Malik, 2008)
Terdapat beberapa cara untuk mengklasifikasikan fraktur mandibula, yaitu: a.
Klasifikasi umum Kruger
10
1)
Simpel atau tertutup: garis fraktur tidak berhubungan dengan lingkungan eksternal dan internal. Fraktur tersebut tidak menyebabkan luka terbuka terhadap lingkungan ekternal, baik melalui kulit, mukosa, atau ligamen periodontal. Contohnya pada fraktur kondilus dan prosessus koronoid.
2)
Compound atau terbuka: fraktur ini berhubungan dengan lingkungan luar melalui kulit atau dengan lingkungan internal melalui mukosa atau ligamen periodontal.
3)
Comminuted : kondisi di mana tulang yang fraktur pecah atau hancur menjadi serpihan-serpihan. Tipe fraktur seperti ini biasanya disebabkan oleh derajat kekerasan yang lebih tinggi ataupun tingginya kecepatan benturan. Contohnya adalah fraktur akibat luka tembak.
4)
Kompleks: fraktur yang melibatkan kerusakan pada struktur vital di sekelilingnya sehingga menyebabkan komplikasi dalam perawatan maupun prognosisnya.
5)
Impaksi: jarang terlihat pada fraktur mandibula dan lebih sering terlihat pada fraktur maksila. Fraktur ini berupa salah satu fragmen tertanam atau masuk ke dalam fragmen lainnya dan pergerakan klinis tidak cukup.
6)
Greenstick : fraktur yang mana salah satu korteks pada tulang tersebut patah sedangkan korteks yang lain menjadi bengkok. Fraktur inkomplit seperti ini sering terjadi pada anak-anak.
7)
Patologis: fraktur spontan yang terjadi akibat cedera ringan atau akibat kontraksi otot yang masih dalam rentang normal. Hal tersebut terjadi karena kondisi tulang yang sebelumnya sudah rapuh.
11
Gambar 2. (1) Fraktur simpel; (2) fraktur greenstick (garis lurus menunjukkan fraktur korteks, garis putus-putus menujukkan korteks yang bengkok); (3) fraktur compound comminuted ; (4) fraktur compound ; dan (5) fraktur comminuted simpel (Malik, 2008).
b.
Lokasi anatomis 1)
Klasifikasi Rowe dan Killey a) Fraktur tidak melibatkan tulang basal (fraktur dentoalveolar). b) Fraktur melibatkan tulang basal mandibula. Dibagi menjadi subdivisi: unilateral tunggal, unilateral ganda, bilateral, d an multipel.
2)
Klasifikasi Dingman dan Natvig berdasarkan regio anatomis a) Fraktur simfisis (fraktur garis tengah). b) Fraktur regio kaninus. c) Korpus mandibula di antara kaninus dan angulus mandibula. d) Regio angulus mandibula. e) Regio ramus mandibula. f) Regio koronoid. g) Fraktur kondilus. h) Regio dentoalveolar.
12
Gambar 3. Klasifikasi fraktur Dingman dan Natvig berdasarkan regio anatomis (1) prosessus koronoid; (2) kondilus; (3) regio ramus; (4) regio angulus mandibula; (5) regio corpus mandibula; (6) prosessus alveolaris; dan (7) regio simfisis (Malik, 2008).
c.
Hubungan fraktur tehadap lokasi cedera : fraktur direk dan fraktur indirek.
d.
Ketebalan fraktur: fraktur sempurna dan tidak sempurna.
e.
Tergantung mekanisme: fraktur avulsi, fraktur membengkok, burst fracture, countercoup fracture, dan fraktur torsional.
f.
Jumlah fragmen: tunggal, multipel, comminuted
g.
Keterlibatan lapisan/ jaringan tubuh: fraktur tertutup atau terbuka, tingkat keparahan I-V.
h.
Bentuk atau area fraktur: melintang, miring/ serong, kupu-kupu, permukaan miring.
i.
Berdasarkan arah fraktur dan kemungkinannya untuk dilakukan perawatan 1)
Fraktur horizontal favourable.
2)
Fraktur horizontal unfavourable.
3)
Fraktur vertikal favourable.
13
4) j.
Fraktur vertikal unfavourable.
Berdasarkan ada tidaknya gigi dalam relasinya terhadap garis fra ktur Ada tidaknya gigi pada lokasi fraktur mandibula, status jaringan periodontal, serta ukuran gigi menjadi sangat penting dalam menentukan rencana perawatan berupa fiksasi. Gigi-geligi dapat menjadi pedoman dalam melakukan prosedur reduksi dan dapat digunakan untuk fiksasi dan imobilisasi. Klasifikasi Kazanjian dan Converse: 1)
Kelas I: yaitu ketika terdapat gigi-geligi pada kedua sisi dari garis fraktur.
2)
Kelas II: yaitu ketika gigi-geligi hanya terdapat pada salah satu sisi dari garis fraktur.
3)
Kelas III: yaitu ketika kedua sisi dari garis fraktur tidak mempunyai gigi (edentulous).
2.
Klasifikasi Fraktur Kondilus Mandibula (Malik, 2008; Balaji, 2007)
a.
Fraktur kondilus unilateral atau bilateral
b.
Klasifikasi Rowe dan Killey
c.
1)
Fraktur kondilus simpel
2)
Fraktur kondilus compound
3)
Fraktur kondilus comminuted terkait dengan zigomatikus
Klasifikasi Rowe dan Killey (1968) 1)
Fraktur intrakapsular (kondilus bagian atas)
2)
Fraktur ektrakapsular (kondilus bagian bawah/ subkondilus)
14
3)
Fraktur yang terkait dengan cedera pada kapsul, ligamen, dan meniskus sendi.
4)
Fraktur yang melibatkan tulang-tulang di sekitarnya (contoh: fraktur tympanic plate)
d.
e.
Klasifikasi MacLennan (1952) 1)
Tanpa pergeseran (displacement )
2)
Terjadi deviasi
3)
Terjadi displacement
4)
Terjadi dislokasi
Klasifikasi Wassmund 1)
Tipe I: fraktur leher kondilus dengan sedikit displacement dari kepala kondilus. Sudut yang terbentuk antara caput dan axis ramus berkisar antara 10-45o. Tipe fratur ini biasanya akan tereduksi secara spontan. o
2)
Tipe II: sudut yang terbentuk antara kepala dan ramus adalah 45-90 .
3)
Tipe III: fragmen tidak berkontak, kepala kondilus bergeser lebih ke medial dan ke depan.
4)
Tipe IV: fraktur kepala kondilus berartikulasi dengan eminensia artikularis atau di depannya.
5)
Tipe V: fraktur vertikal atau oblique melalui kepala kondilus (jarang terjadi)
f.
Klasifikasi Lindhal, dibagi lagi berdasarkan: 1)
Level fraktur a)
Fraktur kepala kondilus
15
2)
3)
b)
Leher kondilus
c)
Subkondilus
Relasi fragmen kondilus terhadap mandibula a)
Undisplaced
b)
Terdeviasi
c)
Lateral displacement
d)
Medial displacement
e)
Anteroposterior displacement
f)
Tidak ada kontak antara kedua fragmen
Relasi kepala kondilus terhadap fossa a) Non-displacement b) Displacement c)
Dislokasi
16
Gambar 4. Klasifikasi Lidhal berdasarkan: (A) level fraktur; (B) relasi fragmen kondilus terhadap mandibula; dan (C) relasi kepala kondilus terhadap fossa glenoidalis (Balaji, 2007)
3.
Tanda dan Gejala Klasik Fraktur Rahang (Malik, 2008)
a.
Riwayat cedera pada area rahang.
b. Nyeri Fraktur dapat dicurigai jika pasien mengeluh adanya nyeri pada sisi terjadin ya cedera atau sisi kebalikan ketika bergerak. c.
Mobilitas abnormal Mobilitas atau pergerakan yang abnormal pada lengkung rahang atau tulang rahang dapat dideteksi secara manual atau dapat dilakukan dengan memerhatikan adanya keluhan pasien mengenai pergerakan yang abrnomal pada sisi tertentu ketika pasien menggerakkan rahangnya.
17
d.
Perdarahan Fraktur dapat menyebabkan adanya perdarahan aktif maupun adanya hematoma atau ekimosis yang menyertai proses fraktur. Pemeriksaan area perdarahan dapat diperiksa secara langsung oleh klinisi (operator) ketika cedera baru saja terjadi. Klinisi perlu menanyakan adanya riwayat perdarahan melalui rongga mulut, hidung (epistaksis), dan telinga pada pasien.
e.
Krepitus Suara berderak dapat terdeteksi saat dilakukan palpasi pada luka karena terjadi gesekan antar tulang-tulang yang patah.
f.
Deformitas Deformitas wajah akan jelas terlihat tergantung pada derajat dan arah terjadinya benturan. Hal tersebut juga tergantung pada arah garis fraktur dan otot-otot yang terlibat.
g.
Ekimosis dan edema (pembengkakan) Tanda-tanda tersebut akan terlihat selang beberapa jam setelah terjadi trauma. Hal tersebut dapat dilihat baik secara ekstra oral, maupun intra oral, tergantung pada lokasi fraktur dan benturan.
h.
Kehilangan fungsi atau adanya gangguan terhadap fungsi Kemampuan mengunyah makanan akan terganggu. Keterbatasan membuka mulut juga akan terlihat pada kasus fraktur kondilus. Gangguan berbicara, kesulitan menelan juga dapat terjadi.
18
i.
Bukti radiografis Seluruh kasus yang dicurigai mengalami fraktur harus dilakukan pemeriksaan radiograf. Hal tersebut membantu dalam menegakkan diagnosis serta menyediakan konfirmasi tambahan. Hal ini juga penting dalam keperluan medikolegal untuk dijadikan barang bukti.
4.
Pemeriksaan Fraktur Mandibula (Balaji, 2007)
Pemeriksaan klinis yang menyeluruh dilakukan setelah pasien diyakini tidak mengalami ancaman pada hidupnya, seperti asfiksia, hemoragi, syok, atau hal lainnya yang terkait dengan kondisi kepala, leher, cedera internal dan eksternal. Hal yang pertama harus dilakukan adalah membersihkan secara perlahan wajah pasien dengan air hangat atau mengusapnya untuk menghilangkan bercak darah yang menggumpal dan kotoran yang didapat dari lokasi kecelakaan. Kondisi rongga mulut diperiksa secara menyeluruh untuk mengetahui adanya gigi atau gigi tiruan yang goyang atau patah. Selama membersihkan wajah pasien dengan perlahan, kranium dan tulang belakang diperiksa secara hati-hati, kemudian dipalpasi untuk mengetahui adanya tanda-tanda cedera. Fraktur mandibula kemudian diperiksa secara mendetail. a.
Pemeriksaan ekstraoral 1)
Pembengkakan, eritema, memar, laserasi, pedarahan, dan ekimosis mengindikasikan lokasi terjadinya cedera atau benturan.
2)
Terdapat kemungkinan deformitas yang jelas pada kontur tulang mandibula dan jika telah terjadi displacement , pasien tidak dapat
19
merapatkan gigi depannya bersamaan dan mulut tampak terbuka (gigitan terbuka). 3)
Pasien yang dalam kondisi sadar dapat terlihat menopang rahang bawahnya dengan tangan.
4)
Bercak saliva yang bercampur dengan darah dapat diamati pada sudut mulut/ bibir pada sebagian besar fraktur mandibula, terutama jika fraktur baru saja terjadi.
5)
Palpasi harus dilakukan pada regio kondilus secara bilateral kemudian turun ke bawah menuju batas bawah mandibula. Palpasi dapat mengetahui adanya bunyi krepitus pada fragmen tulang yang fraktur dan maupun untuk mengetahui adanya deformitas.
6)
Fraktur korpus mandibula biasanya terkait dengan cedera saraf sehingga biasanya menyebabkan timbulnya parestesi pada satu atau kedua sisi bibir bawah.
b.
Pemeriksaan intraoral 1)
Permukaan bukal dan lingual diperiksa untuk mengetahui adanya ekimosis atau jendalan darah.
2)
Ekstravasasi darah submukosa biasanya mengindikasikan fraktur pada jarigan di bawahnya, terutama pada sisi lingual. Hematom sublingual (tanda Coleman) menunjukkan adanya fraktur pada regio tersebut.
3)
Adanya defek pada oklusi atau alveolus diperiksa pada sepanjang laserasi yang terlihat jelas pada mukosa yang menutupinya.
20
4)
Pemeriksaan gigi-geligi individual dilakukan untuk mengetahui adanya fraktur, avulsi, luksasi atau subluksasi, atau hilangnya mahkota, GTC serta tumpatan.
Perubahan
oklusi
merupakan
salah
satu
tanda
signifikan
yang
mengindikasikan fraktur mandibula. Perubahan oklusi dapat terjadi karena adanya fraktur gigi, fraktur prosessus alveolaris, fraktur mandibula atau akibat adanya trauma pada TMJ. 1)
Kemungkinan lokasi fraktur diperiksa secara perlahan untuk mengetahui mobilitas dengan cara meletakkan jari dan ibu jari pada masing-masing sisi dan menggunakan tekanan untuk mengetahui adanya mobilitas yang abnormal.
2)
Adanya nyeri, sensitivitas terhadap nyeri ataupun keterbatasan selama pergerakan mandibula harus dicatat.
c.
Pemeriksaan radiograf Berikut merupakan tipe radiograf yang dapat mebantu mendiagnosis fraktur mandibula. 1)
Radiograf panoramik.
2)
Radiograf lateral oblique.
3)
Radiograf posteroanterior.
4)
Radiograf oklusal.
5)
Radiograf periapikal.
6)
CT scan.
21
5.
Penatalaksanaan Fraktur Mandibula (Malik, 2008)
a.
Reduksi tertutup Sebagian besar fraktur mandibula dapat dirawat dengan cara reduksi tertutup. Hal ini sering dianjurkan karena relatif mudah, hemat biaya, dan perawatannya yang non-invasif. Derajat displacement yang signifikan tidak menghalangi penggunaan reduksi tertutup untuk merawat fraktur mandibula. Adanya gigi-geligi menyediakan patokan yang akurat dalam proses reduksi. Adapun indikasi dari reduksi tertutup adalah sebagai berikut. 1)
Fraktur favourable tanpa displacement .
2)
Fraktur comminuted .
3)
Mandibula edentulous yang telah atropi parah.
4)
Kurangnya jaringan lunak yang menutupi lokasi fraktur.
5)
Fraktur pada anak-anak dengan benih gigi yang masih berkembang.
6)
Fraktur prosessus koronoid.
Pada prinsipnya, reduksi tertutup dapat menggunakan 3 metode, yaitu: 1)
Yang dicekatkan ke gigi pasien sebagai pegangan (ligatur dental, splint dental , arch bar )
2)
Splin protesa, digunakan pada rahang yang tidak bergigi ( edentulous), dapat dicekatkan dengan skrup osteosintesis ke tulang atau dengan circumferential wiring.
3)
Yang bertumpu pada struktur tulang ekstraoral ( head-chin splint dan gips pada fraktur hidung).
22
a)
Ligatur dental Ligatur dental seringkali digunakan sebagai terapi awal atau dini karena bersifat mudah dan cepat. Kelemahan terapi ini adalah kurangnya stabilitas dalam jangka waktu lama dan sering merusak struktur periodonsium gigi. Oleh karena itu, terapi ini hanya bersifat sementara.
Pemasangan
ligatur
dental,
dilakukan
dengan
menggunakan kawat berdiameter 0,35 atau 0,4 mm. Beberapa teknik ligatur dental adalah sebagai berikut.
Teknik eyelet/ Ivy loop Pada teknik ini, kawat dipilinkan satu sama lain untuk membentuk
loop.
Kedua
ujung
kawat
dilewatkan
ruang
interproksimal, dengan loop tetap di sebelah bukal. Satu ujung dari kawat dilewatkan di sebelah distal dari gigi distal, dan kembalinya di bawah atau melalui loop, sedangkan ujung lainnya ditelusupkan pada celah interproksimal mesial dari gigi medial. Kedua ujung kawat dipilinkan satu sama lain, dipotong dan dilipat pada aspek mesial gigi mesial. Akhirnya loop dikencangkan dengan jalan memilinnya. Keuntungan teknik ini bahan mudah didapat dan sedikit menimbulkan kerusakan jaringan periodontal serta rahang dapat dibuka dengan hanya mengangkat ikatan intermaksilaris.
Kerugiannya
kawat
mudah
putus
waktu
digunakan untuk fiksasi intermaksiler.
23
Gambar 5. Teknik Ivy loop.
Teknik continous loop (Stout wiring ): terdiri dari formasi loop kawat kecil yang mengelilingi arkus dentis bagian atas dan bawah dan menggunakan karet sebagai traksi yang menghubungkannya.
Gambar 6. Teknik Stout wiring .
Teknik Ernsche Teknik Ernsche adalah jenis ligatur yang paling sering digunakan karena aplikasinya gampang dan cepat, selain itu juga memiliki stabilitas yang baik.
24
1
2
3
4
5
6
7
8 Gambar 7. Teknik Ernsche.
b) Arch bar , ada 2 tipe yaitu sebagai berikut.
Tipe direk, misalnya Arch bar Schucardt atau Arch bar Erich. Arch bar dapat langsung dipasang dengan menggunakan bantuan kawat 0,35 atau 0,4 mm. Pemasangan kawat dilakukan di bawah bidang ekuator gigi agar didapat hasil yang stabil. Keuntungan arch bar ini adalah mudah didapat, biaya murah, dan mudah adaptasi
serta
aplikasinya.
Pembuatannya
dapat
langsung
25
dilakukan tanpa memerlukan proses pembuatan di laboratorium. Setelah
proses
ligasi
selesai,
dilanjutkan
dengan
MMF
menggunakan karet (rubber ) maupun kawat ukuran 0,4 mm. Kerugian penggunaan arch bar ini adalah dapat merusak jaringan periodonsium, dislokasi gigi, fiksasi gigi yang terlalu kencang sehingga
menimbulkan
ankilosis.
Kerugiannya
adalah
menyebabkan keradangan pada gingiva dan jaringan periodontal, tidak dapat digunakan pada penderita dengan edentulous luas.
Gambar 8. Arch bar Erich.
Tipe indirek/model Munster. Arch bar didapat dengan terlebih dahulu mencetak rahang atas dan rahang bawah pasien dengan bahan alginat atau polivynilxiloxane, kemudian dibuat sesuai dengan hasil cetakan tersebut.
26
c)
Splin protesa Digunakan pada fraktur pada rahang tak bergigi (edentulous). Apabila pasien memakai gigi tiruan lengkap, maka dilakukan duplikasi pada GTL tersebut. Selanjutnya, protesa duplikat dipasang dan MMF juga dapat dilakukan melalui protesa ini. Protesa dapat difiksasi di mulut dengan menggunakan skrup osteosintesis (umumnya 3-4 skrup per rahang) ataupun melalui circumferential wiring.
b.
Reduksi terbuka Keuntungan reduksi terbuka dan fiksasi langsung: 1)
Reduksi dan fiksasi dilakukan melalui penglihatan langsung.
2)
Fiksasi yang stabil dapat dicapai karena pendekatan yang lebih baik terhadap fragmen fraktur.
Indikasi tindakan reduksi terbuka: 1)
Fraktur unfavourable disertai displacement .
2)
Fraktur multipel.
3)
Fraktur yang terkait dengan separuh wajah.
4)
Fraktur yang terkait dengan kondilus.
5)
Ketika IMF (inter maxillary fixation) kontraindikasi atau tidak mungkin dilakukan.
6)
Untuk menghindari ketidaknyamanan akibat IMF.
7)
Untuk memfasilitasi pasien supaya dapat kembali bekerja lebih cepa t.
27
Kontraindikasi tindakan reduksi terbuka: 1)
Prosedur yang lebih lama tidak dianjurkan.
2)
Terjadi kominusi (pecah tulang) yang parah disertai hilangnya jaringan lunak.
3)
Infeksi yang parah pada lokasi fraktur.
4)
Pasien menolak untuk dilakukan reduksi terbuka.
28
DAFTAR PUSTAKA
Balaji, S. M., 2007, Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery, Elsevier, New Delhi, h. 545-558. Banks, P., 1992, Fraktur Sepertiga Tengah Skeleton Fasial Menurut Killey , GMU Press, Yogyakarta. Budihardja, A.S., dan Rahmat, M., 2010, Trauma Oral & Maksilofasial , EGC, Jakarta. Malik, N. A., 2008, Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery, 2 nd edition, Jaypee Brothers Medical Publishers, New Delhi, h. 378-388. Pedersen, G. W., 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut , EGC, Jakarta. Suardi, N. P., Jaya, A. A., Maliawan, S., dan Kawiyana, S., 2011, Fraktur pada Tulang Maksila, Bagian Ilmu Bedah RSUP Sanglah FK Udayana.
29