FAKTOR DAN DAMPAK STUNTING PADA KEHIDUPAN BALITA ( BALITA PENDEK )
Oleh : Yenni : Yenni Puspita SKM , MPH MPH
Tujuan Millennium Tujuan Millennium Development Goals pada Goals pada tahun 2015 adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan dengan indikator menurunnya prevalensi dalam bentuk stunting. Stunting akanmeningkatkan angka kematian dan peningkatan angka kesakitan (Depkes RI, 2007) Di Indonesia 23 juta balita sekitar 7,6 juta anak balita tergolong stunting (35,6%) stunting (35,6%) terdiri dari 18,5% balita sangat pendek dan 17,1% balita pendek. Prevalensi balita stunting di Provinsi Bengkulu masih tinggiterutama di Kabupaten Rejang Lebong memiliki angka stunting tinggi sebesar 38,5%.(Rikesdas, 2007).Angka prevalensi ini diatas ambang batas yang disepakati secara universal, universal, batas non public health problem yang ditolerir oleh badan kesehatan dunia dunia (WHO) hanya20% atau seperlima dari jumlah total balita di suatu negara(Depkes RI, 2010). a.
Pengertian Stunting S tunting tunting merupakan keadaan tubuh yang pendek atau sangat
pendek.. Stunting pendek.. Stunting terjadi terjadi akibat kekurangan gizi dan penyakit berulang dalam waktu lama pada masa janin hingga 2 tahun pertama kehidupan
seorang anak(Black et et al., al., 2008).Anak dengan stunting memiliki stunting memiliki IQ 5-10 poin lebih rendah dibanding dengan anak yang normal(GranthamMcGregor et McGregor et al., al., 2007). Seorang anak dikatagorikan sangat pendek jika panjang badan menurut umur atau tinggi badan menurut umur <-3 SD, dan dikatakan pendek jika berada antara-3SD sampai dengan < -2 SD. Prevalensi stunting meningkat dengan bertambahnya usia, peningkatan terjadi dalam dua tahun pertama kehidupan(Cogill, kehidupan(Cogill, 2003). 2003). b.
Faktor Penyebab Stunting Stunting disebabkan Stunting disebabkan oleh banyak faktor baik secarafaktor
langsung dan tak langsung. Faktor langsung l angsung ditentukan oleh asupan makanan, berat badan lahir dan penyakit. Sedangkan faktor tak langsung seperti faktor ekonomi, budaya, pendidikan dan pekerjaan,fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor sosial ekonomisaling berinteraksi satu dengan yang lainnya seperti masukan zat gizi, berat badan lahir dan penyakitInfeksi pada anak (Frongillo et (Frongillo et al., al., 1997).Anak-anak yangmengalami stunting disebabkan stunting disebabkan kurangnya asupan makanan dan penyakit yang berulang terutama penyakitinfeksi yang dapat meningkatkan kebutuhan metabolik serta mengurangi nafsu makan sehingga berdampak terjadi ketidaknormalan dalam bentuk tubuh pendek meskipun faktor gen dalam sel menunjukkan potensi untuk tumbuh normal (Dekker et (Dekker et al., al., 2010) c.
Dampak stunting pada balita Anak-anak yang mengalami stunting stunting lebih awal yaitu sebelum usia usia
enam bulan, akan mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunting Stunting yang parah pada pada anak-anak akan terjadi terjadi defisit jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah, dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan normal(Frongillo et normal(Frongillo et al., al., 1997). Stunting pada Stunting pada balita merupakan faktor risiko meningkatnya angka kematian, menurunkan kemampuan kognitif dan perkembangan motorik rendah serta fungsi-fungsi tubuh yang tidak seimbang (Allen ( Allen and Gillespie, 2001).penelitian Adair and Guilkey (1997)menyatakan stunting
seorang anak(Black et et al., al., 2008).Anak dengan stunting memiliki stunting memiliki IQ 5-10 poin lebih rendah dibanding dengan anak yang normal(GranthamMcGregor et McGregor et al., al., 2007). Seorang anak dikatagorikan sangat pendek jika panjang badan menurut umur atau tinggi badan menurut umur <-3 SD, dan dikatakan pendek jika berada antara-3SD sampai dengan < -2 SD. Prevalensi stunting meningkat dengan bertambahnya usia, peningkatan terjadi dalam dua tahun pertama kehidupan(Cogill, kehidupan(Cogill, 2003). 2003). b.
Faktor Penyebab Stunting Stunting disebabkan Stunting disebabkan oleh banyak faktor baik secarafaktor
langsung dan tak langsung. Faktor langsung l angsung ditentukan oleh asupan makanan, berat badan lahir dan penyakit. Sedangkan faktor tak langsung seperti faktor ekonomi, budaya, pendidikan dan pekerjaan,fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor sosial ekonomisaling berinteraksi satu dengan yang lainnya seperti masukan zat gizi, berat badan lahir dan penyakitInfeksi pada anak (Frongillo et (Frongillo et al., al., 1997).Anak-anak yangmengalami stunting disebabkan stunting disebabkan kurangnya asupan makanan dan penyakit yang berulang terutama penyakitinfeksi yang dapat meningkatkan kebutuhan metabolik serta mengurangi nafsu makan sehingga berdampak terjadi ketidaknormalan dalam bentuk tubuh pendek meskipun faktor gen dalam sel menunjukkan potensi untuk tumbuh normal (Dekker et (Dekker et al., al., 2010) c.
Dampak stunting pada balita Anak-anak yang mengalami stunting stunting lebih awal yaitu sebelum usia usia
enam bulan, akan mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunting Stunting yang parah pada pada anak-anak akan terjadi terjadi defisit jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah, dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan normal(Frongillo et normal(Frongillo et al., al., 1997). Stunting pada Stunting pada balita merupakan faktor risiko meningkatnya angka kematian, menurunkan kemampuan kognitif dan perkembangan motorik rendah serta fungsi-fungsi tubuh yang tidak seimbang (Allen ( Allen and Gillespie, 2001).penelitian Adair and Guilkey (1997)menyatakan stunting
pada usia 2 tahun memiliki hubungan yang signifikan dengan rendahnya kecerdasan kognitif.Penelitian lain menunjukkan stunting pada balita berhubungan dengan keterlambatan perkembangan bahasa dan motorik halus sedangkan stunting yang stunting yang terjadi pada usia 36 bulan pertama biasanya disertai dengan efek jangka panjang(Branca and Ferrari, 2002). Selain dampak kognitif yang berkurang,anak stunting juga stunting juga memiliki risiko tinggi untuk menderita penyakit kronik, seperti obesitas dan mengalami gangguan intolerans glukosa. Sebuah Sebuah penelitian menunjukkan stunting berhubungan berhubungan dengan oksidasi lemak dan penyimpanan lemak tubuh. lemak tubuh. Stunting Stunting dapat meningkatkan risiko kejadian hipertensi (Branca and Ferrari, 2002). Salah satu gambar anak anak stunting di Kab Rejang Lebong
http://dinkes.bengkuluprov.go.id/ver1/index.php/116-faktor-dan-dampak-stuntingpada-kehidupan-balita-balita-pendek http://www.who.int/nutgrowthdb/about/introduction/en/index2.html https://en.wikipedia.org/wiki/Stunted_growth
Nama:
Kristylia Kristyli a Windy Shaviera
NIM :
125100107111034
Kelas :
D
GIZI KURANG PENYEBAB STUNTING
Indonesia adalah Negara berkembang yang memiliki permasalahan yang kompleks terutama dalam masalah gizi. Gizi di Indonesia atau Negara berkembang lain memiliki kasus gizi yang
berbeda dengan dengan Negara maju, yaitu indonesia memiliki
masalah gizi gang da yaitu status gizi yang menunjukkan keadaan disatu sisi daerah terdapat gizi kurang dan di sisi lain terdapat gizi lebih . Gizi kurang atau malnutrisi malnutrisi adalah kondisi kekurangan kekurangan gizi gizi
akibat jumlah jumlah
kandungan mikronutrien dan makronutrien tidak memadai. Kondisi ini dapat disebabkan oleh malabsorbsi (missal fibrosis kistik) yaitu ketidak mampuan mengonsumsi nutrient. Malnutrisi dapat menyebabkan penyakit seperti skorbut (malnutrisi akibat kekurangan asupan vitamin C dalam diet) atau obesitas (malnutrisi akibat asupan energy yang berlebihan). Indonesia telah menunjukkan penurunan kemiskinan secara tetap, tetapi masalah gizi kurang yang berdampak buruk pada anak-anak menunjukkan sedikit perbaikan. Dari tahun 2007 sampai 2011, proporsi penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sebesar 16,6 - 12,5 persen, tetapi masalah gizi kurang tidak menunjukkan penurunan secara signifikan. Gizi kurang menyebabakan prevalensi anak pendek sangat tinggi, mempengaruhi satu dari tiga anak balita, yang merupakan proporsi yang menjadi masalah kesehatan masyarakat menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Anak pendek mempengaruhi jauh lebih banyak anak miskin. Proporsi anak pendek dalam kuintil penduduk termiskin hampir dua kali lipat proporsi anak dalam kuintil kekayaan tertinggi. Daerah perdesaan memiliki proporsi yang lebih besar untuk anak pendek (40 persen) dibandingkan dengan daerah perkotaan (33 persen). Prevalensi anak pendek yang tinggal di rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang tidak berpendidikan adalah 1,7 kali lebih tinggi daripada prevalensi di antara anak-anak yang tinggal di rumah berpendidikan tinggi. Menkes RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH menyatakan bahwa ada tiga masalah gizi yang sudah dapat dikendalikan, yaitu Kekurangan Vitamin A pada anak Balita,
Gangguan Akibat Kurang Iodium dan Anemia Gizi. Menkes menjelaskan bahwa masalah gizi yang belum selesai adalah masalah gizi kurang dan pendek (stunting). Pada tahun 2010 prevalensi anak stunting 35.6 %, artinya 1 diantara tiga anak kita kemungkinan besar pendek. Sementara prevalensi gizi kurang telah turun dari 31% (1989), menjadi 17.9% (2010). Dengan capaian ini target MDGs sasaran 1 yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang menjadi 15.5% pada tahun 2015 diperkirakan dapat dicapai.
A. PENGERTIAN STUNTING Menurut data yang dilansir WHO, 178 juta anak di bawah lima tahun mengalami stunted. Stunting (tubuh pendek) adalah keadaan tubuh yang sangat pendek hingga melampaui defisit 2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional. Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan berdasarkan umur rendah, atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak – anak lain seusianya (MCN, 2009). Stunted adalah tinggi badan yang kurang menurut umur (<-2SD), ditandai dengan
terlambatnya pertumbuhan anak yang
mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai usia anak. Stunted merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada anak. B. PENYEBAB STUNTING PADA ANAK Menurut beberapa penelitian, kejadian stunted pada anak merupakan suatu proses kumulatif yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus kehidupan. Pada masa ini merupakan proses terjadinya stunted pada anak dan peluang peningkatan stunted terjadi dalam 2 t ahun pertama kehidupan. Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidaklangsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin. Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami intrauterine growth retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir dengan kurang gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan kurangnya asupan makanan yang memadai dan penyakit infeksi yang berulang, dan meningkatnya kebutuhan metabolic serta mengurangi nafsu makan, sehingga meningkatnya kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini semakin mempersulit untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya stunted Prevalensi anak-anak di provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang mengalami stunting, mencapai 44 persen. Penyebab utamanya, adalah banyaknya kesalahan
persepsi yang terjadi pada masyarakatnya, sehingga tidak bisa memberikan asupan gizi secara makasimal bagi anak- anaknya . Menurut Community for Development UNICEF Aceh Zone, Nurdahlia Lairing, banyak kebiasaan buruk dan persepsi salah yang masih dilakukan oleh masyarakat di lingkungannya. "Antara lain tak memberikan ASI eksklusif pada bayinya," katanya di kantor UNICEF Aceh, di Banda Aceh, Aceh, . Menurut UNICEF, penyebab utama gizi buruk dan stunting adalah kemiskinan. Bangsa kita agak kesulitan mengatasi masalah ini karena kemiskinan belum bisa diatasi dengan sempurna," kata guru besar Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Ir Ali Khomsan MS, usai gebyar posyandu tumbuh aktif tanggap (TAT) di Gedung Basket, Gelora Bung Karno, Jl Asia Afrika, Senayan, Jakarta, dan ditulis pada Minggu. Dipaparkan Prof Ali satu dari 3 balita memiliki ukuran badan yang lebih pendek dari standar tinggi badan yang diharapkan. Indonesia berada di peringkat ke-lima negara dengan jumlah anak stunting terbanyak, sekitar 7,8 juta anak. Umumnya anak yang stunting karena
gizi buruk kemampuan membaca dan belajarnya menurun.
Anak stunting juga dikaitkan dengan budaya dan pengetahuan masyarakat akan gizi. Namun kedua faktor ini masih belum menjadi faktor penyebab utama kemiskinan.
Pemenuhan gizi yang kurang pada masyarakat dengan kemiskinan merupakan salah satu biang kerok munculnya anak stunting. Karena pola makan sering kali seiring dengan kondisi kesejahteraan. Konsumsi ikan laut masyarakat masih rendah, padahal protein dan omega yang dikandung sangat bermanfaat bagi anak. Sangat ironis memang, karena Indonesia merupakan negara bahari. C. CIRI-CIRI STUNTING PADA ANAK
-
Anak yang stunted, pada usia 8-10 tahun lebih terkekang/tertekan (lebih pendiam, tidak banyak
melakukan
eye-contact )
dibandingkan
dengan
anak
non-stunted
jika
ditempatkan dalam situasi penuh tekanan. -
Anak dengan kekurangan protein dan energi kronis (stunting) menampilkan performa yang buruk pada tes perhatian dan memori belajar, tetapi masih baik dalam koordinasi dan kecepatan gerak.
-
Pertumbuhan melambat, batas bawah kecepatan tumbuh adalah 5cm/tahun dec imal
-
Tanda tanda pubertas terlambat (payudara, menarche, rambut pubis, rambut ketiak, panjangnya testis dan volume testis
-
Wajah tampak lebih muda dari umurnya
-
Pertumbuhan gigi yang terlambat
D. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS Riwayat Antenatal, Natal dan Postnatal, adanya keterlambatan pertumbuhan dan masurasi dalam keluarga (pendek, menarche), penyakit infeksi kongential, KMK (kecil masa kehamilan), penyakit kronis pada organ-organ (saluran cerna, kaardiovaskular, organ pernafasan dan ginjal)
E. PENGARUH STUNTING PADA ANAK Menurut laporan UNICEF (1998) beberapa fakta terkait stunted dan pengaruhnya adalah sebagai berikut: 1.
Anak-anak yang mengalami stunted lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan,
akan mengalami stunted lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunted yang parah pada anak-anak akan terjadi deficit jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah, dibandingkan anakanak dengan tinggi badan normal. Anak-anak dengan stunted cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen dari sekolah dibandingkan anak-anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikan
konsekuensi terhadap kesuksesan anak
dalam kehidupannya dimasa yang akan datang. 2.
Stunted akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembanangan anak. Faktor
dasar yang menyebabkan stunted dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Penyebab dari stunted adalah bayi berat lahir rendah, ASI yang tidak
memadai, makanan
tambahan yang tidak sesuai, diare berulang, dan infeksi
pernapasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak dengan stunted mengkonsumsi makanan yang berada di bawah ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga miskin dengan jumlah keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan. 3.
Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunted dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Anak stunted pada usia lima tahun cenderung menetapsepanjang hidup, kegagalan pertumbuhan anak usia dini berlanjut pada masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang stunted dan mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan produktivitas, sehingga meningkatkan peluang melahirkan anak dengan BBLR. Stunted terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih cenderung menghambat dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal saat melahirkan.
F. PENCEGAHAN Stunting atau tubuh pendek dapat dicegah dengan beberapa cara, antara lain: -
Pemberian ASI secara baik dan tepat disertai dengan pengawasan berat badan secara teratur dan terus menerus
-
Menghindari pemberian makanan buatan kepada anak untuk m engganti ASI sepanjang ibu masih mampu menghasilkan ASI, t erutama pada usia dibawah empat bulan
-
Meningkatkan pendapatan keluarga yang dapat dilakukan dengan upaya mengikutsertakan para anggota keluarga yang sudah cukup umur untuk bekerja dengan diimbangi dengan penggunaan uang yang terarah dan efisien. Cara lain yang dapat ditempuh ialah pemberdayaan melalui peningkatan keterampilan dan kewirausahaan
-
Meningkatkan intensitas komunikasi informasi edukasi (KIE) kepada masyarakaat, terutama para ibu mengenai pentingnya konsumsi zat besi yang diatur sesuai kebutuhan. Hal ini dapat dikoordinasikan dengan kegiatan posyandu.
G. PENANGGULANGAN Periode yang paling kritis dalam penanggulangan stunting dimulai sejak janin dalam kandungan sampai anak berusia 2 tahun yang disebut dengan periode emas
(seribu hari pertama kehidupan). Oleh karena itu perbaikan gizi diprioritaskan pada usia seribu hari pertama kehidupan yaitu 270 hari selama kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkannya. Secara langsung masalah gizi disebabkan oleh rendahnya asupan gizi dan masalah kesehatan. Selain itu asupan gizi dan masalah kesehatan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Adapun pengaruh tidak langsung adalah ketersediaan makanan, pola asuh dan ketersediaan air minum (bersih), sanitasi dan pelayanan kesehatan. Seluruh faktor penyebab ini dipengaruhi oleh beberapa akar masalah yaitu kelembagaan, politik dan ideologi, kebijakan ekonomi, dan sumberdaya, lingkungan, teknologi, serta kependudukan. Berdasarkan faktor penyebab masalah gizi tersebut, maka perbaikan gizi dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara langsung (kegiatan spesifik) dan secara tidak langsung (kegiatan sensitif). Kegiatan spesifik umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan seperti PMT ibu hamil KEK, pemberian tablet tambah darah, pemeriksaan kehamilan, imunisasi TT, pemberian vitamin A pada ibu ni fas. Untuk bayi dan balita dimulai dengan inisiasi menyusu dini (IMD), ASI eksklusif, pemberian vitamin A, pemantauan pertumbuhan, imunisasi dasar, pemberian MP-ASI. Sedangkan kegiatan yang sensitif melibatkan sektor terkait seperti penanggulangan kemiskinan, penyediaan pangan, penyediaan lapangan kerja, perbaikan infrastruktur (perbaikan jalan, pasar), dll Kegiatan perbaikan gizi dimaksudkan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Multicentre Growth Reference Study (MGRS) Tahun 2005 yang kemudian menjadi dasar standar pertumbuhan internasional,
pertumbuhan anak sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi, riwayat kesehatan, pemberian ASI dan MP-ASI. Untuk mencapai pertumbuhan optimal maka seorang anak perlu mendapat asupan gizi yang baik dan diikuti oleh dukungan kesehatan lingkungan. Penanggulangan stunting yang paling efektif dilakukan pada seribu hari pertama kehidupan, meliputi : 1. Pada ibu hamil
Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka perlu diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut.
Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama kehamilan.
Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit 2. Pada saat bayi lahir
Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi lahir melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi Air Susu Ibu (ASI) saja (ASI Eksklusif)
3. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun
Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih.
Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, taburia, imunisasi dasar lengkap. 4. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap rumah
tangga.
DAFTAR PUSTAKA Adriani, Merryana dkk. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat . Kencana Prenada Medis
Grup:Jakarta http://gizi.depkes.go.id/1000-hari-mengubah-hidup-mengubah-masa-depan
http://health.detik.com/read/2013/03/17/115246/2196066/1301/kemiskinan-faktorutama-penyebab-anak-kuntet
http://www.indonesian-publichealth.com/2013/01/dampak-dan-penyebabstunted.html
http://www.unicef.org/indonesia/id/A6_-_B_Ringkasan_Kajian_Gizi.pdf
Status gizi merupakan keadaan yang disebabkan oleh keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktifitas dan pemeliharaan kesehatan (Jahari, 2004). Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumberdaya manusia dan kualitas hidup. Untuk itu, program perbaikan gizi bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi masyarakat (Muchtadi, 2002). Sedangkan menurut Almatsier (2003) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan g izi.
Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek sehingga
melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan (Manary & Solomons, 2009). Stunting merupakan pertumbuhan linear yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit (Fitri, 2012). Saat ini stunting pada anak merupakan salah satu indikator terbaik untuk menilai kualitas modal manusia di masa mendatang. Kerusakan yang diderita pada awal kehidupan, yang terkait dengan proses stunting, menyebabkan kerusakan permanen. Keberhasilan tindakan yang berkelanjutan untuk mengentaskan kemiskinan dapat diukur dengan kapasitas mereka untuk mengurangi prevalensi stunting pada anak-anak kurang dari lima tahun. Berat lahir berkontribusi mengurangi pertumbuhan anak dalam dua tahun pertama kehidupan, akan mengakibatkan stunting dalam dua tahun, yang akhirnya tergambar pada tinggi badan saat dewasa. Peningkatan fungsi kognitif dan perkembangan intelektual terkait dengan peningkatan berat lahir dan pengurangan dalam stunting. Efek negatif berat lahir rendah pada pengembangan intelektual ditekankan pada kelompok sosial ekonomi rendah, dan dapat diatasi dengan perbaikan lingkungan. Kegagalan pertumbuhan pada saat awal kehidupan akan menyebabkan tinggi badan pada saat dewasa kurang kecuali ada kompensasi pertumbuhan ( catch-up growth) di masa anak-anak. http://wwwrorowashilatur.blogspot.co.id/2015/05/pengertian-stunting.html
Reply Tugas Kuliah 4:30:00 PM A+ APrint Email
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan masalah gizi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu: Masalah gizi yang secara public health sudah terkendali; Masalah yang belum dapat diselesaikan (un-finished); dan Masalah gizi yang sudah meningkat dan mengancam kesehatan masyarakat (emerging). Masalah gizi lain yang juga mulai teridentifikasi dan perlu diperhatikan adalah defisiensi vitamin D. Masalah gizi yang sudah dapat dikendalikan meliputi kekurangan Vitamin A pada anak Balita, Gangguan Akibat Kurang Iodium dan Anemia Gizi pada anak 2-5 tahun. Penanggulangan masalah Kurang Vitamin A (KVA) pada anak Balita sudah dilaksanakan secara intensif sejak tahun 1970-an, melalui distribusi kapsul vitamin A setiap 6 bulan, dan peningkatan promosi konsumsi makanan sumber vitamin A. Dua survei terakhir tahun 2007 dan 2011 menunjukkan, secara nasional proporsi anak dengan serum retinol kurang dari 20 ug sudah di bawah batas masalah kesehatan masyarakat, artinya masalah kurang vitamin A secara nasional tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penanggulangan GAKI dilakukan sejak tahun 1994 dengan mewajibkan semua garam yang beredar harus mengandung iodium sekurangnya 30 ppm. Data status Iodium pada anak sekolah sebagai indikator gangguan akibat kurang Iodium selama 10 tahun terakhir menunjukkan hasil yang konsisten. Median Ekskresi Iodium dalam Urin (EIU) dari tiga survai terakhir berkisar antara 200230 g/L, dan proporsi anak dengan EIU <100 g/L di bawah 20%. Secara nasional masalah gangguan akibat kekurangan Iodium tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Masalah gizi ketiga yang sudah bisa dikendalikan adalah anemia gizi pada anak 2-5 tahun. Prevalensi anemia pada anak mengalami penurunan, yakni 51,5% (1995) menjadi 25,0% (2006) dan 17,6% (2011). Masalah gizi yang belum selesai adalah masalah gizi kurang dan pendek (stunting). Pada tahun 2010 prevalensi anak stunting 35.6 %, artinya 1 diantara tiga anak kita kemungkinan besar pendek. Sementara prevalensi gizi kurang telah turun dari 31% (1989), menjadi 17.9% (2010). Dengan capaian ini target MDGs sasaran 1 yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang menjadi 15.5% pada tahun 2015 diperkirakan dapat dicapai. Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa 35,6% anak Indonesia “stunted ”. Sebagai akibatnya, produktivitas individu menurun dan masyarakat harus hidup dengan penghasilan yang rendah. Stunting atau penurunan tingkat pertumbuhan pada manusia utamanya disebabkan oleh kekurangan gizi. Lebih jauh lagi, kekurangan
gizi
ini
disebabkan
oleh
rusaknya
mukosa
usus
oleh
bakteri fecal yang mengakibatkan terjadinya gangguan absorbsi zat gizi. Dengan demikian, peningkatan cakupan sanitasi dan perilaku hygiene sebesar 99% dapat membantu
menurunkan
insiden
diare
sebesar
30%
dan
menurunkan
prevalensi stuntingsebesar 2,4%. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sanitasi buruk mengakibatkan beragam dampak negatif, baik bagi kesehatan, ekonomi maupun lingkungan. Saat ini, tantangan pembangunan sanitasi semakin berat dengan adanya temuan bahwa sanitasi buruk mengakibatkan sebagian besar generasi penerus bangsa terdiagnosa stunted . Sanitasi buruk dan air minum yang terkontaminasi mengakibatkan diare yang mengganggu penyerapan zat-zat gizi dalam tubuh. Akibatnya, anak-anak tidak mendapatkan zat gizi yang memadai sehingga pertumbuhannya terhambat.
1.2. Rumusan Masalah Bedasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah bagaimana cara mencegah masalah stunting di pada anak balita. 1.3. Tujuan Penulisan 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk membrikan pengetahuan kepada sasaran mengenai cara mencegah stunting pada balita.
1.3.2. Tujuan Khusus Memberikan informasi mengenai stunting yang terdiri dari :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Defenisi Stunting Penyebab stunting Faktor yang mempengaruhi trjadinya stunting Penilaian stunting secara antopometri Dampak stuntig Cara mencegah stunting Zat gizi mikro yang berperan untuk menghindari stunting (pendek) Pemfokusan tenaga kesehatan Usaha pemerintah dalam masalah stunting
BAB II PEMBAHASAN 2.1. Defenisi Stunting Stunting merupakan istilah para nutrinis untuk penyebutan anak yang tumbuh tidak sesuai dengan ukuran yang semestinya (bayi pendek). Stunting (tubuh pendek) adalah keadaan tubuh yang sangat pendek hingga melampaui defisit 2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional. Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan berdasarkan umur rendah, atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak – anak lain seusianya (MCN, 2009). Stunted adalah tinggi
badan
yang
kurang
menurut
umur
(<-2SD),
ditandai
dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai usia anak. Stunted
merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada anak. Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antropometrik tinggi badan menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai dan atau kesehatan. Stunting merupakan pertumbuhan linier yang gagal untuk mencapai potensi genetic sebagai akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit (ACC/SCN, 2000). Stunting didefinisikan sebagai indikator status gizi TB/U sama dengan atau kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) dibawah rata-rata standar atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak – anak lain seusianya (MCN, 2009) (WHO, 2006). Ini adalah indikator kesehatan anak yang kekurangan gizi kronis yang memberikan gambaran gizi pada masa lalu dan yang dipengaruhi lingkungan dan keadaan sosial ekonomi.
2.2. Penyebab Stunting Menurut beberapa penelitian, kejadian stunted pada anak merupakan suatu proses kumulatif yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus kehidupan. Pada masa ini merupakan proses terjadinya stunted pada anak dan peluang peningkatan stunted terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan. Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak langsung
yang
memberikan
kontribusi
terhadap
pertumbuhan
dan
perkembangan janin. Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami intrauterine growth retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir dengan kurang gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan kurangnya asupan makanan yang memadai dan penyakit infeksi yang berulang, dan meningkatnya kebutuhan metabolic serta mengurangi nafsu makan, sehingga meningkatnya kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini semakin
mempersulit untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya stunted (Allen and Gillespie, 2001). Gizi buruk kronis (stunting) tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja seperti yang telah dijelaskan diatas, tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu sama lainnnya. Terdapat tiga faktor utama penyebab stunting yaitu sebagai berikut : 1. Asupan makanan tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam makanan yaitu karbohidrat, protein,lemak, mineral, vitamin, dan air). 2. Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), 3. Riwayat penyakit.
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Stunting Beberapa faktor yang terkait dengan kejadian stunted antara lain kekurangan energi dan protein, sering mengalami penyakit kronis, praktek pemberian makan yang tidak sesuai dan faktor kemiskinan. Prevalensi stunted meningkat dengan bertambahnya usia, peningkatan terjadi dalam dua tahun pertama kehidupan, proses pertumbuhan anak masa lalu mencerminkan standar gizi dan kesehatan. Menurut laporan UNICEF (1998) beberapa fakta terkait stunted dan pengaruhnya antara lain sebagai berikut : 1. Anak-anak yang mengalami stunted lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan, akan mengalami stunted lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunted yang parah pada anak-anak akan terjadi deficit jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah, dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan normal. Anak-anak dengan stunted cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen dari sekolah dibandingkan anak-anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap kesuksesan anak dalam kehidupannya dimasa yang akan datang. 2. Stunted akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembanangan anak. Faktor dasar yang menyebabkan stunted dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Penyebab dari stunted adalah bayi berat lahir rendah, ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare berulang,
dan infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak dengan stunted mengkonsumsi makanan yang berada di bawah ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga miskin dengan jumlah keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan. 3. Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunted dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Anak stunted pada usia lima tahun cenderung menetapsepanjang hidup, kegagalan pertumbuhan anak usia dini berlanjut pada masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang stunted dan mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan produktivitas, sehingga meningkatkan peluang melahirkan anak dengan BBLR. Stunted terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih cenderung menghambat dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal saat melahirkan.
2.4. Penilaian Stunting secara Antropometri Untuk menentukan stunted pada anak dilakukan dengan cara pengukuran. Pengukuran tinggi badan menurut umur dilakukan pada anak usia di atas 2 tahun. Antropometri merupakan
ukuran dari tubuh, sedangkan antropometri
gizi adalah jenis pengukuran dari beberapa bentuk tubuh dan komposisi tubuh menurut umur dan tingkatan gizi, yang digunakan untuk mengetahui ketidakseimbangan
protein
dan
energi.
Antropometri
dilakukan
untuk
pengukuran pertumbuhan tinggi badan dan berat badan (Gibson, 2005). Standar digunakan untuk standarisasi pengukuran berdasarkan rekomendasi NCHS dan WHO. Standarisasi pengukuran ini membandingkan pengukuran anak dengan median, dan standar deviasi atau Z-score untuk usia dan jenis kelamin yang sama pada anak- anak. Z-score adalah unit standar deviasi untuk mengetahui perbedaan antara nilai individu dan nilai tengah (median) populasi referent untuk usia/tinggi yang sama, dibagi dengan standar deviasi dari nilai populasi rujukan. Beberapa keuntungan penggunaan Z-score antara lain untuk mengiidentifikasi nilai yang tepat dalam distribusi perbedaan indeks dan perbedaan usia, juga memberikan manfaat untuk menarik kesimpulan secara statistik dari pengukuran antropometri. Indikator antropometrik seperti tinggi badan menurut umur (stunted) adalah penting dalam mengevaluasi kesehatan dan status gizi anak -anak pada wilayah
dengan banyak masalah gizi buruk . Dalam menentukan klasifikasi gizi kurang dengan stunted sesuai dengan ”Cut off point”, dengan penilaian Z-score, dan pengukuran pada anak balita berdasarkan tinggi badan menurut Umur (TB/U) Standar baku WHO-NCHS berikut (Sumber WHO 2006)
2.5. Dampak Stunting Stunting dapat mengakibatkan penurunan intelegensia (IQ), sehingga prestasi belajar menjadi rendah dan tidak dapat melanjutkan sekolah. Bila mencari pekerjaan, peluang gagal tes wawancara pekerjaan menjadi besar dan tidak mendapat pekerjaan yang baik, yang berakibat penghasilan rendah (economic productivity hypothesis) dan tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan. Karena itu anak yang menderita stunting berdampak tidak hanya pada fisik yang lebih pendek saja, tetapi juga pada kecerdasan, produktivitas dan prestasinya kelak setelah dewasa, sehingga akan menjadi beban negara. Selain itu dari aspek estetika, seseorang yang tumbuh proporsional akan kelihatan lebih menarik dari yang tubuhnya pendek. Stunting yang terjadi pada masa anak merupakan faktor risiko meningkatnya angka kematian, kemampuan kognitif, dan perkembangan motorik yang rendah serta fungsi-fungsi tubuh yang tidak seimbang (Allen & Gillespie, 2001). Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya dan sulit diperbaiki. Masalah stunting menunjukkan ketidakcukupan gizi dalam jangka waktu panjang, yaitu kurang energi dan protein, juga beberapa zat gizi mikro.
2.6. Cara Mencegah Stunting 1. Mencegah Stunting pada Balita Berbagai upaya telah kita lakukan dalam mencegah dan menangani masalah gizi di masyarakat. Memang ada hasilnya, tetapi kita masih harus bekerja keras untuk menurunkan prevalensi balita pendek sebesar 2,9% agar
target MD’s tahun 2014 tercapai yang berdampak pada turunnya prevalensi gizi kurang pada balita kita. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur, namun pertambahan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu singkat. Jika terjadi gangguan pertumbuhan tinggi badan pada balita, maka untuk mengejar pertumbuhan tinggi badan optimalnya masih bisa diupayakan, sedangkan anak usia sekolah sampai remaja relatif kecil kemungkinannya. Maka peluang besar untuk mencegah stunting dilakukan sedini mungkin. dengan mencegah faktor resiko gizi kurang baik pada remaja putri, wanita usia subur (WUS), ibu hamil maupun pada balita. Selain itu, menangani balita yang dengan tinggi dan berat badan rendah yang beresiko terjadi stunting, serta terhadap balita yang telah stunting agar tidak semakin berat. Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam kandungan dengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil, artinya setiap ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup gizi, mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe), dan terpantau kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat ASI saja sampai umur 6 bulan (eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat makanan cukup gizi,
juga
diberi
suplementasi
zat
gizi
berupa
kapsul
vitamin
A.
Kejadian stunting pada balita yang bersifat kronis seharusnya dapat dipantau dan dicegah apabila pemantauan pertumbuhan balita dilaksanakan secara rutin dan benar. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan, sehingga dapat dilakukan pencegahan terjadinya balita stunting. Bersama dengan sektor lain meningkatkan kualitas sanitasi lingkungan dan penyediaan sarana prasarana dan akses keluarga terhadap sumber air terlindung, serta pemukiman yang layak. Juga meningkatkan akses keluarga terhadap daya beli pangan dan biaya berobat bila sakit melalui penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan. Peningkatan pendidikan ayah dan ibu yang berdampak pada pengetahuan dan kemampuan dalam penerapan kesehatan dan gizi keluarganya, sehingga anak berada dalam keadaan status gizi yang baik. Mempermudah akses keluarga
terhadap informasi dan penyediaan informasi tentang kesehatan dan gizi anak yang mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh setiap keluarga juga merupakan cara yang efektif dalam mencegah terjadinya balita stunting.
2. Penanggulangan dan pencegahan Stunting pada Bayi a. Penanggulangan stunting pada pertumbuhan bayi Penanggulangan stunting yang paling efektif dilakukan pada seribu hari pertama kehidupan, yaitu: ·
Pada ibu hamil Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah mengalami KurangEnergiKronis (KEK), maka perlu diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut. Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama kehamilan. Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.
·
Pada saat bayi lahir Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi lahir melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi Air Susu Ibu (ASI) saja (ASI Eksklusif).
·
Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih. Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, taburia, imunisasi dasar lengkap.
·
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap rumah tangga. b. Pencegahan stunting pada pertumbuhan bayi
·
Kebutuhan gizi masa hamil Pada
Seorang
wanita
dewasa
yang
sedang
hamil,
kebutuhan
gizinya
dipergunakan untuk kegiatan rutin dalam proses metabolisme tubuh, aktivitas
fisik, serta menjaga keseimbangan segala proses dalam tubuh. Di samping proses yang rutin juga diperlukan energi dan gizi tambahan untuk pembentukan jaringan baru, yaitu janin, plasenta, uterus serta kelenjar mamae. Ibu hamil dianjurkan makan secukupnya saja, bervariasi sehingga kebutuhan akan aneka macam zat gizi bisa terpenuhi. Makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah makanan yang mengandung zat pertumbuhan atau pembangun yaitu protein, selama itu juga perlu tambahan vitamin dan mineral untuk membantu proses pertumbuhan itu. ·
Kebutuhan Gizi Ibu saat Menyusui Jumlah makanan untuk ibu yang sedang menyusui lebih besar dibanding dengan ibu hamil, akan tetapi kualitasnya tetap sama. Pada ibu menyusui diharapkan mengkonsumsi makanan yang bergizi dan berenergi tinggi, seperti diisarankan untuk minum susu sapi, yang bermanfaat untuk mencegah kerusakan gigi serta tulang. Susu untuk memenuhi kebutuhan kalsium dan flour dalam ASI. Jika kekurangan unsur ini maka terjadi pembongkaran dari jaringan (deposit) dalam tubuh tadi, akibatnya ibu akan mengalami kerusakan gigi. Kadar air dalam ASI sekitr 88 gr %. Maka ibu yang sedang menyusui dianjurkan untuk minum sebanyak 2–2,5 liter (8-10 gelas) air sehari, di samping bisa juga ditambah dengan minum air buah.
·
Kebutuhan Gizi Bayi 0 – 12 bulan Pada usia 0 – 6 bulan sebaiknya bayi cukup diberi Air Susu Ibu (ASI). ASI adalah makanan terbaik bagi bayi mulai dari lahir sampai kurang lebih umur 6 bulan. Menyusui sebaiknya dilakukan sesegara mungkin setelah melahirkan. Pada usia ini sebaiknya bayi disusui selama minimal 20 menit pada masing-masing payudara hingga payudara benar-benar kosong. Apabila hal ini dilakukan tanpa membatasi waktu dan frekuensi menyusui,maka payudara akan memproduksi ASI sebanyak 800 ml bahkan hingga 1,5 – 2 liter perhari.
·
Kebutuhan Gizi Anak 1 – 2 tahun Ketika memasuki usia 1 tahun, laju pertumbuhan mulai melambat tetapi perkembangan motorik meningkat, anak mulai mengeksplorasi lingkungan sekitar dengan cara berjalan kesana kemari, lompat, lari dan sebagainya. Namun pada usia ini anak juga mulai sering mengalami gangguan kesehatan dan rentan terhadap penyakit infeks seperti ISPA dan diare sehingga anak butuh zat gizi
tinggi dan gizi seimbang agar tumbuh kembangnya optimal. Pada usia ini ASI tetap diberikan. Pada masa ini berikan juga makanan keluarga secara bertahap sesuai kemampuan anak. Variasi makanan harus diperhatikan. Makanan yang diberikan tidak menggunakan penyedap, bumbu yang tajam, zat pengawet dan pewarna. dari asi karena saat ini hanya asi yang terbaik untuk buah hati anda tanpa efek samping 2.7.
Zat Gizi Mikro yang Berperan untuk Menghindari Stunting
(Pendek) a. Kalsium Kalsium berfungsi dalam pembentukan tulang serta gigi, pembekuan darah dan kontraksi otot. Bahan makanan sumber kalsium antara lain : ikan teri kering, belut, susu, keju, kacang-kacangan. b. Yodium Yodium sangat berguna bagi hormon tiroid dimana hormon tiroid mengatur metabolisme, pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Yodium juga penting untuk mencegah gondok dan kekerdilan. Bahan makanan sumber yodium : ikan laut, udang, dan kerang. c. Zink Zink berfungsi dalam metabolisme tulang, penyembuhan luka, fungsi kekebalan dan pengembangan fungsi reproduksi laki-laki. Bahan makanan sumber zink : hati, kerang, telur dan kacang-kacangan. d. Zat Besi Zat besi berfungsi dalam sistem kekebalan tubuh, pertumbuhan otak, dan metabolisme energi. Sumber zat besi antara lain: hati, telur, ikan, kacangkacangan, sayuran hijau dan buah-buahan. e. Asam Folat Asam folat terutama berfungsi pada periode pembelahan dan pertumbuhan sel, memproduksi sel darah merah dan mencegah anemia. Sumber asam folat antara lain : bayam, lobak, kacang-kacangan, serealia dan sayur-sayuran.
2.8. Pemfokusan Tenaga Kesehatan Hal yang menjadi pemfokusan adalah menurunkan prevalensi pendek. Jika kita berhasil menurunkan prevalensi pendek (TB/U) 1% akan diikuti penurunan prevalensi berat kurang (BB/U) 0,5%, sehingga pada untuk tahun
2011-2014 dengan penurunan 4% prevalensi balita pendek dapat menurunkan 2% prevalensi balita berat kurang. Artinya pada tahun 2015, target MDG’s prevalensi balita pendek sebesar 32% dapat tercapai, karena kita berhasil menurunkan 35,6% menjadi 31,6%.
2.9. Usaha Pemerintah dalam Masalah Stunting Selama ini pemerintah sudah berusaha mengurangi Gizi buruk, terutama pertumbuhan
yang
terhambat,
merupakan
sebuah
masalah
kesehatan
masyarakat yang utama di Indonesia. Untuk mengatasi tantangan itu, UNICEF mendukung sejumlah inisiatif di tahun 2012 untuk menciptakan lingkungan nasional yang kondusif untuk gizi. Ini meliputi peluncuran Gerakan Sadar Gizi Nasional ( Scaling Up Nutrition – SUN) dan mendukung pengembangan regulasi tentang pemberian ASI eksklusif, rencana nasional untuk mengendalikan gangguan kekurangan iodine, panduan tentang pencegahan dan pengendalian parasit intestinal dan panduan tentang suplementasi multi-nutrient perempuan dan anak di Klaten, Jawa Tengah. Manajemen masyarakat tentang gizi buruk akut dan pemberian makan bayi dan anak menjelma menjadi sebuah paket holistic untuk menangani gizi buruk, sementara pengendalian gizi anak dan malaria ditangani bersama untuk mencegah pertumbuhan yang terhambat (stunting) (Laporan Tahuna Unicef Indonesia, 2012).
Untuk membantu pemerintah dalam melakukan perbaikan gizi pada balita Stunting, menurut Unicef Indonesia perhatian khusus harus diberikan pada:
Penciptaan dan penguatan mekanisme koordinasi nasional dan daerah untuk mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi, dan untuk melakukan koordinasi dengan sektor-sektor non-gizi. 2. Pengembangan, pemantauan dan penegakan peraturan nasional untuk mengawasi pemasaran produk pengganti ASI. 3. Revisi standar minimal pelayanan kesehatan untuk mencakup aksi-aksi dan sasaran gizi,seperti aksi-aksi yang berhubungan dengan konseling gizi, makanan pendamping ASI dan gizi ibu. 1.
4. Penguatan sistem informasi kesehatan untuk meningkatkan keandalan
data, promosi pengawasan suportif terhadap program kesehatan dan gizi, dan promosi penggunaan data oleh petugas kesehatan secara terusmenerus untuk meningkatkan dampak program. 5. Penguatan program fortifikasi pangan nasional dengan memperbarui standar fortifikasiuntuk terigu, pengharusan fortifikasi minyak, dan peningkatan penegakan legislasi yang ada; tentang iodisasi garam. 6. Implementasi langkah-langkah untuk merekrut, mengembangkan dan mempertahankan ahli gizi yang memenuhi syarat, termasuk insentif bagi mereka yang bekerja di daerah-daerah yang kurang terlayani.
BAB III KESIMPULAN 3.1. Kesimpulan Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan berdasarkan umur rendah, atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak – anak lain seusianya (MCN, 2009). Stunted adalah tinggi badan yang kurang menurut umur (<-2SD), ditandai dengan
terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan
kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai usia anak. Stunted merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada anak. Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antropometrik tinggi badan menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai dan atau kesehatan. Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak langsung
yang
memberikan
kontribusi
terhadap
pertumbuhan
dan
perkembangan janin. Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami intrauterine growth retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir dengan
kurang
gizi,
dan
mengalami
gangguan
pertumbuhan
dan
perkembangan.Beberapa faktor yang terkait dengan kejadian stunted antara lain
kekurangan energi dan protein, sering mengalami penyakit kronis, praktek pemberian makan yang tidak sesuai dan faktor kemiskinan. Untuk
menentukan
stunted
pada
anak
dilakukan
dengan
cara
pengukuran. Pengukuran tinggi badan menurut umur dilakukan pada anak usia di
atas
2
tahun.
Antropometri
merupakan
ukuran
dari
tubuh,
sedangkan antropometri gizi adalah jenis pengukuran dari beberapa bentuk tubuh dan komposisi tubuh menurut umur dan tingkatan gizi, yang digunakan untuk mengetahui ketidakseimbangan protein dan energi. Anak yang menderita stunting berdampak tidak hanya pada fisik yang lebih pendek saja, tetapi juga pada kecerdasan, produktivitas dan prestasinya kelak setelah dewasa, sehingga akan menjadi beban negara. Selain itu dari aspek estetika, seseorang yang tumbuh proporsional akan kelihatan lebih menarik dari yang tubuhnya pendek. Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam kandungan dengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil, artinya setiap ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup gizi, mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe), dan terpantau kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat ASI saja sampai umur 6 bulan (eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat makanan cukup gizi, juga diberi suplementasi zat gizi berupa kapsul vitamin A.
DAFTAR PUSTAKA
Laporan Tahuna Unicef Indonesia. 2012. Ringkasan Kajian Kesehatan Unicef Indonesia.Oktober 2012. Laporan Tahunan Indonesia. 2013. Penyajian Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. http://www.stbm-indonesia.org/dkconten.php?id=5433 http://kualitasnews.com/stunting-dan-dampak-kehidupannya-kedepan/
http://catatanseorangahligizi.wordpress.com/2012/01/06/stunting/
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting
Menurut UNICEF (1998), pertumbuhan dipengaruhi oleh sebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung diantaranya adalah asupan makanan dan keadaan kesehatan, sedangkan penyebab tidak langsung meliputi ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga, pola pengasuhan anak, sanitasi lingkungan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Faktor-faktor tersebut ditentukan oleh sumber daya manusia, eknonomi dan organisasi melalui faktor pendidikan. Penyebab paling mendasar dari tumbuh kembang adalah masalah struktur politik, ideologi, dan sosial ekonomi yang dilandasi oleh potensi sumber daya yang ada (Supariasa et al., 2012). Menurut Tuft (2001) dalam The World Bank (2007) stunting disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor individu yang meliputi asupan makanan, berat badan lahir, dan keadaan kesehatan; faktor rumah tangga yang meliputi kualitas dan kuantitas makanan, sumber daya, jumlah dan struktur keluarga, pola asuh, perawatan kesehatan, dan pelayanan; serta faktor lingkungan yang meliputi infrastruktur sosial ekonomi, layanan pendidikan dan layanan kesehatan. Sedangkan menurut Soetjiningsih (1995) tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan.
a.
Faktor Langsung Asupan Makan
Asupan zat-zat gizi yang lengkap masih terus dibutuhkan anak selama proses tumbuh kembang masih berlanjut karena proses tumbuh kembang ini dipengaruhi oleh makanan yang diberikan pada anak. Makanan yang diberikan harus tepat baik jenis dan jumlahnya hingga kandungan gizinya. Zat gizi yang dibutuhkan anak ditentukan oleh usia, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, dan tinggi badan.
Tubuh anak tetap membutuhkan semua zat gizi utama yaitu karbohidrat, lemak, protein, serat, vitamin dan mineral (Marimbi, 2010). Menurut Marimbi (2010) antara asupan zat gizi dan pengeluarannya harus ada keseimbangan sehingga diperoleh status gizi yang baik. Penilaian status gizi dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi dapat dilakukan melalui survey konsumsi makanan (Depkes Malang, 2008). Menurut Supariasa et al. (2012) ada beberapa metode pengukuran konsumsi makanan. Untuk menentukan jumlah konsumsi rata-rata dari sekelompok responden maka dapat menggunakan metode recall 2x24 jam atau penimbangan selama satu hari sudah cukup. Sedangkan untuk mengetahui kebiasaan atau pola konsumsi dari sekelompok masyarakat, maka dapat menggunakan metode frekuensi makanan. Berikut ini langkah-langkah penggunaan metode recall 2x24 jam dan frekuensi makanan : 1)
Metode Food Recall 2x24 jam Langkah pelaksanaan recall 2x24 jam, sebagai berikut :
a)
Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT) selama kurun waktu 24 jam yang lalu. Selain dari makann utama, makanan kecil atau jajan juga dicatat, termasuk makanan yang dimakan diluar rumah.
b)
Pewawancara melakukan konversi dari URT ke dalam ukuran berat (gram). Dalam menaksir/ memperkirakan ke dalam ukuran berat (gram) pewawancara menggunakan berbgai alat bantu seperti ukuran rumah tangga (piring, gelas, sendok, dan lain-lain) atau model dari makanan ( food model). Makanan yang dikonsumsi dapat dihitung dengan alat bantu ini atau dengan menimbang langsung contoh makanan yang dikonsumsi.
c)
Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM)
d) Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang dianjurkan (DKGA) atau Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia 2)
Metode Frekuensi Makanan ( Food Frequency) Langkah pelaksanaan Frekuensi Makanan ( Food Frequency), sebagai berikut :
a) Responden diminta untuk memberi tanda pada daftar makanan yang tersedia pada kuesioner mengenai frekuensi penggunaanya dan ukuran porsinya b)
Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis bahan makanan terutama bahan makanan yang merupakan sumber-sumber zat gizi tertentu selama periode tertentu. Untuk menilai tingkat konsumsi makanan (energi dan zat gizi), diperlukan standar kecukupan yang dianjurkan atau Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk populasi yang diteliti. Menurut Permenkes (2013) angka kecukupan gizi yang dianjurkan berdasarkan AKG (2012) sebagai berikut :
Tabel 2.2 Kebutuhan Energi, Protein, Lemak, dan Karbohidrat Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2012 rata-rata perhari Lemak (g) n-3
Karboh idrat (g)
Sera t (g)
Air (mL)
4,4
0,5
58
0
-
36
4,4
0,5
82
10
800
26
44
7,0
0,7
155
16
1200
1600
35
62
10,0
0,9
220
22
1500
1850
49
72
10,0
0,9
254
26
1900
Kelompok umur
BB* (Kg)
TB* (cm)
Energi (Kkal)
Protein (g)
Total
n-6
0-6 bulan
6
61
550
12
34
7-11 bulan
9
71
725
18
1-3 tahun
13
91
1125
4-6 tahun
19
112
7-9 tahun
27
130
Sumber : Permenkes RI (2013) Tabel 2.3 Kebutuhan Mineral Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2012 rata-rata perhari Kelompok Umur Mineral 0-6 bulan
7-11 bulan
1-3 tahun
4-6 tahun
7-9 tahun
Kalsium (mg)
200
250
650
1000
1000
Fosfor (mg)
100
250
500
500
500
Magnesium (mg)
30
55
60
95
120
Natrium (mg)
120
200
1000
1200
1200
Kalium (mg)
500
700
3000
3800
4500
Mangan (mg)
-
0,6
1,2
1,5
1,7
Tembaga (mg)
200
220
340
440
570
Kromium (mcg)
-
6
11
15
20
Besi (mg)
-
7
8
9
10
90
120
120
120
120
Seng (mg)
-
3
4
5
11
Selenium (mcg)
5
10
17
20
20
Fluor (mcg)
-
0,4
0,5
0,9
1,2
Iodium (mg)
Sumber : Permenkes RI (2013)
Berdasarkan Buku Pedoman Petugas Gizi Puskesmas Depkes RI (1990), klasifikasi tingkat konsumsi zat gizi makro dibagi menjadi empat dengan cut point masing-masing sebagai berikut (Supariasa et al., 2012) : -
Lebih
: ≥ 120% AKG
-
Baik
: 100-119% AKG
-
Sedang
: 80-99% AKG
-
Kurang
: 70-79% AKG
-
Defisit
: < 70% AKG
Sedangkan untuk klasifikasi tingkat konsumsi zat gizi mikro dibagi menjadi dua dengan cut point sebagai berikut (Gibson, 2005): -
Kurang
-
Cukup
: < 77% AKG : ≥ 77% AKG
Terdapat beberapa zat gizi baik zat gizi makro dan mikro yang berhubungan dengan pertumbuhan pada balita, yaitu: 1)
Zat Gizi Makro (Energi dan Protein) Masa kanak-kanak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan tulang, gigi, otot, dan darah, maka pada masa ini memerlukan zat gizi lebih dibandingkan orang dewasa. Energi yang dibutuhkan oleh anak-anak dipengaruhi oleh basal metabolisme, laju pertumbuhan, dan energi yang dikeluarkan untuk melakukan aktifitas (Mahan et al., 2012). Selain itu, menurut Almatsier (2009) pertumbuhan tinggi badan bisa terhambat bila seorang anak mengalami defisiensi protein (meskipun konsumsi energinya cukup). Jika tubuh kekurangan khususnya karbohidrat dan lemak maka cadangan protein akan dirombak untuk menutupi kekurangan tersebut dan digunakan sebagi sumber energi. Pada anak yang megalami kurang energi protein akan terhambat pertumbuhannya, rentan terhadap penyakit terutama infeksi dan mengakibatkan rendahnya prestasi belajar anak. Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2010 secara konsisten menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalori dan protein anak balita masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG). Akibat dari keadaan tersebut, anak balita perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek daripada standar rujukan WHO 2005 (Bappenas, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asupan energi dan protein berhubungan dengan kejadian stunting. Penelitian yang dilakukan Fitri (2012) berdasarkan data RISKESDAS 2010 di Sumatera menyebutkan bahwa asupan zat gizi berupa energi dan protein menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting . Hal yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Oktarina (2012) bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi energi dengan kejadian stunting pada balita, namun tidak ditemukan hubungan antara tingkat konsumsi protein dengan kejadian stunting. Hal ini berbeda dengan Anisa (2012) dalam penelitiannya ditunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan kejadian stunting. 2)
Zat Gizi Mikro (Kalsium, Besi, dan Zink) Kalsium merupakan salah satu makro elemen, yaitu mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari. Sumber utama kalsium dalam makanan terdapat pada susu dan hasil olahnya, seperti keju atau yogurt. Sumber kalsium selain susu juga penting untuk memenuhi kebutuhan kalsium, baik yang berasal dari hewani atau nabati. Sumber kalsium yang berasal dari hewani, seperti sarden, ikan yang dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium yang baik. Sumber kalsium yang berasal dari nabati, seperti serealia, kacang-kacangan dan hasil kacang-kacangan, tahu dan tempe, dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan ini mengandung banyak zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat, dan oksalat (Almatsier, 2009). Tabel 2.4 Nilai Kalsium dalam Bahan Makanan (mg/100 gram) Bahan Makanan
Ikan tawar Kelor Tahu Kacang hijau Sawi Telur bebek Telur ayam Susu Udang Tempe Ikan laut Singkong Kentang
Mg
346 255 223 223 220 150 147 143 136 129 92 77 63
Bahan Makanan
Kacang panjang Wortel Jeruk Ubi jalar Bayam Pepaya Mangga Daging ayam Roti Pisang Semangka Jagung Apel
mg
60 45 33 30 27 23 20 13 10 9 7 6 6
Biscuit
62
Daging sapi
3
Sumber : Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2009) Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh. sekitar 99% total kalsium dalam tubuh ditemukan dalam jaringan keras yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidoksiapatit, hanya sebagian kecil dalam plasma dan cairan ekstravaskular (Almatsier, 2009). Kalsium di dalam tulang mudah dimobilisasi ke dalam cairan tubuh dan darah, bila diperlukan untuk diteruskan kepada sel-sel jaringan yang lebih memerlukannya. Terutama trabecule dari struktur tulang merupakan tempat penimbunan kalsium yang mudah sekali melepaskan kalsium untuk dipergunakan ke dalam keperluan lain (Sediaoetama, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat konsumsi kalsium anak balita tergolong kurang sebesar 60,46%. Masa balita adalah masa pertumbuhan, dimana pada masa ini diperlukan kalsium yang tinggi. Karena kekurangan kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan menyebabkan gangguan pertumbuhan. Tulang kurang kuat, mudah bengkok, dan rapuh (Almatsier, 2009). Menurut Sulistyoningsih (2012) defisiensi kalsium dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, tulang mudah patah, rakhitis pada anak-anak, sering kejang, mineralisasi tulang dan gigi terganggu (kerusakan gigi). Salah satu mikronutrien esensial bagi manusia adalah Fe atau zat besi yang merupakan mineral mikro yang paling banyak di dalam tubuh yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh (Almatsier, 2009). Sumber zat besi paling utama dan paling baik baik adalah pada makanan hewani, seperti daging, ayam, ikan dan makanan hasil olahan darah. Sumber zat besi yang baik lainnya adalah telur, serealia,
kacang-kacangan, biji-bijian, sayuran hijau, dan buah-buahan. Disamping jumlah besi, perlu diperhatikan kualitas besi di dalam makanan yang dinamkan juga ketersediaan
biologik
tinggi,
besi
dalam
serealia
dan
kacang-kacangan
mempunyai ketersediaan biologik sedang, dan besi dalam sebagian besar sayuran, terutama yang mengandung oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik rendah.
Tabel 2.5 Nilai Zat Besi dalam Bahan Makanan (mg/100 gram) Bahan Makanan
Udang Kacang hijau Telur ayam Telur bebek Kelor Tempe Bayam Tahu Sawi Daging sapi Biskuit Ikan laut Papaya Susu
Mg
8 7,5 7,2 7 6 4 3,5 3,4 2,9 2,8 2,7 1,7 1,7 1,7
Bahan Makanan
Daging ayam Roti Jagung Singkong Mangga Wortel Ikan tawar Pisang Kentang Kacang panjang Jeruk Ubi jalar Apel Semangka
mg
1,5 1,5 1,1 1,1 1 1 0,9 0,9 0,7 0,6 0,4 0,4 0,3 0,2
Sumber : Tabel Komposisi Pangan Indonesia (2009) Menurut Indonesian Pediatric Society (IDAI) Kekurangan zat besi sangat mempengaruhi fungsi kognitif, tingkah laku dan pertumbuhan seorang bayi. Gejala yang paling sering ditemukan adalah pucat yang berlangsung lama (kronis)
dan dapat ditemukan gejala komplikasi antara lain lemas, mudah lelah, mudah infeksi, gangguan prestasi belajar, menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi dan gangguan perilaku. Zink termasuk dalam kelompok zat gizi mikro yang mutlak dibutuhkan dalam jumlah yang sangat kecil untuk memelihara kehidupan yang optimal. Zink terdapat dalam jumlah yang cukup banyak di dalam setiap sel, kecuali sel darah merah dimana zat besi berfungsi khusus mengangkut oksigen. Sekalipun kalsium merupakan elemen makro namun jumlahnya dalam sel lebih kecil dibandingkan seng, kecuali di dalam tulang. Zink tidak terbatas fungsinya seperti zat besi dan kalsium. Fungsi fisiologi yang bergantung pada seng ialah pertumbuhan dan pembelahan sel, antioksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler dan humoral, adaptasi gelap, pengecapan dan nafsu makan. Zink terutama dibutuhkan untuk proses percepatan pertumbuhan, hal ini bukan saja disebabkan karena efek replikasi sel dan metabolisme asam nukleat, tetapi juga sebagai mediator dari aktifitas hormon pertumbuhan. Bahan makanan sumber zink diantaranya bayam, kepiting, jamur, kacang-kacangan, tiram, kuning telur, biji-bijian dan daging merah. Tabel 2.6 Nilai Zink dalam Bahan Makanan (mg/100 gram) Bahan Makanan
Daging sapi Tempe Daging ayam Ikan laut Telur bebek Kacang hijau Udang Telur ayam Tahu Roti Biskuit Kelor Wortel Ikan tawar
Mg
4,1 1,8 1,8 1,6 1,4 1,3 1,3 1,1 0,8 0,8 0,7 0,6 0,6 0,5
Bahan Makanan
Kacang panjang Susu Bayam Singkong Jagung Sawi Ubi jalar Pisang Jeruk Pepaya Semangka Mangga Kentang Apel
mg
0,5 0,4 0,4 0,3 0,3 0,2 0,2 0,2 0,1 0,1 0,1 0,04 0 0
Sumber :Nutrisurvey (2007) Konsekuensi
defisiensi
mikronutrien
selama
masa
anak-anak
sangat
berbahaya. Defisiensi zink juga dapat menyebabkan pertumbuhan terlambat, dermatosis, hipogonadisme, oligospermi, adaptasi gelap yang menurun, gangguan imunitas, rambut rontok, nafsu makan yang berkurang (Pudjiaji, 2005). Menurut Solomons (1993) manifestasi defisiensi zink pada manusia sangat bervarisi, pada defisiensi yang ringan gejala-gejala yang ditemukan adalah anoreksi, kulit kering dan oligospermia. Salah satu manifestasi defisiensi seng pada anak balita adalah retardasi pertumbuhan linier (pendek atau stunting ). Pada anak-anak gejala yang paling menonjol adalah pertumbuhan yang terhambat ( growth retardation).
b.
Penyakit Infeksi Konsumsi diet yang cukup tidak menjamin pertumbuhan fisik yang normal, karena kejadian penyakit lain, seperti infeksi akut atau kronis, dapat mempengaruhi proses yang kompleks terhadap terjadinya atau pemeliharaan defisit pertumbuhan pada anak (Anisa, 2012). Menurut Suiraoka et al. (2011) hubungan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan timbal balik dan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang kurang dapat mempermudah seseorang terkena penyakit infeksi yang akibatnya dapat menurunkan nafsu makan, adanya gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan atau peningkatan kebutuhan zat gizi oleh adanya penyakit sehingga kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi. Anak dengan penyakit infeksi dapat mengganggu proses pertumbuhannya. Penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak dengan KEP adalah diare dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Suryono et al., 2004). Menurut Supariasa et al. (2012) ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus, dan parasit) dengan kejadian malnutrisi. Mereka menekankan interaksi yang
sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi dan juga infeksi akan mempengaruhi zat gizi dan mempercepat malnutrisi. Berdasarkan penelitian Masithah et al. (2005) status kesehatan berupa penyakit infeksi memiliki hubungan positif terhadap indeks status gizi TB/U. Menurut Astari et al. (2005) penyakit infeksi seperti diare dan ISPA yang disebabkan oleh sanitasi pangan dan lingkungan yang buruk, berhubungan dengan kejadian stunting pada bayi usia 6 – 12 bulan. Tando (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa status kesehatan berupa frekuensi dan durasi sakit pada balita memberikan resiko kemungkinan terjadinya stunting pada anak SD di Kecamatan Malayan Kota Manado.
c.
Berat Lahir Berat lahir pada khususnya sangat terkait dengan kematian janin, neonatal, dan postneonatal; mordibitas bayi dan anak; dan pertumbuhan dan pengembangan jangka panjang. Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) didefinisikan oleh WHO yaitu berat lahir kurang dari 2500 gr. Anak yang BBLR kedepannya akan memiliki ukuran antropometri yang kurang di masa dewasa. Bagi perempuan yang lahir dengan berat rendah, memiliki risiko besar untuk menjadi ibu yang stunted sehingga akan cenderung melahirkan bayi dengan berat lahir rendah seperti dirinya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang stunted tersebut akan menjadi perempuan dewasa yang stunted juga, dan akan membentuk siklus sama seperti sebelumnya (Semba dan Bloem, 2001). Fitri (2012) menyebutkan bahwa berat lahir secara bermakna berhubungan dengan kejadian stunting. Hal ini sejalan dengan penelitian Oktarina (2012) yang menyebutkan bahwa berat lahir merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stunting. Growth faltering atau kegagalan pertumbuhan yang mengakibatkan terjadinya stunting atau underweight pada umumnya terjadi dalam periode yang singkat (sebelum lahir hingga kurang lebih umur 2 tahun), namun mempunyai konsekuensi yang serius kemudian hari. Seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi dewasa stunted dapat mengakibatkan produksi kerja yang kurang hingga berdampak terhadap status ekonomi. Sedangkan seorang anak perempuan yang
mengalami stunting, layaknya akan menjadi seorang perempuan dewasa stunted, apabila kelak hamil akan lahir seorang bayi dengan berat lahir rendah (Kusharisupeni, 2002).
d.
Genetik Faktor
genetik
merupakan
modal
dasar
mencapai
hasil
proses
pertumbuhan. Melalui genetik yang berada di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Hal ini ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang (Soetjiningsih, 1995).
Salah satu atau kedua orang tua yang pendek akibat kondisi patologi
(seperti defisiensi hormon pertumbuhan) memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh menjadi stunting. Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak tersebut tidak terpapar faktor resiko yang lain (Amigo et al., 1997 dalam Nashikah, 2012). Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting. Nashikah (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tinggi badan orang tua merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting. Hasil ini sejalan dengan penelitian Aditianti (2010) yang menyebutkan bahwa tinggi badan ayah dan ibu merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kejadian stunting.
Faktor Tidak Langsung
a.
Pola Asuh Gizi Suatu bentuk rangsangan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan otak bayi adalah degan menerapkan pola asah, asih, dan asuh dalam perawatannya sehari-hari. Dalam pemberian makanan juga perlu ditunjang dengan pemenuhan zat zat gizi yang tepat (Marimbi, 2010). Adapun aspek kunci pola asuh gizi yaitu makanan dan minuman pra-lakteal , pemberian kolostrum, pemberian ASI eksklusif, pemberian MP-ASI, dan praktik penyapihan.
Air susu ibu merupakan makanan yang ideal untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama. ASI mengandung semua zat gizi untuk membangun dan penyediaan energi dalam susunan yang diperlukan. ASI tidak memberatkan fungsi traktus digestivus dan ginjal yang belum berfungsi baik pada bayi yang baru lahir, serta menghasilkan pertumbuhan fisik yang optimum. Kandungan ASI memiliki berbagai zat anti infeksi, mengurangi kejadian eksim atopik. Zat-zat anti infeksi dapat digolongkan dalam golongan spesifik dan non-spesifik. Responsi imunitas spesifik pada umumnya memerlukan kerja sama dengan zat non spesifik untuk menyingkirkan kuman atau virus dari tubuh (Pudjiaji, 2005). Proverawati et al. (2010) menyebutkan ASI mengandung growth faktor yang diantaranya untuk perkembangan mukosa usus. ASI akan melindungi bayi terhadap infeksi dan juga merangsang pertumbuhan bayi yang normal. Menurut WHO (World Health Organization) ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa tambahan cairan lain baik susu formula, air putih, air jeruk, ataupun makanan tambahan lain. Sebelum mencapai usia 6 bulan sistem pencernaan bayi belum mampu berfungsi dengan sempurna, sehingga ia belum mampu mencerna makanan selain ASI. Taufiqurrahman (2009), dalam penelitiannya menyatakan bahwa status menyusu juga merupakan faktor risiko terhadap kejadian stunting. Di Indonesia, perilaku ibu dalam pemberian ASI ekslusif memiliki hubungan yang bermakna dengan indeks PB/U, dimana 48 dari 51 anak stunted tidak mendapatkan ASI eksklusif (Oktavia, 2011). Menginjak usia 6 bulan ke atas, ASI sebagai sumber nutrisi sudah tidak mencukupi lagi kebutuhan gizi yang terus berkembang. Oleh karena itu perlu diberikan makanan pendamping ASI. Pemberian makanan pendamping ASI harus disesuaikan dengan perkembangan sistem alat pencernaan bayi, mulai dari makanan bertekstur cair, kental, semi padat hingga akhirnya makanan padat (Marimbi, 2010). Pemberian makanan pada bayi dan anak merupakan landasan yang penting dalam proses pertumbuhan. Di seluruh dunia sekitar 30 % anak dibawah lima tahun yang mengalami stunting merupakan konsekuensi dari praktek pemberian makanan yang buruk dan infeksi berulang (WHO, 2011). Meskipun bayi mendapatkan ASI dari ibu secara optimal, namun jika setelah berusia 6 bulan
tidak mendapatkan makanan pendamping yang cukup baik dari segi kuantitas maupun kualitas, anak-anak akan tetap mengalami stunting (UNICEF, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Istiftiani (2011) menunjukan bahwa umur pertama pemberian MP-ASI berhubungan signifikan dengan indeks status gizi PB/U pada baduta. b.
Tingkat Pendidikan Orang Tua Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak. Karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang tata cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya, dan sebagainya (Soetjiningsih, 1995). Penelitian Anisa (2012) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ayah dan ibu dengan kejadian stunting pada balita di Kelurahan Kalibaru Depok.
c.
Pekerjaan Ibu Menurut Zakiah (1998) dalam Aditianti (2010) status pekerjaan orang tua mempengaruhi pola pengasuhan. Pada orang tua yang bekerja, khususnya ibu, dapat menyebabkan berkurangnya alokasi waktu untuk anak lebih sedikit dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Hasil penelitian Diana (2006) mengemukakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pola asuh makan dengan pekerjaan ibu. Ibu yang bekerja di luar rumah dapat menyebabkan anak tidak terawatt, sebab anak balita sangat bergantung pada pengasuhannya atau anggota keluarga yang lain. Selain itu, ibu yang bekerja diluar rumah cenderung memiliki waktu yang lebih terbatas untuk melaksanakan tugas rumah tangga dibandingkan ibu yang tidak bekerja, oleh karena itu pola pengasuhan anak akan berpengaruh dan pada akhirnya pertumbuhan dan perkembangan anak juga akan terganggu.
d.
Pengetahuan Gizi Ibu Hidayat (2005) menjelaskan bahwa pengetahuan gizi yang rendah dapat menghambat usaha perbaikan gizi yang baik pada keluarga maupun masyarakat sadar gizi artinya tidak hanya mengetahui gizi tetapi harus mengerti dan mau
berbuat. Menurut Suhardjo (2003) tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tentang kebutuhan akan zat-zat gizi berpengaruh terhadap jumlah dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi. Ibu yang cukup pengetahuan gizinya akan memperhatikan kebutuhan gizi anaknya agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
e.
Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota rumah tangga juga memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting pada balita. Anak-anak stunting berasal dari keluarga yang jumlah anggota rumah tangganya lebih banyak dibandingkan dengan anakanak normal (Tshwane University of Technology et al ., 2006 dalam Oktarina, 2012). Hidayah (2011) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa balita stunting cenderung lebih banyak terdapat pada keluarga yang memiiki jumlah anggota rumah tangga > 4 orang dibandingkan dengan keluarga yang memiliki anggota rumah tangga ≤ 4 orang. Hal tersebut dikarenakan keluarga dengan anggota rumah tangga > 4 orang cenderung memiliki biaya pengeluaran per kapita lebih kecil dibandingkan keluarga dengan anggota rumah tangga < 4 orang. Semakin kecilnya pengeluaran per kapita tersebut dapat mengurangi kemampuan dalam penyediaan makanan bagi tiap-tiap orang dalam keluarga tersebut, termasuk balita.
f.
Status Ekonomi Keluarga (Pendapatan dan Pengeluaran) Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder (Soetjiningsih, 1995). Menurut Husaini et al. (2006), apabila pendapatan rendah, maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan dibandingkan dengan kebutuhan non pangan. Di negara-negara berkembang golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, yaitu umumnya dua per tiga dari pendapatannya. Namun sebaliknya, apabila pendapatan semakin baik, maka
pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat semua kebutuhan pokok untuk makan sudah tepenuhi (Suhardjo, 2003). Tingkat pengeluaran untuk makanan merupakan kejadian yang dapat menggambarkan keadaan ekonomi suatu keluarga. Keluarga ekonomi rendah akan cenderung membelanjakan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu makanan. Makanan yang lebih banyak dibeli yaitu makanan berpati sedangkan untuk makanan sumber protein adalah terutama protein hewani. Hal ini akan menghubungkan tidak terpenuhinya kebutuhan gizi anak erutama kebutuhan protein sehingga akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi anak. Status gizi anak dan kurangnya asupan protein akan menyebabkan anak menjadi sulit tumbuh dan berkembang. Keadaan ini diperparah apabila tidak mempunyai alokasi dana sehingga kejadian ini akan memperparah kondisi kesehatan, status gizi dan tumbuh kembang anak (Santi, 2011).
g.
Umur Laju pertumbuhan pada tahun pertama kehidupan adalah lebih cepat dibandingkan pada usia lainnya. Jika dilihat dari umur balita, ternyata kejadian stunting banyak terdapat pada usia 12 hingga 59 bulan (Fitri, 2012). Menurut Pudjiadi (2005) bertambahnya panjang badan lebih cepat pada tahun pertama dibandingkan dengan tahun-tahun berikutnya. Dilahirkan dengan panjang badan 50 cm, pada umur 50 cm, pada umur 1 tahun naik menjadi 75 cm (kenaikan 25 cm), pada umur 2 tahun 87 cm (bertambah 12 cm dalam tahun kedua) pada umur 3 tahun 92 cm (naik hanya 7 cm).
h.
Jenis Kelamin Jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang. Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein dibandingkan wanita. Pria lebih sanggup mengerjakan pekerjaan berat yang biasanya tidak biasa dilakukan oleh wanita. Tetapi dalam kebutuhan zat besi, wanita jelas membutuhkan lebih banyak daripada pria (Fitri, 2012). Dalam penelitian Aditianti (2010) menunjukkan adanya hubungan antara jenis kelamin anak dengan status
gizi. anak laki-laki lebih banyak mengalami stunting dibandingkan dengan anak perempuan.
i.
Sanitasi lingkungan Salah satu elemen penting untuk menunjang kesehatan manusia adalah air bersih dan sanitasi yang baik. Menurut WHO, dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar terhadap air bersih dan sanitasi diantaranya terlihat pada anak-anak sebagai kelompok usia rentan yang secara khusus berisiko terhadap penyakit bersumber air, seperti diare. Penyakit diare yang dialami pada awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terhadap tinggi badan menurut umur (Aditianti, 2010).
j.
Pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, rumah sakit dan persediaan air bersih. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak mampu membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan, merupakan kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status gizi anak (Aditianti, 2010). Kejadian penyakit infeksi (morbiditas) erat kaitannya dengan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selain itu pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan juga berkaitan erat dengan morbiditas dan akhirnya berpengaruh terhadap status gizi. upaya penurunan angka morbiditas dan meningkatkan statis gizi bayi dan balita dapat diusahakan melalui memanfaatkan akses pelayanan kesehatan dan penatalaksanaan kasus penderita secara benar dan tepat waktu (Hidayat et al., 2009).
k.
Status Imunisasi
Imunisasi merupakan suatu proses yang menjadikan seseorang kebal atau dapat melawan terhadap penyakit infeksi. Pemberian imunisasi biasanya dalam bentuk vaksin. Vaksin merangsang tubuh untuk membentuk sistem kekebalan yang digunakan untuk melawan infeksi atau penyakit. Ketika tubuh kita diberi vaksin atau imunisasi, tubuh akan terpajan oleh virus atau bakteri yang sudah dilemahkan atau dimatikan dalam jumlah yang sedikit dan aman. Kemudian sistem kekebalan tubuh akan mengingat virus atau bakteri yang telah dimasukkan dan melawan infeksi yang disebabkan oleh virus atau bakteri tersebut ketika menyerang tubuh kita di kemudian hari ( Immunizations, 2010). Menurut Marimbi (2010) jenis imunisasi yang wajib diberikan pada balita di bawah 12 bulan adalah BCG, hepatitis B, polio, DPT, dan campak. Penelitian Taguri et al. (2007) menunjukkan bahwa status imunisasi yang tidak lengkap memiliki hubungan yang signifikan dalam kejadian stunting pada anak usia < 5 tahun.
Sumber : ACC/SCN & International Food Policy Research Institute (IFRI). 2000. 4th Report on The World Nutrition Situation, Nutrition Throughout The Life Cycle. Adeladza, T.A. 2009. “The Influence of Socio-Economic and Nutritional Characteristics on Child Growth in Kwale District of Kenya”. African Journal of Agriculture and Development. Vol. 9 (7). Aditianti. 2010. “Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Indonesia”. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Adriani, M dan Wiratmadi, B. 2012. Pengantar Gizi Masyarakat . Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Amigo, H., Buston, P., Radrigan, ME. 1997. Is there a relationship between parent’s short height and their children’s? Social interclass epidemiologic study. Rev Med Child ; Aug; 125 (8). Anindita, P. 2012. “Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga, Kecukupan Protein & Zink dengan Stunting (pendek) pada Balita Uisa 6-35 Bulan di Kecamatan Tembalang Kota Semarang”. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 1 (2): 617-626. Anisa, P. 2012. “Faktor -Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 25-60 Bulan di Kelurahan Kalibaru Depok Tahun 2012”. Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Anugraheni, H.S. 2012. Faktor Resiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 12-36 Bulan di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Artikel Penelitian. Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek . Jakarta: Rineka Cipta.
Astari, L.D., Nasoetion, A., & Dwiriani, C.M. 2005. Hubungan Karakteristik Keluarga, Pola Pengasuhan dan Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan. Jurnal Media Gizi & Keluarga, 29 (2) : 40-46.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting Status gizi bayi dan balita merupakan salah satu indikator gizi masyarakat, dan bahkan telah dikembangkan menjadi salah satu indikator kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan masa bayi dan balita merupakan salah satu masa penting untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembang. Masa ini juga merupakan salah satu masa yang paling penting untuk meletakkan dasardasar kesehatan dan intelektual anak untuk kehidupan yang akan datang (UNICEF, 2002). Keadaan gizi yang baik dan sehat pada masa balita merupakan fondasi penting bagi kesehatannya di masa depan. Kekurangan gizi yang terjadi pada masa tersebut dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat terutama terjadi pada usia 1-3 tahun, pada usia ini kebutuhan tubuh akan energi, protein, vitamin dan mineral cukup tinggi. Anak usia hingga 3 tahun berada pada rentang usia dimana anak rentan terhadap masalah gizi, untuk itu ibu harus mengontrol ketat asupan makanan anaknya (Sutomo et al. 2010). Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan linier yang tidak sesuai umur dapat merefleksikan keadaan gizi kurang dalam jangka waktu yang lama (Rosha et al., 2012). Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lalu (Supariasa et al., 2012). Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linier yang disebabkan adanya malnutrisi asupan zat gizi kronis dan atau penyakit infeksi kronis berulang yang ditunjukkan dengan nilai z-score tinggi badan menurut usia (TB/U) < -2 SD berdasarkan standar WHO (WHO, 2010). Retardasi pertumbuhan atau stunting pada anak-anak di negara berkembang terjadi terutama sebagai akibat dari kekurangan gizi kronis dan penyakit infeksi yang mempengaruhi 30% dari anak-anak usia di bawah lima tahun (UNSCN, 2004). Kejadian stunting yang berlangsung sejak masa kanak-kanak dapat menyebabkan gangguan Intelligence Quotient (IQ), perkembangan psikomotor, kemampuan motorik, dan integrasi neurosensori. Anak yang menderita kurang gizi (stunting) berat mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak stunting (UNICEF 1998). Menurut Anugraheni (2012) stunting juga meningkatkan risiko obesitas dan penyakit degeneratif. Hal ini dikarenakan orang
dengan tubuh pendek berat badan idealnya juga rendah, kenaikan berat badan beberapa kilogram saja bisa menjadikan Indeks Masa Tubuh (IMT) naik melebihi batas normal. Keadaan overweight dan obesitas yang terus berlangsung lama akan meningkatkan risiko kejadian penyakit degeneratif. Pada dasarnya banyak faktor penyebab terjadinya stunting, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu dengan lainnya. Menurut UNICEF (1998) terdapat dua faktor utama penyebab stunting yaitu asupan makanan tidak seimbang dan riwayat penyakit. The World Bank (2007) menambahkan, selain tidak adekuatnya makanan dan infeksi, status berat badan lahir juga mempengaruhi secara langsung kejadian stunting. Menurut Soetjiningsih (1995) tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. http://www.indonesian-publichealth.com/stunted-pada-balita/
Berikut beberapa resume isi pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 TAHUN 2014 Tentang Upaya Perbaikan Gizi. Salah satu pertimbangan disebutkan dalam Permenkes ini, bahwa peningkatan derajat kesehatan masyarakat perlu dilakukan upaya perbaikan gizi perseorangan dan gizi masyarakat pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada kelompok rawan gizi; juga bahwa upaya perbaikan gizi tersebut dilaksanakan berdasarkan pedoman yang selama ini masih tersebar dalam berbagai pedoman yang belum bersifat regulasi; Sedangkan beberapa acuan dasar hukum yang dipakai diantaran ya: 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan 3. Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional; 4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 741/ Menkes/ SK/ VII/ 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal BidangKesehatan di Kabupaten/ Kota; 5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 63/20 10 tentang Garam Beryodium;
Pasal 1 Beberapa pengertian yang tercantum dalam Permenkes ini, antara lain:
1. Gizi Seimbang adalah susunan hidangan makanan sehari yang terdiri atas berbagai ragam bahan makanan yang berkualitas dalam jumlah dan proporsi yang sesuai dengan aktifitas fisik, umur, jenis kelamin dan keadaan fisiologi tubuh sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi seseorang, guna pemeliharaan dan perbaikan sel tubuh dan proses kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan secara optimal. 2. Keluarga Sadar Gizi yang selanjutnya disingkat KADARZI adalah suatu keluarga yang mampu mengenal, mencegah, dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya. 3. Pelayanan Gizi adalah rangkaian kegiatan untuk memenuhi kebutuhan gizi perorangan dan masyarakat melalui upaya pencegahan, peningkatan, penyembuhan, dan pemulihan yang dilakukan di masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan. 4. Angka Kecukupan Gizi adalah suatu nilai acuan kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas fisik untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. 5. Tenaga Gizi adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan di bidang gizi sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan. Pasal 2, diantaranya tercantum, bahwa pengaturan upaya perbaikan gizi ditujukan untuk menjamin: a. setiap orang memiliki akses terhadap informasi gizi dan pendidikan gizi; b. setiap orang terutama kelompok rawan gizi memiliki akses terhadap pangan yang bergizi; dan c. setiap orang memiliki akses terhadap pelayanan gizi dan kesehatan.
Untuk mencapai tujuan diatas dilakukan melalui: a. perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang; b. perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan; c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
Pasal 8 (Kecukupan Gizi)
(1) Setiap orang harus mengonsumsi makanan sesuai dengan standar angka kecukupan gizi. (2) Menteri menetapkan standar angka kecukupan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya setiap 4 (empat) tahun sekali. (3) Standar angka kecukupan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk: a. acuan dalam menilai kecukupan gizi; b. acuan dalam menyusun makanan sehari-hari; c. acuan perhitungan dalam perencanaan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional; d. acuan pendidikan gizi; dan e. acuan label pangan yang mencantumkan informasi nilai gizi. Pasal 9 (1) Setiap penyelenggara usaha jasa boga harus memberikan informasi tentang komposisi makanan-minuman dan nilai gizinya. (2) Penilaian terhadap informasi diatas dilaksanakan bersamaan dengan penilaian untuk mendapatkan sertifikat higiene sanitasi. Pasal 10 (1) Setiap penyelenggara usaha pangan industri rumah tangga harus memberikan informasi tentang komposisi makanan-minuman dan nilai gizinya.
(2) Penilaian terhadap informasi diatas dilaksanakan bersamaan dengan permohonan registrasi usaha pangan industri rumah tangga di dinas kesehatan kabupaten/kota. Pasal 12 (terkait Pelayanan Gizi) Pelayanan gizi dilakukan untuk mewujudkan perbaikan gizi pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada kelompok rawan gizi; Kelompok rawan gizi tersebut antara lain meliputi:bayi dan balita;anak usia sekolah dan remaja perempuan; ibu hamil, nifas dan menyusui; pekerja wanita; dan usia lanjut. Pelayanan gizi ini dila kukan di:fasilitas pelayanan kesehatan;institusi/fasilitas lainnya;asyarakat; dan lokasi dengan situasi darurat. Pasal 18 (Suplementasi gizi) Suplementasi gizi ditujukan untuk memenuhi kecukupan gizi. Suplementasi gizi diberikan untuk anak usia 6 – 59 bulan, anak sekolah, ibu hamil, ibu nifas, remaja perempuan, dan pekerja wanita. Sedangkan Jenis suplementasi gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. kapsul vitamin A; b. tablet tambah darah; c. makanan tambahan ibu hamil; d. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI); e. makanan tambahan anak balita 2-5 tahun;
f. makanan tambahan anak usia sekolah; dan g. bubuk multi vitamin dan mineral. Pasal 19 (Tata Laksana Gizi) Tata laksana gizi kurang merupakan rangkaian tindakan yang bertujuan untuk pemulihan status gizi dengan prioritas menurunkan angka kesakitan pada balita gizi kurang. Tata laksana gizi kurang dilaksanakan oleh masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan. Pasal 20 (Tata Laksana Gizi Buruk) Tata laksana gizi buruk merupakan rangkaian tindakan yang bertujuan untuk perbaikan status gizi dengan prioritas menurunkan angka kematian pada balita gizi buruk; Perbaikan status gizi terhadap balita penderita gizi buruk harus diberikan formula gizi buruk yang salah satu komponennya merupakan mineral mix; Tata laksana gizi buruk dilaksanakan melalui rawat jalan atau rawat inap sesuai dengan kondisi pasien. Pasal 21 Tata laksana gizi lebih merupakan rangkaian tindakan yang bertujuan untuk mencapai status gizi baik dan menurunkan risiko timbulnya penyakit gangguan metabolik dan degenerative; Dilakukan melalui tindakan yang bersifat pencegahan, peningkatan, penyembuhan dan pemulihan. Pelayanan Gizi Diluar Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pasal 24
Pelayanan gizi diluar fasilitas pelayanan kesehatan diarahkan untuk mempertahankan dan meningkatkan status gizi masyarakat.Pelayanan gizi tersebut antara lain meliputi: a. pelayanan gizi di panti asuhan; b. pelayanan gizi di lembaga pemasyarakatan; c. pelayanan gizi di sekolah; d. pelayanan gizi di tempat kerja; e. pelayanan gizi di pondok pesantren; f. pelayanan gizi di asrama haji/jemaah haji; g. pelayanan gizi di pusat pelatihan olah raga; h. pelayanan gizi di panti wreda; dan i. pelayanan gizi di hotel dan restoran. Pasal 26 (Pelayanan Gizi di Lokasi dengan Situasi Darurat) Pelayanan Gizi di Lokasi dengan Situasi Darurat diarahkan untuk mempertahankan dan memulihkan serta meningkatkan status gizi masyarakat di daerah bencana. Pasal 27 Pemenuhan gizi dalam situasi darurat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi terjadinya penurunan status gizi secara cepat dan tepat; Dilakukan terhadap masyarakat akibat korban bencana, masyarakat di pengungsian, dan masyarakat di