2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
TUGAS
WORKING PAPER
FILSAFAT ILMU OLEH
Herispon 1430512002
Program S.3 Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas Padang 2015 1
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Kata Pengantar
Puji Syukur penulis kepada Allh SWT, yang telah memberikan karunia kesehatan dan kemampuan kepada penulis dalam menyelesaikan kertas kerja (work paper) ini. Penulisan kertas kerja ini berkaitan dengan mata kuliah Filsafat Ilmu yang diasuh oleh Prof. Niki Lukviarman, SE., MBA., DBA., Ak., C.A., dalam perkuliahan semester genap T.A 2014/2015 program S.3 Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Niki Lukviarman, SE., MBA., DBA., Ak., C.A., selaku dosen pengasuh mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah memberikan bimbingan, arahan, sekaligus pencerahan khususnya selama proses perkuliahan dan berguna, serta dapat penulis aplikasikan dalam penulisan kertas kerja ini, yang mana telah membuka mata hati, mata pikiran penulis tentang begitu luasnya ilmu-ilmu yang harus dipelajari, dipahami, dimaknai dalam kehidupan ini, dan menurut hemat penulis pemahaman filsafat ; filsafat ilmu tersebut dapat digunakan dalam setiap tindakan, perkataan, dan perbuatan, baik untuk kemaslahatan diri sendiri, orang lain mapun lingkungan dimana kita berada, yang intinya menjadikan diri kita “orang bijaksana” dan atau “orang bijaksini”. Penulis menyadari, hasil dari tulisan ini masih jauh kata sempurna yang antara lain sebab yaitu keterbatasan waktu, keterbatasan literature, maupun keterbatasan telaah dari penulis sendiri. Untuk itu dengan hati terbuka dan ikhlas penulis menerima kritikan dan masukan yang sifatnya konstruktif dari pembaca dan pemerhati yang berkaitan dengan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat, terutama kepada para pembaca dalam kajian-kajian filsafat dan filsafat ilmu, demikian terima kasih.
Padang, Agustus 2015 Penulis,
HERISPON NIM 1430512002
2
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Daftar Isi
Bagian I Sekilas Tentang Filsafat, 1 A. B. C. D.
Pengantar, Rumusan Masalah, Tujuan Pembahasan, Sistematika Penulisan
1 3 3 3
Bagian II Filsafat ; Sejarah dan Perkembangannya A. B. C.
D. E. F. G.
Pengertian Filsafat, Filsafat Dari Mitos ke Logos, Sejarah dan Munculnya Filsafat, C.1. Klasifikasi Filsafat, C.2. Filsafat Barat, C.3. Filsafat Timur, C.4. Filsafat Islam, Pemetaan Cabang Filsafat, Metode Filsafat, Objek Filsafat, Sistematika Filsafat,
5 7 8 9 9 23 23 26 27 37 38
Bagian III Filsafat ; Filsafat Ilmu dan Kaitan Dengan Ilmu Pengetahuan A. B. C. D. E. F. G. H. I. J.
Pengertian Filsafat Ilmu, Perkembangan Filsafat Ilmu, Ciri-Ciri Ilmu Modern, Paradigma Ilmu Modern Menurut Beberapa Aliran, Bidang Kajian dan Masalah-Masalah Dalam Filsafat Ilmu, Kebenaran Ilmu, Keterbatasan Ilmu, Hubungan Filsafat dengan Ilmu, Perbedaan Filsafat dengan Ilmu, Pengaruh Filsafat Terhadap Perkembangan Ilmu dan Teknologi
43 55 59 60 62 64 66 68 70 71
3
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Bagian IV Filsafat Dalam Perspektif Ilmu Manajemen A. B. C. D.
Latar Belakang, Dimensi Filosofis Manajemen, Manajemen Yang Filosofis, Perumusan Lebih Jauh Dalam Praktek Manajemen,
74 80 82 83
Bagian V Filsafat : Masa Sekarang dan Masa Datang,
87
Bagian VI Manfaat Mempelajari Filsafat dan Filsafat Ilmu,
96
Bagian VII Penutup ; Kesimpulan,
98
Daftar Pustaka,
101
4
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Bagian I Sekilas Tentang Filsafat
H. Pengantar Filsafat / filosofi berasal dari kata Yunani yaitu philos (suka) dan sophia (kebijaksanaan), yang diturunkan dari kata kerja filosoftein, yang berarti : mencintai kebijaksanaan, tetapi arti kata ini belum menampakkan arti filsafat sendiri karena “mencintai” masih dapat dilakukan secara pasif. Pada hal dalam pengertian filosoftein terkandung sifat yang aktif.
Filsafat adalah pandangan
tentang dunia dan alam yang dinyatakan secara teori. Filsafat adalah suatu ilmu atau metode berfikir untuk memecahkan gejala-gejala alam dan masyarakat. Namun filsafat bukanlah suatu dogma atau suatu kepercayaan yang membuta. Filsafat mempersoalkan soal-soal : etika/moral, estetika/seni, sosial dan politik, epistemology/tentang asal pengetahuan, ontology/tentang manusia, dan lainnya. Menetapkan suatu definisi nampaknya sulit untuk dilakukan. kenapa? Persoalannya bukan terletak pada soal bagaimana untuk mengemukakan definisi itu, melainkan soal mengerti atau tidaknya orang menerima definisi tersebut. Ini adalah persoalan yang tidak bisa dianggap sepele. Filsafat sebagai proses berpikir yang sistematis dan rasional juga memiliki objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada mencakup ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal,dan rasional adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan rasional tentang segala yang ada. Setelah berjalan beberapa lama kajian yang terkait dengan hal yang empiris semakin bercabang dan berkembang, sehingga menimbulkan spesialisasi dan menampakkan kegunaan yang praktis. Inilah proses terbentuknya ilmu secara berkesinambungan. Maka seiring dengan berkembangnya zaman, makin berkembanglah ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Kemajuan pesat ilmu pengetahuan yang dicapai manusia pada ujung pertengahan kedua abad ke-20, memungkinkan arus informasi menjadi serba cepat; apa dan oleh siapa dari seluruh muka bumi (bahkan sebagian jagat raya) - menembus ke seluruh lapisan masyarakat dengan bebas tanpa membedakan siapa dia si penerima. Tanpa mengenal batas jarak dan waktu, negara, ras, kelas ekonomi, ideologi atau faktor lainnya yang dapat menghambat bertukar pikiran. Pengaruh 5
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
perkembangan ilmu pengetahuan terhadap pola kemasyarakatan alienasi adalah suatu kondisi psikologis seorang individu yang dinafasi oleh kesadaran semu (tentang misteri keabadian termasuk Tuhan), keberadaan, dan dirinya sendiri sebagai individu serta komunitas. Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat dan cenderung meniru budaya barat bisa jadi menciptakan sebuah alienasi budaya. Orang merasa asing dengan budayanya sendiri. Kaum muda tidak lagi at home dengan kebudayaan yang telah membentuk identitas sosialnya. Kemajuan-kemajuan memungkinkan banyaknya pilihan (multiple options) dan membuka kesempatan tumbuhnya materialisme dan rasionalisme dengan luar biasa. Tuntutan hidup begitu tinggi. Kemakmuran yang dicapai tidak terkendali, gaya hidup menjadi konsumtif dan hedonistik. Manusia pribadi yang menjadi begitu sibuk untuk mempertahankan hidup menyuburkan sosok individualistik. Kaya dan sukses dari segi materi jadi satu-satunya tujuan hidup. Persaingan demikian ketat, sehingga penghargaan manusia terhadap waktu mencapai titik tertinggi dibandingkan masa sebelumnya. Yang tersisa hanya wajah kehidupan tidak manusiawi dimana bahaya masa depan ialah manusia menjadi robot karena terjadi alienasi diri. Ini merupakan pengaruh negatif dari kemjuan ilmu jika tidak di dasari dengan akhlak, norma, moral dan landasan agama yang ada. Jangan sampai perkembangan ilmu menjadikan manusia sebagai objek, menyeret dan memaksanya pada model kehidupan yang menyimpang. Tidak dapat kita pungkiri bahwa perkembangan peradaban manusia yang ada pada saat ini merupakan bentuk desakan dari pengaruh berkembangnya aspek-aspek kehidupan di masa lalu. Manusia dengan alam pikirannya selalu melahirkan inovasi baru yang pada akhirnya memberikan efek saling tular serta membentuk sikap tertentu pada lingkungannya. Fenomena ini akan membawa kita kepada masa depan manusia yang berbeda dan lebih kompleks. Prediksi pada ilmuwan Barat yang menyatakan bahwa agama formal (organized religion) akan lenyap, atau setidaknya akan menjadi urusan pribadi, ketika iptek dan filsafat semakin berkembang, ternyata tidak terbukti. Sebaliknya, dewasa ini sedang terjadi proses artikulasi peran agama (formal) dalam berbagai jalur sosial, politik, ekonomi, bahkan dalam teknologi. Manusia yang berpikir filsafati, diharapkan bisa memahami filosofi kehidupan, mendalami unsur-unsur pokok dari ilmu yang ditekuninya secara menyeluruh sehingga lebih arif dalam memahami sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu yang ditekuninya, termasuk pemanfaatannya bagi masyarakat Demikian juga filsafat, sulit sekali untuk memberikan suatu batasan yang benar (pasti) tentang kata filsafat. Buktinya para filsuf selalu berbeda-beda dalam medefinisikan filsafat. 6
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Layaknya seperti ilmu pengetahuan, filsafat juga mempunyai metode yang digunakan untuk memecahkan problema-problema filsafat. Selain itu filsafat juga mempunyai obyek dan sistematika/struktur. Tidak kalah pentingnya dengan cabang ilmu pengetahuan, filsafat juga mempunyai manfaat dalam mempelajarinya.
I. Rumusan Masalah Dari Latar belakang di atas dapat di ketahui beberapa rumusan masalah di antara sebagai berikut : 1. Bagaimana pengertian filsafat secara etimologis dan terminologis serta menurut para ahli ?. 2. Metode apa saja yang digunakan dalam filsafat ? 3. Apa saja objek dalam filsafat ? 4. Bagaimana sistematika/ stuktur dalam filsafat ? 5. Apakah itu filsafat Ilmu ? 6. Apa manfaat mempelajari filsafat dan filsafat ilmu ?
J. Tujuan Pembahasan Dari Rumusan Masalah di atas dapat diketahui tujuan dari pembahasan adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui dan memahami pengertian filsafat secara etimologis dan terminologis serta menurut para ahli. 2. Mengetahui dan memahami metode yang digunakan dalam filsafat. 3. Mengetahui dan memahami objek dalam filsafat. 4. Mengetahui dan memahami sistematika/ stuktur dalam filsafat. 5. Mengetahui filsafat dan filsafat ilmu 6. Mengetahui dan memahami manfaat mempelajari filsafat.
K. Sistematika Penulisan Penulisan kerja kerja ini (work paper) penulis bagi dalam 6 bagian, yang terdiri dari bagian : Bagian I
:
Sekilas tentang filsafat, berisikan ; Pengantar, Rumusan Masalah, Tujuan Pembahasan, dan Sistematika Penulisan.
Bagian II
:
Filsafat ; Sejarah dan Perkembangannya
Bagian III
:
Filsafat ; Filsafat Ilmu dan Kaitan Dengan Ilmu Pengetahuan 7
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Bagian IV
:
Filsafat Dalam Perspektif Ilmu Manajemen
Bagian V
:
Filsafat ; Masa Sekarang dan Masa Datang
Bagian VI
:
Manfaat Mempelajari Filsafat dan Filsafat Ilmu
Bagian VII
:
Penutup ; Kesimpulan
2015
Daftar Pustaka
8
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Bagian II Filsafat ; Sejarah dan Perkembangannya
A. Pengertian Filsafat Secara etimologis, dalam bahasa Inggris disebut philosophy, dalam bahasa Arab disebut filsafat, dalam bahasa Yunani disebut falsafah atau philosophia, kata majemuk yang berasal dari kata Philos yang artinya cinta atau suka, dan kata Sophia yang artinya bijaksana. Dengan demikian secara etimologis, filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan. Di dalam Encyclopedia of philosophy (1967 : 216) ada penjelasan sebagai berikut: “The creek word Sophia is ordinary translated as „wisdom‟, and the compound philosophia, from wich philosophy derives, is translated as the „love of wisdom.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual. Abu Bakar Atjeh (1982 : 6)
juga mengutip seperti itu. Berdasarkan kutipan tersebut dapat di ketahui bahwa filsafat ialah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijakan atau untuk menjadi bijak.
Secara
terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam, sebanyak orang yang memberikan pengertian. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi tentang filsafat tersebut : Definisi filsafat oleh para Filsuf / pemikir Para Filsuf / pemikir Uraian / definisi / pendapat Plato (477 SM-347 SM)
Ia seorang filsuf Yunani terkenal, gurunya Aristoteles, ia sendiri berguru kepada Socrates. Ia mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli Aristoteles (381SM-322SM) Bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika Marcus Tulius Cicero (106SM- Seorang politikus dan ahli pidato Romawi merumuskan 43SM) filsafat sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya Immanuel Kant (1724M-1804M) yang sering dijuluki raksasa pemikir barat, mengatakan bahwa filsafat merupakan ilmu pokok dari segala ilmu pengetahuan yang meliputi empat persoalan, yaitu: “Apakah Yang Dapat Kita Ketahui” ? pertanyaan ini 9
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Al-Farabi (wafat 950M) Cicero (106 – 43 SM ) Rene Descartes (1596–1650)
Johann Gotlich Fickte (1762-1814 )
Paul Nartorp (1854 – 1924)
Harold H. Titus (1979 )
Bertrand Russel
2015
dijawab oleh Metafisika. “Apakah Yang Boleh Kita Kerjakan” ? pertanyaan ini dijawab oleh Etika. “Sampai Di Manakah Pengharapan Kita” ? pertanyaan ini dijawab oleh Agama. “Apakah Manusia Itu” ? pertanyaan ini dijawab oleh Antropologi. Seorang filsuf muslim mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya Filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan ) Pelopor filsafat modern dan pelopor pembaruan dalam abad ke-17 yang terkenal dengan ucapannya: “Cogito ergo Sum” (karena berpikir, maka saya ada) sebagai landasan filsafatnya. Berfilsafat berarti berpangkal kepada suatu kebenaran yang fundamental atau pengalaman yang asasi Filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmuilmu, yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi , filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalahmasalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan;namun, seperti sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu
Dalam filsafat, pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dilakukan secara terus menerus (hingga akhirnya membuahkan jawaban yang semakin lama semakin mendekati kebenaran). Karena itu sering pula disebut bahwa filsafat dalah sebuah “tanda tanya”, dan bukan “tanda seru”. Artinya filsafat adalah sebagai upaya pencarian akan kebijaksanaan atau pencarian 10
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
pengetahuan yang tidak pernah selesai. Dengan cara ini pemahaman kita tentang segala sesuatu sebetulnya semakin diperluas dan diperdalam (Akhyar Yusuf Lubis ; 2014, hal 2)
B. Filsafat Dari Mitos ke Logos Sebelum filsafat lahir dan berkembang pesat, di Yunani telah berkembang mitos-mitos. Bahkan kalau di pikirkan secara seksama lagi, ternyata filsafat sendiri dilahirkan dan dikembangkan melalui jalan mitologis, mitos-mitos yang berkembang sendiri merupakan metode yang dilakukan untuk memahami segala sesuatu yang ada, karena ketidaktahuan dan penasarannya manusia terhadap alam semesta ini dan pada saat itu jawabannya hanya ada didalam mitos sehingga muncul anggapan bahwa bumi ini bisa gelap karena ada raksasa yang menggemgam bumi ini, dan menjadi terang kembali setelah raksasa melepas genggamannya. Khayalan-khayalan itu menjadi “keyakinan” yang selanjutnya membentuk pemahaman normatif tentang setiap keberadaan dan kekuatan yang ada didalamnya. Kemudian setelah berkembang jaman manusia pun mulai mencari kebenaran yang bisa dibuktikan secara rasional yang melahirkan sebuah ilmu pengetahuan, mereka berhasil mengubah masyarakat yang mitos menjadi logos yang sekarang dikenal dengan “filsafat”. Bertanya dan mencari jawaban atas berbagai macam pertanyaan telah dilakukan oleh para filsuf sepanjang sejarah pemikiran selama ribuan tahun. Pertanyaan-pertanyaan itu seperti : -
Dari manakah asal mula alam ?
-
Apakah alam ini dengan segala isinya terjadi dari materi belaka ?
-
Apakah manusia secara prinsip sama dengan binatang ?
-
Ataukah manusia makhluk rasional yang diciptakan Tuhan untuk bertanggung jawab atas tindakan dan pilihan hidupnya ?
-
Apakah bumi ini bulat ?
-
Mengapa matahari terbit di Timur, benarkah demikian ? Pertanyaan-pertanyaan filosofis ini muncul ketika manusia sudah mulai menyadari bahwa
dirinya, keberadaannya dibumi ini berbeda dengan alam dan lingkungan sekitarnya, maka muncullah tahap-tahap sebagai berikut :
11
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Tahap Pra Logis (hylozoisme)
Logis
2015
Uraian / Keterangan Pada alam pikiran mistis (pra logis), manusia, alam, tumbuhan, dan binatang digolongkan dalam satu kelas, artinya tidak ada perbedaan antara manusia dengan objek lain. Dan alam dianggap memiliki kekuatan (jiwa) yang disebut anima. Hal-hal yang berbau mistis seperti : - Matahari adalah dewa yang sedang menunggangi ketera kudanya yang melintas dilangit. - Bumi dianggap seperti meja dan diatasnya ada sebuah mangkok setengah lingkaran Pada tahap ini manusia sudah mulai menyadari keberadaannya di alam dunia, manusia sudah melihat perbedaan dengan alam (ontology), manusia sudah mempertanyakan alam dan dirinya, seperti ; Thales, Anaximenes, Heracleitos, Pythagoras (pra Scorates), mulai mempertanyakan asal muasal alam semesta ini (kosmologi). Disinilah filsafat mulcul karena ketidak puasan para filsuf atas penjelasan mitos tentang berbagai hal yang tidak dapat dijustifikasi baik oleh rasio maupun pengalaman.
(Disarikan dari Akhyar Yusuf Lubis ; 2014, hal 4-5)
Penjelasan mitos (mitologi) ini dirasa kurang dan tidak memenuhi tuntutan rasio atau logos, karena itu para filsuf mencari jawaban yang lebih rasional sehingga lebih dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Karena penjelasan mitologi tidak dapat dijelaskan atau dikontrol oleh rasio, maka tokoh filsafat Yunani abab ke 6 SM mulai memberikan penjelasan tentang berbagai masalah yang didasarkan atas penjelasan atau argumen yang rasional, karena itu sering disebut filsafat lahir ketika logos (akal budi atau rasio) menggantikan mitos.
C. Sejarah dan Munculnya Filsafat Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikirpikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani yang terbesar 12
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.
C.1. Klasifikasi Filsafat Filsafat sebagai induk pemikiran ilmiah selalu berada dibelakang kemajuan suatu peradaban. Langkah ini dimulai dengan cara coba-coba (trial and error). Cara ini membimbing manusia pada kemampuan menemukan pengetahuan ilmiah yang melibatkan observasi dan eksperimen. Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Islam”.
C.2. Filsafat Barat Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Menurut Takwin (2001) dalam pemikiran barat konvensional pemikiran yang sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk pengertian yang ketat dan harus mengandung kebenaran logis. Misalnya aliran empirisme, positivisme, dan filsafat analitik memberikan kriteria bahwa pemikiran dianggap filosofis jika mengadung kebenaran korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni sebuah pengetahuan dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris. Contoh jika pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika indra kita menangkap hujan turun, jika kenyataannya tidak maka pernyataannya dianggap salah. Koherensi berarti sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan itu mengandung koherensi logis (dapat diuji dengan logika barat). Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi menjadi tiga bagian besar yakni: (a) bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being), (b) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistimologi dalam arti luas), (c) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (aksiologi). Dalam perkembangannya filsafat barat ini dibagi lagi dalam beberapa era atau masa yaitu ; Pra Socrates, Sofis, Yunani Klasik, Periode Helenitas-Romawi , Abad
13
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
pertengahan, Periode modern, Periode postmodern / Kontemporer. Adapun para filsuf yang terkenal pada era atau masanya adalah :
Para Filsuf / pemikir Uraian / definisi / pendapat 1. Periode Yunani Pra Socrates (600 SM = 400M) Ciri ; Kosmosentris Bahwa alam itu merupakan suatu susunan yang teratur dan harmonis. Pada zaman Yunani kuno terdapat 3 masa perkembangan yaitu masa awal, masa kaum sofis serta masa keemasan (masa Socrates). Pada masa awal ini, filsafat hanya membahas tentang alam dan kejadian alamiah terutama dalam hubungannya dalam perubahan-perubahan yang terjadi. Namun mereka yakin bahwa perubahan-perubahan ini terdapat suatu unsur yang menentukan, tapi mereka punya perbedaan pendapat tentang perbedaan unsur-unsur tersebut Masa awal dengan Filsuf : - Thales Bahwa semua makhluk hidup berasal dari air dan manusia berkembang dari ikan, karena ada satu substansi (zat) tunggal (monisme) pertama serta hukum alam yang berlaku didunia yang berfungsi mempertahankan keseimbangan antara berbagai unsur (multiplicity) fenomena alam yang berbeda. Anaximandros dengan unsur yang tidak terbatas (to apeiron), Anaximenes dengan unsur udara. Anaximandros dan Anaximenes adalah kedua murid Thales namun berbeda pendapat dalam pemahamannya tentang unsur-unsur tersebut (sumber ; http/www.philosophers.co.uk) - Pythagoras Pemikiran Phytaghoras berbeda dengan filosof pada masanya kecuali Anaximandros dalam memahami unsur tersebut. Menurutnya unsur tersebut tidak dapat ditentukan dengan pengenalan indrawi, melainkan dapat diterangkan dengan perbandingan dasar antar bilangan, karena Phytaghoras terkenal sebagai pengembang ilmu pasti dengan dalil terkenalnya yaitu “dalil Phyitaghoras”. Perminides dari Elea mengemukakan unsure “metafisika”, yaitu mempersoalkan “ada” yang berkembang menjadi “yang ada, sejauh ada” (being as being, being as such). Dari yang ada, ada,dan yang tak ada, mempunyai arti bahwa prulalitas itu tidak ada. Filosof berikutnya kembali kepada pengalaman indrawi, antara lain Demokritos dan Leucippus yang bersama-sama memuat teori “atomisme”. Mereka berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada terdiri atas bagian-bagian kecil yang tidak bisa dibagi-bagi lagi, meskipun bentuk atom itu sendiri sangat kecil dan tidak Nampak oleh indra namun atom selalu bergerak membentuk realitas yang tampak oleh indra manusia Bahwa adanya harmoni pada alam karena alam atau benda-benda dibuat atas dasar prinsip bilangan (matematika). 14
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Jiwa tidak dapat mati, bila seseorang mati, jiwa akan tetap abadi dan akan berubah menjadi makhlk lain. Segala sesuatu pada akhirnya dapat direduksi kedalam perhitungan angka-angka. (sumber; http/www.tsemrinpoche-.com) - Heraclitos (orang yang tidak jelas) Terkenal dengan pernyataannya “panta rhei kai udai menei” artinya segala sesuatu berada dalam perubahan, dalam pemahaman bahwa segala sesuatu mengalir dan dalam proses menjadi. Heraklitos mengatakan unsur tersebut adalah api, menurutnya api adalah lambang perubahan. Karena tidak ada didunia yang tetap, definitif dan sempurna, tetapi berubah. Segala sesuatu berada dalam status “menjadi” kemudian berubah. Seseorang tidaklah bergerak dalam kehidupan, akan tetapi kehidupan itulah yang mengalir melalui kita. Kita bukanlah berada dalam dunia, namun kita adalah bagian dari dunia. Batas-batas antara diri (self) dan dunia tidaklah absolut akan tetapi mengalir dalam proses yang saling berhubungan (Howard, 2005 : 13-23.) Masa Sofis : Di lanjutkan pada masa kaum sofis, yaitu kaum yang pandai berpidato yang tidak lagi menaruh perhatian utama kepada alam, tetapi menjadikan manusia sebagai pusat perhatian studinya. Tokohnya adalah Protagoras, dia memperlihatkan sifat-sifat relativisme (kebenaran bersifat relative), tidak ada kebenaran yang tetap, universal dan definitif. Benar, baik dan bagus selalu berhubungan dengan manusia, tidak mandiri sebagai kebenaran mutlak Masa keemasan (Yunani Klasik) : - Socrates (470SM-399SM) Socrates menentang kaum sofis yang mengatakan bahwa kebenaran adalah sifatnya relative dan tidak mutlak. Namun menurut Socrates, kebenaran itu sifatnya mutlak, universal dan obyektif yang harus dijunjung tinggi oleh semua orang. Metode yang digunakan olehnya adalah dengan bertanya secara radikal dan kritis kepada orang yang bersangkutan sampai orang yang ditanya dapat menemukan apa yan baik dan benar didalam dirinya sendiri. Dari caranya bersifat, ia mengembangkan secara de facto menjadi suatu metode yang dikenal dengan metode Induktif. Dalam metode ini dikumpulkan contoh dari peristiwa khusus yang diambil ciriciri khususnya kemudian dicari ciri-ciri umumnya hingga memperoleh suatu definisi terhadap sesuatu. Jasa Socrates yang paling besar adalah mengembalikan tradisi filsafat Yunani yang sempat digoyahkan oleh kaum sofis. Ucapannya yang terkenal adalah “Kenalilah Dirimu Sendiri”, Pengenalan diri menjadi permasalahan penting dalam filsafat 15
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
manusia dan psikologi modern. Dalam diskusi dan mengajar Socrates menggunakan metode / tehnik kebidanan (maieutikos) dengan asumsi bahwa manusia pada dasarnya sebelum lahir telah membawa/memiliki pengetahuan bawaan. Karena itu menurut Socrates bagaimana menarik dan mengeluarkan pengetahuan yang ada dalam kesadaran itu, dengan kata lain dia bertugas seperti seorang bidan yang membantu seorang ibu melahirkan bayi dari rahim sewaktu persalinan. Karena ajarannya, keberanian, kejujuran dan keteguhannya dalam bersifat harus dibayar mahal olehnya, Socrates dituduh meracuni generasi muda pada waktu itu yang membuat mereka tidak percaya pada dewa-dewa yang diagungkan oleh masyarakat Yunani. Kemudian pengadilan Yunani menjatuhkan vonis mati kepada Socrates, dan ajarannya dilanjutkan oleh Plato dan Aristoteles. - Plato (427SM-347SM). Plato mendirikan sekolah filsafat yang disebut Akademia. Dia mengubah metode Socrates menjadi teori Idea. Menurutnya idea adalah bentuk mula jadi atau model yang bersifat umum dan sempurna yang disebut prototypa, sedangkan benda individual dunia hanya merupakan bentuk tiruan yang tidak sempurna/kekal. Oleh karena itu dalam filsafatnya Plato menentang realisme karena yang dianggap benar menurut realisme adalah yang dapat diindra dan ada begitu saja, tapi kata Plato obyek tersebut sebenarnya sudah ada di dalam idea yang nyata sedangkan objek duniawi hanyalah tiruan dari dunia idea saja. Gagasan plato ini banyak memberikan dasar pada perkembangan logika. - Aristoteles (384SM-322SM) Namun demikian logika ilmiah sesungguhnya baru saja terwujud oleh muridnya yaitu Aristoteles, karena dia lebih sistematis dalam berfilsafat. Dalam berfilsafat dia menggarap masalah kategori, struktur bahasa, hokum formal konsistensi proposisi, silogisme kategoris, pembuktian ilmiah, perbedaan atribut hakiki dengan bukan hakiki, kesatuan pemikiran, metode berdebat, kesalahan berpikir sampai menyentuh bentuk-bentuk dasar simbolisme (sumber ; http ://classicalwisdom.com) 2. Periode HelenitasMasa ini tidak lepas dari peranan Raja Alexander Agung, uang Romawi membuat kebudayaan Yunani menjadi kebudayaan Helenitas. Diera ini dibuka juga sekolah-sekolah baru mengalahkan Akademia plato dan Lykeion aristoteles, sehingga memunculkan banyak aliran-aliran baru seperti stoisisme, epikurisme, skeptisisme, ekletisisme, dan neoplatoisme, pemikir yang terkenal pada era ini adalah : - Stoisme adalah mazhab yang didirikan oleh Zeno dari Kition di Athena sekitar 300 SM. Nama “stoa” mengacu dari serambi bertiang empat tempat Zeno mengajar. Menurut stoisme jagat raya di ditentukan oleh “logos” yang berarti rasio dengan begitu seluruh 16
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
-
-
-
-
2015
kejadian jagat raya ini telah ditentukan dan tidak bisa dielakan dan jiwa manusia merupakan bagian dari logos sehingga mampu mengenali jagat raya. Manusia dapat hidup bahagia dan bijaksana jika menggunakan rasionya dalam mengendalikan diri nafsunafsunya secara sempurna. Mati dan hidup merupakan kejadian yang sudah ditentukan dan sifatnya mutlak. Epikurisme dibangun Epikueros (341SM-270SM) yang kembali memunculkan “Atomisme demokritos” bahwa segala hal terdiri atas atom yang senantiasa bergerak dan bertabrakan secara kebetulan sehingga terciptanya segala sesuatu. Dalam ajarannya terhadap manusia, dia berpendapat manusia bisa bahagia jika mengakui susunan dunia ini dan tidak ditakut-takuti oleh dewa. Dengan begini manusia bebas dalam berkehendak untuk mencari kesenangan sepuas-puasnya tanpa harus memperdulikan dewa. Namun jika kesenangan yang manusia dapat terlalu banyak maka ia akan gelisah dan tidak tenang, oleh karena itu yang manusia itu sendiri harus bisa membatasi diri dalam mencari kesenangan itu sendiri agar memperoleh kesenangan yang hakiki yaitu kesenangan rohani. Skeptisisme dipelopori oleh Pyrrho (365SM-275SM), aliran ini mengajarkan keragu-raguan dan kesangsian terhadap sesuatu yang ada, walaupun sesuatu itu nyata adanya. Karena mereka menyakini bahwa kemampuan manusia tidak akan sampai bisa menemukan kebenaran yang mutlak. Ekletisisme, Cicero (106SM-43SM). Aliran ini hanya sebagai penengah berbagai aliran filsafat bagi masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan namun tidak sampai menggabungkan segala aliran filsafat itu kedalam satu pemikiran namun hanya menggunakan aliran-aliran tertentu pada kondisi tertentu dan tidak memihak kepada aliran apapun. Neoplatoisme,sesuai dengan namanya aliran ini mencoba menghidupkan kembali filsafat Plato, tetapi dipengaruhi juga oleh aliran filsafat setelahnya seperti Aristoteles dan Stoa, oleh karena itu tidaklah heran jika aliran ini mensintesiskan semua aliran filsafat saat itu. Tokoh nya adalah Plotinos, aliran ini mengajarkan tentang hakikat adanya “yang satu” yaitu Allah. Artinya semuanya berasal dan kembali kepada “yang satu” sehingga menimbulkan gerakan dari atas kebawah dan dari bawah keatas. Pada gerakan dari atas kebawah, artinya taraf yang paling tinggi yaitu Allah mengelurkan taraf-taraf yang ada dibawahnya melalui jalan emanasi yang berarti tidak merubah dan mengurangi kesempurnaan “yang satu”. Prosesnya adalah seperti ini, dari yang satu dikeluarkan akal budi sesuai dengan gagasan Plato. Didalam akal budi ada dualitas yaitu yang memikirkan dan yang dipikirkan. Dari akal budi melahirkan jiwa dunia (psyche) dan darinya dikeluarkan materi (hyle) bersama dengan psykhe terciptalaj jagat 17
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
raya. Sebagai taraf terendah, materi yang paling tidak sempurna dan merupakan pusat kejahatan. Pada gerakan dari bawah keatas, setiap taraf-taraf yang dikeluarkan yang satu akan kembali menuju Allah, karena manusia memiliki tiga taraf (akal budi, psyche, dan hyle) maka hanya manusialah yang mampu kembali pada yang satu. Cara kembalinya ada tiga cara yaitu: penyucian manusia dari materi ketika bertapa, penyatuan manusia dengan Tuhan melebihi pengetahuan dan eksistensi. 3. Periode abab perte- Periode ini dibagi dua : ngahan (400- 1500 a. Zaman Patristik M) Istilah patristic berasal dari kata latin “patres” yg berarti bapak dalam lingkungan gereja. Dalam era ini, filsafat mulai disusupi oleh teologi kristiani, bahkan terjadi pertentangan juga dikalangan para pemuka agama Kristen ini dalam menanggapi filsafat. Ada tiga pendapat para bapak gereja dalam menanggapinya, pertama, setelah adanya wahyu ilahi melalui roh kudus seharusnya pemikiran filsafat di stop bahkan dihilangkan sama sekali karena dianggap menyalahi alkitab dan dianggap “kafir”. Kedua, berusaha untuk menengahi dan menggabungkan kedua pemikiran tersebut. Ketiga, filsafat merupakan langkah awal menuju pemahaman agama yang harus diterima dan dikembangkan. Tokoh utama dalam filsafat ini adalah Augustinus, ia mengatakan bahwa pemikiran merupakan integrasi dari teologi Kristen dan pemikiran filsafatnya dan filsafat itu sendiri tidak bisa lepas dari iman Kristen. Inti dari filsafat ini hanya membahas 2 aspek yaitu Tuhan dan manusia. Oleh karena itu maka pembahasannya mencakup hal-hal yang berhubungan dengan manusia, kepribadian, kesusilaan dan sifat-sifat tuhan. Menurutnya manusia tidak akan sanggup mencapai kebenaran tanpa terang (lumens) dari Allah, meskipun demikian dalam diri manusia sendiri sudah tertanam benih kebenaran yang merupakan pantulan terang Allah sendiri yaitu hati nurani. Sebenarnya para bapak gereja menggunakan pemikiran filsafat adalah guna memudahkan agama Kristen diterima oleh manusia dan mengembangkan agama Kristen irtu sendiri. Namun pada pelaksanaannya agama Kristen itu sendiri yang mengurung dan mengekang pola pikir manusia dalam berfilsafat karena jika ada pemikiran yang ridak sesuai dengan alkitab maka akan langsung dihukum. Dari situlah nantinya akan muncul sekulerisme dikalangan Eropa pada abad pertengahan yang memisahkan antara agama dan filsafat bahkan mereka melawan ajaran-ajaran Kristen dan menjadikan akal sebagai Tuhan Pada masa ini kebebasan berpikir yang telah berkembang melalui tradisi Yunani mengalami kemerosotan. Orang hanya boleh berfikir sejauh mengikuti rambu-rambu yang ditentukan 18
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
pemimpin-pemimpin Gereja. Pada masa ini bapak-bapak gereja (patres) atau ahli-ahli agama Kristen menguasai pemikiran filsafat sehingga filsafat masa ini disebut dengan zaman Patristik Filsuf yang terkenal pada masa ini ; - Justinus de Martyr (abad 2 M) - Tertulianis (160-220M) Terkenal dengan pernyataannya “credo qua absurdum est” ; saya percaya karena tidak masuk akal - Origenes (184-254M) - Augustinus (354-430M) Mencoba menyatukan antara pemikiran filsafat dengan agama b. Zaman Skolastik Filsafat ini mempunyai corak semata-mata agama yang mengabdi kepada teologi yang mencoba mensintesa kan antara kepercayaan dan akal. Berbeda dengan patristic, skolastik hanya mengkaji teologi dan menggunakan filsafat sebagai pembuktiannya. Tokohnya adalah Thomas Aquinas (1225-1274M), menurutnya pengetahuan didapat melalui indra dan diolah akal tapi akal tidak mampu mencapai relitas tertinggi yang ada pada daerah Tuhan. Nah, filsafat inilah yang bisa memperkuat dalil-dali agama guna lebih mengabdi kepada Tuhan. Pembuktian Aquinas tentang adanya Tuhan, pertama, dari sifat alam ini yang selalu bergerak dengan teratur membuktikan bahwa ada yang mengatur semua ini yaitu tuhan. kedua, allah itu maha besar, sehingga tidak terpikirkan sesuatu yang lebih besar lagi, ketiga, hal yang terbesar tentulah berada dalam kenyataan karena apa yang ada dalam pikiran saja tidak mungkin lebih besar, keempat, Allah tidak hanya berada dalam pikiran tetapi dalam kenyataan juga, jadi Allah benar-benar ada. Pandangan etika Aquinas menekankan superioritas kebaikan keagamaan. dasar kebaikan adalah kemurahan hati yang lebih dari sekedar kedermawanan dan belas kasih melainkan terdapat didalam jiwa yang penuh cinta. Cinta kepada Tuhan yang harus diutamakan baru cinta kepada sesama manusia. Filsuf yang terkenal pada masa ini ; - Abelardus (1079-1142 ) Terkenal dengan pemikiranya yang berusaha menyatukan pertentangan antara universalia dengan individualia (particular) yang terjadi antara pendukung nominalisme dengan realism yang sangat menguasai filsafat abab pertengahan. ( Bagus, 1996 : 76-77) - Anselmus (1093-1109) Terkenal dengan pembuktian ontologisnya dengan Tuhan (dalam tulisannya Proslogion). Menurutnya, Tuhan adalah suatu yang paling besar untuk dipikirkan, dan sesuatu yang terbesar untuk dipikirkan itu, pastilah ada. Ia menyatakan 19
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
4. Periode Modern (abad 14 s/d abad 17)
2015
bahwa untuk mengerti Tuhan pertama-tama orang harus percaya “credo ut intelligam” artinya saya percaya supaya saya mengerti - Duns Scotus (1270-1308) Duns Scotus (Scotisisme) tidak setuju dengan pendapat Thomas Aquinas, dengan kesesuaian antara agama dengan filsafat, karena menurutnya keduanya adalah dua bidang yang berbeda. - William Ockham (1290-1349), filsuf Inggris. Terkenal dengan “Occam‟s Razor” (pisau cukur Okcham) yang disebut juga prinsip kehematan, maksudnya keharusan untuk bersahaja dalam menguji teori. Prinsip kebersahajaan itu adalah “apapun jangan dilipatgandakan tanpa alasan” Jika ada hipotesis yang sederhana, maka hipotesis yang rumit menjadi irrasional. - Thomas Aquinas (1225-1274) Terkenal dengan “Summa Theologia” (1266), ia membedakan tugas antara ilmu pengetahuan dengan agama, akan tetapi diantara keduanya tida ada pertentangan. Ia menyatakan bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari pengalaman (empirik) kemudian pengalaman itu diolah rasio kita (bandingkan dengan Immanuel Kant). Ia berpendapat bahwa masalah agama harus diselesaikan melalui kepercayaan, namun rasio/akal tetap dibutuhkan, sebagaimana ia mengemukakan bukti tentang adanya Tuhan melalui argumentasi rasionalnya yang dikenal dengan “lima jalan” (dipelajari pada filsafat Ketuhanan). Sumber : www.rosarychurch.ne Setelah hampir sepuluh abad Eropa diselimuti paham teologis yang memanipulasi kebenaran dan mematikan pemikiran bebas. Akhirnya munculnya suatu gerakan cultural yang bertujuan menggulingkan paham gereja yang selama ini mengekang mereka dalam mencari kebenaran dan berpikir bebas, gerakan ini disebut “renaisans” yang artinya kelahiran kembali. Semangat renaisans ini menimbulkan rasa kepercayaan pada otonomi manusia dalam mencari kebenaran. Ilmu pengetahuan yang tadinya tidak berkembang akibat dominasi gereja mulai berkembang dengan pesatnya dimasa renaisans. Kebenaran tidak lagi bersumber dari alkitab tetapi pada pengalaman empiris dan perumusan hipotesis yang rasional. Oleh karena itu, sumber pengetahuan hanya apa yang secara alamiah dapat dipakai oleh manusia yaitu, akal (rasio) dan pengalaman (empiris). Maka pada abad ini muncul dua aliran yang saling bertentangan yaitu antara aliran rasionalisme dan aliran empirisme. Perdebatan antara kedua aliran ini terus berlangsung dan mempengaruhi pemikiran filsafat setelahnya. 20
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Tokoh dari aliran rasionalisme adalah Rene Descartes (15961650), aliran ini menyatakan bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah rasio, hanya pengetahuan yang diperoleh akal-lah yang memenuhi syarat untuk dijadikan sumber pengetahuan. Pengalaman inderawi selalu diragukan, selalu berubah dan tidak pasti. Bisa saja kursi yang kita duduki adalah tidak nyata dan hanya mimpi belaka. Bahkan dia sendiri meragukan akan kebenaran adanya dirinya sendiri. Makanya munculah “karena saya berpikir maka saya ada”. Kaum rasionalis selalu meragukan segala sesuatu dan tidak percaya akan pengalamannya sendiri. Pengalaman hanya bisa dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapatkan oleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman, karena akal mampu menurunkan kebenaran dari akal sendiri. Dan metode yang digunakan adalah deduktif. Namun meskipun begitu, Descartes tidak menafikan tentang adanya Tuhan karena menurut dia Tuhan adalah “matematikawan agung” yang begitu rasional dalam menciptakan dunia ini secara terstruktur dan wajib ditemukan oleh akal manusia dalam penciptaannya itu. Aliran empirisme dengan tokohnya adalah David Hume (17111776) mengatakan bahwa, pengalamanlah yang menjadi sumber ilmu pengetahuan baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Akal hanyalah mengolah bahan-bahan pengalaman yang diperoleh inderawi. Karena tidak ada satupun ada dalam pemikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada data-data inderawi. Contohnya, kita tidak akan mengetahui bahwa api itu panas jika kita sendiri belum mencoba dan membuktikannya bahwa api itu panas. Oleh akal lalu disimpulkan bahwa api itu panas. Lalu munculah pengetahuan baru berdasarkan pengalaman. Metode yang digunakan adalah induktif. Periode ini dibagi dua : a. Masa Renaisans (abad 14 hingga abad 17) Pada masa renaisans muncul kembali upaya membangkitkan kebebasan berpikir seperti pada masa Yunani. Kombinasi filsafat Yunani dan humanism telah melahirkan kebebasan individu pada zaman itu. Manusia sebagai individu menjadi pusat dari segalanya. b. Masa Pencerahan / era baru (abad 18) Adalah pemikiran yang menjadi dasar spiritual (pandangan dunia) bagi zaman modern. Melalui para pemikir zaman ini terjadi perubahan minat yang besar dari permasalahan metafisika, abad pertengahan ke fisika, dari metode berpikir spekulatif ke eksperimental matematis, dari pemikiran sosial-politik ke pemikiran antroposentris (humanis). Renaisans dan Pencerahan adalah pintu masuk ke zaman modern yang ditandai oleh : 21
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
1) Penduniawian ajaran/pemikiran (sekulerisme) 2) Keyakinan akan kemampuan akal rasio 3) Berkembangnya paham utilitarianisme 4) Optimism dan percaya diri Pemikir-pemikir besar yang melahirkan zaman renaisans antara lain : - Roger Bacon (1214-1294) - Machiavelli (1469-1527) - Copernicus 1473-1543) - Francis Bacon (1561-1626) - Thomas Hobbes (1588-1679) - Rene Descartes (1596-1650) - John Locke (1632-1704) - George Berkeley (1685-1753) - David Hume (1711-1776) - Wittgenstein - Imanuel Kant Inti yang dilahirkan oleh pemikir-pemikir ini adalah “mengubah paradigma berpikir teologis ke paradigm ilmiah”. Pada awal zaman renaisans telah lahir satu keyakinan akan munculnya kebudayaan baru dan kepercayaan bahwa manusia dapat melakukan apapun kalau ia mau. Kebudayaan baru itu didasarkan pada prinsip ; kapitalisme dalam ekonomi, klasik dalam seni dan sastra, metode ilmiah dalam pendekatan atau pemecahan terhadap berbagai fenomena alam dan kehidupan. Berbagai pemikiran yang berkembang pada zaman renaisans dan pencerahan pada akhirnya terpadu dalam cara berpikir dan menyelesaikan masalah dengan menekankan pada : pengamatan, pola argument yang rasional, metode presentasi dan kalkulasi (empiriseksperimental dan kuantitatif). Pekembangan paradigm berpikir ilmiah itu melahirkan tiga gerakan baru yang memacu perkembangan dinamis masyarakat modern yaitu : 1) Berkembangnya kapitalisme 2) Penemuan subjectivitas manusia modern 3) Rasionalisme (Soeseno, 1992) Wittgenstein ; mempunyai aliran analitik (filsafat analitik) yang dikembangkan di negara-negara yang berbahasa Inggris, tetapi juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau ″metafisik”. Filsafat analitik menyerupai ilmu-ilmu alam yang empiris, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu eksata juga harus dapat diterapkan pada filsafat. Yang menjadi obyek penelitian filsafat analitik sebetulnya bukan barang-barang, peristiwa-peristiwa, melainkan pernyataan, aksioma, prinsip. Filsafat analitik menggali dasar-dasar teori ilmu yang berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang menjadi pokok perhatian filsafat analitik ialah analisa logika bahasa sehari-hari, maupun dalam mengembangkan sistem bahasa buatan. 22
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Imanuel Kant ; mempunyai aliran atau filsafat ″kritik” yang tidak mau melewati batas kemungkinan pemikiran manusiawi. Rasionalisme dan empirisme ingin disintesakannya. Untuk itu ia membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman inderawi. Pengetahuan merupakan hasil kerja sama antara pengalaman indrawi yang aposteriori dan keaktifan akal, faktor priori. Struktur pengetahuan harus kita teliti. Kant terkenal karena tiga tulisan: (1) Kritik atas rasio murni, apa yang saya dapat ketahui. Ding an sich, hakikat kenyataan yang dapat diketahui. Manusia hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal terus ditampung oleh dua wadah pokok, yakni ruang dan waktu. Kemudian diperinci lagi misalnya menurut kategori sebab dan akibat dst. Seluruh pengetahuan kita berkiblat pada Tuhan, jiwa, dan dunia. (2) Kritik atas rasio praktis, apa yang harus saya buat. Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan mutlak: kau harus begini dan begitu. Ini mengandaikan tiga postulat: kebebasan, jiwa yang tak dapat mati, adanya Tuhan. (3) Kritik atas daya pertimbangan. Di sini Kant membicarakan peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang umum dan yang khusus. Rene Descartes ; Berpendapat bahwa kebenaran terletak pada diri subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam pikiran dan pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya satu kenyataan tak dapat disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku ada. Dalam mencari proses kebenaran hendaknya kita pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam. Setiap orang, sejak ia dilahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai adanya Tuhan dan dalil-dalil matematika. Pandangannya tentang alam bersifat mekanistik dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya menjadi dua yaitu: “res extensa dan res copgitans”. 5. Periode Postmodern Secara kebahasaan post (atau beyond) berarti sesudah, lepas. atau Kontemporer Sedangkan beyond berarti diluar atau mengatasi modern. Dengan (abad 18) demikia postmodern berarti filsafat atau pemikiran yang berkembang sesudah era modern. Era baru ini dimulai dengan “Kritisisme” Immanuel Kant (17241804) yang berusaha mendamaikan antara aliran rasionalisme dan empirisme. Ia mengatakan bahwa pengenalan manusia merupakan perpaduan antara unsur apriori dgn unsur aposteriori. Kant berpendapat bahwa pada taraf inderawi unsur apriori hanyalah kesan yang diterima oleh inderawi sebagai gejala-gejala. Kemudian datadata inderawi tersebut diolah oleh sesuatu yang disebut “akal budi”. Peran akal budi disini adalah memberi putusan-putusan yang kemudian ditransmisikan kedalam otak. Dan oleh otak lah yang akan memilih dan mengesahkan putusan-putusan yang dibuat akal budi. Ibaratnya pengalaman adalah suatu soal pilihan ganda, pilhan-pilihan ganda itu adalah putusan-putusan yang dibuat akal budi kemudian 23
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
yang bertugas memilih jawaban yang paling benarnya adalah rasio kita. Selanjutnya adalah Idealisme yang Tokohnya adalaha G. W. F. Hegel (1770-1831). Menyatakan bahwa “setiap Tesa pasti ada Antitesa nya dan dari keduanya akan mengahasilkan Sintesa yang memiliki gabungan sifat dari tesa dan antitesanya tapi sintesa bukanlah tesa maupun antitesa”. Sebagai contohnya, suatu golongan menginginkan Negara menguasi segala urusan agama. Pandangan ini mempunyai dampak positif yaitu adanya kesatuan antara kekuatan dan kekuasaan politik karena tidak ada batasan agama sehingga ketertiban suatu Negara bisa terwujud, ini yang disebut tesa. Antitesa dari pernyataan ini ialah kebebasan agama ditiadakan karena agama harus tunduk kepada pemerintah. Lalu sintesa bagi kedua pendapat tersebut adalah memisahkan antara agam dan pemerintah, baik agama maupun pemerintah harus diberi bagiannya masing-masing, sehingga ketertiban nasional terjamin dan kebebasan agama pun terjamin juga karena tidak tercampur antara kepentingan agama dengan kepentingan politik. Era ini dilanjutkan dengan munculnya paham Positivisme yang dipopulerkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Dia menganggap hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengadakan pembaharuan pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusiinstitusi masyarakat dengan hukum-hukum itu. Sehingga Auguste Comte menemukan ilmu baru tentang masyarakat yaitu “sosiologi”. Positivism erat kaitannya dengan empirisme namun berbeda dengan empirisme yang menjadikan pengalaman batiniah dan lahiriah sebagai sumber pengetahuan. Positivism hanya mengambil yang berdasarkan fakta saja. Sebagai contoh, air mendidih 100° C dan besi ini panjangnya 10 meter. Ukuran-ukuran ini perasional, kuantitatif dan tidak mungkin adanya perbedaan pendapat. Positivisme merupakan aliran tertinggi dari kehidupan manusia karena manusia tidak perlu lagi mencari penyebab-penyebab dari suatu fakta. Manusia hanya berusaha menetapkan relasi-relasi atau hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara fakta-fakta. Dan disinilah ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya. Aliran yang muncul kemudian adalah Fenomenologi dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938), inti filsafatnya adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar seseorang harus kembali kepada “benda-benda” sendiri yaitu hakikat dirinya sendiri. Akan tetapi benda-benda itu tidak langsung meperlihatkan hakikat sendirinya, karena pemikiran pertama tidak membuka tabir yang menutupi hakikat maka diperlukannya pemikiran kedua yang berupa “intuisi”. Dalam menggunakan intuisi digunakan suatu metode yang disebut reduksi yaitu penempatan sesuatu diantara dua kurung. Maksudnya, melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara dan 24
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Tujuannya adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Namun fenomenologi mempunyai kelemahan karena dalam menentukan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh apapun, tapi fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai tetapi bermuatan nilai dengan kata lain status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Aliran selanjutnya adalah Eksistensialisme, tokohnya adalah Friedrich Wilhelm Nietzsche ( 1844-1900). Gagasan utama dari dia adalah kehendak berkuasa (will to power) dimana ditunjukan menjadi ubermensch atau manusia super. Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok keseberang dunia, dengan kata lain tidak lagi percaya akan bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia. Sedangkan eksistensi itu sendiri adalah cara manusia berada didalam dunia dan keberadaannya karena setiap orang mempunyai tempatnya sendiri dalam kehidupan ini yaitu sesuai dengan kemampuannya masingmasing. Jadi jangan menghendaki sesuatu yang melebihi kemampuanmu, karena melakukan sesuatu yang melebihi kemampuan sendiri mengandung cirri kepalsuan yang menjijikan. Doktrin aliran ini adalah “eksistensi mendahului esensi” yg berarti setelah manusia berada didunia ini, dia sendiri yang harus menentukan siapa dirinya ini. Karena pada awalnya manusia bukanlah apa-apa tanpa bereksistensi. Cara mencapai manusia super adalah dengan cara mereka harus berani menghadapi kehidupan ini baik saat bahagia maupun sedih. Mereka harus cerdas dalam menjadikan penderitaan itu sebagai titik balik untuk memunculkan potensi maksimal dirinya, terakhir dia harus bangga terhadap potensi apa yang dimilikinya. Jurgen Habermas mengartikan postmodern bukan sebagai kebudayaan atau pemikiran yang berbeda atau terputus dari budaya dan pemikiran modern dengan mencoba mengatasi berbagai kekurangan yang timbul dari budaya dan pemikiran modern itu. Pemikiran lain menganggap bahwa postmodern itu sebagai pemikiran dan budaya yang mencoba mengambil dari kebudayaan klasik, modern, dan postmodern berbagai hal yang dianggap baik, sebagai dasar untuk pemkiran dan budaya postmodern itu. Dalam pandangan ini postmodern dapat disebut sebagai sintesa atau perpaduan pemikiran dan kebudayaan klasik, modern, dan postmodern kedalam cara berpikir atau kebudayaan baru (Lubis : 2003)
25
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Pemikir-pemikir besar Postmodern atau Kon temporer : Francois Lyotard Jacques Derrida Michel Foucault Gillez Deleuze Felix Guattari Jean Baudrillard (mereka ini pemikirpemikir postmodern radikal (dekonstruksi onis)
2015
Francois Lyotard, mengemukakan ; - Pembahasan tentang postmodern secara filosofis dan ilmiah, telah terjadi pergeseran dalam ilmu pengetahuan dan budaya dari era modern ke era postmodern. - Ia mengemukakan penilaian tentang tidak memadainya model “pengkotak-kotakan otak” (cara berpikir) dan spesialisasi intelektual, untuk menghadapi watak baru ilmu pengetahuan seperti pemrosesan informasi cyberspace yang mengukur ilmu pengetahuan berdasarkan logika computer yang berkembang akhirakhir ini. Francois Lyotard, menolak ; metanarasi modernis tentang sains yang menekankan “kesatuan spekulatif dari semua ilmu pengetahuan”. Francois Lyotard, menyatakan ; bahwa perubahan besar dalam dunia ilmiah terjdai dengan perkembangan teknologi tinggi (teknologi informasi) yang mau tidak mau mengubah cara berpikir kita. Gillez Deleuze, Felix Guattari, menyatakan bahwa ; Dalam era informasi sekarang ini, dunia ibarat sebuah jaringan yang satu sama lain saling berkaitan dan demikian pula otak (mind) dan cara bepikir kita memilki jaringan yang hampir tak ada batas. Gillez Deleuze, Felix Guattari ( 1983, 1987) menyebut istilah ini dengan “rhizomatic” atau rizhome yang berarti ; akar dan batang tumbuh dan menjalar kesemua arah, dan masing-masing memiliki fungsi yang sama. Penggunaan istilah rhizomatic berkaitan dengan penolakan pemikir postmodern pada cara berpikir ilmiah lama (era modern) yang dikemukakan melalui metafor “pohon ilmu”. Pohon ilmu adalah cara pandang yang melihat ilmu pengetahuan bersumber dan ditunjang oleh akar tunggang tempat akar-akar lainnya tumbuh untuk menunjang batang yang berdiri kokoh, pada batang tumbuh cabang, ranting dan lainnya. Metafor pohon ilmu yang kini kurang tepat digunakan untuk ilmu pengetahuan dan memahami masalah sosialbudaya (globalisasi). Pada era informasi dunia justru dilihat sebagai jaringan, yang memerlukan keterbukaan, model berpikir kritis, dan menuntut pendekatan baru yaitu pendekatan interdisipliner dan multidisipliner. (Appignanesi & Chri Garrat, 1998 : 106-107)
26
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
C.3. Filsafat Timur Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok, dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bias dikatakan untuk filsafat barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ‟an sich‟ masih lebih menonjol dari pada agama. Nama-nama beberapa filosof: Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi, dan lain-lain. Pemikiran filsafat timur sering dianggap sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak kritis. Hal ini disebabkan pemikiran timur lebih dianggap agama dibanding filsafat. Pemikiran timur tidak menampilkan sistematika seperti dalam filsafat barat. Misalnya dalam pemikiran Cina sistematikanya berdasarkan pada konstrusksi kronologis mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya manusia dijalin secara runut (Takwin, 2001). Belakangan ini, beberapa intelektual barat telah beralih ke filsafat timur, misalnya Fritjop Capra, seorang ahli fisika yang mendalami taoisme, untuk membangun kembali bangunan ilmu pengetahuan yang sudah terlanjur dirongrong oleh relativisme dan skeptisisme (Bagir, 2005). Skeptisisme terhadap metafisika dan filsafat dipelopori oleh Rene Descartes dan William Ockham. C.4. Filsafat Islam Filsafat islam muncul akibat imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran buku-buku peradaban Yunani dan peradaban lainnya pada masa Daulat Abasiah dimana pemerintah memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan kedalam bahasa arab ini, dan prestasi yang paling spektakuler adalah ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat sebagai mascot peradaban Yunani saat itu, baik Socrates, Plato, Aristoteles maupun lainnya. Namun filsafat islam bukanlah filsafat Aristoteles atau Plato yang di bahasa Arab-kan, akan tetapi independen yang memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan filsafat Yunani. Hal ini dibuktikannya dari upaya para ahli ilmu kalam antara mu‟tazilah dengan asy‟ariah yang menjelaskan bahwa agama islam adalah agama yang rasional sehingga mereka membungkus filsafat dalam baju keagamaan. Dan adanya batasan filsafat masuk ke dalam agama yaitu filsafat tidak boleh dan haram hukumnya mengobrak-abrik akidah agama islam, namun hanya boleh menguatkan akidah dengan cara memikirkan makhluknya saja dan tidak boleh memikirkan tentang dzatnya ALLAH SWT.
27
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Tokoh-tokoh filosof ini adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Rusyd (averros), Ibnu Sina (avicenna), dan Al-Farabi. Imbas filsafat masuk ke lingkungan islam adalah munculnya ilmu-ilmu pengatahuan baru seperti ilmu falak, astronomi, pengobatan bahkan para ulama ahli dalam bidang tersebut berhasil membuat karya yang sangat berguna bagi manusia sampai saat ini. Bahkan Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd terkenal di kalangan dunia barat. Filsafat Islam ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filosof dari tradisi ini sebenarnya bias dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat (Yunani). Terdapat dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354–430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480–524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories, dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahanterjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam (Haerudin, 2003). Majid Fakhri cenderung mengangap filsafat Islam sebagai mata rantai yang menghubungkan Yunani dengan Eropa modern. Kecenderungan ini disebut europosentris yang berpendapat filsafat Islam telah berakhir sejak kematian Ibn Rusyd. Pendapat ini ditentang oleh Henry Corbin dan Louis Massignon yang menilai adanya eksistensi filsafat Islam. Menurut Kartanegara (2006) dalam filsafat Islam ada empat aliran yakni: 1. Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi 28
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
(w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din Thusi (w.1274). 2. Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya di atas cahaya. 3. Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat suprarasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi. 4. Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakili oleh seorang filosof syi‟ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya Qawami yang dikenal dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau yang dikenal dengan Mulla Shadra yaitu seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas. Dalam Islam ilmu merupakan hal yang sangat dianjurkan. Dalam Al Quran kata al-ilm dan kata-kata jadiannya digunakan lebih 780 kali. Hadist juga menyatakan mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Dalam pandangan Allamah Faydh Kasyani dalam bukunya Al Wafi: ilmu yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah ilmu yang mengangkat posisi manusia pada hari akhirat, dan mengantarkannya pada pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, pemimpin Islam, sifat Tuhan, hari akhirat, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pandangan keilmuan Islam, fenomena alam tidaklah berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa ilahi. Mempelajari alam berarti akan mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan. Dengan demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak ilahi) akan mendorong kita untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan terhadapnya. Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat yang besifat qauliyah. Oleh karena itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi yang mulia sebagai obyek ilmu.
29
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
D. Pemetaan Cabang Filsafat Pembidangan atau pencabangan filsafat terkait juga dengan perkembangan sejarah serta prinsip pembagian yang dilakukan oleh para filsuf (Bagus : 1992) antara lain : Aristoteles
:
memasukan ke dalam bidang filsafat misalnya ; logika, estetika, psikologi, filsafat politik, fisika, dan matematika. Kemudian ia mengelompokan bidang filsafat ini pada tiga bagian yakni ; 1) filsafat spekulatif/ilmu-ilmu teoritis. Filsafat ini dikembangkan demi tujuan pada dirinya atau filsafat demi filsafat itu sendiri, yang termasuk bagian ini adalah metafisika, biopsikologi, fisika. 2) filsafat praktis/ilmu-ilmu praktis. Adalah filsafat yang berfungsi untuk memberikan pedoman bagi tingkah laku yang baik dan rasional bagi manusia sebagai manusia, yang termasuk bidang ini adalah etika dan politik. 3) filsafat/ilmu produktif, adalah bidang filsafat yang mendorong manusia untuk menjadi lebih produktif melalui keterampilan-keterampilan khusus, yang termasuk bagina ini adalah retorika dan estetika
Christian Wolff
:
mengemukakan pembidangan filsafat menjadi beberapa bagian yakni ; logika, filsafat pertama, ontology, teologi, kosmologi, psikologi rasional, etika dan teori pengetahuan (Bagus , 1992 : 246-247)
Ted Honderich (1995) :
mengemukakan beberapa bidang filsafat, Honderich memetakan flsafat melalui bentuk lingkaran (circle) yaknik : Lingkaran pertama/lingkaran dalam
adalah
metafisika,
epistemology,
dan
logika.
Lingkaran
kedua/lingkaran tengah adalah filsafat ilmu pengetahuan, filsafat pikiran (mind),
filsafat
moral
(etika),
dan
filsafat
bahasa.
Lingkaran
ketiga/lingkaran luar adalah filsafat matematika, filsafat politik, filsafat ketuhanan, filsafat sosial, filsafat keindahan, filsafat hokum, filsafat pendidikan, filsafat agama dan lainnya. Dimana hubungan antara lingkaran ini adalah bersifat longgar, artinya akan selalu terdapat kaitan antara unsur yang satu dengan unsur lainnya dalam lingkaran tersebut. Immanuel Kant
:
menempatkan pembahasan metafisika terkait dengan pembahasan filsafat moral dan etika. Contoh lain keterkaitan antara satu lingkaran dengan lingkaran lain, misal pada Moral Philosophy (etika) yang kini banyak 30
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
menjadi perhatian kita seperti biomedis, etika lingkungan, etika bisnis, etika profesi, dan lainnya. Secara umum
:
pembagian atau pemetaan bidang filsafat tersebut dalam kajian filsafat secara garis besar bias dikelmpokkan menjadi tiga bagian yakni : 1) Ontologi, adalah cabang filsafat yang membahas masalah “ada”/realitas”. Adapun yang dibahas adalah “ada” dalam pengertian umum dan bukan “ada” dalam arti khusus. 2) Epistemology, adalah cabang filsafat yang mengkaji tentang hakekat pengetahuan atau membahas persoalanpersoalan tentang dari manakah pengetahuan itu berasal atau apakah pengetahuan itu, bagaimanakah manusia mengetahui dan pelbagai persoalan lainnya. 3) Aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang “nilai”, nilai yang dimaksud tidak hanya mengacu kepada pengertian etis, namun juga estetis.
E. Metode Filsafat Ada tiga metode berfikir yang digunakan untuk memecahkan problema-problema filsafat, yaitu: metode deduksi, induksi dan dialektika. 1) Metode Deduktif adalah, suatu metode berpikir dimana kesimpulan ditarik dari prinsip-prinsip umum dan kemudian diterapkan kepada semua yang bersifat khusus. Contohnya sebagai berikut: -
Semua manusia adalah fana (prinsip umum)
-
Semua raja adalah manusia (peristiwa khusus)
-
Karena itu semua raja adalah fana (kesimpulan)
2) Metode Induksi adalah suatu metode berpikir dimana suatu kesimpulan ditarik dari prinsip khusus kemudian diterapkan kepada sesuatu yang bersifat umum. Contoh: -
Bagus adalah manusia (prinsip khusus)
-
Dia akan mati (prinsip umum)
-
Seluruh manusia akan mati (kesimpulan)
31
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
3) Metode Dialektika Yaitu suatu cara berpikir dimana suatu kesimpulan diperoleh melalui tiga jenjang penalaran: tesis, antitesis dan sintesis. Metode ini berusaha untuk mengembangkan suatu contoh argument yang didalamnya terjalin implikasi bermacam-macam proses (sikap) yang saling mempengaruhi argument tersebut akan menunjukkan bahwa tiap proses tidak menyajikan pemahaman yang sempurna tentang kebenaran. Dengan demikian, timbullah pandangan dan alternatif yang baru. Pada setiap tahap dari dialektik ini kita memasuki lebih dalam pada problema asli. Dan dengan demikian ada ada kemungkinan untuk mendekati kebenaran. Hegel menganggap bahwa metode dialektik merupakan metode berpikir yang benar ia maksudkan ialah hal-hal yang sebenarnya sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari kerap kali kita mengalami perlunya mendamaikan hal-hal yang bertentangan. Tidak jarang terjadi bahwa kita mesti mengusahakan kompromi antara beberapa pandapat atau keadaan yang berlawanan satu sama lain. Nah, maksud Hegel mirip dengan pengalaman kata itu. Hegel sangat mengagumi filsuf Yunani Herakleitos yang mengatakan bahwa “pertentangan adalah bapak segala sesuatu”. Proses dialektik selalu tradisi dari tiga fase. Fase pertama disebut tesis yang menampilkan “lawan” dari fase kedua yaitu antitesis. Akhirnya, disebut fase ketiga disebut sintesis, yang mendamaikan antara tesis dan antitesis yang saling berlawanan. Sintesis yang telah dihasilkan dapat menjadi tesis pula yang menampilkan antitesis lagi dan akhirnya keduaduanya dinamakan menjadi sintesis baru. Demikian selanjutnya setiap sintesis dapat menjadi tesis. Contoh tesis, antitesis dan sintesis. Dalam keluarga, suami istri adalah dua makhluk yang berlainan yang dapat berupa tesis dan antitesis. Bagi suami, anak dapat merupakan bagian dari dirinya sendiri. Demikian juga dari sang istri, dengan demikian si anak merupakan sintesis bagi suami istri tadi. Karya G.W Frendrich Hegel Dalam karya besarnya, salah satunya ialah The Encyclopedia of the Philosophical Sciences, Hegel membagi sistem filosofisnya ke dalam tiga bagian: logika, filsafat alam, dan filsafat roh. Dalam logika bukan dalam pengertian tradisional dia menjelaskan struktur kategorial idea yang mendasari segala yang ada. Dua bagian yang lain merupakan penjelasan dari struktur konseptual yang lebih spesifik yang mewujud dalam alam dan roh; dimana keduanya adalah area manifestasi idea. 32
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Metode yang digunakan Hegel untuk membuktikan tesisnya tentang pengetahuan rasional tentang yang absolut adalah metode dialektika. Metode ini muncul sebagai reaksi atas pembatasan Kant atas pengetahuan hanya pada yang sensible dan pendapat Kant yang memustahilkan pengetahuan rasional murni atas yang absolut. Tidak seperti Kant yang membatasi pengetahuan pada pengalaman (phenomena), Hegel memilih untuk memahami keseluruhan yang menjadi dasar semua pengalaman. Metode dialektik yang diadopsi Hegel berbeda dengan dialektika yang dikenal sebelumnya. Karena, bagi Hegel, dialektika Plato, misalnya, tidaklah murni dialektik karena ia bermula dari proposisi yang telah diasumsikan, yang karenanya tidak bersumber dari masingmasing elemen dialektik. Menurut Hegel, dialektik terdiri dari tiga aspek secara berurutan. Yang pertama adalah aspek abstraksi, dimana pemahaman mengasumsikan bahwa sebuah konsep adalah tidak terikat dan sepenuhnya terlepas dari hal lain. Aspek kedua adalah aspek negasi ketika pemahaman menemukan bahwa ternyata konsepnya tidaklah sepenuhnya terlepas dari yang lain, ia harus dipahami dalam kaitannya dengan hal lain. Pada titik ini, pemahaman terperangkap dalam kontradiksi; disatu sisi ia harus mengasumsikan ada yang tak terikat untuk mengakhiri rangkaian ikatan-ikatan, tapi disisi lain ia tidak bisa mengasumsikan yang tak terikat karena ia selalu menemukan batasan yang mengikatnya. Tahap ketiga adalah tahap spekulatif atau rasional yang mengakhiri kontradiksi antar dua tahapan sebelumnya dengan memandang bahwa yang tak terikat bukanlah sesuatu yang tersendiri melainkan keseluruhan dimana segala yang terbatas hanyalah bagian darinya. Dengan demikian bagi Hegel, keseluruhan mendahului bagian-bagiannya. Dalam kaitannya dengan agama, Hegel meyakini bahwa filsafat adalah pemahaman rasional terhadap keimanan keagamaan. Sesuatu yang oleh seni dan agama dipahami pada tingkat intuisi, oleh filsafat dipahami pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu level konsep atau pemikiran sistematis. Konsep Hegel tentang yang absolut dalam batas tertentu setara dengan konsep Tuhan dalam konsep agama tradisional. Bahkan Hegel sering merujuk pada yang absolut dengan kata Tuhan. Beberapa segi konsep Hegel juga mendukung konsep yang dikenal dalam agama tradisional, seperti konsep teleologinya yang merestorasi konsep perhatian ilahiah (providence) dalam agama Kristen. Konsep perkembangan yang dijabarkan Hegel mendukung doktrin trinitas, yang baginya sang bapa merepresentasikan momen kesatuan, sang anak momen perbedaan, dan roh kudus momen kesatuan dalam perbedaan. Tapi dalam beberapa hal yang lain, Hegel juga menolak beberapa aspek agama Kristen. Misalnya, dia menolak doktrin Tuhan transenden yang melampaui alam dan sejarah. 33
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Baginya, yang absolut tidak dapat melampaui alam dan sejarah karena ia mewujud hanya di dalam dan melalui keduanya. Filsafat idealisme & Pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel. a) Filsafat Idealisme Hegel. Tokoh idealisme Jerman terbesar pasca Kant adalah Hegel dengan idealisme absolutnya, satu generasi lebih muda dari Kant. Hegel dikenal dengan idealisme absolut yang dengannya dia mencoba merehabilitasi metafisika. Tulisan ini akan secara singkat memaparkan idealisme absolut menurut Hegel disertai beberapa penjelasan konsep kunci yang terkait dengannya. Penjelasan Istilah Menurut sebuah kamus filsafat, idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa objek pengetahuan yang sebenarnya adalah ide (idea); bahwa ide-ide ada sebelum keberadaan sesuatu yang lain; bahwa ide-ide merupakan dasar dari ke-ada-an sesuatu. Dalam kamus lain dijelaskan bahwa idealisme adalah sistem atau doktrin yang dasar penafsirannya yang fundamental adalah ideal. Berlawanan dengan materialisme yang menekankan ruang, sensibilitas, fakta, dan hal yang bersifat mekanistik, idealisme menekankan supra-ruang, non-sensibilitas, penilaian, dan ideologis. Dalam tataran epistemologis, idealisme berpendapat bahwa dunia eksternal hanya dapat dipahami hanya dengan merujuk pada ide-ide dan bahwa pandangan kita tentang alam eksternal selalu dimediasi oleh tindakan pikiran. b) Dialektika. Dalam menjelaskan sistem filsafat Hegel, kurang begitu lengkap jika tidak menyinggung triadik Hegel : tesa, antitesa, dan sintesa. Namun, sebelum menjelaskan lebih jauh tentang ketiga hal ini, ada baiknya kita pahami walau selintas, istilah “ide” dan “dialektika” sebagai dasar pemahaman awal kita menuju pengertian tiga istilah di atas. Sebagaimana tersirat dalam uraian sebelumnya, dialektika merupakan suatu “irama” yang memerintahkan seluruh filsafat Hegel. Menurut Llyod Spencer dan Andrzej Krauze, dialektika bukan merupakan “metode” atau suatu sistem yang prinsip, sebab yang menyebabkan ia begitu rumit untuk dijelaskan karena proses dialektika hanya mudah dimengerti dalam hal yang bersifat konkret . Barangkali karena alasan demikian , Hegel tetap bersikukuh pada keyakinannya bahwa antara “idealitas” dan “realitas” tidak ada perbedaan. Pengertian ini, oleh Hadiwijono, justru dipahami sebagai pengertian ontologis dialektika itu sendiri. Bahwa
34
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
pengertian-pengertian dan kategori-kategori sebenarnya bukan hanya yang menyusun pemikiran kita, melainkan suatu kenyataan sebagai kerangka dan hakikat dunia dalam pikiran. Dengan demikian, dialektika dapat kita pahami sebagai usaha mendamaikan dan mengompromikan hal-hal yang berlawanan. Kendatipun lalu akan kita ketahui, bahwa sistem inilah yang akhirnya menjadi kelemahan Hegel karena terlalu memaksakan dialektika terhadap segala sesuatu. Dan dari sini, semakin nampak bahwa suatu perbedaan, pada hakikatnya akan menjadi ancaman serius dalam filsafat Hegel. Hal yang membedakan dialektika Hegel dengan logika Klasik adalah pada logika klasik tidak dipercayainya prinsip kontradiksi, sedangkan dalam konsep dialektika Hegel dimungkinkan. Hegel percaya bahwa kontradiksi dialektik adalah titik sentral dalam pemahaman alam. Dan kontradiksi itu ia simbolkan melalui triadik dealektik: tesis, antitesis, dan sintesis. Proses dialektika terdiri atas tiga fase: 1. Tesis 2. Antitesis 3. Sintesis Contoh aplikasi dialektika (diambil dari Bertrens, 1979:69): Ada tiga bentuk Negara: (1) Diktator. Disini hidup warga negara diatur dengan baik, tetapi warga negara tidak memiliki kebebasan (tesis). (2) Keadaan ini menampilkan lawannya, Negara anarkis (antitesis). Dalam bentuk ini warga negara memiliki kebebasan tanpa batas, tetapi kehidupan kacau. (3) Tesis dan Antitesis ini di-sintesis, yaitu Negara demokrasi. Dalam bentuk ini kebebasan warga negara dibatasi oleh undang-undang, dan hidup masyarakat tidak kacau. Uraian di atas dapat kita jelaskan dengan menyimak masing-masing pengertian tiga istilah triade tersebut. Pertama, tesis, merupakan “yang ada”. Sebagai pengertian umum, maka ia lepas dari segala isi yang konkret. Tidak memuat apa-apa dan tidak dapat dijelaskan bagaimanana. Ketiadaan pengertian yang jelas dari tesis ini melahirkan triade kedua, sintesis, atau “yang tidak ada”. Triade terakhir ini mengandung pengertian yang sama dengan tesis, artinya perngertian yang tidak dapat dimengerti
bagaimana.
Begitu
kebuntuan
terjadi
di
masing-masing
triade,
maka
muncullah sintesis atau “yang menjadi” sebagai titik sentuh dari tesis dan sintesis. Namun ternyata proses dialektika itu tidak berhenti sampai titik ini. Pengertian “menjadi” ini mengandung pengertian “yang menjadikan”. Karenanya, “yang ada”, karena “menjadi”, berada sebagai “yang 35
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
terbatas”. Adanya sesuatu “yang terbatas” ini bisa menjadi tesis baru, dan karenanya mengandaikan suatu “yang tidak terbatas”, atau antitesis baru. Dengan demikian, keduanya akan mengahasilkan sistesis baru sebagai aufhebung. Kata aufhebung atau aufheben dari Hegel berkaitan dengan fase ketiga dari dialektika yang dikenal dengan fase sintesis itu. Di dalam fase ini, terjadi aufheben yang berarti terjadinya negasi dan pengangkatan. Terjadinya negasi berarti bahwa tesis dan antitesis sudah lewat dan tidak ada lagi, sedangkan pengangkatan memiliki arti bahwa walaupun tesis dan antitesis dinegasikan, tetapi kebenaran daripada tesis dan antitesis tetap dipertahankan dan disimpan di dalam sintesis dengan bentuk yang lebih sempurna.
Pengertian dialektika Dialektika adalah Ilmu Pengetahuan tentang hukum yang paling umum yang mengatur perkembangan alam, masyarakat dan pemikiran. Sedangkan metode dialektis berarti investigasi dan interaksi dengan alam, masyarakat dan pemikiran. Pengertian dialektika menurut Aristoteles dalam buku Cecep Sumarna (2006:132) adalah “Menyelidiki argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesa atau putusan yang tidak pasti kebenarannya” Cecep Sumarna (2006 : 132). Pada dasarnya menurut K. Bertens (1989:137-138) logika dimaknai sebagai seni berdebat dan muncul pada era Zeno da Citium. (Cecep Sumarna, 2006: 131). Logika pada masa Aritoteles belum dikenal namun, logika pada masa ini sering disebut dengan analitik dan istilah lainnya adalah dialektika. Dialektik adalah “ theori and practice of weighing and reconciling jucta posedoe contratoctory argument for the purpose of arriving at truth, espescially throught discussion and debate”... Aristotelenism adalah “ method of arguing with probability on any given problems as an art intermediate between rhetoric and strict demonstration”. (Webster, 1993:1993 dalam Joko Suwarno.) Metode dialektika-dialog dari Socrates merupakan metode atau cara memahami suatu dengan melakukan dialog. Dialog berarti komunikasi dua arah, ada seseorang berbicara dan ada seseorang lain yang mendengarkan. Dalam pembicaraan yang terus menerus dan mendalam diharapkan orang dapat menyelesaikan probelem yang ada. Ada proses pemikiran seseorang yang mengalami perkembangan karena mempertemukan ide yang satu dengan ide yang lain antara orang 36
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
yang berdialog. Tujuannya mengembangkan cara berargumentasi agar posisi yang bersifat dua arah dapat diketahui dan diharapkan satu sama lain. Metode dialektika menurut Hegel adalah suatu metode atau cara memahami dan memecahkan persoalan atau problem berdasarkan tiga elemen yaitu tesa, antitesa dan sintesa. Tesa adalah suatu persoalan atau problem tertentu, sedangkan antitesa adalah suatu reaksi, tanggapan, ataupun komentar kritis terhadap tesa (argumen dari tesa). Dari dua elemen tersebut diharapkan akan muncul sintesa, yaitu suatu kesimpulan. Metode ini bertujuan untuk mengembangkan proses berfikir yang dinamis dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya argumen yang kontradiktif atau berhadapan sehingga dicapai kesepakatan yang rasional (Irmayanti, M Budianto, 2002:14 dalam Joko Suwarno). Dialektika tumbuh dari logika formal di dalam perkembangan sejarah. Logika formal adalah sistem pengetahuan ilmiah besar pertama dari proses pemikiran. Adalah puncak karya filosofis dari Yunani Kuno, mahkota kejayaan pemikiran bangsa Yunani. Pemikir- pemikir Yunani awal membuat banyak penemuan penting tentang alam dari proses berpikir dan hasil-hasilnya. Pesintesa pemikiran Yunani, Aristoteles, mengumpulkan, mengklasifikasikan, mengkritik, mensistematiskan hasil-hasil positif dari pemikiran tentang pikiran, dan lalu menciptakan logika formal. Euclides melakukan hal yang sama untuk geometri dasar. Archimedes untuk mekanik dasar. Ptolomeus dari Alexandria kemudian untuk astronomi dan geografi. Untuk mendapat pengetahuan yang dikemukakan benar atau logis ada tiga faktor yang diperhatikan
yaitu
memiliki
pengetahuan
(menguasai
masalah),
mengambil
keputusan
(menyampaikan pikiran dengan lancar), memberi pembuktian (argumentasi atas pendapat). Ketiga faktor diatas merupakan bagian dari filsafat yang disebut logika formal atau berpikir logik. Logika formal disebut juga logika minor atau dialektika.
Dialektika materialisme Dialektika dimulai dengan materialisme, oleh karenanya, sangat tidak mungkin untuk mengerti dialektika tanpa mengerti dulu pandangan materialis. Dan tidak mungkin untuk mengerti cara berfungsi suatu materi tanpa mengerti dialektika. Dan tanpa dialektika, materialisme tidak dapat menerangkan dunia realis yang tidak idealis.
37
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Dialektika menjelaskan alam suatu materi (benda). Khususnya mempelajari fenomena akan 'pergerakan' dan 'interelasi' mereka, bukannya keterasingan dan kestatisannya. 'Pergerakan' dan 'interrelasi' (saling berhubungan) adalah dua prinsip paling general dari dialektika. Konsep 'interelasi' adalah prinsip paling umum untuk menerangkan tentang perkembangan dan fungsi suatu materi. Bahwa sifat saling bergantungan adalah bentuk universal dari semua kenyataan. Semua yang nampak di dunia ini merupakan rangkaian dari satu materi. Misalnya, perbedaan fenomena alam atau sosial, saling bergantung dengan perbedaan alam atau masyarakatnya. Baru pada abad 19, seorang filsuf Jerman, Hegel, Berhasil menemukan semua hukum dasar dialektika, dengan studinya tentang Logika. Dan dipakainya untuk menyerang metode Metafisik dan kaum borjuis dan feodal. Metafisik dapat digunakan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat tertinggi atau terdalam (ultimate nature) dari keadaan atau kenyataan yang tampak nyata dan variatif. Melalui pengkajian dan penghayatan terhadap metafisika, manusia akan dituntun pada jalan dan penumbuhan moralitas hidup. Oleh karena itu tidak salah jika K. Bertens (1975:154) menyebut metafisika sebagai kebijaksanaan (Sophia) tertinggi (Cecep Sumarna, 2006:64-65). Yaitu tentang perubahan hukum kwantitatif menjadi kwalitatif, hukum kontradiksi sebagai motif prinsip untuk semua perkembangan dan hukum spiral, yang menangkap semua arah maju dari proses sejarah dunia. Menurut Engels, tentang penemuan Hegel: “untuk pertama kali di seluruh dunia, alam, sejarah, intelektual, dinyatakan sebagai proses, misalnya, seperti dalam gerakan, perubahan, transformasi, perkembangan yang konstan dan kecenderungan untuk dibuat untuk menemukan hubungan internal yang membentuk keseluruhan gerakan dan perkembangan yang berkesinambungan.” (Engels, anti-Duhring, p. 37-38) sebenarnya Hegel seorang Idealis, dan tidak pernah mengungkapkan ini secara eksplisit. Dia percaya bahwa dasar pergerakan dan interelasi adalah konsep pikiran (mind), yang pada akhirnya menjadi gerakan perkembangan alam dan masyarakat. Tapi ide ini justru akhirnya bertentangan dengan pandangan idealis. Yang pada akhirnya, dipakai oleh Marx dan Engels untuk membangun dasar metode dialektika dan fondasi materialis. Marx dan Engels mampu mengkritik Metode dialektis Hegel. Mereka menunjukkan bahwa hukum dialektik pertama-tama beroperasi dalam alam, termasuk masyarakat, lalu kemudian pikiran manusia sebagai refleksi akan realitas material. Engels menyimpulkan : "Tidak akan ada pertanyaan lagi tentang pembangunan hukum-hukum dialektik kedalam alam (seperti yang dilakukan Hegel), 38
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
tapi adalah penemuan mereka didalam alam dan keterlibatan mereka dari alam". Maka metode dialektis dari Marx dan Engels disebut Dialektis “Materialis”. Marx berpendapat bahwa dialektika merujuk pada pertentangan, kontadiksi, anagonism, atau konflik antara tesis dengan antitesis yang kemudian melahirkan sintesis. Pandangan Karl Marx hampir sama dengan Hegel, perbedaannya bahwa proses dialektis itu terjadi bukan di dunia gagasan atau ide melainkan di dunia material.
Ciri Dialektika Material Perubahan Kuantitatif Ke Perubahan Kualitatif Hukum umum Dialektika yang kedua ini menyatakan, bahwa proses perkembangan dunia material atau dunia kenyataan objektip terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah perubahan kuantitatif yang berlangsung secara perlahan, berangsur atau evolusioner. Kemudian meningkat ketahap kedua, yaitu perubahan kualitatif yang berlangsung dengan cepat, mendadak dalam bentuk lompatan dari satu keadaan ke keadaan lain, atau revolusioner. Perubahan kuantitatif dan perubahan kualitatif merupakan dua macam bentuk dasar dari segala perubahan. Segala perubahan yang terjadi dalam dunia kenyataan objektif itu kalau bukan dalam bentuk perubahan kuantitatif, maka dalam bentuk kualitatif. Materialisme Dialektika Berbarengan dengan cara pandang materialis dan pengetahuan ilmiah bergerak maju dan menjadi penting pada waktu kebangkitan kapitalisme (abad 17 dan 18). Materialisme mengambil bentuk Materialisme mekanis. Yakni bahwa alam dan masyarakat dilihat sebagai sebuah mesin raksasa dimana bagian-bagiannya bekerja secara mekanis. Pandangan ini memudahkan orang memahami bagian-bagian dari suatu hal dan bagaimana mereka bekerja, tetapi hal ini tidak mampu menjelaskan asal-usul perkembangan suatu hal.
Kegunaan dialektika Plato terkesan sangat idealistik dan meyakini sejatinya esksistensi berada diluar aspek fisik. Sementara bagi muridnya, Aristoteles sejatinya eksistensi itu melekat pada sesuatu yang fisik. Bagi Plato kebenaran yang ditangkap oleh pancaindera dan dibenarkan secara rasional oleh rasio, tidak lebih dari jarak sebuah bayang-bayang yang bukan saja memiliki nilai jarak dengan sejatinya kebenaran, tetapi bahkan bukan kebenaran itu sendiri. (Cecep Sumarna, 2006:11-12) 39
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Dialektika antara Plato dan Aristoteles, penting untuk disebut sebagai pendorong lahirnya ilmu di Yunani, sebab melalui dialektika ini, ilmu bukan saja menjadi lebih dinamis, tetapi juga dari setiap wacana dialektik, pasti akan menghasilkan sesuatu yang baru. Sifat ini pula dalam perkembangannya akan melahirkan wacana keilmuan. Tinggi rendahnya dialektika keilmuan dalam suatu negara, akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kemungkinan suatu negara yang dimaksud dalam melahirkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. (Cecep Sumarna 2006:12) “Georg Wilhelm Friederich Hegel menggunakan metode dialektis yang berupaya memahami realitas dengan mengikuti gerakan pikiran atau konsep asal berpangkal pada pemikiran yang benar sehingga pemahaman akan dibawa oleh dinamika pikiran itu sendiri” (Hakim, A.A. & Saebani, B.A. 2008: 38) Pemikiran Hegel yang senantiasa berdialektika terhadap realitas dan memandang adanya realitas mutlak atau roh mutlak atau idealisme mutlak dalam kehidupan, sangat mempengaruhi dalam memandang sejarah secara global. Hal itu terbukti saat dialektikanya mampu memasukkan pertentangan di dalam sejarah. Pada dasarnya dialektika digunakan untuk mencari kebenaran dalam teori Socrates maupun Aristoteles. Namun dalam perkembangannya dialektika digunakan oleh Hegel untuk menentang ajaran metafisika. Ajaran Hegel kemudian ditentang oleh Marx dan melahirkan dialektika materialisme.
Pentingnya dialektika Dialektika digunakan untuk mencari kebenaran melalui diskusi atau tanya jawab. Dialektika berguna sebagai pemerdalam dalam memahami masalah dan dalam pemecahan masalah. Dialektika menghasilkan pemikiran-pemikiran baru berdasarkan penambahan-penambahan dialog. Dari yang tidak tahu menjadi tahu. Dari yang belum mengerti menjadi mengerti. Metode yang digunakan memecahkan problem-problem filsafat, berbeda dengan metode yang digunakan untuk mempelajari filsafat. Ada tiga macam metode untuk mempelajari filsafat, diantaranya : Metode Sistematis Metode ini bertujuan agar perhatian pelajar/ mahasiswa terpusat pada isi filsafat, bukan pada tokoh atau pada metode. Misalnya, mula-mula pelajar atau mahasiswa menghadapi teori pengetahuan yang berdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah itu mempelajari teori hakikat, teori nilai atau 40
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
filsafat nilai. Pembagian besar ini dibagi lebih khusus dalam sistematika filsafat untuk membahas setiap cabang atau subcabang itu, aliran-aliran akan terbahas. Metode Histories Metode ini digunakan untuk mempelajari filsafat dengan cara mengikuti sejarahnya dapat dibicarakan dengan demi tokoh menurut kedudukannya dalam sejarah. Misal dimulai dari pembicarakan filsafat thales, membicarakan riwayat hidupnya, pokok ajarannya, baik dalam teori pengetahuan, teori hakikat, maupun dalam teori nilai. Lantas dilanjutkan dalam membicarakan Anaxr mandios Socrates, lalu Rousseau Kant dan seterusnya sampai tokoh-tokoh kontemporer. Metode Kritis Metod ini digunakan oleh orang-orang yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Sebaiknya metode ini digunakan pada tingkat sarjana. Disini pengajaran filsafat dapat mengambil pendekatan sistematis ataupun histories. Langkah pertama ialah memahami isi ajaran, kemudian pelajar mencoba mengajukan kritikannya, kritik itu mungkin dalam bentuk menentang. Dapat juga berupa dukungan. Ia mungkin mengkritik mendapatkan pendapatnya sendiri ataupun menggunakan pendapat filusuf lain. Jadi, jadi jelas tatkala memulai pelajaran amat diperlukan dalam belajar filsafat dengan metode ini.
F. Objek Filsafat Isi filsafat ditentukan oleh objek yang dipikirkan. Ada dua objek apa yang dipikirkan. Ada dua objek dalam filsafat diantaranya : Objek material filsafat yaitu segala yang ada dan mungkin ada, jadi luas sekali dan tidak terbatas. Objek material antara filsafat dengan sains (ilmu pengetahuan) sama, yaitu sama-sama menyelidiki segala yang ada dan mungkin ada. Tapi ada dua hal yang membedakan diantaranya: a. Sains menyelidiki objek material yang empiris. Sedangkan filsafat menyelidiki bagian yang abstraknya. b. Ada objek material filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains seperti Tuhan, hari akhir (hal-hal yang tidak empiris). Jadi objek material filsafat lebih luas daripada sains. Objek Formal (sikap penyelidikan) Objek formal filsafat adalah penyelidikan yang mendalam atau ingin mengetahui bagian dalamnya. Kata mendalam artinya ingin tahu tentang objek yang tidak empiris. Objek ini hanya dimiliki oleh filsafat saja. Sains tidak mempunyai objek forma. Karena objek sains hanya terbatas pada sesuatu yang bisa diselidiki secara ilmiah saja, dan jika tidak 41
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
dapat diselidiki maka akan terhenti sampai disitu. Tetapi filsafat tidaklah demikian, filsafat akan terus bekerja hingga permasalahannya dapat ditemukan sampai akar-akarnya.
G. Sistematika Filsafat Hasil berpikir tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada telah banyak terkumpul dan disusun secara teratur dan sistematis dikenal dengan istilah sistematika filsafat atau struktur filsafat. Struktur filsafat berkisar pada tiga cabang filsafat yaitu teori pengetahuan, teori hakikat dan teori nilai. Berikut ini akan diuraikan lebih rinci lagi. Teori Pengetahuan Teori pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan (norma-norma atau teoriteorinya) dan membicarakan pula tentang bagaimana cara mengatur pengetahuan yang benar dan berarti. Posisi terpenting dari pengetahuan telah membicarakan tentang apa sebenarnya hakikat pengetahuan itu, cara berpikir dan hukum berpikir agar mendapatkan hasil yang sebenar-benarnya. Cabang teori pengetahuan yaitu Epistimologi dan logika. Epistimologi Epistimologi berasal dari bahasa Yunani, Episteme yang berarti Knowledge atau pengetahuan dan logy berarti pengetahuan atau filsafat ilmu. Terdapat empat persoalan pokok dalam bidang ini: 1. Apa pengetahuan itu? 2. Apa sumber-sumber pengetahuan itu? 3. Darimanakah sumber yang benar itu datang dan bagaimana mengaturnya? 4. Apakah pengetahuan tersebut benar? Persoalan pertama (tentang definisi pengetahuan) sudah dibahas pada uraian sebelumnya. Sekarang pada persoalan berikutnya yaitu sumber pengetahuan manusia. Lours Q. Kattsof mengatakan bahwa sumber pengetahuan ada lima macam yaitu: Empiris, rasionalisme, fenomena, intuisi dan metode ilmiah. 1) Empirisme Kata ini berasal dari bahasa yunani empeirikos dari kata emperra, artinya pengalaman menurut aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya, pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi, manusia tahu es dingin karena menyentuhnya, gula manis karena mencicipinya. Jhonh Locke (1632-1704) bapak aliran ini pada zaman modern mengemukakan teori tabula rasa. Maksudnya bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari 42
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, dan akhirnya ia memiliki pengetahuan. Tidak terasa, uraian tadi sudah menjawab pertanyaan yang ke-3. Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimanakah mengetahuinya? Pengetahuan diperoleh dari pengalaman dan dengan perantara panca indera. Kelemahan aliran ini cukup banyak , diantaranya ; Keterbatasan indra, Indera Menipu, Objek yang menipu dan Kelemahan yang berasal dari indra dan objek sekaligus. Kesimpulannya adalah empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia. 2) Rasionalisme Aliran ini menyatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan terletak pada akal. Rasionalisme memandang pengalaman sebagai jenis perangsang bagi pikiran. Jika kebenaran mengandung makna dan mempunyai ide yang sesuai dengan kenyataan. Maka kebenaran hanya ada di dalam pikiran dan hanya diperoleh dengan akal budi saja. Descartes adalah bapak dari rasionalisme. Ia berusaha menemukan kebenaran yang tidak dapat diragukan, sehingga dengan memakai metode deduktif dapat disimpulkan semua pengetahuan kita. Bagi rasionalisme, kekeliruan pada aliran emperisme yang disebabkan kelmahan alat indra tadi, dapat dikoreksi seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan, pengalaman indera dilakukan untuk merangsang akal dan memberikan objek sehingga kebenaran adalah seman-mata dengan akal. Laporan indera menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas, kacau. Bajan ini kemudian dipertimbangkan dengan teratur oleh akal dalam pengalaman berpikir sehingga terbentuk pengetahuan yang benar. Jadi, akal bekerja karena ada bahan dari indera. Akan tetapi, akal dapat juga mengahasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan inderawi sama sekali. Jadi akal dapat juga menghasilkan penetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak. Gabungan antara emperis dan rasionalisme melahirkan suatu metode baru yaitu metode sains dan dari metode ilmiah ini melahirkan pengetahuan sains yang disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Pengetahuan sains/ilmu pengetahuan ialah jenis pengetahuan yang logis dan memiliki bukti empiris (pengetahuan yang logis-empiris). Jika hanya digunakan rasio (akal) maka pengetahuan yang diperoleh ialah pengetahuan filsafat. 3) Positivisme Tokoh aliran ini adalah August Compete (1798-1857). Ia penganut empiris. Ia berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen seperti panas di ukur dengan derajat panas,jauh 43
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
diukur dengan meteran, berat dengan timbangan neraca, dan sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan. 4) Fenomenalis Tokoh aliran ini adalah Immanuel kant, seorang filsuf jerman abad ke-18. Dia berpendapat bahwa sebab-akibat tentu mruapakan hubungan yang bersifat niscaya. Kant membuat uraian lebih lanjut tentang pengalaman. Barang sesuatu bagimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dengan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Bagi Kant para penganut emperisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksa bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman. 5) Intersionisme (intuisi) Herin Bergson (1859-1941) adalah tokok aliran ini. Ia menganggap tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas aliran ini mengkritik aliran empirisme dan rasionalisme. Objek-objek yang kita tangkap adalah objek yang selalu berubah. Jadi pengetahuan kita tentunya tidak tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Akal hanya dapat memahami suatu objek bila ia mengkonsentrasikan dirinya pada objek itu, jadi dalam hal seperti itu manusiatidak mengetahui keseluruhan (unique) tidak juga memahami sifat tetap pada objek. Dengan menyadari keterbatasn indera dan akal, Bergson mengembangkan suatu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Ini adalah hasil evolusi pemahaman tertinggi. Pengembangan kemampuan ini (intiusi) memerlukan suatu usaha, kemampuan ini dapat memahami kebenaran yang utuh, tetap dan unique. 6) Metode Ilmiah Gabungan antara empirisme dan rasionalisme melahirkan suatu metode baru yaitu metode sains (metode imiah) dari metode ini melahirkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ialah jenis pengetahuan yang logis dan memiliki bukti empiris (pengetauan yang logis-empiris). Jika hanya menggunakan rasio (akal) maka pengetahuan yang diperoleh ialah pengetahuan filsafat. Teori Hakikat Teori hakikat membicarakan pengetahuan itu sendiri disebut ontologis. Apa itu hakikat? Hakikat ialah realist. Realitas ialah ke-real-an; real artinya kenyataan yang sebenarnya; jadi hakikat adalah keadaan yang sebenarnya, bukan keadaan sementara atas kesadaran sementara atau 44
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
kesadaran yang menipu bukan keadaan yang berubah. Kalau teori pengetahuan mempunyai cabang epistimologi dan logika, maka teori hakikat mempunyai cabang sebagai berikut : ontology, konsmologi, antropologi, theodologi, filsafat agama, filsafat umum, filsafat pendidikan dan lainlain. Ontologi merupakan cabang teori yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Apa sebenarnya hakikat dan sesuatu yang ada? Ada empat aliran filsafat yang mecoba memberikan jawaban atas persoalan tersebut, yaitu : 1. Materialisme 2. Idelisme 3. Dualisme 4. Agnostralisme a. Materialisme Materialism adalah suatu airan dalam filsafat yang pandanganya bertitik pada meteri (benda) Materialism modern mengatakan bahwa materi itu ada sebelum jiwa ada (mains) jadi materi itu primer dan ide/pemikiran terletak pada sekundernya. materialisme beranggapan bahwa hakikat benda adalah benda itu sendiri. b. Idealisme Arti filsafat dari kata idealism ditentukan oleh artu biasa dari kata ide. Ringkasnya, idelaimse mengatakan bahwa realitas terdiri dari atas ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiawa (selp) dan bukan benda (materi). Idealism juaga mengatakan bahwa mind sebagai hal yang lebih dahulu dari pada materi. Idealism dam ,ateri adalah produk sampingan. Dengan demikian, idealism beranggapan bahwa hakikat benda-benda yang ada itu adalah ide atau akal jiwa bukan materi. c. Dualisme Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua faham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dengan idealisme. Materialism mengatakan bahwa materi itulah yang hakikat, sedangkan idelaisme sebaliknya justru ide-lah yang hakikat. Menurut materialism ruh muncul jika tanpa ada meteri, sedangkan menurut idealisme justru munculnya materi karena adanya ruh. Materi tidak aka nada jika tidak ada ruh. Dualism mengatakan bahwabaik materi maupun ruh sama-sama hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begtu pla ruh muncul bukan Karena materi. Tetapi dualism juga masih mempunyai masalah yaitu tentang hubungan antara materi dan ruh, bagaimana bisa terjadi keselarasan antara materi dengan ruh atau ide. Kita lihat contoh jika jiwa sehat maka badan pun sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa seseorang sedang berduka biasanya badanpun ikut sedih, maka murunglah wajahnya orang tersebut. Contoh di atas menggambarkan adanya hubungan atau kerjasama atara jiwa dan badan. 45
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Masalahnya, kenapa terjadi bentuk kerjasama dan hubungan sedemikian rupa dan siapa yang memadukannya? Ini adalah masalah dualisme. d. Agnostraisme Agnostraisme adalah aliran yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu di balik kenyataan ini. Manusia tidak mungkin mengetahui apa hakikat batu, air, api dan lain sebagainya. Sebab menurt faham ini kemampuan manusia sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat sesuatu yang ada, baik oleh indera maupun pikirannya. Aliran ini mempunyai masalah yaitu tentang siapa sebenarnya yang bisa mengetahui hakikat sesuatu yang ada? Aliran ini tidak memberikan jawaban.
Teori Nilai Teori nilai mencakup dua cabang, yaitu cabang filsafat yang cukup terkenal; etika dan estetika, nilainya artinya harga, sesuatu mempunyai nilai bagi seseorang karena ia berharga bagi dirinya.pada umumnya orang menyatakan bahwa nilai sesuatu melekat pada benda dan bukan di luar benda, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa bila itu ada di luar benda. a. Etika Etika merupakan penyelidikan filsafat mengenai kewajiban manusia serta tingkah laku manusia dilihat dari sisi baik dan buruknya tingkah laku tersebut. Atas dasar hak apa orang menuntut kita unutk tunduk terhadap norma-norama yang berupa ketentuan, kewajiban, larangan dan lain sebagainya. Bagimana kita bisa menilai norma tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebuat timbul karena hidup kita seakan-akan terentang dalam suatu jaringan norma-norma. Jaringan itu seolah-olah membelenggu kita, mencegah kita bertindak sesuai keinginan kita dan memaksa kita berbuat apa yang sebenarnya kita benci. b. Estetika Estetika membahas/membicarakan soal nilai rendah dan tidak rendah. Nilai baik dan buruk sering diterpkan orang kepada perbuatan atau tindakan menusia, sedangkan nilai rendah da tidak rendah lebih cenderung unutk diterapkan kepada soal seni. Estetika berusaha untuk menemukan nilai yang indah secara umum sehingga tidak mustahil kalau akhirnya timbul beberapa teori yang membicarakan hal itu.
46
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Bagian III Filsafat ; Filsafat Ilmu dan Kaitan Dengan Ilmu Pengetahuan
Filsafat Ilmu A. Pengertian Filsafat Ilmu Meskipun secara historis antara ilmu dan filsafat pernah merupakan suatu kesatuan, namun dalam perkembangannya mengalami divergensi, dimana dominasi ilmu lebih kuat mempengaruhi pemikiran manusia, kondisi ini mendorong pada upaya untuk memposisikan ke duanya secara tepat sesuai dengan batas wilayahnya masing-masing, bukan untuk mengisolasinya melainkan untuk lebih jernih melihat hubungan keduanya dalam konteks lebih memahami khazanah intelektual manusia. Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bisa menjumpai pandanganpandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005). Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme-positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003). Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”. Will Duran dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafat yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan 47
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
keilmuan. Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisika sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi menulis buku The Wealth Of Nation (1776) dalam fungsinya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow. Agus Comte dalam Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion and Science, 1963 membagi tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan yaitu: religius, metafisic dan positif. Dalam tahap awal asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran religi. Tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang metafisika dan keberadaan wujud yang menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik. Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah karakteristik sains yang paling mendasar selain matematika. Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori ), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
48
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Pengetahuan Sains
Objek Empiris
Filsafat
Abstrak rasional Abstrak suprarasional
Mistis
Pengetahuan Manusia Paradigma Sains
Metode Metode Ilmiah
Rasional
Metode Rasional
Mistis
Latihan Percaya
Kriteria Rasional Empiris Rasional Rasa, Iman, Logis, kadang empiris
Sumber ; Tafsir, Ahmad, 2006, Filsafat Ilmu Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang prailmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”. Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap-mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuanpengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-obyeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-galanya. Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya. Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek 49
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis dan sintesis. Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan dukungan data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional. Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral. Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah 50
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh. Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi Uraian - Obyek apa yang telah ditelaah ilmu? - Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? - Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? - Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? - Bagaimana prosedurnya? Epistimologi (Cara - Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya Mendapatkan Pengetahuan) pengetahuan yang berupa ilmu? - Bagaimana prosedurnya? - Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar? - Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri? - Apa kriterianya? - Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Aksiologi (Guna - Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan? Pengetahuan) - Bagaiman kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? - Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? - Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional? Sumber: Jujun S. Suriasumantri, 1993 Tahapan Ontologi (Hakikat Ilmu)
Harold H. Titus mengakui kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan ringkas mengenai hubungan antara ilmu dan filsafat, karena terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara ilmu dan filsafat, disamping dikalangan ilmuwan sendiri terdapat perbedaan pandangan dalam hal sifat dan keterbatasan ilmu, dimikian juga dikalangan filsuf terdapat perbedaan pandangan dalam memberikan makna dan tugas filsafat. Adapun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat adalah bahwa keduanya menggunakan berfikir reflektif dalam upaya menghadapi/memahami fakta-fakta dunia 51
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berfikiran terbuka serta sangat konsern pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisisr dan sistematis. Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengan titik tekan, dimana ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman indra serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan filsafat berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia, filsafat lebih bersifat sintetis dan sinoptis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan kenapa dan bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan antara fakta khusus dengan skema masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji hubungan antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta seni. Dengan memperhatikan ungkapan di atas nampak bahwa filsafat mempunyai batasan yang lebih luas dan menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat berupaya mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau dijadikan objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu mempunyai kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berfikir reflektif dan sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berbeda. Dengan demikian, Ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan, filsafat mencoba mencari jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh Ilmu dan jawabannya bersifat spekulatif, sedangkan Agama merupakan jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh filsafat dan jawabannya bersifat mutlak/dogmatis. Menurut Sidi Gazlba (1976), Pengetahuan ilmu lapangannya segala sesuatu yang dapat diteliti (riset dan/atau eksperimen) ; batasnya sampai kepada yang tidak atau belum dapat dilakukan penelitian. Pengetahuan filsafat : segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh budi (rasio) manusia yang alami (bersifat alam) dan nisbi; batasnya ialah batas alam namun demikian ia juga mencoba memikirkan sesuatu yang diluar alam, yang disebut oleh agama “Tuhan”. Sementara itu Oemar Amin Hoesin (1964) mengatakan bahwa ilmu memberikan kepada kita pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmat. Dari sini nampak jelas bahwa ilmu dan filsafat mempunyai wilayah kajiannya sendirisendiri 52
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Meskipun filsafat ilmu mempunyai substansinya yang khas, namun dia merupakan bidang pengetahuan campuran yang perkembangannya tergantung pada hubungan timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu, oleh karena itu pemahaman bidang filsafat dan pemahaman ilmu menjadi sangat penting, terutama hubungannya yang bersifat timbal balik, meski dalam perkembangannya filsafat ilmu itu telah menjadi disiplin yang tersendiri dan otonom dilihat dari objek kajian dan telaahannya. Filsafat ilmu diperkenalkan sekitar abad XIX oleh sekelompok ahli ilmu pengetahuan dari Universitas Wina. Para ahli ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh Moris Schlick membentuk suatu perkumpulan yang disebut Wina Circle untuk menyatukan semua disiplin ilmu (kimia,fisika,matematika) pada suatu bahasa ilmiah dan cara bekerja ilmiah yang pasti dan logis. Bidang keilmuan membutuhkan proses kerja ilmiah yang relevan dengan pokok perhatian yang lebih spesifik. Karena itu saat ini filsafat ilmu sudah semakin berkembang dan menjadi filsafat modern yang dibutuhkan dalam setiap ilmu. Setelah mengenal pengertian dan makna apa itu filsafat dan apa itu ilmu, maka pemahaman mengenai filsafat ilmu tidak akan terlalu mengalami kesulitan. Hal ini tidak berarti bahwa dalam memaknai filsafat ilmu tinggal menggabungkan kedua pengertian tersebut, sebab sebagai suatu istilah, filsafat ilmu telah mengalami perkembangan pengertian serta para akhli pun telah memberikan pengertian yang bervariasi, namun demikian pemahaman tentang makna filsafat dan makna ilmu akan sangat membantu dalam memahami pengertian dan makna filsafat ilmu (Philosophy of science). Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001) 1) Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual. 2) Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole.
53
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
(Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan) 3) A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapanpraanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.) 4) Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teoriteori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.) 5) May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu. 6) Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error”. Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan. 7) Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah 54
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika). Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti : -
Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
-
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
-
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982) Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para ahli. Secara historis filsafat dipandang sebagai the mother of sciences atau induk segala ilmu, hal ini sejalan dengan pengakuan Descartes yang menyatakan bahwa
prinsip-prinsip dasar ilmu
diambil dari filsafat. Filsafat alam mendorong lahirnya ilmu-ilmu kealaman, filsafat sosial melahirkan ilmu-ilmu sosial, namun dalam perkembangannya dominasi ilmu sangat menonjol, 55
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
bahkan ada yang menyatakan telah terjadi upaya perceraian antara filsafat dengan ilmu, meski hal itu sebenarnya hanya upaya menyembunyikan asal usulnya atau perpaduannya seperti terlihat dari ungkapkan Husein Nasr (1996) bahwa : “Meskipun sains modern mendeklarasikan independensinya dari aliran filsafat tertentu, namun ia sendiri tetap berdasarkan sebuah pemahaman filosofis partikular baik tentang karakteristik alam maupun pengetahuan kita tentangnya, dan unsur terpenting di dalamnya adalah Cartesianisme yang tetap bertahan sebagai bagian inheren dari pandangan dunia ilmiah modern”. Dominasi ilmu terutama aplikasinya dalam bentuk teknologi telah menjadikan pemikiranpemikiran filosofis cenderung terpinggirkan, hal ini berdampak pada cara berfikir yang sangat pragmatis-empiris dan partial, serta cenderung menganggap pemikiran radikal filosofis sebagai sesuatu yang asing dan terasa tidak praktis, padahal ilmu yang berkembang dewasa ini di dalamnya terdapat pemahaman filosofis yang mendasarinya sebagaimana kata Nasr . Perkembangan ilmu memang telah banyak pengaruhnya bagi kehidupan manusia, berbagai kemudahan hidup telah banyak dirasakan, semua ini telah menumbuhkan keyakinan bahwa ilmu merupakan suatu sarana yang penting bagi kehidupan, bahkan lebih jauh ilmu dianggap sebagai dasar bagi suatu ukuran kebenaran. Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah dapat didekati dengan pendekatan ilmiah, sekuat apapun upaya itu dilakukan, seperti kata Leenhouwers yang menyatakan: “Walaupun ilmu pengetahuan mencari pengertian menerobos realitas sendiri, pengertian itu
hanya dicari di tataran empiris dan eksperimental. Ilmu pengetahuan membatasi
kegiatannya hanya pada fenomena-fenomena, yang entah langsung atau tidak langsung, dialami dari pancaindra. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak menerobos kepada inti objeknya yang sama sekali tersembunyi dari observasi. Maka ia tidak memberi jawaban prihal kausalitas yang paling dalam”. Pernyataan di atas mengindikasikan bahwa adalah sulit bahkan tidak mungkin ilmu mampu menembus batas-batas yang menjadi wilayahnya yang sangat bertumpu pada fakta empiris, memang tidak bisa dianggap sebagai kegagalan bila demikian selama klaim kebenaran yang disandangnya diberlakukan dalam wilayahnya sendiri, namun jika hal itu menutup pintu refleksi radikal terhadap ilmu maka hal ini mungkin bisa menjadi ancaman bagi upaya memahami kehidupan secara utuh dan kekayaan dimensi di dalamnya. 56
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Meskipun dalam tahap awal perkembangan pemikiran manusia khususnya jaman Yunani kuno cikal bakal ilmu terpadu dalam filsafat, namun pada tahap selanjutnya ternyata telah melahirkan berbagai disiplin ilmu yang masing-masing mempunyai asumsi filosofisnya (khususnya tentang manusia) masing-masing. Ilmu ekonomi memandang manusia sebagai homo economicus yakni makhluk yang mementingkan diri sendiri dan hedonis, sementara sosiologi memandang manusia sebagai homo socius yakni makhluk yang selalu ingin berkomunikasi dan bekerjasama dengan yang lain, hal ini menunjukan suatu pandangan manusia yang fragmentaris dan kontradiktif, memang diakui bahwa dengan asumsi model ini ilmu-ilmu terus berkembang dan makin terspesialisasi, dan dengan makin terspesialisasi maka analisisnya makin tajam, namun seiring dengan itu hasil-hasil penelitian ilmiah selalu berusaha untuk mampu membuat generalisasi, hal ini nampak seperti contradictio in terminis (pertentangan dalam istilah) Dengan demikian eksistensi ilmu mestinya tidak dipandang sebagai sesuatu yang sudah final, dia perlu dikritisi, dikaji, bukan untuk melemahkannya tapi untuk memposisikan secara tepat dalam batas wilayahnya, hal inipun dapat membantu terhindar dari memutlakan ilmu dan menganggap ilmu dan kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, disamping perlu terus diupayakan untuk melihat ilmu secara integral bergandengan dengan dimensi dan bidang lain yang hidup dan berkembang dalam memperadab manusia. Dalam hubungan ini filsafat ilmu akan membukakan wawasan tentang bagaimana sebenarnya substansi ilmu itu, hal ini karena filsafat ilmu merupakan pengkajian lanjutan, yang menurut Beerleng, sebagai Refleksi sekunder atas illmu dan ini merupakan syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan cerai berai serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada, melalui pemahaman tentang asasasas, latar belakang serta hubungan yang dimiliki/dilaksanakan oleh suatu kegiatan ilmiah. Dilihat dari segi katanya filsafat ilmu dapat dimaknai sebagai filsafat yang berkaitan dengan atau tentang ilmu. Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan secara umum, ini dikarenakan ilmu itu sendiri merupakan suatu bentuk pengetahuan dengan karakteristik khusus, namun demikian untuk memahami secara lebih khusus apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu, maka diperlukan pembatasan yang dapat menggambarkan dan memberi makna khusus tentang istilah tersebut. Pengertian-pengertian di atas menggambarkan variasi pandangan beberapa akhli tentang makna filsafat ilmu. Peter Caw memberikan makna filsafat ilmu sebagai bagian dari filsafat yang kegiatannya menelaah ilmu dalam kontek keseluruhan pengalaman manusia, Steven R. Toulmin 57
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
memaknai filsafat ilmu sebagai suatu disiplin yang diarahkan untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan prosedur penelitian ilmiah, penentuan argumen, dan anggapan-anggapan metafisik guna menilai dasar-dasar validitas ilmu dari sudut pandang logika formal, dan metodologi praktis serta metafisika. Sementara itu White Beck lebih melihat filsafat ilmu sebagai kajian dan evaluasi terhadap metode ilmiah untuk dapat difahami makna ilmu itu sendiri secara keseluruhan, masalah kajian atas metode ilmiah juka dikemukakan oleh Michael V. Berry setelah mengungkapkan dua kajian lainnya yaitu logika teori ilmiah serta hubungan antara teori dan eksperimen, demikian juga halnya Benyamin yang memasukan masalah metodologi dalam kajian filsafat ilmu disamping posisi ilmu itu sendiri dalam konstelasi umum disiplin intelektual (keilmuan). Menurut The Liang Gie, filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalanpersoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia. Pengertian ini sangat umum dan cakupannya luas, hal yang penting untuk difahami adalah bahwa filsafat ilmu itu merupakan telaah kefilsafatan terhadap hal-hal yang berkaitan/menyangkut ilmu, dan bukan kajian di dalam struktur ilmu itu sendiri. Terdapat beberapa istilah dalam pustaka yang dipadankan dengan Filsafat ilmu seperti : Theory of science, meta science, methodology, dan science of science, semua istilah tersebut nampaknya menunjukan perbedaan dalam titik tekan pembahasan, namun semua itu pada dasarnya tercakup dalam kajian filsafat ilmu . Sementara itu Gahral Adian mendefinisikan filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu) dari segi ciri-ciri dan cara pemerolehannya. Filsafat ilmu selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar/radikal terhadap ilmu seperti tentang apa ciri-ciri spesifik yang menyebabkan sesuatu disebut ilmu, serta apa bedanya ilmu dengan pengetahuan biasa, dan bagaimana cara pemerolehan ilmu, pertanyaan - pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk membongkar serta mengkaji asumsi-asumsi ilmu yang biasanya diterima begitu saja (taken for granted), Dengan demikian filsafat ilmu merupakan jawaban filsafat atas pertanyaan ilmu atau filsafat ilmu merupakan upaya penjelasan dan penelaahan secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, apabila digambarkan hubungan tersebut nampak sebagai berikut :
58
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Menjawab FILSAFAT
FILSAFAT ILMU
ILMU
Bertanya Gambar 1. Hubungan Filsafat, Ilmu dan Filsafat Ilmu Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya, filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut, sementara ilmu terus mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal, proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.
B. Perkembangan Filsafat Ilmu Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak perang dunia ke 2, yang telah menghancurkan kehidupan manusia, para Ilmuwan makin menyadari bahwa perkembangan ilmu dan pencapaiannya telah mengakibatkan banyak penderitaan manusia , ini tidak terlepas dari pengembangan ilmu dan teknologi yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai moral serta komitmen etis dan agamis pada nasib manusia , padahal Albert Einstein pada tahun 1938 dalam pesannya pada Mahasiswa California Institute of Technology mengatakan “ Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan perhatian pada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda, agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan (Jujun S Suriasumantri, 1999 : 249 ). Akan tetapi penjatuhan bom di Hirosima dan Nagasaki tahun 1945 menunjukan bahwa perkembangan iptek telah mengakibatkan kesengsaraan manusia , meski disadari tidak semua hasil pencapaian iptek demikian, namun hal itu telah mencoreng ilmu dan menyimpang dari pesan
59
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Albert Einstein, sehingga hal itu telah menimbulkan keprihatinan filosof tentang arah kemajuan peradaban manusia sebagai akibat perkembangan ilmu (Iptek) . Untuk itu nampaknya para filosof dan ilmuan perlu merenungi apa yang dikemukakan Harold H Titus dalam bukunya Living Issues in Pilosophy (1959), beliau mengutif beberapa pendapat cendikiawan seperti Northrop yang mengatakan “ it would seem that the more civilized we become , the more incapable of maintaining civilization we are”, demikian juga pernyataan Lewis Mumford yang berbicara tentang “the invisible breakdown in our civiliozation : erosion of value, the dissipation of human purpose, the denial of any dictinction between good and bad, right or wrong, the reversion to sub human conduct” (Harold H Titus, 1959 : 3) Ungkapan tersebut di atas hanya untuk menunjukan bahwa memasuki dasawarsa 1960-an kecenderungan mempertanyakan manfaat ilmu menjadi hal yang penting, sehingga pada periode ini (1960-1970) dimensi aksiologis menjadi perhatian para filosof, hal ini tak lain untuk meniupkan ruh etis dan agamis pada ilmu, agar pemanfaatannya dapat menjadi berkah bagi manusia dan kemanusiaan , sehingga telaah pada fakta empiris berkembang ke pencarian makna dibaliknya atau seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Ismaun, M.Pd (2000 : 131) dari telaah positivistik ke telaah meta-science yang dimulai sejak tahun 1965. Memasuki tahun 1970-an , pencarian makna ilmu mulai berkembang khususnya di kalangan pemikir muslim , bahkan pada dasawarsa ini lahir gerakan islamisasi ilmu, hal ini tidak terlepas dari sikap apologetik umat islam terhadap kemajuan barat, sampai-sampai ada ide untuk melakukan sekularisasi, seperti yang dilontarkan oleh Nurcholis Majid pada tahun 1974 yang kemudian banyak mendapat reaksi keras dari pemikir-pemikir Islam seperti dari Prof. H.M Rasyidi dan Endang Saifudin Anshori. Mulai awal tahun 1980-an, makin banyak karya cendekiawan muslim yang berbicara tentang integrasi ilmu dan agama atau islamisasi ilmu, seperti terlihat dari berbagai karya mereka yang mencakup variasi ilmu seperti karya Ilyas Ba Yunus tentang Sosiologi Islam, serta karyakarya dibidang ekonomi, seperti karya Syed Haider Naqvi Etika dan Ilmu Ekonomi, karya Umar Chapra Al Qur‟an, menuju sistem moneter yang adil, dan karya-karya lainnya , yang pada intinya semua itu merupakan upaya penulisnya untuk menjadikan ilmu-ilmu tersebut mempunyai landasan nilai islam. Memasuki tahun 1990-an , khususnya di Indosesia perbincangan filsafat diramaikan dengan wacana post modernisme, sebagai suatu kritik terhadap modernisme yang berbasis positivisme 60
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
yang sering mengklaim universalitas ilmu, juga diskursus post modernisme memasuki kajian-kajian agama. Post modernisme yang sering dihubungkan dengan Michael Foccault dan Derrida dengan beberapa konsep/paradigma yang kontradiktif dengan modernisme seperti
dekonstruksi,
desentralisasi, nihilisme dsb, yang pada dasarnya ingin menempatkan narasi-narasi kecil ketimbang narasi-narasi besar, namun post modernisme mendapat kritik keras dari Ernest Gellner dalam bukunya Post modernism, Reason and Religion yang terbit pada tahun1992. Dia menyatakan bahwa post modernisme akan menjurus pada relativisme dan untuk itu dia mengajukan konsep fundamentalisme rasionalis, karena rasionalitas merupakan standar yang berlaku lintas budaya. Disamping itu gerakan meniupkan nilai-nilai agama pada ilmu makin berkembang, bahkan untuk Indonesia disambut hangat oleh ulama dan masyarakat terlihat dari berdirinya BMI, yang pada dasarnya hal ini tidak terlepas dari gerakan islamisasi ilmu, khususnya dalam bidang ilmu ekonomi. Dan pada periode ini pula teknologi informasi sangat luar biasa , berakibat pada makin pluralnya perbincangan/diskursus filsafat, sehingga sulit menentukan diskursus mana yang paling menonjol, hal ini mungkin sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Alvin Tofler sebagai The third Wave, dimana informasi makin cepat memasuki berbagai belahan dunia yang pada gilirannya akan mengakibatkan kejutan-kejutan budaya tak terkecuali bidang pemikiran filsafat. Meskipun nampaknya perkembangan Filsafat ilmu erat kaitan dengan dimensi axiologi atau nilai-nilai pemanfaatan ilmu, namun dalam perkembangannya keadaan tersebut telah juga mendorong para akhli untuk lebih mencermati apa sebenarnya ilmu itu atau apa hakekat ilmu, mengingat dimensi ontologis sebenarnya punya kaitan dengan dimensi-dimensi lainnya seperti ontologi dan epistemologi, sehingga dua dimensi yang terakhir pun mendapat evaluasi ulang dan pengkajian yang serius. Diantara tonggak penting dalam bidang kajian ilmu (filsafat ilmu) adalah terbitnya Buku The Structure of Scientific Revolution yang ditulis oleh Thomas S Kuhn, yang untuk pertama kalinya
terbit tahun 1962, buku ini merupakan sebuah
karya yang monumental mengenai
perkembangan sejarah dan filsafat sains, dimana didalamnya paradigma menjadi konsep sentral, disamping konsep sains/ilmu normal. Dalam pandangan Kuhn ilmu pengetahuan tidak hanya pengumpulan fakta untuk membuktikan suatu teori, sebab selalu ada anomali yang dapat mematahkan teori yang telah dominan. 61
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Pencapaian-pencapaian manusia dalam bidang pemikiran ilmiah telah menghasilkan teoriteori, kemudian teori-teori terspesifikasikan berdasarkan karakteristik tertentu ke dalam suatu Ilmu. Ilmu (teori) tersebut kemudian dikembangkan , diuji sehingga menjadi mapan dan menjadi dasar bagi riset-riset selanjutnya , maka Ilmu (sains) tersebut menjadi sains normal yaitu riset yang dengan teguh berdasar atas suatu pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fundasi
bagi praktek (riset)
selanjutnya ( Thomas S Kuhn, 2000 :10 ) . Pencapaian pemikiran ilmiah tersebut dan terbentuknya sains yang normal kemudian menjadi paradigma, yang berarti “apa yang dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat sains dan sebaliknya masyarakat sains terdiri atas orang yang memiliki suatu paradigma tertentu ( Thomas S Kuhn, 2000 : 171 ). Paradigma dari sains yang normal kemudian mendorong riset normal yang cenderung sedikit sekali ditujukan untuk menghasilkan penemuan baru yang konseptual atau yang hebat (Thomas S Kuhn, 2000 : 134). Ini berakibat bahwa sains yang normal, kegunaannya sangat bermanfaat dan bersifat kumulatif. Teori yang memperoleh pengakuan sosial akan menjadi paradigma, dan kondisi ini merupakan periode ilmu normal. Kemajuan ilmu berawal dari perjuangan kompetisi berbagai teori untuk mendapat pengakuan intersubjektif dari suatu masyarakat ilmu. Dalam periode sain normal ilmu hanyalah merupakan pembenaran-pembenaran sesuai dengan asumsi-asumsi paaradigma yang dianut masyarakat tersebut, ini tidak lain dikarenakan paradigma yang berlaku telah menjadi patokan bagi ilmu untuk melakukan penelitian, memecahkan masalah, atau bahkan menyeleksi masalah-masalah yang layak dibicarakan dan dikaji Akan tetapi didalam perkembangan selanjutnya ilmuwan banyak menemukan hal-hal baru yang sering mengejutkan, semua ini diawali dengan kesadaran akan anomali atas prediksi-prediksi paradigma sains normal, kemudian pandangan yang anomali ini dikembangkan sampai akhirnya ditemukan paradigma baru yang mana perubahan ini sering sangat revolusioner. Paradigma baru tersebut kemudian melahirkan sain normal yang baru sampai ditemukan lagi paradigma baru berikutnya. Bila digambarkan nampak sebagai berikut :
62
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Pencapaian Manusia dalam pemikiran ilmiah
Sains Normal
Paradigma
Anomali
Perubahan paradigma/ revolusi sains
Sains Normal yang baru
Paradigma Baru
Gambar 2. Struktur perubahan ke-Ilmuan
Pencapaian sain normal dan paradigma baru bukanlah akhir , tapi menjadi awal bagi proses perubahan paradigma dan revolusi sains berikutnya, bila terdapat anomali atas prediksi sains normal yang baru tersebut. Pendapat Kuhn tersebut pada dasarnya mengindikasikan bahwa secara substansial kebenaran ilmu bukanlah sesuatu yang tak tergoyahkan, suatu paradigma yang berlaku pada suatu saat, pada saat yang lain bisa tergantikan dengan paradigma baru yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat ilmiah, itu berarti suatu teori sifatnya sangat tentatif sekali.
C. Ciri-Ciri Ilmu Modern Ciri dari suatu ilmu pada prinsipnya merupakan suatu yang normatif dalam suatu disiplin keilmuan. Namun dalam perkembangannya ilmu khususnya teknologi sebagai aplikasi dari ilmu telah banyak mengalami perubahan yang sangata cepat, perubahan ini berdampak pada pandangan masyarakat tentang hakekat ilmu, perolehan ilmu, serta manfaatnya bagi masyarakat, sehingga ilmu cenderung dianggap sebagai satu-satunya kebenaran dalam mendasari berbagai kebijakan 63
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
kemasyarakatan, serta telah menjadi dasar penting yang mempengaruhi penentuan prilaku manusia. Keadaan ini berakibat pada karakterisasi ciri ilmu modern, adapun ciri-ciri tersebut adalah : 1) Bertumpu pada paradigma positivisme. Ciri ini terlihat dari pengembangan ilmu dan teknologi yang kurang memperhatikan aspek nilai baik etis maupun agamis, karena memang salah satu aksioma positivisme adalah value free yang mendorong tumbuhnya prinsip science for science. 2) Mendorong pada tumbuhnya sikap hedonisme dan konsumerisme. Berbagai pengembangan ilmu dan teknologi selalu mengacu pada upaya untuk meningkatkan kenikmatan hidup, meskipun hal itu dapat mendorong gersangnya ruhani manusia akibat makin memasyarakatnya budaya konsumerisme yang terus dipupuk oleh media teknologi modern seperti iklan besarbesaran yang dapat menciptakan kebutuhan semu yang oleh Herbert Marcuse didefinisikan sebagai kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi kepentingan sosial tertentu dalam represinya (M. Sastrapatedja, 1982 : 125) 3) Perkembangannya sangat cepat . Pencapaian sain ddan teknologi modern menunjukan percepatan yang menakjubkan , berubah tidak dalam waktu tahunan lagi bahkan mungkin dalam hitungan hari, ini jelas sangat berbeda denngan perkembangan iptek sebelumnya yang kalau menurut Alfin Tofler dari gelombang pertama (revolusi pertanian) memerlukan waktu ribuan tahun untuk mencapai gelombang ke dua (revolusi industri, dimana sebagaimana diketahui gelombang tersebut terjadi akibat pencapaian sains dan teknologi. 4) Bersifat eksploitatif terhadap lingkungan. Berbagai kerusakan lingkungan hidupdewasa ini tidak terlepas dari pencapaian iptek yang kurang memperhatikan dampak lingkungan.
D. Paradigma Ilmu Modern Menurut Beberapa Aliran Secara historis paradigma sains telah mengalami tahapan-tahapan perubahan sebagaimana dikemukakan oleh S Nasution dalam bukunya “Metode penelitian naturalistik kualitatif (1996 : 3). Tahap pertama disebut masa pra-positivisme, yang diawali dari jaman Aristiteles sampai David Hume, dimana
aplikasinya dalam penelitian adalah mengamati secara pasif, tidak ada upaya
memanipulasi lingkungan dan melakukan eksperimen terhadap lingkungan. Tahapan ini kemudian berganti dengan tahapan positivisme, dimana paradigma ini menjadi dasar bagi metode ilmiah dengan bentuk penelitian kuantitatif , yang mencoba mencari prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum tentang dunia kenyataan . Paradigma berikutnya yang muncul adalah paradigma post
64
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
positivisme sebagai reaksi atas pendirian positivisme, dimana dalam pandangan ini, kebenaran bukan sesuatu yang tunggal (it is an increasing complexity) sebagaimana diyakini positivisme. Namun demikian paradigma yang paling menonjol di jaman modern ini nampaknya adalah positivisme, meskipun ada beberapa sempalan dalam positivisme itu (Ahmad Sanusi, Majalah Matahari : 12). Untuk lebih mengetahui berbagai paradigma sains modern, penulis sajikan tabel berikut yang dikutip oleh Ahmad Sanusi dalam Majalah Matahari halaman 12 sebagai berikut : Macam-macam paradigma ilmu Aliran Paradigma Wacana Ilmu Positivistik
Sumber/Daya /Potensi Pengertian Dan Tugasnya Akal sehat dan melakukan observasi
Bentuk Pengetahuan Dan Tugasnya
Titik Berat Pada
Model Verifikasi
Modalitas Menyeluruh
Konsistensi dan kepastian yang empirikal, rasional/logis Konsistensi empirikal
Obyek yang spesifik dan terukur
Realitas yang memisah/ khusus
Obyek yang spesifik dan terukur
Realitas yang melanjut Realitas yang melanjut
Empirikal statistik dan memilih metoda
Fakta
Nalar reflektif dan menemukan makna Intuisi dan menemukan metoda
Empirikal statistikal dan menyusun fakta
Metode
Teoritikal filosofis subyektivitas Transendental, dan menjelaskan teori
Makna
Kohesi teoritik
Identitas obyek yang masuk akal dan kemampuan mentransformasikan
Teoritis
Intuisi dan menemukan nilai
Teoritikal filosofis menemukan makna
Teori
Kohesi teoritik
Kritis
Intuisi dan menemukan teori
Personal sosial dan melakukan observasi
Nilai
Konsensus atas dasar pengalaman
Pengamat Partisipan
Akal sehat dan menemukan fakta
Personal sosial dan menemukan fakta
Observas i
Konsensus atas dasar pengalaman
Identitas obyek yang masuk akal dan karakteristik yang unggul Identitas obyek yang masuk akal dan karakteristik yang unggul Identitas obyek yang masuk akal dan fungsi yang khas
Formalistik/ Strukturalistik Penafsiran (Interpretatif)
Esensi Ontologis
Realitas yang menyatu Realitas yang menyatu Realitas yang memisah
Paradigma-paradigma yang tercantum dalam tabel tersebut masih dapat dikelompokan pada kategori yang sama atau mendekati. Dilihat dari esensi ontologisnya paradigma positivistik sama dengan pengamat partisipan yakni bahwa realitas itu terpisah, paradigma teoritis sama dengan paradigma kritis, sedang paradigma formalistik strukturalis sama dengan paradigma interpretatif. Dilihat dari sumber, positivistik sama dengan pengamat partisipan dan mendekati paradigma interpretatif serta formalistik strukturalis, sedangkan paradigma teoritis sama dengan paradigma kritis. 65
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Dari segi bentuk pengetahuan, positivistik sama dengan formalistik, interpretatif sama dengan teoritis, sedangkan paradigma kritis sama dengan paradigma pengamat partisipan , demikian juga dilihat dari segi model verifikasi banyak kesamaannya, hanya dari tugas dan titik berat keenam paradigma itu berbeda. Namun demikian paradigma yang paling menonjol sekarang ini adalah paradigma positivistik, dimana kenyataan menunjukan paradigma ini banyak memberikan sumbangan bagi perkembangan teknologi dewasa ini , akan tetapi tidak berarti paradigma lainnya tidak berperan , peranannya tetap ada terutama dalam hal-hal yang tak dapat dijelaskan oleh paradigma positivistik , hal ini terlihat dengan berkembangnya
paradigma naturalistik
yang telah mendorong
berkembangnya penelitian kualitatif . oleh karena itu nampaknya paradigma-paradigma tersebut tidak bersifat saling menghilangkan tapi lebih bersipat saling melengkapi , hal ini didasari keyakinan betapa kompleksnya realitas dunia dan kehidupan di dalamnya.
E. Bidang Kajian dan Masalah-Masalah Dalam Filsafat Ilmu Bidang kajian filsafat ilmu ruang lingkupnya terus mengalami perkembangan, hal ini tidak terlepas dengan interaksi antara filsafat dan ilmu yang makin intens. Bidang kajian yang menjadi telaahan filsafat ilmu pun berkembang dan diantara para akhli terlihat perbedaan dalam menentukan lingkup kajian filsafat ilmu, meskipun bidang kajian iduknya cenderung sama, sedang perbedaan lebih terlihat dalam perincian topik telaahan. Berikut ini beberapa pendapat akhli tentang lingkup kajian filsafat ilmu : 1. Edward Madden menyatakan bahwa lingkup/bidang kajian filsafat ilmu adalah: a. Probabilitas b. Induksi c. Hipotesis 2. Ernest Nagel a. Logical pattern exhibited by explanation in the sciences b. Construction of scientific concepts c. Validation of scientific conclusions 3. Scheffer a. The role of science in society b. The world pictured by science 66
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
c. The foundations of science Dari beberapa pendapat di atas nampak bahwa semua itu lebih bersifat menambah terhadap lingkup kajian filsafat ilmu, sementara itu Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu. Dalam bentuk pertanyaan, pada dasar filsafat ilmu merupakan telahaan berkaitan dengan objek apa yang ditelaah oleh ilmu (ontologi), bagaimana proses pemerolehan ilmu (epistemologi), dan bagaimana manfaat ilmu (axiologi), oleh karena itu lingkup induk telaahan filsafat ilmu adalah : 1) Ontologi 2) Epistemologi 3) Axiologi Dalam pembahasan ini lingkup induk telahaan filsafat ilmu tersebut diatas belum diuraikan lebih mendalam. Ontologi berkaitan tentang apa obyek yang ditelaah ilmu, dalam kajian ini mencakup masalah realitas dan penampakan (reality and appearance), serta bagaimana hubungan ke dua hal tersebut dengan subjek/manusia. Epistemologi berkaitan dengan bagaimana proses diperolehnya ilmu, bagaimana prosedurnya untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang benar. Axiologi berkaitan dengan apa manfaat ilmu, bagaimana hubungan etika dengan ilmu, serta bagaimana mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan. Ruang lingkup telaahan filsafat ilmu sebagaimana diungkapkan di atas di dalamnya sebenarnya menunjukan masalah-masalah yang dikaji dalam filsafat ilmu, masalah-masalah dalam filsafat ilmu pada dasarnya menunjukan topik-topik kajian yang pastinya dapat masuk ke dalam salah satu lingkup filsafat ilmu. Adapun masalah-masalah yang berada dalam lingkup filsafat ilmu adalah (Ismaun : 2000) : 1) Masalah-masalah metafisis tentang ilmu 2) Masalah-masalah epistemologis tentang ilmu 3) Masalah-masalah metodologis tentang ilmu 4) Masalah-masalah logis tentang ilmu 5) Masalah-masalah etis tentang ilmu 6) Masalah-masalah tentang estetika Metafisika merupakan telaahan atau teori tentang yang ada, istilah metafisika ini terkadang dipadankan dengan ontologi jika demikian, karena sebenarnya metafisika juga mencakup telaahan lainnya seperti telaahan tentang bukti-bukti adanya Tuhan. Epistemologi merupakan teori 67
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
pengetahuan dalam arti umum baik itu kajian mengenai pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, maupun pengetahuan filosofis, metodologi ilmu adalah telaahan atas metode yang dipergunakan oleh suatu ilmu, baik dilihat dari struktur logikanya, maupun dalam hal validitas metodenya. Masalah logis berkaitan dengan telaahan mengenai kaidah-kaidah berfikir benar, terutama berkenaan dengan metode deduksi. Problem etis berkaitan dengan aspek-aspek moral dari suatu ilmu, apakah ilmu itu hanya untuk ilmu, ataukah ilmu juga perlu memperhatikan kemanfaatannya dan kaidah-kaidah moral masyarakat. Sementara itu masalah estetis berkaitan dengan dimensi keindahan atau nilai-nilai keindahan dari suatu ilmu, terutama bila berkaitan dengan aspek aplikasinya dalam kehidupan masyarakat.
F. Kebenaran Ilmu Ilmu pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk menjelaskan berbagai
fenomena
empiris yang terjadi di alam ini, tujuan dari upaya tersebut adalah untuk memperoleh suatu pemahaman yang benar atas fenomena tersebut. Terdapat kecenderungan yang kuat sejak berjayanya kembali akal pemikiran manusia adalah keyakinan bahwa ilmu merupakan satu-satunya sumber kebanaran, segala sesuatu penjelasan yang tidak dapat atau tidak mungkin diuji, diteliti, atau diobservasi adalah sesuatu yang tidak benar, dan karena itu tidak patut dipercayai. Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah dapat dijawab dengan ilmu, banyak sekali hal-hal yang merupakan konsern manusia, sulit, atau bahkan tidak mungkin dijelaskan oleh ilmu seperti masalah Tuhan, Hidup sesudah mati, dan hal-hal lain yang bersifat non – empiris. Oleh karena itu bila manusia hanya mempercayai kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, maka dia telah mempersempit kehidupan dengan hanya mengikatkan diri dengan dunia empiris, untuk itu diperlukan pemahaman tentang apa itu kebenaran baik dilihat dari jalurnya (gradasi berfikir) maupun macamnya. Bila dilihat dari gradasi berfikir kebenaran dapat dikelompokan kedalam empat gradasi berfikir yaitu : 1) Kebenaran biasa. Yaitu kebenaran yang dasarnya adalah common sense atau akal sehat. Kebenaran ini biasanya mengacu pada pengalaman individual tidak tertata dan sporadis sehingga cenderung sangat subjektif sesuai dengan variasi pengalaman yang dialaminya. Namun demikian seseorang bisa menganggapnya sebagai kebenaran apabila telah dirasakan manfaat praktisnya bagi kehidupan individu/orang tersebut. 68
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
2) Kebenaran Ilmu. Yaitu kebenaran yang sifatnya positif karena mengacu pada fakta-fakta empiris, serta memungkinkan semua orang untuk mengujinya dengan metode tertentu dengan hasil yang sama atau paling tidak relatif sama. 3) Kebenaran Filsafat. Kebenaran model ini sifatnya spekulatif, mengingat sulit/tidak mungkin dibuktikan secara empiris, namun bila metode berfikirnya difahami maka seseorang akan mengakui kebenarannya. Satu hal yang sulit adalah bagaimana setiap orang dapat mempercayainya, karena cara berfikir dilingkungan filsafatpun sangat bervariasi. 4) Kebenaran Agama. Yaitu kebenaran yang didasarkan kepada informasi yang datangnya dari Tuhan melalui utusannya, kebenaran ini sifatnya dogmatis, artinya ketika tidak ada kefahaman atas sesuatu hal yang berkaitan dengan agama, maka orang tersebut tetap harus mempercayainya sebagai suatu kebenaran. Dari uraian di atas nampak bahwa maslah kebenaran tidaklah sederhana, tingkatantingkatan/gradasi berfikir akan menentukan kebenaran apa yang dimiliki atau diyakininya, demikian juga
sifat kebenarannya juga berbeda. Hal ini menunjukan bahwa bila seseorang berbicara
mengenai sesuatu hal, dan apakah hal itu benar atau tidak, maka pertama-tama perlu dianalisis tentang tataran berfikirnya, sehingga tidak serta merta menyalahkan atas sesuatu pernyataan, kecuali apabila pembicaraannya memang sudah mengacu pada tataran berfikir tertentu. Dalam konteks Ilmu,
kebenaran pun mendapatkan perhatian yang srius, pembicaraan
masalah ini berkaitan dengan validitas pengetahuan/ilmu, apakah pengetahuan yang diliki seseorang itu benar/valid atau tidak, untuk itu para akhli mengemukakan berbagai teori kebenaran (Theory of Truth), yang dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis teori kebenaran yaitu : 1) Teori korespondensi (The Correspondence theory of truth). Menurut teori ini kebenaran, atau sesuatu itu dikatakan benar apabila terdapat kesesuaian antara suatu pernyataan dengan faktanya (a proposition-or meaning-is true if there is a fact to which it correspond, if it expresses what is the case). Menurut White Patrick “truth is that which conforms to fact, which agrees with reality, which corresponds to the actual situation. Truth, then can be defined as fidelity to objective reality”. Sementara itu menurut Rogers, keadaan benar (kebenaran) terletak dalam kesesuaian antara esensi atau arti yang kita berikan dengan esensi yang terdapat di dalam objeknya. Contoh : kalau seseorang menyatakan bahwa Jakarta adalah ibukota Indonesia, maka pernyataan itu benar kalau dalam kenyataannya memang ibukota Indonesia itu Jakarta.
69
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
2) Teori Konsistensi (The coherence theory of truth). Menurut teori ini kebenaran adalah keajegan antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah diakui kebenarannya, jadi suatu proposisi itu benar jika sesuai/ajeg atau koheren dengan proposisi lainnya yang benar. Kebenaran jenis ini biasanya mengacu pada hukum-hukum berfikir yang benar. Misalnya Semua manusia pasti mati, Uhar adalah Manusia, maka Uhar pasti mati, kesimpulan uhar pasti mati sangat tergantung pada kebenaran pernyataan pertama (semua manusia pasti mati). 3) Teori Pragmatis (The Pragmatic theory of truth). Menurut teori ini kebenaran adalah sesuatu yang dapat berlaku, atau dapat memberikan kepuasan, dengan kata lain sesuatu pernyataan atau proposisi dikatakan benar apabila dapat memberi manfaat praktis bagi kehidupan, sesuatu itu benar bila berguna. Teori-teori kebenaran tersebut pada dasarnya menunjukan titik berat kriteria yang berbeda, teori korespondensi menggunakan kriteria fakta, oleh karena itu teori ini bisa disebut teori kebenaran empiris, teori koherensi menggunakan dasar fikiran sebagai kriteria, sehingga bisa disebut sebagai kebenaran rasional, sedangkan teori pragmatis menggunakan kegunaan sebagai kriteria, sehingga bisa disebut teori kebenaran praktis.
G. Keterbatasan Ilmu Hubungan antara filsafat dengan ilmu yang dapat terintegrasi dalam filsafat ilmu, dimana filsafat mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ilmu, menunjukan adanya keterbatasan ilmu dalam menjelaskan berbagai fenomena kehidupan. Disamping itu dilingkungan wilayah ilmu itu sendiri sering terjadi sesuatu yang dianggap benar pada satu saat ternyata disaat lain terbukti salah, sehingga timbul pertanyaan apakan kebenaran ilmu itu sesuatu yang mutlak ?, dan apakah seluruh persoalan manusia dapat dijelaskan oleh ilmu ?. pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya menggambarkan betapa terbatasnya ilmu dalam mengungkap misteri kehidupan serta betapa tentatifnya kebenaran ilmu. Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya diungkapkan pendapat para ahli berkaitan dengan keterbatasan ilmu, para akhli tersebut antara lain adalah : a) Jean Paul Sartre menyatakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang sudah selesai terfikirkan, sesuatu hal yang tidak pernah mutlak, sebab selalu akan disisihkan oleh hasil-hasil penelitian dan percobaan baru yang dilakukan dengan metode-metode baru atau karena adanya
70
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
perlengkapan-perlengkapan yang lebih sempurna, dan penemuan baru tiu akan disisihkan pula oleh akhli-akhli lainnya. b) D.C Mulder menyatakan bahwa tiap-tiap akhli ilmu menghadapi soal-soal yang tak dapat dipecahkan dengan melulu memakai ilmu itu sendiri, ada soal-soal pokok atau soal-soal dasar yang melampaui kompetensi ilmu, misalnya apakah hukum sebab akibat itu ?, dimanakah batasbatas lapangan yang saya selidiki ini?, dimanakah tempatnya dalam kenyataan seluruhnya ini?, sampai dimana keberlakuan metode yang digunakan?. Jelaslah bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut ilmu memerlukan instansi lain yang melebihi ilmu yakni filsafat. c) Harsoyo menyatakan bahwa ilmu yang dimiliki umat manusia dewasa ini belumlah seberapa dibandingkan dengan rahasia alam semesta yang melindungi manusia. Ilmuwan-ilmuwan besar biasanya diganggu oleh perasaan agung semacam kegelisahan batin untuk ingin tahu lebih banyak, bahwa yang diketahui itu masih meragu-ragukan, serba tidak pasti yang menyebabkan lebih gelisah lagi, dan biasanya mereka adalah orang-orang rendah hati yang makin berisi makin menunduk. Selain itu Harsoyo juga mengemukakan bahwa kebenaran ilmiah itu tidaklah absolut dan final sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu terbuka untuk peninjauan kembali berdasarkan atas adanya fakta-fakta baru yang sebelumnya tidak diketahui. d) J. Boeke menyatakan bahwa bagaimanapun telitinya kita menyelidiki peristiwa-peristiwa yang dipertunjukan oleh zat hidup itu, bagaimanapunjuga kita mencoba memperoleh pandangan yang jitu tentang keadaan sifatzat hidup itu yang bersama-sama tersusun, namun asas hidup yang sebenarnya adalah rahasiah abadi bagi kita, oleh karena itu kita harus menyerah dengan perasaan saleh dan terharu. Dengan memperhatikan penjelasan di atas, nampak bahwa ilmu itu tidak dapat dipandang sebagai dasar mutlak bagi pemahaman manusia tentang alam, demikian juga kebenaran ilmu harus dipandang secara tentatif, artinya selalu siap berubah bila ditemukan teori-teori baru yang menyangkalnya. Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan berkaitan dengan keterbatasan ilmu yaitu : a)
Ilmu hanya mengetahui fenomena bukan realitas, atau mengkaji realitas sebagai suatu fenomena (science can only know the phenomenal, or know the real through and as phenomenal (R. Tennant)
b)
Ilmu hanya menjelaskan sebagian kecil dari fenomena alam/kehidupan manusia dan lingkungannya 71
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
c)
2015
Kebenaran ilmu bersifat sementara dan tidak mutlak Keterbatasan tersebut sering kurang disadari oleh orang yang mempelajari suatu cabang
ilmu tertentu, hal ini disebabkan ilmuwan cenderung bekerja hanya dalam batas wilayahnya sendiri dengan suatu disiplin yang sangat ketat, dan keterbatasan ilmu itu sendiri bukan merupakan konsern utama ilmuwan yang berada dalam wilayah ilmu tertentu.
H. Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan bahwa filsafat merupakan induk atau ibu dari semua ilmu (mater scientiarum). Karena objek material filsafat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan, pada hal ilmuilmu membutuhkan objek khusus. Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu dari filsafat. Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing ilmu. Dengan kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-masing ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang luas. Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah (Siswomihardjo, 2003). Dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi. Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral. Contohnya filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu. Dalam konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami (Bakhtiar, 2005). Hubungan filsafat dengan ilmu dapat dirumuskan sebagai berikut :
72
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
1. Filsafat mempunyai objek yang lebih luas, sifatnya universal, sedangkan ilmu objeknya terbatas, khusus lapangannya saja. 2. Filsafat
hendak
memberikan
pengetahuan,
insight/pemahaman
lebih
dalam
dengan
menunjukkan sebab-sebab yang terakhir. Sedangkan ilmu juga menunjukkan sebab-sebab, tetapi yang tak begitu mendalam. Dengan satu kalimat dapat dikatakan: -
Ilmu mengatakan “bagaimana” barang-barang itu (to know ..., technical know how, managerial know how ..., secundary causes, and proximate explanation)
-
Filsafat mengatakan “apa” barang-barang itu (to know `what` and `why` ..., first causes, highest principles, and ultimate explanation)
3. Filsafat memberikan sintesis kepada ilmu-ilmu
yang khusus,
mempersatukan, dan
mengkoordinasikannya. 4. Lapangan filsafat mungkin sama dengan lapangan ilmu, tetapi sudut pandangnya berlainan. Jadi, merupakan dua pengetahuan yang tersendiri. Keduanya (filsafat dan ilmu) penting, serta saling melengkapi, juga saling menghormati dan mengakui batas-batas dan sifatnya masing-masing. Inilah yang sering dilupakan sehingga ada ilmuan yang ingin menjadi tuan tanah atas kavling pengetahuan lain. Misalnya, apabila ada seorang dokter berkata, “Setiap saya mengoperasi seorang pasien belum pernah saya melihat jiwanya. Jadi manusia itu tidak memiliki jiwa.” Maka dokter itu menginjak ke lapangan lain dari lapangan ilmu ke lapangan filsafat, sehingga kesimpulannya tidak benar lagi. Untuk melihat hubungan antara filsafat dan ilmu, ada baiknya kita lihat pada perbandingan antara ilmu dengan filsafat dalam bagan di bawah ini, (disarikan dari ; Agraha Suhandi, 1992) Ilmu Segi-segi yang dipelajari dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti
Obyek penelitian yang terbatas Tidak menilai obyek dari suatu sistem nilai tertentu. Bertugas memberikan jawaban
Filsafat Mencoba merumuskan pertanyaan atas jawaban. Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi segi pandangannya bahkan cenderung memandang segala sesuatu secara umum dan keseluruhan Keseluruhan yang ada Menilai obyek renungan dengan suatu makna, misalkan , religi, kesusilaan, keadilan dsb Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu
73
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Kita telah mengadakan perenungan tentang pengertian yang sedalam-dalamnya dari sumber atau wadah kebenaran (obyektivitas) yaitu ilmu dan filsafat. Berikutnya kita akan melihat bagaimana hubungan keduanya dengan agama, sebagai berikut : 1. Ketiganya baik ilmu, filsafat maupun agama merupakan sumber atau wadah kebenaran (obyektivitas) atau bentuk pengetahuan. 2. Dalam pencarian kebenaran (obyektivitas) ketiga bentuk pengetahuan itu masing-masing mempunyai metode, sistem dan mengolah obyeknya selengkapnya sampai habis-habisan. 3. Ilmu bertujuan mencari kebenaran mikrokosmos
(manusia), makro-kosmos (alam) dan
eksistensi Tuhan/Allah. Agama bertujuan untuk kebahagiaan umat manusia dunia akhirat dengan menunjukkan kebenaran asasi dan mutlak itu, baik mengenai mikro-kosmos (manusia), makro-kosmos (alam) maupun Tuhan/Allah itu sendiri.
I. Perbedaan Filsafat dengan Ilmu Selain memiliki hubungan, filsafat dan ilmu juga memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut dapat di lihat dari berbagai objek, yakni: a) Obyek material (lapangan) Filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secra kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu. b) Obyek formal (sudut pandangan) -
Filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ideide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
-
Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainnya.
74
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
-
2015
Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
-
Filsafat memberikan penjelasan yang terakhri, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar (primary cause) sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder (secondary cause)
-
Filsafat selalu berpikir kritis atau selalu mempertanyakan segala hal tanpa ada eksperimen. Sedangkan ilmu selalu dengan eksperiman untuk menemukan jawaban dari pertanyaannya.
J. Pengaruh Filsafat Terhadap Perkembangan Ilmu dan Teknologi Bagaimana filsafat dapat mempengaruhi perkembangan ilmu? Ada beberapa alasan yang mengacu pada pertanyaan ini, yakni untuk mendapatkan ilmu, seseorang hendaknya berada atau ikut andil dalam proses mengenyam ilmu dalam dunia pendidikan, riset dan pengembangan (R & D). Misal dalam proses belajar mengajar dalam dunia pendidikan ini sangat kontras dengan “proses berfikir”. Misal ; ketika seorang siswa bertanya kepada gurunya tentang bagaimana proses terjadinya tetesan-tetesan air yang jatuh dari langit yang telah dikenal oleh semua orang dengan sebutan hujan? Kenapa ikan hanya bisa berenang di dalam air dengan sirip-sirip kecil mereka, sementara burung dengan kedua sayapnya mampu terbang tinggi di angkasa? Kedua pertanyaan ini sangat kontras dengan cara dan proses berfikir mereka. Lalu seorang guru tersebut akan mulai berfikir untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan siswanya. Dari sini, guru tersebut akan mencoba menjelaskan teori yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan itu dan menghubungkannya dengan kekuasaan Yang Maha Esa, lalu mengajak para siswanya untuk berfikir mengenai hal itu secara logika. Nah, secara tidak langsung mereka telah berfilsafat. Sesuai dengan pengertian dasar filsafat yakni “berfikir untuk mencari kebenaran”. Jadi, walaupun mereka tidak menyadari bahwa mereka telah terjun dalam berfikir secara filsafat, tetapi sesungguhnya mereka telah berfilsafat. Perkembangan sejarah manusia selalu diwarnai oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melingkupinya. Hal ini tentunya berbanding lurus dengan upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Teknologi adalah sarana yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Secara definitif, ilmu adalah pengetahuan yang membantu manusia dalam 75
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
mencapai tujuan hidupnya. Maka, patutlah dikatakan, bahwa peradaban manusia sangat bergantung kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini, pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah (Jujun, 2003). Secara lebih spesifik, Eugene Staley menegaskan bahwa teknologi adalah sebuah metode sistematis untuk mencapai setiap tujuan insani (Siti, 2001). Seiring dengan perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan turunannya yang berbentuk teknologi ini, meluas bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia secara sempit. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mendorong manusia mendayagunakan sumber daya alam lebih efektif dan efisien. Pemanfaatan teknologi meluas pada upaya penghapusan kemiskinan, penghapusan jam kerja yang berlebihan, penciptaan kesempatan untuk hidup lebih lama dengan perbaikan kualitas kesehatan manusia, membantu upaya-upaya pengurangan kejahatan, peningkatan kualitas pendidikan, dan sebagainya (Keraf dan Dua, 2001). Bahkan secara lebih komprehensif, ilmu pengetahuan dan teknologi juga dimanfaatkan pemerintah dalam menunjang pembangunannya. Puncaknya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Perkembangan ilmu pengetahuandan teknologi dapat menaikkan kualitas manusia dalam keterampilandan kecerdasannya untuk meningkatkan kemakmuran serta inteligensimanusia. Lebih jauh, ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil mendatangkan kemudahan hidup bagi manusia (Mas‟ud dan Paryono, 1998). Pada tahap selanjutnya, seiring dengan perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan turunannya yang berbentuk teknologi ini, meluas bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia secara sempit. Pemanfaatan teknologi meluas pada upaya penghapusan kemiskinan, penghapusan jam kerja yang berlebihan, penciptaan kesempatan untuk hidup lebih lama dengan perbaikan kualitas kesehatan manusia, membantu upaya-upaya pengurangan kejahatan, peningkatan kualitas pendidikan, dan sebagainya (Sonny dkk., 2001). Bahkan secara lebih komprehensif, ilmu pengetahuan dan teknologi juga dimanfaatkan pemerintah dalam menunjang pembangunannya. Misalnya dalam perencanaan dan programing pembangunan, organisasi pemerintah dan administrasi negara untuk pembangunan sumber-sumber insani, dan teknik pembangunan dalam sektor pertanian, industri, dan kesehatan. 76
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Puncaknya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan saja membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Lebih jauh, ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil mendatangkan kemudahan hidup bagi manusia. Bendungan, kalkulator, mesin cuci, kompor gas, kulkas, OHP, slide, TV, tape recorder, telephon, komputer, satelit, pesawat terbang, merupakan produk-produk teknologi yang, bukan saja membantu manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi membuat hidup manusia semakin mudah (Ibnu, 1998). Manfaat-manfaat inilah yang mula-mula menjadi tujuan manusia mengembangkan ilmu pengetahuan hingga menghasilkan teknologi. Mulai dari teknologi manusia purba yang paling sederhana berupa kapak dan alat-alat sederhana lainnya. Sampai teknologi modern saat ini, yang perkembangannya jauh lebih pesat dari perkembangan teknologi sebelumnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini sanggup membawa berkah bagi umat manusia berupa kemudahankemudahan hidup, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan dalam benak manusia. Kembali kesistem pengajaran, bahwa dalam dunia pendidikan yang sekarang berbeda dengan sistem pengajaran di masa yang lalu. Inilah bukti bahwa ilmu telah mengalami perkembangan yang signifikan. Jika di masa yang lalu guru /dosen dituntut untuk lebih aktif dalam mengajari para siswanya, sehingga setiap pertanyaan yang diajukan oleh para siswa terfokus pada jawaban guru tersebut. Dapat dikatakan bahwa setiap pertanyaan tersebut mutlak akan dijawab oleh guru. Tetapi sistem pengajaran di zaman sekarang telah sangat berbeda dan mengalami perkembangan. Pihak-pihak yang berperan penting dalam dunia pendidikan telah berfikir kefilsafatan sehingga muncullah ide-ide baru yang lebih efektif dalam proses belajar mengajar di dunia pendidikan yang sekarang. Jika di masa yang lalu guru mutlak menjawab segala pertanyaan siswa, di zaman sekarang siswa dituntut untuk lebih aktif. Jika ada siswa yang mengajukan pertanyaan, maka guru akan mengembalikan pertanyaan tersebut kepada siswa yang lain lagi untuk menjawabnya. Jika tidak ada satupun dari seluruh siswa yang dapat menjawab, maka barulah guru tersebut mengambil alih pertanyaan tersebut kemudian menjawabnya, tetapi tetap dituntut untuk memancing pendapat para siswanya untuk lebih mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Di sinilah proses berfikir secara filsafat dapat kita temukan lagi. Jadi, dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat telah memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
77
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Bagian IV Filsafat Dalam Perspektif Ilmu Manajemen
A. Latar Belakang Manajemen telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, semenjak jaman purbakala. Era bercocok tanam pada manusia purba mengharuskan kelompok untuk mengatur anggota dan menerapkan teknik pertanian ataupun perburuan sedemikian rupa sehingga tujuan kelompok dapat tercapai. Para ahli paleoantropologi mengemukakan tentang nenek moyang manusia homo hobilis yang merupakan spesies yang terampil dalam menggunakan peralatan, homo erectus yang pertama kali
berdiri
tegak
dan
homo
sapiens
yang
merupakan
mahluk
pemikir
(Wren
&
Bedeian,2009;10/Dalam Baskara, 2013) Perkembangan evolusi umat manusia sejalan dengan perkembangan kemampuan dalam keterampilan hidup, pengorganisasian kelompok dan spesialisasi dalam kelompok yang merupakan fondasi dasar dari teknik manajemen. Walaupun praktek manajemen telah lama berlangsung, tetapi studi formal tentang pengetahuan manajemen merupakan sesuatu yang relatif baru. Studi terkait sejarah pemikiran manajemen merupakan salah satu studi yang banyak diperdebatkan, baik dalam ranah kaijan ilmiah maupun dalam ranah aplikasi praktis. Pertanyaan mengenai apakah studi sejarah ini relevan dengan studi manajemen yang lebih menitikberatkan pada metode, teknik, maupun model-model baru dalam manajemen cukup sering dikemukakan oleh para pakar. Namun para pakar sejarah manajemen berpendapat bahwa, dengan mengetahui apa yang terjadi atau apa yang menjadi pemikiran di masa lalu akan dapat memperkaya masa kini, dan juga sebagai acuan dalam memprediksi masa depan. Salah satu kunci sukses dalam manajemen adalah kemampuan untuk memahami dan mengaplikasikan prinsip dan teknik manajemen secara efektif. Para manajer dan pemimpin harus mempunyai pengetahuan yang cukup terkait teori dan model-model baik yang sudah lama digunakan maupun yang baru. Dari perspektif sejarah, pemikiran tentang manajemen telah banyak menghasilkan teori dan konsep dalam pengelolaan organisasi. Daniel Wren dalam bukunya yang berjudul “The evolution of management thought” mengemukakan bahwa manajemen telah dipelajari dan dipraktekkan oleh hampir semua individu, dimana hal ini dapat memberikan kekuatan serta keyakinan bahwa manajemen memiliki sejarah panjang. Untuk mengelola berbagai upaya, manajemen dipandang 78
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
sebagai aktivitas dengan fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai akuisisi, alokasi dan utilisasi yang efektif dari sumberdaya manusia dan fisik untuk mencapai sejumlah tujuan. Sedangkan, apa yang dimaksud dengan pemikiran manajemen adalah pengetahuan tentang aktivitas, fungsi-fungsi, tujuan dan cakupan manajemen. Pelajaran masa lalu yang ada sebaiknya didekati sebagai perspektif sejarah, bukan riset sejarah (Wren & Bedeian,2009;3/Dalam Baskara, 2013). Lebih lanjut Arthur Bedeian menyatakan bahwa literatur sejarah pemikiran manajemen dapat dibedakan dalam tiga kategori yakni : general reference works (referensi standar), academics treaties (kajian akademik), dan biographical atau autobiographical nature (Wren & Bedeian,2009;4/Dalam Baskara, 2013). Sejarah pemikiran manajemen akan memberikan cetak biru bagi perusahaan yang modern, dari Sumber Daya Manusia (SDM) ke Research and Development (R&D) hingga keuangan dan manufacturing. Temuan tertua terkait teknik manajemen ditemukan di wilayah Irak, yakni di kota Ur. Temuan tersebut diperkirakan berasal dari masa 3000 tahun sebelum masehi. Para pendeta Sumeria (kerajaan yang menguasai wilayah tersebut) mencatat transaksi keuangan terkait perdagangan pada sebuah plat yang terbuat dari tanah liat. Di wilayah Mesir yang merupakan situs arkeologi tertua setelah wilayah Mesopotamia di Irak, ditemukan papirus yang berisi catatan tentang pengelolaan organisasi dan administrasi dalam birokrasi kerajaan. Papirus ini diperkirakan berasal dari masa 1300 tahun sebelum masehi. Penemuan-penemuan serupa juga banyak ditemukan di China, yang juga merupakan salah satu peradaban tertua di dunia (Pindur et.al,1995;59/Dalam Baskara, 2013). Sekitar masa 400 tahun sebelum masehi, Socrates seorang filsuf Yunani mendeskripsikan manajemen sebagai sebuah gabungan dari keterampilan teknis dan pengalaman (Higgins, 1991:33/Dalam Baskara, 2013). Seorang filsuf Yunani lain yakni Plato dalam karyanya yang terkenal berjudul “The Republic” menguraikan tentang pentingnya pengembangan keterampilan dan pengetahuan pada para generasi muda yang berbakat untuk dipersiapkan sebagai seorang pemimpin. Dalam karyanya tersebut Plato juga mendeskripsikan manajemen sebagai sebuah seni dan penekanan pada prinsip spesialisasi (Griffin, 1990:29/Dalam Baskara, 2013). Catatan formal berikutnya yang ditemukan terkait teknik dan model manajemen adalah dari era kejayaan bangsa Romawi yang menggunakan teknik manajemen dalam pengelolaan wilayah kerajaan mereka yang amat luas. Teknik manajemen juga diterapkan pada pengorganisasian bala tentara yang digunakan untuk melakukan penaklukan wilayah-wilayah yang jauh. Diocletian seorang kaisar romawi yang berkuasa pada era sekitar tahun 284, diketahui melakukan reorganisasi 79
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
kekaisarannya menjadi 101 propinsi, dan mengelompokkannya menjadi 13 dioceses (istilah untuk keuskupan). Hal ini menandakan dimulainya pemikiran dan praktik terkait delegasi wewenang dan rantai komando (Osigweh, 1985;5-6/Dalam Baskara, 2013). Di India pada sekitar tahun 332-298 SM muncul sebuah karya yang berjudul “Arthasastra” yang disusun oleh Chanakya Kautilya, yang merupakan seorang menteri yang disegani oleh Chandragupta Maurya seorang negarawan besar India. Dalam karyanya tersebut Kautilya menguraikan tentang administrasi publik di India pada jaman itu dan bagaimana membangun serta mengelola aspek ekonomi, politik dan sosial masyarakat. Dimana disebutkan bahwa untuk mengatur pegawai di kerajaan dalam bekerja sepenuhnya guna kepentingan raja, dibutuhkan closed control, severe punishment, dan jaringan pengawasan. Dalam Arthasastra juga dijelaskan mengenai bagaimana memilih pegawai melalui interview dan analisis referensi atau latar belakang seorang calon karyawan. Seorang calon pegawai juga harus melalui serangkaian test untuk menguji loyalitas mereka (Wren & Bedeian,2009;15-16/Dalam Baskara, 2013). Berbagai temuan tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa praktek manajemen dengan menerapkan metode, teknik dan sistem yang terstruktur telah lama dilakukan. Kajian sejarah diperlukan untuk mengidentifikasi dan merevitalisasi berbagai temuan terkait konsep-konsep manajemen jaman dulu agar dapat diperbandingkan dengan keadaan sekarang. Walaupun praktek manajemen telah lama dilakukan, namun secara formal kajian praktek manajemen berkembang pesat saat terjadinya revolusi industri. Revolusi industri (terjadi kurang lebih 200 ratus tahun lalu) merubah secara drastis bagaimana dunia menghasilkan barang secara massal dan dalam waktu yang secara signifikan sangat cepat dibanding dengan jaman sebelumnya, yang dikerjakan secara manual. Keadaan ini sekaligus merubah masyarakat yang kebanyakan menyandarkan hidupnya dari hasil pertanian kemudian beralih pekerjaan di industri dan perusahaan manufaktur. Sebagai suatu disiplin ilmiah, manajemen masih tergolong muda usianya. Praktek bisnis yang dilakukan oleh perusahaan-perusahan dengan menggunakan modal raksasa juga sama. VOC Belanda adalah perusahaan multinasional dengan modal besar yang kiranya pertama kali muncul tercatat di dalam sejarah. Di Eropa pada masa yang sama, perusahaan produsen Katun di Manchester milik Friedrich Engels adalah yang terbesar. Jika anda ingat Engels adalah sahabat dekat Karl Marx. Selamat bertahun-tahun Engels membantu Marx dalam urusan finansial. Mereka bahkan pernah menulis buku bersama. Engels adalah seorang pengusaha katun. Di perusahaannya 80
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
tidak ada manajer, dalam arti seperti yang kita kenal sekarang ini. (Drucker, 2001, 3) Yang ada adalah mandor, yang sebenarnya juga adalah pekerja. Sang mandor menjaga efektivitas dan displin pekerjanya. Marx menyebut kelompok pekerja saat itu sebagai “kelompok proletar”. Dapat juga dikatakan bahwa perusahaan katun milik Engels belumlah mengenal manajemen. Yang mereka kenal adalah pembagian kerja, yang sebenarnya hanya merupakan satu aspek kecil dari manajemen. Sekarang ini manajemen sebagai ilmu sudah berkembang begitu pesat. Bahkan menurut Drucker, manajemen adalah salah satu displin ilmu yang berkembang paling pesat dalam sejarah. (Drucker, 2001, 4) Dalam waktu singkat yakni sekitar 150 tahun, manajemen sebagai displin telah memberikan pengaruh yang begitu besar bagi peradaban manusia. Praktek manajemen telah mengubah kegiatan penataan bisnis di negara-negara Barat. “Praktek manajemen”, demikian Drucker, “telah menciptakan ekonomi global dan membuat peraturan-peraturan baru untuk negaranegara yang hendak berpartisipasi di dalam ekonomi sebagai orang-orang yang setara.” (Drucker, 2001). Orang yang tidak memahami manajemen akan mengalami kegagapan menghadapi berbagai perubahan dan tantangan yang muncul di abad ke-21 ini. Tujuan dasar dari manajemen adalah untuk membuat beragam orang bekerja sama untuk tujuan yang sama, berpijak pada nilai-nilai yang sama, struktur kerja yang sama, pelatihan yang sama, dan perkembangan bersama yang diarahkan untuk menanggapi berbagai perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. (Drucker, 2001, 5). Sampai sekarang tujuan itu masih sama. Namun yang berubah sekarang adalah ukuran dan kualitas dari tata bisnis yang dilakukan. Dulu manajemen hanya berfokus untuk mengatur sekumpulan orang yang tidak memiliki keahlian apapun, dan hanya bekerja untuk tujuan-tujuan jangka pendek saja. Sekarang dan akan terus berkembang di masa depan, manajemen digunakan untuk mengatur orang-orang yang memiliki pendidikan dan keahlian yang tinggi. Mereka mengabdi tidak hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan jangka pendek, tetapi untuk masa depan kebudayaan manusia dan memiliki pengaruh yang sangat luas ke seluruh dunia. (Drucker, 2001) Para pemimpin dunia dan pemikir di bidang akademik mulai menyadari pentingnya praktek dan analisis manajemen sejak awal perang dunia pertama. Namun jumlah mereka masihlah sangat sedikit. Menurut Drucker sekarang ini sepertiga dari penduduk dunia adalah mereka yang juga dikenal sebagai “para manajer yang profesional” di bidangnya masing-masing. (Drucker, 2001, 5) Dalam arti ini para manajer profesional tersebut juga menjadi agen perubahan yang signifikan, baik dalam segi kualitas maupun kuantitas. “Manajemen”, demikian tulis Drucker, “telah menjelaskan 81
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
mengapa, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, kita dapat mempekerjakan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang besar dalam jumlah banyak untuk melakukan suatu kerja yang produktif.” (Drucker, 2001) Memang tidak ada masyarakat sebelumnya yang bisa melakukan hal ini. Tidak hanya dulu pada awal abad kedua puluh, belum ada orang yang sungguhsungguh mengerti, bagaimana mengatur orang-orang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang berbeda-beda untuk mewujudkan tujuan bersama. Drucker lebih jauh menulis, bahwa Cina telah maju lebih dahulu dalam hal manajemen, jika dibandingkan dengan peradaban Barat. Kekaisaran Cina kuno mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi semua orang, baik yang berpendidikan ataupun tidak. Pada waktu itu tidak ada satupun negara Eropa yang mampu melakukan hal yang sama. Sekarang ini menurut Drucker, Amerika Serikat memiliki jumlah penduduk yang sama dengan Kekaisaran Cina Kuno dulu. Sekitar 1 juta mahasiswa lulus dari perguruan tinggi setiap tahunnya. Hanya sedikit diantara mereka yang mampu menemukan pekerjaan yang tepat dengan pendapatan yang juga tepat. (Drucker, 2001, 5) Sekarang ini pengetahuan seorang ahli adalah pengetahuan yang sangat terspesialisasi. Seorang bisa sangat memahami struktur tulang binatang tertentu, tetapi bisa buta sama sekali terhadap bidang lainnya. Jika bekerja sendirian seorang ahli tidak akan menghasilkan apapun. Dalam hal ini praktek manajemen memungkinkan beberapa ahli yang memiliki pengetahuan berbeda untuk mencapai tujuan yang sama secara produktif. Praktek bisnis modern mempekerjakan sepuluh ribu orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang beragam, serta mengarahkannya untuk mewujudkan suatu tujuan secara produktif. Mereka adalah para ahli yang berasal dari sekitar 60 displin ilmu yang berbeda, seperti para insinyur dengan bidang-bidangnya masing-masing, desainer, ahli marketing, ahli ekonomi, akuntan, ahli sumber daya manusia, dan sebagainya. Tanpa praktek manajemen yang tepat, kecil kemungkinan para ahli tersebut mampu menghasilkan sesuatu yang signifikan bagi kehidupan bersama. Dengan demikian praktek manajemen, yang didasarkan pada teori yang tepat, dapat membuat beragam pengetahuan yang berbeda, yang dimiliki juga oleh orang yang berbeda, menjadi efektif dan produktif. “Berkembangnya praktek manajemen”, demikian Drucker, “telah mengubah pengetahuan dari hanya ornamen sosial menjadi modal utama untuk ekonomi.” (Drucker, 2001) Menurut Adam Smith setiap masyarakat membutuhkan waktu setidaknya seratus tahun untuk menciptakan tradisi tumbuhnya pekerja ahli pada level teknis dan manajerial, dan terciptanya masyarakat yang siap menjadi konsumen dari produk-produk mereka. Akan tetapi realitasnya 82
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
berbicara berbeda. Pada waktu perang dunia pertama meletus, banyak sekali pekerja yang tidak memiliki keahlian apapun „dipaksa‟ untuk menjadi pekerja profesional di pabrik-pabrik nyaris dalam waktu sekejap mata. Banyak perusahaan di Eropa menerapkan suatu paradigma ekonomi baru, yakni mempekerjakan banyak orang dalam skala pekerjaan yang juga masif. Para manajer pabrik besar melakukan analisis atas tipe-tipe pekerjaan yang mungkin, dan membaginya ke dalam bagian-bagian kecil, sehingga teknik yang dibutuhkan untuk memenuhi bagian kecil itu bisa dipelajari dalam waktu singkat. Misalnya sebuah pabrik ingin memproduksi mobil. Tidak perlu ada sekelompok orang yang membuat mobil. Mobil dibagi ke dalam bagian-bagian, seperti roda, kaca, badan mobil, dan sebagainya. Roda pun dibagi lagi ke dalam bagian kecil-kecil, seperti karetnya, mur, ataupun bagian cat. Bagian kecil-kecil tersebut dipegang oleh beberapa orang. Mereka bisa mempelajari teknik membuat bagian yang kecil-kecil tersebut dalam waktu singkat. Cara berpikir dan praktek manajemen semacam ini juga dipraktekkan oleh Jepang beberapa waktu setelah perang dunia pertama. Dua puluh tahun setelah perang dunia kedua berakhir, Korea Selatan menerapkan cara yang sama. Akibatnya mereka memperoleh kemajuan industri dalam waktu singkat, dan bisa merebut pasar di negara-negara lain. Pada dekade 1930-an beberapa ahli manajemen dari Harvard Business School, seperti Thomas Watson, Robert E. Wood, Roebuck, an George Mayo, mulai mempertanyakan kembali mekanisme produksi dan manajemen yang tengah berlangsung. Mereka pun berpendapat bahwa cara berpikir dan praktek manajemen yang lama tersebut sudah tidak lagi memadai. Walaupun produktif tetapi manajemen semacam itu tidak fleksibel, menguras banyak modal, tidak memanfaatkan aspek sumber daya manusia secara maksimal, dan memiliki pengaturan yang tidak tepat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu cara manajemen baru. Para ahli tersebut berpaling para sistem manajemen berbasis pengetahuan (knowledge based management). “Setiap orang di dalam sistem inovatif ini”, demikian Drucker, “akan menerapkan pengetahuan ke dalam pekerjaan, sistem dan informasi akan menggantikan kerja tangan dan kerja alat.” (Drucker, 2001, 7) Dalam arti ini mereka menggantikan semboyan “kerja keras” menjadi “kerja cerdas”. (Drucker, 2001) Jadi kita sudah melihat lahirnya sebuah displin ilmiah dan praktek baru, yakni praktek manajemen. Suatu teknik yang sebenarnya sudah lama berkembang di dalam peradaban manusia, tetapi baru sungguh menjadi bagian dari pengetahuan pada awal abad kedua puluh ini. Manajemen telah berubah paradigma, mulai dari manajemen berbasis bagian-bagian kecil dengan skala masif 83
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
menjadi manajemen yang berbasis pada pengetahuan dalam bentuk informasi dan komunikasi yang sistematis. Pertanyaan tetaplah sama apa sebenarnya yang dimaksudkan sebagai manajemen ini? Apakah manajemen itu melulu terkait dengan teknik dan tips-tips praktis untuk mengatur orang? Atau ada yang lain? Apa dimensi filosofis dari manajemen?
B. Dimensi Filosofis Manajemen Menurut Drucker manajemen memang meliputi suatu area disiplin ilmiah dan praktek yang luas. Akan tetapi cara berpikir dan praktek manajemen memiliki beberapa prinsip esensial yang bersifat filosofis. (Drucker, 2001, 10) : -
Pertama, manajemen adalah soal manusia. Fungsi utama manajemen adalah memungkinkan terjadinya kerja sama, yakni untuk membuat kekuatan orang-orang yang berbeda menjadi relevan, dan kelemahan mereka menjadi tidak relevan. Ini adalah alasan dari keberadaan organisasi, apapun bentuknya. Dalam hal ini praktek manajemen sangatlah penting. Misalnya ada orang yang memiliki kemampuan arsitektur yang hebat. Akan tetapi ia tidak mampu melakukan penghitungan uang secara cermat. Ia lemah dalam soal keuangan. Di dalam organisasi kelebihan orang itu, yakni dalam hal menciptakan bagan arsitektur yang akurat, dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mendatangkan keuntungan. Sementara kelemahannya yakni ketidakmampuannya menghitung uang secara cermat, bisa menjadi tidak relevan, karena organisasi tersebut telah mempekerjakan orang yang bisa menghitung uang secara cermat. Dalam hal ini kelemahan si arsitek menjadi tidak relevan. Sementara kelebihannya menjadi sangat berguna. Dewasa ini semua orang praktis bekerja dalam suatu organisasi yang memiliki pola manajemen tertentu, baik itu besar maupun kecil. “Kemampuan kita untuk berkontribusi di dalam masyarakat”, demikian Drucker, “juga sangat tergantung dari sejauh mana kemampuan, dedikasi, dan usaha kita dipergunakan oleh organisasi tempat kita bekerja.” (Drucker, 2001, 11) Seorang ahli biokimia tidak akan bekerja secara maksimal, jika ia bekerja sebagai penjual roti. Ia akan bekerja secara maksimal pada tempat, di mana kemampuannya sungguh dihargai dan dapat digunakan sebaik mungkin, seperti di perusahaan obat, atau di universitas misalnya. Di perusahaan obat atau universitas, si ahli biokimia bisa memberikan kontribusi yang signifikan bagi masyarakat sesuai dengan potensi yang ia miliki. 84
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
-
Kedua, karena manajemen terkait dengan integrasi dari beragam orang untuk mencapai tujuan yang sama, maka praktek tersebut berakar kuat di dalam kultur. Praktek manajemen di manapun tempat
dilakukannya, pada hakekatnya, adalah sama.
Akan tetapi
pola
penerapannyalah yang berbeda. Menurut Drucker salah satu tantangan terbesar bagi para praktisi manajemen sekarang ini adalah menemukan pola manajerial yang cocok dengan kultur tempat mereka hidup dan berkembang. Pola itulah yang bisa dijadikan tititk tolak untuk melakukan praktek manajemen secara tepat. (Drucker, 2001) Salah satu kunci sukses Jepang meraih kemajuan pesat di bidang manajerial adalah kemampuan mereka menemukan pola praktek manajemen yang sesuai dengan kultur yang mereka miliki. Pola manajemen berbasis kultur inilah yang mendorong mereka mengembangkan berbagai bidang kehidupan, baik ekonomi, politiks, sosial, dan budaya. -
Ketiga, setiap organisasi apapun bentuknya selalu membutuhkan komitmen tertentu pada tujuan bersama (common goal), dan diikat oleh nilai-nilai bersama (common values). “Sebuah perusahaan”, demikian Drucker, “haruslah memiliki tujuan yang jelas, sederhana, dan menyatukan.” (Drucker, 2001, 12) Tanpa komitmen kepada tujuan tersebut, tidak ada organisasi. Yang ada adalah gerombolan (mob). Tujuan bersama tersebut juga haruslah jelas, bersifat publik, dan secara konsisten diingatkan serta dipastikan kembali. Tugas utama seorang manajer adalah untuk memikirkan secara mendalam, merumuskan, dan mewujudkan tujuan serta nilai-nilai bersama tersebut.
-
Keempat, Drucker lebih jauh menjelaskan bahwa praktisi manajemen haruslah mampu membawa organisasi untuk berkembang dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Ia harus mampu membaca situasi, dan memanfaatkan semua peluang yang mungkin diraih. Dalam arti ini setiap organisasi adalah sebuah tempat, di mana aktivitas belajar dan mengajar terjadi. Pelatihan dan pengembangan haruslah dilakukan terus menerus di semua jenjang organisasi. (Drucker, 2001)
-
Kelima, setiap organisasi selalu terdiri dari beragam orang dengan beragam pengetahuan dan ketrampilan. Mereka melakukan pekerjaan yang berbeda-beda, sesuai dengan kemampuannya. Semua aktivitas tersebut haruslah dilakukan atas dasar komunikasi dan tanggung jawab individu yang kokoh. Dalam hal ini semua anggota organisasi haruslah sungguh memahami tujuan dari aktivitas yang mereka lakukan. Tujuan tersebut haruslah diresapi tidak hanya oleh pimpinan organisasi, tetapi oleh seluruh anggotanya. Setiap anggota harus memahami dan meresapi tujuan 85
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
organisasi ini. Setiap anggota juga harus memikirkan apa kaitan aktivitas mereka dengan aktivitas anggota lainnya, dan memastikan bahwa anggota lain juga melakukan hal yang sama, yakni mempertimbangkan kepentingan anggota lainnya. Dengan demikian ontologi dari praktek manajemen adalah komunikasi dan tanggung jawab individual yang saling terkait satu sama lain tanpa bisa terlepaskan. (Drucker, 2001, 12) -
Keenam, bagaimana menilai kemajuan suatu organisasi? Kriteria apa yang dapat kita gunakan untuk melakukan itu? Memang produktivitas, luasnya pasar, status finansial, dan pengembangan sumber daya manusia sangatlah penting bagi keberlangsungan suatu organisasi. Akan tetapi menurut Drucker, sama seperti penilaian atas kesehatan dan perkembangan manusia tidak bisa hanya dibuat dengan satu kriteria, begitu pula penilaian atas kinerja organisasi tidak bisa dibuat hanya dengan satu kriteria. Kriteria yang ada haruslah beragam dan terus berkembang sesuai dengan perubahan situasi. (Drucker, 2001)
-
Ketujuh, daya guna dan hasil suatu organisasi terletak di luar organisasi itu sendiri. “Hasil dari praktek bisnis”, demikian Drucker, “adalah konsumen yang puas.” (Drucker, 2001, 12) Misalnya daya guna dari rumah sakit adalah pasien yang telah sembuh. Daya guna dari sekolah adalah murid yang telah mempelajari sesuatu, dan menggunakannya untuk bekerja sepuluh tahun kemudian. Itu semua adalah hasil dan daya guna dari suatu organisasi. Semua itu bisa ditemukan di luar organisasi. Di dalam organisasi yang ada hanyalah biaya dan pengeluaran. Inilah prinsip dasar dan alasan keberadaan dari sebuah manajemen organisasi.
C. Manajemen yang Filosofis Praktek manajemen berurusan dengan tindakan dan aplikasi. Ujian terhadap berhasil tidaknya praktek manajemen adalah hasilnya. Akan tetapi hasil itu tidak melulu terkait dengan uang (economic performance), tetapi juga dengan manusia, nilai-nilainya, dan perkembangannya. Inilah yang membuat manajemen terkait erat dengan kemanusiaan. Bahkan bisa juga dibilang, dimensi filosofis terdalam dari manajemen adalah sisi kemanusiaannya. Manajemen terkait erat juga dengan struktur sosial dari komunitas, di mana praktek manajemen tersebut dilaksanakan. Berbicara melalui pengalaman bertahun-tahun bekerja sama dengan para praktisi manajemen, Drucker berpendapat, bahwa manajemen sangatlah terkait dengan moralitas. Moralitas yang juga selalu terkait dengan hakekat dari manusia itu sendiri, sisi baik maupun sisi buruknya. (Drucker, 2001, 13)
86
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Drucker bahkan menyebut manajemen sebagai bagian dari liberal art, atau seni liberal. Disebut liberal karena manajemen terkait dengan pengetahuan, baik tentang diri maupun tentang dunia, kebijaksanaan, dan kepemimpinan. Disebut sebagai seni karena manajemen terkait erat dengan tindakan dan penerapan praktis. “Setiap manajer”, demikian tulis Drucker, “mengambil semua pengetahuan dan inspirasi dari ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial, seperti psikologi, filsafat, ekonomi, sejarah, dan etika, dan juga dari ilmu-ilmu alam. Akan tetapi, para manajer membuat semua pengetahuan ini menjadi fokus dan menghasilkan hasil yang efektif, seperti menyembuhkan orang sakit, mengajar siswa, membangun jembatan,…” (Drucker, 2001) Dengan alasan-alasan yang telah dikemukanan di atas, manajemen adalah suatu praktek yang berfokus pada kemanusiaan. Tujuan utama manajemen adalah supaya kemanusiaan diakui dan dijadikan prinsip utama. Tanpa aspek kemanusiaan manajemen hanyalah alat untuk membenarkan penindasan, atau selubung yang menutupi ketidakadilan.
D. Perumusan Lebih Jauh Dalam Praktek Manajemen Pada titik ini penulis rasa, kita bisa mulai merumuskan dimensi-dimensi filosofis dari praktek manajemen, seperti pengandaian antropologis, sosiologis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis nya, sebagai berikut : -
Pengandaian antropologis adalah paham tentang manusia yang menjadi dasar dari praktek manajemen. Pengandaian ini terkait dengan sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, yakni siapa itu manusia dalam praktek manajemen? Dalam praktek manajemen manusia dipahami sebagai manusia yang memiliki beragam ketrampilan bergabung bersama untuk mewujudkan suatu tujuan. Seperti sudah disinggung sebelumnya, manajemen memungkinan berbagai orang dengan beragam ketrampilan dan ilmu bergabung bersama untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu secara efektif. Seorang ahli nuklir tidak akan bermakna bagi kehidupan bersama, jika ia hanya sendiri. Ia baru sungguh bermakna, jika ia tergabung dalam suatu tim yang terdiri dari beragam orang dan beragam ketrampilan untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu, yang terkait dengan energi nuklir. Mereka bisa secara bersama membangun pembangkit listrik, atau apapun.
-
Pengandaian sosiologis adalah situasi, kondisi, atau tipe masyarakat yang memungkinkan praktek manajemen berlangsung. Tanpa pengandaian sosiologis yang tepat, praktek manajemen juga tidak akan bermakna. Pengandaian sosiologis dari praktek manajemen terkait dengan fakta, bahwa praktek tersebut selalu berakar kuat pada kultur. Warna manajemen sebuah 87
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
organisasi biasanya mencerminkan kultur tertentu yang melatarbelakanginya. Dalam arti ini maka praktek manajemen haruslah berangkat dan berkembang di dalam kultur sosiologis suatu masyarakat. Jika tidak begitu praktek manajemen akan terasa asing, dan justru membuat orang terasing dari kultur yang membuat hidupnya bermakna. Pola manajemen di Eropa Barat dan di Cina berbeda, karena keduanya berangkat dari kultur yang juga berbeda. Jika kita mengatur sebuah organisasi yang berasal dari Cina dengan tata kelola gaya Eropa Barat, maka pengaturan tersebut tidak akan bermakna. Orang-orang Cina yang kita pimpin bisa menanggapi itu sebagai suatu penindasan. Tata kelola atau praktek manajemen tidak akan berjalan. Dengan demikian pengandaian sosiologis dari pratek manajemen adalah kultur, di mana praktek tersebut lahir dan berkembang. -
Pengandaian ontologis dari praktek manajemen adalah hakekat dari praktek manajemen. Hakekat itu merupakan “ada” nya dari manajemen. Inilah esensi dari praktek manajemen. Tanpa hakekat ini praktek manajemen menjadi tidak bermakna. Ontologi dari manajemen adalah jaringan komunikasi intensif antar individu yang memiliki perbedaan keterampilan dan ilmu, namun bekerja untuk mewujudkan tujuan yang sama. Jadi ontologi dari praktek manajemen adalah jaringan komunikasi yang saling bertautan satu sama lain. Jaringan komunikasi itu tidak anonim, melainkan tertata dan mengarah pada tujuan yang jelas. Jaringan komunikasi itu juga mengandaikan adanya tanggung jawab masing-masing individu untuk berkomitmen pada tugas dan tujuan yang ada. Seperti yang juga diingatkan oleh Drucker, tujuan bersama tersebut haruslah terus diingatkan dan dipastikan kembali. Tujuan itu haruslah menjadi bagian dari identitas dan cita-cita bersama. Tanpa itu organisasi tidak lebih dari sebuah gerombolan. Bagaimana pengandaian ontologis tersebut dapat diketahui? Jawaban atas pertanyaan ini membawa kita pada pengandaian epistemologis dari praktek manajemen. Fakta bahwa manajemen merupakan suatu jaringan komunikasi terarah pada tujuan tertentu dapatlah langsung diuji secara empiris maupun analitis. Keluarga, dalam arti keluarga inti ataupun klan, merupakan bentuk organisasi tertua. Bentuk itu berkembang menjadi masyarakat, kota, negara, dan kini berkembang menjadi perusahaan-perusahaan bisnis. Penelitian empiris atas berbagai tipe masyarakat menunjukkan pola yang kurang lebih serupa, walaupun memang karakter hakikinya berbeda-beda. Dengan demikian ontologi manajemen, yakni sebagai jaringan komunikasi intensif antar individu yang memiliki beragam ketrampilan berbeda namun mengabdi pada tujuan yang sama, dapatlah diuji secara inderawi melalui pengalaman langsung. 88
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
-
2015
Pengandaian epistemologi dari praktek manajemen adalah pengalaman empiris dan historisitas manusia. Konsep manajemen sebagai jaringan komunikasi intensif antar beragam individu tersebut juga bisa diuji secara analitis. Konsep jaringan komunikasi sudah ada di dalam konsep manajemen. Manajemen adalah komunikasi, sekaligus lebih dari itu, yakni komunikasi intensif untuk mewujukan suatu tujuan tertentu secara efektif. Definisi ini tidak perlu melulu diuji melalui pengalaman, tetapi dapat dipahami secara analitis dengan akal budi. Seperti pengetahuan bahwa anak dari paman saya adalah sepupu saya, begitu pula konsep manajemen dapat dipahami secara analitis sebagai jaringan komunikasi intensif antar beragam inividu yang mengabdi pada tujuan bersama. Pengetahuan ini bisa diuji secara empiris, historis, maupun analitis.
-
Pengandaian aksiologi adalah cabang dari filsafat yang mempelajari tentang hakekat nilai. Aksiologi mau memahami arti nilai secara umum, dan bukan hanya nilai moral saja. Aksiologi mau mengakui fakta, bahwa banyak nilai yang berkembang di dalam masyarakat, dan nilai tersebut saling berbeda dan bahkan bertentangan satu sama lain. Di dalam praktek manajemen, pada hemat penulis, ada lima nilai yang kiranya menjadi titik tolak, yakni nilai pengabdian, kemanusiaan, ekonomi, lingkungan hidup, dan estetika. Seperti sudah disinggung sebelumnya, tujuan utama dari sebuah organisasi terletak di luar organisasi tersebut. Dan itu adalah sebentuk pengabdian pada masyarakat yang lebih luas. Di dalam organisasi yang ada adalah pengeluaran. Sementara di hadapan masyarakat luas, organisasi bisa memberikan sumbangan yang besar. Organisasi juga berhadapan dengan manusia yang memiliki daging, darah, dan historisitas masing-masing. Dan mereka itu bukan hanya pekerja, tetapi juga manusia yang memiliki harkat dan martabat. Dalam hal ini prinsip kemanusiaan menjadi pemandu semua kegiatan berorganisasi. Manusia haruslah dipandang sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan bukan alat untuk tujuan-tujuan lainnya. Setiap pimpinan suatu organisasi, apapun bentuknya, haruslah mampu melawan cara berpikir rasionalitas instrumental strategis yang banyak terjadi sekarang ini. Inilah cara berpikir yang mau menjadikan manusia sebagai alat untuk tujuan-tujuan lain di luar manusia itu sendiri. Tentu saja organisasi tentu butuh uang untuk mempertahankan eksistensinya. Dalam hal ini nilai ekonomis juga sangat perlu untuk menjadi perhatian. Praktek organisasi bisnis yang tidak menjadikan nilai ekonomi sebagai tolok ukur adalah praktek yang absurd. Bahkan meminjam metafor yang digunakan oleh Drucker, jika seorang malaikat agung yang tidak memiliki 89
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
kepentingan pribadi memimpin sebuah perusahaan, maka sama seperti para pelaku bisnis lainnya, ia harus menjadikan nilai ekonomi sebagai salah satu tolok ukur kerjanya. Jika tidak organisasinya bisa hancur. Runtuhnya suatu organisasi berarti hilangnya salah satu peran sosial yang bisa memberikan kontribusi besar bagi kehidupan masyarakat. Sekarang ini lingkungan ekosistem manusia sedang terancam musnah. Banyak binatang yang sudah punah. Hutan dibabati. Cuaca semakin panas karena lapisan atmosfer yang melindungi manusia dari radiasi matahari sudah berkurang. Efek rumah kaca pun menambah parah keadaan. Dalam hal ini jelaslah, bahwa praktek manajemen organisasi harus memberikan perhatian pada kelangsungan ekosistem. Nilai pelestarian ekosistem haruslah menjadi salah satu pertimbangan utama di dalam praktek-praktek organisasi. Jika nilai ini tidak diperhatikan, maka ekosistem akan terancam musnah. Jika ekosistem rusak yang musnah tidak hanya organisasi-organisasi terkait, tetapi juga masyarakat sebagai keseluruhan. Nilai terakhir dari praktek manajemen yang menjadi pengandaian aksiologisnya adalah nilai estetika. Seperti ditulis oleh Drucker, manajemen adalah suatu seni. Oleh karena itu manajemen haruslah memperhatikan aspek estetik dari semua kegiatannya, mulai dari produksi, distribusi, marketing, sampai pengelolaan sumber daya manusia. Itu semua adalah praktek-pratek yang memerlukan kepekaan seni yang bersifat intuitif, dan bukan hanya kalkulasi strategis rasional. Jika praktek manajemen di dalam organisasi mengabaikan aspek estetik, maka organisasi itu tidak lebih dari sekedar organisasi para robot. Robot tidak memiliki kepekaaan intuitif dan estetik. Oleh karena itu robot tidak bisa kreatif dan menciptakan inovasi. Perlahan tapi pasti organisasi itu akan hancur. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa praktek manajemen sangatlah terkait dengan filsafat. Tanpa filsafat praktek manajemen adalah praktek para robot yang pucat, miskin inovasi, dan miskin kreatifitas. Mungkin yang banyak terjadi sekarang ini, para pimpinan organisasi kita, apapun bentuknya, mulai menjadi pimpinan para robot-robot. Mereka merasa diri mereka sebagai robot, memandang anak buahnya sebagai robot, dan bekerja juga secara mekanis seperti robot. Jika praktek seperti itu terus dilakukan, maka mereka akan ketinggalan jaman. Mereka kehilangan kemampuan kompetitif. Sudah saatnya para filsuf menengok ke dunia bisnis dan manajemen. Kita perlu lebih banyak “Peter Drucker-Peter Drucker” lainnya, tentu saja yang sungguh memahami kondisi Indonesia khususnya.
90
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Bagian V Filsafat : Masa Sekarang dan Masa Datang
Kajian di bidang filsafat pada dasarnya berpijak pada gaya inventif yaitu mencari pemahaman baru terhadap model pemikiran dan berusaha memberikan pemecahan masalah yang belum terselesaikan menyangkut masa depan manusia. Russel (1961) menulis sebuah artikel berjudul “Has Man a Future?” Menurut Jacob (1986) manusia adalah satu-satunya makhluk yang sadar bahwa ada masa depan yang akan datang, dan masa ini cepat atau lambat akan tiba sebagai masa sekarang. Pada awalnya masa depan selalu mengejutkan manusia, karena mengandung hal-hal yang tidak diduga, yang kadang-kadang dapat menggembirakan, ada pula yang tidak enak baginya. Maka manusia berusaha agar masa depan lebih baik dari masa sekarang, pada umumnya enak baginya. Ini dapat dilakukannya dengan upacara-upacara di gua-gua, lukisan-lukisan ritual di atas pasir, mungkin pula dengan jampi-jampi dan jimat-jimat, agar masa depan, terutama yang menyangkut hidupnya lebih ramah terhadapnya, seperti terjadi pada peradaban lama, tempat kita dibesarkan, dan mempengaruhi hidup kita. Berikut penulis tampilkan kutipan yang cukup panjang sebagai berikut : Eckhart Tolle (2010) menulis buku berjudul Jetzt, die Kraft der Gegenwart. Tolle mengajak kita untuk kembali ke “saat ini”, yakni sepenuhnya berada pada momen, dimana kita ada sekarang. Di dalam “saat ini”, kita akan menemukan kebahagiaan, kebenaran, cinta, kedamaian, Tuhan, kebebasan. Di “saat ini”, kita akan menemukan semua tujuan hidup kita. Ketika orang meninggalkan “saat ini”, maka ia masuk kembali ke dalam lingkaran penderitaan, kecemasan dan ketakutan dalam hidupnya. Jika kita berpikir secara jernih, kita akan sadar, bahwa yang ada hanyalah saat ini. Tidak ada masa lalu dan tidak ada masa depan. Masa lalu hanya merupakan kenangan. Masa depan hanya merupakan harapan. Keduanya tidak nyata. Masa lalu memberikan identitas pada diri kita. Masa depan memberikan janji tentang hidup yang lebih baik. Namun, jika dipikirkan secara jernih dan mendalam, keduanya tidak ada. Keduanya adalah ilusi. Banyak orang mengira, bahwa waktu adalah uang. Mereka juga mengira, bahwa waktu adalah hal yang amat berharga. Namun, sejatinya, waktu adalah ilusi. Ia tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri. Yang justru amat berharga, menurut Tolle, adaah “saat ini”. “Saat ini” adalah suatu keadaan yang lepas dari waktu. Ketika kita memikirkan waktu, berarti juga memikirkan masa lalu dan masa depan, kita akan kehilangan “saat ini”. Kita akan kehilangan sesuatu yang amat berharga. Banyak orang juga mengira, bahwa sukses itu ada di masa depan. Jika kita belajar dan bekerja keras saat ini, maka kita akan sukses di masa depan. Kita akan bahagia di masa depan. Ini adalah pikiran yang salah. Ini hanya menciptakan kecemasan dan penderitaan hidup. Sukses hidup yang sejati adalah dengan menyadari “saat ini”. Kebahagiaan hidup yang tak akan goyah adalah dengan menyadari “saat ini”. Orang yang kehilangan “saat ini” akan kembali masuk ke 91
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
dalam kecemasan dan penderitaan hidup. Padahal, yang ada sejatinya hanyalah “saat ini”. Yang lain hanya ilusi. Orang yang pikirannya dilempar antara masa lalu dan masa depan tidak akan pernah menemukan kebahagiaan yang sejati. Sayangnya, banyak orang hidup dengan pola semacam ini. Hampir setiap detik, pikiran mereka dibuat cemas oleh apa yang telah terjadi. Mereka juga terus memutar otak untuk merencanakan masa depan. Mereka hidup dalam tegangan. Stress dan depresi pun akhirnya menimpa mereka. Namun, ketika mereka melepaskan keterikatan pada masa lalu dan masa depan, mereka lalu bisa kembali ke “saat ini”. Lalu, mereka akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. Dengan hati yang damai dan bahagia, mereka bisa memberikan cinta dan perhatian kepada orang lain melalui tindakannya. Berada “disini” juga amatlah penting. Ketika kita berada di satu tempat, kita harus berusaha untuk berada di tempat itu sepenuhnya. Namun, seringkali, karena berbagai alasan, kita tidak suka pada tempat kita berada. Ada tiga pilihan: pindah tempat, ubah situasi yang ada semampunya, atau tinggalkan tempat itu. Mudah bukan? Berada “disini” berarti juga berada di “saat ini”. Ini membutuhkan penerimaan atas apa yang ada sekarang ini. Apakah menerima berari pasrah dan menyerah pada keadaan? Apakah berarti kita menjadi pengecut? Ketika kita menerima keadaan sepenuhnya, segala pikiran cemas dan takut lenyap. Kita lalu bisa tenang dan damai mengalami apa yang terjadi. Pada titik ini, kesadaran kita akan meningkat. Kita akan memiliki pikiran jernih untuk menanggapi apa pun yang terjadi. Pikiran menciptakan analisis dan pemahaman. Namun, keduanya kerap berujung pada ketakutan dan kecemasan. Ketika orang hidup “disini dan saat ini”, pikiran lenyap. Kesadaran pun muncul dan berkembang, guna menanggapi secara tepat dan jernih apa yang sedang terjadi. Kekuatan terbesar manusia, menurut Tolle, adalah kesadarannya. Orang bisa melakukan apapun secara tepat sesuai dengan keadaan yang ada, ketika ia mampu menggunakan kesadarannya secara penuh. Jadi, rumusnya adalah: terima keadaan yang ada, lalu bertindak! Kesadaran bisa digunakan, jika orang hidup di “saat ini”. Ia lalu bisa hidup dengan perasaan mengalir yang penuh kedamaian dan kebahagiaan, walaupun banyak tantangan menghadang. Kehidupan adalah sebuah jaringan. Tidak ada satu hal pun di alam semesta ini yang berada sendirian. Semuanya saling terhubung satu sama lain, tanpa bisa dipisahkan. Perasaan kesepian dan sendiri hanyalah ilusi, karena sejatinya, kita tak pernah sendirian. Segala masalah yang datang juga adalah bagian dari jaringan kehidupan ini. Semuanya berguna dan berharga, asal ditanggapi tidak melulu dengan pikiran yang analitis, tetapi juga dengan kesadaran. Pikiran untuk menganalisis digunakan seperlunya saja. Sisanya, orang perlu hidup dengan menggunakan kesadarannya. Pikiran itu memisahkan. Ia menganalisis dan memberi penilaian baik-buruk, benar-salah, dan sebagainya. Ia adalah alat yang berguna. Namun, jika orang hidup hanya dengan menganalisis dan memisahkan, ia akan terus menderita dalam hidupnya. Pikiran (Gedanken) adalah bagian dari kesadaran (Bewusstsein). Kesadaran lebih besar dari pikiran. Di dalam kesadaran, orang berhenti untuk menganalisis dan memisahkan. Ia hanya ada “disini dan saat ini” dalam hubungan dengan segala sesuatu yang ada. Orang yang bisa menemukan dan menggunakan kesadarannya tidak akan pernah merasa takut. Ia hidup tanpa penilaian baik-buruk, benar-salah dan enak-tidak enak. Ia melihat dan menerima apa yang ada “saat ini” sepenuhnya. Ia lalu menemukan kekuatan dan kedamaian hati untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang ada. Orang yang hidup di “saat ini” tidak akan pernah merasa susah. Ia akan sadar, bahwa hidup tidaklah perlu terlalu ngotot. Ia sadar akan aspek santai dan lucu dari kehidupan. Bahkan, ia bisa sengaja merasa sedih, supaya bisa menikmati kesedihan itu. Ia juga sadar, bahwa 92
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
kebahagiaan dan cinta yang sejati tidak bisa dicari di luar sana. Keduanya ada di dalam hati manusia. Cinta bukanlah perasaan, melainkan cara hidup “saat ini”. Ia selalu ada. Tinggal kita saja yang mencoba meraihnya. Cinta dan kebahagiaan tidak pernah bisa hilang. Tidak ada yang bisa mengambilnya, karena ia ada di dalam hati setiap manusia. Ketika orang hidup “saat ini”, maka otomatis cinta dan kebahagiaan akan muncul. Kesadaran akan “saat ini” juga menghasilkan cinta dan kejernihan pikiran dalam hidup. Penderitaan, kecemasan dan ketakutan akan muncul, ketika orang meninggalkan “saat ini”. Ketika orang mengira, bahwa masa lalu dan masa depan adalah nyata, maka ia akan terjebak di dalam penderitaan. Pikirannya sibuk. Ia akan menganalisis, memisahkan dan menilai. Ini menciptakan penderitaan. Pikiran menciptakan penilaian. Penilaian lalu melahirkan keluhan atau pujian. Keduanya sama saja, karena keduanya tidak berakar pada “saat ini”. Keduanya lahir dari penolakan pada “saat ini”. Ketika keadaan menjadi sulit, ada tiga hal, entah ubah situasinya, terima atau tinggalkan. Mengeluh adalah tindakan sia-sia. Kita harus belajar untuk hidup tanpa pikiran. Kita harus belajar untuk menunda semua analisis dan penilaian kita. Pikiran, analisis dan penilaian hanya digunakan seperlunya saja untuk keperluan praktis, misalnya memasak, bekerja, dan sebagainya. Ketika pikiran ditunda, yang muncul adalah kesadaran. Kesadaran adalah “saat ini”, yakni sumber dari segala kedamaian dan kebahagiaan manusia. Masa lalu dan masa depan hanyalah alat yang bersifat sementara. Kita perlu masa lalu, supaya kita bisa belajar dari apa yang telah terjadi. Kita juga perlu masa depan, supaya kita bisa membuat rencana kerja dan rencana hidup yang tepat. Namun, keduanya perlu ditinggalkan, ketika kita tidak lagi memerlukannya. Kita bisa meninggalkannya dengan memasuki kesadaran kita, yakni “saat ini”. Sejatinya, kita adalah manusia. Kita bukanlah mahluk pekerja atau mahluk berpikir. Bekerja dan berpikir hanya merupakan bagian dari diri kita. Kesadaran kita sebagai manusia lebih luas dan lebih besar daripada pekerjaan dan pikiran kita. Banyak orang hidup hanya untuk bekerja dan berpikir. Mereka bekerja terlalu banyak. Mereka berpikir terlalu banyak. Kesadaran mereka tidak tersentuh. Mereka pun lalu hidup dalam penderitaan. Kita juga senang sekali dengan definisi. Kita ingin memberi nama pada segala sesuatu. Memberi nama, menurut Tolle, juga berarti mengurung sesuatu itu. Memberi nama berarti juga membangun penjara. Di dalam definisi, kita juga memberi penilaian. Kita berpikir, bahwa orang itu baik. Orang itu jahat. Hidup kita pun dipenuhi dengan definisi dan penilaian. Kita tidak akan pernah bahagia dengan cara hidup semacam ini. Kita perlu belajar untuk menunda semua definisi dan penilaian. Kita perlu belajar untuk membiarkan apa adanya, tanpa definisi dan penilaian. Kita tidak perlu takut. Sebaliknya, tanpa definisi dan penilaian, hidup kita akan damai dan bahagia. Bukankah ini yang diinginkan semua orang? Lalu, bagaimana jika ada orang yang sibuk menilai hidup kita? Bagaimana jika ada orang yang mendefinisikan kita melulu dengan pikiran mereka? Kita tidak perlu takut. Kita bisa menanggapi, jika diperlukan. Jika tidak, kita bisa membiarkan saja. Orang yang menilai kita membangun penjara dalam pikiran mereka. Mereka membatasi pikiran mereka sendiri. Mereka tidak akan bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Mereka kehilangan “saat ini”. Mereka juga kehilangan kesadaran dirinya. Dalam hubungan dengan orang lain, kita juga perlu sadar akan “saat ini”. Dengan ini, kita bisa hadir sepenuhnya untuk orang lain. Kita bisa memberikan diri kita seutuhnya untuk membantu dia. Ketika kita kehilangan “saat ini”, hubungan kita dengan orang lain pun dipenuhi dengan ingatan akan masa lalu serta kecemasan akan masa datang. Ini bisa merusak hubungan kita dengan orang itu. Banyak orang 93
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
sibuk mencari kebahagiaan di luar dirinya. Mereka berpikir, uang, harta dan nama baik bisa memberikan kebahagiaan. Namun, pikiran ini salah. Ia hanya menghasilkan penderitaan. Sejatinya, menurut Tolle, setiap orang sudah penuh dan bahagia di dalam dirinya. Yang ia perlukan hanyalah kesadaran akan “saat ini”. “Saat ini” akan menghasilkan kesadaran. Orang yang hidup melulu dengan pikirannya akan kehilangan kesadarannya. Ia akan hidup dalam kecemasan, ketakutan dan penderitaan. Kita bukanlah pikiran kita. Kita bukanlah kecemasan dan ketakutan yang dihasilkan pikiran kita. Pikiran kita sementara. Ia akan segera berlalu. Kita adalah kesadaran kita. Itu lebih besar dan lebih agung dari pikiran yang kita punya. Kesadaran kita memberikan kedamaian. Ia memberikan cinta. Ia tidak menilai dan mendefinisikan. Ia membiarkan segalanya ada dengan ketulusan hati. Orang yang bisa menunda semua pikirannya akan mencapai pencerahan batin. Pencerahan batin berarti orang sudah paham akan hakekat dari segala yang ada, termasuk hakekat dari dirinya sendiri. Hakekat dari segala yang ada, menurut Tolle, adalah kesadaran. Kesadaran itu merawat dan membangun. Ia tidak menilai dan memisahkan. Orang yang hidup dengan kesadarannya berarti hidup dalam keterhubungan dengan alam semesta. Ia terhubung dengan manusia lain. Ia terhubung dengan semua hewan. Ia terhubung dengan semua tumbuhan. Ia terhubung dengan semua benda yang ada. Ia menggunakan pikirannya hanya pada saat-saat tertentu saja. Ia tidak melihat dirinya sama dengan pikirannya. Ia melihat dirinya lebih besar dari pikirannya. Ia akan mampu hidup dalam aliran yang alamiah dalam hubungan dengan orang lain. Pikiran membuat orang tak mampu mencintai sepenuhnya. Sebaliknya, kesadaran “saat ini” sejatinya adalah cinta tanpa syarat. Ia memberikan tanpa mengharap apapun. Ia tidak mengikat dan memenjara, melainkan merawat dan membiarkan berkembang. Dengan kesadarannya akan “saat ini”, orang bisa hidup secara alamiah. Artinya, ia tidak melawan kehidupan, melainkan mengalir bersama kehidupan itu sendiri. Ia tidak sibuk menilai, apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah. Jika orang sampai pada kesadaran akan “saat ini”, tidak ada tegangan dan penderitaan lagi dalam hidupnya. Apapun yang kita lawan pasti akan menguat. Apapun yang kita tentang dan tolak justru semakin menguasai kita. Sebaliknya, jika kita membiarkan segala sesuatu ada secara alamiah, justru kita akan tidak akan mengalami tegangan dan pertentangan. Jika kita tidak menolak apapun, maka kita akan bisa mencapai kejernihan pikiran dan kedamaian hati. Kita juga sering melihat orang-orang yang suka menjajah orang lain. Mereka ingin dipatuhi. Mereka kerap sekali bersembunyi di balik agama. Mereka juga suka memanfaatkan orang lain, guna memuaskan diri mereka. Menurut Tolle, orang-orang semacam ini hidup dalam penderitaan yang besar. Mereka lemah dan menderita, maka mereka menindas orang lain. Harapannya, dengan menindas orang lain, penderitaan mereka berkurang. Namun, ini tak akan pernah terjadi. Banyak juga orang yang mengalami kecanduan. Mereka kecanduan narkoba, alkohol, seks, belanja dan sebagainya. Mereka seolah tidak dapat hidup, jika tidak memuaskan kecanduannya. Kecanduan berakar pada penderitaan dan berakhir pada penderitaan juga, jika dipuaskan. Akar dari kecanduan adalah ketidakmampuan untuk hidup di “saat ini”. Orang menjadi kecanduan untuk mengobati luka, akibat masa lalunya. Orang menjadi kecanduan, karena ia cemas akan masa depannya. Ketika ia melepaskan masa lalu dan masa depannya, ia lalu bisa memasuki kesadaran akan “saat ini”. Di detik itu, kecanduannya hilang. Banyak orang juga mencari Tuhan di luar dirinya. Ini salah. Tuhan ada di dalam hati setiap orang. Tuhan ada di dalam kesadaran setiap orang. Tuhan ada di “saat ini”. Segala ritual 94
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
dan aturan agama hanya ada untuk membantu kita menemukan Tuhan di dalam hati kita. Itu semua hanya alat. Ia tidak boleh menjadi tujuan utama. Di dalam kesadaran akan “saat ini”, kita akan menemukan surga, nirvana, Tuhan dan kebahagiaan yang sejati. Ketika kita sadar sepenuhnya akan “saat ini”, kita akan berhenti berpikir. Kita berhenti menilai. Kita berhenti cemas akan masa lalu dan masa depan. Kita akan sepenuhnya sadar. Pada keadaan itu, kita akan menjadi cinta itu sendiri. Cinta sejati itu seperti matahari. Ia bersinar untuk semua, tanpa kecuali. Cinta yang sejati diberikan untuk semua, tanpa kecuali. Cinta yang sejati dapat diperoleh, jika orang hidup di “saat ini”. Cinta sejati berakar pada kesadaran. Ia tidak dapat hilang. Ia tidak dapat diambil. Orang yang hidup di “saat ini” berarti hidup secara asli. Ia tidak memiliki kepura-puraan. Ia tidak memiliki kemunafikan. Ia tidak takut akan penilaian dan definisi dari orang lain. Ia sepenuhnya bebas dan damai. Lalu, ia bisa memberikan kedamaian dan cinta pada orang lain dengan tulus. Banyak orang juga berusaha mencari kebahagiaan. Namun, sejatinya, kebahagiaan tidak bisa dicari. Orang yang mencari kebahagiaan justru tidak akan pernah menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan hanya muncul, jika orang hidup dengan kesadaran akan “saat ini”. Kesadaran ini sudah ada di dalam diri manusia. Ia tidak akan bisa hancur, atau diambil orang lain.Dunia adalah cerminan dari kesadaran. Sejatinya, tidak ada perbedaan antara kesadaran dan dunia. Keduanya adalah satu dan sama. Pikiran dan bahasa yang memisahkan keduanya.Namun, banyak orang lupa dengan kesadarannya. Mereka sibuk dengan pikirannya. Mereka sibuk menganalisis, menebak, merencanakan dan mengkhawatirkan segalanya. Ketika pikiran ditunda dan dihentikan, kesadaran muncul, yakni kesadaran “saat ini”. Jika kesadaran dicapai, maka dunia tidak lagi memiliki masalah dan penderitaan. Lalu, apakan pikiran harus dibuang? Apakah kita harus berhenti berpikir? Berhenti berpikir, menurut Tolle, tidaklah mungkin dilakukan. Berpikir adalah bagian dari kodrat manusia. Namun, pikiran tidak boleh menguasai manusia. Manusia adalah kesadarannya. Ini lebih luas dari pikiran. Pikiran digunakan seperlunya saja untuk memenuhi kebutuhan praktis. Selebihnya, orang perlu belajar untuk hidup dengan kesadaran akan “saat ini”. Ia lalu akan menemukan kebebasan yang sejati. Sekarang ini, kita, sebagai manusia, harus mengubah cara hidup kita. Kita harus melakukan revolusi hidup! Kita harus belajar untuk menjaga jarak dari pikiran kita. Kita lalu harus belajar untuk hidup dengan kesadaran akan “saat ini” di dalam diri kita. Hanya dengan ini, kita bisa hidup dalam hubungan yang damai dengan segala hal yang ada. Alternatifnya adalah kehancuran. Sumber : Reza A.A Wattimena, 2015
Atas dasar itulah untuk merancang suatu kajian filsafat tentang masa depan, perlu kiranya kita memahami bagaimana kedudukan filsafat dalam memahami dimensi realitas, agar tidak terjadi tumpang tindih dengan ranah disiplin ilmu dan dengan ilmu lain. Dimensi realitas merupakan pengertian tentang kenyataan yang terjadi dalam hidup sehari-hari. Para filsuf mempunyai pengertian yang berbeda-beda, tentang hal ini dari suatu masa ke masa yang lain. Dari sejarah ilmu pengetahuan telah kita ketahui bahwa semula hanya ada satu ilmu pengetahuan yaitu filsafat, yang mempunyai objek material alam semesta ini (kosmos) dan manusia, maka filsafat sebagai ilmu pengetahuan merupakan ilmu pengetahuan yang umum. 95
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Tentu muncul pertanyaan dalam diri kita apakah peran filsafat itu? Filsafat berperan sebagai dasar dan sumber dari ilmu yang lain. Peursen (1974) mengatakan filsafat mempertanyakan kembali apa yang telah ditemukan atau yang telah dijawab oleh ilmu pengetahuan, oleh karena itu filsafat tidak pernah berhenti mengajukan pertanyaan mendasar, yang tentunya pertanyaan tersebut muncul dan perenungan jiwa dan pemikiran yang mendalam dari masa ke masa. Jacob (1982) mengatakan bahwa pemikiran dan bahasa memungkinkan manusia berbicara tentang sesuatu di luar ruang dan waktu yang sedang dialaminya, soal-soal yang bukan sini dan bukan kini (nicht-hier und nicht-jetzt). Dengan otaknya manusia dapat meramal masa depannya dan mempengaruhi evolusinya. Disinilah letak kemanusiaannya, sedangkan Bakker (1984) mengatakan bahwa pengertian manusia mempunyai lingkungan natural dalam tindakannya yang praktis, dalam rangka suatu tindakan manusia, maka pengertian menjadi sungguh-sungguh suatu pengertian yang hidup. Masyarakat yang maju, seperti dikatakan oleh Rostow (1972) dikutip dari Jacob (1982) membentuk akademi dan universitas untuk memikirkan dan mempersiapkan masa depannya, membiayai kalangan akademika, kadang-kadang cukup tinggi, agar mereka leluasa melakukan pemikiran fundamental, bebas dari gejolak-gejolak hidup sehari-hari agar akal mereka dapat menenawang membuat tinjauan jarak jauh, mempersoalkan hal-hal yang terlupakan, memikirkan yang belum ada, yang berbeda dan lebih baik daripada yang sekarang, mencipta gagasan-gagasan ilmiah yang revolusioner, yang membeni arah baru, gagasangagasan yang kini kelihatannya mustahil dan tak terpikirkan, yang membuka vista baru menuju pemahaman alam dan hayat yang lebih sempurna. Tujuan ini merupakan tugas khas kalangan akademika dan universitas, yang kalau tidak ditunaikan, akan tertinggal terbengkalai. Bekerja dalam pendidikan, penelitian mengharuskan pula perguruan tinggi memikirkan masa depan. Peranan universitas dalam peruhahan-perubahan dunia merupakan masalah yang tak kunjung punah. Pada masa lalu (dan sebagian orang pada masa kini) menganggap bahwa universitas sebagai sentra perubahan dunia ini maju seperti adanya sekarang, adalah berkat daya dorong universitas. Dengan semua potensi dan fungsinya, universitas dianggap orang sebagai kekuatan dan jiwa perubahan-perubahan dunia ini. Universitas menurut anggapan ini, adalah roh perubahan dunia melalui aktivitas yang dilakukannya. Menurut Peursen (1992) pengetahuan adalah kekuasaan, tapi hanya dalam masyarakat modernlah akibat praktis dan kenyataan ini benar-benar tampak dalam apa yang kita sebut sifat siap pakai atau operasional dari pengetahuan. Begitu manusia mengenal keteraturan atau struktur dalam 96
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
sekelompok fenomena, mereka mengembangkan suatu sistem kontrol. Hasil-hasil penelitian yang semula sama sekali bersit teoritis (misalnya dalam struktur atom, atau genetika, pola tingkah laku suku primitif), ternyata dapat diterapkan sebagai suatu cara yang berguna untuk membuka sumbersumber energi yang menakjubkan atau mengubah struktur organisme yang hidup secara luar biasa. Kebudayaan modern mendapatkan kemungkinan yang tidak terduga untuk mengatur diri sendiri. Kehidupan dewasa ini makin lama makin ditentukan oleh mekanisme yang berasal dan pengetahuan akademis, baik mengenai disiplin ilmu maupun sastra dan filsafat. Dari sisi lain muncul pandangan yang pesimis terhadap peranan universitas terhadap masa depan, hal ini disebabkan tertinggalnya penelitian universitas dan badan-badan usaha atau perusahaan besar untuk memangsa konsumennya. Persoalannya adalah apakah perubahan yang akan terjadi dimasa depan disebabkan oleh kerja filsafat masa kini? Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab, karena filsafat tidak sendiri dan perlu berdialog dengan ilmu lain, para filsuf akan mempertanyakan kembali apakah yang dimaksud perubahan tersebut? Perubahan telah terjadi sejak manusia menjinakkan dirinya, menjinakkan kosmos serta isinya, sehingga dapat berjalan secara mekanistis. Kerja manusia yang digantikan oleh mesin-mesin, dan mengakibatkan manusia kehilangan pekerjaan dan kehilangan kepuasan kerja dan makna hidup. Namun segi positifnya perkembangan ilmu pengetahuan tersebut juga dikemukakan oleh A. B. Shah (1986) bahwa ilmu pengetahuan membebaskan manusia dari kendala-kendala alam dan ketidaktahuannya sendiri. Sekarang orang tahu bahwa fenomena perputaran alam benda di langit, sikius musim, kelahiran, dan kematian, bentuk kehidupan dan bahkan cara pikiran manusia diatur oleh hukum-hukum yang memang sudah melekat padanya. Hukum itu menyikapkan suatu tingkat determinisme yang tidak bisa didamaikan dengan kepercayaan tentang adanya suatu kekuatan yang adimanusiawi atau adikodrati yang mengontrolnya dari luar. Walaupun demikian determinisme yang intrinsik dari dunia alam dan manusia tidak anti tesis terhadap kebebasan. Ia tidak mereduksi manusia menjadi sekedar sebuah gigi dan jentera raksasa alam semesta. Sebab pengetahuan ilmiah memungkinkan manusia bukan untuk melanggar melainkannya untuk mengetahui lebih dulu konsekuensikonsekuensi perbuatannya dan dengan demikian untuk merencanakan perbuatanperbuatannya sehingga kehidupannya tidak merupakan sekedar suatu selingan yang tak bermakna antara ketiadaan diri, dari mana manusia berasal dan ketiadaan, ke 97
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
mana ia akan kembali. Dengan demikian self-determinisme telah memperluas kebebasan manusia dan merupakan kebalikan dari fatalisme yang terkandung dalam kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Kuasa. Selanjutnya dikatakan oleh Syah bahwa selain mengajar manusia menjinakkan alam dan memanfaatkannya untuk kepentingannya, ilmu pengetahuan telah memberikan kepadanya suatu pemahaman yang lebih baik mengenai kodratnya sendiri. Hal tersebut telah menunjukkan kepadanya bahwa manusia merupakan alat pembuat alat pembangun jembatan-jembatan dan membuat pesawat-pesawat jet, ia pun merupakan hewan pembuat simbol yang bermimpi dan menyusun rencana, yang sedih dan suka-ria, yang menuangkan puisi dan jadwal kereta-api, menulis filsafat dan pornografi, membunuh sesamanya demi suatu ide dan juga bersedia mati untuk itu. Seperti gempa bumi, pembuatannya sendiri pun mungkin tidak selalu dapat diramalkan. Akan tetapi, apa yang ia lakukan dapat dimengerti secara rasional dan dihubungkan dengan apa yang terjadi berikutnya dan apa yang terjadi mengenai dunia lahirnya, merupakan hasil ilmu pengetahuan dan metode ilmiah. Dan kalau memang demikian halnya, apa sesungguhnya metode ilmiah? Menurut Delfgaauw (1972) di dalam kehidupan kemasyarakatan serta kehidupan ilmiah sekarang, filsafat tidak penting artinya, jika dipandang hanya sebagai faktor yang berdiri sendiri, tetapi arti yang dipunyainya sulit untuk dikatakan berlebihan, setelah kita simak bahwa, dimanamana baik dalam kegiatan ilmiah maupun dalam susunan kemayarakatan, faktor-faktor kefilsafatan ikut menentukan arah yang dicari oleh ilmu pengetahuan dan masyarakat. Pelukisan serta lontaran kecaman terhadap nilai-nilai serta pengertian yang menggerakkan manusia serta memberi bentuk kepada manusia dalam hidup kita sekarang ini, lebih diperlukan dibanding di masa-masa yang Iampau. Oleh karena itu yang dapat menjadi ilmuwan maupun filsuf bukanlah seseorang yang dalam peristiwa-peristiwa, menentukan sikapnya sendiri, pribadi yang memiliki kepedulian terhadap semua peristiwa, fakta dan nilai yang terjadi maupun nilai yang tersembunyi. Pengertian filsafat dalam tindakan merupakan persoalan sepanjang masa, karena yang sentral dalam hidup manusia adalah tindakan. Begitu juga pengertian manusia tentang dirinya, tidak pernah ada pengertian yang melulu mewujudkan pengertian saja, selalu berfungsi dalam rangka tindakan. Dalam tindakannya menurut Jacob (1982) manusia membagi waktu atas masa lampau, masa sekarang dan masa depan. Biasanya manusia silau dan terpukau oleh masa sekarang, 98
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
walaupun tak jarang ia mengenangkan masa lampau dan mengeluh tentang masa depan. Ia memang harus memikirkan apa yang harus ia makan hari ini. (dikutip dari ; http://ariplie.blogspot.com/2015 /04/arti-pentingnya-penelitian-filsafat.html) Kemarin sudah berlalu dan besok terserah pada nasib. Segala sesuatu harus relevan dengan masa kini, harus berguna bagi masyarakat masa kini dan di sini. Dengan demikian masa depan mendapat prioritas rendah sekali, sehingga tidak jarang kita bertanya lagi apakah masyarakat masa depan tidak akan terugikan oleh segala usaha kita yang didasarkan atas relevansi masa kini? Padahal pada masa kini sangat singkat, segera berlalu. Masa kini sebenarnya hanya batas tipis yang terus bergerak antara masa lampau yang panjang dan masa depan yang mudahmudahan panjang pula. Dengan demikian jelaslah dengan memikirkan tentang masa depan, akan merupakan suatu kebenaran yang manusiawi apabila sungguh-sungguh dilaksanakan.
99
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Bagian VI Manfaat Mempelajari Filsafat dan Filsafat Ilmu
Sesuatu di atas awan dan mencari rahasia di bawah bumi, sedangkan lubang di depan rumahnya pun tidak tahu. Kalau begitu, apa ada faidahnya mempelajari filsafat? Sekurangkurangnya ada empat macam manfaat mempelajari filsafat: agar terlatih berpikir serius, agar mampu memahami filsafat, agar mungkin menjadi filosofi, dan agar menjadi warga negara yang baik. Disamping itu manfaat/kegunaan belajar filsafat bisa didasarkan pada dua pertimbangan, dari sisi ilmu pengetahuan dan kehidupan sehari-hari. Jan Hendrik Rappar membagi kegunaan filsafat ke dalam dua hal, yakni bagi ilmu pengetahuan dan bagi kehidupan sehari-hari. a) Kegunaan Filsafat Bagi Ilmu Pengetahuan Tatkala filsafat lahir dan mulai tumbuh, ilmu pengetahuan masih merupakan bagian yang tak terpisahkan dari filsafat. Pada masa itu, para pemikir yang terkenal sebagai filsuf adalah juga ilmuwan. Para filsuf pada masa itu adalah ahli-ahli matematika, astronomi, ilmu bumi, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Bagi mereka, ilmu pengetahuan itu adalah filsafat, dan filsafat adalah ilmu pengetahuan. Dengan demikian jelas terlihat bahwa pada mulanya filsafat mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan. Berkat ilmu pengetahuanlah manusia dapat meraih kemajuan yang sangat menakjubkan dalam segal bidang kehidupan. Teknologi canggih yang semakin mencengangkan dan fantastis adalah salah satu produk dari ilmu pengetahuan. Bahkan pada abad-abad terakhir ini dalam peradapan dan kebudayaan barat, ilmu pengetahuan telah berperan sedemikian rupa sehingga telah menjadi tumpuan harapan banyak orang. b) Kegunaan Filsafat Bagi Kehidupan Sehari-Hari Meskipun filsafat itu abstrak, bukan berarti ia sama sekali tidak bersangkut paut dengan kehidupan sehari-hari yang kongret. Keabstrakan filsafat tidak berarti bahwa filsafat itu tidak memiliki hubungan apa pun dengan kehidupan nyata sehari-hari. Kendati tidak memberi petunjuk praktis tentang bagaimana bangunan yang artistik dan elok, filsafat sanggup membantu manusia dengan memberi pemahaman tentang apa itu artistik dan elok dalam kearsitekturan sehingga nilai keindahan yang diperoleh lewat pemahaman itu akan menjadi patokan utama bagi pelaksanaan pekerjaan pembangunan tersebut. Dengan demikian, filsafat menggiring manusia 100
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
ke pengertian yang terang dan pemahaman yang jelas. Tak hanya itu, ia pun menuntun manusia ke dalam tindakan dan perbuatan yang kongret. Berdasarkan pengertian yang terang dan pemahaman yang jelas. Disisi lain filsafat ilmu berusaha mengkaji hal tersebut guna menjelaskan hakekat ilmu yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang padu mengenai berbagai fenomena alam yang telah menjadi objek ilmu itu sendiri, dan yang cenderung terfragmentasi. Untuk itu filsafat ilmu juga bermanfaat untuk : a) Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teoriteori filsafat ilmu. b) Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam posisi ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan. c) Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas, penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia. d) Melatih berfikir radikal tentang hakekat ilmu e) Melatih berfikir reflektif di dalam lingkup ilmu f) Menghindarkan diri dari memutlakan kebenaran ilmiah, dan menganggap bahwa ilmu sebagai satu-satunya cara memperoleh kebenaran g) Menghindarkan diri dari egoisme ilmiah, yakni tidak menghargai sudut pandang lain di luar bidang ilmunya
101
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Bagian VII PENUTUP
Kesimpulan Dari pembahasan diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan diantaranya : 1. Secara etimologis, filsafat diambil dari bahasa Arab, falsafah-berasal dari bahasa Yunani, Philosophia, kata majemuk yang berasal dari kata Philos yang artinya cinta atau suka, dan kata Sophia
yang
artinya
bijaksana.
Dengan
demikian
secara
etimologis,
filsafat
memberikanpengertian cinta kebijaksanaan. 2. Secara terminologis, filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. 3. Ada tiga metode yang digunakan untuk memecahkan problema-problema Filsafat yaitu: metode deduksi, induksi dan metode dialektik. 4. Obyek penyelidikan filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, tidak terbatas. 5. Struktur/sistematika filsafat berkisar pada tiga cabang flsafat yaitu teori pengetahuan, teori hakikat dan teori nilai. 6. Manfaat mempelajar filsafat diantaranya adalah manfaat dari sisi pengetahuan dan manfaat dalam kehidupan sehari-hari. Dari sisi pengetahuan filsafat disebuat sebagai induk dari setiap disiplian ilmu pengetahuan, maka untuk memahami ilmu pengetahuan dan mampu meinterdisipliner-kan kita butuh filsafat. Filsafat dalam kehidupan sehari-hari bisa dijadikan patokan utama dalam mengembangan kebutuhan-kebutuhan manusia serta piranti dalam memahami proses keseharian secara mendalam dan jelas. 7. Tokoh idealisme Jerman terbesar pasca Kant adalah Hegel dengan idealisme absolutnya, satu generasi lebih muda dari Kant. Hegel dikenal dengan idealisme absolut yang dengannya dia mencoba merehabilitasi metafisika. 8. Idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa objek pengetahuan yang sebenarnya adalah ide (idea). 9. Proses dialektika menurut Hegel terdiri dari tiga fase, yaitu: Fase pertama (tesis) dihadapi antitesis (fase kedua), dan akhirnya timbul fase ketiga (sintesis).
102
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
10. Berfikir filsafati berarti berfikir untuk menemukan kebenaran secara tuntas. Analisis filsafati tentang filsafat ilmu harus ditekankan pada upaya keilmuan dalam upaya mencari kebenaran. Kebenaran terkait erat dengan aspek-aspek moral, seperti kejujuran. Analisis filsafati ilmu tidak bolah berhenti pada upaya untuk meningkatkan penalaran keilmuan, tetapi sekaligus harus mencakup pendewasaan moral keilmuan. 11. Filsafat ilmu mempunyai wilayah lebih luas dan perhatian lebih transenden dari pada ilmu-ilmu. Oleh karena itu, filsafatpun mempunyai wilayah lebih luas daripada peyelidikan tentang cara kerja ilmu-ilmu. Filsafat ilmu bertugas meneliti hakekat ilmu. Diantaranya paham tentang kepastian, kebenaran dan objektifitas. 12. Filsafat ilmu harus merupakan pengetahuan tentang ilmu yang disepakati secara filsafati dengan tujuan untuk lebih memfungsionalkan wujud keilmuan, baik secaa moral, intelektual, maupun sosial. Filsafat ilmu harus mencakup bukan saja pembahasan mengenai ilmu itu sendiri beserta segenap perangkatnya, melainkan sekaligus kaitan ilmu dengan beberapa aspek kehidupan, seperti pendidikan, kebudayaan, moral sosial, dan politik. Demikian juga pembahasan yang bersifat analitis dari tiap-tiap unsur bahasan harus diletakkan dalam kerangka berfikir secara keleseluruhan. 13. Dengan menunjukkan sketsa umum hubungan filsafat dan ilmu pengetahuan serta garis besar mengenai kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pada gilirannya melahirkan suatu cabang filsafat ilmu kiranya menjadi jelas bahwa filsafat ilmu bukanlah sekedar metode atau tata-cara penulisan karya ilmiah ataupun penelitian. Filsafat ilmu adalah refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan, sesuatu yang memang tidak pernah akan habis dipikirkan dan tidak pernah akan selesai diterangkan. 14. Hakikat ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang implisit melekat di dalam dirinya. Dengan memahami Filsafat Ilmu, berarti memahami seluk-beluk ilmu yang paling mendasar sehingga dapat dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan perkembangannya, keterjalinan antar (cabang) ilmu yang satu dengan yang lain, simplifikasi dan artifisialitasnya. Memasukkan mata kuliah Filsafat Ilmu ke dalam kurikulum adalah tepat, dalam kerangka peningkatan mutu akademik. Sebab filsafat ilmu adalah implisit dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan tinggi, dan implisit dalam paradigma “manusia Indonesia seutuhnya” yang di dalam penalarannya pertama-tama dan terutama harus mampu dan sanggup melakukan 103
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
terobosan ke kawasan yang paling mendasar, ke kawasan untuk memahami hakikat ilmu sampai batas ultimate. Dengan memahami seluk-beluk ilmu secara ilmiah-filsafati, tanpa harus menjadi seorang filsuf, akan menjadikan masing-masing orang sebagai ilmuwan atau sarjana yang arif, terhindar dari kecongkakan intelektual, dan terhindar dari arus yang memandang kebenaran ilmiah sebagai barang jadi, selesai dan buntu dalam kebekuan normatif untuk diulang-ulang sebagai barang hafalan.
104
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
Daftar Pustaka
Abu Ahmadi. 1982. Filsafat Islam. Semarang. Toha Putra. Abubakar Aceh, 1982. Sejarah Filsafat Islam, Surakarta. Ramadhani Sala Adib, Mohammad. 2010, Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Akhyar Yusuf Lubis, 2014. Filsafat Ilmu ; Klasik Hingga Kontemporer, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ali Maksun, 2011, Pengantar Filsafat: dari masa klasik hingga postmodernis, Jogjakarta: arruzzi media cet. IV Appignanesi, Richaerd & Cris Garrat, 1998, Mengenal Postmodernisme ; Untuk Pemula, (Terjemahan). Bandung, Mizan. Bachtiar, Amsal. 2005. Filsafat Agama. Rajawali Pers, Jakarta. Baskara, I Gde Kajeng, 2013, Perkembangan Pemikiran Manajemen Dari Gerakan Pemikiran Scientific Management Hingga Era Modern, Jurnal Manajemen, Strategi Bisnis, dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 2, Agustus 2013, hal ; 143-145. Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta : Gramedia, Bunnin, Nicholas & Jiyuan Yu. 2004, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. (Oxford: Blackwell Publishing. Endang Saifudin Anshori. 1979. Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, Frithjof Schuon. 1994. Islam dan Filsafat Perenial. Bandung. Mizan. (terj. Rahmani Astuti) Galih Yoga Wahyu Kuncoro, 2015, Cara Berpikir Dialektis dalam Penelitian Ilmiah, Universitas Negeri Malang. Gie, The Liang. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty H.M. Rasjidi, 1970. Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, Harold H Titus. 1959, Living issues in philosophy, New York, American Book Harun Hadiwiyono, Dr. 2005, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius,Yogyakarta, hal 102 Howard J. Roy. Three Faces of Hermeneutics, An Introduction to Current Theories of Understanding. California : University of California Press. Ismaun, 2000. Catatan Kuliah Filsafat Ilmu (Jilid 1 dan 2), Bandung. UPI
105
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
2015
Jujun S. Suriasumantri, 1993. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Jujun S Suriasumantri, 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, Jujun S Suriasumantri, 1999. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, Kenny, Anthony. An Illustrated Brief History of Western Philosophy. Oxford: Blackwell. Magnis Soeseno, Franz, 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta, Kanisius Oemar Amin Hoesen. 1964. Filsafat Islam. Jakarta. Bulan Bintang Peter Drucker, 2001, The Essential Drucker, Harper Collins Publisher, hal. 3- 56. Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Prenada Media, Jakarta Rosda. Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta :Tiara Wacana Yogyakarta. Salam, Burhanuddin. 2000, Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sastrapratedja. (ed). 1982. Manusia Multi Dimensional. Jakarta. Gramedia Suharsaputra, U., 2004. Filsafat Ilmu. Universitas Kuningan. Siswomihardjo, Koentowibisono, dkk. 1997. Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Intan Pariwara Tafsir, Ahmad.2000. Filsafat Umum.Bandung : Tafsir, Ahmad.2006. Filsafat Umum.Bandung : Van der Weij, P.A. Dr. 2000. Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia, Kanisius,Yogyakarta http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/hubungan-antara-filsafat-dengan-ilmu/ http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_11.html http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/08/pengertian-filsafat/ http://filsafat-ilmu.blogspot.com/2008/06/persamaan-dan-perbedaan-filsafat-dan.html http://www.google.co.id/#hl=id&q=definisi+ilmu+pengetahuan&meta=&aq= f&oq=definisi+ilmu+pengetahuan&fp=7e99b3a5df14a093 http://tanbihun.com/pendidikan/definisi-atau-pengertian-filsafat-dan-ilmu-pengetahuanserta-perbedaannya/ http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090913053818AA54TO6 106
2015
Working Paper filsafat ilmu by Herispon
https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=Isa1Vfy3HYyOuATP1r2IAg#q=kaitan+filsaf at+dengan+ilmu+pengetahuan, 27 Juli 2015 http://ow.ly/KNICZ http://elmasterquin.blogspot.com/2012/01/v-behaviorurldefaultvmlo.html, 3 Mei 2015 http://bowopeace.blogspot.com/2013/03/bab-i-pendahuluan-latar-belakang.html, 2015
3 Mei
http://www.saberweb.com.br/estados-unidos-da-america/administradores-dos-estadosunidos-da-america/images/Peter-Drucker.jpg http://ariplie.blogspot.com/2015/04/arti-pentingnya-penelitian-filsafat.html, 27 Juli 2015 http://rumahfilsafat.com/2010/07/06/filsafat-dan-manajemen-bisnis-dua-sisi-dari-satu-koinyang-sama/, 27 Juli 2015 http://meja-miftah.blogspot.com/2011/06/masa-depan-filsafat.html http://masykurarab.blogspot.com/2015/02/makalah-filsafat-ilmu-tantangan-dan.html, 10 Agustus 2015 http://fikri-jufri-renaissance.blogspot.com/, 10 Agustus 2015 Reza A.A Wattimena, http://rumahfilsafat.com/2015/01/14/menuju-saat-ini/, 10 Agustus 2015
107