FISIOLOGI TROMBOSIT 1. Trombopoiesis
Trombosit adalah fragmen sitoplasmik tanpa inti berdiameter 2-4 mm yang berasal dari megakariosit. Hitung trombosit normal di dalam darah tepi adalah 150.000-400.000/µL dengan proses pematangan selama 7-10 hari di dalam sumsum tulang. Trombosit dihasilkan oleh sumsum tulang (stem sel) yang berdiferensiasi menjadi megakariosit (Candrasoma, 2005). Megakariosit ini melakukan replikasi inti endomitotiknya kemudian volume sitoplasma membesar seiring dengan penambahan lobus inti menjadi kelipatannya. Kemudian sitoplasma menjadi granular dan trombosit dilepaskan dalam bentuk platelet/keping-keping. Enzim pengatur utama produksi trombosit adalah trombopoietin yang dihasilkan di hati dan ginjal, dengan reseptor C-MPL serta suatu reseptor lain, yaitu interleukin-11 (A.V Hoffbrand et al, 2005). Trombosit berperan penting dalam hemostasis, penghentian perdarahan dari cedera pembuluh darah (Guyton, 1997; Sherwood, 2001). 2. Struktur Trombosit
Trombosit memiliki zona luar yang jernih dan zona dalam yang berisi organel-organel sitoplasmik. Permukaan diselubungi reseptor glikoprotein yang digunakan untuk reaksi adhesi & agregasi yang mengawali pembentukan sumbat hemostasis. Membran plasma dilapisi fosfolipid yang dapat mengalami invaginasi membentuk sistem kanalikuler. Membran plasma ini memberikan permukaan reaktif luas sehingga protein koagulasi dapat diabsorpsi secara selektif. Area submembran, suatu mikrofilamen pembentuk sistem skeleton, yaitu protein kontraktil yang bersifat lentur dan berubah bentuk. Sitoplasma mengandung beberapa granula, yaitu: granula densa, granulaa, lisosom yang berperan selama reaksi pelepasan yang kemudian isi granula disekresikan melalui sistem kanalikuler. Energi yang diperoleh trombosit untuk kelangsungan hidupnya berasal dari fosforilasi oksidatif (dalam mitokondria) dan glikolisis anaerob (Aster, 2007; A.V Hoffbrand et al, 2005; Candrasoma, 2005). 3. Fungsi Trombosit
Mencegah kebocoran darah spontan pada pembuluh darah kecil dengan cara adhesi, sekresi, agregasi, dan fusi (hemostasis).
Sitotoksis sebagai sel efektor penyembuhan jaringan.
Berperan dalam respon inflamasi.
Cara kerja trombosit dalam hemostasis dapat dijelaskan sebagai berikut : Adanya pembuluh darah yang mengalami trauma maka akan menyebabkan sel endotelnya rusak dan terpaparnya jaringan ikat kolagen (subendotel). Secara alamiah, pembuluh darah yang mengalami trauma akan mengerut (vasokontriksi). Kemudian trombosit melekat pada jaringan ikat subendotel yang terbuka atas peranan faktor von Willebrand dan reseptor glikoprotein Ib/IX (proses adhesi). Setelah itu terjadilah pelepasan isi granula trombosit mencakup ADP, serotonin, tromboksan A2, heparin, fibrinogen, lisosom (degranulasi). Trombosit membengkak dan melekat satu sama lain atas bantuan ADP dan tromboksan A2 (proses agregasi). Kemudian dilanjutkan pembentukan kompleks protein pembekuan (prokoagulan). Sampai tahap ini terbentuklah hemostasis yang permanen. Pada suatu saat bekuan ini akan dilisiskan jika jaringan yang rusak telah mengalami perbaikan oleh jaringan yang baru. (Candrasoma, 2005; Guyton, 1997; A.V Hoffbrand et al, 2005).
GANGGUAN PERDARAHAN Ganguan pada setiap mekanisme hemostasis dapat menimbulkan perdarahan abnormal atau trombosis abnormal (tabel 1). Terlepas dari mekanismenya, apapun penyebabnya, manifestasi klinis gangguan perdarahan yang ditunjukkan hampir sama (tabel 2). Oleh karena itu, uji laboratorium umumnya diperlukan untuk mendapatkan diagnosis klinis yang sesuai setelah itu dipilih terapi yang sesuai (Candrasoma, 2005). Tabel 1. Gangguan Pendarahan No
Jenis
Penyebab Utama
1.
Cacat vaskular
a. Purpura sederhana dan senilis (peningkatan fragilitas kapiler, khususnya pada usia lanjut) b. Vaskulitis hipersensitivitas, banyak gangguan a utoimun (peradangan) c.
Kekurangan vitamin C (skorbut, kolagen defektif)
d. Amiloidisis (pembuluh yang gagal berkontriksi) e. Adenokortikosteroid berlebih (terapeutik atau penyakit Cushing) f.
Telanglektasia hemoragik herediter (sindrom osler-weber-rendut)
g.
Penyakit Ehlers-dahlons (kolagen defektif)
h. Purpura Henoch-schonlein i. 2.
Gangguan trombosit
Sindrom marfan (elastin defektif)
a. Menurun (trombositopenia) b. Fungsi trombosit abnormal
3.
Gangguan Koagulasi
a. Defisiensi faktor koagulasi b. Keberadaan faktor antikoagulan
4.
Fibrinolisis berlebihan
a. Koagulasi intravaskular diseminata b. Fibrinolisis primer
Tabel 2. Manifestasi Klinis Umum No
Jenis
1.
Gangguan perdarahan ke dalam kulit : a.
Petekie : perdarahan fokal berukuran sebesar pe ntul
b.
Purpura : multipel, berbentuk tidak beraturan atau lesi ungu oval (2 -5 mm atau lebih besar)
c.
Ekimosis (memar) : purpura konfluen; semuanya menunjukkan perubahan warna berurutan merah, ungu, coklat ketika eritrosit yang t erekstavasasi terurai dalam jaringan.
d. 2.
Hematom : ekimosis meliputi daerah yang luas.
Perdarahan berlebihan atau memanjang : Pasca trauma, sering trauma minimal : pasca bedah (misalnya, pencabutan gigi), perdarahan spontan(tanpa riwayat trauma) ke dalam otot rangka, sendi, dan otak.
3.
Perdarahan dari permukaan mukosa : Epistaksis, perdarahan pada gusi, hemoptisis, hematuria, dan melena.
4.
Perdarahan dari berbagai lokasi
PURPURA TROMBOSITOPENI IDIOPATIK 1. Batasan
Purpura trombositopeni idiopatik (PTI) atau purpura trombositopeni autoimun adalah sindrom yang ditandai dengan trombositopenia akibat dekstruksi trombosit yang meningkat sebab proses imunologik (RS dr. Soetomo, 2008). 2. Etiologi
Etiologi Purpura Trombositopeni Idiopatik (PTI) adalah adanya autoantibodi terhadap trombosit. Autoantibodi ini adalah platelet associated immunoglobulin G (PAIgG) yang disintesis di limpa. PTI dapat merupakan menifestasi awal suatu penyakit misalnya SLE, leukemia, dan limfoma (RS dr. Soetomo, 2008). Riwayat penyakit purpura trombositopeni idiopatik atau autoimun ini terbagi dalam 2 bentuk yaitu akut dan kronis (Supandiman, 1997). 3. Gejala klinis
Gejala utama adalah petekie dan perdarahan selaput lendir berupa epiktasis atau perdarahan di tempat lain. Bentuk Akut gejala perdarahan selaput lendir disertai petekie berjalan singkat. Bentuk kronis gejalanya berupa petekie diekstremitas bawah, jarang ditemukan perdarahan selaput lendir, pada wanita menorhagia satu-satunya gejala penyakit ini. Hendaknya disingkirkan trombositopenia sekunder/akibat obat (aspirin, barbiturat, kina, laksansia), infeksi, anemia aplastik (Supandiman, 1997). 4. Diagnosis
Diagnosis
dapat
ditegakkan
dengan
menyingkirkan
faktor-faktor
sekunder
yang
dapat
mengakibatkan trombositopenia kriteria Difino (1998), yaitu : Perdarahan/purpura/purpura lebih pada satu lokasi. Tidak ada perbesaran limpa. Trombositopenia kurang dari 150.000/uL. Aspirasi sutul : jumlah megakariosit normal atau meningkat, eritropoesis, dan mielopoesis normal. Antiplatelet antibodi dapat positif. Tidak ada penyakit lain penyebat trombositopeni, misalnya obat-obat, sepsis, koagulasi intravaskuler doseminata, SLE, leukemia, trombositopeni pasca transfusi. Pada 75 % penderita terdapat peningkatan titer palsu yang terjadi karena antibodi nonspesifik misalnya pada sepsis, SLE rematoid, anemia hemolitik autoimun. Negatif palsu didapatkan bila antibodi yang beredar dalam sirkulasi sangat rendah karena antibodi banyak terikat pada trombosit. Teknik imunoflueresen : paling sensitif 92 %, tetapi kurang spesifik 30 %. Kadar antibodi platelet tidak berhubungan dengan derajat penyakit, hanya membantu diagnosis kadar Ab platelet berhubungan dengan jumlah trombosit sangat berarti menunjukkan prognosis, tetapi tidak dianjurkan sebagai dasar diagnosis (RS dr. Soetomo, 2008). a. Anamnesis
1) Riwayat obat (heparin, alkohol, sulfanamides, kuinidin/kuinin, aspirin) dan bahan kimia. 2) Gejala sistemik: pusing, demam, penurunan berat badan. 3) Gejala autoimun: artralgia, rash kulit, rambut rontok.
4) Riwayat perdarahan (lokasi, banyak, lama), risiko HIV, status kehamilan, riwayat transfusi, riwayat keluarga (trombositopenia, gejala perdarahan, dan kelainan autoimun). 5) Penyakit penyerta meningkatkan risisko perdarahan (kelainan gastrointestinal, sistem saraf pusat, dan urologi). 6) Kebiasaan/hobi: aktivitas yang traumatik. b. Pemeriksaan fisik
1) Perdarahan (lokasi, dan beratnya). 2) Jarang ditemukan organomegali, tidak ikterus atau stigmata penyakit hati kronis. 3) Tanda infeksi (bakteremia/infeksi HIV) 4) Tanda penyakit autoimun (artritis, goiter, nefritis, vaskulitis) c.
Pemeriksaan penunjang
1) Darah tepi: hitung trombosit <150.000/uL tanpa sitopenia lainnya, morfologi darah tepi dijumpai tromboblas berukuran lebih besar. 2) Pemeriksaan serologi (dengue, CMV, EBV, HIV, rubella). 3) Pemeriksaan ACA, Coom’s test, C3, C4, ANA. Anti dsDNA. 4) Pemeriksaan hemostatis normal kecuali pada perdarahan yang memanjang dan komplikasi. 5) Pemeriksaan pungsi sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat. 6) Pemeriksan autoantibodi trombosit. Diagnosis banding Dengan trombositopenia sekunder misal pada hipersplenisme, dan kelainan infiltrasi sumsum tulang oleh penyakit tertentu dapat diselesaikan dengan pemeriksaan sumsum tulang. Waktu perdarahan memanjang pada kelainan vaskuler, seperti purpura nontrombositopenia. Tes konsumsi protrombin abnormal dapat ditemui pada penyakit defisiensi faktor pembekuan (faktor IX, faktorVIII/vWF dan lain-lain), (Supandiman,1997). Secara klinis perdarahan akibat trombositopeni harus dibuat diagnosis banding dengan trombostein, purpura vaskuler, dan defisiensi faktor koagulasi. Endokarditis bakteria subakut terdapat petekie dan splenomegali serupa PTI, tetapi endokarditis ada febris dan kelainan jantung. Trombositopeni sekunder biasanya dilakukan atas dasar ke lainan fisik tidak ditemukan pada PTI hepatosplenomegali. Limfadenopati pada leukemia (Supandiman,1997). Tabel
3
:
Diagnosis
banding
Kelainan Kelainan Pemeriksaan
adanya
adanya
trombositopeni imunologi
non yang
imunologi bermanfaat
a.
True
ITP
b.
Terkait
obat
c.
SLE
d.
Terkait
HIV-1
e.
Purpura
pasca
transfusi a. b.
DIC Septikemia
c. d.
bakterial TTP
Terkait
etanol
e.
Perdarahan
darah
masif
f.
Toksemin
g.
Kelainan
Herediter
Pemeriksaan
darah
a.
ANA
b.
ELP
serum
c.
HIV-1
antibody
d.
PTT
e.
APTT
f.
Biakan
darah
Pemeriksaan BMA
dan
lain biopsi
hati,
limpa,
dan
(RS
USG
atau
CT
scan
retroperitoneal.
dr.
Soetomo,2008)
5.
Penatalaksanaan
Pilihan
awal:
kortikosteroid
Yang sering digunakan prednison, dosis 1 mg/ kg BB / hari selam 1-3 bulan. Bila diperlukan parenteral(injeksi) Methylprenison sodium suxinat dosis 1g/hari selama 3 hari (RS dr. Soetomo,2008). Efek steroid (prednison) tampak setelah 24-48 hari (Hanidin 1978). Angka kesembuhan 60-70%. Evaluasi efek steroid dilakukan 2-4 minggu. Bila responsif dosis diturunkan perlahan sampai kadar trombosit stabil atau dipertahankan sekitar 50.000/mm3 (RS dr. Soetomo,2008). Pemberian prednison maksimal selama 6 bulan. Apabila lebih dari 4 minggu pasien tidak berespon dengan prednison,
prednison
jangan
Hasil
diberikan
lagi.
terapi
:
Respon lengkap : ada perbaikan klinis + trombosis tercapai ≥100.000/mm3 dan tidak terjadi trombositopeni
berulang
bila
dosis
steroid
diturunkan.
Respon parsial : perbaikan klinis = trombosis mencapai 50.000/mm3 dan memerlukan terapi steroid dosis
rendah
untuk
mencegah
perdarahan
dan
dengan
jangka
waktu
6
bulan.
Respon minimal : perbaikan klinis + trombosis mencapai 50.000/mm3 dan memerluka steroid dosis rendah
untuk
mencegah
perdarahan
dengan
jangka
waktu
>
6
bulan
Tidak ada respon : tidak ada perbaikan klinis dannkelainan trombosit tidak dapat mencapai 50.000/mm3
setelah
terapi
steroid
dosis
maksimal
(RS
dr.
b.
Soetomo,2008). Splenektomi
Bila terapi steroid dianggap gagal, segera dilanjutkan splenektomi. Angka keberhaslan 70-100%. Splenektomi bertujuan untuk mencegah dekstruksi trombosit yang telah diliputi antibodi dan menurunkan
sintesis
antibodi
platelet
(RS
dr.
Soetomo,2008).
Indikasi Spelektomi : Gagal remisi/perbaikan dengan steroid dalam 6 bulan, perlu dosis maintance steroid yang tinggi, dan adanya kontraindikasi/intoleransi terhadap steroid (RS dr. Soetomo,2008).. c.
Imunosupresi
lain
Bila terjadi refrakter tehadap terapi kortikoteroid dan splenektomi, maka akan diberikan imunosupresi
lain
:
Tabel
4
:
Jenis-jenis
imunosupresi
Imunosupresi Dosis Gamma
globulin
0,4
mg/kg
i.v
i.v
/hari
selama
5
hari
Vincristine 2
mg
i.v
/minggu
sebanyak
3
dosis
Danazol(preparat
androgen)
200mg/
p.o
4x
/hari
Cyclophospamid 2mg/.kg/hari/
p.o
Kombinasi
kemoterapi
Imunoglobulin diperkenalkan sejak 1981 hasil perlu penelitian lebih lanjut. Bila terjadi perdarahan darurat (perdarahan otak, dan persalinan) dapat diberikan imunoglobulin, kortikosteroid, transfusi trombosit,
dan
d.
splenoktomi
darurat
Terapi
Membatasi
dr.
suporti
aktivitas
Hindari
(RS
obat
Transfusi
PTI
yang yang
Soetomo,2008).
berisiko
trauma.
fungsi
trombosit.
ganggu
PRC
kronis
sesuai
kebutuhan.
Transfusi perdarahan bila : perdarahan masif, adanya ancaman perdarahan otak/SSP, persiapan untuk .
e.
operasi
besar
Perawatan
rumah
Perdarahan
(RS sakit
berat
Trombosit
>50.000/ul
dengan
Soetomo,2008).
untuk
yang
<20.000/ul
Trombosit
dr. pasien
dengan:
mengancam perdarahan
asimtomatik/dengan
jiwa.
mukosa
purpura
minimal
bermakna. tidak
diterapi.
Trombosit <30.000/ul dengan/tanpa gejala, 30.000-50.000/ul dengan perdarahan bermakna, Kadar trombosit berapa saja dengan perdarahan yang mengancam jiwa (RS dr. Soetomo,2008). 6.
Komplikasi
Peradarahan
masif:
saluran
cerna,
otak,
DIC
Anemia Berkembang
ke
Menjadi
arah leukemia
Menjadi
atau
dan
fatal
1) pasca
atau
lain
(3,8
sebab
%) kematian
:
intrakranial pasca
terapi
imunosupresif
(20%) %)
(4
dengan
splenoktomi
autoimun
limfoma
Perdarahan Sepsis
penyakit
SLE
Kasus 2)
keganasan
(11%) (RS
dr.
Soetomo,2008
g. Infeksi, ITP berat, DM induiced steroid, hipertensi, immunocompromised (RS dr. Soetomo,2008). 7.
Prognosis
Faktor Umur
yang :
pada
orang
berpengaruh muda
prognosis
lebih
baik
Jumlah trombosit : mempengaruhi respon terapi dan faktor prediktif menentukan risiko perdarahan intrakranial. Trombosit <20.000/mm3 risiko perdarahan intrakranial meningkat, semakin tinggi pada
usia
lanjut.
Kadar antibodi membantu menentukan respon terapi terhadap steroid dan splenektomi. Menurunnya
kadar
antibodi
menunjukkan
respon
terapi
yang
baik
a. Prognosis jelek pada yang refrakter terhadap steroid, splenoktomi, atau imunosupresif lain. Mortalitas sekitar 16% (RS dr. Soetomo,2008)