Filsafat Pendidikan yang Membebaskan, Sebuah Pemetaan Awal
@ Edisius Riyadi, 3 Mei 2007
Filsafat Pendidikan yang Membebaskan, Sebuah Pemetaan Awal Oleh: Edisius Riyadi
Ini bukan esai tentang filsafat pendidikan, tetapi sebuah esai filsafat tentang pendidikan. Artinya, pendidikan diproblematisasi secara filosofis, bukan sebuah teori filsafat tentang pendidikan. Problematisasi ini masih sebatas pemetaan, bukan sebuah studi mendalam. Namun, sebuah studi sedalam dan seluas apa pun tanpa melalui tahap pemetaan yang kritis akan menjadi kehilangan arah. Pemetaan
selalu
kekurangannya
merupakan selalu
sebuah
sekaligus
kegiatan
merupakan
perspektifal, kelebihannya
karena juga,
itu
yaitu
memandang sebatas perspektif tertentu. Problem pendidikan yang ditilik secara filosofis tidak berambisi untuk menangkap keseluruhan realitas, namun berupaya secara radikal mencari akar (radix) persoalan fenomenal. Mencari akar, sebagai sebuah tindakan sengaja – bukan seperti menemukan akar yang bisa jadi merupakan sebuah kebetulan – hanya mungkin sejauh kita bisa mengidentifikasi pohon persoalannya. Itulah maksud pemetaan filosofis ini. Pemetaan filosofis terhadap problem pendidikan berarti memetakan asumsi-asumsi di balik konsep, paradigma, dan praktik pendidikan. Di situlah letak radikalitas pemetaan ini, yang secara hemat dipaparkan berikut ini.
I. Pendidikan (adalah) untuk manusia
Pernyataan “pendidikan (adalah) untuk manusia” mengandung dua makna: Pertama, pendidikan adalah sebuah upaya sadar untuk ditanamkan dalam diri
Esai ini dipresentasikan pertama kali dalam Diskusi Publik Sumbangan Filsafat terhadap Pendidikan di Indonesia: Menuju Pendidikan yang Membebaskan yang diselenggarakan oleh Komunitas Filsafat AGORA, Sabtu 5 Mei 2007, Bukafe, Jakarta. Penulis adalah salah seorang pendiri dan anggota Komunitas Filsafat AGORA, mahasiswa Pasca-sarjana STF Driyarkara, Jakarta.
1
Filsafat Pendidikan yang Membebaskan, Sebuah Pemetaan Awal
@ Edisius Riyadi, 3 Mei 2007
manusia. Pendidikan sebagai upaya sadar mengandung arti bahwa ia merupakan wahana dan ruang memanusianya seseorang. Manusia bisa hidup tanpa pendidikan, tetapi tanpa pendidikan ia tidak menjadi manusia utuh dan penuh dalam multidimensionalitasnya. Kedua, “pendidikan (adalah) untuk manusia” mengimplikasikan distingsi dengan makhluk hidup lain. Distingsi di sini tidak dalam pengertian antroposentris yang pongah, melainkan sebagai upaya pemaknaan. Anjing bisa diajari untuk melacak jejak, lumba-lumba bisa dilatih untuk menari, kera bisa diajari untuk memberi uang kepada pengemis, bahkan harimau bisa dilatih untuk memberi hormat kepada tamu yang bertandang ke rumah kita. Tetapi, apa yang dilakukan terhadap semua binatang itu bukanlah pendidikan. Manusia juga bisa diajari semua hal itu, tetapi itu juga bukanlah pendidikan sebenarnya. Itu hanyalah salah satu dimensi dari pendidikan. Pendidikan untuk manusia dengan demikian berarti memandang pendidikan sebagai upaya multidimensional sebagaimana manusia adalah makhluk multidimensional. Pendidikan dengan demikian bukan semata pelatihan fisik sang binaragawan, pelatihan keterampilan dan kegesitan sang pesilat, pelatihan keindahan gerak sang penari, pelatihan ketajaman berpikir sang filosof, pelatihan ketajaman indra sang cenayang. Pendidikan bukan sekadar pengajaran ilmu berhitung uang, pengajaran sopan santun, pengajaran nilai dan makna. Pendidikan bukan sekadar pengajaran dan pelatihan bagaimana menjadi penulis yang baik, guru yang handal, aktivis yang vokal, pengkotbah yang hafal jutaan ayat suci. Pendidikan bukan semuanya itu, melainkan seluruhnya itu. Artinya, bukan gabungan (agregasi) dari semua itu – apalagi hanya salah satu dari semua itu – melainkan keseluruhan dari semua hal itu dalam jejaring sistemik menuju pengungkapan
kemanunggalan
persona
manusia
dalam
multi-
dimensionalitasnya. Inilah problem filosofis pertama dalam pendidikan, problem paling fundamental dan paling rumit. Cara pandang kita terhadap “sang manusia”
2
Filsafat Pendidikan yang Membebaskan, Sebuah Pemetaan Awal
@ Edisius Riyadi, 3 Mei 2007
sangat mempengaruhi dan bahkan menentukan konsep dan paradigma pendidikan yang kita anut. Karena itu, berbicara tentang pendidikan pertamatama adalah berbicara tentang “sang manusia”. Namun, pandangan kita tentang “sang manusia” tidak pernah seragam, tidak pernah utuh. Seaneka dan separsial itu juga konsep pendidikan yang kita miliki. Konstruksi filsafat manusia menentukan konstruksi filsafat (tentang) pendidikan. Mengapa kita tidak mengupayakan sebaliknya? Artinya, keyakinan kita tentang hakikat “sang manusia” tidak lagi dijadikan sebagai titik berangkat, melainkan sebagai asumsi hipotetis yang menjadi “titik tujuan”. Tetapi, asumsi hipotetis itu sudah ada bahkan sebelum titik berangkat itu kita tentukan. Artinya, titik tujuan itu selalu sudah merupakan titik berangkat, titik berangkat yang tidak dinyatakan secara performatif melainkan secara asumptif. Ini sebuah tantangan lain, tentu saja, tapi perlu dipertimbangkan.
II. Pendidikan sebagai horizon mode of being manusia
Ada dua cara berada manusia yang, pada hemat saya, merupakan cara berada paling primordial, paling fundamental, yang bahkan menentukan status ontologis dari seluruh dan semua hal berkaitan dengan kehidupan manusia seperti cinta, komunikasi, pengetahuan, agama, eksistensi, kerja, dsb. Dua cara berada itu yaitu “belajar” dan “bermain”. Kedua cara berada ini saya uraikan tidak mandiri sebagai sebentuk “filsafat manusia” melainkan dalam kaitannya dengan pendidikan. Belajar adalah salah satu cara berada (mode of being) manusia, dan pendidikan adalah medan horizonnya. Belajar sebagai cara berada manusia berarti bahwa manusia adalah makhluk yang menjadi. Dalam ke-menjadi-annya itulah ia meng-ada, tetapi juga, dalam kemeng-ada-aannya ia menjadi. Itu berarti bahwa manusia adalah makhluk yang selalu belum jadi, selalu belum siap.1 Arnold Gehlend menamakannya deficient human being, ada juga yang menamakannya sebagai “makhluk prematur” dibandingkan dengan binatang, ada juga yang melihatnya sebagai makhluk yang memanusia setiap hari karena ia belum manusia, dst. 1
3
Filsafat Pendidikan yang Membebaskan, Sebuah Pemetaan Awal
@ Edisius Riyadi, 3 Mei 2007
Berbeda dengan anak ayam yang setelah menetas langsung bisa melompatlompat dan mematuk-matuk apa saja yang disangka makanan, seorang anak manusia memerlukan waktu bertahun-tahun untuk bisa menyuapi dirinya sendiri, tertawa, berjalan, dsb. Kodrat manusia adalah belajar: belajar duduk, berdiri dan berjalan, belajar lari dan berlari, belajar berbicara dan mendengarkan, belajar berpikir dan merasa, belajar mengkritik dan menerima kritikan, belajar mencinta dan dicintai, belajar mencipta, belajar mengetahui, belajar berkomunikasi, belajar hidup, dll. Pendidikan sebagai medan horizon cara berada manusia berarti ia merupakan kondisi kemungkinan bagi cara berada manusia itu. Namun, karena pendidikan merupakan upaya sadar manusia – sebagaimana telah diuraikan pada bagian pertama di atas – maka kondisi kemungkinan itu berarti diciptakan. Dengan kata lain, untuk menjadi manusia yang meng-ada, manusia perlu belajar untuk meng-ada – dan karena itu belajar adalah cara mengadanya – dan dalam belajar untuk mengada itu ia pertama-tama belajar menciptakan kondisi kemungkinan untuk belajar mengada itu, dan itulah pendidikan. Dengan demikian, tepatlah dikatakan bahwa pendidikan merupakan “medan horizon” cara berada manusia yaitu belajar, karena di satu sisi pendidikan menjadi kondisi kemungkinan untuk cara berada itu, sementara di sisi lain pendidikan merupakan ciptaan (hasil) dari kegiatan cara mengada itu. Itu berarti, menjadi seperti apa manusia sangat ditentukan oleh pendidikan, sementara pendidikan itu sendiri sangat ditentukan oleh proses belajar mengadanya manusia. Dengan demikian, pendidikan bukan sekadar afirmasi melainkan juga negasi dalam arti redefinisi cara berada manusia; tetapi redefinisi terhadap belajar sebagai cara berada manusia tidak berarti keluar dari cara berada itu, bahkan redefinisi itu justru merupakan reafirmasi terhadapnya. Pendidikan sebagai medan horizon cara berada manusia berada dalam rentangan dua tegangan itu, tegangan abadi. Inilah problem filosofis kedua dari pendidikan.
4
Filsafat Pendidikan yang Membebaskan, Sebuah Pemetaan Awal
@ Edisius Riyadi, 3 Mei 2007
Cara berada fundamental kedua manusia adalah bermain. Manusia adalah homo ludens, demikian kata John Huizinga, seorang sejarawan dan budayawan Belanda, dalam bukunya yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1938. Gadamer kemudian meradikalkan pandangan Huizinga yang lebih melihat permainan sebagai elemen dari kebudayaan menjadi mode of being.2 Sebagai cara berada, maka bermain merupakan sesuatu yang alamiah. Sebagai sesuatu yang alamiah, bermain tidak punya tujuan apa pun selain bermain itu sendiri. Dalam bermain, manusia tidak menjadi subjek, yang menjadi subjek adalah permainan itu sendiri. Manusia terserap sepenuhnya ke dalam permainan itu, karena permainan mempunyai “keinginan” untuk dimainkan. Itulah momen-momen kebebasan manusia, momen-momen “ketaksadaran” yang membawanya pada aletheia, momen-momen penyingkapan kebenaran. Dalam bermain, bukan manusia yang menangkap kebenaran, melainkan kebenaran yang merasuki manusia. Permainan adalah kebenaran itu sendiri.3 Apa hubungannya dengan pendidikan? Bermain sebagai cara berada manusia karena dalam permainan manusia menemukan dirinya dalam kehilangan dirinya. Dalam keterserapannya di dalam permainan, manusia eksis, berdiri
di
sana.
Dengan
kata
lain,
manusia
dikatakan
eksis
karena
keterlemparannya ke dalam permainan, ke dalam “ketaksadaran”, ke dalam kebebasan. Makna dan hakikat pendidikan hanya bisa dimengerti sejauh ia menjadi horizon di mana cara berada ini mewujud. Segala sesuatu yang tidak mengarah kepada cara berada manusia tentulah tidak manusiawi. Kalau pendidikan adalah untuk manusia, maka pendidikan sudah seharusnya merupakan kondisi kemungkinan bagi mewujudnya cara berada manusia. Pendidikan adalah horizon bermain (dan belajar) di mana manusia mengalami Namun, Gadamer pertama-tama memaksudkan permainan sebagai mode of being dari karya seni. Menurut Gadamer, kesadaran estetik merupakan suatu konstruksi refleksif yang didasarkan pada metafisika subjektifis. Sementara, “subjek” pengalaman kesenian bukanlah subjek yang “mengalami” (menikmati dan mengerti) suatu karya. Subjek pengalaman kesenian adalah karya itu sendiri. Inilah yang persis menjadi titik di mana cara berada (mode of being) sebuah permainan menjadi penting. 3 Untuk pemahaman lebih dalam, lihat Hans-George Gadamer, Truth and Method, London: Sheed and Ward, Ltd., 1975, hlm. 92 dst. 2
5
Filsafat Pendidikan yang Membebaskan, Sebuah Pemetaan Awal
@ Edisius Riyadi, 3 Mei 2007
kebebasan, mengalami momen-momen otonomi “berada di sana” dengan ketercerapannya ke dalam the other. Pendidikan adalah horizon di mana kesadaran dan ketaksadaran melebur sekaligus terdiferensiasi, aku dan yang lain melebur sekaligus men-Diri. Pendidikan adalah horizon momen-momen kebenaran. Inilah problem filosofis ketiga dari pendidikan. Dengan mengatakan bahwa kedua cara berada inilah yang paling fundamental bagi manusia, dan bahkan yang menentukan status ontologis dari pengetahuan, pekerjaan, cinta, komunikasi, dsb., saya hendak menyatakan posisi saya terhadap pandangan filosofis tertentu berkaitan dengan cara mengada manusia. Misalnya, komunikasi adalah cara berada manusia. Saya kurang sepakat, karena komunikasi, bagi saya, hanyalah ekspresi dari cara berada manusia yang paling fundamental, yaitu belajar dan bermain. Belajar dan bermain sebagai cara berada manusia itulah yang mendorong adanya komunikasi, bukan sebaliknya. Komunikasi adalah belajar dan permainan. Demikian juga halnya dengan sosialisasi dan interaksi. Melalui komunikasi, sosialisasi, dan interaksi itulah manusia belajar dan bermain menjadi diri sendiri sekaligus menjadi melenyap dalam alter ego, belajar menghayati otonominya sekaligus menyadari heteronominya, belajar menyempurnakan dirinya sebagai sang diri yang berdiri di sana (eksis) dalam keterserapannya. Mencinta juga, bagi saya, bukan cara berada itu sendiri, melainkan ekspresi dari cara berada yaitu belajar. Dalam mencinta sang manusia belajar memenuhi dirinya dan sesamanya, bermain-main dengan kebebasan, keterserapan dan penemuan diri. Manusia juga adalah makhluk yang mengetahui, tetapi mengetahui itu sendiri bukanlah cara berada manusia, melainkan ekspresi dari cara beradanya yaitu belajar. Begitu juga, bekerja, berkarya, bertindak, semuanya itu hanyalah ekspresi dari cara berada fundamental yang dinamakan belajar dan bermain. Maka, manusia yang belajar untuk sempurna, belajar untuk penuh, belajar untuk tahu semuanya, selalu tidak pernah sampai pada semacam “Roh Absolut” itu: kesempurnaan, kepenuhan, pengetahuan absolut. Manusia “dihukum” untuk menjadi makhluk yang belajar tapi sekaligus dibebaskan sebagai makhluk yang
6
Filsafat Pendidikan yang Membebaskan, Sebuah Pemetaan Awal
@ Edisius Riyadi, 3 Mei 2007
bermain. Implikasi epistemologis dan etis dari pandangan ini tentu saja ada, tetapi itu tentu diperlukan pembahasan tersendiri. Tetapi langsung bisa kita lihat, secara singkat, misalnya, jika dimensi belajar dan bermain dalam komunikasi, dalam mencinta, dalam mengetahui, dalam bekerja, berkarya, bertindak, dll. dilenyapkan, maka itulah lonceng kematian manusia. Belajar adalah suatu upaya sadar yang tidak membawa manusia kepada penemuan dirinya kalau tidak disertai cara berada lainnya yaitu bermain. Kesadaran dalam belajar hanya akan membawa manusia pada kebenaran sejauh ketidaksadaran akan kebenaran yang menghampirinya dan merasukinya dalam bermain dimungkinkan. Maka, “pendidikan adalah untuk manusia” berarti belajar dengan bermain (learning by playing) sekaligus bermain dengan belajar (playing by learning), dan bukan bermain sambil belajar (playing while learning) atau belajar sambil bermain (learning while playing). Pendidikan sebagai horizon kedua cara berada itu berarti pendidikan tidak dibebani tujuan apa pun, entah itu kerja, komunikasi, kecapakan, pengetahuan, cinta, keterampilan, bahkan kebenaran sekalipun, persis karena pendidikan – sejauh ia tetap merupakan horizon kedua cara berada itu – sudah membawa dalam dirinya sendiri semua yang kita namakan sebagai tujuan itu. Dengan demikian, problem filosofis keempat kita dalam kaitan dengan pendidikan adalah bagaimana pendidikan sebagai upaya sadar manusia mengembalikan kedua cara berada manusia itu ke tempat kudusnya, dan dengan itu pendidikan pun kembali ke tempat kudusnya juga.
III. Pendidikan dan Konteks Historis Manusia
Semua yang kita bicarakan di atas tampak seolah-olah manusia adalah makhluk yang hidup di entah berentah. Padahal, manusia adalah makhluk yang spasiotemporal (kontekstual) sekaligus menyejarah. Ia hidup dalam konteks kultural, politik, ekonomi, hukum, sistem nilai, religi, dsb. Masing-masing konteks ini menyumbang problem tersendiri bagi manusia, dan turut mempengaruhi cara
7
Filsafat Pendidikan yang Membebaskan, Sebuah Pemetaan Awal
@ Edisius Riyadi, 3 Mei 2007
berada manusia, tetapi tidak konstitutif. Yang konstitutif bagi sang manusia adalah kedua cara beradanya itu. Posisi ini penting saya ambil untuk menunjukkan kekeliruan berpikir dalam pandangan-pandangan tertentu yang antara lain terekspresi dalam ungkapan seperti: you are what you think (ungkapan lain dari cogito ergo sum), we are what we eat, you are what you drive, homo oeconomicus, homo laborans, kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht), manusia menjadi manusia karena ia berbahasa, dll. Yang konstitutif bagi manusia bukan berpikir itu sendiri, karena berpikir hanyalah performa dari hakikat antropologisnya yang paling dalam yaitu belajar. Bekerja dan tindakan komunikasi juga tidak konstitutif, tetapi sesuatu di balik bekerja dan tindakan itulah yang konstitutif yaitu belajar dan bermain. Kehendak untuk berkuasa adalah ekspresi eksesif dari belajar yang tidak dikawani bermain. Bukan kebudayaan juga yang konstitutif bagi manusia, karena kebudayaan itu sendiri merupakan produk dari kedua cara beradanya itu. Pendidikan memang perlu kontekstual, tetapi tidak perlu tergelincir memandang politik, kuasa, ekonomi, kebudayaan sebagai hal-hal yang konstitutif bagi manusia, melainkan semuanya itu seharusnya dipengaruhi oleh pendidikan sebagai medan horizon kedua cara berada manusia. Pada tahap ini, saya tidak lagi bicara tentang problem filosofis pendidikan, melainkan problem filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan mempunyai tugas penting – yang sayangnya bahkan sejak Plato bahkan sebelumnya lagi – tidak pernah bisa diwujudkan: filsafat pendidikan dicibiri oleh filsafat sekaligus oleh pendidikan itu sendiri, karena sebagai filsafat tersendiri ia tidak sistematik, tidak rigorous, sementara oleh pendidikan ia dituduh terlalu mengawang-awang, teoretis, idealis, tidak konkret dan tidak membumi. Cibiran ini saya kira tidak dibaca sebagai kematian bagi filsafat pendidikan, melainkan sebagai “permintaan” akan kelahiran kembali filsafat pendidikan.
IV. Penutup: Kesimpulan dan Rekomendasi
8
Filsafat Pendidikan yang Membebaskan, Sebuah Pemetaan Awal
@ Edisius Riyadi, 3 Mei 2007
Bagian penutup ini saya isi dengan kesimpulan berupa penegasan kembali beberapa poin penting, lalu diikuti semacam rekomendasi. Pertama, jika pendidikan diyakini terutama sekali sebagai milik “khas” manusia, maka tentu saja pemahaman kita tentang manusia menjadi sesuatu yang sangat menentukan hakikat dan arah pendidikan itu. Namun, di sisi lain, pendidikan juga ditantang untuk menjadi satu paradigma tersendiri dalam memandang manusia dalam multi-dimensionalitasnya. Kedua, pendidikan yang adalah milik “khas” manusia itu merupakan medan horizon dua cara berada manusia yang paling primordial yaitu bermain dan belajar. Pendidikan bukan sekadar afirmasi melainkan juga negasi dalam arti redefinisi cara berada manusia; tetapi redefinisi terhadap belajar sebagai cara berada manusia tidak berarti keluar dari cara berada itu, bahkan redefinisi itu justru merupakan reafirmasi terhadapnya. Ketiga adalah pendidikan sebagai horizon momen-momen aletheia, momen-momen kebebasan, momen penemuan diri dalam ketercerapannya di dalam the other atau alter ego, momen-momen peleburan sekaligus diferensiasi. Keempat, pendidikan adalah medan upaya sadar manusia untuk mengembalikan kedua cara beradanya ke tempat kudusnya semula, sekaligus mengembalikan
manusia
pada
kondisi
yang
membuatnya
mampu
merealisasikan cara beradanya itu. Berdasarkan itu, maka rekomendasi yang penting untuk saya kemukakan adalah, pertama, perlunya sebuah filsafat pendidikan yang tidak semata mendasarkan diri pada pandangan antropologis tertentu dan yang beraneka, melainkan juga mengkonstruksi sebuah pandangan antropologis tertentu dengan terutama memperhatikan kedua cara berada manusia. Sekaligus juga, filsafat pendidikan tidak sekadar merepresentasikan konteks melainkan terutama mengkonstruksi hal-hal yang dipandang sebagai konteks itu, yang kadangkadang bahkan secara keliru dianggap sebagai konstitutif bagi manusia. Kedua, filsafat pendidikan, dengan mengacu pada dua cara berada manusia di atas, perlu diturunkan dalam bentuk indikator-indikator yang lebih
9
Filsafat Pendidikan yang Membebaskan, Sebuah Pemetaan Awal
@ Edisius Riyadi, 3 Mei 2007
detail untuk menilai sejauh mana sistem, institusi dan praktik pendidikan mengadopsinya. Sistem itu mencakupi kebijakan, kurikulum, dan politik pendidikan; institusi meliputi keluarga, sekolah baik formal maupun non-formal, dan lembaga pemerintah yang mengatur tentang pendidikan; dan praktik pendidikan meliputi seluruh praksis pendidikan yang melibatkan pendidik, peserta didik, orang tua, masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan budaya, dan masyarakat secara keseluruhan. Ketiga, indikator-indikator hasil turunan dari filsafat pendidikan yang responsif-reflektif sekaligus konstruktif itu pada gilirannya bisa digunakan untuk menilai pelbagai institusi sosial, politik, ekonomi, dan kultural dalam kaitan dengan dua cara berada manusia di atas, serta menilai diskursus dan praksis yang berlangsung dalam masyarakat. Tampaklah dari seluruh uraian terutama pada bagian rekomendasi ini bahwa saya tengah menantang sebuah proyek fislafat pendidikan yang tidak hanya merefleksikan pendidikan sebagai medan horizon kedua cara berada manusia yang paling fundamental, yaitu belajar dan bermain, tetapi juga sebuah proyek filsafat pendidikan yang menjadi paradigma transformatif bagi sistem sosial, kultural, politik, ekonomi, komunikasi, religi, dan dimensi apa saja yang berkaitan dengan manusia sebagai makhluk multi-dimensional. Inilah sebuah tantangan terutama bagi para insan yang belajar dan suka filsafat tetapi sekaligus juga rindu menjadi filosof.
Jakarta, 3 Mei 2007.
10