Ekstensi SETIA-Seriti
Filsafat PAK
Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
FILSAFAT PENDIDKAN AGAMA KRISTEN 1. PENGERTIAN FILSAFAT
Secara etimologis filsafat berasal dari kata philein artinya mencintai dan sophos artinya kebajikan. Dari pengertian tersebut filsafat berarti usaha untuk mencintai kebajikan atau kebijaksanaan. Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Ciri-ciri berfikir filosfi : 1. Berfikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi. 2. Berfikir secara sistematis. 3. Menyusun suatu skema konsepsi, dan 4. Menyeluruh. Ada tiga persoalan yang ingin dipecahkan oleh filsafat ialah : 1. Apakah sebenarnya hakikat hidup itu? Pertanyaan ini dipelajari oleh Metafisika 2. Apakah yang dapat saya ketahui? Permasalahan ini dikupas dikupas oleh Epistemologi. 3. Apakah manusia itu? Masalah ini dibahas olen Atropologi Filsafat. Beberapa ajaran filsafat yang telah mengisi dan tersimpan tersimpan dalam khasanah ilmu adalah: 1. Materialisme, yang berpendapat bahwa kenyatan yang sebenarnya adalah alam semesta badaniah. Aliran ini tidak mengakui adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme humanistis. 2. Idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau intelegesi. Variasi aliran ini adalah idealisme subjektif dan idealisme objektif. 3. Realisme. Aliran ini berpendapat bahwa dunia batin/rohani dan dunia dunia materi murupakan hakitat yang asli dan abadi. 4. Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak (absolut) tidak doktriner tetapi relatif tergantung kepada kemampuan minusia. Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah : 1. Sebagai dasar dalam bertindak. 2. Sebagai dasar dalam mengambil keputusan. 3. Untuk mengurangi salah paham dan konflik. 4. Untuk bersiap siaga menghadapi situasi dunia dunia yang selalu berubah. 2. FILSAFAT PENDIDIKAN a. Pengertian Pengertian Filsafat Pendidikan Pendidikan Menurut The Liang Gie, filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Landasan dari ilmu itu mencakup: (1) konsepkonsep pangkal, (2) anggapan-anggapan dasar, (3) asas-asas permulaan, (4) struktur-struktur teoritis, dan (5) ukuran-ukuran kebenaran ilmiah. Pengertian pendidikan sendiri adalah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang. Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. 1
Ekstensi SETIA-Seriti
Filsafat PAK
Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam hal memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah sebagai dasar dalam bertindak, sebagai dasar dalam mengambil keputusan, untuk mengurangi salah faham dan konflik serta untuk bersip siaga untuk menghadapi situasi dunia yang selalu berubah. Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik, potensi cipta, rasa maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusian universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, harmonis, organis, dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalan studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Filsafat pendidikan adalah ilmu yang menyelidiki hakekat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya, serta hakikat ilmu pendidikan, yang berhubungan dengan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaan pendidikan itu. Filsafat pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang terdiri atas landasan dan dijiwai oleh falsafah hidup bangsa ”Pancasila” yang diabadikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia. b. Kegunaan Filsafat Pendidikan Menurut Nasution, guna filsafat pendidikan adalah untuk menentukan arah ke mana anakanak harus dibawah. Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak-anak ke arah yang di cita-citakan oleh masyarakat itu dengan adanya tujuan pendidikan kita mendapat gambaran yang jelas tentang hasil yang harus kita capai, individu yang bagaimanakah yang harus kita hasilkan dengan usaha pendidikan kita. Filsafat dan tujuan pendidikan menentukan cara dan proses untuk mencapai tujuan itu. Filsafat dan tujuan pendidikan memberi kesatuan yang bulat kepada segala usaha pendidikan. Segala usaha kita tidak terlepas-lepas, melainkan saling berhubungan, sehingga terdapat suatu kontinuitas dalam perkembangan dan kemajuan anak. Tujuan pendidikan memungkinkan si pendidik menilai usahanya. Hingga manakah tujuan itu telah tercapai? Tujuan pendidikan memberikan motivasi atau dorongan bagi kegiatan-kegiatan pendidikan. Kita lebih bergiat mengajar dan mendidik anak kalau kita jelas melihat tujuannya. c. Penting Seorang Guru PAK Memahami Filsafat Pendidikan Tugas guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) yang memiliki misi membentuk akhlak dan moralitas anak peserta didik. Filsafat pendidikan memang suatu disiplin yang bisa dibedakan tetapi tidak terpisah baik dari filsafat maupun juga pendidikan. Filsafat pendidikan mengambil persoalan dari pendidikan, sedangkan metodenya dari filsafat. Berfilsafat tentang pendidikan menurut suatu pemahaman yang tidak hanya tentang pendidikan dan persoalan-persoalannya, tetapi juga tentang filsafat itu sendiri. Filsafat pendidikan tidak lebih dan tidak kurang dari suatu disiplin unik sebagaimana halnya filsafat sains. Pendidikan dan filsafat tidak terpisahkan karena akhir dari pendidikan adalah akhir dari filsafat, yaitu kearifan (wisdom ), dan alat dari filsafat adalah alat dari pendidikan, yaitu pencarian (inquiry ), yang akan mengantar seseorang pada kearifan. Suatu usaha untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan tanpa kearifan ( wisdom) dan kekuatan filsafat ibarat sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk gagal. Persoalan pendidikan adalah persoalan filsafat. Filsafat pendidikan adalah ilmu yang menyelidiki hakikat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut-paut dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya, serta hakikat ilmu pendidikan, yang berhubungan dengan analitis kritis terhadap struktur dan kegunaan pendidikan itu sendiri. Filsafat pendidikan secara garis besarnya bukanlah filsafat umum atau filsafat murni tetapi merupakan filsafat khusus atau filsafat terapan. Apabila dilihat dari sudut karakteristik obyeknya, 2
Ekstensi SETIA-Seriti
Filsafat PAK
Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
filsafat dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: (1) filsafat umum atau filsafat murni, dan (2) filsafat khusus atau filsafat terapan. Filsafat umum mempunyai obyek antara lain: (a) Hakikat kenyataan segala sesuatu (Metafisika ) yang termasuk di dalamnya, hakikat kenyataan secara keseluruhan ( Ontology ), kenyataan tentang alam atau kosmos ( Kosmology), kenyataan tentang manusia ( Humanology ) dan kenyataan tentang Tuhan ( Teologi), (b) Hakikat mengetahui kenyataan, (c) Hakikat menyusun kesimpulan pengetahun tentang kenyataan ( Logika ), (d) Hakikat menilai kenyataan (Aksiologi ), antara lain tentang hakikat nilai yang berhubungan dengan baik atau jahat ( Etika) serta nilai yang berhubungan dengan indah dan buruk ( Estetika ). Filsafat khusus mempunyai obyek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia yang terpenting. Filsafat pendidikan merupakan aplikasi dalam pendidikan. Ditinjau dari subtansinya atau isinya, ilmu pendidikan merupakan suatu sistem pengetahuan tentang pendidikan yang diperoleh melalui riset dan disajikan dalam bentuk konsep-konsep pendidikan. Dalam arti sempit pendidikan adalah pengaruh yang diupayakan dan rekayasa sekolah terhadap anak didik yang diserahkan kepadanya agar mereka mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka atau pendidikan memperhatikan keterbatasan dalam waktu, tempat, bentuk kegiatan dan tujuan dalam proses berlangsungnya pendidikan. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan . Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar (PBM). Selain itu pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan. Filsafat ilmu pendidikan dibedakan dalam empat macam,yaitu: (1) Ontology: ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat subtansi dan pola organisasi ilmu pendidikan, (2) Epistomologi: ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat objek formal dan material ilmu pendidikan, (3) Metedologi ilmu pendidikan ,yang membahas tentang hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan, dan (4) Aksiologi: ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan. Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan tangan, saling memberi dan menerima. Mereka masing-masing adalah alat sekaligus akhir bagi yang lainnya. Mereka adalah proses dan juga produk. 1. Filsafat sebagi proses (philosophy as process) Filsafat sebagai aktivitas berfilsafat (the activity of philosophizing ). Tercakup di dalamnya aspek-aspek: (a) analisis (the analytic ), yakni berkaitan dengan aktivitas identifikasi dan pengujian asumsi-asumsi dan kriteria-kriteria yang memandu perilaku. (b) evaluasi (the evaluative ), berkaitan dengan aktivitas kritik dan penilaian tindakan. (c) spekulasi (the speculative ), berhubungan dengan pelahiran nalar baru dari nalar yang ada sebelumnya. (d) integrasi (the integrative ), yakni konstruksi untuk meletakkan bersama atau mempertautkan kriteria-kriteria atau pengetahuan atau tindakan yang sebelumnya terpisah menjadi utuh. Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika dalam perkembangan intelektual. 2. Filsafat sebagai produk (philosophy as product) 3
Ekstensi SETIA-Seriti
Filsafat PAK
Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
Produk dari aktivitas berfilsafat adalah pemahaman ( understanding ), yakni klarifikasi kata, ide, konsep, dan pengalaman yang semula membingungkan atau kabur sehingga bisa menjadi jernih dan dapat dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih lanjut. Filsafat dengan “P” capital adalah suatu bangun pemikiran yang secara internal bersifat konsisten dan tersusun dari respon-respon yang dibuat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses berfilsafat. Pertama-tama, filsafat memang tampak sebagai suatu jawaban, posisi sikap, konklusi, ringkasan akhir, dan juga re ncana final. d. Filsafat Yang Mempengaruhi Pendidikan 1. Progresifisme. Tokoh progresifisme adalah John Dewey, William James, Hans Vaihinger dan Ferdinand Schiller dan Georges Santayana. Tujuan progresifisme adalah meningkatkan masyarakat sosial demokratis. Pemikiran progresifisme: prograsifisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreatifitas, aktovitas, belajar “naturalistik,” hasil belajar “dunia nyata,” dan juga pengalaman teman sebaya. Progresifisme dinamakan instrumentalis, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intellegensi manusia sebagai alat untuk hidup, kesejahteraan, dan untuk mengembangkan kepribadian manusia. Pendidikan sebagai wahana yang paling efektif dalam melaksanakan proses pendidikan tentulah berorientasi pada sifat dan hakekat anak didik sebagai manusia yang berkembang. John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialiasi. Artinya di sini sebagai proses pertumbuhan dan proses dimana anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara masyarakat dan sekolah perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak perlu di sekolah saja. Jadi sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitarnya. Artinya sekolah adalah bagian dari masyarakat. 2. Parennialisme Parennialisme adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap pendidikan progresifisme yang mengingkari supranatural. Parennialisme adalah gerakan pendidikan yang mempertahankan bahwa nilai-nilai universal itu ada dan bahwa pendidikan itu hendaknya merupakan suatu pencarian dan penanaman kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai tersebut. Tujuan pendidikan menurut parennialisme adalah membantu anak menyingkap dan menanamkan kebenaran-kebenaran hakiki. Oleh karena kebenaran-kebenaran tersebut universal dan konstan, maka hendaknya menjadi tujuan-tujuan pendidikan yang murni. Beberapa pandangan tokoh parennialisme terhadap pendidikan : 1. Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas dasar paham adanya nafsu, kemauan dan akal (Plato). 2. Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya (Aristoteles ). 3. Pendidkan adalah menunutun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi efektif atau nyata (Thomas Aquinas ). 3. Essensialisme. Tujuan essensialisme adalah meningkatkan intelektual individu, mendidikan peserta didik untuk menjadi kompeten. Dalam essensialiseme, pendidikan haruslah bersendikan pada nilai-nilai yang dapat mendatangkan stabilitas. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut, nilai-nilai itu perlu dipilih agar mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu. Dengan demikian, prinsip essensialisme menghendaki agar landasan-landasan pendidikan adalah nilai yang essensial dan bersifat menuntun. Nilai dalam essensialisme adalah membantu peserta didik berfikir rasional, tidak terlalu berakar pada masa lalu, memperhatikan hal-hal yang kontemporer, memusatkan keunggulan, bukan kecukupan pemilikan nilai-nilai tradisional. Teori ini mementingkan mata pelajaran daripada proses. 4. Konstruksivisme. 4
Ekstensi SETIA-Seriti
Filsafat PAK
Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
Menurut faham konstruksivisme pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu merekonstruksi arti dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog dan lainnya melalui asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Teori konstruksifisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan suatu makna dari apa yang dipelajari. Kebutuhan PAK akan Filsafat Pendidikan Proses pendidikan adalah proses perkembangan yang bertujuan. Tujuan proses perkembangan itu secara almiah adalah kedewasaan, sebab potensi manusia yang paling alamiah adalah bertumbuh menuju tingkat kedewanaan, kematangan. Potensi ini akan dapat terwujud apabila prakondisi almiah dan sosial manusia bersangkutan memungkinkan untuk perkembangan tersebut, misalnya iklim, makanan, kesehatan, dan keamanan, relatif sesuai dengan kebutuhan manusia. Kedewasaan yang bagaimanakah yang diinginkan dicapai oleh manusia, apakah kedewasaan biologis-jasmaniah, atau rohaniah (pikir, rasa, dan karsa), atau moral (tanggung jawab dan kesadaran normatif), atau kesemuanya. Persoalan ini adalah persoalan yang amat mendasar, yang berkaitan langsung dengan sisitem nilai dan standar normatif sebuah masyarakat. Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah hidup dan kehidupan manusia, dimana pendidikan agama Kristen merupakan salah satu dari aspek kehidupan tersebut, karena hanya manusialah yang dapat melaksanakan dan menerima pendidikan. Oleh karena itu pendidikan agama Kristen memerlukan filsafat. Karena masalahmasalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan agama Kristen akan muncul masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih kompleks, yang tidak terbatasi oleh pengalman maupun fakta faktual, dan tidak memungkinkan untuk dijangkau oleh ilmu. Seorang guru Pendidikan Agama Kr isten, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat dan filsafat Pendidikan Agama Kristen. Seorang guru PAK perlu memahami dan tidak buta terhadap filsafat pendidikannya, karena tujuan pendidikan selalu berhubungan langsung dengan tujuan kehidupan individu dan masyarakat penyelenggara pendidikan. Hubungan antar filsafat dengan pendidikan adalah, filsafat menelaah suatu realitas dengan luas dan menyeluruh, sesuai dengan karateristik filsafat yang radikal, sistematis, dan menyeluruh. Konsep tentang dunia dan tujuan hidup manusia yang merupakan hasil dari studi filsafat, akan menjadi landasan dalam menyusun tujuan pendidikan. Filsafat pendidikan Kristen haruslah minimal dapat menjawab pertanyaanpertanyaan mendasar dalam pendidikan, sebagai berikut. 1. Apakah pendidikan itu? 2. Mengapa manusia harus melaksanakan pendidikan? 3. Apakah yang seharusnya dicapai dalam proses pendidikan? 4. Dengan cara bagaimana cita-cita pendidikan yang tersurat maupun yang tersirat dapat dicapai? Jawaban atas keempat pertanyaan tersebut akan sangat tergantung dan akan ditentukan oleh pandangan hidup dan tujuan hidup manusia, baik seca ra individu maupun secara bersama-sama (masyarakat/ bangsa). Filsafat pendidikan tidak hanya terbatas pada fakta faktual, tetapi filsafat pendidikan harus sampai pada penyelasaian tuntas tentang baik dan buruk, tentang persyaratan hidup sempurna, tentang bentuk kehidupan individual maupun kehidupan sosial yang baik dan sempurna. Ini berarti pendidikan adalah pelaksanaan dari ide-ide filsafat. Dengan kata lain, filsafat memberikan asas kepastian bagi nilai peranan pendidikan, lembaga pendidikan dan aktivitas penyelenggaraan pendidikan. Jadi, peranan filsafat pendidikan merupakan sumber pendorong adanya pendidikan. Dalam bentuk yang lebih terperinci lagi, filsafat pendidikan menjadi jiwa dan pedoman asasi pendidikan. Pendidikan merupakan usaha untuk merealisasikan ide-ide ideal dari filsafat menjadi kenyataan, tindakan, tingkah laku, dan pembentukan kepribadian e.
3. FILSAFAT PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 5
Ekstensi SETIA-Seriti
Filsafat PAK
Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
a. Antitesis dalam Pendidikan Kristen Prinsip hidup orang percaya berlawanan total dengan prinsip hidup orang yang tidak percaya. Hal ini terjadi juga dalam dunia pendidikan sama seperti dalam gereja. Antitesis terjadi di seluruh bidang pendidikan. Pertama, terjadi dalam filsafat pendidikan, kedua, antitesis muncul dalam aspek materi yang disampaikan, yakni kurikulum. Terakhir antitesis muncul ketika kita memikirkan sang anak atau anak muda yang akan dididik.
Antitesis dalam Filsafat Pendidikan Pikiran Non Kristen tentang Allah: Allah yang bersifat impersonalistik. Jadi Allah bukan satu pribadi yang bersifat absolut, tetapi Allah yang terbatas. Seluruh program pendidikan yang dibangun di atas dasar pemahaman impersonal pasti berlawanan total dengan program pendidikan yang dibangun di atas dasar yang personal. Pendidikan non-Kristen dapat dikatakan sebagai pendidikan tanpa Allah dan pendidikan yang bersifat humanistik. Sedangkan pendidikan Kristen adalah pendidikan yang berpusat kepada Allah. Pikiran non-Kristen tentang misteri: dari sudut pandang pengetahuan, filsafat pendidikan modern manusia harus mengandalkan potensinya sendiri. Realitas pada dasarnya bersifat irrasional, sehingga yang muncul hanya ketidakpastian dan ketakutan. Dalam hal ini teori pendidikan modern telah kehilangan arah sama sekali. Sebaliknya, kita dapat langsung melihat bahwa hanya konsep pendidikan Kristen yang benar-benar dapat disebut konsep pendidikan yang fungsional. Di dalamnya ada pengetahuan dan keyakinan. Antitesis dalam Kurikulum Pendidikan non-Kristen menyusun kurikulum pengajaran tanpa referensi kepada Allah. Kurikulum berhubungan dengan fakta ruang dan fakta waktu, tetapi tanpa relasi dengan Allah. Pengajaran yang demikian hanyalah suatu abstraksi atau merupakan fakta yang kosong. Pendidikan Kristen mendasarkan pengajaran dengan referensi kepada Allah. Dasar bagi keharusan sekolah Kristen berada pada keyakinan bahwa, tidak ada fakta yang dapat diketahui kecuali diketahui dalam relasinya dengan Allah. Ketika membicarakan kurikulum kita harus menekankan poin terpenting bahwa setiap fakta ruang waktu harus ditempatkan di hadapan pribadi Allah yang mutlak karena kita merasa bahwa, jika hal ini dipahami dengan jelas maka semua masalah lain dapat di atasi dalam terang pemahaman ini. Antitesis mengenai Anak Pandangan non-Kristen menganggap anak sebagai pribadi yang terbatas ditempatkan di tengah atmosfer impersonal yang absolute. Klaim Kristen adalah bahwa pribadi yang terbatas tidak dapat berkembang kecuali di tempatkan di hadapan pribadi yang mutlak. Impersonalisme dalam filsafat pendidikan non-Kristen mereduksi semua antitesis menjadi tidak ada dan mereduksi alam semesta menjadi alam semesta netral, di mana tidak ada yang akan terjadi. Seorang guru Kristen mengenal dirinya, mengetahui subjek yang diajarkan dan mengenal anak didiknya. Ia memiliki keyakinan penuh tentang buah pekerjaannya. Ia berjerih lelah untuk menghasilkan buah-buah yang kekal.
b.
Teologi Seorang Guru PAK Mempengaruhi Filsafat Pendidikan dan Kinerjanya Filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang guru mengenai pendidikan, atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional guru. Setiap guru baik mengetahui atau tidak memiliki suatu filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta apa yang harus manusia pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik. Filsafat pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran 6
Ekstensi SETIA-Seriti
Filsafat PAK
Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
praktis, para guru dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan. Terdapat hubungan yang kuat antara perilaku guru dengan keyakinannya: 1. Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran. Komponen penting filsafat pendidikan seorang guru adalah bagaimana memandang pengajaran dan pembelajaran, dengan kata lain, apa peran pokok guru? Sebagian guru memandang pengajaran sebagai sains, suatu aktifitas kompleks. Sebagian lain memandang sebagai suatu seni, pertemuan yang spontan, tidak berulang dan kreatif antara guru dan siswa. Yang lainnya lagi memandang sebagai aktifitas sains dan seni. Berkenaan dengan pembelajaran, sebagian guru menekankan pengalaman-pengalaman dan kognisi siswa, yang lainnya menekankan perila ku siswa. 2. Keyakinan mengenai siswa. Akan berpengaruh besar pada bagaimana guru mengajar? Seperti apa siswa yang guru yakini, itu didasari pada pengalaman kehidupan unik guru. Pandangan negatif terhadap siswa menampilkan hubungan guru-siswa pada ketakutan dan penggunaan kekerasan tidak didasarkan kepercayaan dan kemanfaatan.Guru yang memiliki pemikiran filsafat pendidikan mengetahui bahwa anakanak berbeda dalam kecenderungan untuk belajar dan tumbuh. 3. Keyakinan mengenai pengetahuan. Berkaitan dengan bagaimana guru melaksanakan pengajaran. Dengan filsafat pendidikan, guru akan dapat memandang pengetahuan secara menyeluruh, tidak merupakan potongan-potongan kecil subyek atau fakta yang terpisah. 4. Keyakinan mengenai apa yang perlu diketahui. Guru menginginkan para siswanya belajar sebagai hasil dari usaha mereka, di mana hal ini berhubungan dalam keyakinan (teologi)nya yang harus diajarkan kepada murid/siswa. c.
Asas Mengajar Seorang Guru PAK jika Menerapkan Pemikiran Progresivisme Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru). Keterbukaan pikiran disertai dengan kerangka orientasi ke masa depan melahirkan progresivitas pemikiran guru PAK. Ia menjadi guru PAK yang berpikir ke depan melalui pergaulannya dengan banyak kalangan dari berbagai situasi dan kalangan. Itulah yang menjadikan pikiran guru PAK tetap. Guru PAK menggunakan berbagai pengetahuan yang dimiliki bukan sebagai resep atau dogma, melainkan sebagai alat untuk menganalisis dan memahami kenyataan hidup di masyarakat, khususnya murid/siswa. Dari situ, dapat memahami guru PAK sebagai orang yang berorientasi pada masalah yang dihadapi, bukan pada aliran atau teori tertentu. Rumusanrumusan konsep pendidikan yang dipaparkannya secara jelas menunjukkan keterlibatannya dengan persolan-persoalan pendidikan yang dihadapi oleh ke-manusia-an di masa hidupnya. Dari pergulatannya dengan berbagai persoalan itu, lahirlah pemikiran-pemikiran progresif yang memberi solusi konstruktif. d. Pandangan Kosmologi, Antropologi, Teologi, dan Ontologi seorang Guru Pendidikan 7
Ekstensi SETIA-Seriti
Filsafat PAK
Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
Agama Kristen Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu: Kosmologi. Metafisika merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat: hakekat dunia, hakekat manusia, termasuk di dalamnya hakekat anak. Kosmologi secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang ada. Memahami filsafat ini diperlukan secara implisit untuk mengetahui tujuan pendidikan. Seorang guru seharusnya tidak hanya tahu tentang hakekat dunia di mana ia tinggal, tetapi harus tahu hakekat manusia, khususnya hakekat anak. Hakekat manusia: manusia adalah makhluk jasmani rohani, manusia adalah makhluk individual sosial, manusia adalah makhluk yang bebas, manusia adalah makhluk menyejarah. Peran filsafat pendidikan bagi guru, dengan filsafat metafisika guru mengetahui hakekat manusia, khususnya anak sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya dan berguna untuk mengetahui tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi guru mengetahui apa yang harus diberikan kepada siswa, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi guru memahami yang harus diperoleh siswa tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena pengetahuan tersebut. Antropologi. Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula di mana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalam upayanya belajar mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka tiga dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa. Teologi. Yang menentukan filsafat pendidikan seorang guru adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku guru, yaitu: keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan apa yang perlu diketahui. Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar. Selain itu, pemahaman teologi akan menjauhkan guru PAK dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan. Maka di sini teologi sebagai penerang kuat, bagaimana seharusnya seorang guru PAK bersikap, baik terhadap dirinya maupun terhadap siswa/murid. Sehingga siswa/murid dibawa ke dalam pola hidup yang benar sesuai dengan kebenaran yang teologi (Alkitab) ajarkan. Epistemologi. Kumpulan pertanyaan berikut yang berhubungan dengan para guru adalah epistemologi. Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan pengetahuan yang berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah dari situasi satu kesituasi lainnya? Dan akhirnya pengetahuan apakah yang paling berharga? Bagaimana menjawab pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki implikasi signifikan untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama guru harus menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian guru harus menentukan alat yang paling tepat untuk membawa muatan ini bagi siswa. Meskipun ada banyak cara mengetahui, setidaknya ada lima cara mengetahui sesuai dengan minat/kepentingan masing-masing guru, yaitu mengetahui 8
Ekstensi SETIA-Seriti
Filsafat PAK
Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
berdasarkan otoritas, wahyu Tuhan, empirisme, nalar, dan intuisi. Guru tidak hanya mengetahui bagaimana siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana siswa belajar. Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaahan dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penelitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahawa dalam menjelaskaan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebagai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental. Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan seca ra korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis. Ontologis. Pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang bera khlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya). Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non ) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlepas dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaannya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian maka akan terjadi mata rantai yang hilang ( the missing link ) atas faktor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh. e. Pemahaman dan Korelasional yang Harus Dimiliki Seorang Guru PAK tentang Etika dan Estetika 9
Ekstensi SETIA-Seriti
Filsafat PAK
Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
Etika dan estetika merupakan bagian dalam filsafat Aksiologi. Aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat kaitannya dengan pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan. Langsung atau tidak langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidikan. Nilai merupakan hubungan sosial. Pertanyaan-pertanyaan aksiologis yang harus dijawab guru adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan guru kepada siswa untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apa yang bener-benar dipegang orang yang benar-benar terdidik? Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan. Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai. Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku. Lebih-lebih di Indonesia. Implikasinya ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah. 4. MENJADI REFORMED DALAM SIKAP KITA TERHADAP SEKOLAH KRISTEN
Bila kita benar-benar reformed, kita harus berkata bahwa kehendak Allah harus menjadi penentu sikap kita terhadap sekolah Kristen, dan bahwa kehendakNya dinyatakan kepada kita dalam wahyu umum-Nya, tetapi lebih lagi dalam wahyu khusus-Nya. Pendidikan dan Orang tua. Orang tua adalah yang paling bertanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya. Alkitab jelas menyatakan agar orang tua mendidik anak-anak di dalam ajaran dan nasihat Tuhan (Ef. 6:4). Karakter religius dari Pendidikan. Firman Tuhan juga menunjukkan secara eksplisit bahwa pendidikan yang harus diberikan orang tua kepada anak-anaknya pada dasarnya harus bersifat religius (bnd. Kej. 18:19, Ams. 22:6). Natur sejati dari Anak dan Pendidikan. Manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah, dengan demikian, orang tua Kristen mempunyai alasan untuk menganggap anak-anaknya sebagai pembawa gambar Allah. Kesatuan Pendidikan. Kita selalu diingatkan akan fakta bahwa manusia yang seutuhnyalah yang dapat berpikir, berpersepsi, berkeinginan dan memiliki kehendak. Dengan demikian pendidikan anak seharusnya dianggap sebagai satu kesatuan proses. Orang Kristen Reformed, yang percaya bahwa anak adalah pembawa gambar Allah, secara alami akan menganggap bahwa semua kebenaran paling mendasar tidak boleh diabaikan dalam semua bagian pendidikannya, terutama dalam pendidikan di sekolah. Pendidikan adalah salah satu hal terpenting dalam kehidupan setiap manusia. Gagalnya pendidikan juga merupakan kegagalan kehidupan dan masa depan. Profesor Louis Berkhof dan 10
Ekstensi SETIA-Seriti
Filsafat PAK
Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
Profesor Cornelius Van Til, mencoba menyadarkan kita bahwa pendidikan Kristen bersifat antitesis terhadap pendidikan sekuler. Bukan hanya secara konseptual pendidikan ini bertolak belakang atau bersifat antitesis, tetapi itu berdampak sampai pada aplikasi pendidikan. Jika pendidikan Kristen berbasiskan kebenaran Firman Tuhan, maka pendidikan sekuler dibangun di atas pendekatan ateistik. Akibatnya, terjadi perbedaan konsep yang mutlak berbeda. Antitesis pendidikan sekuler dan Pendidikan Kristen, yakni perbedaan asas/dasar, tujuan, arah serta standard pendidikan. Dasar pendidikan dunia/sekuler adalah kekayaan atau materi, intelektual dan kebahagiaan dunia. Akibatnya menjadi materialistis atau orientasi duniawi. Pendidikan dunia sekuler sering kali berorientasi pada uang ( profit oriented ). Sedangkan dasar pendidikan Kristen adalah Allah sendiri. Dasar pendidikan Kristen adalah menggenapkan rencana Allah dalam kehidupan. Akibatnya menjadi berpusat pada Allah serta memiliki ketaatan spiritual. Tujuan pendidikan non-Kristen lebih mengarah ke perdagangan, materialistik dan bersifat kompetitif, akibatnya sering manipulatif dan sekuler. Sedangkan pendidikan Kristen bertujuan untuk mengembangkan kompetensi dan talenta yang Tuhan beri. Orientasinya kepada pribadi dan didasari oleh cinta kasih. Pendidikan non-Kristen mengarahkan anak untuk memenuhi tuntutan materi dan industri, sebagai akibatnya kelak menjadi budak dunia kerja atau budak industri. Orang-orang hanya memikirkan pekerjaan yang menghasilkan materi tanpa menyadari bahwa sebenarnya dia sudah diperalat atau diperbudak oleh pekerjaannya. Pendidikan Kristen mengarahkan anak untuk mengerti panggilan Tuhan atas dirinya, akibatnya menjadi manusia yang taat pada pimpinan Tuhan. Pekerjaan merupakan panggilan Tuhan dalam dirinya, sehingga melalui pekerjaannya dapat menjalankan mandat budaya. Standard pendidikan non-Kristen lebih melihat kepentingan dan tuntutan zaman, lokal dan kondisi tertentu, akibatnya anak kehilangan kebenaran dan acuan moral yang mutlak. Sedangkan standard pendidikan Kristen adalah agar anak hidup sesuai dengan karakter Allah sehingga bisa menjalankan kehendakNya. Sebagai akibatnya, anak akan berjuang mengerti kebenaran dan taat pada kekudusan Allah, serta melakukan sesuatu yang memuliakan Allah.
11